RAJAWALI HITAM

















RAJAWALI HITAM JILID 01



Gadis itu terbangun dari tidurnya dalam sebuah kamar hotel di kota Hui-cu. Begitu terbangun dari tidurnya, gadis itu tidak segera turun dari pembaringan, melainkan duduk bersila dan bersamadhi.

Ia seorang gadis yang berusia kurang lebih duapuluh
satu tahun. Pakaiannya berkembang cerah dan wajahnya cantik jelita. 


Mukanya bulat telur, mulutnya kecil mungil dengan bibir merah membasah. Hidungnya mancung dan ujungnya agak menjungat ke atas lucu sekali. 

Di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipit
Seorang gadis yang cantik jelita, bahkan dalam keadaan baru bangun tidur dan rambutnya awut-awutan, ia masih tampak cantik sekali.

Dara ini bernama Souw Lee Cin. Biarpun usianya baru
kurang dari duapuluh satu tahun, namun namanya di dunia kang-ouw
sudah terkenal, bahkan banyak orang menjulukinya Dewi Ular Cantik (Bi Coa Sian-li) karena gadis ini terkenal sebagai seorang pawang ular yang pandai. 


Ilmu silatnya amat tinggi karena ia digembleng oleh ibunya sendiri yang berjuluk Ang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Merah) Bu Siang, seorang wanita setengah tua yang juga amat cantik akan tetapi amat ganas pula sehingga mendapat julukan seperti itu. 

Ang-tok Mo-li telah menurunkan seluruh ilmunya kepada muridnya yang juga puteri kandungnya ini sehingga tingkat kepandaian Lee Cin sudah hampir menyamai ibunya.
Akan tetapi ibunya itu hidup terpisah dari ayahnya, dan baru saja beberapa bulan ini mereka hidup bersama.

Ayah Lee Cin adalah seorang pendekar besar bernama
Souw Tek Bun yang dijuluki Sin-kiam Hok-mo (Si Pedang Sakti Penaluk Iblis) dan karena kebijaksanaannya, dalam pemilihan beng-cu dua tahun yang lalu dia terpilih sebagai Beng-cu (Pemimpin) dari dunia kang-ouw. Di waktu mudanya, Souw Tek Bun berpisah dari Ang-tok Mo-li Bu Siang karena perbedaan watak, si wanita berwatak ganas dan kejam seperti iblis betina, yang pria berwatak gagah perkasa dan budiman seperti seorang pendekar besar.


Berkat usaha Lee Cin, maka ayah dan ibunya itu kini hidup bersama dengan bahagia di pegunungan Hong-san.


Lee Cin merupakan pendekar wanita yang gagah perkasa.
Ia memiliki sebatang pedang pusaka yang disebut Ang coa-kiam (Pedang Ular Merah) dan memainkannya dengan ilmu pedang coa-kiamsut. 


Selain itu, dari ibunya ia mempelajari pula Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat
berbahaya, ilmu silat Sin-liong-kun (Sitar Naga Sakti) yang tangguh dan dari In Kong Thai-su, seorang tokoh besar Siauw-limpai ia pernah diberi pelajaran ilmu totok It-yang-ci yang
ampuhnya bukan main. 


Dengan semua ilmu kepandaiannya ini, Lee Cin berani malang melintang di dunia kang-ouw dan jarang menemukan tandingan.

Akan tetapi mengapa di pagi hari itu ia nampak demikian kusut dan terus bersamadhi setelah bangun tidur" Bahkan kedua matanya agak membengkak seperti orang yang
kebanyakan menangis. 


Memang sesungguhnyalah, malam
tadi Lee Cin hampir tidak dapat pulas dan sehari semalam hanya menangis saja menyesali nasib dirinya. 


Kurang lebih dua tahun yang lalu cintanya terhadap seorang pemuda bernama Song Thian Lee gagal karena pemuda itu mencinta seorang dara lain yang kini telah dikawininya. 

Kemudian, ia jatuh cinta kepada seorang pemuda bernama Cia Tin Han, akan tetapi apa yang terjadi" Baru kemarin ia melihat sendiri betapa Tin Han ditendang oleh neneknya sendiri dan terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam!

 Ia menangisi kematian Tin Han dengan hati hancur lebur. Hanya setelah teringat akan nasihat ayahnya bahwa ia harus dapat
menerima dan menghadapi kenyataan dengan gagah, ia
dapat pulas dan pagi ini begitu terbangun, ia bersamadhi untuk menenteramkan pikirannya.


Baru saja ia menyadari bahwa ia mencinta Tin Han
setelah Tin Han ditendang ke dalam jurang! Tadinya ia masih ragu karena Tin Han dianggapnya sebagai seorang pemuda lemah lembut yang berjiwa patriot, dan iapun
tertarik kepada seorang tokoh lain yang misterius, seorang yang selalu menolongnya dan berkedok hitam, yang disebutnya saja Si Kedok Hitam. 


Tidak tahunya, Si Kedok Hitam itu bukan lain adalah Cia Tin Han (Baca kisah Dewi Ular). 

Keluarga Cia Tin Han yang lain semua bekerja sama dengan pemberontak Panglima Phoa dan dengan orang-orang Jepang dan hal ini ditentang oleh Tin "Han, maka dia diserang sendiri oleh neneknya sehingga terlempar ke dalam jurang.
Di dalam samadhinya, bayangan Tin Han selalu mengganggunya. Akhirnya ia membiarkan bayangan itu memasuki lamunannya. 

Seorang pemuda yang gembira,
tampan, agak ugal-ugalan akan tetapi pemberani luar biasa.
Kini pemuda yang dicintanya itu telah tiada, lenyap ditelan jurang yang lebar dan dalam. 


Akan tetapi jatuhnya ke jurang itu belum merupakan bukti bahwa dia telah mati. Bangkit kembali semangat Lee Cin setelah berpikir begitu!

Lee Cin membersihkan dirinya dan mandi sampai tubuhnya terasa segar kembali. Ia sudah dapat mengusir semua sisa duka dari hatinya, matanya sudah bersinar terang kembali. 


Ia maklum bahwa ia tidak boleh hanyut dalam seretan duka. Ia harus menghadapi kenyataan dengan mata terbuka. 

Cia Tin Han terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi hal itu belum berarti bahwa dia mati. Ini bukan merupakan harapan kosong untuk menghibur hatinya.

Memang, terjatuh dari tempat setinggi itu tidak mungkin seseorang dapat hidup lagi. Akan tetapi ini bukan atau belum menjadi bukti bahwa dia mati. 


Ia harus mencari Tin Han ke dasar jurang. Ia harus melihat sendiri bahwa pemuda itu sudah tewas dan menguburkan jenazahnya.

Kasihan kalau Tin Han tewas di dasar jurang itu tanpa ada yang mengurus jenazahnya. Ia harus mencarinya dan membuktikan sendiri bahwa Cia Tin Han, laki-laki yang dicintanya itu, benar-benar telah tiada.


Setelah mandi dan berganti pakaian, Lee Cin membayar sewa kamar, menggendong buntalan pakaiannya, kemudian meninggalkan rumah penginapan dan segera pergi keluar kota menuju ke bukit di mana kemarin ia tertawan oleh Keluarga Cia. 


Dari apa yang didengarnya kemarin, ia dapat menduga bahwa Keluarga Cia tentu telah pergi meninggalkan bukit itu, karena takut kalau disergap musuh.

Ia mendaki tempat di mana kemarin Tin Han terjengkang ke dalam jurang. Tempat itu sunyi, tidak nampak seorang pun manusia. 


Lee Cin menghampiri jurang itu dan melongok ke bawah. Ia merasa ngeri. Jurang itu merupakan tebing yang amat curam, dan ia tidak dapat melihat dasar jurang yang tertutup kabut. 

Agaknya hanya burung yang memiliki sayap saja yang akan dapat menuruni tebing itu. Ia harus mencari jalan lain untuk mencapai tebing jurang itu. 

Tidak mungkin rasanya menuruni jurang itu dari situ. Terlalu terjal dan sekali terpeleset, habislah sudah riwayatnya.

Ia lalu mengambil jalan lain yang turunnya tidak begitu terjal. Akan tetapi inipun amat sukarnya. 


Ia harus melangkah dari batu ke batu dengan hati-hati karena sekali batu itu terlepas dan menggelinding ke bawah, ia sendiri tentu akan menggelinding ke bawah. 
Ia melangkah dengan hati-hati, berpegangan batu dan akar pohon.

Setelah agak dalam, ia melihat batang-batang pohon banyak bertumbuh di tempat itu. Dengan berpegangan pada cabang dan barang pohon, ia dapat merayap ke bawah lagi.

Lee Cin harus mempergunakan ilmu meringankan tubuh
untuk merayap seperti itu. Kadang-kadang dinding itu demikian terjalnya sehingga tegak lurus! 


Hanya dengan berpegang kepada cabang pohon dan lubang-lubang yang terdapat di permukaan batu dinding itu ia dapat merayap terus ke bawah. 

Ia harus berhati-hati sekali karena sekali pegangannya terlepas atau injakan kakinya meleset, tubuhnya akan terhempas ke bawah dan mungkin akan terbanting ke atas batu yang akan membuat tubuhnya
hancur lebur! Lee Cin merayap terus. 


Dua jam telah berlalu sejak ia merayap dari penurunan pertama. Pekerjaan ini makan banyak tenaga sehingga tubuhnya sudah basah oleh keringat.

Akan tetapi ia terus turun sampai akhirnya dasar tebing itu tampak olehnya. 


Sinar matahari telah mencapai dasar tebing dan ia terpesona. Seolah ia melihat taman sorga di bawah kakinya! Begitu terang, kuning kehijauan, teramat indahnya. 

Ada sebatang sungai kecil berlekak-lekuk di bawah sana. Ada padang rumput yang hijau segar. Ia
merayap terus dan akhirnya dapat menginjakkan kakinya ke atas
tanah datar. 


Ketika ia memandang ke atas, pandangannya terhalang kabut dan ia tidak dapat melihat bagian atas tebing. Alangkah tingginya seakan menembus awan. 

Matahari dengan sinarnyapun tidak dapat menembus kabut itu. Sinar yang jatuh ke permukaan dasar tebing datang dari jurusan lain yang tidak terhalang tebing. Tebing itu merupakan bukit yang menjulang tinggi. 

Hatinya berdebar. Mungkinkah ia dapat bertemu dengan Tin Han dalam keadaan masih hidup"
Ia menutup lamunannya. Tidak, ia tidak mengharapkan apa-apa, karena harapan ini kalau ternyata sia-sia akan menghancurkan
hatinya. 


Ia akan mencari dan siap 
menemukan Tin Han dalam keadaan bagaimanapun juga. Ia harus tabah dan waspada.


Mulailah Lee Cin mencari-cari. Karena ia tidak tahu dengan persis di mana Tin Han terjatuh, tidak dapat
mengkira-kirakan dari bagian mana pemuda itu terjatuh, ia lalu menyusuri pinggir dasar tebing itu yang ternyata panjang sekali.

Setelah memakan waktu lama, sam pai di ujung sana, ia tidak menemukan sesuatu. Apa lagi tubuh Tin Han, bekas bekasnyapun tidak ada. la merasa penasaran dan memutar tubuhnya, mengulangi lagi dengan arah berbalik. 

Ia menyusuri dasar tebing dari sebelah sana sampai akhirnya tiba di bagian yang tidak ada tebingnya, melainkan tanah datar dan jauh di sana tampak genteng rumah pedusunan.

Tidak juga ia menemukan tubuh Tin Han. Ia menjadi bingung. Apakah Tin Han dapat lobos dan selamat" Rasanya tidak mungkin! Ia kembali lagi dan mulailah ia memanggil-manggil.


"Han-ko.........
Han-ko.........
Ia mengulang-ulang
panggilannya dengan pengerahan tenaga khi-kang sehingga suaranya menimbulkan gaung yang aneh. 


Akan tetapi tidak ada jawaban. Tin Han lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Ia melongok dari jurang ke jurang lain, jurang-jurang kecil yang berada di bawah tebing, namun tidak nampak ada tubuh orang di sana.

Akhirnya ia menjatuhkan diri, duduk di bawah sebatang pohon dengan tubuh lemas. Diambilnya sehelai saputangan untuk mengusap leher dan mukanya yang basah. 


Ia mengambil napas panjang untuk menghimpun tenaga murni karena ia merasa lelah sekali. Lelah lahir batin. Matanya masih liar mencari-cari, kalau-kalau melihat tubuh pemuda itu tersangkut di suatu tempat.

Lee Cin duduk bersila, memejamkan matanya, menenteramkan hatinya. Tenanglah, kata hatinya kepada 
diri sendiri. Tin Han tidak ada, tubuhnya tidak ada, berarti dia belum mati atau hilang. 


Rasanya tidak mungkin terjadi dari tempat setinggi itu tidak mati akan tetapi mengapa hilang" Kalau terbanting dari atas, tidak mungkin tubuhnya hancur lebur dan tidak meninggalkan sisa. Ia ber gidik, ngeri membayangkan itu. 

Ke manakah Tin Han" Apa jadinya
dengan dia" Ia membuka matanya lagi, memandang ke atas yang tertutup kabut dan ke kanan kiri, kembali mencari-cari. 


Jangan-jangan tadi karena lelahnya, ia mencari kurang teliti. Maka, iapun bangkit kembali, lalu sekali lagi menyusuri dasar tebing dari ujung sini ke ujung sana, kadang berhenti untuk meneliti satu bagian. 

Namun sia-sia belaka, tidak ditemukannya tubuh Tin Han atau bekas-bekasnya sedikitpun. Tin Han lenyap begitu saja!

Kembali Lee Cin duduk bersila, bertanya-tanya dalam
hatinya kemudian seperti dengan sendirinya, matanya
ditujukan ke atas, ke langit. Ya Tuhan, apa yang telah Engkau lakukan terhadap Tin Han, bisik hatinya. 


Masih hidup atau sudah matikah dia" Kalau masih hidup,bagaimana dan di mana dia berada" Kalau sudah mati, apa yang terjadi dengan jenazahnya" 

Semua pertanyaannya tidak terjawab. Untuk mengusir rasa ke sepiannya yang teramat mendalam, ia lalu mengambil sulingnya dan seperti tanpa disengaja ia meniup sulingnya, memanggil ular-ular di daerah itu. Ia hanya teringat bahwa kalau Tin Han dapat mendengar suara sulingnya, seperti juga ular-ularnya, pasti akan datang juga ke situ.

Akan tetapi setelah beberapa lamanya meniup suling,
yang berdatangan hanya ular-ular dari semua penjuru. Ular-ular besar kecil, dengan beraneka bentuk dan warna datang dan mengepung Lee Cin dalam jarak dua meter di bawah pohon.


Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya, memandang
kepada ular-ular yang kini diam di sekelilingnya itu dan ia 
merasa aman. 


Ular-ular itu adalah binatang-binatang yang biarpun dianggap sebagai binatang berbahaya, namun
sebenarnya merupakan binatang yang sama sekali tidak buas. 


Manusia lebih buas dari pada ular. Manusia menyerang mahluk lain, membunuh mahluk lain hanya
untuk dimakan atau hanya untuk bersenang-senang.


Adapun ular-ular itu, tidak akan mengganggu siapapun kalau saja tidak lebih dulu diganggu. Ular-ular itu hanya mengenal membela diri dan melawan pengganggunya demi keselamatannya, tidak pernah menyerang lebih dulu tanpa sebab. 


Lee Cin melihat seekor ular putih sebesar ibu jari tangannya merayap di dekatnya. Ia menjulurkan tangannya dan ular itu segera merayap ke tangannya, melibatkan ekornya pada pergelangan tangan Lee Cin, lidahnya keluar masuk dan matanya memandang kepada Lee Cin dengan tajam. 

Alangkah lucunya! Lee Cin membelai ular itu dengan jari-jari tangannya, lalu melepaskannya lagi.
Akan tetapi senyumnya menghilang ketika ia teringat lagi kepada Tin Han. Awan duka kembali menyelimuti wajahnya.


Tadi, ketika ular-ular itu datang, pikirannya sejenak melupakan Tin Han dan dukapun lenyap. Kini ia teringat lagi dan duka kembali menguasai hatinya.
Ia lalu menutup sulingnya mengusir ular-ular itu. Satu demi satu ular-ular itu merayap pergi meninggalkan Lee Cin.


Keadaan menjadi sunyi kembali setelah Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya. Ia merasa seolah dirinya diteIan kesunyian.


Kesunyian sejati merupakan keheningin lahir batin dan keadaan ini dapat mengayun manusia ke dalam dimensi lain, di atas suka dan duka. Akan tetapi merasa kesepian lain lagi. 


Merasa kesepian merupakan kerinduan akan seseorang atau suatu dan hal ini mendatangkan siksa dalam batin. Merasa ditinggalkan, merasa kesepian dan merasa tidak ada yang memperdulikan, membuat hati merasa nelangsa dan hidup seolah tidak ada artinya. 

Pada hal, hidup harus berani berada dalam keadaan sunyi dan hening.
Hidup harus berani sendiri, karena segala sebab akibat berada dalam diri sendiri, segala tanggung-jawab juga harus dipikul sendiri. 


Hidup tidak dapat digantungkan kepada siapapun juga. Akhirnya, kalau nyawa sudah mening galkan badan, setiap orang manusia juga harus bersendirian, sendiri menghadapi maut, tidak ditemani siapapun juga.

Karena itu, di waktu masih hidup, harus berani bersunyi diri, berhening-hening karena hanya dalam keheningan lahir batin inilah dapat ditemukan apa yang selalu dicari-cari orang, yakni kebahagiaan. 


Keheningan berarti kebahagiaan, keheningan yang kosong tanpa di isi ingatan apapun sehingga kenangan tidak sempat masuk sehingga hati akal pikiran dijauhkan dari kenangan pahit maupun manis.
Berada di atas suka dan duka, tidak dipengaruhi suka duka dan segala perasaan lain, di situlah letaknya kebahagiaan.

Kebahagiaan selalu sudah berada di dalam dan di luar diri kita dan hanya orang yang berada dalam keheningan dapat merasakan itu. 


Biasanya, hidup kita bergelimang nafsu daya rendah yang menimbulkan segala macam perasaan, dan dalam keadaan seperti itu, kebahagiaanpun tidak tampak bayangannya. 

Ia begitu dekat, namun begitu jauh! Dekat melebihi mata sendiri, namun kalau jauh tak tampak
bayangannya. Sudah ada dan menjadi satu diri, namun
masih dicari-cari, semua ini akibat ulah nafsu daya rendah manusia yang selalu berusaha menguasai diri.

Hanya orang yang berada dalam ke heninganlah yang berdekatan dengan Tuhan Yang Maha Kasih, kesadaran dirinya selalu dipenuhi kekuasaan Tuhan, bahkan setiap detak jantung menyebut Nama. Tuhan dengan penuh
kepasrahan, penuh penyerahan, tunduk dan taat akan,
segala kehendakNya!


Lee Cin melamun, tenggelam ke dalam lamunannya yang
dipenuhi bayangan Tin Han. Tiba-tiba matanya terbelalak karena ia seperti melihat bayangan Tin Han berkelebat jauh di depan.

Yu
"Han-ko......... !" Lee Cin melompat dan mengejar. Akan tetapi setelah agak dekat, keningnya berkerut, hatinya tak senang bahkan timbul kemarahannya yang hebat ketika ia mengenal bahwa pemuda yang dikejarnya itu sama sekali bukan Tin Han, melainkan Ouw Kwan Lok!


Kemarahannya membuat mukanya berubah merah dan matanya menyinarkan api. Gerakan kedua kakinya dipercepat. "Ouw Kwan Lok, manusia jahanam. 


Engkau tidak akan dapat lari dariku!" teriaknya dan ia sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini ia tentu akan dapat membunuh orang yang amat keji itu. 

Akan tetapi Lee Cin juga teringat betapa licik dan curangnya pemuda itu, maka ia lalu
mencabut pedang An coa-kiam dan melakukan pengejaran dengan hati-hati dan waspada sekali.


Pemuda itu memang Ouw Kwa Lok! Kwan Lok berlari cepat ketika melihat Lee Cin mengejarnya dan dia memasuki hutan di depan yang menyambut padang rumput yang tebal itu. 


Lee Cin terus mengejar memasuki hutan itu. Akhirnya ia melihat
Ouw Kwan Lok berdiri menantinya sambil memegang sebatang pedang terhunus. 


Ketika Lee Cin tiba dalam jarak lima meter, tangan kirinya bergerak berulang-ulang dan sinar sinar terang menyambar ke arah Lee Cin.
Itulah pisau-pisau terbang yang amat berbahaya dari pemuda itu. Namun, Lee Cin sudah siap siaga. Ia mengelak dengan cepat sambil memutar pedangnya dan pisau yang tidak terelakkan ditangkis pedangnya sehingga runtuh.

Setelah pisau-pisau itu habis, Lee Cin meloncat ke depan.
Ouw Kwan Lok lari lagi dan menyelinap ke balik sebatang pohon besar.

"Jahanam busuk, hendak lari ke mana engkau?" Lee Cin berseru dan mengejar. Akan tetapi ketika tiba di bawah pohon, tiba-tiba saja kakinya sudah terjerat dan tali yang menjerat kaki kanannya itu ditarik ke atas oleh Kwan Lok dari balik pohon. 


Dengan sendirinya tubuh Lee Cin
tergantung pada sebelah kakinya yang terjerat. Akan tetapi, karena ia sudah siap siaga terhadap jebakan pemuda itu, Lee Cin tidak menjadi gugup. 


Sekali pedangnya berkelebat, ia telah membikin putus tali yang menjerat kakinya dan tubuhnya meluncur ke bawah kembali. Ia berjungkir balik dua kali dan dapat hinggap di atas kedua kakinya di tanah.

Akan tetapi pemuda yang memasang jerat itu sudah lari lagi.
Lee Cin mengejar sekuat tenaga dan akhirnya ia dapat menyusul Ouw Kwan Lok.


"Jahanam, bersiaplah untuk mampus!" teriak Lee Cin dan pedangnya menyambar ganas ke arah leher Kwan Lok dari belakang.
Kwan Lok membalikkan tubuhnya dan pedangnya menangkis dengan kuatnya.


"Trangggg ..... !" Bunga api berpijar dan Ang-coa-kiam di tangan Lee Cin tertangkis. Keduanya terhuyung ke belakang.


Memang tenaga sin-kang Kwan Lok juga sudah kuat sekali sehingga dia mampu menandingi tenaga sin-kang gadis itu.


Kwan Lok membalas serangan gadis itu dengan dahsyat pula. Dia menganggap Lee Cin musuh guru-gurunya yang harus dibunuhnya. 


Sesungguhnya dia tergila-gila oleh kecantikan Lee Cin dan hatinya ingin sekali mempermainkan gadis
itu lebih dulu sampai puas, baru dia akan membunuhnya untuk membalaskan dendam kedua orang
gurunya. 


Tadi dia sudah merasa girang berhasil menjerat kaki Lee Cin. Sayang, sebelum dia mampu menangkapnya, gadis itu telah dapat membikin putus tali jeratan itu. 

Kini gadis itu menyerangnya dengan mati- matian, maka Kwan 
Lok juga membalas dan keduanya sudah bertanding pedang dengan seru.


"Haiiitt......... ! Singg.....!" Pedang di tangan Lee Cin menusuk dengan gerakan yang luar biasa cepat dan
kuatnya. Serangan ini dilakukan Lee Cin dengan tubuh melayang seperti terbang. 


Itulah serangan pedang dengan jurus Naga-terbang- menembus- awan yang luar biasa cepatnya. Melihat serangan dahsyat ini, Kwan Lok terkejut dan dia pun mengelebatkan pedangnya menangkis dari samping. 

"Wuuutt.... cringgg ..... !" Kembali bunga api berpijar dan Kwan Lok merasa betapa tangannya tergetar hebat. Setelah menangkis, Kwan Lok miringkan tubuhnya ke kiri dan
tangan kirinya meluncur ke depan untuk menangkap tangan Lee Cin yang memegang pedang. 


Dia menggunakan ilmu gulat dan silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Sekali tubuh seorang lawan tertangkap tangannya, tentu akan disusul dengan bantingan yang cepat dan mengejutkan. 

Dan Lee Cin tidak dapat mengelak lagi. Lengan kanannya telah tertangkap tangan kirinya lalu bergerak, sambil kakinya menggeser sehingga pundak kirinya berada di depan, Ia menotok dengan ilmu totok It-yang-ci yang amat ampuh.

"Wuuuttt.... plakk!" Kwan Lok terpaksa melepaskan cengkeramannya dan menggerakkan lengan kanannya ke samping untuk menangkis tangan yang menotok itu.
Keduanya melangkah mundur, kemudian maju lagi untuk

menyerang dengan lebih hebat.
Kedua orang itu bertanding dengan amat serunya,masing- masing mengeluarkan semua kepandaiannya dan
mengerahkan seluruh tenaganya. 


Akan tetapi setelah Lee Cin mulai menggunakan tangan kirinya untuk menyelingi serangan pedangnya dengan totokan-totokan, mulailah Ouw Kwan Lok terdesak hebat. 

Pemuda ini cukup mengerti akan kehebatan totokan tangan kiri dengan satu jari itu. Totokan itu mengeluarkan bunyi seperti pedang di tusukkan, dan anginnya menyambar demikian dahsyat. Maka dia tidak berani menerima totokan itu, melainkan mengelak atau menangkis dengan pedangnya.

Pertandingan antara dua orang muda ini sudah berlangsung seratus jurus lebih. Biarpun dia amat terdesak dan main mundur terus, akan tetapi Kwan Lok masih dapat mempertahankan diri.

Dia mulai merasa gentar. Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan

pertandingan itu, akhirnya dia akan kalah. Akan tetapi untuk melarikan diri tidak ada kesempatan lagi karena sinar pedang kemerahan yang bergulung-gulung itu menutup semua jalan keluarnya. 

Tidak ada lain jalan baginya kecuali melawan terus.
Lee Cin juga merasa penasaran. Ia sudah mendesak,menguasai pertandingan itu, lebih banyak menyerang, akan tapi belum juga ia mampu merobohkan lawan yang ulet dan kuat ini. 


Tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Ketika itu, Kwan Lok menggerakkan pedangnya membacok ke arah lehernya. Lee Cin merendahkan diri mengelak akan tetapi sambil melangkah maju dengan kaki kanannya dan
pedangnya menyambar ke arah leher lawan. 


Gerakannya amat cepat dan tidak mungkin dapat dieelakkan lagi oleh Kwan Lok. Pemuda ini terkejut sekali dan terpaksa untuk menyelamatkan diri dari maut, tangan kirinya menangkis dari samping. Lengannya bertemu dengan pedang Ang-coa-kiam.

"Singg.... crokk....!!" Lengan kiri Kwan Lok sebatas sikut putus ketika bertemu dengan Ang-coa-kiam.


"Aduhhhh. ..... !!" Kwan Lok menjerit dan melemparkan tubuh ke belakang, kemudian dia melarikan diri dengan cepat.

Lee Cin memandang kepada tangan yang buntung dan
menggeletak di atas tanah itu, kemudian memandang
pedangnya, lalu mengangkat muka memandang ke arah
Kwan Lok yang melarikan diri. 


Ia hendak mengejar, akan tetapi kembali melihat tangan itu dan kakinya tidak bergerak. Pemuda itu memang jahat dan keji, pikirnya, akan tetapi kini telah mendapatkan pelajaran hebat, telah kehilangan sebelah lengannya. 

Ini sudah merupakan hajaran yang cukup keras yang mudah-mudahan akan membuat dia sadar dan jera melakukan kejahatan lagi.
Lee Cin sekali lagi
memandang kepada lengan itu, kemudian memutar tubuhnya dan
meninggalkan tempat itu.

Harapannya untuk mene-
mukan Tin Han di situ
sudah hilang. Pemuda itu
telah lenyap ke mana,
dan memang tidak ada
sedikitpun kemungkinan
seseorang akan dapat hidup setelah tiba di tebing securam itu. 


Hatinya terasa berat, akan tetapi ia tidak menangis lagi. Ia meng-
gigit bibirnya menahan
kepedihan hati. Ayahnya
pernah menasihatinya untuk selain siap menghadapi peristiwa apapun yang menimpa dirinya, untuk menghadapi kenyataan yang betapa pahitpun dengan tabah dan tanpa mengeluh.


Hidup adalah tantangan, demikian ayahnya menasihatinya. Hidup berarti kita dihadapkan kepada seribu 
satu macam tantangan. 

Justeru itulah yang menjadi inti dan penggerak hidupnya. Tantangan dan tantangan datang silih berganti. 

Seorang gagah tidak akan lari dari tantangan itu, melainkan harus menghadapinya dengan gagah, dan harus dapat mengatasi tantangan apapun juga. 

Kini ia menghadapi tantangan yang amat berat, yaitu dengan tewas ataul enyapnya orang yang dicintanya. Ia tidak boleh membiarkan dirinya hanyut oleh duka, tidak boleh menangisi danm eratapi saja. 

Ia harus bangkit kembali untuk melanjutkan perjalanan hidup ini, menghadapi lagi tantangan lain yang mungkin lebih hebat lagi. 

Berdiri tegak dan tegar menghadapi apapun yang menimpa dirinya tanpa menggoyahkan imannya, tetap pasrah dengan penuh penyerahan kepada Tuhan namun tidak pernah patah semangat, tidak pernah tersesat melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, penuh kepercayaan bahwa apa yang terjadi itu tentu mengandung hikmah yang baik, yang belum diketahuinya. 

Memang sudah demikian digariskan dalam jalan hidupnya, harus ia lalui sabar dan ikhlas sehingga ia, tetap memiliki kekuatan untuk menghadapi segala hal baru dalam hidup ini.

Kata ayahnya, segala hal yang menimpa diri kita adalah hasil daripada perbuatan kita sendiri di masa lalu, kita tidak dapat menyingkir dari akibat itu, harus menuai apa yang telah kita tanam sendiri. 

Karena itu, semua perbuatan yang dilakukannya haruslah dianggap sebagai menanam benih, tentu saja harus menanam benih yang baik agar kelak ia akan menuai buah yang baik pula.

Lee Cin teringat kepada ayahnya. Ia kini harus pulang ke Hong-san. Kini sudah tiba waktunya. Bulan lima telah dekat dan pada bulan itu akan diadakan pertemuan besar di Hongsan. 


Pertemuan di antara para tokoh kang-ouw seperti yang dikehendaki oleh para pimpinan Siauw-lim-pai, yang akan diadakan di tempat tinggal ayahnya sebagai beng-cu. 

Dalam pertemuan itulah niat ayahnya untuk mundur sebagai bengcu akan disampaikan kepada semua tokoh dan utusan
partai-partai persilatan di dunia persilatan. 

Lee Cin mulai dengan perjalanannya pulang ke Hong-san, membawa
banyak pengalaman hebat yang lebih mematangkan batinnya. -




          **********


Setelah berpisah dari Lee Cin, Thian Lee lalu kembali ke markas pasukan di Hui-cu. Pasukan itu kini telah dipimpin oleh para perwira yang ditunjuk oleh Thian Lee untuk memimpin pasukan menggantikan Lai-ciangkun yang telah ditangkap karena pengkhianatannya.

Para perwira menyambut

kedatangan Thian Lee dengan
hormat dan kagum. Panglima itu bertindak demikian cepat.


Thian Lee lalu mengajak para perwira untuk berunding dan dia mengatur siasat untuk mengerahkan pasukan ke timur dan menyerang pasukan Phoa-ciang kun yang telah
bersekutu dengan para tokoh sesat dunia kang-ouw, dan juga bersekutu dengan para bajak laut Jepang.

Seluruh pasukan di Hui-cu dikumpulkan dan ternyata
kekuatan mereka ada tujuh ribu limaratus orang. Thian Lee membagi pasukan ini menjadi tiga barisan dan pada hari itu juga mereka berangkat menuju ke pantai timur. 


Tiga barisan itu setelah tiba di luar markas besar pasukan di pantai, berpencar menjadi tiga. Sebuah barisan mengepung di utara, barisan kedua datang dari barat dan barisan ke tiga mengepung dari selatan.
Mereka membuat perkemahan di tiga tempat 'itu dan Thian Lee lalu mengirim utusan membawa suratnya yang minta agar Phoa-ciangkun menaluk saja dan tidak melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka markasnya akan dihancurkan.

Menerima Surat ini, Phoa-ciangkun menjadi marah dan dia menyuruh penggal kepala utusan itu, kemudian orang-prangnya melemparkan kepala utusan itu keluar pintu
gerbang! 


Thian Lee menjadi marah sekali. Phoa-ciangkun boleh saja tidak mau menyerah, akan tetapi perbuatannya
membunuh utusan itu sudah menyalahi peraturan perang, melanggar kehormatan! Para perwira bawahannya juga
marah dan menyarankan kepada Thian Lee untuk segera menyerang. 


"Nanti dulu, harap kalian jangan dipengaruhi oleh kemarahan. Pihak musuh melakukan hal itu dengan
sengaja, agaknya memancing agar kita marah dan melakukan penyerbuan tanpa perhitungan lagi dan hal ini akan mengakibatkan kerugian kepada kita karena kita
kurang waspada. 


Pula, aku tidak percaya bahwa semua perajurit yang berjaga di pantai ini memiliki niat memberontak. Pasti banyak di antara mereka yang tidak setuju dengan pemberontakan komandan mereka itu. 

Aku akan menyelundup ke dalam markers kota itu dan aku akan menyadarkan anak buah mereka. Kalau sudah banyak yang sadar, tentu tidak akan sukar menghancurkan kekuatan mereka. 

Harap diingat bahwa kekuatan mereka ada sepuluh ribu orang, maka harus dibuat kacau lebih dulu dari dalam."

Kota itu terjaga ketat oleh perajurit perajurit Phoa-ciangkun yang dibantu oleh seregu pasukan bajak laut Jepang. 


Pada sore hari itu, seorang petani yang memakai caping mendorong gerobak penuh ubi memasuki kota. 

Dia dihentikan oleh para penjaga dan diperiksa, akan tetapi karena petani itu tidak memperlihatkan sesuatu yangmencurigakan, seorang petani setengah tua, rambutnya sudah bercampur uban dan kakinya pincang, maka diapun diperkenankan mendorong gerobak itu masuk kota. 

Belum sampai malam, pintu gerbang kota itu sudah ditutup dan lalu-lalang keluar masuk pintu gerbang dilarang.

Petani ubi itu adalah Thian Lee. Dengan mewarnai rambutnya, dia tampak setengah tua dan dengan berjalan pincang dia menjadi seperti seorang petani setengah tua yang tidak berbahaya. Thian Lee benar-benar menjual ubinya. 

Setelah ubinya diborong oleh pedagang hasil bumi dan dibayar, diapun mulai dengan penyelidikannya. Kota itu merupakan benteng yang dijaga ketat. 

Dia sudah mendapat keterangan dari para perwira pembantunya bahwa tadinya Un-ciangkun mengirim belasan orang mata-mata untuk melakukan penyelidikan di kota pemberontak itu. 

Satu di antaranya kini membuka rumah obat di sudut kota. Thian Lee lalu menuju ke toko obat itu yang sudah mulai tutup.

"Maafkan saya, harap layani keperluan saya. Saya hendak membeli obat luka yang mujarab. Saya dengar obat luka yang dijual oleh Cui-sinshe (tuan tabib Cui) amat manjur. Tolonglah saya untuk membeli obat itu."


Seorang pria setengah tua mendekatinya. "Dari mana engkau tahu tentang obat luka buatan Cui-sin-she?"


Thian Lee memandang tajam lalu menjawab lirih, "Dari sahabat Un yang tinggal di Hui-cu."


Mendengar ini, pria itu cepat menarik tangan Thian Lee dan diajak masuk ke dalam rumah. 


Setelah tiba di ruangan dalam, pria itu berkata, "Sayalah orang she Cui. Ada kabar apa dari Un-ciangkun?"
Thian Lee menggeleng kepalanya. "Kabar yang buruk.


Un-ciangkun telah terbunuh orang."
Cui Kang, orang itu, terbelalak dan menjadi pucat wajahnya. Dia adalah seorang kepercayaan Un-ciangkun yang dikirim ke situ sebagai mata-mata.

"Pantas saja tidak ada berita darinya. Dan engkau ini siapakah, sobat" Siapa yang mengutusmu masuk ke sini?"


Thian Lee berterus terang. "Aku adalah Panglima Song Thian Lee dari kota raja. Un-ciangkun di bunuh dan
wakilnya, Lai-ciangkun ikut memberontak. 


Dia sudah kami tawan dan pasukannya telah kami kuasai. Kami yang memimpin pasukan yang kini mengepung kota ini." Agar orang itu percaya, Thian Lee mengambil surat kuasanya.

Melihat ini, Cui Kang segera berlutut dengan sebelah kakinya memberi hormat.
"Saya siap menerima perintah ciang-kun."


"Aku ingin engkau menceritakan tentang para perwira di sini. Siapa saja mereka dan siapa pula di antara mereka yang condong menentang pemberontakan Phoa-ciangkun,
siapa yang mendukung."


Karena sudah lama menjadi mata-mata di situ, dengan mudah Cui Kang lalu menceritakan semua rahasia para perwira di situ, juga tempat tinggal mereka. Setelah mendengar dengan jelas, Thian Lee mengangguk dan berkata, "Terima kasih. 


Keteranganmu cukup jelas. Malam ini aku akan bergerak, dan engkau siapkan segala keperluan kalau-kalau aku ketahuan dan dikejar. Aku akan menyelinap ke sini kalau dikejar dan siapkan tempat
sembunyi."

"Baik, Song-ciangkun!" kata Cui Kang.

Thian Lee mulai melakukan gerakannya ketika malam
tiba. Malam itu gelap, amat menolong pekerjaannya. Dia mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi muka,hanya memperlihatkan sepasang matanya saja. 


Hal ini perlu dia lakukan agar kalau sampai ketahuan, dia akan mudah melarikan diri' dan tidak dikenal mukanya.

Perwira Co adalah seorang perwira yang masih setia kepada kerajaan. Dialah seorang di antara mereka yang ditunjuk oleh Cui Kang sebagai seorang yang diam-diam menentang pemberontakan dan Thian Lee segera menuju ke rumah perwira Co. 


Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melayang naik ke atap rumah dan mengintai kebawah. 

Dilihatnya perwira yang dicarinya duduk seorang diri menghadapi meja sambil menenggak arak. Dia mengenal Co-ciang kun karena Cui Kang sudah menggambarkan bagaimana orangnya.

Dengan amat hati-hati dia melayang turun ke dalam kamar itu dan sebelum Co-ciangkun yang terkejut sekali sempat berteriak, Thian Lee sudah menotoknya sehingga,

perwira itu menjadi lemas dan tidak mampu bergerak maupun bersuara. 

Thian Lee mendudukannya kembali keatas kursinya, lalu dia mengeluarkan surat kuasa,  memperlihatkannya kepada Co-ciangkun sambil berbisik,
"Aku adalah Panglima Song Thian Lee yang memimpin pasukan yang kini mengepung kota ini."

Setelah berkata demikian, dia membebaskan totokannya.
Co-ciangkun lalu memberi hormat kepadanya. "Aih, Song thai-ciangkun, saya sedang bingung menghadapi keadaan ini. Apa yang harus saya lakukan?"


"Aku mendengar bahwa engkau menentang pemberontakan Phoa-ciangkun?"
"Tentu saja, akan tetapi apa yang dapat saya lakukan"


Banyak perwira mendukungnya dan kalau saya terang-terangan menentang, tentu saya sudah di tawan atau dibunuh." "Dengar baik-baik, aku sedang melakukan gerakan untuk mengacaukan pertahanan di sini. 


Engkau harus memerintahkan anak buah, pasukan yang kau pimpin,
untuk tidak melakukan perlawanan kalau perang terjadi, membawa pasukanmu keluar dari benteng dan pura-pura menerjang musuh, akan tetapi sebetulnya lari menyeberang.

Sebagai tanda, suruh beberapa orang membawa bendera kuning. Kalau melihat bendera itu, pasukan kami tidak akan menyerang dan akan menerima pasukan dengan baik.
Mengertikah engkau, Co-ciangkun" Dengan cara ini, engkau dan pasukanmu tidak akan tersangkut pemberontakan dan engkau tidak akan mendapat hukuman."

Co-ciangkun memberi hormat dan berulangkali menyatakan setuju dan mengerti. 


Setelah merasa yakin bahwa perintahnya akan ditaati, Thian Lee lalu pergi dari situ melalui atap seperti kedatangannya dan dia lalu mendatangi para perwira lain yang oleh Cui Kang ditunjuk sebagai perwira yang menentang pemberontakan. 

Seperti cara tadi, diapun dapat mempengaruhi para perwira itu untuk menyeberang di waktu ada pertempuran. Seluruhnya ada limabelas orang perwira yang sudah menyatakan sanggup dan taat.
Lewat tengah malam, Thian Lee menuju ke sebuah rumah di mana tinggal perwira yang membantu gerakan pemberontakan Phoa-ciangkun. 

Seperti yang sudah-sudah, dia memasuki rumah itu, langsung menuju ke kamar tidur perwira itu, menotok isterinya dan menyeret perwira itu turun dari pembaringan. 

Sebelum perwira itu sempat berteriak, dia menotoknya sehingga perwira itu terkulai lemas tidak mampu bergerak atau berteriak lagi.
"Manusia tidak mengenal budi," Thian Lee memaki.
"Engkau sudah memperoleh kedudukan yang baik, akan tetapi masih berkhianat dan mendukung pemberontakan Phoa-ciangkun. 


Karena itu engkau layak dihukum!" Setelah berkata demikian, Thian Lee lalu memukul dada perwira itu, tidak cukup kuat sehingga tidak mematikan, akan tetapi akan membuat perwira itu menderita luka berat yang baru akan pulih setelah beristirahat sedikitnya sebulan!

Demikianlah, Thian Lee mendatangi tidak kurang dari duapuluh perwira yang dipukulnya seperti itu. Ketika hendak memasuki rumah besar Phoa-ciangkun, dia melihat 
penjagaan yang teramat ketat sehingga dia tidak mau
membahayakan diri sendiri dan menganggap perbuatannya telah cukup untuk mengacaukan pertahanan benteng kota itu.

Pada keesokan paginya, petani yang kemarin sore memasuki pintu gerbang sudah keluar lagi mendorong gerobaknya yang sudah kosong. 

Kini pintu gerbang dijaga lebih ketat lagi dan orang yang sedikit saja mencurigakan akan ditahan atau tidak boleh keluar dari kola. Dan pada hari itu, mulailah larangan memasuki pintu gerbang kota.

Setelah tiba kembali di pasukannya, Thian Lee lalu mengatur serangan. Dia mengumpulkan para pembantunya dan menceritakan apa yang telah dilakukannya malam tadi.
Para perwira itu merasa kagum sekali.


"Jangan lupa. Kalau ada pasukan membawa bendera kuning keluar dari pintu gerbang benteng, jangan serang, melainkan terimalah mereka karena mereka itu adalah pasukan yang dipimpin perwira-perwira yang masih setia dan yang menyeberang kepada kita. 


Juga kalau keadaan musuh sudah terdesak dan terjepit, berlakulah murah kepada perajurit musuh. Yang menaluk harus diterima dengan baik dan jangan dibunuh."

Demikianlah, terompet dan tambur dibunyikan riuh rendah ketika tiga pasukan kerajaan itu maju bersama dari tiga jurusan. Dari dalam pintu gerbang keluar pasukan Panglima Phoa yang menyambut serangan itu. 


Akan tetapi terjadi kekacauan pada pasukan itu. Ketika musuh menyatakan perang dengan tambur dan terompet mereka dan Phoa ciangkun mengumpulkan perwira-perwiranya, ada duapuluh orang perwira yang tidak mampu hadir karena mereka menderita sakit berat! 

Dan dia tidak tahu bahwa ada belasan orang perwira yang hadir adalah perwira-perwira yang
menentangnya dan yang siap melakukan penyeberangan dengan pasukan mereka kepada pasukan
dari Hui-cu. 


Dengan agak bingung Phoa-ciangkun memerintahkan para perwira memimpin pasukan masing-masing untuk menyerbu keluar, dibantu oleh pasukan gerombolan bajak laut Jepang.

Ketika Thian Lee melihat bahwa di antara pasukan pemberontak itu terdapat seorang pemuda yang mengamuk bagaikan naga marah, dia terkejut sekali dan cepat diapun berlari menghampiri. Ternyata pemuda itu adalah musuhnya, yaitu Siang Koan Tek!


"Jahanam Siang Koan Tek, akulah lawanmu!" bentak Thian Lee.
Melihat pemuda berpakaian panglima ini, Siang Koan Tek segera mengenalnya. 


Karena gentar, dia lalu meneriaki beberapa orang Jepang untuk membantunya dan segera Thian Lee dikeroyok oleh Siang Koan Tek dan lima orang bajak
Jepang yang menggunakan samurai. 


Terjadi perkelahian yang seru sekali.
Sementara itu, para perwira yang memimpin pasukan yang membawa bendera kuning telah diterima oleh pasukan dari Hui-cu, dan mereka kini membalik, membantu pasukan kerajaan melawan pasukan pemberontak. Pertempuran
menjadi kacau balau.

Setelah banyak pasukan menyeberang sekarang jumlah
mereka berimbang banyaknya. Akan tetapi pasukan pemberontak kehilangan semangat karena mereka kehilangan pimpinan perwira-perwira atasan mereka yang tidak dapat ikut ber tempur karena menderita sakit berat.


Yang memimpin mereka adalah perwira perwira muda yang kurang pengalaman, maka mereka bertempur dengan membabi buta dan ngawur.


Perkelahian antara Thian Lee dan Siang Koan Tek yang dibantu lima orang Jepang masih berlangsung seru. Lima orang Jepang itu cukup lihai sehingga Thian Lee diserang 
dari segala jurusan. 


Akan tetapi, Thian Lee dengan pedang Jit-goat-kiam mengamuk. Pedang nya berubah menjadi gulungan sinar terang dan setiap kali senjatanya bertemu dengan senjata lawan, tentu lawan itu terhuyung dan merasa tangannya sakit, tanda bahwa dalam hal tenaga dalam, tak seorangpun di antara mereka mampu menandingi Thian Lee. 

Hal ini tidak mengherankan karena Thian Lee telah menguasai Thian-te Sin-kang yang amat kuat.
Setelah memutar pedangnya lebih cepat lagi, akhirnya Thian Lee dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya. 


Dua orang jepang itu terpelanting dengan luka pada leher dan paha mereka sehingga mereka tidak mampu untuk bangkit kembali.
Siang Koan Tek menjadi marah. 

Dengan Kui-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Setan) dia menyerang Thian Lee.

Pada saat itu, pedang Thian Lee sedang menahan dua
samurai dan begitu samurai itu terpental, sebatang samurai lain telah menyapu kakinya. 


Thian Lee melompat ke atas dan pada saat itulah pedang Siang Koan Tek menyerangnya dengan sebuah tusukan ke arah perut. Tubuh Thian Lee masih berada di udara ketika serangan tiba. 

Dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang pada tangan kirinya, menyambut tusukan itu dengan tangan kiri dan mencengkeram pedang dan pada saat Siang Koan Tek terkejut, Thian Lee menggerakkan pedangnya ke depan.
"Singgg.........


cappp.......!" Pedangnya menusuk dada Siang Koan Tek. Pemuda itu berseru keras dan roboh terjengkang, darah bercucuran dari dada yang didekapnya dengan kedua tangan. 


Pedangnya sendiri terlempar entah ke mana.
Tiga orang Jepang menjadi gentar. Mereka masih melawan, akan tetapi dalam waktu singkat saja merekapun roboh oleh pedang di tangan Thian Lee.

Thian Lee mencari-cari dengan matanya. Kalau ayah pemuda yang baru saja roboh itu maju, yaitu Siang Koan Bhok, tidak akan ada di antara para perwira yang akan kuat melawannya. Harus dia sendiri yang maju. 


Akan tetapi ternyata tidak mendapatkan datuk timur itu.
Agaknya Siang Koan Bhok tidak mau terlibat dalam pemberontakan, hanya puteranya yang berambisi besar itu yang langsung terlibat.

Pertempuran berlangsung beberapa jam saja. Setelah terdesak hebat dan para perwira kerajaan meneriakkan agar mereka menyerah, banyak di antara perajurit pemberontakan yang melempar senjata dan berlutut menyerah. 

Phoa-ciangkun masih mengamuk, akan tetapi akhirnya dia tewas di bawah hujan senjata para perwira.
Pertempuran itupun berhenti dan banyak sekali perajurit pemberontak yang menaluk.


Selesailah penumpasan pemberontakan itu. Orang-orang Jepang yang tidak terbunuh dalam pertempuran itu,melarikan diri dengan perahu-perahu mereka, kembali ke lautan di mana mereka menjadi bajak laut. 


Orang-orang kang-ouw yang membantu gerakan pemberontakan itupun banyak yang melarikan diri setelah melihat pihaknya menderita kekalahan. 

Thian Lee menguasai kota perbentengan di pantai itu dan meninggalkan lima ribu orang perajurit dengan beberapa orang perwira untuk menguasai kota dan mengatur kembali kehidupan di situ.

Sementara menanti keputusan dari kota raja yang akan mengirim seorang panglima baru.
Thian Lee lalu kembali dengan pasukannya ke Hui-cu. Di sini diapun menyerahkan semua pasukan ke tangan para perwira untuk menjanjikan akan mengirimkan seorang panglima baru dari kota raja. 


Setelah semua urusan selesai berangkatlah dia pulang ke kota raja, membawa berita gembira bahwa pemberontakan telah berhasil dipadamkan di pantai timur dan para pimpinan pemberontak dapat
ditawan. 


Tentu saja Kaisar menyambut kembalinya dengan penuh
kegembiraan dan memuji keberhasilan panglima besar itu.

Akan tetapi yang lebih bahagia lagi adalah Cin Lan yang menyambut suaminya dengan rasa bangga dan syukur.

Banyak yang diceritakan Thian Lee kepada isterinya, juga tentang
Lee Cin yang dijumpainya dan yang telah membantunya dalam membasmi kawanan pemberontak.
"Lee Cin" Kenapa tidak engkau ajak ia singgah di sini.
Aku sudah rindu kepadanya!" kata Cin Lan gembira.


"Ia sedang berada dalam kebimbangan. Bayangkan saja, ayahnya telah diserang dan dilukai oleh seorang yang berkedok hitam. Ia mencari Si Kedok Hitam sampai ke Hui-cu, akan tetapi di sana beberapa kali ia terancam bahaya maut dan siapa yang menolongnya" Bukan lain adalah Si Kedok Hitam itu sendiri! 


Tentu saja ia menjadi bimbang.
Aku sendiri pernah ditolong Si Kedok Hitam dan ilmu silatnya memang hebat. Akan tetapi dia masih terselubung rahasia, aku dan Lee Cin tidak tahu siapa dia sebenarnya."







Thian Lee lalu bercerita tentang Keluarga Cia yang terlibat dalam pemberontakan.

"Tentu engkau sudah menangkap semua Keluarga
Cia......... bukan?"


Thian Lee menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak. Aku sengaja membiarkan mereka dapat meloloskan diri. Mereka adalah pendekar-pendekar patriot, bukan orang jahat.


Mereka hanya terpedaya oleh Panglima Phoa dan orang-
orang Jepang. Aku mengharap mereka akan menyadari kesalahan mereka, berjuang bersama-sama orang Jepang dan panglima yang berkhianat. 


Hal ini juga diminta oleh Lee Cin kepadaku. Keluarga itu bersikap baik kepadanya terutama dua orang mudanya yang agaknya jatuh cintapada Lee Cin. Kuharap saja ia akan menemukan jodohnya yang baik dan tepat."

"Mudah- mudahan saja, akupun mengharapkan demikian," kata Cin Lan dan ia teringat betapa dulu Lee Cin mencinta suaminya akan tetapi gadis itu mundur dan mengalah ketika mengetahui bahwa Thian Lee mencintanya.


          **********


Pemandangan di luar kota benteng di pantai timur itu sungguh mengerikan. Perang baru saja berhenti dan tempat itu penuh dengan manusia yang rebah malang melintang dan berserakan.

Ada yang sudah menjadi mayat, ada yang masih mengerang kesakitan karena luka parah. Banjir darah di mana-mana. Kalau tadi di waktu bertempur, mereka merupakan orang-orang yang dipenuhi nafsu membunuh, kini mereka menggeletak tidak berdaya dan suara yang terdengar hanyalah ratap tangis kesakitan. 

Pasukan yang bertugas membersihkan tempat belum sempat bekerja, dan pasukan yang mendapat kemenangan sudah memasuki kota perbentengan.

Di antara mayat-mayat yang berserakan itu, tiba-tiba terdapat seorang yang berjalan ke sana sini memandangi mayat-mayat itu, seperti sedang mencari sesuatu. Dia membalik-balikkan mayat yang telungkup untuk melihat wajah mayat itu. 


Dia seorang kakek berusia hampir enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah, membawa sebatang dayung baja. 

Orang itu bukan lain adalah Siang Koan Bhok, datuk timur yang telah mendengar adanya pertempuran di tempat itu. Karena putera tunggalnya, Siang Koan Tek terlibat dalam pertempuran itu, hatinya
merasa khawatir sekali dan kini setelah pertempuran selesai, dia mencari-cari puteranya di antara mereka yang tewas atau terluka.

Setelah mencari-cari beberapa Iamanya, akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Dia melihat puteranya, Siang Koan Tek, rebah telentang dengan mata terbuka, terbelalak dan muka membayangkan kenyerian hebat, telah tewas. 


Tubuhnya bersimbah darah dan dadanya terluka.
Sejenak dia hanya berdiri seperti berubah menjadi patung. Matanya terbelalak memandang mayat itu, seperti tidak percaya. 


Akhirnya dia menghela napas, menelan kembali rintihan yang keluar dari hatinya.

"Siang Koan Tek ..... !" Bibirnya bergerak lemah dan dia lalu membungkuk, mengangkat mayat itu dan dipondongnya mayat itu. 


Wajahnya penuh kerut merut, sinar matanya seperti api hampir padam, dan dia melangkah di antara mayat-mayat itu, pergi meninggalkan tempat itu sambil memondong mayat puteranya.

Di atas sebuah bukit yang hijau, Siang Koan Bhok mengubur jenazah puteranya. Penguburan yang sunyi dan sederhana. Tidak dihadiri seorangpun, tidak ada yang berkabung, kecuali sang ayah yang mengerjakan semua penggalian dan mengubur jenazah puteranya dengan hati yang seperti ditusuk- tusuk rasanya.


Tak lama kemudian penguburan selesai dan kakek itu duduk bersila di depan kuburan puteranya, kemudian perlahan-lahan dia memukul- mukulkan dayungnya ke atas gundukan tanah dan terdengar suaranya yang parau. 


"Siang Koan Tek, aku berjanji akan membawa kepala Song Thian Lee untuk kupakai bersembahyang di depan kuburmu ini.

Tunggu saja, anakku, dendammu akan terbalas!"
Janji itu diucapkan dengan suara serak dan perlahan, akan tetapi terdengar sangat menyeramkan. 


Kemudian perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menyeret dayungnya, pergi dari puncak bukit itu seperti seorang yang kehabisan tenaga dan kehilangan semangat. Yang memenuhi hati dan akal pikirannya hanya dendam dan kedukaan.

Bagi orang yang tidak mau menghadapi kenyataan hidup, tidak mau waspada mengamati segala perbuatan diri sendiri, maka segala peristiwa yang menimpa dirinya tentu akan mendatangkan guncangan hebat. 

Siangkoan Bhok menerima kenyataan ini sebagai sesuatu yang amat pahit, yangm enghancurkan hatinya, sesuatu yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain sehingga timbullah dendam yangs etinggi langit sedalam lautan. 

Dia lupa bahwa semua itu bersumber dari kelakuannya sendiri. Kalau saja dia menjadi seorang ayah yang baik, yang mendidik puteranya itu menjadi seorang yang baik, belum tentu Siang Koan Tek akan mengalami kematian demikian menyedihkan. 

Dia tidak menyadari bahwa puteranya telah menjadi seorang pemuda yang jahat sekali, dan dia seperti buta, tidak melihat kejahatan puteranya. 

Inilah akibatnya kalau orang tidak pernah mawas diri, selalu menganggap dirinya baik, bahkan perbuatan yang jahat dan merugikan orangpun dianggapnya baik. Maka kalau sampai ada mala petaka terjadi atas dirinya, dia menganggap hal itu tidak adil dan menimbulkan dendam kepada orang lain.

Kakek itu -melangkah terus dan hanya satu tujuan yang terkandung di dalam hati, yaitu membalas dendam kematian anaknya kepada Song Thian Lee!


          **********


Pada suatu sore, Song Thian Lee sedang duduk istirahat di dalam taman di belakang gedungnya bersama Tang Cin Lan, isterinya. Mereka berdua duduk sambil mengobrol dan Cin Lan mengajak Hong San putera mereka, bermain-main.


Tidak ada seorangpun pelayan di situ karena ia ingin menyendiri menikmati udara sore yang sejuk. 


Bunga-bunga di taman itu sedang berkembang dan suasananya tenteram dan menyejukkan hati. Akan tetapi, agaknya ada sesuatu yang mengganggu hati Thian Lee di saat itu. 

Wajahnya yang tampan itu tidak begitu cerah. Sedikit perubahan ini sudah cukup bagi Cin Lan untuk dapat menduga bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya. Maka ia lalu memanggil seorang pengasuh, menyuruh pengasuh membawa masuk Hong San sehingga ia kini berdua saja dengan suaminya di dalam taman itu.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Apakah itu"
Bolehkah aku ikut memikirkannya?" tanya Cin Lan sambil duduk di dekat suaminya.


Thian Lee menghela napas dan memandang wajah isterinya dengan kagum. Isterinya ternyata amat waspada, dapat menjenguk isi hatinya walaupun dia tidak menyatakan sesuatu. Diapun tidak pernah menyimpan suatu rahasia dari isterinya, maka dia menjawab dengan sejujurnya.


"Engkau benar. Ada sesuatu yang amat menggangguku, sejak aku kembali dari timur menumpas pemberontakan.


Aku melihat kenyataan bahwa kedudukanku yang sekarang ini sesungguhnya tidak tepat bagiku."


"Eh, kenapa begitu?" tanya Ci Lan sambil menatap wajah suaminya dengan tajam.


"Hal itu kusadari ketika aku berhadapan dengan Keluarga Cia, Lan-moi. Mereka adalah patriot-patriot yang ingin membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah, dan aku harus memusuhi dan membasmi orang-orang seperti itu. 


Hal ini sungguh menyedihkan hatiku.
Sudah berulang kali aku dihadapkan dengan orang-orang yang berpendirian seperti itu. Mula- mula ketika Thian Tok menemuiku dan memaki aku sebagi antek penjajah.

Kemudian Keluarga Cia itu. Sungguh menyakitkan hati sekali, Lan-moi. Dan biarpun pada hakekatnya aku bukan membantu pemerintah Mancu untuk menindas rakyat,
namun siapakah yang percaya bahwa aku tidak melakukan penindasan terhadap para patriot" 


Aku menjadi serba salah, Lan-moi. Aku menghambakan diri kepada Kaisar, menerima anugerah pangkat dari Kaisar karena aku yakin akan
kebijaksanaan Kaisar. 


Akan tetapi harus diakui bahwa tidak semua pembesar Mancu bijaksana seperti Kaisar. Di antara mereka banyak yang melakukan penindasan sebagai penguasa-penguasa penjajah Mancu. 

Dengan sendirinya aku terbawa-bawa. Maka, aku sungguh melihat kenyataan bahwa kedudukanku sebagai panglima besar ini sungguh tidak tepat bagiku." Thian Lee menghela napas panjang mengakhiri kata- katanya.

Cin Lan memandang suaminya dengan khawatir. "Lalu, apa rencanamu, Lee-ko?"
"Tidak ada jalan lain, Lan-moi. Aku harus mengundurkan diri dari jabatanku ini. Aku akan menghadap Kaisar dan akan berkata terus terang apa yang menyebabkan aku mengundurkan diri. 


Kaisar amat bijaksana dan dia dapat menyelami perasaan dan kehidupan para pendekar. Aku akan mengabdi kepada rakyat sebagai seorang pendekar saja, bukan melalui kedudukanku yang membuat aku
bertentangan dengan para patriot."

"Aku menyetujui saja pendapat dan pendirianmu, Lee-ko.
Akan tetapi ingatlah bahwa aku sendiri puteri seorang pangeran Mancu. Bagaimana aku harus bicara kepada ayahku tentang pengunduran dirimu ini?"


Thian Lee memandang kepada isterinya dengan penuh kasih. "Aku tidak menyalahkan engkau sebagai seorang puteri pangeran, Lan-moi, karena biarpun ayahmu seorang pangeran, namun beliau seperti juga Kaisar, memiliki kebijaksanaan dan tidak mau menindas rakyat jelata. 


Apa lagi engkau hanya puteri tiri pangeran, dan ayah kandungmu adalah seorang pendekar patriot, seperti juga mendiang ayah kandungku."

Keduanya termenung, teringat akan ayah kandung masing-masing. Ayah kandung Thian Lee bernama Song Tek Kwi, seorang tokoh Kun-lun-pai, seorang pendekar dan patriot sejati. 


Demikian pula ayah kandung Cin Lan adalah seorang pendekar dan patriot sejati bernama Bu Cian. Kedua orang pendekar itu tewas di tangan para perajurit kerajaan, mereka tewas sebagai patriot-patriot sejati yang menentang kelaliman pembesar Mancu.

"Akan tetapi, ayah tiriku itu, Pangeran Tang Gi Su, amat bijaksana dan amat baik kepadaku, Lee-ko. Rasanya sukar bagiku untuk menjelaskan pendirianmu kepadanya, aku merasa sungkan sekali."


"Biarlah, kalau begitu kita berdua yang akan menghadap ayahmu, dan biarkan aku yang akan bicara kepadanya."


Tiba-tiba terdengar angin gerakan orang dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek tinggi besar di dalam taman itu.


Thian Lee segera mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Siangkoan Bhok, ayah dari Siangkoan Tek yang tewas dalam pertempuran di pantai timur itu. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri kakek itu yang berdiri tegak, dayung di tangan kanan dan matanya mencorong memandang kepada Thian Lee. 


"Selamat datang, lo-cian-pwe!" kata Thian Lee dengan suara tenang. "Keperluan, apakah yang mendorong lo-cianpwe datang berkunjung?"

Sementara itu, Cin Lan yang juga sudah mengenal kakek itu, bangkit pula berdiri dan siap siaga. Ia tahu betapa lihainya datuk dari timur, majikan Pulau Naga ini. 


Di waktu mudanya sebagai seorang gadis belia, ia pernah mencarikan sian-tho (buah tho dewa) untuk mengobati gurunya, Pek I Lokai yang terlalu parah. Ketika memberi buah itu ke Pulau Ular Emas, ia tersasar ke Pulau Naga dan bertemu dengan Siang Koan Tek dan ibunya yang amat lihai (baca Kisah Sepasang Gelang Kemala).

"Song Thian Lee, bersiaplah engkau untuk mampus. Aku datang untuk membalaskan kematian puteraku, Siang Koan Tek!"


"Lo-cian-pwe, Siangkoan Tek tewas dalam pertempuran karena dia membantu pemberontak yang bersekongkol dengan bajak laut Jepang. Aku tidak sengaja membunuhnya." jawab Thian Lee membela diri.


"Tidak perduli apa alasanmu, yang jelas kematiannya adalah karena engkau dan sekarang engkau harus menebus dengan nyawamu. Kecuali kalau engkau takut melawanku, engkau boleh mengerahkan tenaga bantuan, aku tidak takut!" Thian Lee tersenyum. 


"Bukan watak seorang pendekar untuk menjawab tantangan dengan pengeroyokan. Aku hanya memberitahu kepadamu bahwa puteramu tewas dalam perang dan bukan salahku kalau sampai dia tewas.

Akan tetapi kalau engkau menantangku, aku tidak akan mundur selangkahpun, Tung-hai-ong!" Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur) adalah julukan Siang Koan Bhok.


"Bagus! Aku percaya akan omonganmu. Berjanjilah sekali lagi bahwa engkau akan menghadapi tantanganku tanpa pengeroyokan. Isterimu itupun tidak boleh mengeroyok.


Kalau kemudian dia menantangku bertanding satu lawan satu, akan kulayani."


"Siang Koan Bhok, suamiku sudah berkata tidak akan mengeroyok dan kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka mengandalkan pengeroyokan!" kata Cin Lan yang
percaya penuh akan kemampuan suaminya.


"Kalau begitu, aku menantangmu untuk datang ke hutan buatan di utara kota raja besok pagi setelah matahari muncul, untuk bertanding satu lawan satu! Kalau engkau tidak muncul atau datang dengan bawa teman banyak,berarti engkau seorang pengecut hina!"


          **********



"Jangan khawatir, aku akan datang."
Dan aku akan menemaninya, bukan untuk mengeroyokmu. Aku akan hadir sebagai saksi pertandingan antara kalian." kata Cin Lan mendahului suaminya.


"Baik, kalian berdua boleh datang. Aku akan menunggu di sana!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Bhok meloncat dan pergi dari situ melalui pagar tembok yang berada di belakang taman. 


Melihat betapa kakek itu dapat masuk ke taman tanpa diketahui penjaga, padahal cuaca masih terang, dapat dibayangkan betapa lihainya kakek itu.

Setelah kakek itu pergi, barulah Cin Lan merasa khawatir akan keselamatan suaminya. "Dia lihai sekali, Lee-ko.


Dapatkah engkau menandinginya dan mengalahkannya?"
Thian Lee tersenyum, penuh kepercayaan kepada diri sendiri. 


"Jangan khawatir, Lan- moi, dia tidak akan dapat mengalahkan aku dengan mudah. Yang menguntungkan aku, dia sudah mulai tua dan tentu tenaganya sudah
berkurang. 


Kalau dia menantangku untuk mengukur kepandaian, hal itu tidak menjadi soal, akan tetapi yang membuat aku menyesal adalah bahwa tantangannya itu untuk membalas dendam kematian puteranya. 

Dengan begitu, tentu dia akan bertanding mati- matian dalam usahanya membalas dendam. Aku khawatir satu di antara kami terpaksa harus berkelahi sampai dapat merobohkan lawan, sebuah pertandingan antara mati dan hidup. 

Aku tidak takut, akan tetapi aku tidak ingin membunuhnya."
"Akan tetapi, dia yang menghendaki demikian, maka jangan ragu- ragu, Lee-ko. Keraguanmu akan merupakan kelemahan yang membahayakan dirimu sendiri."

Thian Lee mengangguk dan untuk menghibur hati isterinya agar jangan gelisah memikirkan pertandingan yang akan di adakan besok pagi, dia lalu menggandeng tangan isterinya dan diajak masuk ke dalam rumah.

Malam itu Thian Lee tidur dengan nyenyak, sedikitpun dia tidak merasa khawatir akan apa yang terjadi besok. Dia bukanlah orang yang suka dihantui pikirannya sendiri. 

Apa yang akan datang besok, akan dihadapi besok pula. Dia penuh kepercayaan kepada diri sendiri, bukan berarti meremehkan orang lain, melainkan pendiriannya, dia setiap saat akan berani menghadapi apa saja. 

Yang landasannya adalah 
kebenaran. 
Selama dia bertindak benar, apapun akibat tindakannya itu, akan dihadapi dengan tabah.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Lan sudah bangun. Wanita ini yang lebih gelisah sehingga semalam agak sukar tidurnya. Hatinya penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya.


Pagi-pagi sekali ia telah mempersiapkan makan pagi
untuk suaminya. Setelah Thian Lee terbangun dan mandi, mereka lalu makan pagi. Thian Lee bersikap seperti biasa, akan tetapi Cin Lan amat pendiam pagi itu. 


Kemudian mereka berkemas dan Thian Lee membawa sebatang tongkat yang menjadi senjata utamanya. Dengan tongkat itu ia dapat memainkan Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis) yang amat lihai. 

Kemudian keduanya pergi menunggang kuda menuju ke pintu gerbang utara. Para penjaga di pintu gerbang mengenal panglima mereka, dan biarpun mereka merasa heran melihat panglima mereka pergi berdua dengan isteri tanpa pengawal dan berpakaian sebagai rakyat biasa,
mereka tidak berani bertanya. 


Mereka semua tahu belaka bahwa panglima muda mereka ini adalah seorang pendekar yang sakti, demikian pula isterinya. Mungkin keduanya akan berburu binatang di hutan, pikir mereka.

Suami isteri itu menjalankan kuda mereka perlahan-lahan menuju ke sebuah hutan tak jauh dari pintu gerbang.
Sebuah hutan buatan yang penuh dengan binatang hutan, yang dijadikan tempat berburu binatang oleh Kaisar dan keluarganya. 


Matahari mulai menyinarkan cahayanya yang hangat dan pagi itu cerah dan indah sekali.
Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka yang merupakan padang rumput, mereka melihat Siang Koan Bhok telah berdiri di sana dengan dayung baja di tangannya.


"Bagus, kalian berdua datang! Song Thian Lee, turunlah dan mari kita mulai bertanding!" kata Siang Koan Bhok sambil melintangkan dayung bajanya.


"Lan-moi, jagalah kuda kita," kata Thian Lee dan diapun melompat turun dari atas punggung kudanya. Pedangnya tergantung di punggungnya dan dengan tenang dia melangkah menghampiri Siang Koan Bhok. 


Setelah menjura dengan hormat diapun berkata, suaranya tenang namun tegas. "Siang Koan Lo-cian-pwe, sebelum kita bertanding, untuk terakhir kalinya aku hendak memberitahu kepadamu bahwa pertandingan ini sama sekali tidak kuinginkan. 

Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apapun. Kematian puteramu adalah kematian wajar dari seorang yang tewas dalam perang sehingga tidak perlu disesalkan. Sekali lagi aku minta agar engkau menyadari hal ini dan membatalkan pertandingan yang tiada gunanya ini."

"Song Thian Lee, sejak dahulu engkau selalu menjadi penghalang bagiku! Andaikata puteraku tidak tewas di tanganmu sekalipun, aku tidak pernah merasa menjadi sahabatmu, melainkan sebagai musuh. Sudahlah, jangan banyak cakap lagi. Mari kita mulai !"


Thian Lee menghela napas panjang. Dia percaya bahwa sebagai seorang datuk besar, Siang Koan Bhok merasa pantang untuk bertindak curang, untuk melakukan pengeroyokan. 


Diapun maklum melihat sikap datuk itu bahwa tak mungkin dia membujuknya lagi, maka diapun
melangkah maju dan mencabut pedang Jit-goat-sin-kiam dari punggungnya. 


Menghadapi seorang lawan seperti Siang Koan Bhok dia tidak boleh bersikap ragu atau sungkan lagi.
Lawan ini terlalu tangguh dan dayung bajanya hanya dapat dilawannya dengan pedang saja.


"Kalau begitu baiklah, lo-cian-pwe, aku sudah siap,"katanya tenang. Cin Lan menalikan kendali kedua ekor kuda pada sebatang pohon dan ia menonton pertandingan itu dengan mata tak berkedip dan hati terguncang tegang.


"Lihat serangan!" Bentak Siang Koan Bhok dan mulailah dia menyerang. Dayung bajanya menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepala Thian Lee. Dayung itu kuat dan keras sekali. 


Sebongkah batu besar akan hancur terkena pukulan dayung itu, apa lagi kepala oang!
Thian Lee mengelak ke bawah dan ketika dayung menyambar ke atas kepalanya, diapun membalas dengan

tusukan pedang ke arah paha lawan. Siang Koan Bhok mengangkat kaki dan mundur ke belakang, dayungnya
diayunkan berputar dan kembali menyambar ke arah tubuh Thian Lee.


Pemuda itu menggunakan segala kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan menghindar sambil kadang-kadang membalas dengan pedangnya. Makin lama gerakan mereka menjadi semakin cepat sehingga dayung dan pedang tidak nampak bentuknya lagi, sudah berubah menjadi segulungan besar sinar ke hitaman dan pedang itupun berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung.


Hanya kadang-kadang saja kalau kedua senjata bertemu dan mengeluarkan bunyi nyaring, diketahui bahwa dua gulungan sinar itu adalah senjata-senjata yang ampuh!

Siang Koan Bhok menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dia mainkan dayung baja itu dengan ilmu Swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang) dan dayungnya berubah menjadi segulungan sinar kehitaman yang mengeluarkan angin dahsyat.


"Wirr-wirr-wirr !" Dayung itu menyambar-nyambar dalam jarak agak jauh karena senjata itu merupakan senjata yang panjang.
Akan tetapi Thian Lee adalah seorang lawan yang sakti.


Pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan juga pengalaman bertempur yang banyak. Dia mainkan ilmu pedang
Jitgoat-kiam-sut (Ilmu Pedang Matahari dan Bintang), dan menggunakan kelincahannya untuk menghindari semua sambaran dayung, sementara itu diapun membalas dengan serangan pedangnya yang merupakan
sinar-sinar maut.


Cin Lan yang menonton pertempuran .itu hampir tidak
pernah berkedip. Ia merasa kagum bukan main dan diam-diam ia harus mengakui bahwa kakek itu luar biasa lihainya. Kalau ia yang maju melawannya, tak mungkin ia dapat bertahan lebih dari limapuluh jurus. Akan tetapi ia percaya penuh akan kemampuan suaminya dan iapun
menonton dengan jantung berdegup penuh ketegangan.


Thian Lee juga maklum bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan fawannya. Dayung kakek itu sungguh ampuh dan berbahaya sekali. Dia harus dapat membuat
kakek itu melepaskan dayungnya karena selama kakek itu menggunakan dayung itu sebagai senjata, agaknya akan sukar sekali baginya untuk mendapat kemenangan.


Akan tetapi pandang mata dan pendengaran Thian Lee
awas sekali. Dia melihat betapa wajah kakek itu menjadi agak pucat dan napasnya terasa pendek. Ini menunjukkan bahwa kakek itu telah lelah. 


Inilah satu-satunya kelemahan lawannya. Karena usia tua, maka daya tahan kakek itu menurun banyak. Tenaganya memang masih amat kuat,akan tetapi daya tahannya menurun dan napasnya memburu. 

Thian Lee menggunakan kesempatan itu untuk mendesak Iawannya. Pedangnya menyambar-nyambar
dengan ganas dan ketika kakek itu membalas dengan ayunan ke arah pinggangnya, dia miringkan tubuh,
mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan membacok ke arah tengah-tengah dayung itu.


"Singgg .............. trakk!!" Dia berhasil! Dayung itu patah menjadi dua potong.
Thian Lee meloncat ke belakang. "Sudah cukup, Io-cianpwe. Senjatamu sudah rusak!" katanya untuk menghentikan pertandingan.

Akan tetapi Siang Koan Bhok memandang ke arah dua potong dayung yang tinggal pendek itu di kedua tangannya, lalu membuangnya ke atas tanah sambil meludah. Kemudian dia membentak.
"Hanya dayungku yang patah, aku belum kalah!" katanya dan dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya yang berubah menjadi, kehijauan, tanda bahwa kedua tangan itu mengandung hawa beracun yang amat jahat. 

Itulah ilmu pukulan tangan kosong beracun yang di sebut Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang dahsyat bukan kepalang.
Thian Lee adalah seorang pendekar sejati. 


Melihat lawan sudah kehilangan senjata dan kini maju dengan tangan kosong, diapun segera memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di punggungnya dan menghadapi Siang Koan Bhok dengan tangan kosong pula! 

Dia maklum akan hebat dan berbahayanya Ban-tok-ciang, maka diapun mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang ke dalam kedua lengannya sampai ke ujung-ujung jari untuk melindunginya dari hawa beracun di kedua tangan lawan, kemudian dia memasang kuda-kuda dengan kedua lengan terpentang lebar seperti sayap dan kaki kirinya di angkat seperti seekor burung sedang terbang. 

Dan inilah pembukaan dari ilmu silat tangan kosong yang disebut Silat Elang Terbang (Hui-eng-kun).
Melihat pemuda itu sudah siap, Siang Koan Bhok mulai dengan serangannya dibarengi bentakannya yang dahsyat,
"Hyaaaaatttt!" 


Tubuhnya menerjang maju, kedua tangan memukul bergantian ke depan. Akan tetapi gerakan Thian Lee amat gesit seperti seekor burung, dia mengelak beberapa kali dan membalas dengan sapuan kakinya. 

Datuk itu melompat ke atas untuk 
menghindarkan sapuan dan ketika tubuhnya turun, kedua tangannya sudah menyerang lagi dengan hantaman atau cengkeraman. 

Cengkeraman tangan Siang Koan Bhok bahkan lebih berbahaya dari tamparannya, karena cengkeraman ini mengandung ilmu Jiu-jit-su yang dipelajarinya dari tokoh Jepang. Sekali kena dicengkeram, jangan harap dapat terlepas lagi dan tubuh lawan tentu akan ditekuk dan dibanting!

Namun Thian Lee agaknya maklum akan kelihaian kedua tangan lawan itu. Dia mengandalkan kecepatannya untuk menghindar sambil membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. 


Sekali-kali kedua tangan mereka beradu dan ketika kedua lengan itu bertemu, kedua nya merasa tubuh mereka tergetar hebat. Siang Koan Bhok terkejut melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh ketika beradu lengan dengan nya. 

Hawa sin-kang yang amat kuat melindungi kedua lengan pemuda itu menolak hawa beracun dari Ban-tok-ciang yang dimainkannya.
Kembali Cin Lan harus menyaksikan pertandingan yang mendebarkan hatinya. Ia merasa tegang sekali dan diam-diam ia menyesalkan mengapa suaminya tidak menggunakan pedangnya. 

Ia khawatir sekali melihat betapa kedua tangan kakek itu berwarna kehijauan tanda bahwa kedua tangan itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Akan tetapi nyonya muda itu tidak berkata sesuatu, hanya di dalam hati saja ia berdoa untuk kemenangan suaminya dan menonton dengan kedua mata
jarang berkedip dan hati tegang.

Perkelahian itu memang hebat sekali. Biarpun kini keduanya hanya mengandalkan kedua tangan dan kaki,namun serunya tidak kalah ketika mereka menggunakan senjata tadi. 

Suara pukulan mereka menderu-deru, membawa angin pukulan bersiutan dan ketika kedua lengan bertemu, tanah yang diinjak Cin Lan seakan turut bergetar.
Akan tetapi ternyata bahwa kakek itu kalah dalam daya tahan. 


Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Dari kepalanya mengepul uap dan napasnya mulai memburu.

Melihat ini, Thian Lee merasa girang dan dia ingin mengalahkan kakek itu karena kelemahannya ini. Dia akan bertahan terus sampai kakek ini kehabisan tenaga sendiri dan terpaksa menghentikan perkelahian itu.


Siang Koan Bhok juga merasa betapa tubuhnya sudah lelah, akan tetapi dia melihat lawannya masih segar. Dia tidak akan menang kalau mengandalkan kekuatan daya tahan dan pernapasan. Dia harus mengirim pukulan maut yang tidak akan dielakkan lawan.


Tiba-tiba kakek itu meloncat ke depan dan menekuk kedua lututnya. Dengan tubuh setengah berjongkok itu dia menghantamkan kedua tangan dengan telapak tangan terbuka, mendorong sambil mengerahkan seluruh tenaganya. 


Angin pukulan dahsyat menyambar 
dan mengejutkan hati Thian Lee. Dia tidak dapat lagi mengelak, maka jalan satu-satunya baginya hanya menyambut pula dengan kekerasan. Diapun mendorongkan kedua tangannya yang terbuka sehingga kedua pasang tangan itu bertemu di udara dengan tenaga yang dahsyat.

"Wuuuuuttttt.........
dessss. !!" Pertemuan antara dua
pasang tangan itu dahsyat bukan main. Tubuh Thian Lee terdorong ke belakang walaupun kedua kakinya masih tetap memasang kuda-kuda. 


Dia merasa dadanya agak sesak dan cepat dia mengambil napas panjang.
Akan tetapi Siang Koan Bhok terhuyung ke belakang dan baru berhenti setelah punggungnya menabrak sebatang pohon. Dia bersandar di pohon itu sambil memejamkan kedua matanya, darah segar mengalir dari ujung bibirnya!

Cin Lan cepat menghampiri suaminya yang bernapas dalam sambil memejamkan mata pula. "Lee-ko, engkau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Perlahan-lahan Thian Lee membuka matanya, memandang kepada isterinya, menghela napas, tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak apa-apa, jangan khawatir." Dia lalu memandang ke depan dan melihat Siang Koan Bhok yang bersandar di batang pohon sambil memejamkan matanya. 


Melihat darah segar mengalir di
ujung bibir kakek itu, tahulah Thian Lee bahwa kakek itu telah terluka dalam yang cukup parah.


"Lo-cian-pwe," katanya, "Bersediakah lo-cian-pwe untuk kuobati?" Dia menawarkan. Siang Koan Bhok membuka matanya dan sinar kebencian berkobar di dalam sinar matanya. 


"Aku tidak butuh bantuanmu. Sekarang aku kalah, akan tetapi akan datang saatnya engkau yang kalah melawanku. 

Selamat tinggal!" Dengan terhuyung kakek itu lalu pergi dari situ.
Thian Lee bergerak hendak mengejar, akan tetapi pundaknya disentuh isterinya.


"Kalau dia tidak mau dibantu, itu salahnya sendiri, Lee-ko. Jangan perdulikan orang berkepala batu itu."


Thian Lee menahan langkahnya dan hanya memandang kepada kakek itu yang terus melangkah dengan terhuyung.

Dia menghela napas panjang dan berkata dengan penuh sesal. "Betapa keras hatinya. Aku menyesal sekali tidak dapat menyadarkannya dari kekeliruannya. Dia kelak tentu akan merupakan ancaman bagi kita. 


Akan tetapi apa boleh buat, kita harus siap setiap saat menghadapinya."

Suami isteri itu lalu keluar dari dalam hutan, menunggangi kuda mereka dan kembali memasuki kota raja.


Setelah terjadi peristiwa itu, semakin besar keinginan Thian Lee untuk mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima dan hidup sebagai rakyat biasa bersama anak isterinya.


 "San-ko, sekarang kita akan ke mana?" tanya Ceng Ceng kepada Hui San ketika mereka jalan bersama menuju ke utara.


"Aku akan pergi ke Hong-san, akan tetapi hendak singgah di kota raja dan daerahnya untuk mengundang para tokoh kang-ouw di daerah itu. 


Kemudian dari sana baru aku menuju ke Hong-san untuk menghadiri pertemuan penting itu. Di sana engkau akan dapat bertemu dengan gurumu, Ceng-moi."

"Baik, San-ko, aku akan ikut denganmu. Dan kebetulan sekali, kalau kita menuju ke kota raja, aku minta agar kita singgah dulu sebentar di rumah pamanku di Pao-ting. Aku tidak akan lama tinggal di sana, hanya menjenguk sebentar.

Engkau tidak keberatan, Sanko?"'

"Tentu saja tidak. Pergi ke kota ra ja memang melewati Pao-ting dan pula akupun ingin berkenalan dengan keluarga pamanmu. Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa
mereka adalah keluargamu terdekat?" kata Hui San sambil 
menatap wajah gadis itu dengan sinar mata tajam penuh arti. 


Ceng Ceng mengangguk dan kedua pipinya berubah kemerahan. Kalau seorang pemuda ingin memperkenalkan diri kepada keluarganya, hal itu tentu saja mempunyai arti penting!

Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka memasuki pintu gerbang kota Pao-ting. Mereka menjalankan kuda mereka perlahan dan tepat di pintu gerbang mereka berpapasan dengan dua orang penunggang kuda lain yang keluar dari kota itu. Ceng Ceng memandang kepada mereka dan wajahnya berubah berseri gembira.


"Hwe Li ...... ! Lai-suheng....!"
Dua orang penunggang kuda itu berhenti dan mereka memandang kepada Ceng Ceng. Souw Hwe Li segera mengenalnya dan iapun melompat turun dari atas punggung kudanya.


"Ceng Ceng......... "
Ceng Ceng juga melompat turun dan di lain saat kedua orang gadis itu sudah berangkulan dengan gembira.


"Hwe Li dan suheng, perkenalkan ini sahabatku!" kata Ceng Ceng sambil menunjuk kepada Hui San. "Namanya Thio Hui San. San-ko, inilah saudara misanku Souw Hwe Li dan ini suhengku bernama Lai Siong Ek."


Hui San yang sudah turun dari atas kudanya memberi hormat kepada Hwe Li dan Siong Ek, yang dibalas oleh mereka dengan hormat pula. Ceng Ceng melihat wajah mereka berdua yang sungguh-sungguh seperti sedang tegang, maka ia bertanya.


"Kalian hendak pergi ke manakah?" "Ceng Ceng, ada urusan yang penting sekali telah terjadi dengan keluarga kami." Hwe Li lalu menggandeng Ceng Ceng ke pinggir dan bicara dengan suara perlahan. "Pagi tadi ayahku pergi memenuhi tantangan seseorang di luar kota dan kami
hendak menyusul ke sana untuk kalau perlu membantunya."


"Ah, mengapa dia ditantang" Dan paman Souw Can pergi dengan siapa?" tanya Ceng Ceng sambil mengerutkan alisnya. "Biarlah aku ikut pergi untuk membantunya!"


"Kalau begitu, mari kita menyusul ke sana, Ceng Ceng, dan akan kuceritakan di dalam perjalanan nanti." Hwe Li berkata. Ceng Ceng segera menyetujui dan memandang
kepada Hui San.


"San-ko, kita ikuti mereka sebentar. Siapa tahu pamanku membutuhkan bantuan kita."
Mereka berempat menunggangi kuda mereka keluar dari pintu gerbang dan di sepanjang perjalanan Hwe Li bercerita dengan singkat. 


Kiranya baru beberapa bulan yang lalu, di kota Pao-ting ada orang membuka perusahaan pengawal
barang kiriman baru yang menggunakan nama Sin-liong
Piauw-kiok Perusahaan Pengawal barang Naga Sakti. 


Tentu saja Souw Can tidak memperdulikan, biar ada sepuluh orang membuka piauw-kiok di Pao-ting, dia tidak akan dapat berbuat apapun karena orang bebas untuk membuka perusahaan. 

Akan tetapi, Sin liong Piauw-kiok yang baru itu menggunakan bendera yang sama dengan Kim-liong-piauw-kiok, yaitu bendera yang bergambar naga. 

Hal ini tentu saja dapat dikatakan bahwa perusahaan baru itu sengaja
menggunakan nama yang mirip dan memalsu bendera. 


Souw Can dengan baik-baik telah mendatangi piauw-kiok itu dan menegur mereka, dan minta agar bendera mereka diubah dan tidak sama dengan bendera Kim-liong Piauw kiok. 

Akan tetapi pihak Sin-long Piau kiok tidak menanggapi bahkan mengambi sikap menantang. Sejak itu, kedua piauw-kiok seolah bermusuhan.

"Permusuhan berlarut-larut,"
Hwe Li mengakhiri ceritanya. "Pada suatu hari mereka bahkan berani 
menyerang para piauw-su 

(pengawal) kami yang sedang
mengirim barang ke kota raja. 


Tentu saja ayah menjadi marah karena banyak piauw-su kami terluka. Dia hendak mendamaikan dan mendatangi Sin-liong Piauw-kiok, akan tetapi ayah bahkan ditantang untuk mengadu ilmu pada pagi hari ini di luar kota. 

Pagi tadi ayah pergi seorang diri, melarang kami untuk ikut. Kami merasa tidak enak hati lalu menyusul."

"Hemm, Sin-liong Piauw-kiok bertindak sewenang- wenang dan aku khawatir Paman Souw Can akan terjebak.


Mari kita percepat perjalanan kita," kata Ceng Ceng.
Akhirnya mereka tiba di tempat itu. Karena Souw Can pergi berjalan kaki, maka dia tersusul dan baru saja dia tiba pula di tempat itu. 


Dan di sana sudah menanti Ji Kui, ketua Sin-liong Piauw-kiok yang datang bersama lima orang
kawannya. 


Ji Kui adalah seorang pria berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya merah dan matanya tajam bersinar, berdiri tegak sambil memegang sebatang tombak setinggi tubuhnya. 

Lima orang kawannya rata-rata berwajah bengis dan kejam yang sepatutnya dimiliki orang-orang jahat.

Ketika Souw Can melihat ketua Sin long Piauw-kiok itu berada di situ bersama lima orang kawannya, dia tersenyum mengejek.


"Bagus sekali! Engkau menantang untuk bertanding satu lawan satu, akan tetapi ternyata engkau membawa lima orang teman, orang she Ji!"


Ji Kui tertawa mengejek. "Ha-ha, demikian kecil nyalimu, Souw Can sehingga melihat kawan-kawanku engkau lantas ketakutan. Jangan khawatir, mereka ini hanya menjadi saksi saja atas pertandingan antara kita. 


Majulah dan bersiaplah untuk mampus di ujung tombakku!"
Akan tetapi sebelum Souw Can menjawab, tiba-tiba terdengar seruan dari belakangnya. "Ayah........"

Souw Can menoleh dan melihat puterinya, Souw Hwe Li datang bersama Lai Siong Ek dan diapun mengenal Ceng Ceng yang datang bersama seorang pemuda yang tidak
dikenalnya. 


Setidaknya kedatangan mereka membesarkan hatinya karena kini kawan-kawan Ji Kui itu ada tandingannya kalau mereka membantu Ji Kui. 

Akan tetapi untuk tidak mendatangkan kesan buruk, dia menghardik puterinya dan muridnya atau calon mantunya,
"Hwe Li dan Siong Ek, mau apa kalian ke sini?"


Ceng Ceng sudah melompat turun dari atas kudanya dan menghampiri Souw Can, memberi hormat. "Paman Souw, saya ikut datang untuk mewakili mu menghadapi orang ini!"

"Ha-ha-ha, kiranya engkaupun bukan seorang yang jujur, Souw Can Engkau juga mengundang datang bala bantuan!"
Ji Kui mengejek.


Souw Can sudah maklum akan kepandaian puteri dan muridnya, dan diapun percaya penuh akan kelihaian Ceng Ceng yang menjadi murid datuk pandai, maka hatinya
menjadi besar. Belum lagi diingat pemuda yang datang bersama mereka. 


Pemuda itu tampan dan gagah, agaknya juga bukan seorang yang lemah. Maka diapun berkata dengan suara menantang.

"Ji Kui, sekarang kita bicara seperti seorang laki-laki.
Engkau berenam, aku berlima. Kita boleh saling bertanding dan melihat pihak mana yang lebih banyak menderita kekalahan! Engkau boleh mengajukan kawan-kawanmu itu dan aku mengajukan puteriku, muridku, keponakanku dan sahabatnya itu dalam pertandingan satu lawan satu!"


Ji Kui yang merasa betapa pihaknya lebih banyak, tentu saja menerima tantangan itu. Apa lagi pihak lawannya memiliki pembantu-pembantu dua orang gadis muda dan
dua orang pemuda.

"Baik! Kita bertanding satu lawan satu. Pihak yang kalah harus membubarkan piauw-kioknya dan meninggalkan kota Pao-ting!"


Dia lalu memberi isyarat kepada seorang pembantunya yang berkepala botak untuk maju. Si botak yang tubuhnya tinggi besar ini melangkah ma ju dan mencabut goloknya dengan sikap angkuh.


"Hayo, siapa di antara kalian yang berani melawan aku?"tantangnya. "Ayah, biar aku yang maju lebih dulu!" kata Souw Hwe Li dan ayahnya mengangguk setuju. 


Hwe Li mencabut pedangnya dan melangkah maju, memandang si kepala botak dengan sinar mata "Majulah,aku telah siap melawanmu!" bentak Souw Hwe Li.

Si kepala botak tertawa. "Ha-ha-ha, nona muda. Aku khawatir kalau kulitmu yang halus itu akan menjadi lecet oleh golokku! Biarlah kulawan engkau dengan tangan kosong saja!" 

Dia beranggapan bahwa kalau melawan dengan kedua tangan kosong dia mempunyai banyak kesempatan untuk mencolek dan memegang tubuh sintal gadis cantik itu.

"Botak sombong! Lihat pedang!"
Hwe Li membentak dan pedangnya sudah berkelebat menusuk ke arah dada kepala botak. Si botak mengelak, akan teiapi begitu dia mengelak, pedang Hwe Li sudah mengejarnya dan mengirim serangan bacokan ke arah kepala botaknya. 


Si botak melompat ke sana sini untuk mengelak dan dia terkejut sekali karena ternyata pedang di tangan gadis cantik itu lihai sekali, cepat dan juga mengandung tenaga besar. 

Sebentar saja dia terdesak dan harus berloncatan seperti seekor kera. Karena tidak dapat bertahan lagi dia terpaksa mencabut goloknya dan untuk menutupi rasa malunya, dia berteriak.
"Golokku akan membunuhmu"

Kini mereka bertanding dengan menggunakan senjata.
Dan ternyata permainan golok si botak itu tidak dapat dipandang ringan. Gerakannya juga cepat dan tenaganya besar sehingga goloknya menjadi segulung sinar yang
mendesak sinar pedang Hwe Li. 


Akan tetapi Hwe Li memiliki kecepatan yang lebih dibandingkan lawannya. Dengan mengandalkan kecepatan gerakannya, Hwe Li berhasil membuat si botak terdesak hebat dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis saja, tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang! 

Limapuluh jurus telah lewat dan setelah mendapat' kesempatan yang balk, pedang Hwe Li menyambar ke bawah dan si botak itu berteriak keras sambil berlompat ke belakang dan paha kanannya bercucuran darah karena telah terkena pedang Hwe Li.

Tentu saja dia tidak berani maju lagi dan hanya menundukkan kepala botaknya dengan muka kemerahan
karena malu. "Ji Kui, pihakmu sudah kalah satu kali!" kata Souw Can dengan girang.


Muka Ji Kui yang kemerahan itu menjadi semakin merah saking malu dan marahnya. "Di pihak kami masih ada lima orang!" Dia memberi isyarat dan seorang di antara para pembantunya yang bertubuh pendek gendut melangkah maju. 


Dia tidak membawa senjata dan dengan sikap congkak dia memandang kepada pihak Souw Can sambil tersenyum menyeringai dan berkata, "Aku tantang bertanding dengan tangan kosong. Siapa berani, melawan aku?"

Lai Siong Ek tidak mau kalah oleh tunangannya. "Suhu, biar saya menghadapinya."
Souw Can mengangguk. Dia tahu bahwa biarpun bakatnya tidak begitu baik seperti puterinya, calon mantunya yang juga muridnya ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup baik. "Hati-hati lah," katanya.

Lai Siong Ek adalah putera jaksa Pao-ting, maka selain mengandalkan
ilmu silatnya, diapun mengandalkan kedudukan ayahnya, maka hatinya besar dan penuh keberanian. 


"Majulah, aku telah siap melawanmu!" katanya sambil memasang kuda-kuda.
Si gendut pendek menyeringai. Tadinya dia mengharapkan bahwa gadis satunya lagi yang juga cantik jelita untuk maju melawannya. Kiranya yang maju menandinginya adalah seorang pemuda!


"Bagus! Orang muda, kau jagalah seranganku ini!"bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang berlengan pendek-pendek tetapi yang memiliki tenaga besar itu.
Siong Ek mengelak dan pada pukul berikutnya, dia menangkis. 


"Dukk.....!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Siong Ek mundur dua langkah. Dari sini saja sudah dapat diduga bahwa tenaga pemuda itu masih kalah dibanding lawannya.

Akan tetapi Siong Ek tidak menjadi jerih dan diapun bersilat dengan cepat untuk membalas serangan lawan. 

Terjadilah perkelahian yang seru. Mereka itu saling serang, saling desak sehingga menjadi pertanding an yang seru dan menegangkan. Saling pukul juga terjadi dimana tangkisan atau elakkan tidak sempat lagi dilakukan sehingga tubuh terkena pukulan. 

Kalau si gendut yang terkena pukulan, tubuhnya hanya bergoyang sedikit, akan tetapi kalau Siong Ek yang terkena pukulan, tubuhnya terhuyung mundur dua langkah! Biarpun Siong Ek yang menang cepat itu lebih banyak memukul dan mengenai tubuh lawan, akan tetapi karena tiap kali terkena pukulan dia merasa nyeri maka makin lama pertahanannya menjadi semakin lemah.

Souw Can melihat bahwa kalau dilanjutkan, muridnya itu akan kalah. Dia khawatir kalau Siong Ek terluka parah, maka dia melompat ke depan dan berkata, "Siong Ek, mundurlah!"


Siong Ek yang sudah kewalahan itu terpaksa mundur,dan Souw Can berkata Ji Kui. "Kami mengakui bahwa muridku kalah, maka keadaan kita kini satu-satu. Biarlah aku sendiri yang maju!"


"Tidak, paman!" kata Ceng Ceng yang sudah melompat ke depan. "Paman merupakan pimpinan, sepantasnya maju paling akhir. Biarlah aku yang menghadapi lawan!"


Souw Can yang maklum bahwa Ceng Ceng kini menjadi lihai sekali, hanya mengangguk. Si gendut melihat Ceng Ceng maju, menyeringai lebar dan berkata kepada Ji Kui.
"Ji-toako, biar aku maju sekali lagi menghadapi gadis ini!" Ji Kui tersenyum. Dia memandang rendah Ceng Ceng yang kelihatan lemah lembut itu maka dia mengangguk.


"Nona manis, hati-hatilah melawan aku. Aku tidak ingin memukul seorang gadis cantik seperti engkau!" si gendut mengejek sambil menyeringai lebar.


"Babi .gendut! Engkau boleh pilih, menggunakan senjata atau tangan kosong?" kata Ceng Ceng.
Dimaki babi gendut, si gendut menjadi marah akan tetapi dia masih tertawa mengejek. "Mari main-main dengan tangan kosong. Aku ingin mendekap tubuhmu yang molek itu!"




Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Lihat seranganku!"
bentaknya dan secepat kilat kakinya menendang. Si gendut terkejut dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan perutnya dari tendangan, kemudian dia mengembangkan kedua lengannya dan menerjang maju,menubruk untuk merangkul gadis itu. 


Akan tetapi dengan lincah dan ringannya Ceng Ceng mengelak, meloncat ke sebelah kanan si gendut dan tangannya menampar ke arah pelipisnya!

"Wuuuuttt....!" Tamparan itu dapat dielakkan, akan tetapi si gendut makin terkejut karena tamparan itu nyaris mengenai pelipisnya dan terasa ada angin kuat menyambar.

Gadis ini tidak boleh dipandang ringan! Dia menggereng dan kini menyerang bagaikan kesetanan, bukan lagi ingin mencolek, menowel atau mendekap, akan tetapi memukul sungguh sungguh dengan kedua tangannya.

Pertandingan ini pun berlangsung seru, akan tetapi setelah lewat tigapuluh jurus, sebuah tendangan kaki kiri Ceng Ceng mengenai perut yang gendut itu. Si gendut terjengkang dan terbanting keras sehingga mulutnya mengeluarkan suara "ngek!" dan dia terengah- engah!


Agaknya dia merasa malu sekali dan menutupi mulutnya dengan kemarahan. Tangan kanannya meraba pinggangnya dan dia susah menghunus sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Tanpa memberi tahu lagi, secara curang, dia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya secara membabi buta!


Melihat serangan yang nekat itu, Ceng Ceng melolos kebutannya tanpa mencabut pedang. Kebutannya yang
berbulu merah berkelebatan menangkis datangnya golok ini Baru belasan jurus saja, bulu kebutan dapat melibat golok dan sebelum si gendut dapat menarik kembali goloknya, kembali kaki kirinya menendang dengan kuatnya dan sekali ini mengenai dada si gendut.


"Ngekk........!!" goloknya terlepas, tubuhnya terbanting keras dan sekali ini dengan susah payah baru dia dapat merangkak bangun, di bantu oleh seorang kawannya.


"Hemm, Ji Kui, pihakmu kalah lagi sehingga kedudukan menjadi dua satu untuk kemenangan kami !" kata Souw Can dengan girang sekali.

Ji Kui mengerutkan alisnya dan memberi isyarat kepada pembantunya yang ke tiga, seorang berwajah hitam dan bertubuh kokoh dan tegap. Si muka hitam ini maju sambil mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan menantang dengan suara lantang. "Siapa berani melawan aku ?"


"Paman Souw, saya masih belum lelah. Biarkan saya menandingi kerbau muka hitam ini!" kata pula Ceng Ceng, sengaja memaki lawan agar lawan menjadi marah. Kemarahan mengurangi kewaspadaan maka melemahkan
pertahanan lawan. 


Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu si muka hitam yang diajukan ini lebih lihai dari pada si gendut, maka ia pun tidak segan-.segan untuk mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan kebutan bulu merahnya dipegang dengan tangan kirinya.

Umpan Ceng Ceng berhasil. Si muka hitam menjadi marah sekali dimaki kerbau muka hitam dan tanpa memberi peringatan lagi dia sudah mengayun goloknya dibacokkan ke arah kepala Ceng Ceng. 


Agaknya dia hendak membelah
kepala itu dengan sekali bacokan saja. Namun Ceng Ceng mengelak dengan mudah, bahkan membarengi dengan tusukkan pedangnya yang disusul dengan menyambar
kebutan ke arah muka lawan.

Si muka hitam terkejut, cepat mundur dan memutar goloknya untuk menangkis dan membabat putus tali kebutan. Akan tetapi usahanya gagal karena Ceng Ceng juga sudah menarik kembali kebutannya dan membiarkan
pedangnya tertangkis untuk menguji tenaga lawan.


"Trang g g......... !" Bunga api berpijar ketika golok bertemu pedang. Ceng Ceng merasakan tangan kanannya
tergetar, akan tetapi si muka hitam lebih kaget lagi karena pedang itu sedemikian kuatnya sehingga goloknya terpental ke belakang! 


Dia menjadi penasaran dan marah. Bagaikan seekor kerbau gila dia menyerang lagi, memutar goloknya 
dan menyerang secara bertubi-tubi. N
amun Ceng Ceng menyambutnya dengan tenang dan cepat. 

Perkelahian ini lebih menegangkan dari tadi. Akan tetapi, hanya Souw Can, Souw Hwe Li dan. Li Siang Ek saja yang merasa tegang dan takut kalau-kalau Ceng Ceng kalah. Thio Hui San menonton dengan tenang dan tersenyum karena dia yakin bahwa gadis yang dicintanya itu tidak akan kalah. 

Baik mengenai tenaga sakti maupun kecepatannya, Ceng Ceng masih menang setingkat dari lawannya.
Dugaannya benar. Setelah lewat limapuluh jurus, Ceng Ceng berseru nyaring, "Kena. ..... !!" Ujung kebutannya menyambar ke arah mata lawan dan ketika si muka hitam menarik kepalanya ke belakang, kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk menusukkan pedangnya ke arah lengan kanan si muka hitam.

"Haiiiitttt....
aduhhh....!"
Si muka hitam terpaksa mejepaskan goloknya dan lengannya berdarah karena terluka oleh ujung pedang di tangan Ceng Ceng. Tentu saja dengan luka di lengan kanan, si muka hitam tidak dapat maju lagi.


"Nah, Ji Kui, pihakmu kalah lagi.! Kedudukan menjadi tiga satu untuk kemenangan kami. Apakah engkau sudah mengaku kalah sekarang?"


"Souw Can siapa yang kalah" bersama aku, kami masih mempunyai tiga orang jago!" Dia memberi isyarat kepada seorang pembantunya yang belum maju. 


Orang ini melompat ke depan. Orangnya bertubuh kecil kurus, akan tetapi rupanya gesit sekali dan karena dia diajukan belakangan, dapat diduga bahwa ilmu kepandaiannya tentu lebih lihai dari pada tiga orang yang pernah maju bertanding tadi.

Melihat senjatanya saja orang sudah merasa ngeri. Senjatanya itu berupa dua buah bintang baja sebesar kepalan tangan yang disambung dengan sehelai rantai baja.
Dia sudah memegang senjatanya dan menantang.

"Siapa berani melawanku, majulah dan bersiaplah untuk mampus!"
Souw Can hendak maju sendiri, akan tetapi Ceng Ceng mencegahnya. 


"Paman Souw, belum tiba saatnya paman maju sendiri. Di sini ada seorang sahabat baikku, dia ini bernama Thio Hui San dan biarlah aku minta bantuannya agar dia yang maju mewakili paman. San-ko, maukah engkau membantu kami untuk menandingi orang ini?"

"Tentu saja," jawab Hui San sambil tersenyum dan memberi hormat kepada Souw Can. "Kalau saja paman mengijinkan."


"Tentu saja, orang muda. Kalau Ceng Ceng yang mengusulkan engkau maju, tentu saja aku menyetujui sepenuhnya!"
Hui San lalu melangkah maju menghadapi si kecil kurus yang memegang senjata rantai berujung dua bintang baja itu. 


"Sobat," katanya kepada orang itu, lalu memandang kepada Ji Kui. "Pihak kalian masih ada tiga orang sedangkan kami hanya tinggal aku dan Paman Souw, dua orang saja.

Karena itu, bagaimana kalau dari pihak kalian dua orang saja yang maju bersama untuk melawanku dan nanti pimpinan kalian bertanding melawan Paman Souw Can?"


Sungguh sebuah tantangan yang terlalu berani. Souw Can sendiri terkejut dan mengerutkan alisnya. Mengapa sahabat Ceng Ceng itu demikian sombong dan gegabah,
menantang dua orang sekaligus" 


Akan tetapi Ceng Ceng hanya tersenyum. Dia yakin akan kehebatan ilmu kepandaian pria yang menarik hatinya itu dan dengan girang ia mendapat pikiran bahwa agaknya Hui San hendak
memamerkan ilmu kepandaiannya kepada keluarganya!


"Akan tetapi dua lawan satu" Itu tidak adil!" kata Souw Can memprotes.

Ceng Ceng segera berkata, "Paman, harap paman jangan sangsi lagi. Aku yakin San-ko akan mampu menang dan pula, pertandingan ini agar dapat diselesai kan secepat mungkin!"


Ji Kui diam-diam merasa girang dan dia memberi isyarat kepada pembantunya yang pertama, seorang raksasa yang bermata lebar, untuk maju membantu rekannya yang kecil kurus. 


Raksasa ini melangkah maju dan segera mencabut golok besarnya dan menyeringai!

"Bocah sombong, engkau mencari kematian sendiri!"geramnya. Akan tetapi Thio Hui San yang bertubuh jangkung tegap, berpakaian biru itu tersenyum kepada dua orang calon lawannya. 


"Majulah kalian berdua dan aku akan melawan kalian dengan tangan kosong!"

Akan tetapi dua orang itu sudah marah sekali dan tanpa banyak cakap, si raksasa sudah menggerakkan goloknya yang menyambar ke arah leher Hui San sedangkan yang kecil kurus begitu menggerakkan tangannya, dua bintang baja itu sudah mengaung-ngaung di udara dan menyambar-nyambar ke arah kepala Hui San.

Dengan tenang namun cepat sekali Hui San mengelak mundur, kemudian cepat sekali dia sudah menyerang maju dengan kedua tangannya. Akan tetapi dua orang lawannya juga mengelak dan mereka segera menghujankan serangan dengan senjata mereka ke arah Hui San. 

Pemuda ini mempergunakan ginkangnya dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, sedikitpun senjata-senjata itu tidak dapat menyentuh tubuhnya. Kadang dia bahkan berani menangkis golok dari samping dengan tangan miring dan menghantam bintang yang menyambarnya dengan tangan terbuka!

Perkelahian ini terjadi paling ramai dan paling menegangkan. Terutama sekali bagi pihak Souw Can,kecuali Ceng Ceng. Gadis ini menonton dengan tersenyum kagum. Ia mengagumi ginkang dari pemuda yang menarik hatinya itu dan maklum bahwa dengan gin-kangnya itu, Hui San tentu dapat menghindarkan diri dari semua serangan. 


Ia kagum melihat pemuda itu menggunakan ilmu silat Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyambut Seratus Golok).
Setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Hui San mendapat kesempatan untuk menangkap sebuah di antara dua bintang baja yang menyambar kepadanya dan dengan kecepatan kilat dia melontarkan bintang baja itu ke arah.....



RAJAWALI HITAM JILID 02


bintang baja kedua. Lontarannya demikian kuatnya sehingga pemiliknya, si kecil kurus itu tidak sempat menghindarkan tabrakan kedua bintang baja itu.

"Wuuutttt.... darrrr ..... !!" Dua buah bintang baja itu bertumbukan di udara dan. pecah! Bukan itu saja, bahkan pecahan dua buah bintang baja itu menyambar dan
mengenai leher dan pundak pemiliknya. sehingga si kecil kurus berteriak kesakitan dan melompat keluar dari kalangan pertandingan dengan leher dan pundak terluka!
Tinggal si raksasa yang menyerang dengan goloknya.


Ketika golok membacok ke arah Hui San, pemuda ini mendahului, menggunakan sebuah jari tangan untuk melakukan totokan It-yang-ci dan raksasa itu tiba-tiba saja berdiri dalam posisi menyerang dengan goloknya sama sekali tidak bergerak seperti telah berubah menjadi patung! 


Hui San lalu menendang dengan kaki kirinya dan si raksasa itu terlempar ke belakang, akan tetapi totokan tadi punah dan si raksasa merangkak bangun sambil menyeringai kesakitan karena tendangan tadi mengenai dadanya yang membuat napasnya sesak.

Bukan main kagumnya Hwe Li dan Siong Ek. Mereka tidak dapat menahan diri lagi dan bertepuk tangan untuk menyambut kemenangan Hui San tadi. Juga diam-diam Souw Can kagum bukan main dan tahulah dia bahwa
pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. 


Bukan hanya dia, juga musuhnya, Ji Kui, merasa terkejut dan hatinya merasa jerih. Akan tetapi dia sudah terlanjur menantang, akan ditaruh ke mana kalau dia lalu mengundur kan diri"

"Baiklah, pihakku telah kalah dan aku tidak akan melanggar janji. Aku akan membubarkan Sin-Hong Piauw-kiok dan akan meninggalkan Pao-ting, akan tetapi hatiku masih belum puas kalau belum menguji kepandaianmu,Souw Can. Marilah kita bertanding satu lawan satu!"

"Akan tetapi pihakmu telah kalah sehingga pertandingan ini tidak masuk hitungan lagi!" kata Souw Hwe Li.

"Andaikata engkau dapat menangkan ayahku sekalipun, tetap saja pihakmu telah kalah dan engkau harus membubarkan piauw-kiokmu dan minggat dari Pao-ting!"

Wajah yang sudah merah dan menjadi semakin merah
karena marah dan malu. Dia menghentikan gagang tombak nya di atas tanah dan berkata, "Aku tidak akan melanggar janji. Aku hanya ingin tahu sampai di mana tingkat
kepandaian Souw Can! 


Kecuali kalau dia tidak berani, akupun tidak ingin mengubah sifatnya yang pengecut !"
"Ji Kui, manusia sombong. Selama ini engkau yang mencari perkara dengan pihak kami. 


Sekarang engkau menantangku, apa kaukira aku takut kepadamu" Majulah, aku siap menghadapi tantanganmu!"
Setelah berkata demikian, Sou Can meloncat ke depan dan mencabut
pedangnya. Ji Kul juga tidak banyak cakap lagi, segera menyerang dengan tombaknya.

"Syuuutttt.........
tranggg......... I!" Terdengar .suara
lantang ketika tombak itu ditangkis pedang di tangan Souw Can. Mereka segera saling serang dengan seru dan hebatnya.


Ternyata permainan tombak Ji Kui lihai sekali, ketika tombak digetarkan ujung mata tombak seolah telah berubah menjadi banyak. Luncuran tusukan tombaknya kuat sekali, juga pukulannya dengan gagang tombak amat berbahaya.


Akan tetapi kini dia menghadapi Souw Can yang memainkai ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut yang selain indah juga amat kokoh kuat. Bukan hanya kuat dalam pertahanan, melainkan hebat dan dahsyat pula dalam serangannya.


Kedua orang piauw-su ini bertanding dengan seimbang.
Mereka memang seimbang, baik kecepatan maupun tenaganya. Melihat ini, Hwe Li dan Siong Ek menjadi tegang sekali, khawatir kalau ayah dan guru mereka kalah. 


Ceng Ceng yang juga menonton dengan penuh perhatian, dapat melihat kelemahan Ji Kui. Maka dengan suara lantang ia bertanya kepada Hwe Li:

"Hwe Li, ilmu tombak itu memang ampuh sekali. Akan tetapi tahukah engkau di mana kelemahannya?"
Hwe Li yang memang tidak mengerti, menjawab heran.
"Aku tidak tahu, Ceng Ceng."


"Tombak itu melayang-layang seperti seekor naga yang menyerang dengan moncongnya, akan tetapi kedudukan
kakinya lemah sekali sehingga kalau diserang ,dari bawah tentu akan sulit meng hadapi lawan!"


Tentu saja Souw Can mendengar ini. Maka iapun cepat mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mengirim serangan dari bawah, ke arah kedua kaki lawan secara bertubi-tubi!


Ji Kui terkejut bukan main. Dia masih mencoba untuk memutar tombaknya ke bawah untuk melindungi kedua kakinya, namun pertahanannya lemah sekali dan pada suatu saat, pedang Souw Can telah menyambar dan melukai betisnya yang kiri dan tanpa dapat dihindarkan lagi Ji Kui jatuh berlutut dengan sebelah kakinya.


Souw Can menghentikan gerakannya dan bertanya,
"Bagaimana,
Ji Kui, apakah engkau masih ingin melanjutkan?"


Ji Kui bangkit berdiri, bertopang pada tombaknya dan terpincang-pincang. "Aku mengaku kalah," katanya singkat dan dia lalu meninggalkan tempat itu, dibantu seorang pembantunya yang memapahnya.


Souw Can memandang sampai ke enam orang pergi jauh,
lalu dia membalikkan tubuh menghadapi Ceng Ceng dan
berkata, "Ceng Ceng, ternyata pandanganmu tajam sekali sehingga engkau sudah dapat menemukan kelemahannya.
Engkau tadi telah membantuku, Ceng Ceng."


"Aih, paman. Apa artinya itu" Sudah sepantasnya kalau saya membantu paman."
"Dan Engkau, orang muda. Tanpa adanya engkau di sini, belum tentu pihak kami akan mendapatkan kemenangan.


Banyak terima kasih atas bantuanmu itu."
"Harap jangan sungkan, paman. Paman adalah keluarga baik dan dekat dari Ceng- moi, maka bagi saya tidak ada soal bantu membantu melainkan sudah menjadi kewajiban saya."


"Mari kita semua pulang. Kemenangan ini harus
dirayakan, sekalian sebagai sambutan atas kedatangan Ceng Ceng dan Thio Hui San," kata Souw Can dengan girang.


Mereka semua menunggang kuda. Ceng Ceng berboncengan dengan Hwe Li. Setelah mereka tiba di Kim liong Piauw-kiok, para anak buah perusahaan itu menyambut dengan gembira setelah mendengar akan
kemenangan ketua mereka. 


Tentu saja isteri Souw Can juga 
merasa girang sekali, apa lagi melihat kedatangan Ceng Ceng. ,
Mereka lalu merayakan kemenangan itu, dihadiri oleh para anggauta Kimliong Piauw-kiok. 


Souw Can dan sekeluarganya, termasuk Ceng Ceng dan Thio Hui San,makan satu meja besar di bagian dalam. Dan mereka makan minum sambil bercakap-cakap, terutama sekali mereka menghujani Ceng Ceng dengan pertanyaan sehingga gadis itu terpaksa menceritakan semua pengalamannya.

Kemudian Souw Can yang sudah berpengalaman dan berpemandangan tajam itu melihat bahwa ada tali hubungan yang erat antara keponakannya dengan pemuda berpakaian biru itu, maka sambil tersenyum dia lalu mengangkat cawan arak mengajak semua orang minum sambil berkata, "Mari kita minum secawan arak untuk menghormati kedatangan Thio-thiante."


Semua orang minum arak dan Hui San cepat menghaturkan terima kasih atas penghormatan itu.
"Thio-thiante, kalau boleh kami mengetahui, tahun ini berapakah usia'nu?"


Hui San tersenyum dan mukanya agak kemerahan,mungkin karena arak atau mungkin juga karena pertanyaan yang sangat pribadi itu. 


"Usia saya sudah duapuluh enam......... paman."
"Ah, kalau usiamu sudah sebanyak itu, tentu engkau sudah beristeri, bukan?"
Kini wajah pemuda itu benar-benar kemerahan, dan Ceng Ceng juga menundukkan mukanya yang kemerahan dan tidak berani menentang pandang mata orang lain. Ia sudah dapat menduga ke mana arah pertanyaan pamannya itu.


"Saya adalah seorang yatim piatu, tidak ada orang yang mengurus
tentang perjodohan saya sehingga sampai sekarang masih belum beristeri," kata Hui San lirih.
"Tapi tentu sudah mempunyai tunangan?"


"Juga belum," sahut Hui San sambil menundukkan mukanya.
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Mari kita minum lagi secawan arak sebelum aku menyatakan usulku yang amat baik ini!" Semua orang minum lagi secawan arak.


"Thio-thiante, engkau seorang yang yatim piatu, dan kebetulan sekali keponakanku Liu Ceng ini juga yatim piatu!
Kalian berdua sama-sama memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga kalian sudah bersahabat baik, tentu sudah dapat mengetahui watak masing- masing. Oleh karena itu, aku mempunyai usul. Bagaimana kalau kalian berdua berjodoh"Hio-thiante, bagaimana pendapatmu?"


Hui San tersenyum dan tersipu. "Ini......... ini......... saya merasa tidak berharga.........."
"Aku tidak bertanya berharga atau tidak, akan tetapi jawablah, mau atau tidak engkau kujodohkan dengan Ceng Ceng?"


Hui San menghela napas panjang.
Hatinya menjerit "mau!" akan tetapi bibirnya tidak mampu menjawab. Setelah didesak dia berkata, "Hal ini......... saya serahkan kepada Ceng-moi saja bagaimana pendapatnya.......... "


"Ha-ha-ha-ha!" Souw Can tersenyum, maklum akan isi hati pemuda itu. Dia lalu menoleh kepada Ceng Ceng yang sudah menundukkan mukanya yang kemerahan.


"Nah, Ceng Ceng, keponakanku yang manis. Engkau sudah mendengar sendiri jawaban Hui San. Bagaimana
kalau engkau kujodohkan dengan Hui San" Maukah engkau atau tidak?"


"A ihhh, paman. ...... " Ceng Ceng berkata lirih dan kepalanya semakin menunduk.
"Eh, bagaimana sih engkau ini, Ceng Ceng" Ayah bertanya kok dijawab aih-aih begitu. Katakan saja engkau mau, begitu kata hatimu, bukan" Kalau begitu, kelak pernikahan kalian dirayakan bersama pernikahanku dengan Lai-suheng. kata' Souw Hwe li yang ramah.


"Aihh, Hwe Li ...... !"
Akhirnya nyonya Souw Can yang berkata, "Begini saja, aku sekarang mengajak semua orang minum secawan arak untuk menjawab. Yang ikut minum berarti menyetujui
perjodohan itu. Yang tidak setuju boleh tidak usah minum!


Nyonya itu mengangkat cawan araknya dan mau tidak mau Hui San dan Cen Ceng, biarpun malu-malu, terpaksa minum araknya karena di dalam hati mereka memang sudah ada pertalian kasih yang belum mereka utarakan dalam kata-kata, namun sudah seringkali mereka saling lihat dalam suara dan pandang mata masing-masing.


"Bagus, pertunangan ini harus dirayakan pula! Tambah dagingnya
dan araknya!" kata Souw Can gembira. "Pertunangan disahkan sekarang juga dan kami semua yang menjadi saksinya! Soal pernikahan, dapat diatur kemudian."


"Maafkan kami, paman Souw," kata Hui San. -"Harap paman tidak tergesa gesa dengan pernikahan karena kami masih mempunyai tugas. Saya harus mengundang para
tokoh kang-ouw untuk menghadiri pertemuan di tempat tinggal Souw-bengcu di Hong-san dan Ceng-moi juga akan bertemu dengan gurunya di sana."


"Benar, paman. Saya ingin bertemu dengan suhu dan minta restunya lebih dulu tentang......... ini......"


"Bagus! Kami akan menanti dengan sabar dan mempersiapkan segala peralatan pernikahan ganda ini."


Mereka berdua bermalam satu malam di rumah Souw Can, dan pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka berangkat meninggalkan Pao-ting. K et ika melakukan perjalanan meninggalkan kota Pao-ting, Hui San dan Ceng Ceng sama-sama diam saja tidak banyak bicara. 


Akhirnya Hui San membuka percakapan.
"Ceng-moi,
kulihat engkau sejak tadi diam saja. Kenapakah"
Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"


Ceng Ceng berhenti melangkah dan memandang kepada pemuda itu. "Aku teringat akan peristiwa di rumah paman Souw Can tadi. San-ko, tidak kelirukah jawabanmu atas pertanyaan Souw-ce (paman Souw) tadi" Tidak salahkah pilihanmu" Aku hanya seorang gadis yatim piatu yang tidak punya apa-apa sedangkan engkau. ......"


"Akupun seorang yatim piatu yan tidak punya apa-apa, Ceng-moi."
"Akan tetapi engkau seorang pendekar besar, seorang murid Siauw-lim-pai yang terkenal!"


"Aih, Ceng-moi, harap jangan berkata demikian. Perjodohan bukan melihat keadaan lahiriah seseorang, melainkan keadaan hatinya. Dan tentang hatiku, sudah sejak pertemuan kita pertama kali aku telah jatuh cinta kepadamu, Ceng moi."


"Benarkah katamu itu, San-ko?"
"Untuk apa aku berbohong, Ceng-moi" Dan engkau sendiri, engkau tidak menolak usul perjodohan yang
diajukan Paman Souw! Kenapa?"
Wajah yang cantik itu berubah merah dan senyumnya

dikulum.

 "Ah, aku..........
aku hanya menyerahkan saja
kepada kebijaksanaan Paman Souw....."
"Kalau begitu, engkau hanya menurut pamanmu dan tidak cinta kepadaku?"


"Aih, San-ko ...... !" Ceng Ceng semakin tersipu.
Hui San melangkah maju dan memegang kedua tangan
gadis itu. Kedua tangan itu terasa hangat seperti dua ekor anak ayam.
"Jawablah,Ceng-moi, adakah cinta di hatimu kepadaku?"


Ceng Ceng tidak menjawab, hanya mengangguk dan ia menyandarkan mukanya di dada Hui San. Pemuda itu merasa bahagia sekali, hatinya seperti, membesar dan dia mendekap kepala itu, dibenamkan di dadanya.


Sampai beberapa lamanya mereka dalam keadaan seperti itu, kemudian Hui San melepaskan dekapannya
dan mereka melanjutkan perjalanan 
sambil bergandeng tangan.

Tidak ada kesenangan lebih besar dari pada bertemunya dua hati dalam cinta asmara. Pada saat seperti itu,keduanya sudah kehilangan ruang dan waktu, lupa segala. Dunia ini milik mereka
berdua dan segala apa yang tampak di depan mata menjadi semakin indah, langit tampak semakin biru, sinar matahari semakin cerah, daun-daun semakin hijau. 


Segalanya serba indah dan semua suara seperti berubah menjadi nyanyian merdu yang merayakan dua hati mereka yang bersatu dalam cinta!


          **********


Kakek tinggi besar bermuka merah itu melangkah lebar.
Wajahnya yang gagah itu kelihatan berkerut, sinar matanya yang mencorong itu kehilangan. sinarnya. Dia melangkah sambil menyeret sebatang dayung baja dan mulutnya
berkemak-kemik bicara kepada diri sendiri. 


"Awas kau Song Thian Lee ..... , awas kau Song Thian Lee.........!"
Kakek itu adalah Siang Koan Bhok yang berjuluk Tung-hai-ong (Raja Laut Timur) yang menjadi majikan dari Pulau Naga. 


Siang Koan Bhok adalah seorang di antara para datuk besar di dunia kang-ouw dan namanya sudah dikenal oleh semua orang kang-ouw dengan perasaan gentar. Baru saja dia mengalami hal yang membuat dia berduka dan marah.

Ketika mendengar tentang perang yang terjadi antara pasukan pemberontak yang bermarkas di pantai timur dan pasukan pemerintah, dia menjadi khawatir. 


Dia sendiri tidak terlibat dalam perang, akan tetapi putera tunggalnya yang amat dikasihinya, Siang Koan Tek, ikut membantu pemberontak dan ikut pula dalam perang. 

Dan seperti yang dikhawatirkannya, ketika dia mencari-cari di antara mayat yang berserakan, dia menemukan mayat Siang Koan Tek, puteranya! Dengan hati hancur dia mengangkat mayat puteranya dan menguburkannya di bukit yang sunyi.

Kemudian, dengan hati penuh geram dia mendatangi tempat tinggal Song Thian Lee, panglima yang memimpin pasukan pemerintah yang telah menghancurkan pasukan pemberontak. Siang Koan Bhok menantang Song Thian Lee 
dan mereka bertanding satu lawan satu. 


Datam sebuah pertandingan yang mati-matian dan seimbang itu akhirnya Siang Koan Bhok kalah dan terluka dalam. Usianya yang sudah limapuluh delapan membuat dia kalah tenaga. Maka dia meninggalkan musuh besarnya dengan hati penasaran dan mengandung dendam!

Setelah mengobati lukanya sampai sembuh, kini Siang Koan Bhok menuju pulang ke Pulau Naga. Dia berniat untuk melatih diri dengan tekun untuk kemudian dapat menantang Song Thian Lee lagi dan mengalahkannya,membunuhnya! 


Dia melakukan perjalanan dalam keadaan berduka dan marah, dan dalam beberapa waktu saja sejak dia menemukan mayat puteranya, Siang Koan Bhok tampak jauh lebih tua dari pada biasanya. Rambutnya yang tebal panjang itu kini telah berubah putih semua!

Pagi itu dia memasuki sebuah dusun. Kebetulan sekali di dusun itu kepala dusun sedang merayakan

pernikahan puterinya. Maka seluruh desa menjadi sibuk. Semua orang ikut merayakannya.

Ketika Siang Koan Bhok melihat keramaian ini, dia menyeret dayungnya dan memasuki rumah yang sedang merayakan pesta. 


Para petugas menerima tamu yang tidak mengenalnya mengira bahwa kakek ini datang hendak mengemis, karena biarpun pakaian kakek itu mewah akan tetapi sudah kotor dan kusut sekali. 

Empat orang petugas itu lalu menyambutnya dan seorang di antara mereka berkata. "Orang tua, kini bukan waktunya minta sedekah.
Pergilah dan lain kali saja kau datang."

          **********


Mendengar ini, Siang Koan Bhok memandang empat orang itu dengan mata mencorong. "Kalian mengira aku mengemis?"

"Habis apa lagi kalau bukan ..... " Belum habis orang itu berkata, dayung itu menyambar dan empat orang itu berpelantingan dengan kepala remuk dan tewas seketika.


Belasan orang yang menganggap diri mereka kuat segera berdatangan dan melihat empat orang tewas oleh seorang kakek, mereka menjadi marah dan mencabut senjata
mereka. 


Akan tetapi Siang Koan Bhok yang sedang kesal hatinya itu kembali mengayunkan dayungnya beberapa kali dan belasan orang itupun berpelantingan dan tewas!

Melihat ini, kepala dusun yang menjadi tuan rumah terkejut sekali dan cepat dia maju dan berlutut di depan Siang Koan Bhok. "Lo-cian-pwe,mohon lo-cian pwe mengampuni kami yang tidak bersalah dan sedang merayakan pernikahan anak perempuan kami."

"Hemm, tidak tahukah kalian bahwa tuan besarmu datang karena merasa haus dan lapar" Hayo keluarkan
hidangan untukku, dan yang harus melayani aku adalah sepasang mempelai itu. Cepat kerjakan atau aku akan membunuh semua orang yang berada di sini!"


"Baik, baik,......... lo-cian-pwe,......... silakan duduk di dalam......... !"
Siang Koan Bhok menyeret dayungnya dan dipersilakan
duduk di meja kehormatan. 


Sepasang mempelaipun di paksa ayah mereka untuk keluar, memberi hormat lalu melayani kakek itu makan minum!
Selagi Siang Koan Bhok makan minum, tiba-tiba
terdengar suara lantang dari luar. 


"Siang Koan Bhok, tuabangka iblis! Sampai sekarang engkau belum juga
mengubah watakmu yang kejam. Sekali ini aku tidak
mungkin tinggal diam saja!"


Di luar rumah itu telah berdiri seorang kakek yang tubuhnya pendek gendut serba bulat, pakaiannya seperti jubah pertapa yang sederhana. Tangan kanannya memegang sebuah kebutan panjang berbulu putih. 


Melihat kakek yang usianya sekitar limapuluh tiga tahun ini, Siang Koan Bhok mengerutkan alisnya dan kemarahannya memuncak. Setelah menenggak lagi cawan araknya sampai habis, dia lalu bangkit berdiri dan menyeret dayungnya keluar dari rumah itu sampai dia berhadapan dengan si kakek gendut.
"Hemm, Thian Tok. Berani engkau mengganggu aku"
Rupanya engkau sudah bosan hidup, ya?"


Kakek pendek gendut itu bernama Gu Kiat Seng dan berjuluk Thian Tok (Racun Langit), seorang di antara para datuk dan terkenal sebagai Datuk Barat. 


Akan tetapi berbeda dengan para datuk besar yang biasanya berwatak keras dan kejam, menghendaki agar segala kemauannya ditaati siapa saja, tidak demikian dengan Thian Tok. Biarpun dia bukan golongan pendekar, akan tetapi dia tidak pernah melakukan kejahatan.

"Bagus, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Akan tetapi bukan di dusun ini. Mari kita mencari tempat sunyi di luar dusun!"


 Setelah berkata demikian, Thian Tok melompat dan cepat sekali pergi dari situ, dikejar oleh Siang Koan Bhok. Dalam keadaan sakit hati, duka dan marah seperti itu, semua orang dianggap musuh oleh Siang Koan Bhok, maka tantangan itu tentu saja diterimanya dengan marah.

Setelah kedua orang kakek yang berlari cepat seperti terbang itu tiba jauh dari dusun, di sebuah lapangan rumput yang sunyi dan di sana tidak tampak seorangpun, Thian Tok berhenti. Siang Koan Bhok segera menghadapinya dan dua orang kakek itu berdiri sating berhadapan seperti dua ekor ayam jantan hendak bertanding!


"Thian Tok, engkau lancang mencampuri urusanku, berarti engkau sudah bosan hidup!" kata Siang Koan Bhok sambil melintangkan dayung bajanya di depan dada.


"Hemm, justeru engkau yang bosan hidup. Engkau membunuh belasan orang dusun yang tidak berdosa. Kalau aku tidak melihatnya masih tidak mengapa. 


Akan tetapi setelah aku melihatnya, terpaksa aku harus melenyapkan iblis keji seperti engkau dari permukaan bumi agar jangan membunuhi orang tidak berdosa lagi," kata Thian Tok yang sudah mempersiapkan senjatanya, yaitu kebutan berbulu merah.

"Thian Tok, jahanam sombong. Engkaulah yang akan mampus!" Siang Koan Bhok berteriak dan dayungnya menyambar dahsyat. Akan tetapi sekali ini yang diserangnya adalah Datuk Barat, maka dengan mudahnya Thian Tok
mengelak dan kebutannya menyambar ke depan. 


Hebatnya, begitu kebutan menyambar, bulu kebutan yang biasanya halus lemah itu tiba-tiba menjadi kaku dan kuat seperti kawat-kawat baja dijadikan satu. Kebutan itu menusuk ke arah perut Siang Koan Bhok. Akan tetapi majikan Pulau Naga inipun sudah mengenal kehebatan lawan, maka dia memutar dayungnya menangkis, lalu menyerang lagi dengan dahsyat. 

Demikianlah, terjadi perkelahian satu lawan satu yang seru dan hebat, dan tidak disaksikan oleh siapapun.
Begitu hebat tenaga mereka sehingga di sekitar mereka ada angin menyambar-nyambar dengan kuatnya.


Mereka tidak tahu bahwa di belakang sebatang pohon
yang tumbuh tidak jauh dari situ, terdapat seorang yang mengintai dan menonton pertandingan mereka. Orang ini masih muda, berpakaian serba putih, wajahnya tampan dan gerak geriknya lembut dan halus, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga lengan baju bagian kiri itu  kosong dan tergantung lepas di sisi tubuhnya. 


Pemuda ini bukan lain adalah Ouw Kwan Lok! Pemuda yang pernah
menjadi murid mendiang Pak-thian-ong Datuk Utara dan juga Thian-te Mo-ong Datuk Besar Selatan itu menonton perkelahian dengan penuh perhatian. 


Seperti kita ketahui, belum lama ini Ouw Kwan Lok bertemu dengan Lee Cin,seorang di antara tiga musuh-musuh gurunya yang harus dibunuhnya. Dua orang yang lain adalah Song Thian Lee dan
isterinya, Tang Cin Lan. 


Akan tetapi dalam perkelahiannya melawan Lee Cin, dia kehilangan lengan kirinya. Untung dia masih dapat melarikan diri sehingga tidak sampai terbunuh oleh gadis perkasa itu. Dia mengobati luka di lengan buntungnya dan pagi hari ini secara tidak disengaja dia menjadi saksi sebuah perkelahian yang seru dan hebat antara dua orang datuk besar itu!

Kwan Lok pernah bertanding melawan Thian Tok ketika
dia menculik Ceng Ceng dan terpaksa dia melarikan diri me ninggalkan Ceng Ceng yang kemudian menjadi murid datuk itu. 


Dan kini dia melihat datuk yang pernah mengalahkan dia itu bertanding dengan seorang kakek yang bersenjatakan sebatang dayung baja. 

Biarpun dia belum pernah berjumpa dengan Siang Koan Bhok, akan tetapi dia telah mendengar banyak tentang Para datuk dari gurunya, maka dia segera mengetahui siapa adanya kakek gagah perkasa itu. 

Diapun tahu bahwa Siang Koan Bhok adalah ayah dari Siang Koan Tek yang telah dikenalnya dan mengetahui pula bahwa Siang Koan Tek telah tewas dalam perang ketika pasukan pemerintah kerajaan menyerbu pasukan pemberontak. 

Dia sendiri tidak ikut dalam perang karena sebelum itu lengannya sudah buntung oleh Lee Cin.
Pertandingan antara kedua orang datuk itu semakin seru.


Mereka telah bertanding hampir duaratus jurus, akan tetapi masih belum ada yang tampak terdesak. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seimbang, dan demikian pula tenaga mereka.

Akan tetapi kini perlahan-lahan Siang Koan Bhok mulai terdesak. Hal ini disebabkan karena dia baru saja sembuh dari luka dalam yang dideritanya ketika dia bertanding melawan Song Thian Lee. 


Kebutan bulu putih di tangan Thian Tok kini menyambar-nyambar dengan ganasnya dan Siang Koan Bhok hanya mampu mengelak dan menangkis saja, tidak mendapat kesempatan sedikitpun untuk membalas, bahkan jelas nampak betapa napasnya mulai ngos-ngosan.
Ouw Kwan Lok berpikir cepat. 


Mudah saja baginya untuk memihak siapa. Dengan tangan kanannya dia mengambil lima batang pisau terbangnya dan keluarlah dia dari balik pohon besar itu. Dengan hati-hati dia menimpukkan pisau-pisaunya beruntun ke arah Thian Tok yang tengah bertanding dengan Siang Koan Bhok.

"Wirrr-wirr-wirr-wirr-wirr.........
Lima sinar menyambar ke arah tubuh Thian Tok. Kakek ini terkejut bukan main akan tetapi dia dapat melompat ke belakang dan memutar kebutannya sehingga pisau-pisau terbang itu runtuh semua. 


Akan tetapi Kwan Lok sudah melompat dan menerjangnya dengan pedangnya. Biasanya dia mempergunakan sepasang pedang di kedua tangannya, akan tetapi karena tangan kirinya sudah buntung, dia hanya menggunakan sebatang pedang saja. 

Akan tetapi serangannya masih berbahaya!
Thian Tok mengelak dan pada saat itu, Siang Koan Bhok yang merasa mendapat bantuan juga sudah mengayun dayung bajanya sehingga Thian Tok dikeroyok dua. Karena ilmu silat Ouw Kwan Lok, biarpun sebelah tangannya buntung, masih tangguh sekali, maka pengeroyokannya membuat suasana pertandingan berubah. 


Kini Thian Tok terdesak hebat dan dia hanya main mundur! Masih untung baginya bahwa Siang Koan Bhok sudah hampir kehabisan tenaga maka dia masih mampu menghindarkan diri dari desakan datuk itu. 

Melihat bahwa keadaannya berbahaya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan kalah, Thian Tok lalu menggunakan gin-kangnya meloncat jauh keluar dari kalangan pertandingan sambil berseru keras.
"Siang Koan Bhok manusia curang!' 


Dia lalu melarikan diri dengan amat cepatnya. Tubuhnya yang pendek gendut itu seperti bola menggelinding cepat sekali.
Siang Koan Bhok yang sudah kehabisan tenaga tidak
mungkin dapat mengejarnya dan Ouw Kwan Lok tidak akan berani mengganggunya kalau hanya seorang diri. Maka, Thian Tok dapat melarikan diri dengan aman.



Kini Siang Koan Bhok, dengan napas terengah-engah,berdiri memandang kepada Kwan Lok, matanya memancarkan perasaan tidak senang. Dia adalah seorang datuk yang angkuh, maka biarpun sudah dibantu orang, hal ini malah membuat dia marah karena hal itu dianggap merendahkan dirinya.

"Siapa engkau dan mengapa engkau membantuku?"bentak kakek itu. Dari suara bentakannya, tahulah Kwan Lok bahwa kakek itu marah kepadanya. Dia cerdik sekali.
Tiba-tiba Kwan Lok menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Harap lo-cian-pwe memaafkan kelancangan saya. Saya bernama Ouw Kwan Lok dan saya adalah sahabat baik putera lo-cian-pwe, mendiang Siang Koan Tek. Secara
kebetulan saja saya melihat lo-cian-pwe bertanding melawan Thian Tok. Saya sendiri pernah bentrok dengan Thian Tok, oleh karena itu biarpun saya tahu bahwa lo-cian-pwe sama sekali tidak akan kalah oleh Thian Tok, saya membantu untuk merobohkannya. 


Harap lo-cian-pwe suka memandang muka mendiang sahabat saya Siang Koan Tek untuk memaafkan kelancangan saya."
Senang hati Siang Koan Bhok mendengar kata-kata yang teratur baik dan sopan itu. "Hemm, permainan pedangmu seperti kukenal. Siapakah gurumu, Kwan Lok?"


Kwan Lok juga tahu bahwa kedua orang gurunya adalah juga datuk-datuk besar, dapat dibilang rekan-rekan dari Siang Koan Bhok walaupun tingkat kepandaian Siang Koan Bhok menurut penuturan Thian-te Mo-ong lebih tinggi dari mereka. 


Maka diapun tidak perlu menyembunyikan diri dan dia menjawab dengan sikap hormat. 

"Guru saya yang pertama adalah mendiang Pak-thian-ong, adapun guru saya yang kedua adalah Thian-te Mo-ong. Kedua orang guru saya sudah bercerita banyak tentang kehebatan ilmu yang dimiliki lo-cian-pwe. 

Maka, setelah kini bertemu di sini secara kebetulan sekali, saya merasa beruntung sekali dan mohon petunjuk dari lo-cian-pwe."

Siang Koan Bhok memandang wajah pemuda itu dengan hati senang. Dia telah kehilangan putera dan tidak
mempunyai murid dan pemuda ini agaknya akan dapat menjadi muridnya yang baik, yang dapat digemblengnya dan kelak pemuda ini sebagai muridnya dapat mewakilinya untuk membalas dendam kepada Song Thian Lee!


"Ouw Kwan Lok, bagaimana lengan kirimu sampai buntung" Apakah sejak kecil?"

Mendengar ini, Ouw Kwan Lok nenggigit bibirnya dan matanya menjadi merah seolah dia menahan turunnya air mata karena duka. 


"Tidak sejak kecil, lo cian-pwe. Dan karena lengan saya buntung inilah maka saya tidak dapat ikut berperang bersama mendiang Siang Koan tek. Lengan saya ini buntung dalam usaha saya untuk membalaskan dendam kematian guru saya Pak-thian-ong dan kesengsaraan hidup guru saya Thian-te Mo ong."

"Siapa musuhmu?"
"Musuh saya ada tiga orang, lo-cian pwe. Pertama Song Thian Lee, kedua isterinya Tang Cin Lan dan ke tiga Souw Lee Cin."
"Dan siapa yang membuntungi lengan mu?"


"Ketika kebetulan saya bertemu dengan Souw Lee Cin kami bertanding dan karena kurang hati-hati lengan kiri saya menjadi buntung, lo-cian-pwe."


Siang Koan Bhok sudah senang sekali. Kiranya Song Thian Lee merupakan seorang di antara musuh-musuh pemuda ini. 


"Dengar baik-baik, Kwan Lok. Engkau sudah tahu bahwa puteraku Siang Koan Tek telah tewas dalam perang dan semua ini adalah karena perbuatan Song Thian Lee. 

Kalau aku mengambilmu sebagai murid dan anak angkat, maukah engkau kelak membalaskan kematian Siang Koan Tek
kepada Song Thian Lee?"


Bukan main girangnya rasa hati Kwan Lok. Dia memberi hormat sambil berlutut dan berkata. "Suhu yang mulia, tentu saja teecu akan merasa bahagia kalau dapat menjadi murid suhu, dan tentang membalas dendam kepada Song Thian Lee, teecu bersumpah untuk mela kukannya, sekalian untuk membalaskan kedua orang suhu teecu."


"Bagus, kalau begitu mari kau ikut aku ke Pulau Naga."
"Baik, suhu!"


Pergilah kedua orang itu dan di sepanjang perjaalanan ke Pulau Naga, Kwan Lok bersikap baik sekali kepada gurunya.


Dia melayani suhunya dan menyediakan segala keperluan suhunya dan bersikap sangat hormat. Siang Koan Bhok
semakin girang dan bangga. 


Putera nya sendiri tidak pernah bersikap sedemikian baiknya seperti Kwan Lok. Maka dia mengambil keputusan untuk mewariskan seluruh ilmunya kepada murid ini.


          **********



Mati dan hidupnya setiap orang manusia berada di tangan Tuhan. Hal ini tidak dapat dibantah oleh siapapun juga. Kalau Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, tidak ada dewa manapun akan mampu menyelamatkannya.


Biar dia bersembunyi di lubang semut, maut akan tetap saja menjemput. Sebaliknya kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang itu mati, dewa manapun tidak akan dapat membunuhnya. Biar dihujani seribu batang anak panah, tidak satupun ada yang mematikannya.

Demikian pula dengan diri Cia Tin Han atau yang tadinya hanya dikenal se bagai Si Kedok Hitam oleh Souw Lee Cin.

Ketika untuk ke sekian kalinya Si Kedok Hitam menolong Lee Cin terbebas dari tangan keluarga Cia, dia menyuruh Lee Cin lari dan bersembunyi sedangkan dia sendiri menghadapi keluarga Cia yang amat lihai. 


Nenek Cia demikian marah kepada Si Kedok Hitam sehingga ia menyerangnya dengan tongkatnya dan berhasil merenggut kain penutup muka itu.

Alangkah kagetnya semua anggauta keluarga Cia itu ketika melihat bahwa wajah di balik kedok itu adalah wajah Cia Tin Han! 


Dan nenek Cia menjadi demikian marah melihat bahwa cucunya sendiri yang menentang mereka, lalu mengirim tendangan yang membuat tubuh Tin Han terlempar kedalam jurang di belakangnya. 

Jurang yang tak terukur dalamnya, bahkan dasarnya tidak tampak dari atas karena selalu berkabut.
Cia Tin Han adalah seorang pemuda berusia duapuluh dua tahun, berwajah tampan dan sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar yang tidak mengenal ilmu silat! 


Namun, dia pemberani luar biasa, selalu gembira dan jenaka.
Ketika Tin Han masih kecil, bersama kakaknya yang bernama Cia Tin Siong dan yang lebih tua dua tahun
darinya, diapun dididik ilmu silat oleh keluarga Cia yang terkenal memiliki ilmu silat yang tangguh. 


Akan tetapi Tin Han sejak kecil kurang berminat mempelajari ilmu silat dan lebih bersemangat mempelajari kesusasteraan.
Akan tetapi ketika Tin Han berusia sepuluh tahun, terjadi hal yang luar biasa. 


Pada suatu hari dia bermain seorang diri dan entah apa yang mendorongnya, dia mendaki bukit Lo-sian-san (Bukit Dewa Tua) yang berada dekat kota Hui-cu. Bahkan kota Hui-cu terletak di kaki bukit itu. 

Dia terus mendaki sampai ke puncak bukit itu dan setelah tiba di puncak dia menjadi bingung bagaimana harus turun ke sana. 

Ketika mendaki puncak, dia melewati daerah berhutan yang merupakan daerah liar. Tidak ada jalan untuk turun karena naiknya tadipun dia tidak menurutkan jalan setapak, hanya berusaha mendaki saja. Kini dia menjadi bingung karena setelah dicobanya turun, selalu dia berhadapan dengan jurang yang dalam!

Tin Han adalah seorang anak yang berani dan tidak pernah menangis. Walau pun dia bingung sekali,diapun tidak menangis dan tidak pernah berhenti berusaha mencari jalan turun. 


Akan tetapi, jalan yang di ambilnya bahkan membuat dia tersesat jauh dan hanya berputar-putar di sekeliling puncak itu.

Sampai hari menjadi sore dia masih berputar-putar di situ. Akhirnya terpaksa dia berhenti karena selain kedua kakinya terasa lelah sekali, juga perutnya lapar, membuat dia kehabisan tenaga dan tubuhnya terasa lemas.


Selagi dia duduk di bawah pohon untuk mengaso, cuaca mulai menjadi remang- remang karena senja telah tiba. Dia merasa bingung, akan tetapi dia tidak takut. 


Tiba- tiba terdengar suara auman yang menggetarkan jantung dan Tin Han melompat berdiri. Tahu-tahu di depannya telah berdiri seekor harimau kumbang yang cukup besar, yang mendesis-desis dan memperlihatkan taringnya ketika binatang itu melihat Tin Han.

Anak lain tentu sudah menangis dan tubuhnya menjadi lumpuh berhadapan dengan harimau itu. Akan tetapi Tin Han dengan tabah lalu menakut-nakuti harimau itu dengan menggereng pula dan tangannya mengambil sebongkah batu untuk disambitkan kepada harimau. 


Akan tetapi, harimau itu pandai mengelak lalu mengaum lagi, kini siap untuk meloncat dan menerkam bocah yang berani menyerangnya itu. Tin Han menyambar sepotong kayu dari bawah pohon dan siap- untuk melawan. Dia tidak akan menyerah begitu saja! 

Dengan penuh keberanian dia memegang tongkat kayu itu
dan siap memukul kalau harimau itu berani mendekatinya. Tiba-tiba harimau itu menggereng dan melompat, menerkam ke arah Tin Han. 


Akan tetapi berbareng dengan itu sebuah sinar hitam menyambar dan ternyata sinar itu adalah sepotong batu yang menyambar cepat dan mengenai hidung harimau itu. 

Harimau itu terpelanting dan menggereng kesakitan, memandang Tin Han dengan bingung. Mendadak menyambar lagi sepotong batu yang
mengenai kepalanya. Batu itu menyambar demikian kuatnya sehingga harimau itu menggereng kesakitan lalu membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang meninggalkan Tin Han.

Tentu saja Tin Han merasa heran bukan main. Tiba-tiba terdengar seruan dari belakangnya. "Sian-cai......... !"

Dia cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang kakek berpakaian kuning berdiri di situ. Kakek ini sudah tua, paling sedikit enam puluh lima tahun usianya dan berjenggot panjang putih, akan tetapi kepalanya botak dan dia memakai sebuah topi kain.


Melihat kakek itu, Tin Han yang cerdik mengerti mengapa harimau itu tadi melarikan diri. Kiranya kakek ini yang telah menolongnya dan menyambitkan batu kepada harimau itu.


Dengan sikap hormat dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, kakek yang baik.


Kalau tidak ada kakek yang menolong, tentu sekarang saya sudah berada dalam perut harimau tadi!" katanya sambil memberi hormat.


Kakek itu mengelus jenggotnya yang panjang. "Anak yang baik, engkau tidak takut menghadapi harimau itu?"
"Saya tidak takut dan akan melawan mati-matian, kek."
"Siapakah namamu, anak yang baik?"


"Nama saya Cia Tin Han, kek."
Kakek itu melebarkan kedua matanya yang sipit. "Ah, kiranya engkau ini keturunan keluarga Cia yang berada di Hui on?"
"Benar sekali, kek."


"Engkau tentu pandai bersilat maka begitu berani."
"Tidak, kek. Aku tidak pandai silat, malah aku tidak senang mempelajari ilmu silat."


"Ehhh" Bukankah engkau ini keturunan keluarga Cia"
Siapakah ayahmu, anak Cia Hok atau Cia Bhok?"


"Paman Cia Hok dan paman Cia Bhok belum menikah, kek. Saya adalah anak ayah Cia Kun"
"Hemm, bagus. Cia Kun itu putera pertama dari nenek Cia, tentu ilmu silatnya lihai. Kenapa engkau tidak suka belajar silat?"


"Ilmu silat itu kasar dan hanya dipakai untuk berkelahi saja. Aku tidak suka berkelahi."
"Ha-ha, akan tetapi ada kalanya engkau dipaksa untuk berkelahi, sepert ketika engkau bertemu dengan harima tadi.


Kalau engkau pandai silat, tentu engkau akan mampu mengalahkan harimau tadi. Begini saja, engkau mempelajari ilmu silat dari aku, bagaimana" Tidak perlu orang tuamu dan keluarga Cia tahu. Aku mengajarmu dengan diam-diam dan engkau boleh terus menyembunyikan kepandaianmu.

Sekali waktu kepandaianmu itu tentu akan ada gunanya."
"Aku tidak suka, kek."
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Hemm, engkau anak yang keras hati. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan menunjukkan jalan pulang padamu. Hendak kulihat sampai di mana kekerasan hatimu. 


Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itu sudah lenyap dari depan Tin Han.
Tin Han menjadi bingung. Hari sudah hampir malam dan dia masih belum dapat pulang. 


Karena mencari jalan pulang di waktu malam gelap lebih tidak mungkin lagi, maka dia lalu memanjat pohon itu dan bertekad melewatkan malam di atas pohon. 
Dengan demikian tidak akan ada harimau yang mengancamnya! Dia sudah melupakan lagi kakek tadi.

Semalam suntuk Tin Han tidak dapat memejamkan matanya. Dia takut kalau sampai tertidur lalu terjatuh dari atas pohon. Malam itu dinginnya menembus tulang. Dia kedinginan dan kelaparan. Akan tetapi tetap saja dia tidak mengeluh apa lagi menangis.


Pada keesokan paginya, dia turun dari atas pohon dan kembali dia berusaha mencari jalan untuk menuruni puncak. Dan seperti juga kemarin, usahanya tidak pernah berhasil dan dia hanya berputar-putar sekeliling puncak.
Perutnya semakin lapar dan tenaganya semakin habis.


Akhirnya dia tiba di bawah pohon yang kemarin di mana dia berhadapan dengan kakek itu. Dia benar-benar bingung.


Kedua kakinya seperti patah-patah rasanya dan seluruh tubuhnya lemas. Malam kembali tiba. Sehari tadi dia hanya dapat mengisi perutnya dengan air yang didapatnya dalam perjalanan mencari jalan turun itu. 


Kini perutnya terasa perih sekali dan sering berkeruyuk. Setelah malam tiba, kembali dia memanjat pohon dan berdiam di atas pohon.
Akan tetapi rasa kantuk menyerangnya. Tak tertahankan rasanya. 


Matanya terpejam dan diapun jatuh tertidur. Akan tetapi tubuhnya terguling dari atas batang pohon dan tubuh itu tentu telah terbanting ke atas tanah sekiranya dia tidak cepat
mencengkeram ke kanan kiri dan berhasil mencengkeram ranting pohon. 


Dengan sisa tenaga yang
masih ada, dia mengangkat tubuhnya kembali sehingga
dapat duduk di atas batang pohon.
Tin Han sudah lemas sekali. Akan tetapi dia berkeras hati untuk bertahan dan menggosok-gosok kedua matanya sampai pedih sehingga dia tidak sampai tertidur.


Pada keesokan paginya dia sudah tidak dapat turun dari pohon itu. Ketika dicobanya untuk turun, kaki tangannya gemetar dan tidak bertenaga sama sekali sehingga dia hanya mendekap batang pohon itu dan tidak dapat turun.


Tiba-tiba di bawah pohon telah berdiri kakek yang kemarin dulu berada di situ. Kakek itu menengadah dan melihat Tin Han memeluk batang pohon, dia tertawa.


"Bagus! Kekerasan hatimu luar biasa dan daya tahanmu juga luar biasa. Engkau berbakat baik sekali. Cia Tin Han, aku mau menolongmu turun dan memberi makan, akan
tetapi berjanjilah dulu bahwa engkau suka menjadi muridku. 


Engkau akan kuantar pulang dan secara diam-diam aku akan mengajarkan silat kepadamu! Bagaimana"
Apakah engkau memilih mati kelaparan di atas pohon itu dari pada menjadi muridku" Apakah engkau sebodoh itu?"


Tin Han berpikir keras. Tentu saja bodoh sekali kalau dia memilih mati. Biarlah dia berjanji menjadi murid kakek itu.
Kelak kalau kakek itu melihat dia tidak berbakat, tentu akan berhenti sendiri mengajar.


"Baiklah, kakek. Saya mau menjadi muridmu," katanya dengan suara lemah.
Kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon. Dia memegang lengan Tin Han lalu melayang lagi ke bawah membawa Tin Han yang akhirnya dapat selamat tiba di atas tanah. 


Karena kedua kakinya lemas, Tin Han jatuh `berlutut dan diapun memenuhi janjinya, menyebut, "Suhu. ..... !" dan memberi hormat.
"Ha-ha-ha, ketahuilah, Tin Han. Aku ini bukan orang lain karena aku adalah suheng dari nenekmu. 


Nenek Cia adalah adik seperguruanku, akan tetapi sudah lama aku menghilang dari dunia ramai sehingga nenekmu sendiri tentu mengira bahwa aku sudah mati. 

Dahulu sekali, orang menyebutku dengan kata-kata pujian, akan tetapi aku sudah melupakan itu dan sekarang, karena aku memang
tidak mempunyai nama, bagimu aku adalah Bu Beng Lo-jin (Orang Tua Tak Bernama). Mulai saat ini engkau menjadi muridku. Aku akan menentukan di mana engkau akan
belajar dariku. Sekarang, lebih dulu makan dan minumlah!"


Dari balik jubahnya kakek itu mengeluarkan sepotong besar roti kering dan daging kering, juga sebuah guci yang isinya air jernih.
Tanpa disuruh dua kali Tin Han lalu makan roti dan daging kering. Dia minum air dari guci itu dan perutnya terasa kenyang, tenaganya pulih kembali.


"Sekarang mari ikuti aku pulang. Kalau ditanya keluargamu katakan saja bahwa engkau tersesat selama dua hari dua malam. Kemudian kau boleh pulang bersama keluargamu. 


Akan tetapi setiap malam engkau harus pergi keluar dari kota Hui-cu, di luar pintu gerbang utara dan aku akan menantimu di sana."
Mereka lalu menuruni puncak. Karena kalek itu mengenal jalan, maka sebentar saja mereka sudah tiba di lereng bukit Lo-sian. 


Tiba-tiba mereka mendengar suara memanggil-manggil namanya. "Tin Han......... Tin Han.........
Tin Han mengenal suara ayahnya. Bu Beng Lo-jin lalu berkata, "Nah, engkau. temuilah mereka. Aku akan pergi dulu. Ingat, malam nanti di luar pintu gerbang utara."


Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itu sudah menghilang.

"Tin Han......... !" Suara itu kembali terdengar.

"Ayah, aku berada di sini!" Tin Han berseru sambil berlari menghampiri ke arah suara. Tak lama kemudian dia melihat ayahnya, kedua orang pamannya dan juga neneknya berlari-lari menghampirinya.


"Tin Han.......... !" Cia Kun membungkuk lalu memondongnya. "Engkau membikin kami gelisah setengah mati! Ke mana saja engkau pergi?" tanya ayah yang merasa girang bukan main melihat anaknya yang kedua ini dalam keadaan selamat.


"Aku bermain-main di puncak, lalu tersesat dan tidak dapat turun sampai dua hari dua malam," kata Tin Han.

Nenek Cia menghampiri Tin Han dan memegang lengannya untuk merasakan denyut nadinya. Nenek itu mengerutkan alisnya dan memandang heran.

"Akan tetapi engkau tidak kelaparan! Apa saja, yang kaumakan?" tanyanya sambil memandang dengan tajam penuh elidik.
Tin Han maklum akan kelihaian nenek yang tentu tidak dapat dibohongi bahwa dia tidak makan apa-apa, maka diapun lalu berkata, 


"Aku kelaparan dan aku memetik daun-daun muda untuk kumakan, nek. Dan minum air jernih.
Untung tadi aku menemukan jalan turun."


Nenek Cia percaya dan dengan gembira keluarga itu
membawa Tin Han pulang. Demikianlah, mulai malam itu, Tin Han diam-diam meninggalkan rumahnya, lalu pergi keluar pintu gerbang utara, di mama Bu Beng Lo-jin sudah menunggu dan dia dibawa ke sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi di luar hutan dan' mulai mengajarkan ilmu silat kepadanya.

Sungguh aneh. Setelah diberi petunjuk oleh kakek itu, timbul keinginan Tin Han untuk belajar dengan sungguh-sungguh. 

Pengalamannya tersesat di puncak itu agaknya telah menyadarkannya bahwa ilmu silat amat berguna
untuk membela diri dari bahaya.
Untuk menghilangkan kecurigaan keluarganya, terutama nenek Cia, mulai hari itu Tin Han mau juga dilatih ilmu silat oleh ayahnya. 


Dia mulai mengenal ilmu silat keluarga Cia, akan tetapi dibandingkan dengan kakaknya, Cia Tin Siong, dia ketinggalan jauh dalam ilmu silat keluarga mereka itu.

Semua ilmu yang dipelajarinya dari Bu Berg Lo-jin dirahasiakan dan tidak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga. Setelah mempelajari ilmu silat selama sepuluh tahun, dalam usia duapuluh tahun, Tin Han ditinggalkan Bu Beng Lo jin. 


"Engkau sudah maju pesat sungguhpun belum mencapai kesempurnaan dalam ilmu silatmu. Dengan ilmu silatmu sekarang, agaknya sudah sukar dicari orang yang dapat mengalahkanmu. 

Sudah tiba waktunya kita berpisah, Tin Han. Ingat, Jangan sekali-kali menceritakan tentang diriku kepada siapapun juga."

Bu Beng Lo-jin meninggalkan Tin Han. Pemuda ini dalam pandangan keluarganya tetap sebagai seorang pemuda yang lebih pandai ilmu sastra ketimbang !mu silat. Mereka menganggap bahwa ilmu silat yang dikuasai Tin Han tidak terlalu tinggi, tidak seperti yang dikuasai Cia Tin Siong. 


Dan selalu Tin Han juga bersikap seperti seorang pemuda yang lemah lembut.
Akan tetapi pemuda ini mewaris watak patriot dari keluarganya. Ia pun membenci pemerintah penjajah Manchu. Dia tidak dapat tinggal diam saja meliha betapa penjajah Mancu menguasai tanah airnya. 

Berbeda dengan keluarganya yang
menentang penjajah secara terang-
terangan, Tin Han menentang secara diam-diam Bahkan setiap kali dia melakukan sesuatu untuk menentang para penjajah, dia selalu mengenakan pakaian hitam dan juga topeng hitam sehingga dia hanya dikenal sebagai Si Kedok Hitam.

Hanya ada perbedaan antara sikap Tin Han dan sikap keluarga Cia. Keluarg. Cia membenci semua orang yang memegang kedudukan sebagai pembesar Mancu dan memusuhi mereka. Bahkan keluarga Cia tidak segan-segan untuk bersekutu dengan orang-orang golongan hitam untuk memberontak. 

Akan tetapi Tin Han tidak demikian. Dia seorang patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan perjahat, bahkan dia bersikap sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan walaupun hal inl dilakukan
dengan diam-diam pula.

Setelah ditinggalkan gurunya, banyak yang sudah dikerjakan Tin Han secara diam-diam. Bahkan ketika dia mendengar betapa Beng-cu, yaitu pemimpin dunia kangouw,
direstui oleh pemerintah Mancu, dia menjadi penasaran dan menganggap Beng-cu itu sebagai antek
Mancu. 


Diam-diam dia lalu mendatangi Beng-cu Souw Tek Bun di Hong-san dan menantangnya. Dalam pertandingan yang seru, dia terluka sedikit lengannya oleh pedang yang lihai dan Souw Tek Bun, akan tetapi sebaliknya, dia berhasil memberi pukulan yang dahsyat kepada Beng-cu itu sehingga Souw Tek Bun menderita luka dalam yang cukup parah.

Perbuatan inilah yang membuat Souw Lee Cin mendendam kepada Si Kedok Hitam! Ia mendengar dari
ayahnya bahwa penyerangnya adalah seorang pemuda
berkedok hitam dan Lee Cin berangkat pergi untuk mencari Si Kedok Hitam untuk membalas dendam.

Dalam kisah Dewi Ular sudah diceritakan dengan jelas tentang pertemuan Lee Cin dengan Si Kedok Hitam. Aka tetapi berulang kali Si Kedok Hitam menyelamatkan Lee Cin sehingga membuat gadis ini menjadi bingung. Di satu pihak dia mendendam kepada Si Kedok Hitam, yang sudah melukai ayahnya akan tetapi di lain pihak berulang kali dia diselamatkan oleh Si Kedok Hitam.







Paling akhir, kembali Lee Cin yang dikeroyok keluarga Cia diselamatkan oleh Si Kedok Hitam. Gadis ini lari
bersembunyi dan mengintai bagaimana Si Kedok Hitam
dikeroyok oleh keluargga Cia. 


Ia melihat pula ketika Nenek Cia menggunakan tongkatnya untuk merenggut lepas topeng hitam sehingga ia melihat bahwa Si Kedok Hitam itu bukan lain adalah Cia Tin Han! 

Akan tetapi ketika itu, Nenek Cia yang marah sekali melihat bahwa orang yang selama ini menentangnya adalah cucunya sendiri, mengirim tendangan yang membuat Tin Han terlempar dan jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam! 

Akan tetapi ketika gadis itu mencari jenazah pemuda yang terjatuh dari tempat yang demikian tinggi, ia tidak dapat menemukan jenazah itu! Tin Han telah lenyap seperti ditelan bumi!

Apakah yang telah terjadi dengan Tin Han" Benarkah dia mati ketika terjatuh ke dalam jurang yang demikian dalamnya" Tuhan Yang Maha Kuasa agaknya belum menghendaki kematian pemuda ini!

Ketika dirinya tertendang dan terlempar jatuh ke dalam jurang, Tin Han masih sadar. Dia merasakan tubuhnya melayang, makin lama semakin cepat dan dia tidak dapat berdaya. 

Kepalanya menjadi pening dan matanya menjadi gelap. Dia tidak dapat berdaya untuk menolong diri sendiri, maka diapun sudah pasrah saja, memejamkan matanya dan menghadapi kematian.

Namun tiba-tiba sekali sesosok bayangan hitam menyambar dari atas dan Tin Han merasa tubuhnya
tertahan dari kejatuhannya. Punggung bajunya terkait sesuatu, akan tetapi tubuhnya tidak berhenti melainkan melayang terus ke depan, tidak jatuh ke bawah! 


Diapun mendengar kelepak sayap burung. Ketika dia berdongak dan memandang ke atas, matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati karena mendapatkan dirinya dicengkeram oleh seekor burung rajawali hitam yang sangat besar!
Cengkeraman kaki burung itulah yang mengait punggung bajunya dan kini burung itu membawanya terbang ke arah depan, dengan kecepatan yang membuat dia pening!

Tin Han menggoyang kepalanya untuk mengusir kepeningannya dan mulai berpikir. Apa yang harus dilakukannya" Kalau dia meronta dan memegang kaki burung lalu menghantamnya, tentu dia akan celaka. 


Kalau burung itu melepaskan cengkeram kakinya, tentu dia akan terjatuh ke bawah! Akan tetapi kalau membiarkan dirinya, dia hendak dibawa ke manakah" Mungkin ke sarang burung itu, di mana dia, akan dimangsa bersama anak-anaknya.

Akan tetapi kemungkinan kedua ini lebih baik. Kalau dia sudah dilepaskan oleh burung itu, dimana saja, baru dia akan melawan burung itu dan mengusirnya. Maka, diapun diam saja dan diam-diam mengumpulkan hawamurni untuk menghimpun kekuatan agar nanti dapat dipergunakan untuk melawan burung rajawali hitam yang amat besar ini.

Dari atas dia melihat bahwa rajawali hitam itu membawanya terbang ke arah sebuah bukit, bukan lagi
bukit Lo-sian, melainkan sebuah bukit yang berdekatan dengan Lo-sian-san. Dia teringat bahwa bukit itu disebut Bukit Hitam karena dari jauh hutan-hutannya yang lebat membuat bukit itu tampak menghitam. 


Hutan-hutannya amat besar dan liar, dan kabarnya tidak pernah ada orang berani memasuki hutan itu. 
Dan kini rajawali hitam itu membawanya ke bukit yang menakutkan itu!

Setelah tiba di atas bukit itu, rajawali mulai turun lalu terbang berputaran di atas puncak bukit. Tak lama lagi aku tentu akan diturunkan di sarangnya, pikir Tin Han dan dia sudah bersiap-siap untuk menyerang begitu diturunkan.

Kini rajawali hitam itu terbang berputaran di atas sebuah pondok yang terdapat di puncak itu! Sebuah pondok! Tempat tinggal manusia, bukan sarang burung. 


Beberapa kali burung itu mengeluarkan teriakan yang melengking, memekakkan telinga Tin Han.
Dia melihat dua orang keluar dari pintu pondok itu dan mereka berdongak ke atas, lalu menuding-nuding ke arah burung. 

Seorang di antara mereka lalu berseru dengan suara nyaring, "Hek-tiauw ko (Rajawali Hitam), turunkan pemuda itu di sini perlahan-lahan!"
Burung itu seperti mengerti ucapan orang itu, lalu menyambar turun dan setelah dekat dengan tanah, dia
melepaskan cengkeramannya. 


Tin Han melompat turun dan dapat hinggap di atas tanah dengan selamat. Burung itupun turun tak jauh dari situ, lalu membersihkan bulu-bulunya dengan paruhnya.
Tin Han merasa kecelik. Burung itu tidak hendak menjadikan dia sebagai mangsanya, melainkan menyerahkan kepada majikannya. 


Dia cepat memutar tubuh menghadapi kedua orang itu dan dia terbelalak, lalu cepat menjatuhkan dirinya berlutut.

"Suhu.......... !!!" Dia berseru girang sekali. Kiranya seorang di antara kedua orang itu adalah Bu Beng Lo-jin, gurunya ang sudah hampir dua tahun meninggalkannya.


"Tin Han, tidak kami sangka engkau orangnya yang dibawa Hek-tiauw-ko ke sini. Bagaimana asal mulanya
engkau dapat dibawa burung itu ke sini?"


"Suhu, kalau tidak ada burung rajawali itu yang menolong teecu, sekarang teecu tentu sudah mati. Teecu terjatuh dari tebing gunung yang amat curam, lalu disambar oleh burung rajawali ini."


"Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali. Memang burung itu dilatih untuk itu. Dan engkau harus menghaturkan terima kasihmu kepada sahabatku ini. Karena Thay Kek Cin-jin inilah yang menjadi majikan Hek-tiauw-ko!" Bu Beng Lojin -nenunjuk kepada seorang kakek lain yang sejak tadi berdiri di sebelahnya. 


Tin Han memandang kakek itu dan terkejut melihat sinar mata kakek itu yang ketika memandangnya dia merasa seperti ada kilat menyambar.
Begitu penuh wibawa sinar mata itu.
Tin Han lalu berlutut di depan kakek itu dan berkata,"Teecu Cia Ti Han menghaturkan terima kasih kepada locian-pwe."


Kakek itupun berjenggot panjang dan dia mengelus jenggotnya sambil berseru, "Sungguh kalau sudah jodoh tak dapat dihalangi lagi. Hek-tiauw-ko sudah menyelamatkanmu, itu berarti sudah jodoh. Dan pinto (saya) tidak dapat menentang takdir. Bu Beng Lo-jin, kebetulan sekali yang berjodoh itu muridmu sendiri sehingga pinto tidak akan meragukan lagi wataknya!"


"Ha-ha-ha!
Tin Han, mengertikah engkau" Cepat haturkan terima kasih karena baru saja They Kek Cin-jin ini menerima
engkau menjadi muridnya! Peruntunganmu sungguh baik sekali. Terlepas dari cengkeraman maut
bahkan bertemu dengan seorang manusia dewa yang sukar dicari keduanya di dunia ini, ha-ha ha!"

Tin Han terkejut dan girang sekali. Kiranya kakek tadi bicara soal jodoh antara guru dan murid. Tentu saja dia girang dan cepat dia memberi hormat sambil berlutut, lalu menyebut, "Suhu, teecu siap melaksanakan semua petunjuk suhu."

Kakek yang disebut sebagai Thay sek Cin-jin itu mengangguk-angguk dan berkata, "Tin Han, jangan lupa mengucapkan terima kasih kepada Hek-tiauw-ko atau dia akan menganggap engkau seorang manusia yang tidak mengenal budi."

Tin Han lalu bangkit berdiri dan menghampiri burung itu. Burung itu besar sekali, tingginya lebih dari Tin Han. Tin Han lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada burung itu dan berkata, "Hek-tiauw-ko, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu yang sudah menyelamatkan nyawaku."
Burung itu mengangkat muka ke atas dan mengeluarkan bunyi nyaring tiga kali, kemudian mengebut-ngebutkan sayapnya dan terbang melayang berputaran di atas pondok itu.


Dua orang kakek itu tertawa dan Thay Kek Cin-jin berkata, "Hek-tiauw-ko tidak mengenal terima kasih dan sikap Tin Han hanya membuat dia malu."
Diam-diam Tin Han kagum bukan main kepada burung itu. Bu Beng Lo-jin lalu menghampirinya dan berkata, "Nah, Tin Han. Engkau berdiamlah di sini dan jadilah murid yang baik dari Thay Kek Cin-jin."


"Ha-ha-ha, Bu Beng Lo-jin. Pinto tidak dapat lama-lama berdiam di sini. Paling lama pinto hanya dapat mengajarkan ilmu selama tiga bulan saja kepada Tin Han," kata Thay Kek Cin-jin.


Bu Beng Lo-jin lalu berkata lagi kepada Tin Han. "Tin Han, kalau dia mau mengajarmu selama tiga bulan, itu sama saja dengan kalau engkau belajar selama sepuluh tahun dariku. Cepat haturkan terima kasih!"


Tin Han terkejut dan girang, lalu menghaturkan terima kasih kepada gurunya yang baru.
"Thay Kek Cin-jin, sekarang terpaksa aku harus meninggalkan tempat ini. Sudah tiga hari tiga malam aku tinggal sini, sudah cukup lama. 


Selamat berpisah kawan, dan engkau rajin-rajinlah mempelajari ilmu di sini, Tin Han!"
"Sian-cai ...... engkau selalu melakukan perjalanan.
Kapankah perjalananmu itu akan berhenti, sobat?" kata Thay Kek Cin-jin.


"Bukankah hidup ini suatu perjalanan" Aku menurutkan hati dan kakiku, Cin-jin dan selama ini hati dan kakiku tak pernah mengecewakan aku. Nah, selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Bu Beng Lo-jin berkelebat dan lenyap dari situ.


"Nah, Tin Han. Pinto hanya dapat memberi bimbingan kepadamu selama tiga bulan saja. Karena itu pinto harus melihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Hektiauw-ko yang akan menjadi teman berlatih untukmu."


Kakek itu lalu mengeluarkan suara melengking pendek dan burung rajawali hitam itu lalu menyambar turun dan hinggap di atas tanah depan Thay Kek Cin-jin.
"Hek-tiauw-ko, engkau harus melayani Tin Han ini berlatih setiap kali dikehendakinya.


Sekarang, ujilah kepandaiannya, akan tetapi jangan melukainya!"
Burung itu seperti mengerti ucapan orang dan dia lalu berloncatan menghadapi Tin Han, dan mengeluarkan suara pendek tiga kali seperti menantang bertanding!


"Bersiaplah, Tin Han. Jangan pandang ringan Hek-tiauwko atau engkau akan dirobohkan dalam beberapa gebrakan saja! Mulailah, engkau boleh menyerangnya lebih dulu!"


Tin Han menaati perintah ini. Dia lalu menerjang ke depan untuk menghantam ke arah dada burung rajawali itu.
"Wuuuutt ..... plakk!"
Tin Han terkejut sekali ketika sayap burung itu menangkis pukulannya dan hampir saja dia terpelanting. 


Demikian kuatnya sayap itu. Hal ini
membuatnya lebih berhati-hati dan dia lalu menerjang lagi, menampar ke arah kepala burung sambil melompat ke atas. Akan tetapi kembali sayap burung menangkis dan Tin Han menarik kembali tamparannya lalu kakinya menendang ke arah perut burung. 


Hek-tiauw-ko kembali dapat mengelak dan mereka lalu bertanding dengan serunya. Tin Han membatasi pukulannya karena dia tidak mau melukai burung yang telah menyelamatkan nyawanya.

Burung itupun menyerang dengan patukan paruhnya dan sabetan sayapnya. Akan tetapi Tin Han yang maklum akan besarnya tenaga burung itu, mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan balas menyerang. 

Akan tetapi sampai limapuluh jurus, belum juga dia dapat mengalahkan Hektiauw-ko, bahkan ketika burung itu membuka kedua sayapnya dan menyerang dengan kedua sayap bergantian, dia menjadi terdesak dan terhuyung.

"Cukup!" kata Thay Kek Cin-jin dan burung itupun menghentikan gerakannya dan melompat ke belakang. Juga Tin Han menghentikan gerakannya, lalu menghadap gurunya.

"Bagus, ternyata tidak sia-sia Bu Beng Lo-jin memimpinmu selama sepuluh tahun, Tin Han. Ilmu
kepandaianmu sudah cukup bagus dan kalau engkau tidak membatasi tenagamu, belum tentu Hek-tiauw-ko akan mampu mempertahankan diri terhadap serangamu. 


Dalam waktu tiga bulan ini, pinto akan mengajarkan cara 
menghimpun sinkang untuk 
memperkuat sinkang dalam 
tubuhmu dan semacam ilmu silat tangan kosong yang pinto ambil dari gerakan-gerakan Hek-tiauw-ko. 

Ilmu silat ini boleh kau namakan 
Hektiauw-kun (Silat Rajawali Hati
Kosong). Disebut demikian karena 

untuk dapat menghimpunnya, 
engkau harus dapat mengosongkan semua hati akal pikiranmu, dan kalau engkau sudah dapat melatih sampai ke puncaknya, kiranya akan sukar ada orang dapat menandingi sin-kangmu itu. 

Nah, kini perhatikan Hek-tiauwkun yang harus kaupelajari baik-baik."
Kakek itu lalu bersilat dan banyak gerakannya mirip dengan gerakan burung rajawali, kedua lengan menjadi seperti sayap dan kedua kaki menjadi cakar. 


Bahkan kepala dapat dipergunakan untuk menyerang seperti seekor burung rajawali menyerang dengan paruhnya.
Mulai hari itu, Tin Han belajar ilmu silat dengan tekun sekali. Selain mempelajari ilmu silat, diapun melayani suhunya dengan baik. 


Mencarikan sayur-sayuran yang
disukai gurunya, memasakkan masakan dan mencarikan air minum. Semua dilakukan dengan tekun dan penuh perhatian sehingga hati Thay Kek Cin-jin menjadi semakin suka kepada pemuda itu. 


Baru sebulan belajar, Hektiauw-ko sudah tidak mampu melawannya. Dalam belasan jurus saja dia sudah mampu merobohkan burung itu sehingga terpelanting dan akhirnya burung itu tidak mau lagi diajak berlatih!

Waktu berlalu dengan amat cepatnya dan tahu-tahu tiga bulan telah lewat! Akan tetapi, Tin Han sudah mampu menguasai dua ilmu itu dalam waktu tiga bulan! Hal ini bukan karena ilmunya yang mudah dipelajari, akan tetapi karena dia telah memiliki dasar yang kuat yang diberikan oleh Bu Beng Lo-jin dan terutama sekali karena ketekunannya. 


Setiap hari dia berlatih sampai jauh malam!
Setelah lewat tiga bulan, pada suatu hari Thay Kek Cin-jin memanggilnya. Tin Han yang telah tahu bahwa waktunya tiba, segera menghadap kakek itu dan dia berlutut di depan kakinya.


"Tin Han, engkau tentu telah mengetahui bahwa waktu tiga bulan yang kuberikan kepadamu telah tiba. Hari ini engkau harus berpisah dari pin-to. Pinto sendiri akan pergi meninggalkan tempat ini dan entah kapan akan kembali.


Pesan pin-to yang terakhir, jangan meniru perbuatan keluarga Cia yang demi perjuangan tidak segan untuk
bersekutu dengan orang jahat dan orang Jepang seperti yang telah kauceritakan kepada pin-to. 

Pendapatmu sudah benar.

Perjuangan mengusir penjajah 

Mancu baru akan dapat terlaksana kalau semua orang gagah semua penjuru bersatu menghimpun tenaga rakyat, karena hanya rakyat dengan pimpinan pendekar patriot sejati saja yang akan mampu mengusir penjajah Mancu yang saat ini sangat kuat.

Sebelum mendapat kesempatan ke arah itu, engkau bertindaklah sebagai seorang pendekar yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, menolong yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Ingat, banyak pejabat Mancu yang terdiri dari orang-orang Han yang gagah perkasa dan mereka itu sedikit banyak mengurangi penindasan yang dilakukan pemerintah terhadap
rakyat. 


Kebiasaan yang dahulu dengan menyembunyikan diri di balik kedok adalah suatu hal yang baik dan menguntungkan. Membantu dan menolong orang tidak perlu menonjolkan diri dan tidak perlu dikenal, selain itu engkau tidak mudah dicari oleh orang-orang Mancu yang mungkin akan mengejar ngejarmu sebagai seorang penjahat yang menentang pemerintah. Mengertikah engkau, Tin Han?"

"Teecu mengerti, suhu. Ada satu hal yang. teecu mengharapkan akan mendapat persetujuan suhu."
"Hemm, katakanlah. Apa itu?"
"Kalau teecu menyembunyikan diri di balik kedok, teecu harus menyembunyikan juga nama aseli teecu. Karena itu, kalau suhu menyetujui, teecu akan memakai nama Hektiauw-ko sebagai nama samaran karena biasanya teecu
memang suka mempergunakan pakaian serba hitam."


"Ha-ha-ha, bagus sekali! Pin-to setuju! Engkau boleh memakai nama Hektiauw Eng-hiong (Pendekar Rajawali Hitam), akan tetapi ingat, jangan mencemarkan nama baik Hek-tiauw-ko yang pernah menyelamatkan nyawamu."


"Teecu akan menaati semua pesan suhu."
"Nah, sekarang pin-to akan pergi!" Kakek itu lalu mengeluarkan pekik melengking pendek dan tak lama
kemudian Hek-tiauw-ko terbang menyambar ke bawah. Tin Han cepat menghampiri burung itu dan merangkul lehernya.


"Hektiauw-ko, kita akan berpisah. Yang baik-baik menjaga suhu dan dirimu sendiri." Hati Tin Han terharu juga karena burung raksasa itu telah menjadi sahabat baiknya, bahkan menjadi teman berlatihnya.
Thay Kek Cin-jin lalu melompat dan dengan ringan tubuhnya melayang naik ke atas punggung burung itu. 


"Hek tiauw-ko mari kita pergi!" katanya dan sekali kakinya menendang, burung itu mengembangkan sayapnya dan
terbang ke atas dengan cepatnya. Tin Han mengikuti dengan pandang mata kagum. Dia sendiri selama beberapa bulan di situ, sudah pernah beberapa kali menunggang Hek-tiauw-ko dan dibawa terbang sampai ke awan di langit. 


Setelah berputar beberapa kali, burung itu mengeluarkan pekik 
nyaring beberapa kali seolah memberi salam kepada Tin Han, lalu dia melayang jauh.
Tin Han memandang sampai titik hitam itu lenyap dari pandang matanya. 


Kemudian diapun meninggalkan tempat itu sambil menikmati pemandangan alam yang tampak dari puncak itu. Jalan menuruni bukit penuh dengan hutan belukar, akan tetapi dengan hati ringan dia memasuki hutan. 

Halangan jurang kalau tidak terlalu lebar dia lompati dengan mudah. Setelah dia melatih diri dengan Khong-sim Sin-kang, tubuhnya terasa ringan dan lompatannya juga amat jauh.

Dia merasa berkewajiban untuk mencari keluarganya,setidaknya mencari ayah ibunya. Betapapun marahnya ayah ibunya, dia yakin kalau melihat dia yakin kalau melihat dia selamat mereka tentu akan merasa senang sekali. 


Kalau neneknya masih marah kepadanya, dia akan minta ampun kepada neneknya yang amat galak itu. Dia lalu menggunakan ilmu berlari cepat menuruni lereng bukit itu.


          **********


Pegunungan Hong-san tampak indah berseri karena musim bunga telah tiba. Di mana-mana pada permukaan
pegunungan itu tampak kehijauan dihias warna-warni bunga beraneka ragam. Indah sekali di pegunungan kalau musim semi atau musim bunga tiba. 


Dan suasana yang indah itu menjadi meriah dan indah sekali dengan
beterbangannya ratusan ekor kupu-kupu yang juga berwarna-warni. 


Burung-burung berkicau di pohon-pohon dengan suara riang gembira.
Souw Lee Cin ikut merasakan suasana yang cerah dan riang gembira itu. 


Hatinya juga gembira karena ia akan bertemu dengan ayahnya. Telah lama ia meninggalkan ayahnya dan merasa rindu. Juga dengan penuh harapan ia mendaki bukit Hong-san itu, harapan untuk melihat ibunya berada di puncak menemani ayahnya!

Setelah tiba di pondok yang berada di puncak gunung Hong-san, harapan Lee Cin terpenuhi. Dengan girang sekali ia melihat ayahnya keluar dari pondok menyambutnya,
dengan Ang-tok Mo-li Bu Siang di sisinya! 


Dan ibunya juga tampak cantik dan bersih, sinar matanya cemerlang dan tidak ada lagi sinar kejam yang dahulu tampak dari pandang mata ibunya. Dari pandang mata dan senyum di bibir ibunya, ia dapat mengetahui bahwa ibunya merasa berbahagia! 

"Ayah......... Ibu......... !" Lee Cin berlari menghampiri dan di lain saat ia telah berangkulan dengan ibunya. Dan Lee Cin tidak dapat menahan lagi air matanya! Air mata bahagia dan sekaligus air mata kedukaan! 

Melihat ibunya kini berbahagia dengan ayahnya tentu saja ia merasa senang, akan tetapi juga mengingatkan ia kepada Cia Tin Han yang membuatnya terharu dan bersedih.

"Eh" Kenapa engkau menangis, anakku?" Bu Siang bertanya heran sekali. Sepanjang pengetahuannya, ketika Lee Cin masih hidup bersamanya, gadis itu berhati keras dan pantang menangis. Kini, pertemuan begitu saja membuatnya menangis! 


Hal ini jelas menunjukkan bahwa perangai anaknya itu telah menjadi halus.
"Aku menangis karena bahagia melihat engkau telah berada di samping ayah, ibu!" Kemudian iapun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada, ayahnya.

"Mari, mari kita masuk dan bicara di dalam, Lee Cin."
"Nah, sekarang ceritakan tentang hal yang paling penting.


Tentang ibumu tidak usah kauceritakan karena aku telah mendengar semuanya dari ibumu."
"Lalu apa yang harus kuceritakan lebih dulu, ayah?"

"Tentang urusanku hendak mengundurkan diri dari jabatan Beng-cu. Apakah engkau sudah menyampaikan kepada Hui Sian Hwe-sio atau Im Yang Sengcu tentang keputusanku itu?"


" Aku sudah menghadap Hui Sian Hwe-sio dan suhu In Kong Thai-su dan menyampaikan keinginan ayah kepada mereka. Dua orang tua itu lalu mengatakan bahwa 

pengunduran diri ayah itu sebaiknya disampaikan dalam rapat pertemuan yang akan diadakan di sini dalam bulan ini juga. 

Dalam rapat itupun akan dibicarakan tentang orang-orang kang-ouw yang terbujuk oleh para bajak laut Jepang untuk melakukan pemberontakan. Karena itu, kita harus bersiap menerima banyak orang kang-ouw yang akan berdatangan ke sini atas undangan Hui Sian Hwe- sio dan suhu In Kong Thai-su."

Souw Tek Bun mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya begitu. Akan lebih sah lagi kalau pengunduran diriku diputuskan dalam rapat pertemuan itu. Sekarang ceritakan bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang Si Kedok Hitam."


Wajah Lee Cin berubah muram mendengar pertanyaan ini karena ia segera teringat akan Cia Tin Han yang terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam itu.


Bu Siang adalah seorang wanita yang berpengalaman.
Melihat perubahan pada wajah anaknya, ia lalu bertanya,
"Eh, apa yang telah terjadi, Lee Cin" Pertanyaan ayahmu tentang Si Kedok Hitam agaknya mendatangkan duka dihatimu. " Lee Cin terkejut. Ia tidak mengira bahwa ibunya telah dapat membaca isi hatinya. Maka iapun mengambil
keputusan untuk berterus terang.

"Ayah, aku sudah temukan Si Kedok Hitam. Akan tetapi ternyata dia bukan seorang jahat. Bahkan tiga empat kali dia menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya yang mengancam diriku. Aku sudah bertanya kepadanya tentang penyerangannya kepada ayah dan dia menjawab sejujurnya bahwa memang benar dia yang melakukannya. 

Akan tetapi dia katakan bahwa hal itu dilakukan hanya untuk
memperingatkan ayah. Dia menganggap bahwa ayah adalah seorang beng-cu dukungan pemerintah Mancu. Dia seorang patriot sejati, ayah, maka dia tidak senang kalau ada orang Han membantu pemerintah penjajah Mancu. 


Diapun bilang bahwa dia juga terluka lengannya oleh pedang ayah.
Bagaimana aku dapat mendendam kepadanya, ayah" Dia menyerang ayah dengan alasan kuat dan sebaliknya dia telah berulang kali menyelamatkan nyawaku. Pantaskah kalau aku memaksanya mengadu ilmu dan nyawa?"


Souw Tek Bun menghela napas.
"Sudah kuduga demikian. Dia memang tidak bermaksud membunuhku karena kalau hal itu dilakukan, tentu sekarang aku sudah tidak berada di dunia ini. Dan alasannya memang kuat.


Sebetulnya itulah sebabnya mengapa aku hendak mengundurkan diri. Pengangkatanku sebagai beng-cu disaksikan dan direstui oleh orang-orang pemerintah Mancu.
Hal ini membuat aku merasa tidak enak, seolah-olah aku diangkat oleh pemerintah Mancu. 


Padahal, di sudut hatiku sendiri aku tidak suka kepada pemerintah Mancu yang menjajah tanah air kita. Sudahlah, Lee Cin, urusanku dengan Si Kedok Hitam sudah kuanggap selesai dan tidak perlu lagi kita mencarinya, tidak perlu kami saling
mendendam. Mungkin dia yang berada di pihak yang benar."


Mendengar ini, wajah Lee Cin semakin muram. Apa artinya menghabiskan permusuhan itu kalau Si Kedok Hitam telah tewas"
"Kenapa engkau masih merasa berduka, Lee Cin?" tanya ibunya.

"Aku teringat kepada Si Kedok Hitam, ibu. Sudah kukatakan tadi betapa sudah beberapa kali dia menyelamatkan diriku dari ancaman bahaya. Dan yang terakhir kalinya, ketika dia menolong dan membelaku, dia terkena tendangan yang membuat dia terlempar dan jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam. 


Aku......... aku sudah mencari jenazahnya, akan tetapi tidak berhasil. Ia mati dalam keadaan mengerikan, bahkan jenazahnya tidak dapat kutemukan." Lee Cin tidak dapat menahan kesedihannya dan cepat menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut beberapa titik air mata yang membasahi pipinya.

Bu Siang dan Souw Tek Bun saling pandang. Mereka sudah cukup tua untuk dapat menduga apa yang bergolak dalam hati puteri mereka.
"Lee Cin, kau..... kau cinta padanya?" tanya Bu Siang.
Lee Cin memandang kepada ibunya, tidak dapat menjawab dan tiba-tiba ia menubruk dan merangkul ibunya sambil menangis! 


Sikapnya ini sudah merupakan jawaban yang jelas sekali bagi suami isteri itu. Mereka juga ikut berduka bahwa puteri mereka jatuh cinta kepada seorang yang telah mati!
"Lee Cin, tenangkan hatimu," kata Souw Tek Bun dengan suara menghibur. "Kaukatakan sendiri bahwa engkau tidak berhasil menemukan jenazahnya! 


Hal itu berarti bahwa sangat boleh jadi dia belum mati."
Lee Cin melepaskan rangkulan pada ibunya, menyusut air matanya dan memandang kepada ayahnya dengan mata basah.


"Bagaimana mungkin itu, ayah" Tinggi tebing dari mana dia terjatuh itu ribuan kaki. Ketika dari atas tebing aku menjenguk ke bawah, dasarnya tidak nampak, yang tampak hanya kabut. 


Tidak mungkin seseorang yang terjatuh ke dalam jurang yang demikian dalamnya masih dapat selamat." "Akan tetapi buktinya, ketika engkau menuruni tebing itu, engkau tidak dapat menemukan jenazahnya, bukan"

Tidak mungkin jenazah hilang begitu saja. Banyak peristiwa aneh terjadi di dunia anakku. Siapa tahu Si Kedok Hitam itu dapat tertolong ketika dia melayang jatuh dari atas tebing itu."

Mendengar ucapan ayahnya, wajah yang muram itu mendapatkan sinar kembali. Sinar harapan yang memenuhi hatinya dan terpancar keluar dari pandang matanya.

"Lee Cin," kata ibunya. "Engkau hanya menyebut dia Si Kedok Hitam. Sebetulnya siapakah dia" Siapa namanya"
"Namanya Cia Tin Han, ibu."
"Di mana dia tinggal?"
"Tadinya keluarganya tinggal di Hui-cu."


"Ahhh! Apakah dia mempunyai hubungan dengan keluarga Cia, keluarga pendekar yang tinggal di Hui-cu itu?"
"Benar, ibu. Dia putera kedua."
"Lalu siapa yang menendangnya sampai dia terjatuh ke dalam jurang itu?"



          **********


"Yang menendangnya adalah Nenek Cia, neneknya sendiri." "Ehhhh" Ini membingungkan!"
"Lee Cin, lebih baik engkau ceritakan semua dengan jelas tentang engkau dan Cia Tin Han itu, dan tentang Keluarga Cia di Hui-cu."

Karena sudah menceritakan tentang perasaan hatinya terhadap Cia Tin Han, mau tidak mau Lee Cin harus
menceritakan semuanya.


"Keluarga Cia di Hui-cu adalah keluarga pendekar patriot yang membenci pemerintah Mancu, bahkan membenci semua orang Han yang bekerja kepada pemerintah penjajah.


Akan tetapi mereka telah bersekutu dengan Phoa-ciangkun yang memberontak, dan bersekutu pula dengan orang-orang Jepang."


"Aih, sungguh sayang. Banyak patriot yang berpemandangan sempit, mau saja diperalat oleh pengkhianat dan orang asing," kata Souw Tek Bun.
"Karena di Hui-cu muncul Si Kedok Hitam yang mendatangi para pembesar Han, aku menjadi curiga kepada keluarga itu. 


Tadinya kusangka bahwa yang menjadi Si Kedok Hitam yang telah melukai ayah adalah Cia Tin Siong, cucu pertama Nenek Cia, sehingga aku ingin menantangnya.

Akan tetapi, setelah beberapa kali aku terancam bahaya maut dan Si Kedok Hitam muncul menolongku, aku menjadi sangsi. Cucu Nenek Cia yang kedua, adalah Cia Tin Han akan tetapi pemuda itu merupakan pemuda yang paling lemah di antara keluarga Cia. Agaknya dia tidak mempelajari ilmu silat secara mendalam dan lebih suka mempelajari sastra. 


Dan diapun tidak setuju melihat keluarganya bersekutu dengan orang-orang Jepang. Cia Tin Han seorang patriot sejati yang lebih mengandalkan kekuatan rakyat untuk mengusir penjajah. Karena sikap keluarganya itu, aku jadi bentrok dengan mereka. Apa lagi setelah aku bertemu dengan kakak Song Thian Lee yang sebagai panglima muda menyamar dan melakukan penyelidikan ke timur. 

Aku bekerja sama dengan kakak Song akan tetapi kami tertawan oleh Keluarga Cia yang dipimpin oleh Nenek Cia, kami dikeroyok oleh para pemberontak dan orang-orang Jepang.

Dan ketika kami ditawan, kami dibebaskan oleh Si Kedok  Hitam. Kakak Song Thian Lee lalu memimpin pasukan menyerbu Keluarga Cia yang melarikan diri. 


Ketika aku bertemu mereka, kembali aku tertawan. Ketika aku terancam, muncul Si Kedok Hitam yang menolongku dan menyuruh aku melarikan diri. Aku berlari dan mengintai ketika Si Kedok Hitam menahan serangan semua keluarga Cia. Aku melihat tongkat Nenek Cia merenggut kedok hitam dan tampaklah siapa Si Kedok Hitam! 

Ternyata orang yang lihai sekali ini bukan lain adalah Cia Tin Han yang dalam keadaan biasa tampak lemah. Dan Nenek Cia menjadi marah karena dikhianati cucunya, lalu dia menendang dan Cia Tin Han terlempar lalu jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam itu."

Lee Cin berhenti bercerita dan mengerutkan alisnya.
Ibunya segera merangkulnya. 


"Sekarang aku mengerti mengapa engkau mencinta Si Kedok Hitam atau Cia Tin Han itu. Akan tetapi jangan putus asa, anakku. Apa yang
dikatakan ayahmu tadi benar. 


Belum tentu dia tewas. Boleh jadi sekali dia tertolong, entah oleh apa dan siapa."
"Benar sekali, Lee Cin. Nanti setelah selesai pertemuan rapat dan menyerahkan kembali kedudukan Beng-cu kepada mereka, ibumu dan aku ingin merantau dan biarlah kami berdua membantumu untuk mencarinya," kata Souw Tek Bun.

Lee Cin mengangguk. "Kuharap dia masih hidup seperti yang kaukatakan, ayah. Aku sendiri setelah pertemuan rapat nanti akan pergi juga untuk mencarinya. 

Selama hidup aku akan merasa penasaran kalau tidak mengetahui bagaimana nasibnya. Ayah dan......... aku....... aku cinta padanya dan sebagai Si Kedok Hitam diapun pernah menyatakan cinta kepadaku," kata Lee Cin sambil mengusap setetes air mata.

Bu Siang terharu, merangkul dan mencium puterinya.
"Jangan khawatir, anakku. Kami akan membantumu menemukan dia kembali."

Lee Cin merasa terhibur dan berterima kasih sekali kepada orang tuanya. Mereka lalu bersiap-siap untuk menyambut orang-orang kang-ouw yang akan berdatangan ke Hong-san.



          **********


Tamu pertama yang datang ke Hong-san adalah Thio Hui San yang datang bersama Ceng Ceng. Begitu berhadapan dengan Lee Cin, Ceng Ceng memandang penuh perhatian
seperti teringat akan sesuatu. 


Akan tetapi Lee Cin sudah menghampirinya dan memegang lengan Ceng Ceng dan berkata dengan girang.
"Enci, aku mengenalmu! Bukankah engkau gadis yang menggunakan kebutan dan pedang menyerang Siang Koan Tek untuk menolongku" 


Bukankah engkau murid Thian
Tok?" Kini Ceng Ceng teringat. Gadis ini yang dulu ditolong oleh ia dan gurunya akan tetapi dibawa lari oleh seorang berkedok hitam. "Aih, sekarang aku teringat. Engkau yang dulu dilarikan oleh orang berkedok hitam itu, bukan?"


Thio Hui San tersenyum dan memperkenalkan kedua orang gadis itu. "Ceng moi, inilah nona Souw Lee Cin, puteri beng-cu Souw Tek Bun yang pernah kuceritakan kepadamu.
Cin-moi ini adalah nona Liu Ceng, seorang ...... sahabat baikku."


Dua orang gadis itu saling pegang tangan dan sebentar saja mereka menjadi akrab.
"Ayah, pemuda ini adalah Thio Hui San, murid dari suhu In Kong Thai-su, jadi masih terhitung suhengku sendiri." 


Lee Cin memperkenalkan Hui San kepada ayah ibunya. Diam-diam ia merasa girang melihat hubungan antara Hui San dan Ceng Ceng tampak mesra. Hal ini dapat ia ketahui dari sinar mata mereka ketika saling pandang. 

Ia merasa kasihan kepada Hui San yang pernah menyatakan cinta kepadanya namun ditolaknya. Dan agaknya kini Hui San telah memperoleh gantinya dan Ceng Ceng juga seorang gadis yang baik dan perkasa.

"Paman Souw, sayalah yang diutus oleh susiok Hui San Hwe- sio untuk mengundang para tokoh kang-ouw agar datang mengadakan rapat pertemuan di sini. Waktu yang ditentukan adalah nanti tanggal limabelas bulan ini, kurang lima hari lagi. 


Suhu pasti akan datang, demikian pula locian-pwe Im Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai juga akan datang. Mereka berdualah yang akan memimpin rapat pertemuan karena mereka yang mengundang. Dan di dalam rapat pertemuan itu, permintaan paman untuk mengundurkan diri akan dibicarakan."

"Ah, begitukah" Saya telah membuat kedua lo-cian-pwe banyak repot dan juga membuat engkau bersusah payah mengundang orang-orang kang-ouw."


"Ayah, suheng Thio Hui San ini malah senang melakukan tugas itu karena memberi kesempatan kepadanya untuk merantau. Apa lagi dalam perjalanan itu dia ditemani enci Ceng Ceng!" 


Lee Cin menggoda sambil memandang kepada dua orang itu. Wajah Ceng Ceng berubah kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum ia berkata kepada Lee Cin.

"Ah, secara kebetulan saja kami saling berjumpa. Dan tahukah engkau,. adik Lee Cin" Perjumpaan kami adalah pada waktu aku dan suhu membantumu menghadapi Siangkoan Tek dan ayahnya itulah! 


Setelah engkau dilarikan oleh orang berkedok hitam, aku kewalahan menghadapi Siangkoan Tek. Akan tetapi untunglah, San-ko ini datang membantu sehingga kami dapat mengusir orang jahat dan ayahnya yang lihai itu."

"Dan sejak itu kalian melakukan perjalanan bersama, bukan?"
Kembali Ceng Ceng tersipu malu. "Benar, pertama aku ingin meluaskan pengalaman mengunjungi para tokoh kangouw, dan kedua kalinya karena aku ingin bertemu dengan suhu yang juga akan datang ke sini menghadiri rapat pertemuan."


Thio Hui San membantu kekasihnya yang menjadi totersipu atas pertanyaan Lee Cin , lalu berkata kepada Lee Cin, "Cin-moi, terus terang saja, Ceng-moi dan aku telah bersepakat untuk hidup bersama."


Lee Cin sudah menduga bahwa antara kedua orang muda itu tentu ada hubungan yang baik, maka mendengar ini ia segera memegang lengan Ceng Ceng dan berkata girang, "Ah, kalau begitu aku mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian! Jangan lupa mengirimkan kartu merahnya kalau saatnya tiba."


"Tentu saja!" kata Ceng Ceng yang merasa lega bahwa tunangannya telah berterus terang sehingga ia tidak perlu malu-malu lagi.
Lee Cin segera dapat akrab dengan Ceng Ceng dan sepasang orang muda itu diberi kamar di dalam rumah
Souw Tek Bun, bukan dianggap sebagai tamu bahkan sebagai keluarga sendiri.


Tanggal limabelas tiba dan sejak pagi-pagi sekali,berbondong-bondong orang mendaki puncak Hong-san untuk menghadapi rapat pertemuan. Karena Souw Tek Bun
memang tidak mempunyat prabot seperti meja kursi untuk menyambut
para pendatang, dia menyambut dan mempersilakan mereka pergi ke lapangan rumput tak jauh dari pondoknya. 


Lapangan rumput itu luas sekali dan dapat menampung ratusan orang.
Bermunculan tokoh-tokoh dunia persilatan, terutama sekali para wakil partai persilatan yang besar seperti Siauwlim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Kong- thong-pai, bahkan dari Gobi-pai yang jauh juga mengirim dua orang tokoh wanita untuk menghadiri rapat pertemuan itu. 


Akan tetapi sekali ini, Hui Sian Hwesio tidak mengundang wakil dari pemerintah untuk menghindarkan bentrokan dari mereka yang pro dan anti pemerintah. Para tokoh yang telah disebut datuk besar juga berdatangan.

Thiah-te Mo-ong Koan Ek, Raja iblis Selatan, juga hadir dan dia datang seorang diri saja. Kemudian Siangkoan Bhok datang bersama muridnya yang telah mempelajari simpanannya, yaitu Ouw Kwan Lok yang lengan kirinya buntung. 


Setelah itu muncul pula Thian-tok Gu Kiat Seng yang disambut dengan penuh kegembiraan oleh Ceng Ceng.
Lee Cin memandang dengan alis berkerut ketika ia melihat Ouw Kwan Lok datang bersama Siang Koan Bhok.


Pemuda itu buntung lengan kirinya oleh pedangnya.
Kemudian Lee Cin terkejut juga ketika melihat Nenek Cia datang pula bersama Cian Kun dan Cia Tin Siong! Akan tetapi ia menyambut mereka semua dengan sikap tenang saja, karena mereka semua itu datang untuk membicarakan urusan dunia kang-ouw, terutama untuk membicarakan pengunduran diri ayahnya. 


Namun diam-diam hatinya berdebar tegang juga. Hadirnya orang-orang ini tentu akan menimbulkan guncangan.
Di antara banyak orang tokoh lain, tampak pula Pek I Lokai, yaitu guru dari Tang Cin Lan isteri panglima muda Song Thian Lee. Kini yang mewakili Siauw-lim-pai selain Hui Sian Hwesio, datang pula In Kong Thaisu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu.


Setelah matahari naik tinggi, semua tamu sudah berkumpul di lapangan rumput di tengah mana didirikan sebuah panggung terbuka, Souw Tek Bun sebagai tuan rumah lalu naik ke atas panggung. Begitu dia naik ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru, keadaan 
menjadi hening dan orang-orang yang hadir menghentikan percakapan mereka yang membuat suasana menjadi gaduh.

"Cu-wi (Saudara sekalian) yang mulia. Sebagai tuan rumah di Hong-san ini, saya menghaturkan selamat datang kepada cu-wi dan terima kasih bahwa ini hari cu-wi melelahkan diri mendatangi tempat ini, sesuai undangan yang diberikan oleh pihak Siauw-lim-pai. Oleh karena pengundangnya adalah Siauw-lim-pai, maka saya menyerahkan agar pimpinan selanjutnya dipegang oleh wakil dari Siauwlim-pai demi kelancaran rapat pertemuan ini." 

Dia lalu memberi hormat sambil membungkuk ke arah Hui Sian Hwesio yang dalam pemilihan dahulu menjadi wakil ketua Bengcu bersama lm Yang Sengcu ketua Kunlunpai. "Silakan, lo-cian-pwe."

Hui Sian Hwesio tersenyum lebar dan diapun naik keatas panggung itu. Seperti yang dilakukan Souw Tek Bun yang kini sudah turun dari panggung, diapun memberi hormat ke empat penjuru dan suaranya terdengar lembut namun lantang ketika dia bicara.


"Saudara sekalian yang terhormat, dari pihak kami terpaksa mengadakan rapat pertemuan ini karena terjadi hal-hal yang teramat penting yang patut untuk kita perbincangkan bersama. Pertama-tama adalah keinginan Bengcu kami untuk mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai bengcu."


Segera terdengar seruan-seruan yang tidak setuju, riuh rendah mereka bicara untuk menyatakan ketidak-setujuan mereka sehingga suasana menjadi gaduh kembali.
Hui Sian Hwesio lalu mengangkat tangannya untuk minta kepada semua yang hadir agar tenang. 


Setelah suasana menjadi tenang kembali diapun berkata, "Cuwi, hendaknya mengetahui bahwa bengcu Souw Tek Bun mengundurkan diri karena alasan pribadi dan tentu saja dia berhak menentukan hal itu. Agar lebih jelas, kami persilakan bengcu Souw Tek Bun untuk mengemukakan alasannya mengapa dia mengundurkan diri dari jabatan bengcu. Kami persilakan!"

Souw Tek Bun kembali naik ke panggung dan berkatalah dia
dengan suara lantang. "Saudara sekalian, saya mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari
kedudukan bengcu karena dua hal. 


Pertama, karena saya merasa tidak tepat dan bahwa tingkat kepandaian saya belum cukup untuk saya menjadi bengcu. Masih banyak
saudara lain yang jauh lebih pandai dari pada saya untuk menjadi bengcu, lebih tepat dan lebih pantas. 


Kedua, karena saya ingin hidup tenang dengan keluarga saya, maka saya mengambil keputusan untuk berhenti menjadi bencu!"

Kembali orang-orang saling bicara sendiri sehingga suasana menjadi gaduh. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring mengatasi semua suara itu dan ternyata yang bicara itu adalah nenek Cia. 


Ia menggerak-gerakkan tongkat naganya ke atas kepala dan berteriak,
"Dengarlah aku bicara!" Semua orang kini diam dan semua mata ditujukan kepadanya.
"Aku setuju sekali kalau Souw Tek Bun berhenti menjadi bengcu. Kami seluruh keluarga Cia memang tidak setuju dia menjadi bengcu. 


Dia hanya bengcu yang di pilih oleh pemerintah Mancu dan siapa tahu kalau dia menjadi antek Mangcu!"
Mendengar ini, suasana menjadi gaduh dan Im Yang Seng-cu segera naik ke atas panggung. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas minta kepada semua orang untuk diam, lalu dia berkata.


"Kalau Souw-enghiong hendak mengundurkan diri dari kedudukan bengcu, hal itu adalah haknya dan kita semua tidak mungkin bisa memaksa orang menjadi bengcu di luar kehendaknya. Akan tetapi pinto sungguh tidak senang mendengar dia disangka menjadi antek Mancu. Pinto sendiri menjadi wakil ketua dan tidak pernah melihat ketua kita menjadi antek Mancu. 


Ucapan keluarga Cia tadi hanya
fitnah belaka! Pinto dan sahabat Hui Sian Hwesio adalah wakil-wakil ketua bengcu dan kami berdua menyatakan bahwa Souw-enghiong selama menjadi bengcu tidak pernah menjadi antek penjajah Mancu!"


Setelah lm Yang Seng-cu turun dari atas panggung, tiba-tiba seorang melompat naik ke atas panggung dan
gerakannya demikian ringan seolah dia terbang saja. Semua orang memandang dan sebagian besar dari mereka mengenal siapa adanya kakek itu. 


Kakek yang usianya mendekati enampuluh tahun ini bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Juga dia memegang sebatang dayung baja yang besar. Dia adalah Siang Koan Bhok dan berjuluk Tung-hai-ong (Raja Laut Timur), seorang datuk yang nama besarnya sudah terkenal di dunia kangouw. 

Munculnya datuk ini tentu saja menarik perhatian orang dan semua orang memperhatikan dan ingin mendengar apa yang dikatakannya. "Kami dari Pulau Naga setuju sepenuhnya dengan ucapan Keluarga Cia tadi. Kita semua mengenal Keluarga Cia sebagai Keluarga patriot yang selalu berusaha untuk menentang pemerintah penjajah Mancu. 

Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Souw-bengcu selama dia menjadi bengcu" Dia tidak pernah menggerakkan kita untuk menentang pemerintah penjajah! Seorang beng-cu harus memimpin kita semua untuk menentang penjajah, menggulingkan penjajah dan melepaskan rakyat dari belenggu penjajahan!"

Tepuk sorak menyambut ucapan yang bernada gagah dan patriotik ini. Akan tetapi Siang Koan Bhok kembali mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta agar semua orang diam. Setelah suasananya menjadi hening, dia berkata lagi dengan suaranya yang dalam dan lantang.

"Saudara sekalian! Selama ini, di Timur sudah banyak orang gagah yang bangkit untuk menentang pemerintah, namun sayang mereka diserbu oleh kekuatan pasukan pemerintah yang besar sehingga gerakan mereka gagal.


Kalau saja Beng-cu dan para Wakilnya membantu gerakan itu dan mengerahkan seluruh kekuatan dunia kang-ouw, tentu usaha itu akan berhasil baik. Akan tetapi beng-cu dan para wakilnya diam saja, maka sudah tepatlah kalau Souw-bengcu mengundurkan diri. 


Sekarang kita perlu melakukan pemilihan Beng-cu baru yang pantas untuk memimpin kita berjuang melawan penjajah. Kami sudah bicara, kemudian terserah saudara sekalian" Siang Koan Bhok turun dari panggung disambut tepuk sorak ramai yang mendukungnya.

Kini Hui Sian Hwe-sio yang berada di panggung. Setelah semua orang diam, hwe-sio tokoh Siauw-lim-pai inipun berkata dengan suara lembut namun cukup lantang.

"Apa yang diucapkan oleh saudara Bhok itu tidak sepenuhnya benar. Biarpun kami tidak pernah melakukan perlawanan yang sifatnya memberontak terhadap pemerintah, itu bukan berarti bahwa kami pro-pemerintah penjajah, apa lagi menjadi anteknya. 

Kami hanya melihat bahwa waktunya belum tiba dan kekuatan pasukan pemerintah amat kuat. Kami orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, diam-diam adalah berjiwa patriot juga. 

Justeru gerakan-gerakan yang sudah memberontak terhadap pemerintah itulah yang kita hendak bicarakan setelah urusan pengunduran diri Souw-bengcu selesai. 

Kami melihat banyak orang kang- ouw yangb ersekutu dengan orang-orang asing untuk melakukan pemberontakan dan hal ini kami sama sekali tidak setuju.

Apa lagi kalau bersekutu dengan para gerombolan penjahat yang
menggunakan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan mereka mengacau rakyat jelata. Kami adalah patriot-patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan mereka. 


Kami adalah pembela-pembela rakyat,bukan penindas rakyat. Hal ini tentu cu-wi telah mengetahuinya dengan baik untuk membedakan mana pejuangan sejati dan mana yang palsu."

"Kami protes!" Tiba-tiba Nenek Cia melompat ke atas panggung. Melihat ini, terpaksa Hui Sian Hwe-sio turun untuk memberi kesempatan kepada nenek itu untuk bicara.


"Kami protes atas ucapan Siauw-li pai tadi!" Nenek Cia berkata lantang "Kami sendiri mengakui bahwa baru-baru ini kami berjuang melawan penjajah dan kami bekerja sama dengan pasukan pemberontak dan dengan orang-oran Jepang! 


Walaupun kami telah gagal, akan tetapi kami anggap apa yang kami lakukan itu sudah benar! Pada saat seperti sekarang ini, perjuangan menentang penjajahan harus dilakukan oleh semua pihak. Tidak perduli golongan putih atau Imam, harus bersatu padu untuk mengusir
penjajah. 


Tidak perduli kita bersekutu dengan orang asing, yang penting penjajah Mancu harus digulingkan. Kita perlu bertindak, sekarang juga, dengan mempersatukan segala pihak berjuang, bertindak sekarang juga, bukan hanya dengan omong kosong!" 

Setelah berkata demikian, Nenek Cia lalu melompat turun dari atas panggung dan kata-katanya yang bersemangat itu mendapat sambutan meriah. Suasana terasa panas menegangkan karena ada dua pihak yang berbicara dan saling bertentangan.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang nyaring mengatasi semua kegaduhanan sesosok tubuh yang pendek gendut melayang naik ke atas panggung. Dia adalah seorang kakek berusia limapuluh empat tahun yang bertubuh pendek
gendut serba bulat, pakaian jubah pertapa dan tangannya memegang sebatang kebutan bulu putih. 


Dia adalah Thian Tok (Racun Langit) Gu Kiat Seng. Dia mengangkat tangan kiri dan kebutannya ke atas sehingga suasana menjadi tenang. Lalu terdengar suaranya yang melengking tinggi.

"Saudara sekalian! Saya melihat jalannya rapat tidak beres dan terjadi perbantahan. Kalau dilanjutkan begini bisa berakhir dengan perkelahian di antara kita sendiri. Sekarang harap diputuskan dulu acara pertama, yaitu tentang
pengunduran diri Souw- bengcu dari kedudukannya sebagai beng-cu. Apakah hal ini dapat disetujui" Jawablah yang keras!"


Semua orang memang tidak melihat perlunya kedudukan beng-cu bagi Souw Tek Bun dipertahanankan karena orangnya sudah memberi alasan pengunduran diri, maka serempak mereka menjawab, 


"Setujuuuu. ..... !!"

"Bagus, bagus!" Thian Tok berseru. "Berarti acara pertama sudah beres. Kini, sebelum kita meningkat ke acara kedua sebaiknya kalau diadakan pemilihan beng-cu baru lebih dulu Kalau sudah begitu, maka beng-cu baru yang akan memimpin
rapat membicarakan tentang perjuangan. Bagaimana, saudara sekalian, apakah usul saya ini
disetujui?"


"Setujuuu.......... !" Kembali orang-orang berseru nyaring.
Hui Sian Hwe-sio naik ke panggung dan dia mengangguk-angguk lalu memberi hormat kepada Thian Tok. 


"Saudara Gu, terima kasih atas usul saudara yang tepat ini." Thian Tok tersenyum dan melompat turun kembali, meninggalkan Hui Sian Hwe-sio seorang diri.

"Cu-wi, apa yang diusulkan oleh saudara Thian-tok Gu Kiat Seng, tadi memang tepat sekali. Sekarang Souw-sicu sudah bukan beng-cu lagi dan kedudukan beng-cu menjadi kosong. Kami sebagai pengundang berkewajiban untuk mengadakan pemilihan beng-cu baru. Nah, saudara-saudara boleh mengajukan wakil-wakil calon beng-cu."


Nenek Cia melompat ke atas panggung dan berkata,
"Kami harap saudara sekalian tidak salah pilih. Karena perlu orang yang bersamangat muda sebagai pemimpin, sebaiknya kalau kita memilih calon-calon muda! 


Kami sendiri mengajukan cucu kami, Cia Tin Siong sebagai calon bengcu!" Setelah berkata demikian, Nenek Cia melompat turun lagi.

Hui Sian Hwe-sio berkata, "Siapa lagi yang akan mengajukan calonnya, harap naik ke panggung!"
Siang Koan Bhok melompat ke atas panggung. "Saya setuju sekali dengan pendapat nyonya Cia. 


Sebaiknya kaum muda yang diserahi tugas memimpin orang-orang gagah
sedunia. Saya mengajukan calon yaitu muridku sendiri bernama Ouw Kwan Lok!"


Banyak orang gagah golongan bersih memilih In Kong Thai-su ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu yang juga ha-dir.
Kakek ini lalu naik ke panggung dan sambil tersenyum berkata, "Pin-ceng sudah tua, maka pin-ceng wakilkan sebagai calon ketua kepada murid pin-ceng yang bernama Thio Hui San!"


Ada pula golongan yang memilih Im Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai, ada yang memilih Thian Tok Gu Kiat Seng.


Akan tetapi kakek gendut pendek ini berkata lantang. "Saya adalah seorang yang bebas, tidak bersedia menjadi calon beng-cu yang akan mengikat kaki tangan dan membuat aku tidak bebas lagi!"


Akhirnya diputuskan bahwa calon beng-cu adalah Cia Tin Siong, Ouw Kwan Lok, Thio Hui San, dan Im Yang Sengcu. Tentu saja tiga orang muda itu didukung oleh guru masing-masing yang siap mempertahankan calonnya.


"Dipersilakan keempat calon naik ke panggung untuk diperkenalkan kepada hadirin!" kata pula Hui Sian Hwe-sio.
Berturut-turut Cia Tin Siong, Ouw Kwan Lok, dan Thio Hui San naik ke atas panggung disambut tepuk sorak dan segera orang-orang melakukan pemilihan masing-masing.


Dengan sendirinya, golongan yang condong kepada golongan  sesat memilih Ouw Kwan Lok yang dijagokan oleh Siang Koan Bhok, golongan yang merasa dirinya pejuang dan patriot memilih Cia Tin Siong yang dijagokan oleh Nenek Cia yang mereka kenal sebagai seorang patriot yang gigih. 


Dan golongan pendekar bersih tentu saja condong untuk memilih Thio Hui San yang dijagokan oleh Ketua Siauw-lim-pai.

Akhirnya Im Yang Seng-cu yang duduk di bawah panggung, terpaksa naik juga karena diapun dijadikan calon. Sebagai wakil ketua beng-cu dia tentu saja dapat menolak dan setelah berada di atas panggung dia berkata,"Sian-cai ! Tiga Calon beng-cu yang muda-muda dan gagah telah dipilih, mengapa masih juga mengajukan pin-to untuk menjadi calon" 


Pinto sudah tua dan mengurus Kun- lun- pai saja sudah merepotkan, mana mungkin pinto dapat menjadi bengcu?"
Akan tetapi orang-orang golongan bersih yang ma....



RAJAWALI HITAM JILID 03





sih ragu untuk memilih Thia Hui San, ragu akan kemampuan orang muda itu, tetap memilih Im Yang Seng-cu.

"Saudara sekalian!" kata Hui San Hwe-sio dari atas panggung. "Sekarang terdapat empat orang beng-cu. Lalu bagaimanakah kita akan memilih siapa yang paling tepat di antara mereka?"

Siang Koan Bhok yang berada di bawah panggung berseru dengan suara lantang sehingga mengatasi semua kegaduhan. "Menjadi seorang beng-cu haruslah dia yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. 

Karena itu, seperti sudah sepatutnya memilih ketua, sebaiknya diadakan pi-bu (bertanding silat) antara empat calon itu!"

Mereka semua yang hadir di situ adalah orang-orang dunia persilatan, maka mendengar usul ini tidak ada yang tidak setuju. Dengan suara bulat mereka menyatakan
persetujuan mereka karena mereka ingin sekali melihat pertandingan silat antara para jagoan itu.

Suara riuh rendah menyatakan persetujuan itu disambut oleh Hui San Hwe-sio sambil mengangkat kedua tangan mereka semua diam, kemudian dia berkata, "Kami tanyakan kepada mereka yang tadi mengajukan calon beng-cu, apakah kalian setuju dengan diadakannya pi-bu ini" 

Pertama kepada Nyonya Cia kami tanyakan, apakah setuju dengan diadakannya pi-bu?"
"Kami setuju, kalau perlu pendukungnya dapat maju untuk mewakili calonnya!" Nenek itu menggerakkan tongkat naganya dengan garang.

"Bagai mana dengan saudara Siang Koan Bhok?"
"Aku setuju muridku diadu dengan calon lain, dan juga setuju kalau perlu para pendukungnya maju satu demi satu"
"Bagaimana dengan pendukung Im Yang Seng-cu?"

Serempak para pendekar yang memilih ketua Kun-lun-pai ini menjawab setuju. Kalau diadakan pi-bu, mereka yakin bahwa ketua Kun-lun-pai ini yang akan keluar sebagai pemenang melawan orang-orang muda itu.

"Kalau Im Yang Seng-cu yang maju, maka akulah yang akan menggantikan cucuku," teriak Nenek Cia penasaran.

"Omitohud,
bagaimana mungkin ini" Calon harus bertanding melawa calon, dan pendukung melawan pendukung. Kami sendiri setuju diadakan pertandingan antara calon. 

Sekarang sebaiknya diundi antara keempat calon, siapa lawan siapa yang akan maju."
Hui Sian Hwe-sio lalu memegang empatbuah hio-swa (dupa biting), dua panjang dan dua pendek. 

Dia menggenggam empat batang hio-swa itu di bagian atasnya sehingga tidak tampak mana yang panjang dan mana yang pendek. Lain dia mempersilakan keempat calon mencabut sebatang hio. Hasilnya, 

Thio Hui San dan Im Yang Seng-cu mencabut hio panjang sedangkan Ouw K wan Lok dan Cia Tin Siong mencabut hio pendek. Ini berarti bahwa Thio Hui San akan bertanding melawan Im Yang Seng-cu dan Ouw
Kwan Lok akan bertanding melawan Cia Tin Siong.

Lee Cin sejak tadi mengikuti semua yang terjadi di situ.
Hatinya kadang terasa panas kalau melihat Nenek Cia.
Nenek itu yang telah membunuh Cia Tin Han, pikirnya. Akan tetapi ia menahan kesabarannya karena amat tidak baik membuat keributan di saat itu. 

Melihat bahwa Ouw Kwan Lok harus bertanding melawan Cia Tin Siong, dara ini berbisik kepada ayah dan ibunya yang berdiri di dekatnya.

"Tingkat kepandaian Ouw Kwan Lok itu lebih tinggi, akan tetapi dengan buntungnya lengan kirinya, tentu keadaan menjadi ramai. Cuma kasihan saudara Thio Hui San harus bertanding melawan Im Yang Seng-cu. Bagaimana dia dapat menandingi ketua Kun-lun-pai itu walau pun aku tahu kepandaian Thio-twako juga amat tinggi?"

"Tenangkan hatimu. Kita lihat saja bagaimana kesudahannya. Aku khawatir ini akan menjadi besar dengan majunya para pendukung. Im Yang Seng-cu tentu akan mengalah terhadap Thio Hui San. Kita lihat sajalah," kata Souw Tek Bun.

"Yang penting, mereka tidak akan memaksa ayahmu,"kata Ang-tok Mo-li Bu Siang. "Kalau ada yang mengganggunya, aku yang akan menghadapi orang itu."

Souw Tek Bun memandang kepada isterinya sambil tersenyum. Biarpun isterinya telah banyak berubah, namun kadang masih tampak juga kekerasan hatinya sebagai seorang datuk kang-ouw!

"Menurut hasil Thio Hui San harus bertanding melawan Im Yang Seng-cu, kemudian baru Ouw Kwan Lok melawan Cia Tin Siong. 

Yang lain harap turun dari panggung, kecuali kedua orang yang hendak bertanding, yaitu Thio Hui San dan Im Yang Seng-cu," kata Hui Sian Hwe-sio. Dia sendiri lalu turun dari panggung diikuti yang lain. sehingga kini yang berada di atas panggung hanya Thio Hui San dan Im Yang Seng-cu.

Thio Hui San memberi hormat kepada Im Yang Seng dan sambil tersenyum dia berkata, "Apa yang dapat saya pergunakan untuk menandingi to-tiang" Harap to-tiang jangan mempergunakan tangan yang terlalu keras untuk mengalahkan saya."

Im Yang Seng-cu tertawa sambil mengelus jenggotnya.
"Ha-ha-ha, sicu Thio Hui San jauh lebih tepat untuk menjadi ketua dari pada pin-to yang sudah tua. Biarlah pin-to mengaku kalah sebelum bertanding dan pin-to mengundurkan diri dari calon beng-cu!" 

Ucapannya itu terdengar lantang terdengar oleh semua orang. Tentu saja para pendukungnya merasa tidak puas, akan tetapi karena Im Yang Seng-cu mengalah terhadap Thio Hui San, murid Siauw-lim pai, mereka tidak terlalu kecewa. Mereka juga sudah maklum akan kehebatan Siauw- lim-pai.

Hui Sian Hwe-sio naik ke atas panggung ketika Im Yang Seng-cu turun dan dia berkata dengan lantang. "Karena Im Yang Seng-cu sudah mengalah, maka Thio Hui San dianggap sebagai pemenang dalam pi-bu ini dan dia harus menghadapi pemenang dari pertandingan kedua." 

Dia lalu mengajak Hui San turun. Ceng Ceng menyambut pemuda itu dengan muka berseri.
"Aih, San-ko, hatiku sudah gelisah sekali melihat engkau tadi berhadapan dengan Im Yang Seng-cu. Untung bagimu dia mengalah dan mengundurkan diri."

"Akan tetapi aku harus menghadapi pemenang dari pertandingan ke dua, dan kurasa mereka bukan orang
lemah." 
"San-ko, mengapa engkau mau dijadikan calon beng-cu"

Apakah engkau ingin sekali menjadi beng-cu?" Gadis itu bertanya sambil menatap tajam wajah tunangannya.
Hui San menghela napas panjang. "Sama sekali aku tidak ingin, Ceng-moi. Akan tetapi bagaimana lagi kalau suhu minta aku mewakilinya. Tentu saja aku tidak berani menolak." "Berhati-hatilah, San-ko. Aku ikut mendoakan semoga engkau keluar sebagai pemenang."

Sementara itu, Hui Sian Hwe-sio sudah memanggil dua orang calon lain untuk naik ke panggung dan kini Cia Tin Siong sudah berhadapan dengan Ouw Kwan Lok.

Hampir semua orang, kecuali Siang Koan Bhok, memandang rendah kepada murid datuk ini. Pemuda yang lengan kirinya buntung, mana dapat menjadi seorang jagoan yang lihai " Akan tetapi Cia Tin Siong tidak berani memandang rendah. 

Dia pernah bertemu dengan Ouw Kwan Lok yang ketika itu bersama Siang Koan Tek membantu gerakan pemberontak di Timur. Walaupun dia belum tahu sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi pemuda ini sudah diaku sebagai murid Siang Koan Bhok, tentu kakek itu sudah menurunkan ilmu- ilmunya yang tinggi.

Karena tidak memandang rendah, begitu maju Tin Siong telah mencabut suling peraknya dan menghadapi Ouw Kwan Lok.
"Sobat, keluarkan senjatamu!" tantangnya.

Ouw K wan Lok tersenyum. "Saudara Cia Tin Siong, benar-benarkah engkau mau melawan aku" Apakah engkau sanggup untuk menjadi seorang beng-cu yang memimpin
dunia kang-ouw" Sebaiknya engkau mencontoh tindakan Im Yang Seng-cu tadi, mengalah saja kepadaku agar aku tidak perlu merobohkan seorang yang pernah menjadi sahabatku."

"Tin Siong, majulah dan jangan banyak bicara lagi. Kalau engkau sampai kalah, biar aku yang maju!" Terdengar teriak Nenek Cia yang membuat para penonton menjadi tegang.

Nenek itu agaknya hendak berkeras mendapatkan kedudukan beng-cu bagi cucunya, kalau perlu ia sendiri yang akan maju menandingi siapa saja yang tidak menyetujui cucunya menjadi beng-cu!

Mendengar seruan neneknya, Cia Tin Siong berkata kepada Ouw Kwan Lok.
"Sobat she Ouw, majulah dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih patut menjadi beng- cu."
Ouw Kwan Lok kembali tersenyum lebar. "Baiklah kalau engkau memaksa, akan tetapi jangan menyesal kalau terpaksa aku merobohkanmu di depan banyak orang. 

Nah, maju dan seranglah!"
"Tidak, keluarkan dulu senjatamu. Aku tidak mau menyerang lawan yang tidak bersenjata, apa lagi......... " 

Dia tidak melanjut kan kata- katanya, hanya memandang lengan baju kiri yang kosong itu.
Ouw Kwan Lok mengerutkan alisnya lalu dia memutar lengan kiri yang tinggal sepanjang siku itu sehingga lebihan lengan baju itu berputar.

"Inilah senjataku!"
Melihat ini, Tin Siong tidak ragu lagi. "Lihat seranganku!"bentaknya sulingnya menyambar dengan tusukan yang cepat dan kuat ke arah lehe Kwan Lok.

Akan tetapi dengan gerakan lincah sekali Ouw Kwan Lok mengelak dari tusukan lain lengan kirinya menyambar dan lengan baju yang kosong itu berubah tegang menotok ke arah dada Tin Siong!

Tin Siong terkejut sekali dan mengelak, lalu membalas dengan serangan gencar. Demikian cepat gerakan sulingnya sehingga suling mengeluarkan suar mengaung-ngaung seperti ditiup. 


Akan tetapi Kwan Lok dapat mengimbangi kecepatan gerakan Tin Siong dan dia mengelak ke sana sini dan kadang menangkis dengan lengan bajunya.

Terjadilah pertandingan yang menarik dan seru. Dan Ouw Kwan Lok tetap saja tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung. Dia menghadapi lawannya dengan tangan kosong saja. Mula-mula dia menggunakan ilmu silat Iek-wan-kun (Silat Lutung Hitam) yang gesit bukan main dan beberapa kali dia hampir dapat merampas suling perak lawan. 

Kemudian dia mengubah ilmu silatnya dan menggunakan Pek-swat ok-ciang (Tangan Beracun Salju
Putih) yang dahulu dipelajarinya dari Thian-te Mo-ong.

Pukulannya mengandung hawa dingin yang mengejutkan hati Tin Siong. Akan tetapi pemuda ini telah mempelajari ilmu silat keluarga Cia dengan baik. Dia memutar sulingnya sehingga bentuk sulingnya lenyap dan berubah menjadi sinar perak yang bergulung-gulung.

Pukulan-pukulan berhawa dingin dari Ouw Kwan Lok dapat dibendung dan bahkan dia dapat membalas dengan totokan-totokan suling peraknya.
Akan tetapi kembali Kwan Lok mengubah ilmu silatnya.

Kini dia mainkan Kui-Song-kun (Silat Naga Iblis) yang d pelajarinya dari Siang Koan Bhok. Ilmu silat ini hebat sekali karena mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap kali ditangkis tangan, sulingnya terpental dan hampir terlepas dari pegangan Tin Siong.

Agaknya Kwan Lok memang sengaja hendak memamerkan ilmu-ilmunya, maka dia mengubah-ubah ilmu silatnya walaupun dia mampu merobohkan Tin Siong dalam waktu yang tidak terlalu lama. 

Berkat gemblengan Siang Koan Bhok yang hendak menggunakan muridnya untuk membalas dendam kepada musuh-musuhnya, kini Ouw Kwan Lok telah maju demikian pesat sehingga dia tidak kalah lihainya dibandingkan dengan Siang Koan Bhok sendiri. Dia telah menguasai ilmu-ilmu dari tiga orang datuk.

Pertama dari Pak-thian-ong datuk utara, kedua dari Thian-te Mo-ong datuk selatan, kemudian ke tiga dari Siang Koan Bhok datuk timur!

Setelah memamerkan Kui-long-kun tiba-tiba dia merubah lagi ilmu silatnya dan inilah Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Sambaran hawa dari tangan kanan Kwan Lok
membuat Tin Siong menjadi pening dan tiba-tiba saja ujung lengan baju tangan kiri yang berubah menjadi kaku telah menotok lehernya dan Tin Siong roboh terguling di atas panggung, sulingnya terlepas dari tangannya! Dia tidak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok jalan darahnya yang membuat dia lemas.

Akan tetapi Kwan Lok yang maklum bahwa keluarga Cia dapat ditarik menjadi sekutu, cepat menyambar tubuh itu dan sekali tangan kanannya bergerak dia telah membebaskan totokan sehingga Tin Siong mampu bergerak kembali dan dia sudah mengambilkan suling perak yang tadi terlepas lalu menyerahkan kepada Tin Siong.

Pada saat itu, terdengar suara melengking dan Nenek Cia sudah melayang naik ke atas panggung. Akan tetapi, Tin Siong menyambut neneknya dan berkata, "Nek, saya telah kalah. Saudara Ouw K wan Lok sudah sepatutnya menjadi beng-cu."

Melihat cucunya sama sekali tidak terluka, Nenek Cia tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi pada saat itu Hui Sian Hwe-sio sudah naik ke atas panggung.

Dengan sikap hormat Hui Sian Hwe sio mempersilakan nenek itu turun dari atas panggung. "Nyonya Cia, silahkan turun dari panggung karena segera akan diadakan 
pertandingan berikutnya. Si-cu Cia Tin Siong jelas telah mengalami kekalahan dalam pertandingan tadi."
Dengan muka. cemberut nenek itu segera menggandeng tangan Tin Siong dan diajak melompat turun dari atas panggung. Mereka yang berpihak kepada Ouw Kwan Lok,
yaitu para golongan hitam, bersorak riuh menyambut kemenangan jagoan mereka itu.

Hui Sian Hwe-sio lalu mengangkat tangan ke atas dan berseru, "Saudara sekalian, pertandingan kedua dimenangkan oleh si-cu Ouw Kwan Lok, maka sekarang akan diadakan pertandingan antara pemenang pertandingan pertama dengan pemenang pertandingan kedua. Thio Hui San, engkau naiklah ke panggung menghadapi si-cu Ouw Kwan Lok!"

Hui Sian Hwe-sio sendiri tidak khawatir. Dia cukup tahu akan kepandaian murid keponakannya. Thio Hui San telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-limpai dengan matang, bahkan dia mempunyai ilmu andalan yang jarang dimiliki orang lain, yaitu ilmu totok It-yang-ci. Akan tetapi In Kong Thai-su, guru Thio Hui San, mengerutkan alisnya dan dia merasa khawatir. 

Melihat ilmu kepandaian Ouw Kwan Lok tadi, dia menyangsikan apakah Thio Hui San akan mampu keluar sebagai pemenang. Dia hanya menghela napas saja karena tidak dapat berbuat sesuatu.

"San-ko, hati-hatilah menghadapi dia," bisik Ceng Ceng kepada Hui San yang mengangguk dan pemuda itu
melompat naik ke atas panggung menghadapi Ouw KwanLok. 

Lee Cin juga merasa khawatir juga melihat betapa Ouw Kwan Lok yang lengan kirinya sudah buntung itu bahkan lebih tangguh dari pada sebelum lengannya buntung!

Bahkan ibunya yang berdiri di sampingnya berkata lirih,"Wah, kepandaian pemuda buntung itu hebat sekali! Heran aku bagaimana engkau dapat membuntungi lengan kirinya, Lee Cin."

"Ketika dia berkelahi melawan aku, ilmu kepandaiannya tidak sehebat itu, ibu. Aku sendiri juga heran mengapa sekarang dia demikian lihai." kata Lee Cin.

Souw Tek Bun menghela napas panjang. "Tidak perlu diherankan. Tadinya, pemuda itu memang sudah lihai,walaupun masih kalah olehmu, Lee Cin. Akan tetapi sekarang dia menjadi murid Siang Koan Bhok dan agaknya datuk itu telah menurunkan ilmu-ilmunya yang paling hebat kepadanya."

Mereka bertiga berdiam dan dengan hati tegang memandang ke atas panggung di mana dua orang pemuda itu sudah berdiri saling berhadapan. 

Hui San tampak gagah dengan bajunya yang serba biru, tubuhnya yang jangkung tegap dan wajahnya yang tampan dan jantan. Sabaliknya Ouw Kwan Lok tampak seperti seorang pemuda yang lemah lembut, berpakaian serba putih, apa lagi lengan kirinya buntung. Hanya matanya yang mencorong tajam itu
menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang lihai.

Melihat Thio Hui San sudah berhadapan dengannya,Ouw Kwan Lok tersenyum mengejek. Biarpun dia tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu seorang murid Siauwlim-pai yang lihai, namun dia memandang ringan dan bertanya dengan tersenyum. "Orang she Thio, engkau hendak mempergunakan senjata apa" Keluarkanlah senjatamu!"

Wajah Kwan Lok menjadi merah. Dia menekan kemarahannya dan tersenyum mengejek. "Aku sudah mendengar bahwa In Kong Thai-su terkenal dengan ilmu totok It-yang-ci, maka engkau tentu akan mengandalkan ilmu itu. Justeru aku ingin menguji sampai dimana
kehebatan It-yang-ci!"

Hui San diam-diam terkejut. Pemuda lengan buntung ini benar-benar
sombong sekali. Tidak aneh kalau 
dia mengetahui tentang It-yang-ci karena memang In Kong Thaisu, gurunya, terkenal dengan ilmu itu.

"Kalau begitu, mulailah, aku sudah siap!" kata Hui San sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat.
Melihat kuda-kuda ini, Kwan Lo kembali tersenyum mengejek. "Sambutlah seranganku!" Begitu menyerang, dia sudah menggunakan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu Ban-tok-ciang. 

Ilmu pukulan ini mengandung racun yang berbahaya sekali dan orang yang terkena serangan ini, tentu darahnya akan keracunan. Hui San mengenal pukulan ampuh maka diapun cepat menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak dan membalas, langsung saja menggunakan It-yang-ci!

Hebat bukan main pertandingan ini. Pukulan mereka sama-sama mengeluarkan tenaga sin-kang yang hebat dan dahsyat, terdengar bersiutan. Akan tetapi mereka dapat mengelak atau menangkis dan balas menyerang. 

Walaupun tangannya hanya tinggal sebuah, namun Kwan Lok dapat menggunakan lengan baju kirinya yang kosong untuk menangkis, bahkan dapat pula lengan baju kiri dipergunakan untuk menyerang dengan totokan yang berbahaya pula.

Mereka saling serang silih berganti sampai enampuluh jurus lebih. Akan tetapi, lambat laun Hui San mulai terdesak karena lawannya mengubah-ubah ilmu silatnya sehingga sukar sekali bagi Hui San untuk dapat mengikuti gerak geriknya.

Tiba-tiba Kwan Lok mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat ke atas lalu menyerang dengan pukulan tangan kanannya ke arah kepala Hui San!
Serangan yang menerkam dari atas ini berbahaya sekali.
Tidak mungkin dapat dielakkan lagi oleh Hui San dan terpaksa Hui San menyambut dengan tangkisan yang
sekuat-kuatnya.

Tangan kirinya mendorong ke atas menyambut tangan kanan itu sedangkan tangan kanannya juga menangkis serangan lengan baju yang menusuk ke arah matanya. 

"Wuuuuuttttt......... dessss......... !!!"......... tubuh Kwan Lok terpental sehingga dia berjungkir balik tiga kali baru turun ke atas panggung. 

Akan tetapi tubuh Hui San terdorong mundur terhuyung-huyung dan pemuda ini muntahkan darah segar dari mulutnya! 

Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan menyambar tubuh Hui San, dibawa turun. Yang melakukan hal itu adalah In Kong Thaisu sendiri. Melihat muridnya sudah terluka parah, dia lalu menolong untuk segera mengobatinya dengan It-yang-ci.

Souw Tek Bun cepat menghampiri mereka. "Mari, silakan membawanya masuk ke rumah kami, Thai-suhu."
In Kong Thai-su tidak sungkan lagi, lalu membawa tubuh Hui San ke dalam rumah di mana dia segera melakukan pengobatan dengan ilmu It-yang-ci. Ceng Ceng mengikuti dengan muka pucat dan hati cemas sekali.

Sementara itu, melihat kemenangan muridnya, Siang Koan Bhok lalu berseru keras dari tempat dia berdiri,"Muridku sudah menang. Berarti dialah yang menjadi bengcu baru!"

Hui Sian Hwe-sio, walaupun dengan hati cemas, naik ke atas panggung dan berkata kepada semua yang hadir,setelah minta mereka yang menyambut kemenangan itu dengan sorak sorai diam. 

"Setelah diadakan pertandingan yang jujur dan adil, ternyata yang keluar sebagai pemenangnya adalah si-cu Ouw Kwan Lok. Dialah yang
menjadi beng-cu baru, kalau tidak ada orang lain yang menolaknya." Sengaja dia mengeluarkan kata-kata ini dengan harapan kalau-kalau ada yang menentang pengangkatan beng-cu baru itu.

"Kalau Im Yang Seng-cu ikut bertanding, tentu dia yang menang!" terdengar suara beberapa orang yang tadi mendukung ketua Kun-lun-pai itu.
Tiba-tiba terdengar seruan melengking, "Tunggu. !" Dan Nenek Cia tampak melayang ke atas panggung.
Ouw Kwan Lok mengerutkan alisnya. Apakah nenek yang terkenal galak ini tidak mau menerima kekalahan cucunya"

"Nenek Cia! Engkau tidak ikut menjadi calon beng-cu, mengapa naik ke panggung" Apa maumu" Engkau boleh bertanding melawan aku!" terdengar Siang Koan Bhok berseru.
"Aku bukan ingin merebut kedudukan beng-cu. Aku mengakui bahwa pemuda ini telah menang dan dia pantas diangkat menjadi beng-cu. 

Akan tetapi aku ingin mengukur sampai di mana kepandaiannya agar hatiku puas mengakui dia sebagai beng-cu!"
"Akulah musuhmu!" bentak Siang Koan Bhok marah.
Akan tetapi dari atas panggung, Kwan Lok berkata kepada gurunya. 

"Su-hu, biarlah Nenek Cia ini menguji kemampuanku, agar dia tidak lagi berani meremehkan suhu!" Siang Koan Bhok tertawa bergelak.
Dia tahu bahwa tingkat kepandaian muridnya itu sudah melampaui dirinya maka memang lebih kuat Kwan Lok yang maju dari pada dia.
"Bocah she Ouw, kalau engkau mampu bertahan tigapuluh jurus menghadapi tongkatku ini, baru aku
mengakui bahwa engkau memang pantas menjadi beng-cu!"
kata Nenek Cia sambil memalangkan tongkat naganya.

"Jangankan tigapuluh jurus, biar limapuluh jurus atau lebih aku sanggup melayanimu, nek!"
Jawaban ini memerahkan telinga Nenek Cia. Dia memutar tongkatnya dan membentak, "Bocah sombong, rasakan tongkatku!" Dan iapun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Melihat serangan ini, Kwan Lok maklum bahwa nenek itu lihai sekali maka dia tidak berani main-main.

Cepat dia mengelak lalu menggerakkan lengan baju kirinya untuk menotok dan tangan kanannya menyambar ke arah tongkat untuk merampasnya. Akan tetapi nenek itupun sudah menarik kembali tongkatnya dan menggunakan untuk menyerampang kedua kaki Kwan Lok. Pemuda ini
meloncat ke atas dan terjadilah saling serang dengan seru sekali.

Melihat gerakan nenek itu, Lee Cin diam-diam terkejut.
Kini baru ia tahu bahwa kalau dulu ia pernah menang atas diri nenek ini, adalah karena nenek ini mengalah. Kalau nenek Cia bersungguh-sungguh, belum tentu ia akan dapat menang dengan mudah. 

Akan tetapi yang membuat ia tertegun dan terkejut adalah melihat betapa lincahnya gerakan Kwan Lok, betapa pemuda itu menghadapi tongkat nenek itu tanpa sedikitpun terdesak walaupun dia bertangan kosong.

Setelah lewat duapuluh jurus, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu Kwan Lok telah mencabut
pedangnya. Begitu dia memutar pedang balas menyerang, Nenek Cia terkejut karena ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu amat dahsyat. Segera ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar tongkatnya untuk melindungi diri.
Kwan Lok terus menyerang dengan desakan yang kuat sehingga kembali duapuluh jurus telah lewat. Sudah empat puluh jurus mereka bertanding dan Kwan Lok bukan saja mampu menandingi nenek itu, bahkan dia mampu mendesak! 

"Haiiiiitttt......... !" Tiba-tiba Kwan Lok mengeluarkan teriakan nyaring dan pedangnya menyambar seperti kilat.
Nenek Cia menggerakkan gagang tongkatnya menangkis.
"Tranggg......... !" Nenek itu terhuyung mundur dan bukan main kagetnya ketika ia melihat sebagian dari hiasan naga tongkatnya telah terbabat buntung!

Kwan Lok sudah menyimpan kembali pedangnya dan tersenyum mengejek kepada nenek itu sambil berkata,"Bagaimana, nek" Sudah puaskah engkau menguji aku"

Sebetulnya di antara kita tidak pernah saling menyerang.
Kita dapat bekerja sama untuk menggulingkan pemerintah Mancu. Kita sahabat, bukan musuh, kawan dan bukan lawan." Nenek Cia harus mengaku kalah. merasa malu kalau
terus berkeras, maka iapun mundur tanpa malu lagi,bahkan berkata, "Engkau memang pantas untuk beng-cu."

Nenek yang keras hati itu lalu melompat turun dari atas panggung.
Siang Koan Bhok merasa senang dan bangga sekali atas kemenangan muridnya itu, maka dari bawah panggung dia berteriak, "Masih adakah orang yang tidak menyetujui muridku Ouw Kwan Lok menjadi beng-cu" Kalau masih ada, silakan maju dan mengujinya!"

Ouw Kwan Lok sendiri menjadi mabok kemenangan dan dia merasa bangga sekali. Sambil tersenyum dia memandang ke empat penjuru dan berkata lantang, "Benar sekali apa yang diucapkan suhu. Kalau ada yang masih merasa penasaran, silakan naik dan bertanding dengan aku.

Bagaimana kalau bekas beng-cu Souw maju mengujiku"
Atau barangkali isterinya atau anaknya perempuan yang terkenal pandai ?"
Mendengar tantangan ini, Souw Tek Bun diam saja dan biarpun Lee Cin merasa tangannya gatal, iapun tidak berani mendahului ayahnya. 

Akan tetapi Ang-tok Mo-li Bu Siang tidak dapat menahan kemarahannya. Sekali berkelebat
tubuhnya melayang naik ke panggung dan langsung saja ia menyerang Ouw Kwan Lok dengan pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) sambil berseru, "Bocah sombong, rasakan pukulanku!"

Melihat wanita itu menyerangnya dari udara, Ouw Kwan Lok bersikap waspada. Dia sudah mendengar betapa lihainya datuk wanita ini, maka begitu melihat pukulan tangan kanan yang berubah kemerahan itu, diapun mengerahkan sin-kangnya dan menyambut dengan dorongan tangan kirinya.

"Plakkk.......... !!" Akibatnya, Ang-tok Mo-li terpental ke belakang akan tetapi dengan berjungkir balik ia dapat turun ke atas panggung, sedangkan Ouw Kwan Lok hanya mundur dua langkah! Tiba- tiba Souw Tek Bun sudah meloncat naik ke atas panggung. Ouw Kwan Lok mengira bahwa bekas beng-cu itu hendak mengeroyoknya, akan tetapi ternyata tidak. Souw Tek Bun memegang tangan isterinya dan
menariknya mundur.

"Sudahlah, kita tidak mempunyai urusan sedikitpun dengan pengangkatan beng-cu ini. Siapapun yang akan diangkat, tidak ada urusannya dengan kita!"

Setelah berkata demikian, dia mengajak isterinya melompat turun.
Makin besarlah kepala Ouw Kwan Lok. Dia tersenyum memandang kepada Im Yang beng-cu dan berkata lantang.
"Tadi ada yang menyesalkan mengapa Im Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai tidak ikut bertanding. 

Sekarang setelah aku keluar sebagai pemenang, kalau masih penasaran,
silakan Im Yang Seng cu naik ke panggung untuk mengujiku!" Dengan lagak sopan dan ramah Ouw Kwan Lok menantang! Ini hebat sekali. Menantang ketua Kun-lun-pai,pada hal semua orang tahu betapa lihainya Im Yang Sengcu.

Banyak orang berseru, "Im Yang Seng-cu naik kepanggung!" .dan mereka ingin sekali melihat pemuda sombong itu dikalahkan. Tadinya Im Yang Seng-cu yang sudah tua itu tidak mau melayani tantangan Ouw Kwan Lok, akan tetapi karena banyak suara mengharapkannya,
terpaksa dia bangkit dan naik ke panggung.
Ouw Kwan Lok menyambut dan memberi hormat.

"Terima kasih kalau to-tiang sudi memberi petunjuk kepadaku!" Sikapnya kelihatan sopan dan kata-katanya merendah, akan tetapi senyum dan pandang matanya penuh ejekan.

"Sian-cai ...... ! Ouw- sicu sungguh mengagumkan, masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tung-hai-ong boleh merasa bangga mempunyai seorang murid seperti
engkau, Pin-to sudah tua, tidak ingin bertanding, hanya ingin menguji tenaga sin-kangmu."
"Silakan, to-tiang!" kata Ouw Kwan Lok.

"Sambutlah seranganku ini, orang muda!" Im Yang Sengcu lain mengajukan kaki kanannya dan tangan kanannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Ouw Kwan Lok.
Pemuda ini cepat mengerahkan tenaga dan diapun mengajukan kaki kanan ke depan dan tangan kanannya yang terbuka di dorongkan ke depan menyambut dorongan tangan kanan kakek itu.

"Desss......... !" Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, Im Yang Seng-cu mundur tiga langkah, akan tetapi Ouw Kwan Lok juga mundur tiga langkah. Hanya bedanya, kalau pernapasan kakek itu agak memburu, sebaliknya pernapasan Ouw Kwan Lok biasa dan tenang-tenang saja! 

Hal ini saja membutktikan bahwa Ouw Kwan Lok masih menang sedikit dan kemenangan ini adalah karena dia jauh lebih muda dari pada lawannya yang sudah berusia tujuhpuluh tiga tahun!

"Sian-cai ..... Ilmu kepandaian Ouw sicu memang hebat dan kalau diukur dengan tingkat kepandaian, memang
sudah pantas menjadi beng-cu. Pin-to tidak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu baru, terserah
kepada hadirin sekalian!" 

Setelah berkata demikian, Im Yang Seng-cu melompat turun dari atas panggung.
Ouw Kwan Lok memandang ke empat penjuru dengan wajah berseri. Dia merasa seolah menjadi orang terpandai di dunia ini. "Saudara sekalian! Kalau sudah tidak ada lagi yang penasaran, berarti saudara sekalian menerima saya menjadi beng-cu baru, bukan?"
Sorak sorai menyambut ucapan ini, yaitu mereka yang memang mendukung pemuda itu sejak awal. Sedangkan yang lain, biarpun dalam hati merasa tidak senang, hanya diam saja tidak berani memperlihatkan perasaan mereka.

"Nah, sekarang saudara sekalian. Sebagai beng-cu baru saya ingin melanjutkan rapat pertemuan ini, yaitu membicarakan tentang perjuangan kita menentang pemerintah penjajah Mancu! Saya mempersilakan Hui Sian Hwe-sio sebagai pengundang rapat pertemuan ini untuk menjelaskan
apa yang hendak dibicarakan tentang perjuangan ini."

Hui Sian Hwe-sio bicara dari tempat ia berdiri, "Omitohud.......... Tadinya kami sama sekali tidak hendak membicarakan tentang perjuangan menentang pemerintah penjajah, melainkan membicarakan betapa banyak di antara orang kang-ouw yang bekerja sama dengan orang asing seperti yang baru-baru ini terjadi di pantai timur. 

Orang-orang kang-ouw dapat diperalat oleh pasukan yang memberontak, dan juga bersekutu dengan orang-orang Jepang. Hal ini amat tidak baik, mencemarkan nama baik dunia kang-ouw dan orang-orang gagah pada umumnya.
"Hui Sian Hwe-sio telah bicara tentang orang-orang yang menentang pemerintah akan tetapi bersekutu dengan pasukan pemberontak dan orang Jepang. Siapa yang akan menanggapi pernyataan itu?" kata Ouw Kwan Lok, bersikap sebagai seorang pemimpin.

"Aku akan menjawabnya!" Tiba-tiba terdengar suara melengking seorang wanita dan ternyata yang bicara itu adalah Nenek Cia!
"Silakan bicara!" kata Ouw Kwan Lok.
"Kami keluarga Cia sejak dahulu adalah patriot- patriot sejati yang selalu menentang kekuasaan panjajah Mancu.

Menurut pandangan kami, orang berjuang menentang penjajah Mancu boleh melakukan segala. cara. Apa salahnya bekerjasama dengan para pemberontak dan orang-orang Jepang" Kami akui bahwa memang kami bekerja sama
dengan mereka. Akan tetapi tujuannya adalah menentang penjajah Mancu. 

Justeru demi berhasilnya perjuangan kita harus merangkul siapa saja untuk memperkuat diri. Heran sekali mengapa ada orang ribut-ribut tentang hal itu, akan tetapi tinggal peluk tangan saja melihat betapa penjajah menindas rakyat jelata?"

"Apa yang dikatakan Nenek Cia tepat sekali. Apakah ada yang akan menanggapi" Dan apakah wakil Siauw-limpai dan Kun-lun-pai yang tadinya menjadi wakil beng-cu lama akan memberikan jawaban?"

"Sian-cai......... !" Terdengar Im Yang Seng-cu berkata lantang. "Ucapan Nyonya Cia itu berarti demi mencapai tujuan menghalalkan segala cara! Bukan begitulah sikap seorang pendekar. Betapa. sucipun tujuannya, kalau cara mencapainya kotor, tujuan itu akan tercemar pula. 

Orang-orang Jepang itu adalah bajak-bajak laut yang sudah banyak mengacaukan kehidupan rakyat di pantai. Seorang pendekar semestinya menentang mereka, bukan malah
diajak bersekutu. Seorang pendekar patriot akan berjuang dengan bersih, patriot sejati hanya akan berjuang dengan dukungan rakyat jelata, bukan didukung oleh para penjahat yang hanya akan mengail di air keruh."

"To-tiang, kalau menurut pendapat to-tiang seperti itu, lalu
bagaimanakah kalian akan berjuang menentang penjajahan" Dan kapan to-tiang akan mulai berjuang"

Selama ini yang- namanya orang-orang gagah hanya tunduk dan menurut saja apa yang dikehendaki pemerintah penjajah. Bahkan pemilihan beng-cu yang lalu didukung oleh pemerintah Mancu. Itukah yang dinamakan sikap seorang patriot" Kami lebih condong mendukung pendapat Nenek Cia!" kata Ouw Kwan Lok yang disambut sorak sorai golongan hitam yang hadir di situ.

Mendengar ini, Im Yang Seng-cu lalu mengibaskan lengan bajunya dan berkata, "Kalau demikian peristiwa Bengcu, sudahlah. Kami dari Kun-lun-pai tidak akan mencampuri urusan kalian yang menentang pemerintah sambil bersekutu dengan para penjahat! Mari kita pergi meninggalkan tempat ini!"

Mendengar ini, In Kong Thai-su juga mengajak saudara-saudaranya untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi melihat ini, Ouw Kwan Lok berkata dengan lantang.
"Saudara sekalian harap jangan pergi dulu, kami hendak membuat pengumuman kami yang pertama sebagai beng-cu baru adalah bahwa kedudukan beng-cu berada di Pulau
Naga dan kalau ada urusan dengan beng-cu harap datang ke Pulau Naga!"

Para utusan Kun-lun-pai, Siauw-limpai, Kong-thong-pai, Bu-tong-pai, dan Go-bi-pai menghadap Souw Tek Bun yang menjadi tuan rumah untuk berpamit, lalu mereka pergi meninggalkan tempat itu.

Satu demi satu para tamu meninggalkan Hong-san. Yang paling akhir adalah Ouw Kwan Lok dan gurunya, Siang Koan Bhok.


          **********


Lee Cin tersenyum mengejek. "Habis, engkau mau apa"
Salahmu sendiri sampai lenganmu buntung!"
Mereka saling pandang. Ouw Kwan Lok merasa sakit hati, bukan hanya karena lengannya dibuntungi gadis itu, akan tetapi juga untuk membalaskan sakit hati para gurunya, mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong.

Akan tetapi kini dia menghadapi Lee Cin, Souw Tek Bun dan Ang-tok Mo-li. Mereka bertiga itu dengan tegak berdiri dan siap untuk melawan. Biarpun Ouw Kwan Lok bersama Siang Koan Bhok, namun dia tidak berani main-main menghadapi tiga orang itu. Akhirnya dia tersenyum dan kembali menjura kepada Lee Cin.

"Nona Souw, biarlah lain kali saja aku membalas kebaikanmu itu," katanya lalu pergi bersama gurunya meninggalkan tempat itu. Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang pergi.

Lee Cin mengepal tinjunya. "Mengapa ayah melarangku ketika aku hendak menentang dan melawan bangsat itu?"katanya dengan kesal.
"Engkau tentu tahu bahwa saat itu sedang diadakan pemilihan beng-cu baru sehingga tidak ada alasannya kalau engkau hendak menyerangnya. 

Selain itu, kulihat ilmu kepandaian pemuda itu sungguh luar biasa sekali. Bahkan Im Yang Seng-cu tidak dapat mengatasinya, dan Nenek Cia juga kalah olehnya. Sungguh berbahaya kalau engkau hendak melawan dia, Lee Cin."
"Aku tidak takut, ayah. Biarpun aku juga mengerti bahwa ilmu kepandaiannya sudah maju dengan pesatnya dan mungkin saja aku tidak akan mampu menandinginya."

"Aku juga penasaran. Aku ingin mencoba kelihaiannya, akan tetapi engkau menghalangi aku!" kata pula Ang-tok Mo-li kepada suaminya.
Souw Tek Bun tersenyum. "Aku hanya menjaga agar jangan sampai engkau dikalahkannya di depan begitu banyak orang. Lain waktu masih banyak kesempatan bagi kita untuk menentangnya kalau dia melakukan kejahatan."

"Celaka! Dia menjadi beng-cu, akan dibawa kemanakah dunia persilatan" Aku tahu, dia adalah seorang pemuda yang herhati palsu dan amat jahat, ayah," kata Lee Cin khawatir.
"Biarpun dia beng-cu, kalau tindakannya tiilak benar, kurasa para orang gagah tak akan menuruti kemauannya.

Paling-paling golongan sesat yang akan taat kepadanya,"ayahnya menghibur.
Sementara itu Ouw Kwan Lok yang melakukan perjalanan dengan Siang Koan Bhok, telah tiba di kaki gunung Hong -san.

"Kwan Lok, kalau gadis puteri Souw Tek Bun itu yang membuntungi lengan kirimu, kenapa tadi engkau tidak membunuhnya saja?" Siang Koan Bhok menegur muridnya.
"Ia dan ayah ibunya merupakan lawan yang tidak ringan, suhu. Aku khawatir kalau gagal tadi. Kalau aku sudah turun tangan, haruslah berhasil. 

Biarlah, lain waktu aku pasti akan membalas dendam kepadanya, tidak cukup dengan membunuhnya atau membuntungi lengannya. Sekarang,yang paling penting bagiku adalah menyusun kekuatan. Apa artinya menjadi beng-cu kalau tidak mempunyai anak buah?" 
"Anak buah kita di Pulau Naga cukup banyak."

"Akan tetapi mereka hanya anak buah biasa saja, suhu.
Yang kumaksudkan, kita harus dapat mengundang orang-orang berkepandaian tinggi untuk menjadi anggautaku di sana. Aku harus dapat membuat seluruh dunia persilatan tunduk kepadaku, dan kalau ada yang tidak mau taat, akan kuberi hajaran. Tentu saja aku harus mempunyai anak buah yang pandai dan banyak."

Siang Koan Bhok mengangguk. Dia kagum kepada murid barunya ini, dan menganggap dia sebagai pengganti Siang Koan Tek, pureranya.

"Jangan lupa untuk membalaskan dendamku kepada Song Thian Lee, Kwan Lok."
"Jangan khawatir, suhu. Tak lama lagi tentu aku akan mampu menghadiahkan kepada Song Thian Lee kepada suhu. Juga isterinya harus mati di tanganku. Mereka bertiga itu, Song Thian Lee, Tang Cin Lan, dan Souw Lee Cin, adalah musuh-musuh utamaku."

Legalah hati Siang Koan Bhok dan dia percaya muridnya ini tidak hanya membual saja. Dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, Kwan Lok akan mampu menandingi dan mengalahkan Song Thian Lee.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan di depan
mereka telah berdiri seorang kakek tinggi kurus yang berusia hampir enampuluh tahun. Kwan Lok dan Siang Koan Bhok segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Thian to Mo-ong Koan Ek.

"Eh, kiranya suhu Thian-te Mo-ong!" tegur Kwan Lok dengan gembira.
"Kwan Lok, lupakah engkau akan pesanku ketika kita berpisah" Engkau tidak memenuhi pesanku, bahkan engkau ikut Tung-hai-ong dan merebut kedudukan beng-cu! 

Mulai saat ini engkau hatus ikut aku dan membalas dendam kepada musuh- musuhku!"
"Hemm, suhu Thian-te Mo-ong. Aku sama sekali tidak lupa akan pesanmu. Tahukah engkau bahwa aku sampai kehilangan lengan kiri karena memenuhi pesanmu" 

Sekarang aku tidak perlu memenuhi pesanmu ini karena tiga orang yang suhu musuhi itu juga merupakan musuhku.
Musuh kita bersama."
"Heh, Thian-te Mo-ong, apa maumu menghadang perjalanan kami di sini?" Siang Koan Bhok berseru tidak senang.

"Siang Koan Bhok, engkau mencuri muridku!" Thian-te Mo-ong membalas dengan marah.
"Tidak, suhu Thian-te Mo-ong. Suhu Siang Koan Bhok tidak mencuriku. 

Aku yang minta menjadi muridnya dan sekarang kebetulan sekali. Aku sedang mencari-cari orang-orang seperti suhu ini untuk menjadi pengikut dan pembantuku. Marilah suhu, engkau ikut denganku ke Pulau Naga dan kita membangun kekuatan bersama. Kalau kita sudah kuat, apa sih sukarnya membasmi musuh- musuh kita itu?"

"Hemm, engkau berlagak. Aku menjadi pembantumu"
Apakah engkau mimpi " Biarpun engkau sudah menjadi beng-cu, engkau tetap muridku. Bagaimana aku sebagai gurumu kini menjadi anak buahmu?"

"Suhu, biarpun aku muridmu, akan tetapi sekarang aku lebih lihai daripada mu. Sekarang begini saja. Kalau suhu dapat mengalahkan aku, baiklah, aku akan ikut dengan suhu dan menaati semua perintah uhu. 

Akan tetapi sebaliknya kalau suhu kalah olehku, suhu harus ikut ke Pulau Naga dan membantuku. Bagaimana ?"
"Engkau menantangku" Hemm, setelah menjadi murid Siang Koan Bhok, engkau berani menantangku, ya?"

"Tidak, aku
tidak akan menggunakan ilmu yang kupelajari dari suhu Siang Koan Bhok. Aku akan melawan suhu dengan ilmu yang kupelajari dari suhu sendiri, dengan demikian barulah adil"

Thian-te Mo-ong tersenyum mengejek. Dia tadi sudah melihat betapa lihainya Ouw Kwan Lok. Akan tetapi kalau pemuda itu tidak mempergunakan ilmu silat lain, melainkan menggunakan ilmu silat yang diajarkannya dulu, bagai mana mungkin Kwan Lok mampu menandinginya"

"Baik, bersiaplah. Siang Koan Bhok menjadi saksinya!"
"Ha-ha-ha, akan kusaksikan betapa Thian-te Mo-ong kalah oleh muridnya!" Siang Koan Bhok tertawa.

" Awas, lihat seranganku." Thian-te Mo-ong berteriak ganas dan dia sudah menerjang maju dan menyerang dengan ilmu silat Pek-swat Tok-ciat (Tangan Beracun Salju Putih). Ouw Kwan Lok cepat mengelak lalu balas menyerang dengan ilmu yang sama! Tentu saja Kwan Lok kurang leluasa memainkan ilmu silat itu karena hanya dengan sebeah tangan, akan tetapi dia memiliki gerakan yang lebih cepat dari gurunya itu sehingga dia tidak sampai terdesak.

"Haiiiiittttt ..... !" Thian-te Mo-ong nengirim pukulan keras sekali dengan tangan kanannya, mengarah kepala muridnya, akan tetapi Kwan Lok membuat gerakan yang sama dengan tangan kanannya, menangkis pukulan itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

"Wuuuttt......... desss......... ?" Akibat benturan kedua lengan itu, tubuh Thian te Mo-ong terhuyung ke belakang.
Ternyata dia kalah kuat!
"Nah, suhu telah kalah,"
kata Kwan Lok sambil
tersenyum. 

"Baiklah, dalam pertandingan tangan kosong aku mengaku kalah kuat, akan tetapi coba tahan pedangku
kalau engkau mampu!" kata Thian-te Mo-ong sambil mencabut sepasang pedangnya dan menyilangkan sepasang pedang itu di depan dadanya.

"Baiklah, akan kulayani kehendakmu, suhu!" Diapun meloloskan pedangnya dari punggung dan keduanya segera bertanding dengan pedang. Kwan Lok tetap memainkan ilmu pedang yang dipelajarinya dari gurunya. 

Akan tetapi karena memang dia menang cepat dan menang kuat, dia segera dapat mendesak Thian-te Mo-ong. Dia sudah hafal akan gerakan serangan gurunya, maka dia selalu dapat mengelak dan menangkis. Dan setiap kali menangkis, pedang suhunya terpental. 

Kwan Lok mempercepat gerakannya dan sekali membentak nyaring, sambil memutar pedangnya, dia
berhasil membuat sepasang pedang itu terpental dan lepas dari tangan Thian-te Mo-ong.

"Bagaimana, suhu, maukah suhu menjadi pembantuku di Pulau Naga?" Tanya Kwan Lok sambil menyarungkan pedangnya kembali.
Thian-te Mo-ong hampir tidak percaya. Muridnya ini benar-benar telah mampu mengalahkannya dalam permaianan silat yang pernah diajarkannya!

"Ha-ha-ha, Thian-te Mo-ong, engkau harus mengakui sudah tua dan kalah oleh murid sendiri!" Siang Koan Bhok menertawainya.
"Dan bagaimana dengan engkau, Siang Koan Bhok"
Apakah engkau mampu mengalahkannya?"

Siang Koan Bhok menggeleng kepalanya. "Aku belum mencobanya dan tidak akan mencobanya. Aku siap menjadi pembantu utama dari Ouw Kwan Lok.

"Bagus, suhu Siang Koan Bhok menjadi pembantu pertama dan suhu Thiante Mo-ong menjadi pembantu kedua. Akan kuat sekali keadaan kita di Pulau Naga."
Thian-te Mo-ong menghela napas dan mengambil sepasang pedangnya. "Baiklah, aku suka menjadi pembantumu yang ke dua."
Tiga orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Pulau Naga.


          **********


Kaisar Kian Liong memang merupakan seorang kaisar yang baik dan pandai, akan tetapi tiada manusia di dunia ini yang tanpa cacat. Kaisar Kian Liong suka sekali akan wanita cantik. Kalau sudah melihat wanita cantik, biarpun wanita itu sudah bersuami, akan diusahakan agar wanita itu dapat menjadi miliknya. 

Selir dan dayangnya ratusan orang
banyaknya, namun agaknya Kaisar Kian Liong masih memalingkan mukanya kepada wanita lain yang bukan miliknya. Akan tetapi segala bentuk kesenangan kalau terlalu di turuti, akhirnya membuat orang menjadi bosan juga.

Demikian juga dengan Kaisar Kian Liong. Akhirnya dia merasa bosan juga bermain- main dengan wanita cantik.

Pada suatu hari, ketika dia duduk dalam tandu, dia melihat wajah seorang di antara para pemikul tandu. Wajah pemuda itu sedemikian menarik hatinya, membuat Kian Liong.teringat akan wajah seorang selir ayahnya yang pernah dicintanya akan tetapi dahulu tak pernah dia dapat memiliki selir ayahnya itu.

Setelah duduk di bagian dalam istana, dia menyuruh.panggil pemuda pemikul tandu Setelah pemuda yang berusia delapan belas tahun itu datang berlutut di depannya, Kaisar Kian Liong semakin tertarik. Seorang pemuda yang tampan sekali, demikian tampan dan halus bersih kulitnya seperti seorang wanita saja. Dia lalu mengangkat pemuda itu menjadi pelayannya.

Pemuda itu bernama Ho Shen. Ketika pada suatu malam Kaisar Kian Long memanggilnya kemudian mengajaknya tidur, pemuda itu diam-diam merasa terkejut dan menganggap kaisarnya telah menjadi gila. 

Akan tetapi kemudian dia mengetahui bahwa kaisarnya benar-benar tergila-gila kepadanya dan menjadikan dia sebagai kekasihnya! 

MuIai saat itu, Ho Shen yang cerdik itu tidak menyia-nyiakan waktunya. Dia diangkat menjadi kepala pelayan. Kalau semua pelayan pria adalah kasim (orang kebiri) maka dia sendiri tidak dan bahkan diangkat menjadi kepala!

Tabun-tahun terlewat dan Ho Shen dapat merayu sang kaisar sedemikian rupa sehingga akhirnya dia diberi kedudukan tinggi sebagai perdana menteri! Untuk menutupi kecurigaan orang, Kaisar Kian Liong menyuruh Ho Shen menikah.

Peristiwa ini merupakan rahasia, akan tetapi sebaik-baiknya barang busuk ditutupi, baunya tercium juga.
Hanya, orang tidak berani membicarakan secara terbuka dan diam-diam saja, pura-pura tidak tahu. Mereka bahkan merasa iri kepada Ho Shen yang dapat menumpuk kekayaan dari kedudukannya.

Peristiwa ini akhirnya terdengar pula oleh Panglima muda Song Thian Lee. Panglima muda ini memang sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Ketika mendengar berita itu, dia merasa muak dan mendorongnya untuk cepat mengundurkan diri. 

Pada suatu hari, dia mohon menghadap Kaisar dan membawa sesampul surat permohonan berhenti dari jabatannya.
Kaisar Kian Liong mengerutkan alisnya setelah membaca surat permohonan itu dan menatap wajah panglima muda Song Thian Lee yang menunduk.
"Song Ciang-kun, apa sebabnya engkau tiba-tiba hendak mengundurkan diri dari jabatanmu" Apakah jabatanmu yang sekarang kurang tinggi?"
"Tidak sama sekali, Yang Mulia. Jabatan sekarang ini sudah cukup tinggi dan terhormat bagi hamba."

"Kalau begitu, apakah penghasilanmu kurang" Gajimu tidak mencukupi?"
"Juga tidak, Yang Mulia. Penghasilan hamba sudah lebih dari cukup, gaji hamba cukup besar."

"Kalau begitu, mengapa engkau hendak mengundurkan diri, Song Ciangkun" Selama ini engkau menjadi panglima muda yang cakap dan setia, bahkan baru-baru ini engkau sudah berhasil memadamkan pemberontakan di pantai timur. 

Lalu mengapa mendadak engkau ingin berhenti?"
"Terus terang saja, Yang Mulia. hamba ingin hidup dalam suasana tenang dan damai bersama anak isteri hamba."
"Apakah selama menjadi panglima di sini hidupmu tidak tenang dan tidak damai?"
Song Thian Lee memberi hormat.

"Memang tidak, Yang Mulia. Terutama sekali kalau hamba melaksanakan tugas, beberapa kali hamba harus berhadapan dan melawan para pendekar yang ikut memberontak. Hamba merasa bersalah dan gelisah."
"Hemm, akan tetapi mereka adalah pemberontak yang hanya mendatangkan kekacauan dalam kehidupan negara dan rakyat!"
"Memang benar, Yang Mulia. Akan tetapi merekapun merupakan segolongan pendekar."
"Kalau......... engkau memihak kepada mereka yang memberontak, Song-ciangkun?"

"Sama sekali tidak, Yang Mulia. Biarpun mereka itu pendekar, kalau mereka bersekutu dengan orang-orang asing dan pemberontak seperti di pantai timur itu, hamba akan tetap menentang."

"Song-ciangkun, apakah sudah engkau pikir baik-baik keputusanmu ini" Kami akan merasa kehilangan sekali kalau engkau mengundurkan diri. Bukankah selama ini kita bersahabat dan kami bersikap balk kepadamu?"

"Ampun, Yang Mulia. Memang Yang Mulia telah memberi anugerah dan kebaikan kepada hamba. Akan tetapi hamba sudah memikirkan dengan matang. Hamba tidak ingin menjadi seorang panglima yang diam-diam membenci pekerjaannya sendiri. 

Lebih baik hamba berterus terang dan minta berhenti dengan hormat."
"Baiklah, Song-ciangkun. Kami dapat 
Menghargai kejujuranmu. Akan tetapi karena pengunduran dirimu merupakan urusan besar dan menyangkut penataan pasukan, kami akan membicarakan dengan Panglima Tua Bouw dan Panglima Coa agar dapat diatur bagaimana baiknya dan siapa yang akan menggantikan jabatanmu.

Sesudah itu, baru kami akan memberi surat pelepasan kepadamu."
Setelah memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, Song Thian Lee mengundurkan diri keluar dari istana.
Tak lama setelah Song Thian Lee pergi, Kaisar Kian Liong memanggil Panglima Tua Bouw Kin Sek dan wakilnya, yaitu Panglima Coa Kun.


Setelah kedua orang panglima itti menghadap, Kaisar 
Kian Liong lalu memberitahu kepada mereka. "Baru saja Song-ciangkun menghadap kami dan mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri sebagai panglima. 


Apakah kalian berdua mengetahui apa sebabnya?"
Dua orang panglima itu saling Pandang dan Bouw-ciangkun segera menjawab. "Sepanjang yang hamba ketahui, tidak ada sebab-sebab yang menyebabkan dia mengundurkan diri, Yang Mulia."


"Hemm, akan tetapi dia mengatakan bahwa hatinya tidak merasa nyaman karena dalam pemberantasan pemberontak, seringkali dia harus berhadapan dengan para pendekar.
Apakah kalian mengetahui apa artinya itu?"


Coa Ciang-kun yang tinggi kurus dan bermuka pucat itu lalu memberi hormat. "Ampun, Yang Mulia. Kalau hamba tidak salah duga, hamba mengetahui sebab-sebabnya."
"Coba ceritakan, Coa-ciangkun," kata kaisar.


"KetikaSong 
ciangkun  memadamkan pemberontakan di timur, dia tidak mau mempergunakan pasukan untuk membasmi sebuah keluarga yang sangat benci kepada kerajaan. 

Keluarga itu adalah Keluarga Cia dan mungkin keluarga Cia yang telah membunuhi pembesar-pembesar
yang setia kepada paduka. Akan tetapi panglima Song tidak melanjutkan pengejaran dan membiarkan mereka itu lolos!"

"Wah, itu merupakan kesalahan besar! Membasmi pemberontak haruslah sampai ke akar-akarnya! Kalau keluarga itu tidak dibasmi, tentu mereka lain kali akan mengadakan pemberontakan lagi."

"Ampun, Yang Mulia," kata Panglima Tua Bouw Kin Sek yang memang mencari kesempatan. "Kalau begitu, mundurnya Panglima Song tentu ada kaitannya dengan itu.




Jangan-jangan dia mundur untuk menyusun kekuatan untuk memberontak bersama Keluarga Cia itu!"

"Hamba juga mendengar berita yang mencurigakan, Yang Mulia. Baru baru ini para kang-ouw mengadaka pertemuan di Hong-san untuk memilih ketua baru. Akan tetapi tidak seperti biasanya, mereka tidak mengundang perwira setempat sehingga pemilihan itu gelap bagi kita. 


Jangan-jangan ini ada hubungannya pula dengan berhentinya Song-ciangkun. Mereka hendak menyusun kekuatan!" kata pula Coa-ciangkun.
Wajah Kaisar Kian Liong menjadi merah dan alisnya berkerut, lalu tangannya mengepal tinju. 


"Sangat boleh jadi dugaan kalian itu! Kalau begitu kalian harus turun tangan.
Setelah dia berhent nanti, kalian harus mengutus orang-oran pandai dan mengamati gerak-geriknya dan kalau benar dia mengadakan perhubungan dengan para pemberontak,jangan ragu-ragu lagi, tangkap dan binasakan Song-ciangkun!"


"Baik, Yang Mulia. Hamba akan mengaturnya!" jawab Bouw-ciangkun yang merasa girang karena diam-diam panglima ini membenci Song Thian Lee yang mendapat
kepercayaan besar dari Kaisar. Dia merasa iri dan benci.


Akan tetapi, orang yang baik dan benar selalu dilindungi oleh Kekuasaan yang tidak tampak. Percakapan antara dua panglima dan kaisar ini didengar oleh seorang thai-kam (kasim) yang bertugas di situ. Thia-kam ini amat mengagumi Song Thian Lee, dan mendengar itu, diam-diam dia lalu mengirim surat kepada Thian Lee, memberitahu bahwa pendekar itu teramcam dan harus berhati-hati karena tindak-tanduknya akan diamati dengan ancaman mati.


Song Thian Lee bercakap-cakap dengan, isterinya tentang permintaannya mundur dari jabatannya.
"Apa yang kaulakukan itu aku setuju sekali, Lee-ko.


Kalau aku teringat akan orang-orang tua kita yang tewas oleh pasukan pemerintah, sungguh aneh sekali kalau sekarang engkau malah nenjadi panglima pemerintah. Aku sendiri puteri angkat seorang pangeran, maka akupun tidak dapat berkata apa-apa ketika engkau diangkat menjadi panglima. 


Namun di sudut hatiku, aku merasa tidak enak sekali.
"Benar kata-katamu. Bukan hanya mengingat akan orang tua kita, akan tetapi juga mengingat akan saudara-saudara Para pendekar di dunia kang-ouw, mereka tentu tidak senang mendengar aku menjadi panglima kerajaan. 


Ayahku dulu adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang patriotik yang gagah, akan tetapi anaknya sekarang menjadi panglima kerajaan penjajah. Kalau aku melakukan tugas membasmi pemberontak, aku sering bertemu dengan orang-orang kangouw yang ikut memberontak. 

Nah, di situ hatiku menjadi tidak senang sekali karena pekerjaanku ini
berlawanan dengan batinku."
"Lalu, kalau engkau sudah mengundurkan diri, apakah kita juga akan tetap tinggal di kota raja, Lee-ko?"


"Tidak, Lan-moi. Kota raja bukan tempat yang tepat untuk kita hidup secara aman dan tenteram. Aku akan
tinggal di kampung halamanku, yaitu di dusun Tung-sinbun yang tidak jauh dari kota raja. Aku akan menjauhkan diri dari semua pemberontakan-pemberontakan kecil sambil menanti datangnya saat di mana rakyat yang akan memberontak terhadap penjajah. 


Aku juga akan menjauhkan diri dari dunia kang-ouw. Aku ingin tinggal di dusun di mana dahulu ayahku tinggal dan hidup sebagai seorang petani."
"Akan tetapi kalau sekali waktu aku merasa rindu kepada ibu, bolehkah aku pergi menengoknya di istana ayah?"


"Tentu saja boleh."
Beberapa hari kemudian, surat keputusan dari Kaisar tiba, yaitu yang menyetujui bahwa Thian Lee mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai panglima. Karena setelah tidak lagi menjadi panglima muda dia harus meninggalkan gedung yang sekarang menjadi tempat tinggalnya, maka setelah menerima surat keputusan itu, Thian Lee segera memboyong keluarganya pindah ke dusun Tung-sin-bun.

Pangeran Tang Gi Su, ayah tiri Cin Lan, terkejut sekali mendengar akan mundurnya Thian Lee dari jabatannya. Dia segera mengunjungi Thian Lee dan bertanya tentang hal itu.


Akan tetapi setelah menerima penjelasan Thian Lee,pangeran yang bijaksana itupun dapat mengerti. Mantunya adalah seorang pendekar besar, tentu saja merasa tidak enak kalau harus bermusuhan dengan sesama pendekar yang mendukung pemberontakan terhadap pemerintah Mancu. 


Dia hanya menghela napas dan memesan kepada.mantunya itu agar jangan melibatkan diri dengan pemberontakan karena dia akan merasa berduka sekali.kalau mantunya menjadi musuh kerajaan.
Di Tung-sin-bun, Thian Lee membeli rumah ayahnya.yang dulu, membangunnya kembali dan membeli beberapa petak sawah ladang dan selanjutnya dia hidup sebagai petani. 

Sama sekali dia tidak tahu dan tidak mengira bahwa segala gerak geriknya diawasi dengan tajam oleh orang-orang yang disebar oleh Bouw-ciangkun dan Coa-ciangkun. Dia hidup sebagai seorang petani, mempergunakan tenaga buruh tani untuk menggarap sawah ladangnya, juga dia berusaha untuk memperdagangkan hasil bumi.  

Thian Lee hidup dengan tenang dan sederhana bersama Tang Cin Lan dan Song Han San, putera mereka yang kini sudah berusia tiga tahun.


          **********


Kota Cin-an, amat ramainya.. Kota besar ini menjadi penting karena berada di dekat Sungai Huang-ho yang menghubungkannya sampai ke lautan di Teluk Pohai, dan menghubungkan kota Cin-an dengan barat. 


Lalu lintas perdagangan melalui Sungai Huang-ho menjadi kota Cin-an makin ramai dikunjungi banyak pedagang dari lain daerah.

Untuk menampung dan melayani para pengunjung yang banyak jumlahnya, maka di Cin-an didirikan banyak rumah penginapan yang merangkap sebagai rumah makan.


Pada suatu hari, seorang pemuda yang menumpang pada perahu besar yang membawa banyak penumpang yang datang dari barat, turun mendarat lalu melakukan perjalanan menuju kota Cin-an. 


Pemuda ini berusia duapuluh satu tahun, berpakaian sebagai seorang pelajar miskin karena pakaiannya terbuat dari kain kasar. Pemuda ini berwajah tampan dan gerak geriknya lembut seperti biasa gerakan seorang pelajar atau sastrawan. 

Mulutnya yang selalu mengandung senyum ramah dan sabar itu membuat wajahnya selalu tampan cerah gembira dan matanya yang bersinar-sinar menandakan bahwa dia memandang kehidupan ini sebagai sesuatu yang patut disyukuri dan menggembirakan.

Pemuda itu bukan lain adalah Cia Tin Han. Seperti kita ketahui, Tin Han adalah putera Cia Kun dan cucu Nenek Cia yang galak. Tidak seperti kakaknya, Cia Tin Siong yang sejak kecil ditempa mempelajari ilmu silat dengan tekun Tin Han lebih kelihatan sebagai seorang sastrawan yang suka akan pelajaran sastra. 


Akan tetapi di luar tahu semua keluarganya, diam-diam Tin Han digembleng oleh seorang pertapa aneh berjuluk Bu Beng Lo-jin sehingga tanpa ada yang mengetahui dia memiliki tingkat ilmu silat yang bahkan lebih tinggi dari pada kakaknya, bahkan tingkatnya hampir menandingi tingkat kepandaian silat neneknya.

Akan tetapi, kalau neneknya dan seluruh keluarganya berwatak patriot dan mati-matian membenci Kerajaan Mancu dan berusaha dengan segala daya untuk menentang pemerintahan, 


sebaliknya Tin Han tidak menyetujui sikap neneknya yang tidak segan bersekutu dengan orang-orang Jepang dan orang-orang sesat. Tin Han memiliki jiwa patriot sejati yang tidak mau dikotori oleh hubungan dengan orang-orang dari dunia sesat, apa lagi dengan orang-orang Jepang 
yang sesungguhnya hanya bajak- bajak laut itu. 


Dia berjiwa pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Kalau keluarganya memusuhi semua pembesar walaupun ada di antara mereka yang baik dan bijaksana, Tin Han tidak memusuhi pembesar yang bijaksana, hanya menentang pembesar yang menindas rakyat, pembesar korup yang hanya memperkaya diri sendiri tanpa memperdulikan kesengsaraan rakyat. 

Terhadap pembesar yang bijaksana, Tin Han hanya memperingatkan agar mereka tidak menjadi antek Mancu menindas rakyat.

Ketika keluarganya bersekutu dengan orang-orang Jepang dan para tokoh sesat, membantu pemberontakan yang dilakukan Phoa-ciangkun di pantai timur, Tin Han tidak ikut, bahkan beberapa kali dia menghalangi keluarganya yang menangkap Lee Cin dan juga Thian Lee yang menyamar sebagai orang biasa dalam penyelidikannya.


Dalam melakukan hal ini Tin Han mengenakan pakaian dan topeng hitam sehingga dia dikenal sebagai Si Kedok Hitam.


Akan tetapi akhirnya dia ketahuan oleh keluarganya dan dalam pertempuran sebagai Kedok Hitam menentang keluarganya dan membebaskan Lee Cin, dia terkena
tendangan neneknya dan terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam. 

Baru pada saat itu keluarganya tahu bahwa Si Kedok Hitam adalah Tin Han.

Telah diceritakan di bagian depan, betapa Tin Han yang terjatuh ke dalam jurang tertolong oleh Hek-tiauw-ko, burung rajawali hitam yang besar itu dan bertemu dengan gurunya, Bu Beng Lojin dan Thai Kek Cin-jin kakek pertapa pemilik burung rajawali yang berilmu tinggi. 

Selanjutnya, Tin Han menjadi murid Thai Kek Cin-jin. Walaupun dia diajar ilmu oleh kakek sakti itu selama tiga bulan saja, namun tingkat kepandaiannya telah maju dengan pesat sekali dan kini Tin Han sama sekali berbeda dengan Tin Han sebelum dia terjatuh ke dalam jurang! 

Dia telah menguasai dua macam ilmu yang diajarkan Thaikek Cin-jin, yaitu pertama Ilmu Silat Hek-tiau-kun (Silat Rajawali Hitam), dan cara menghimpun tenaga sin-kang yang disebut Khong-sim Sinkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali dan tenaganya menjadi amat kuat.

Setelah berpisah dari Thai Kek Cin-jin, Tin Han lalu mulai melakukan perjalanan merantau. Pertama-tama dia pergi ke kota Hiu-cu di kaki bukit Lo-sian-san untuk mencari tahu perihal keluarganya. 


Akan tetapi di tempat ini dia hanya melihat bekas tempat tinggal keluarganya saja dan tidak ada seorangpun mengetahui di mana adanya keluarga Cia sekarang. 

Dari situ dia lalu melakukan perjalanan merantau, memenuhi pesan gurunya bahwa dia harus
bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan.


Pada suatu hari, dia tertarik untuk menumpang perahu dan setelah perahu tiba di dekat Cin-an, dia mendarat karena hatinya tertarik untuk pergi ke Cin-an, kota yang ramai itu.


Perjalanan dari tepi Huang-ho ke Cin-an memakan waktu sehari. Dari tepi sungai itu telah dibangun jalan yang cukup lebar dan para pedagang yang datang berkunjung, biasanya melakukan perjalanan bersama-sama agar lebih aman.


Bahkan di Cin-an maupun di tepi sungai itu, banyak piauw-su (pengawal bekerja untuk mengawal) mereka agar selamat dalam perjalanan. 


Jarang ada yang berani melakukan
perjalanan seorang diri karena dia dapat menjadi korban orang-orang
jahat yang suka merampok. Dengan berkelompok mereka dapat menyewa beberapa orang piauw-su untuk mengawal mereka, apa lagi mereka yang membawa barang dagangan dan menggunakan gerobak-gerobak untuk mengangkut barang-barang dagangan mereka itu. 


Di antara para piauw-su dan para penjahat itu sudah ada kerja sama yang baik. Para piauw-su itu suka memberi uang jalan kepada para penjahat dan mereka tidak akan mengalami gangguan.

Akan tetapi Tin Han yang ingin menikmati perjalanan itu, melakukan perjalanan seorang diri saja. Dia melangkah santai sambil menggendong buntalan pakaian di punggungnya, menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanan. 


Lembah Sungai Huang-ho di waktu tidak sedang meluap karena banyak turun hujan, merupakan lembah yang subur sehingga pemandangan
indah sekali. Ketika Tin Han sedang berjalan seenaknya, terdengar seruan-seruan dari belakang. Dia cepat menengok dan berjalan minggir. 


Ternyata serombongan pedagang membawa dua gerobak barang dagangan sedang melakukan perjalanan cepat. Mereka dikawal oleh sepuluh orang piauw-su yang membawa golok telanjang di tangan. 

Tin Han berhenti dan memandang mereka itu. Kenapa orang-orang ini membawa pengawal, pikirnya. Tentu perjalanan di sini kurang aman.

Baru saja dia berpikir demikian, dia melihat di depan muncul belasan orang yang menghadang di jalan. Tin Han yang ingin tahu segera mendekat dan menonton dari kejauhan. Dia melihat betapa para piauw-su itu menghampiri mereka yang menghadang di tengah jaIan dan mereka bercakap-cakap,lalu para piauw-su itu menyerahkan barang entah apa kepada mereka. 


Mereka bercakap sambil tertawa-tawa dan setelah itu, belasan orang itu berloncatan menghilang ke balik semak-semak.
Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Tin Han mengangguk-angguk. Biarpun dia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh para piauw-su dan para pedagang tadi, dia dapat menduga. 


Tentu para piauw-su itu telah memberi "uang jaIan" kepada para perampok itu sehingga rombongan itu dibiarkan lewat dengan aman. Ini merupakan semacam pemerasan pikirnya. 

Perampok-perampok itu menerima suapan dari para piauw-su dan ini merupakan kerja sama mereka. Tentu para piauw-su itu minta ganti dari para pedagang. Lalu ke mana perginya para petugas keamanan" 

Di mana-mana dia melihat terjadinya perampokan-perampokan tanpa adanya petugas keamanan
untuk membasmi para penjahat itu. 


Ini hanya menunjukkan bahwa mereka yang bertugas menjadi komandan pasukan keamanan daerah itu tidak bekerja dengan benar. 

Kalau mereka itu bijaksana, tentu sudah mendengar akan adanya gangguan ini dan mudah saja bagi mereka untuk membasmi para perampok itu. 

Sungguh kasihan rakyat, seolah tidak ada yang melindungi, dan terpaksa harus menyuap para perampok. Yang paling menderita tentulah para pembeli barang dagangan itu karena dengan adanya biaya yang banyak dalam perjalanan, tentu barang dagangannya akan dinaikkan harganya. 

Akhirnya yang menderita adalah rakyat yang membutuhkan barang-barang itu.
Tin Han melanjutkan perjalanannya. Ketika dia tiba di tempat di mana para penghadang tadi muncul, dia melihat dua orang tiba-tiba muncul dari balik semak-semak. 


Dia tidak menjadi heran atau kaget karena dia sudah tahu bahwa mereka tentulah perampok yang sengaja akan memungut pajak kepada setiap orang yang lewat di situ.

"Berhenti !" bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan berwajah seram.
"Ada apakah kalian menyuruhku berhenti?" tanya Tin Han sambil tersenyum ramah. "Kalau kalian hendak menanyakan jalan, aku sendiri orang yang baru datang di sini dan tidak mengenal jalan."


"Hayo bayar dulu pajak jalanan kepada kami!" bentak pula si tinggi besar sambil mengamangkan goloknya yang telanjang.
"Pajak jalanan apa yang kau maksud kan" Aku tidak mengerti," kata Tin Han, pura-pura.

"Yang lewat di sini harus membayar pajak jalanan kalau ingin selamat sampai di Cin-an!"
"Akan tetapi aku tidak mempunyai uang," katanya.
"Kalau tidak punya uang, tinggalkan buntalan yang kaugendong itu dan kami akan menggeledah kantung-kantung pakaianmu!"


"Wah, jangan begitu, sobat. Buntalan ini adalah pakaianku untuk berganti pakaian, dan uangku hanya tinggal dua tail." Tin Han mengeluarkan uangnya yang memang hanya tinggal dua tail, lalu menyodorkan kepada mereka.
"Untuk apa uang dua tail " Hayo lepaskan buntalan itu!"


Perampok ke dua yang bertumbuh pendek gendut merenggutkan buntalan pakaian itu dari pundak Tin Han.
Kemudian, yang tinggi besar menggeledah saku pakaian Tin Han akan tetapi dia tidak menemukan apapun yang berharga. 


Dia lalu mengantungi uang yang dua tail perak dan mengambil pula buntalan pakaian Tin Han.
"Nah, tinggalkan buntalan ini dan kau boleh melanjutkan perjalananmu. Cepat!" Si tinggi besar mengamangkan goloknya. Tin Han cepat melanjutkan perjalanannya. 


Ketika dia tiba di sebuah tikungan jalan, Tin Han melompat ke dalam hutan di sebelah kanan jalan dan di balik sebatang potion besar dia menanggalkan pakaian luarnya. Kini dia memakai pakaian dalam yang serba hitam, mengambil pula kain hitam yang tadinya dilibatkan di pinggang dan memasang kain hitam itu di depan mukanya. 

Yang tampak kini hanya sepasang matanya. Setelah menanggalkan
pakaian luarnya dan mengenakan pakaian hitam yang memang sudah dipakainya di sebelah dalam, gerakan Tin Han berubah. 


Dengan gesit sekali dia lalu melompat dan berlari ke tempat tadi. Dia tidak melalui jalan raya, melainkan menyusup-nyusup dalam hutan itu mencari-ari.
Akhirnya dia menemukan 

gerombolan perampok itu. 

Ternyata gerombolan itu 
mempunyai sebuah pondok besar di tengah hutan dan mereka sedang minum minum, bahkan ada yang mabok dan tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, hasil kita hari ini cukup memuaskan!" kata seorang di antara mereka.
"Wah, lama-lama kita bisa menjadi malas, mendapatkan hasil besar tanpa bekerja sedikitpun."


"A-sam! Kenapa sastrawan miskin itu tidak kau biarkan lewat saja" Sialan benar, uangnya hanya dua tail dan buntalan itu hanya terisi pakaian butut!"


"Tidak ada seorangpun yang boleh kita biarkan lewat tanpa membayarkan sesuatu. Terlalu enak bagi sastrawan itu kalau dia lewat tanpa membayarkan apa-apa. Biar dia tahu rasa, datang ke Cin-an tanpa sekepingpun uang di sakunya dan tanpa pakaian pengganti 

sepotongpun, ha-ha-ha!"

Semua orang tertawa geli membayangkan sastrawan miskin itu kebingungan di Cin-an! Tin Han mengerutkan alisnya dan dia segera melompat turun dari atas pohon, tiba di depan pondok. Semua perampok itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada seorang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula berada di situ.


Kepala gerombolan itu seorang tinggi kurus yang wajahnya kekuning-kuningan. Melihat orang bertopeng, dia menjadi marah dan segera maju dan membentak, "Siapa kau dan mau apa datang ke sini?" Sementara itu teman-temannya sudah mengambil posisi mengepung Tin Han.


"Tidak penting siapa aku! Yang penting, lekas kalian kumpulkan semua barang dan uang hasil rampokan kalian dan serahkan kepadaku!" bentak Tin Han.


Kepala gerombolan itu tentu saja menjadi marah bukan main. Mereka adalah perampok-perampok ganas, bagaimana kini ada orang yang berani merampok mereka"
"Jahanam busuk, tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan"


Aku adalah Toat-beng Ui-houw (Harimau Kuning Pencabut Nyawa) yang sudah terkenal di wilayah ini. Hayo katakan siapa engkau dan cepat berlutut kalau engkau tidak ingin nyawamu kucabut!" Sambil berkata demikian, kepala gerombolan yang nama julukannya Harimau Kuning Pencabut Nyawa itu telah melolos sebatang golok besar yang tampaknya berat dan tajam sekali.


Tin Han tersenyum di balik topengnya. "Engkau yang jahanam busuk! Kalau tidak cepat kalian berikan semua hasil rampasan dan sogokan dari para piauw-su itu, jangan salahkan aku kalau engkau menjadi Bu-thow Ui-houw (Harimau Kuning Tanpa Kepala)!"


Dimaki dengan ejekan seperti itu, kepala perampok menjadi marah bukan main. "Bunuh jahanam ini!" perintahnya dan limabelas orang anak buahnya sudah menerjang maju sambil menghujankan golok mereka.


Mereka mengira bahwa orang bertopeng itu akan roboh dengan tubuh hancur lebur. Akan tetapi, "trang trang-trang!"
golok mereka saling beradu dan si kedok hitam sudah tidak berada di tengah-tengah mereka. Mereka memutar tubuh dan melihat betapa si kedok hitam sudah berdiri di sana sambil tertawa-tawa. Dengan marah mereka menerjang lagi.


Akan tetapi sekali Tin Han tidak mengelak dan begitu dia menggerakkan kaki tangannya, golok-golok berpelantingan disusul para pengeroyok itu roboh satu demi satu. Melihat ini, Toat-beng Ui-houw menjadi marah sekali dan sambil mengeluarkan bentakan panjang nyaring diapun lari menghampiri dan menyerang Tin Han dengan goloknya.


Serangan yang cukup dahsyat itu tampaknya tidak diperdulikan oleh Tin Han. Akan tetapi setelah golok itu mendekat kepalanya, tiba-tiba tangan kirinya menyambar dan menyambut. Dengan tangan telanjang Tin Han menangkap golok itu dan tangan kirinya membabat lengan kanan kepala gerombolan.


"Trakk......... ......... aduhhh.....!" Kepala gerombolan menjerit kesakitan karena lengan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan tangan Tin Ham. Sebelum dia dapat berbuat selanjutnya, sebuah tendangan Tin Han membuat tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima meter dan jatuh berdebuk di atas tanah.


Para anak buah perampok itu menjadi penasaran dan semakin marah. Mereka menyerang lagi, akan tetapi kini tubuh Tin Han berlompatan ke sana sini membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga dalam waktu singkat limabelas orang anak buah gerombolan itu sudah jatuh tersungkur semua!


Bukan main kagetnya Toat-beng Ui houw. Diapun menjadi ketakutan dan maklum bahwa dia bertemu dengan seorang sakti! Maka, tanpa malu-malu la gi dia lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya ke arah Tin Han sambil berkata, "Tai-hiap (Pendekar Besar), ampunkan kami semua......... " Dia meratap dan melihat ini, limabelas orang anak buahnya juga segera berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tin Han bertolak pinggang. "Hayo cepat lakukan perintahku. Keluarkan semua uang dan barang rampasan dan suapan yang kalian terima dari para piauw-su itu!"

Kepala perampok itu memberi isya rat dan lima orang anak buahnya setengah berlari ke dalam pondok dan mereka keluar lagi sambil membawa banyak barang dan uang,
ditumpuk di depan Tin Han.
Tin Han mengambil tumpukan uang yang banyaknya tidak kurang dari limapuluh tail perak. 


Dia mengambil pula buntalan pakaianya, memasukkan uang itu ke dalam buntalannya lalu menggendong lagi buntalan itu di punggungnya. " Aku hanya mengambil uang dan buntalan ini, barang selebihnya boleh kalian miliki. 

Akan tetapi, mulai saat ini kalian tidak boleh lagi melakukan penghadangan dan perampokan di sini. Kalau kalian masih melakukannya, aku akan datang kembali dan tidak akan memberi ampun kepada kalian semua. 
Akan kubunuh kalian satu demi
satu!" Tin Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ. "Ampun, tai-hiap. Kami akan menaati perintah tai-hiap, akan tetapi harap tai-hiap memberitahu siapa sebetulnya tai-hiap," kata kepala gerombolan dengan takut-takut.

"Hemm, sebut saja aku Hek-tiauw Eng-hiong (Pendekar Rajawali 

Hitam )!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat Tin Han sudah lenyap dari depan mata mereka.
Tin Han kembali ke tempat di mana dia meninggalkan pakaiannya dan dengan cepat dia mengenakan lagi pakaian biasa di sebelah luar itu dan sambil menggendong buntalannya dia melanjutkan perjalanannya menuju Cin-an.


Dia tersenyum senang. Uangnya tinggal dua tail dan uang limapuluh tail yang dia rampas dari para perampok itu amat berguna baginya. Untuk biaya perjalanannya. Melakukan perjalanan merantau membutuhkan uang untuk biaya dan dari mana dia dapat memperoleh uang itu" Kalau perlu dia harus mencuri atau mengambil dari tangan para penjahat!



          **********


Di kota Cin-an, Tin Han bermalam di sebuah rumah penginapan yang juga merupakan sebuah rumah makan
yang besar. Setelah mendapatkan kamar, dia pergi ke depan, bagian rumah makan dan mengambil tempat duduk di meja yang berada di sudut belakang.


Selagi dia menanti datangnya pesanan makanan, dia melihat-lihat ke bagian lain dari ruangan rumah makan itu.
Dia tertarik ketika melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh tahun duduk seorang diri menghadapi meja.


Laki-laki ini bertubuh sedang dan wajahnya cukup tampan, pakaiannya sederhana berwarna serba hijau. Yang menarik perhatian Tin Han adalah sebuah tongkat bambu kuning yang terselip di punggungnya. Aneh sekali orang itu, pikirnya. Agaknya karena tidak berani membawa senjata yang dilarang oleh pemerintah, dia membawa tongkat bambu kuning sebagai pengganti pedang. 


Rambutnya dikuncir panjang dan berada di belakang punggung lewat pundaknya.
Sepasang matanya bersinar tajam dan diam-diam Tin Han dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu silat yang tangguh. 


Dari sinar matanya saja dia dapat menduga bahwa dia seorang ahli lweekeh (Tenaga dalam) yang kuat.
Ketika orang itu mengangkat muka dan mereka bertemu pandang, Tin Han mengalihkan pandang matanya dan tidak memperhatikan lagi orang itu, yang mulai makan karena hidangan yang dipesannya sudah diantar oleh seorang pelayan. 


Pada saat itu, ruangan tamu di rumah makan itu sudah terisi separuhnya. Tiba-tiba masuk dua orang yang membuat Tin Han terkejut sekali karena dia menyangka bahwa seorang di antara mereka adalah Souw Lee Cin! Gadis itu mirip benar dengan Lee Cin. Akan tetapi debar jantungnya menjadi tenang kembali setelah dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan Lee Cin, melainkan seorang gadis yang mirip dengan Lee Cin. 

Setelah diperhatikan, biarpun gadis itu juga cantik, akan tetapi tidaklah secantik Lee Cin.
Teman gadis itu juga seorang pemuda yang usianya sekitar duapuluh lima tahun dan tampak gagah dan tampan.
Mereka lalu mengambil tempat duduk di meja yang kosong dan memesan makanan.


Pada saat itu, orang berbaju hijau itupun mengangkat muka memandang kepada dua orang muda yang baru masuk karena mereka kebetulan duduk di bagian depannya.
Dan Tin Han melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.


Dari sinar mata orang berbaju hijau itu tampak kebencian dan kemarahan yang amat hebat! Akan tetapi agaknya orang itu menahannya dan tetap melanjutkan makannya. Tin Han juga tidak memperhatikannya lagi.


Pertemuannya dengan gadis yang mirip Lee Cin ini membuat Tin Han teringat kepada gadis yang dicintanya itu.
Dia mencinta. Lee Cin dan perasaan hatinya ini telah dibisikkannya kepada gadis itu ketika dia menolongnya lari dari tangan keluarganya. Dia sudah mengaku bahwa dia mencinta Lee Cin, sebagai Si Kedok Hitam! 


Di manakah adanya Lee Cin sekarang" Dan apakah gadis itu melihat dia terjatuh ke dalam jurang" Kalau melihatnya demikian, tentu Lee Cin akan menganggap bahwa dia. telah mati! Tin Han termenung dan teringat bahwa Lee Cin adalah puteri Bengcu Souw Tek Bun di Hong-san. 

Sekali waktu dia akan mencari Lee Cin di sana. Tentu saja dia tidak dapat mencarinya sebagai Si Kedok Hiram karena Si Kedok Hitam pernah melukai Souw Tek Bun yang tentu akan menganggapnya sebagai musuh. Dia akan mencarinya,sebagai Tin Han! Lee Cin tentu belum mengetahui bahwa dialah Si Kedok Hitam, dan sebagai Tin Han dia dapat menemui gadis itu dengan aman, tidak terganggu oleh ayah gadis itu. Berdebar jantungnya teringat akan Lee Cin.

Bagaimana gadis itu akan menyambutnya kalau bertemu dengannya sebagai Tin Han" Sepanjang ingatannya, Lee Cin bersikap baik kepadanya sebagai Tin Han, sikap bersahabat.
Entah bagaimana penerimaan gadis itu terhadap dirinya sekarang, apa lagi kalau dia menyatakan cintanya!

Lamunannya terganggu dengan datangnya pelayan yang membawa makanan pesanannya. Dia lalu mulai makan dan kembali dia mengerling ke arah pemuda baju hijau. Pemuda baju hijau itu telah selesai makan sekarang, akan tetapi dia masih minum-minum sambil terkadang melirik ke arah muda-mudi yang makan di meja yang berada di depannya.
Tin Han merasa curiga. Sinar mata pemuda baju hijau itu selalu ditujukan kepada si gadis, tidak pernah memandang si pemuda kawan gadis itu.


Tin Han teringat akan sesuatu dan terkejut. Dia pernah mendengar akan adanya penjahat yang disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang kerjanya menculik gadis-gadis cantik untuk diperkosa. Jangan-jangan pemuda baju hijau itu sebangsa jai-hwa-cat! Jai-hwa-cat atau bukan, pemuda baju hijau itu bersikap mencurigakan dan dia harus waspada. 


KuBiarpun gadis dan pemuda itu juga kelihatan sebagai orang-orang yang tidak lemah, namun kalau perlu mereka harus dilindungi, apalagi gadis itu yang mirip Lee Cin.
Tak lama kemudian, ketika pesanan makanan gadis dan pemuda itu diantar oleh pelayan, pemuda baju hijau bangkit berdiri, membayar makanan dan hendak pergi keluar. 


Dia melewati meja gadis dan pemuda itu,. berhenti dan tiba-tiba bertanya kepada gadis itu. "Maafkan sa ya, bukankah nona ini she Souw?"
"Bukan!" jawab gadis itu tak senang karena ada orang laki-laki yang berani mengajaknya bicara.
"Ah, maaf," kata pemuda baju hijau dan diapun pergi dari situ.


Tin Han yang mendengar pertanyaan itu berdebar-debar.
She Souw" Kalau begitu, agaknya pemuda baju hijau itupun mengira bahwa gadis itu adalah Souw Lee Cin! Apa hubungannya dengan Lee Cin" Akan tetapi, jelas bahwa hubungan itu tidak akrab. Buktinya pemuda itu mengira gadis itu Lee Cin. Kalau sudah berhubungan akrab, tentu dapat mengetahui bahwa ia bukan Lee Cin.


Tin Han sengaja memperlambat makannya karena dia ingin menanti sampai gadis dan pemuda itu selesai makan.

Dia harus membayangi mereka secara diam-diam, untuk melindungi mereka karena dia semakin curiga kepada pemuda baju hijau itu.

Setelah dua orang itu selesai makan dan membayar kepada pelayan lalu keluar. dari rumah makan, Tin Han juga ke luar sambil masih menggendong buntalan pakaiannya.

Dia tidak meninggalkan buntalan itu di kamarnya karena ada uang limapuluh tail perak dalam buntalan. 

Diam-diam dia membayangi kedua orang itu yang segera keluar di jalan besar.
Belum jauh gadis dan pemuda itu pergi, Tin Han melihat pemuda baju hijau yang tadi keluar dari tikungan jalan dan membayangi mereka berdua. Diam-diam dia tersenyum geli.
Orang berbaju hijau itu membayangi pemuda dan gadis sedangkan dia membayangi si pemuda baju hijau!
Siapakah pemuda baju hijau yang mencurigakan itu"


Seperti telah diduga oleh Tin Han, pemuda itu bukan orang biasa, melainkan seorang jagoan yang tinggi ilmu silatnya.
Dia bernama Yauw Seng Kun dan dia adalah murid dari mendiang Jeng-ciang-kwi Chi Sam Ti! Seperti kita ketahui, Jeng-ciang-kwi yang bermusuhan dengan Ang-tok Mo-li Bu Siang, ketika sedang merayakan hari ulang tahunnya,diserbu oleh Ang-tok Mo-li dan Lee Cin. 


Ibu dan anak ini mengamuk. Ang-tok Mo-li mengamuk dan merobohkan
banyak anak buah Jeng ciang-kwi, sedangkan datuk dari Guha Tengkorak itu sendiri dihadapi Lee Cin. Dalam pertandingan satu lawan satu yang amat seru, akhirnya Jeng-ciang-kwi dapat terbunuh oleh Lee Cin. 


Pada saat itu, Yauw Seng Kun juga berada di antara mereka Akan tetapi melihat betapa gurunya tewas, diapun seperti yang lain-lain menyerah dan tidak melawan lagi. Akan tetapi diam-diam dia mendendam kepada Lee Cin. Setelah Lee Cin dan ibunya pergi, Yauw Seng Kun rajin melatih diri dengan ilmu silat yang dia pelajari dari gurunya. 

Demikian tekun dia melatih diri sehingga dia memperoleh banyak sekali kemajuan.
Setelah merasa dirinya kuat, dia mulai pergi untuk mencari musuh besarnya.

Akan tetapi, sebelum dia pergi mencari Lee Cin yang dia tahu bersama Ang-tok Mo-li berada di Bukit Ular. dia kedatangan tamu. 

Tamu itu adalah utusan Thian-te Mo-ong yang mencari Jeng-ciang-kwi. Oleh Thian-te Mo-ong Jeng-ciang-kwi ditawari kedudukan yang baik kalau mau bekerja sama dan mau datang ke Pulau Naga di mana Beng-cu yang baru berada. Utusan Thian-te Mo-ong dengan jelas memberitahu kepada Yauw Seng Kun bahwa kini kedudukan Beng-cu yang baru amat kuat, mendapat dukungan dari Siang Koan Bhok dan Thian-te Mo-ong. 

Beng-cu bermaksud untuk mengumpulkan para datuk, diajak bekerja sama untuk menentang pemerintah Mancu dan mengambil alih kekuasaan. Kelak kalau perjuangan mereka berhasil, mereka semua tentu akan memperoleh kedudukan yang tinggi dan mulia.
"Sayang, guruku telah tewas terbunuh oleh musuh," kata Yauw Seng Kim. "Aku sedang hendak mencari musuh besar itu untuk membalas dendam atas kematian suhu."
Utusan itu bertanya, siapakah musuh besar yang telah membunuh Jeng ciang- kwi?"
"Dia adalah Souw Lee Cin dan ibu nya, Ang-tok mo Li."


"Ah, mereka adalah orang-orang yang lihai sekali!" kata utusan itu. "Kalau engkau suka bersekutu dengan kami, tentu akan lebih mudah untuk membalas kematian
gurumu." Utusan itu adalah seorang tokoh dunia sesat yang ditugaskan untuk membujuk tokoh-tokoh kangouw lainnya.


Dia bernama Ma Huan dan mempunyai pergaulan yang luas 
di dunia golongan sesat. Maka, begitu mendengar bahwa Jeng-ciang-kwi telah meninggal dunia, dia membujuk Yauw Seng Kun untuk bergabung dengan Pulau Naga. Dia tahu bahwa sebagai murid Jeng-ciang-kwi, tentu Yauw Seng Kun berkepandaian tinggi pula, apa lagi majikan baru dari Cuba Tengkorak ini juga memiliki anak buah yang hampir limapuluh orang banyaknya.
Yauw Seng Kim tertarik sekali.


"Baiklah, aku akan berkunjung dulu ke Pulau Naga dan melihat keadaan. Kalau nanti aku merasa tertarik untuk bergabung, aku akan membawa semua anak buahku ke
sana." Demikianlah, Yauw Seng Kun lalu mengadakan perjalanan menuju ke Pulau Naga dan kebetulan pada hari itu dia tiba di Cm-an dan bertemu dengan seorang gadis yang mirip sekali dengan Lee Cin. Dia baru satu kali melihat Lee Cin, yaitu ketika gadis itu bertanding melawan gurunya, karena itu melihat gadis yang mirip sekali dengan Lee Cin, dia mengira bahwa gadis itu benar-benar musuh besarnya.


Biarpun setelah bertanya apakah gadis itu she Souw dan mendapat jawaban bukan, hatinya masih penasaran dan diam-diam dia menanti di luar rumah makan lalu membayangi gadis dan pemuda itu. Seng Kun sama sekali tidak tahu bahwa. ada orang lain yang membayangi dia!


Siapakah gadis yang mirip Lee Cin dan siapa pula pemuda yang melakukan perjalanan bersamanya" Pemuda itu bernama The Siang In, seorang pemuda yang tinggal bersama orang tuanya di Ho-ciu. Adapun gadis yang mirip Lee Cin itu bernama The Kiok Hwa, adik kandungnya. Kakak beradik ini baru saja meninggalkan perguruan mereka di Kun lun-pai dan mereka hendak pulang ke Ho-ciu. 


Karena perjalanan itu amat jauh, setibanya di Cin-an mereka kehabisan uang. Sebagai pendekar-pendekar Kunlun, mereka pantang melakukan hal tercela untuk mencari uang,  maka setelah menghabiskan sisa uang untuk membeli makanan di rumah makan, mereka lalu keluar untuk mencari tempat ramai dengan maksud untuk mencari dana dengan memainkan ilmu silat di depan umum.

Setelah kakak beradik ini tiba di sebuah taman umum yang ramai, keduanya lalu berniat untuk memamerkan ilmu silat mereka di tempat itu dan minta bantuan uang dari para penonton. Sesungguhnya mereka berdua masih malu-malu karena belum pernah mereka melakukan hal ini, akan tetapi karena bekal uang yang sedikit sudah habis dan mereka membutuhkan uang untuk pembeli makanan dan penyewa kamar, mereka memberanikan diri. 


The Siang In dengan muka kemerahan berdiri dan bertepuk tangan memancing perhatian banyak orang.
"Saudara-saudara sekalian yang budiman!" teriaknya dan orangpun mulai berdatangan dan membentuk lingkaran menonton apa yang hendak diperbuat pemuda dan gadis
cantik itu. 


"Saudara-saudara yang budiman. Kami kakak beradik she The yang berasal dari Ho-ciu, karena di tengah perjalanan kehabisan uang, kami hendak mempertontonkan ilmu silat dengan harapan saudara sekalian sudi memberi imbalan sekedarnya untuk kami pakai sebagai bekal
perjalanan kami yang masih jauh."


Setelah berkata demikian, diapun mengangguk kepada Kiok Hwa. Gadis inipun bangkit berdiri, memberi hormat ke empat penjuru sambil berkata, "Harap cu- wi (saudara sekalian) tidak menertawakan ilmu silat yang masih
dangkal!" Setelah berkata demikian, mulailah gadis itu bersilat. Mula- mula gerakannya lambat, makin lama semakin cepat sehingga akhirnya orang hanya melihat bayangannya berkelebat ke sana sini. 


Ilmu silat Kun-lun-pai memang cepat dan indah sehingga semua orang yang menonton menjadi tertarik sekali dan ramailah orang bertepuk tangan. Keramaian ini menarik perhatian lebih banyak orang lagi sehingga tempat itu penuh dengan
penonton. 


Orang- orang bertepuk tangan ketika Kiok Hwa menghentikan gerakan silatnya dengan sikap manis, lalu memberi hormat ke empat penjuru.
"Sekarang tiba giliran saya untuk memperlihatkan sedikit ilmu silat, harap cu-wi tidak 

menertawakannya," kata Siang In dan diapun melolos sabuk dari pinggangnya yang berwarna biru. 

Setelah memberi hormat ke empat penjuru, diapun lalu bersilat mempergunakan sabuk biru yang
panjangnya dua meter itu. Memang indah sekali gerakan pemuda ini. Sabuk yang lembek itu kadang berubah tegak lurus ketika dia memainkannya dan dari putaran sabuk itu terdengar angin menderu seolah yang diputar itu adalah tongkat dari baja saja.


Sementara Siang In memperlihatkan kebolehannya, Kiok Hwa berjalan berkeliling sambil mengembangkan ujung bajunya ke mana orang-orang melemparkan uang. Sebentar saja ujung baju yang dikembangkan itu telah penuh dengan uang dan Kiok Hwa menuangkannya ke atas tanah,
kemudian berkeliling lagi dengan baju yang kosong dikembangkan seperti tadi.


Ketika ia tiba di sebelah kiri, tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang pemuda baju hijau yang dikenalnya sebagai pemuda yang tadi 

menegurnya ketika berada di rumah
makan. Kiok Hwa berhenti melangkah dan pemuda baju
hijau itu berkata dengan suara lantang.


"Nona, aku suka menyumbang sebanyak sepuluh tail perak kalau engkau dapat bertahan melawanku selama duapuluh jurus!''


Mendengar ini, semua orang berdiam dan memandang ke
arah Yauw Seng Kun. Bahkan The Siang In yang sedang bersilat lalu menghentikan gerakannya dan diapun menghampiri adiknya, dan memandang kepada pemuda baju hijau. Dia juga teringat bahwa pemuda itu adalah pemuda yang tadi bertanya kepada adiknya apakah adiknya she Souw. Dia memandang penuh perhatian. 


Seorang pemuda yang usianya sekitar tigapuluh tahun, pakaiannya serba hijau dan wajahnya juga tampan bertubuh sedang. Rambutnya yang juga dikuncir panjang itu amat tebal dan tergantung di belakang pundak. Di punggungnya terdapat sebatang tongkat bambu kuning.

Siang In segera memberi hormat kepada orang itu dan
berkata dengan lembut, "Sobat, kami berdua hanya mencari tambahan bekal uang di jalan dengan mempertontonkan
sedikit ilmu silat kami yang tidak ada artinya. Adikku tidak akan bertanding dan bertaruh dengan siapapun juga."


"Sobat, apakah engkau takut kalau aku akan melukai atau mencelakakan adikmu ini" Sama sekali tidak, sobat.
Aku hanya tertarik melihat ilmu silatnya dan ingin
mencobanya. Untuk itu, aku akan memberi bantuan
sebanyak duapuluh tail perak. Baik ia kalah atau menang, ia akan kuberi duapuluh tail perak!"


"Terima kasih atas kebaikanmu, sobat. Bagaimana kalau aku
saja yang mewakili adikku, berlatih sebentar denganmu?"


"Tidak bisa, aku tertarik akan permainan silat nona ini, bukan permainan sabukmu tadi. Nah, bagaimana pendapat para saudara yang menonton" Apakah tawaranku tadi tidak patut" Aku ingin bermain-main ilmu silat sebentar dengan nona ini, sukur kalau dapat bertahan sampai duapuluh jurus
dengan janji tidak akan melukai dan akan kusumbangkan duapuluh tail perak!"


Semua orang bersorak setuju. Tentu saja selain mereka ingin melihat gadis itu menerima duapuluh tail perak, juga mereka ingin menyaksikan pertandingan ilmu silat. Ilmu silat gadis itu cukup tangguh, maka orang berbaju hijau ini tentu memiliki kepandaian sehingga dia berani menawarkan uang duapuluh tail perak.

Melihat semua penonton menyetujui, dan pemuda itu
berjanji tidak akan mencelakai atau melukai adiknya, Siang in terpaksa tidak dapat menolak lagi.


"Baiklah, biar adikku melayanimu selama duapuluh jurus!" katanya dan kepada adiknya dia berkata, "Hwa- moi, berhati- hatilah kau."
Kiok Hwa mengangguk dan orang berpakaian hijau itu lalu mengambil uang dari sakunya sebanyak duapuluh tail perak. 


Dengan gerakan sembarangan dia melemparkan duapuluh potong kecil perak itu ke atas tumpukan uang yang tadi telah dikumpulkan Kiok Hwa dan potongan perak kecil- kecil itu jatuh tepat di atas tumpukan uang dengan rapih membentuk lingkaran seperti ditata dengan tangan saja!

Kiok Hwa segera memasang kuda-kuda di depan Seng Kun dan berkata, "Aku telah bersiap!"

"Eh, nona. Aku menjadi malu sekali kalau harus menyerang terlebih dulu. Engkau adalah seorang wanita, maka biarlah engkau yang lebih dulu menyerangku," kata Seng Kun dengan sikap sembarangan, tidak memasang kuda-kuda seperti Kiok Hwa.


          **********


"Lihat seranganku!" gadis itu membentak dan sudah membuka serangan dengan cepat dan kuat. Namun, gerakan gadis ini bagi Yauw Seng Kun tampak lemah dan lamban sehingga dengan mudah saja dia mengelak. 


Dia sengaja membiarkan gadis itu menyerangnya sampai sepuluh jurus dan semua serangan itu dapat dielakkannya. Yauw Seng Kun merasa kecewa sekali. Tadi dia sengaja memancing dan menantang untuk membuktikan sendiri siapa sebetulnya gadis yang disangkanya Souw Lee Cin itu. 

Dari serangan-serangan gadis itu ia dapat menilai ilmu kepandaiannya dan setelah gadis itu menyerang selama sepuluh jurus dia yakin bahwa gadis ini bukan Souw Lee Cin seperti disangkanya.

Kalau gadis itu Lee Cin, tentu serangan-serangannya jauh lebih hebat dari pada ini. Akan tetapi selain dia tadinya mengira bahwa gadis ini Souw Lee Cin, dia juga tertarik akan kecantikan gadis ini dan kini setelah dia tahu bahwa gadis ini bukan musuh besarnya, dia berkeinginan untuk mempermainkan gadis yang menggiurkan hatinya itu.


Ketika Kiok Hwa memukul lagi dengan kepalan tangan kanan, Seng Kim dengan sengaja menerima pukulan itu dengan dadanya yang terbuka.


"Dukkk. ..... !" Kiok Hwa terkejut bukan main karena ia merasa seperti memukul bantal yang empuk saja yang membuat tenaganya amblas dan lenyap. Sebelum ia dapat menarik kembali tangannya dalam kagetnya, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya itu telah ditangkap oleh tangan kiri Seng Kun! Ia meronta dan menarik-narik tangannya, namun tidak berhasil. 


Dengan penasaran dan marah ia menggunakan tangan kiri untuk menyerang,menusukkan jari tangannya ke arah mata pemuda itu. 

Akan tetapi kembali Seng Kun menggerakkan tangan kanannya dan menangkap pergelangan tangan kiri Kiok Hwa! Kedua pergelangan tangan gadis itu telah di tertangkap dan Kiok Hwa tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi.

Diperlakukan begini Kiok Hwa men jadi malu dan marah, hampir ia menangis. "Lepaskan tanganku...... !" Katanya sambil meronta-ronta dengan sia sia.


Seng Kim tersenyum, "Akan kulepaskan kalau engkau sudah mengakui bahwa engkau kalah dalam pertandingan ini, nona The!"
Kiok meronta lagi, sia-sia. Akhirnya The Siang In yang maju dan memberi hormat kepada Seng Kum "Sobat, adikku sudah kalah, harap lepaskan ia."

"Tidak, ia harus mengakui dulu kekalahannya." Seng Kim berkata dan berkeras tidak mau melepaskan kedua tangan yang sudah dipegangnya itu. Dia senang sekali melihat gadis itu menjadi kemerahan mukanya dan bersitegang untuk
meronta-ronta hendak melepaskan diri dari pegangan namun sia-sia. 


"Aku.... aku mengaku. ...... kalah....!" Akhirnya Kiok Hwa berkata. Ia tidak mau menyerang lagi dengan tendangan karena kini ia maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai dan ia khawatir kalau terus menyerang dengan tendangan, keadaannya akan lebih parah lagi.

Seng Kim melepaskan kedua tangan itu sambil mendorongkan dan Kiok Hwa terhuyung ke belakang.
Pemuda itu tersenyum dan berkata, "Ilmu silat nona tidak jelek!" Dia lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan kakak beradik itu. Mereka menghentikan pertunjukan
mereka dan orang orangpun bubar meninggalkan tempat itu.


Tin Han juga ikut menonton dan dia menyaksikan semua ini. Diam-diam dia terkejut juga. Pemuda berbaju hijau itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu silat tinggi dan akan merupakan lawan tangguh baginya. 


Akan tetapi karena pemuda itu tidak mengganggu kakak beradik she The itu, diapun diam saja. Akan tetapi diam-diam dia masih khawatir. 

Pandang mata pemuda berbaju hijau terhadap gadis itu, seperti pandang mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba muda yang gemuk! Dia seolah dapat melihat air liur menetes dari mulut pemuda baju hijau itu.

Setelah The Siang In dan The Kiok Hwa meninggalkan taman umum itu sambil membawa uang dari hasil sumbangan penonton dan pemberian Yauw Seng Kun, diam-diam Tin Han tetap membayanginya.

Hari telah menjelang senja dan kedua kakak beradik itu menuju ke rumah penginapan di mana Tin Han menyewa sebuah kamar. Sungguh suatu hal yang kebetulan sekali.
Tak disangkanya bahwa kakak beradik itupun bermalam di situ. Hal ini membuat hatinya menjadi lega. 


Dengan demikian dia tidak akan bersusah payah untuk menjaga kedua orang itu. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, berarti kedua kakak beradik itu terlepas dari bahaya. Kalau si baju hijau itu benar seorang jai-hwa cat seperti yang diduganya, tentu dia akan turun tangan malam ini juga untuk menculik gadis cantik yang mempunyai wajah mirip Lee Cin itu.

Akan tetapi dua buah kamar yang disewa kakak beradik itu terletak di Ujung belakang, agak jauh dari kamar yang disewanya. Malam itu juga, dia merebahkan diri dengan tetap waspada, mendengarkan kalau-kalau terdengar suara yang mencurigakan.

Menjelang tengah malam, lapat-lapat Tin Han mendengar suara langkah orang di atas atap rumah penginapan itu. Dia cepat turun dari pembaringannya dan membuka jendela kamarnya, keluar dari kamar melalui jendela dengan hati hati, kemudian setelah tiba di luar, dia meloncat ke atas genteng. Dia memandang ke arah dua kamar kakak beradik itu, dan benar saja, seperti yang telah dikhawatirkannya, ada sesosok bayangan manusia di atas atap itu. 


Tin Han cepat turun kembali melepaskan pakaian luarnya dan hanya mengenakan pakaian serba hitam yang memang sudah dipakainya di balik pakaian luarnya, menggunakan sabuk kain hitam untuk menutupi mukanya sebagai topeng dan kembali dia meloncat keluar dari jendela dan terus melayang ke atas genteng.

Ketika dia memandang, ternyata di atas genteng itu sudah terjadi perkelahian! Tin Han mendekati dan bersembunyi di batik wuwungan rumah. Dilihatnya bahwa si baju hijau sedang bertanding melawan kakak beradik itu!


Kiranya dua orang kakak beradik itu agaknya sudah curiga kepada si baju hijau dan sudah menanti sehingga begitu si baju hijau tiba di atas genteng kamar mereka, keduanya sudah keluar menyambut sehingga terjadi perkelahian. The Siang In, pemuda itu menggunakan senjata sa buk birunya sedangkan The Kiok Hwa menggunakan sebuah pisau panjang. 


Kakak beradik itu menyerang dengan ganas, akan tetapi Yauw Seng Kun yang telah mencabut tongkat bambu kuningnya dapat menandingi mereka dengan seenaknya.
Jelas bahwa dua orang kakak beradik itu sama sekali bukan lawannya. Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya bergerak cepat dan kedua orang kakak beradik itu secara beruntun roboh di atas genteng dalam keadaan tertotok! 


Seng Kun cepat menyambar tubuh Kiok Hwa dan dibawanya lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Tin Han tadinya tidak mengira mereka berdua itu akan kalah sedemikian cepatnya. Dia lalu melompat ke arah Siang In, sekali menggerakkan jari tangannya dia membebaskan Sian In dari totokannya, kemudian diapun berkelebat pergi untuk mengejar Seng Kun yang sudah berlari jauh.
Siang In yang sudah mampu bergerak lagi, menjadi bingung. 


Dia melihat betapa adiknya dilarikan si baju hijau, akan tetapi mereka sudah tidak tampak dan dia tidak tahu harus mengejar ke arah mana. Akhirnya dia hanya mengejar dengan ngawur saja dan mencari-cari orang yang telah menculik adiknya.

Sementara itu, Yauw Seng K......


RAJAWALI HITAM JILID 04



un yang sudah berhasil
menculik Kiok Hwa yang ditotoknya sehingga tidak mampu bergerak atau bersuara, membawa lari gadis itu sampai tiba di luar kota. 


Dengan kepandaiannya yang sudah tinggi tingkatnya, dia melompati pagar tembok kota Cin-an dan kini tiba di luar kota, di jalan yang sepi.
Tiba-tiba dia merasa ada yang mencolek pundaknya dari belakang. Dia terkejut sekali, berhenti berlari dan memutar tubuh. Ketika dia melihat seorang berpakaian hitam yang bertopeng kain hitam, dia makin kaget.

"Siapakah engkau" Mau apa engkau mengejar aku?"tanyanya untuk menghilangkan rasa heran dan kagetnya bahwa ada orang yang mampu mengejarnya, bahkan
mencolek pundaknya tanpa dia mendengar sama sekali kedatangannya! "Siapa aku tidak penting...... Aku mengejarmu karena engkau telah menculik seorang gadis!"


Yauw Seng Kun menduga bahwa orang ini tentu tokoh kang-ouw yang tinggal di daerah Cin-an, maka dia sengaja memperkenalkan diri agar orang itu menjadi gentar. "Apa perdulimu: Ketahuilah, aku adalah Yauw Seng Kun, majikan dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis, Kwi-san. Harap engkau jangan mencampuri urusanku!"


Mendengar orang itu memperkenalkan diri, Tin Han
tertawa di balik topengnya. "Aku Hek-tiauw Eng-hiong, tidak perduli engkau datang dari Guha Tengkorak atau Guha Setan dan tentu saja aku akan mencampuri urusanmu
selama engkau berbuat kejahatan. 


Sudah jadi tugasku untuk menentang setiap perbuatan jahat , dan menculik seorang gadis merupakan kejahatan yang besar sekali!"

Yauw Seng Kun sudah biasa memandang rendah orang
lain dan sangat tinggi hati, mengangkat diri sendiri setinggi mungkin.
Juga dia amat membanggakan ilmu kepandaiannya dan mengira bahwa di dunia ini jarang terdapat orang yang mampu menandinginya. 


Maka, mendengar orang bertopeng hitam yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali Hitam itu hendak menentangnya, tentu saja dia menjadi marah sekali.

"Kau berani mencampuri urusanku dan hendak menentang aku, jahanam busuk" Apakah engkau sudah bosan hidup?"

"Ha-ha-ha, justeru karena masih ingin hidup aku harus menentang orang-orang macam engkau ini. Hayo cepat lepaskan gadis itu atau engkau akan menyesal nanti!"


Yauw Seng Kun menjadi semakin marah. Karena kalau dia masih memondong gadis itu gerakannya tentu tidak leluasa, maka dia menurunkan Kiok Hwa di atas tanah.


Gadis itu rebah tak berdaya, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan kini Yauw Seng Kun menghadapi orang bertopeng itu. Karena menduga bahwa orang bertopeng itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang berarti, dia lalu mencabut tongkat bambu kuning dari punggungnya dan memutar tongkat itu sehingga berubah menjadi segulungan sinar hitam di malam yang remang- remang itu. 


Bulan sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih cukup terang bagi dua orang yang sudah berhadapan dan siap untuk bertanding itu.

"Malam ini engkau akan mampus di tanganku!" Bentak Yauw Seng Kun dan segera dia menyerang dengan tongkat bambu kuningnya. Serangannya itu mengeluarkan bunyi mencicit ketika tongkatnya meluncur ke arah tenggorokan Tin Han. 


Namun dengan mudahnya Tin Han mengelak ke samping dan tongkat itu mengejarnya dengan sabetan ke arah kepala. Bukan main cepatnya gerakan tongkat itu, namun Tin Han lebih cepat lagi mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang mengejutkan hati Yauw Seng Kim.
Makin yakinlah kini dia bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menyerang semakin gencar.
Kiok Hwa yang rebah telentang dan tidak mampu bergerak itu hanya dapat menonton dengan jantung
berdebar tegang. 


Ia sudah tahu akan kelihaian pemuda yang menculiknya dan ia khawatir kalau si topeng hitam yang menolongnya itu akan kalah.

Biarpun yang menjadi senjata Yauw Seng Kun hanya sebatang tongkat bambu kuning, namun di tangan pemuda itu, senjata sederhana itu dapat menjadi senjata yang amat ampuh. 


Bambu kuning itu dapat dipergunakan sebagai
pedang untuk menusuk dan menabas, juga sebagai tongkat untuk menotok jalan darah. Namun Tin Han dapat mengimbanginya dan ketika beberapa kali Tin Han menangkis serangan itu dengan tangannya, Yauw Seng Kun merasa
betapa panas dan tergetar tangannya yang memegang bambu kuning. 


Hal ini menunjukkan bahwa
tenaga sin-kang lawannya amat kuat.
Dengan penasaran karena setelah menyerang bertubi-tubi sampai puluhan jurus tongkatnya tidak pernah menemui sasaran, Yauw  Kun menubruk dengan hantaman tongkatnya ke arah kepala lawan. 


Tin Han menggerakkan tangan kanan, memutarnya dari kiri ke
kanan untuk menangkis.
"Plakkkkk!"
Tangannya berhasil menangkis dan memegang tongkat lawan dan cepat dia mengerahkan untuk merampas tongkat itu! Akan tetapi Yauw Seng Kun mempertahankan.


Dua tenaga sin-kang yang kuat bersitegang. "Takk!" Tongkat itu patah menjadi dua potong! Yauw Seng Kun terkejut bukan main dan dia melompat ke belakang, lalu membalik dan melontarkan sepotong tongkat itu ke arah lawannya. 


Sepotong tongkat itu meluncur seperti anak panah menyerang dada Tin Han. Akan tetapi pemuda ini sudah siap dan dia menggunakan potongan tongkat yang berada di tangannya untuk menangkis sehingga tongkat yang meluncur itu dapat terpukul runtuh. Akan tetapi ketika Tin Han mengangkat muka, ternyata lawannya telah lenyap dalam kemuraman malam, meninggalkan gadis yang masih menggeletak di atas tanah.

Menggunakan sepotong tongkat rampasan itu, Tin Han lalu menotok kedua pundak Kiok Hwa gadis itupun dapat bergerak kembali. Begitu dapat bergerak dan bersuara, Kiok Hwa menjatuhkan dirinya berlutut di depan Tin Han.


"In-kong (tuan penolong), saya The Kiok Hwa menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan in-kong. Kalau tidak ada in-kong yang menolong, entah apa jadinya dengan diri saya."


Tin Han menyentuh pundak gadis itu dengan tangannya, menyuruhnya bangkit lagi. "Berdirilah, nona dan jangan banyak sungkan. Sudah menjadi tugas kewajiban untuk
menentang kejahatan. Lebih baik nona cepat kembali ke Cin-an karena kakakmu tentu sedang mencarimu dengan hati gelisah"


Kiok Hwa bangkit berdiri, mencoba untuk menatap tajam sepasang mata di batik topeng itu. "Baik, in-kong. Akan tetapi selama hidupku saya tidak akan melupakan budi kebaikan in-kong. BoIehkah saya mengetahui nama in-kong dan bolehkah saya mengenal wajah inkong?"


"Nona, kalau engkau boleh melihat wajahku, untuk apa aku menggunakan topeng" Kalau mau mengenal namaku,sebut saja Hek-tiauw Eng-hiong. Sekarang, cepat nona kembali ke Cin-an,' aku membayangi dari jauh."


"Baik, in-kong," kata Kiok Hwa dan iapun memutar tubuhnya lalu berlari cepat keluar dari tempat itu menuju kembali ke kota Cin-an. Tin Han membayanginya karena khawatir kalau-kalau penculik tadi akan mengganggunya kembali.
Kiok Hwa memasuki kota Cin-an dengan melompati
pagar tembok seperti ketika ia dibawa keluar oleh penculik tadi dan langsung saja kembali ke rumah penginapan. Ia mendapatkan kakaknya sedang duduk termenung dengan gelisah. 


The Siang In terkejut ketika melihat adiknya membuka pintu dan masuk ke kamarnya. "Hwa-moi, engkau sudah kembali" Bagaimana engkau dapat kembali?" Dia meloncat bangun sambil memegang tangan adiknya.
Kiok Hwa berkata, "Aku hampir celaka di tangan penculik itu, koko. Aku dibawa sampai keluar kota Cin-an. 


Untung datang seorang Bintang penolong. Seorang laki-laki bertopeng menolongku. Orang bertopeng itu lihai bukan main. Setelah bertanding dengan penculik jahanam itu, dia dapat mengalahkannya dan penculik itupun melarikan diri.
Aku lalu dibebaskan dari totokan dan in-kong itu minta kepada agar segera kembali ke sini."


"Ah, terima kasih kepada Tuhan yang masih melindungimu, moi-moi! Siapakah namanya in-kong itu?"
"ltulah yang mengecewakan hatiku, koko. Dia memakai topeng hitam dan ketika kutanya namanya, mengaku
bernama Hek-tiauw Eng-hiong. Dia tidak mau memperkenalkan mukanya. Ah, aku berhutang nyawa
kepadanya, koko. Kalau tidak ada dia, tentu aku mati, andaikata tidak dibunuh penculik laknat itu tentu aku akan membunuh diri."


"Sudahlah, Hwa-moi. Bagaimanapun juga; Tuhan masih melindungimu. Kita tidak pernah melakukan kejahatan, maka bagaimanapun tentu ada saja yang menolong kita.
Penculik itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, kalau penolongmu itu dapat mengalahkannya, tentu dia seorang sakti."


"Wah, kepandaian in-kong itu hebat sekali, koko.
Bayangkan saja, dia meng hadapi penculik jahanam itu yang meng gunakan tongkatnya, dengan tangan kosong saja! Dan akhirnya dia dapat mematahkan tongkat itu sehingga
penculik menjadi ketakutan dan kabur. Aku berhutang nyawa kepadanya, entah bagaimana dapat membalasnya."

"Kita dapat membalas budinya dengan bersembahyang kepada Tuhan semoga in-kong itu mendapat berkah yang berlimpahan dari Tuhan, sesuai dengan budi kebaikannya, moi-moi."
Kakak beradik itu membicarakan Hek-tiauw Enghiong
tiada habisnya, sama sekali mereka tidak mengira bahwa orang yang mereka bicarakan itu hanya beberapa meter saja dari kamar mereka, di sebuah kamar lain di rumah penginapan itu.


Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Tin Han berangkat meninggalkan rumah penginapan. Baru saja dia membayar sewa kamarnya. muncul Siang In dan Kiok Hwa yang juga hendak membayar sewa kamar dan meninggalkan rumah penginapan itu pagi-pagi benar. Mereka hanya bertukar pandang dan Tin Han cepat mengalihkan pandang matanya ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kiok Hwa yang memandangnya. 


Akan tetapi gadis itu tidak mengenalnya, sungguhpun sejenak ada keraguan di hati gadis ini yang merasa pernah bertemu dengan Tin Han akan tetapi ia lupa lagi bilamana dan di mana.


          **********


Tin Han meninggalkan kota Cin-an. Dia bermaksud pergi ke Hong-san untuk mencari Lee Cin. Di dalam hatinya dia merasa tegang kalau membayangkan pertemuannya dengan Lee Cin dan juga dengan Souw Tek Bun. Bagaimanapun
juga, dia pernah melukai Souw Tek Bun walaupun ketika dia melakukan itu dia berpakaian sebagai Si Kedok Hitam.


Bagaimana sambutan Lee Cin kalau dia muncul di sana"
Dan apakah kedua orang tua gadis yang dicintanya itu akan suka menerimanya sebagai mantu" Dia menjadi tegang,karena dia belum yakin benar bahwa Lee Cin akan
membalas cintanya, dan membayangkan dia ditolak pula oleh ayah-ibu Lee Cin membuat jantungnya berdebar.

Mengapa takut akan bayangan, pikirnya. Yang penting
dia harus menemui Lee Cin dan bagaimana nanti sajalah akibatnya! Dia sudah merasa rindu sekali kepada Lee Cin.
Kalau dia terkenang saat perjumpaannya dengan Lee Cin, pada saat terakhir. Dia sebagai Tin Han dan dia sebagai Si Kedok Hitam sudah menyatakan cintanya kepada Lee Cin!


Dan ketika dia sebagai Tin Han menyatakan cintanya
terhadap gadis itu, Lee Cin tidak menolaknya, walaupun juga tidak mengatakn bahwa gadis itu membalas cintanya!.
$ekarang, kalau dia bertemu lagi dengan Lee Cin, dia akan berterus terang meminangnya sebagai calon isterinya.


Keputusan ini sudah tetap di hatinya. Dia harus berani, berani meminang dan berani ditolak.
Lee Cin pernah menyatakan sayang bahwa dia tidak pandai silat. Kalau kemudian gadis itu mengetahui bahwa dia pandai silat, bagaimana" 


Akan tetapi tentu Lee Cin akan tahu bahwa dialah Si Kedok Hitam! Serba salah jadinya.
Sebaiknya kalau dia menyembunyikan kepandaiannya dari gadis itu.
Tin Han berjalan seenaknya keluar dari kota Cin-an.
Ketika dia sedang berjalan melenggang seenaknya, tiba-tiba dari belakangnya terdengar seruan nyaring. "Minggir!


Minggir!" dan terdengar derap. kaki kuda.
Tin Han cepat minggir dan memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang membalapkan kuda di pagi hari itu.
Ternyata dia seorang yang berpakaian perwira tinggi
bersama duabelas orang pengawalnya.


Tin Han jadi tertarik. Dia memang merasa tidak senang kepada perwira penjajah Mancu yang suka bertindak
sewenang-wenang. Karena hatinya tertarik maka dia lalu membayangi mereka dengan menggunakan ilmu berjalan cepat. 


Di sepanjang jalan itu masih sepi, akan tetapi karena dia tidak ingin dilihat orang berjalan cepat sekali, dia mengambil jalan dalam hutan di sebelah jalan.

Dari jauh dia melihat betapa tigabelas orang berkuda itu kini menyeberangi Sungai Huang-ho dengan menggunakan perahu besar. Mereka menyeberang bersama kuda-kuda mereka. Tin Han jadi semakin tertarik dan diapun segera menyewa perahu kecil dan minta kepada tukang perahu agar menyeberangkannya.


Setelah tiba di seberang, para penunggang kuda itu
melanjutkan perjalanan mereka. Tin Han juga mendarat lalu melakukan pengejaran dengan mempergunakan ilmu berlari cepat. Akhirnya dia dapat menyusul rombongan berkuda itu yang ternyata memasuki sebuah hutan di Lembah Sungai Huang-ho. Tin Han terus mengikuti pasukan selosin pengawal yang dipimpin oleh seorang perwira yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat itu.
Pasukan itu adalah pasukan pengawal Kerajaan Mancu
yang dipimpin oleh Panglima Coa Kun, yaitu wakil dari Panglima Tua Bouw Kin. 


Setelah berloncatan turun dari atas kuda,Coa-ciangkun lalu menghampiri pondok dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang berpakaian hitam putih dan ada gambar lm-yang di dadanya. Usianya mendekati enampuluh tahun dan kakek ini bukan lain ada lah Thian-te Mo-ong. Melihat kakek ini, Coa-ciangkun memberi hormat yang dibalas oleh Thian-te Mo-ong.
"Kebetulan sekali Coa-ciangkun sudah datang," kata Thian-te Mo-ong. 'Kami sedang mengadakan pertemuan di sini.'

Coa-ciangkun dipersilakan lalu masuk dan di ruangan belakang yang cukup luas telah duduk Hek-bin Mo-ko, Sinciang Yauw Seng Kun, Ma Huan dan beberapa orang lain lagi. Hek bin Mo-ko adalah seorang tokoh sesat yang bertubuh tinggi besar dan semua anggauta tubuhnya tampak besar dan bundar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. 


Hek-bin Mo-ko (Iblis Muka Hitam) ini bersenjatakan sebatang ruyung berduri yang besar dan berat. Orang kedua yang bernama Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) adalah seorang tokoh kang-ouw golongan sesat pula yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kekuningan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit sekali. 

Seusia dengan Hek-bin Mo-ko, kurang lebih limapuluh tahun dan Pengemis Iblis ini bersenjatakan sebatang tongkat yang beracun. Yauw Seng Kun telah kita kenal, yaitu pemuda dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis murid mendiang Jeng-ciang-kwi, dan Ma Huan yang berusia empatpuluh tahun adalah seorang utusan dari Pulau Naga, membantu Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok. 

Empat orang lain yang duduk di situ kesemuanya adalah tokoh-tokoh sesat yang sudah dihubungi oleh Thian-te Mo-ong dan mau diajak bersekutu. Bagaimana Thian-te Mo-ong dapat mengadakan pertemuan rahasia dengan Panglima Coa di tempat itu"

Bukankah Thian-te Mo-ong pernah membantu pemberontakan dan pernah dihukum buang, bahkan
kemudian menjadi pelarian yang diburu pemerintah Kerajaan Mancu"
Ternyata setelah Song Thian Lee mengundurkan diri dan semua kekuasaan atas pasukan berada sepenuhnya ditangan Panglima Tua Bouw Kin Sek, maka panglima ini telah mengubah siasatnya. Dia menyebar orang-orangnya,termasuk Panglima Coa untuk menghubungi orang-orang kang-ouw golongan sesat dan membujuk mereka untuk
bekerja sama dengan pasukan pemerintah memusuhi kaum pendekar dan patriot! 


Karena Panglima Bouw bukan hanya menjanjikan, melainkan juga dengan royal membagi-bagi hadiah, maka golongan sesat menjadi terpikat. 

Karena inilah maka Thian-te Mo-ong seperti telah diampuni oleh kerajaan, asalkan dia mau membantu pemerintah untuk membasmi
kaum pendekar dan patriot. 


Kebijaksanaan baru ini lebih menguntungkan,baik bagi pemerintah maupun bagi golongan sesat, maka banyaklah tokoh kang-ouw yang termasuk golongan sesat dapat terpikat, termasuk Thian-te Mo-ong tentu saja karena diampuni dan tidak lagi menjadi orang buruan pemerintah. 

Bahkan Thian-te Mo-ong berjanji kepada Panglima Coa untuk menghubungkannya dengan
Beng-cu baru, yaitu Ouw Kwan Lok yang tinggal di Pulau Naga.

Panglima Coa masuk ke pondok dan dipersilakan duduk di ruangan belakang di mana telah berkumpul teman-teman Thian-te Mo-ong.


"Silakan duduk, ciangkun. Saudara-saudara sekalian, perkenalkan inilah Panglima Coa dari kota raja yang menjadi wakil dari Panglima Tua yang menguasai seluruh pasukan pemerintah." Thian-te Mo-ong memperkenalkan panglima itu kepada rekan-rekannya. Dia lalu memperkenalkan pula
tujuh orang tokoh kangouw yang sudah hadir di situ.


Panglima Coa saling memberi hormat dengan mereka semua dan dia lalu duduk berhadapan dengan mereka.
"Mo-ong, sekarang ceritakan lebih dulu tentang pengangkatan Beng-cu baru itu, siapa dia dan bagaimana kedudukannya," kata Panglima Coa.

"Beng-cu Souw Tek Bun telah mengundurkan diri dari jabatan beng-cu, ciangkun, dan ini kebetulan sekali karena diapun berhaluan menentang pemerintah. Penggantinya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, dan terhitung muridku juga, bernama Ouw Kwan Lok. Dia menangkan
pertandingan pemilihan beng-cu dan sekarang tinggal di Pulau Naga, bersama Siang Koan Bhok yang juga menjadi gurunya."


"Dan bagaimana pendapatnya tentang ajakan kami untuk bekerja
sama menentang golongan pendekar yang bermaksud menentang pemerintah Kerajaan Ceng?"
" Aku sudah menyampaikan ke padanya, dan dia menjawab bahwa hal itu akan dipertimbangkan melihat kesungguhan pemerintah yang mengajak bekerja sama. 


Dan juga beng-cu kami itu mengatakan bahwa setelah diadakan kerja-sama, biarlah beng-cu tetap bersikap mendekati para pendekar dan pemberontak, dengan demikian dia akan tahu siapa yang harus ditentang."

"Ha-ha-ha, dia ingin melihat kesungguhan hati kami"
Tunggu sebentar!" Panglima Coa lalu bangkit dan memanggil pengawalnya yang masih berada di luar. 


Seorang pengawal datang dan membawa sebuah kantung sebesar kepala manusia, dan dia menyerahkan kantung kepada Coa-
ciangkun. 


"Nah, inilah hadiah pertama untuk disampaikan kepada beng-cu. Kalau kerja sama sudah menghasilkan, akan lebih banyak pula hadiah dikirimkan kepadanya."

Coa-ciangkun membuka kantung itu dan memperlihatkan isinya kepada semua yang hadir. Tampak emas permata berkilauan dalam kantung itu. Sungguh merupakan hadiah yang berharga sekali!


"Baik, kami menerimanya, ciangkun. Akan tetapi kamipun ingin mendengar penjelasan dari ciangkun mengapa sekarang, pihak pimpinan pasukan mengajak kami bekerja sama" Apa yang mendorong para pimpinan ciangkun melakukan kerja sama ini" Kami harus mengetahui latar belakang perubahan sikap ini agar kami tidak ragu-ragu lagi.


"Hemm, kalian ingin mengetahui sebabnya" Dahulu, di waktu Song Thian Lee masih menjadi panglima muda dan dipercaya oleh kaisar, dia selalu menentang orang-orang kang-ouw sehingga banyak orang kang-ouw memberontak atau menentang pemerintah kerajaan. Kami menganggap sikap itu keliru sama sekali. 


Seharusnya orang kang-ouw didekati dan diajak bekerja sama sehingga tidak timbul pemberontakan, kecuali dari pihak para pendekar yang menganggap diri mereka patriot. Nah, dengan bekerja sama dengan orang-orang kang-ouw, kita tentu akan lebih mudah untuk membasmi para pendekar itu. 

Setelah kini Song Thian Lee mengundurkan diri dan tidak menjadi panglima lagi, semua kekuasaan terjatuh ke tangan Panglima Tua Bouw Kin Sek maka perubahan sikap kami ini dapat dilaksanakan.
Mengertikah kalian?"
Tujuh orang itu mengangguk angguk.


"Sekarang, untuk membuktikan bahwa kalian memang sungguh hati berniat untuk bekerja sama, kami minta kalian membantu kami untuk menangkap atau membunuh bekas
panglima Song Thian Lee dan isterinya. Sanggupkah kalian?"


Tujuh orang kang-ouw itu saling pandang dan Yauw Seng Kun yang belum mengenal orang macam apa adanya Song Thian Lee, sudah menyanggupi, "Tentu saja kami dapat membantu ciangkun!"


"Akan tetapi, Song Thian Lee dan isterinya itu merupakan lawan yang tangguh," kata Thian-te Mo-ong, agak ragu.


"Hemm, biarpun dia tangguh, kalau menghadapi kita semua, dia akan mampu berbuat apakah" Aku membawa surat perintah Kaisar untuk menangkapnya dengan tuduhan bahwa dia sengaja membantu pemberontak Keluarga Cia, dan aku membawa selosin pengawal pilihan. 


Ditambah lagi dengan kalian bertujuh, apa dia akan mampu melawan?"
Thian-te Mo-ong mengangguk-angguk. "Kalau kita semua maju, aku merasa yakin kita akan mampu menangkap atau membunuh mereka berdua. Baik, kapan kita akan berangkat dan di mana mereka tinggal ?"

"Mereka tinggal di dusun Tung-sinbun tak jauh dari kotaraja dan kita berangkat sekarang juga. Kami akan menyediakan tujuh ekor kuda untuk kalian. Selain itu, apakah engkau tahu di mana adanya Keluarga Cia, Mo-ong?"
"Tentu saja aku tahu di mana mereka bersembunyi.


Ketika Beng-cu menawarkan kepada mereka untuk tinggal diPulau Naga, mereka menolak dan mereka untuk sementara tinggal di Bukit Cemara."


"Bagus! Tugas kalian, setelah kita menyerbu rumah Song Thian Lee, adalah untuk membasmi Keluarga Cia itu.
Mereka adalah orang-orang yang amat membenci pemerintah Kerajaan, merupakan orang-orang berbahaya. 


Bagaimana, sanggupkah kalian bertujuh untuk membasmi Keluarga
Cia?" Thian-te Mo-ong tertawa. "Ha-ha-ha, membasmi mereka adalah urusan mudah, ciangkun. Yang paling lihai di antara mereka adalah Nenek Cia, dan nenek itu pernah dikalahkan oleh Bengcu yang baru. 


Kalau kami melaporkan permintaan ciangkun ini kepada Beng-cu, tentu akan mudah membasmi mereka."
"Baiklah, kami percaya kepada kalian. Sekarang, mari kita berangkat. Para pengawalku akan menyediakan kuda untuk kalian."


Tak seorangpun di antara mereka mengetahui bahwa semua percakapan mereka itu didengar dengan jelas oleh Tin Han! Ketika mendengar bahwa mereka hendak menyerbu rumah bekas panglima Song Thian Lee, dia mendengarkan dan kurang tertarik. 


Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dia mendengar bahwa mereka hendak menyerbu dan membasmi Keluarga Cia! Tidak, dia tidak dapat tinggal diam saja. Juga dia harus melindungi keluarga Song Thian Lee yang pernah didengarnya sebagai seorang panglima muda yang bijaksana. 

Dari percakapan itu tahulah dia bahwa pemerintah Kerajaan Mancu telah mengubah taktiknya. Kini mereka hendak menyuap kepada para tokoh kang-ouw dari golongan
sesat untuk membantu pemerintah meng- hancurkan para pendekar dan patriot. 


Hatinya menjadi panas mendengar ini dan dia bermaksud untuk menghalangi tindakan mereka yang akan membunuh bekas panglima
Song Thian Lee dan juga hendak membasmi keluarganya, Keluarga Cia!


Karena sudah mendengar bahwa mereka akan pergi ke dusun Tung-sinbun dekat kota raja dan mereka semua hendak menunggang kuda, Tin Han lalu mendahului mereka melakukan perjalanan ke arah kota raja. 


Ketika hari menjadi malam dan dia bermalam di rumah penginapan yang sama!
Tin Han mendapatkan pikiran yang dianggapnya bagus.
Malam itu, diam-diam dia menyelinap ke kandang kuda dari penginapan itu dan mencari seekor kuda yang dipilihnya paling baik dari semua kuda yang ada.


Pada keesokan harinya, tentu saja keadaan menjadi geger ketika Coa-ciang kun mengetahui akan lenyapnya seekor kuda yang terbaik, yaitu kuda yang menjadi tunggangannya.


Dia memaki- maki para petugas rumah penginapan akan
tetapi tidak ada seorangpun tahu ke mana perginya kuda yang hilang itu. Tin Han pura-pura ikut resah seperti para tamu lain dan dengan hati geli dia melihat perwira tinggi itu menyuruh anak buahnya mencari dan membeli seekor kuda lain
yang baik. 


Setelah mendapatkan seekor kuda, berangkatlah mereka.
Tin Han juga meninggalkan rumah penginapan itu dan melepaskan kuda curiannya yang diikat pada sebuah pohon di luar kota Kan-lok, lalu membayangi rombongan itu
dengan berkuda.


Akhirnya, rombongan itu tiba di dusun Tung-sin-bun.
Ketika itu, senja telah tiba dan agaknya rombongan itu tidak mau berhenti dulu, langsung saja menuju ke rumah Song Thian Lee, setelah mendapat keterangan di mana rumah bekas panglima itu.


Pada sore hari itu, Song Thian Lee sedang duduk dengan isterinya di serambi depan. Tang Cin Lan sedang bermain-main dengan puteranya yang baru berusia tiga tahun. Ketika mendengar bunyi kaki kuda mendatangi rumah mereka,suami isteri ini tidak mengira bahwa merekalah yang kedatangan tamu. 


Baru setelah belasan orang berkuda itu memasuki halaman rumahnya, mereka tahu bahwa rombongan orang itu datang untuk berurusan dengan mereka. Yang membuat Thian Lee terheran-heran adalah ketika dia melihar Panglima Coa dan Thian Lee masih mengenal Thian-te Mo-ong yang di tangkapnya ketika datuk ini membantu pemberontakan beberapa tahun yang lalu, kemudian Thian-te Mo-ong berhasil meloloskan diri ketika dikirim ke tempat pembuangan. 

Heran dia mengapa Panglima Coa dapat datang bersama Thian-te Mo-ong yang menjadi orang buruan pemerintah" Namun dia menekan
keheranannya dan segera bangkit bersama isterinya yang menggendong Hong San.


"Kiranya Coa-ciangkun yang datang berkunjung! Entah kepentingan
apa yang membawa ciangkun datang berkunjung ke rumah kami?"
Akan tetapi Coa-ciangkun tidak turun dari atas kudanya, bahkan
tidak membalas penghormatan Thian Lee, sebaliknya dia mengambil surat perintah Kaisar dan berkata lantang, "Song Thian Lee, atas perintah Kaisar kami datang untuk menangkap engkau dan seluruh keluargamu! Karena itu menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!"


Thian Lee dan Cin Lan terkejut bukan main mendengar
ucapan itu. "Coa-ciangkun! Kesalahan apakah yang kami perbuat maka Kaisar memerintahkan untuk menangkap
kami?" "Ketika engkau melakukan pembersihan di timur, engkau sengaja memberi kebebasan kepada para pemberontak Keluarga Cia. 


Karena itu engkau dianggap pemberontak!"
"Bohong semua itu! Suamiku ketika memegang jabatan panglima, sudah berjasa besar menumpas pemberontak-pemberontak
dan orang-orang jahat! 


Dia bukan pemberontak dan tahukah engkau siapa aku" Aku adalah puteri Pangeran Tang Gi Su. Beranikah kalian berkurang ajar untuk menangkap aku?"
"Ini perintah Kaisar. Kami hanya menjalankan tugas.

Hayo kalian cepat berlutut menyerah daripada kami harus menggunakan kekerasan!" bentak lagi Coaciangkun.
Thian Lee menjadi marah sekali. Dia dapat menduga bahwa semua ini bukan keluar dari lubuk hati Kaisar. 


Tentu Kaisar telah dihasut dan mungkin yang menghasut adalah Panglima Coa dan Panglima Bouw yang dia tahu memang merasa iri dan tidak suka kepadanya.

"Coa-ciangkun! Engkau tahu bahwa kini aku bukan lagi seorang pejabat pemerintah yang harus tunduk atas semua perintah Kaisar. Aku tidak merasa bersalah dan aku tidak mau menyerah!"


"Engkau hendak melawan Kaisar?"
"Bukan Kaisar yang kulawan, melainkan kalian! Engkau membawa pula pemberontak Thian-te Mo-ong, padahal dia orang buruan pemerintah! Engkaulah yang berbuat jahat, Coa-ciangkun!"
"Serbu!" bentak Coa-ciangkun kepada anak buahnya.


Duabelas orang pengawal itu lalu mencabut golok mereka dan berlompatan turun dari atas kuda. Demikian pula tujuh orang tokoh kangouw itu berlompatan turun dari kuda. Hekbin Mo-ko sudah mengayun ruyungnya yang berduri, besar dan berat, sedangkan Sin-ciang Mo-kai juga mempergunakan tongkatnya yang beracun untuk menyerang Thian Lee. Thian-te Mo-ong tidak mau ketinggalan. Song Thian Lee adalah musuh besarnya, maka diapun sudah mengeluarkan sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.


Thian Lee menyambar Jit-gwat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan) yang berada di atas meja dan diapun menyambut penyerangan banyak orang itu. Sementara itu, Yauw Seng
Kun yang melihat betapa cantiknya Tang Cin Lan, sudah menggunakan tongkat bambu kuningnya untuk menyerang wanita itu, dengan maksud untuk menangkapnya hidup-hidup. 


Serangannya ini dibantu pula oleh Ma Huan dan empat orang tokoh kang-ouw lainnya. Cin Lan tidak menjadi gentar. Dia sudah menggendong Hong San di punggungnya dan memutar sebatang tongkat, memainkan ilmu tongkat Hok-mo-tang (Tongkat Penaluk Iblis) dan mengamuk.

Thian Lee dan Cin Lan adalah suami isteri yang lihai ilmu silatnya. Cin Lan adalah murid Pek I Lo-kai dan tubuhnya kebal racun karena pernah digigit ular merah dan ular putih yang racunnya berlawanan. Ilmu tongkatnya Hok-mo-tang amat dahsyat, dan iapun seorang yang pemberani dan tabah berkat pengalamannya ketika ia masih gadis dan suka merantau mencari pengalaman. Terutama sekali Thian Lee.

Ilmunya lebih tinggi dibandingkan isterinya. Pendekar ini pernah menjadi murid Liok-te Lo-mo, kemudian pernah pula menjadi murid Jeng-ciang-kwi, kemudian menjadi murid Kim Sim Yok-sian si Dewa Obat dan murid Tan Jeng Kun.
seorang pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia ramai.

Semua itu masih ditambah lagi ketika dia menemukan pedang Jitgoat-kiam dan dua kitab, yaitu
Thian-te Sin-kang dan Jit-goat Kiam-sut. Ilmu kepandaiannya pada masa itu jarang menemukan tandingan. Akan tetapi dia sekali ini menghadapi pengeroyokan
banyak orang pandai, dan dia tidak dapat memusatkan perhariannya karena perhatiannya terbagi kepada isteri dan anaknya yang juga dikeroyok banyak orang pandai. 


Hanya dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dia dapat mencegah desakan para pengeroyoknya dan selalu berusaha mendekat isterinya untuk melindunginya.
Tin Han menyaksikan ini semua dan dia terbelalak kagum. Suami isteri itu sungguh hebat, pikirnya. Apa lagi 
ilmu pedang Song Thian Lee. 


Dia hanya melihat sinar
pedang bergulung-gulung menyelimuti suami isteri itu sehingga tidak ada senjata lawan yang mampu menembusnya. Akan tetapi, suami isteri itu kini hanya dapat bertahan saja dan kalau dilanjutkan perkelahian seperti itu, akhirnya mereka akan terancam bahaya. 


Cepat dia melepaskan pakaian luarnya dan menutupi mukanya dengan kain hitam, lalu mengambil sebatang pedangnya yang selalu disimpan dalam buntalan. 
Itulah pedang Pek-kong-kiam (Pedang Sinar Putih) pemberian Bu Beng Lo-jin, gurunya yang pertama. 

Setelah menyembunyikan buntalan dan pakaiannya, dia lalu melompat memasuki gelanggang pertempuran dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu
membantu suami isteri itu menghadapi pengeroyokan
belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pedang di tangan Thian Lee sudah merobohkan empat orang pengawal, sedangkan tongkat di tangan Cin Lan juga sudah merobohkan tiga orang pengawal. Biarpun para jagoannya belum ada yang roboh, sedikitnya robohnya tujuh orang pengawal itu membuat para pengawal lainnya menjadi jerih dan menambah semangat mereka.


Ketika mereka melihat seorang berkedok hitam memasuki gelanggang perkelahian dan membantu mereka, Thian Lee segera mengenal Si Kedok Hitam yang pernah menolongnya ketika dia dan Lee Cin ditawan oleh Keluarga Cia. (Baca Kisah Si Dewi Ular) .


"Terima kasih, sobat. Engkau kembali menolongku!" kata Thian Lee kepada Si Kedok Hitam yang begitu masuk sudah merobohkan dua orang pengawal. Tiga orang pengawal lain lalu mundur dan tidak berani lagi maju mengeroyok. 


Kini Thian Lee menghadapi Thian-te Mo-ong, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang. Yauw Seng Kun berhadapan dengan Cin Lan dan dia dibantu oleh Ma Huan dan empat orang tokoh kang-ouw lainnya. Kalau Thian Lee dapat mengimbangi pengeroyokan tiga orang lawan itu, sebaliknya Cin Lan mulai terdesak hebat. 

Hal ini adalah karena para pengeroyoknya mulai bermain curang, yaitu serangan mereka ditujukan kepada anak yang berada dalam gendongan di punggungnya.
Melihat nyonya muda itu terdesak dan anaknya terancam bahaya, Tin Han segera menyerang Yauw Seng Kim yang dia lihat paling berbahaya di antara para pengeroyok Cin Lan.
Begitu diserang oleh pedang di tangan Tin Han, Yauw Seng Kun menangkis dengan tongkatnya. Dia sudah merasa jerih menghadapi Si Kedok Hitam yang pernah bertanding dengannya ketika Si Kedok Hitam itu menolong Kiok Hwa terlepas dari tangannya.


"Trangggg..... !" Tongkat bambu kuning di tangan Seng Kun putus tinggal sepotong. Hal ini membuatnya amat terkejut dan Ma Huan segera menolong dan membacokkan goloknya kepada Si Kedok Hitam. 


Akan tetapi goloknya terpental ketika bertemu dengan Pekkongkiam dan sebuah tendangan dari Tin Han membuat Yauw Seng Kun terhuyung ke belakang. Melihat bantuan yang amat kuat itu, Cin Lan mengamuk dan tongkatnya menotok roboh dua orang tokoh kang-ouw yang bantu mengeroyok!

Melihat kini Cin Lan tidak terancam bahaya, Tin Han menubruk dengan pedangnya menyerang Thian-te Mo-ong.
"Sing..... ..... tranggg..... !" Sepasang pedang Thian-te Moong dipergunakan untuk menangkis sinar putih pedang di tangan Tin Han dan akibatnya, Thian-te Mo-ong harus melompat mundur karena kedua tangannya tergetar hebat.

Agaknya Coa-ciangkun dapat melihat gelagat buruk. Dia lalu melompat ke atas kudanya, melarikan diri untuk
mencari bala bantuan. Melihat ini, Thian-te Mo-ong kehilangan nyalinya. Diapun berseru kepada semua rekannya.


"Kita mundur!"
Karena memang kini sudah terdesak, para pengeroyok itu lalu berloncatan ke belakang, melompat pula ke atas
punggung kuda mereka dan mereka melarikan diri tunggang langgang.

Thian Lee dan Cin Lan tidak melakukan pengejaran.
Thian Lee menjura kepada Tin Han dan berkata, "Sobat, kembali engkau menyelamatkan kami. Terima kasih atas budimu."


"Tidak perlu berterima kasih, Song taihiap. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong dari ancaman antek-antek Mancu itu. Yang penting sekarang sebaiknya engkau dan isterimu cepat pergi meninggalkan dusun ini karena kalau mereka datang lagi membawa bala bantuan pasukan besar, bagaimana kalian akan dapat melawan mereka?" "Kata-katamu benar, sobat. Setidaknya, beri kami tahu siapa namamu agar kami mengetahui siapa yang menolong kami."


"Sebut saja Hek-tiauw Eng-hiong. Nah, selamat berpisah!" Tin Han segera melarikan diri dari tempat itu dan kembali mengenakan pakaiannya, dan menunggang kudanya. Thian Lee sekeluarga telah selamat dan sekarang dia harus menyelamatkan keluarganya sendiri yang juga terancam oleh antek-antek Mancu.


Thian Lee bersama isterinya bergegas mengumpulkan
pakaian dan uang, lalu keduanya pergi meninggalkan dusun Tung-sin-bun, memberi pesangon kepada para pembantu mereka dan menyuruh mereka cepat pergi pula karena
dikhawatirkan mereka akan tersangkut urusan mereka.

Benar saja seperti yang di khawatirkan Tin Han, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali duaratus orang pasukan memasuki dusun Tung-sin-bun dan mereka menyerbu
rumah Thian Lee. Akan tetapi mereka tidak menemukan
siapapun juga di rumah itu, maka isi rumah lalu dirampas oleh mereka dan dalam hal mengamankan barang- barang milik Thian Lee ini, ulah mereka tiada ubahnya seperti segerombolan perampok!



          **********


Tin Han dapat menemukan tempat persembunyian keluarganya. Ternyata keluarganya membuat tiga buah pondok kayu di puncak Bukit Cemara dan tempat itu terkurung hutan yang lebat dan mengandung banyak pohon cemara di samping pohon-pohon liar.


Akan tetapi dia tidak berani menghadap keluarganya. Dia sudah ketahuan bahwa dialah Si Kedok Hitam yang selalu menentang mereka ketika mereka hendak membunuh Lee Cin dan Thian Lee. Bahkan neneknya sendiri telah
menendangnya masuk ke dalam jurang. kalau kini dia menghadap, bagaimana penerimaan mereka" 


Tentu dia dianggap sebagai pengkhianat. Hatinya merasa rindu sekali kepada ayah dan ibunya, juga kepada kakaknya, kedua
pamannya dan neneknya. Dia rindu untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka semua. Akan tetapi dia merasa ngeri membayangkan mereka akan menerimanya
sebagai seorang musuh! 


Dia tidak akan dapat mencari
alasan mengapa dia membela Lee Cin dan Thian Lee.
Keluarganya membenci penjajah Mancu dan membeci semua orang yang bekerja kepada pemerintah Mancu. Bahkan untuk melakukan pemberontakan, keluarganya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan perwira yang memberontak, dan lebih lagi malah, bersekutu dengan golongan sesat dan dengan orang Jepang! 


Pendirian seperti itu berbeda jauh dengan pendiriannya, bahkan bertentangan. Bagai mana mungkin dia menyadarkan keluarganya, terutama sekali neneknya bahkan melakukan perjuangan bersekutu dengan golongan sesat dan dengan orang asing adalah keliru sama sekali " 

Dia mengenal neneknya sebagai seorang yang keras hati, yang membenci penjajah sampai ke tulang sumsumnya, melebihi kebenciannya kepada golongan sesat.

Sampai sepekan lamanya dia hanya berkeliaran saja di daerah pegunungan Cemara itu, tidak berani Iangsung menemui keluarganya. Dia mencari kesempatan kalau-kalau dapat melihat ibunya seorang diri meninggalkan puncak.


Hanya kepada ibunya saja dia akan mampu berhadapan.
Ibunya amat mencintanya dan tentu dapat memaafkannya.
Akan tetapi ditunggu sampai sepekan, tidak tampak ibunya menuruni puncak atau keluar dari pondok.
Selagi Tin Han kesal menunggu, tiba-tiba pada saat pagi dia melihat serombongan orang menunggang kuda mendaki bukit itu. Ada orang-orang yang datang, jumlahnya ada enam orang. Cepat Tin Han bersembunyi dan mengintai, untuk melihat siapa yang datang mendaki bukit Cemara.


Setelah mereka tiba dekat, dia mengenal beberapa orang di antara mereka, yaitu orang-orang yang baru-baru ini menyerbu rumah Song Thian Lee. Mereka adalah Thian-te Mo-ong, Hek-bin Mo- ko, Sin-ciang Mo-kai, Yauw Seng Kun, Ma Huan dan ditambah seorang kakek lagi yang tidak dikenalnya. 


Kakek ini tampak gagah perkasa, tinggi besar bermuka merah dan dia memegang sebatang dayung baja.
Melihat wajah dan senjata itu, teringatlah Tin Han akan cerita neneknya. Neneknya seringkali bercerita kepadanya tentang para datuk persilatan di dunia kang-ouw dan melihat wajah dan perawakan kakek itu, juga melihat senjatanya, dia menduga bahwa tentu kakek ini yang berjuluk Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur), datuk wilayah timur yang bernama Siang Koan Bhok dan menjadi majikan Pulau Naga! 


Dia pernah mendengar neneknya bercerita bahwa di antara Empat Datuk Besar di empat penjuru,
kepandaian Siang Koan Bhok inilah yang paling tinggi.

Jantung Tin Han berdebar tegang. Tidak salah lagi, mereka ini tentu akan melaksanakan rencana mereka untuk membasmi Keluarga Cia seperti yang diperintahkan oleh panglima yang bersekongkol dengan Thian-te Mo-ong itu.


Keparat, pikirnya. Kalian tidak akan dapat membasmi Keluarga Cia selama aku masih hidup! Akan tetapi dia menahan kesabarannya dan hendak melihat dulu apa yang akan terjadi. Dia lalu tersembunyi di balik semak belukar dan mengintai.


Enam orang itu telah tiba di depan tiga pondok yang berdiri berjajar. Mereka turun dari atas kuda mereka dan mengikatkan kuda-kuda itu di batang pohon, lalu Thian-te Mo-ong dengan suara lantang berteriak, "Haiiii, Keluarga Cia, keluarlah kami hendak bicara!"


"Thian-te Mo-ong, mau apa engkau di sini?" terdengar bentakan dari dalam pondok di tengah dan muncullah Nenek Cia yang memegang tongkat kepala naganya. Ia memandang kepada Thian-te Mo-ong dengan alis berkerut ketika melihat bahwa Thian-te Mo-ong datang bersama banyak orang. 


Mendengar teriakan Thian-te Mo-ong tadi, kini bermunculanlah Cia Kim dan isterinya, Cia Tin Siong dan kedua saudara Cia Hok dan Cia Bhok. Lengkaplah Keluarga Cia kini berada di depan pondok menyambut kedatangan enam orang itu. 

Jumlah pihak tuan rumah juga ada enam orang dan agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Thian-te Mo-ong maka diapun datang berenam untuk mengimbangi pihak keluarga Cia.
"Nenek Cia, kebetulan sekali keluargamu lengkap, atau masih kurang seorang lagi" Ah, cucumu yang seorang lagi itu tidak masuk hitungan, bukan?"


"Katakan apa keperluanmu datang berkunjung ke tempat tinggal kami?" kata pula Nenek Cia dengan ketus. Ia tahu orang macam apa adanya Thian-te Mo-ong, maka baru
bertemu saja ia sudah merasa tidak senang, akan tetapi  diam-diam ia juga terkejut melihat Siang Koan Bhok datang bersama Thian te Mo-ong.


"Keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai orang-orang yang membenci pemerintah Kerajaan Ceng. Akan tetapi kalian lihat sendiri betapa bodohnya memusuhi Kerajaan yang amat kuat. Kini ternyata Kerajaan Ceng mengulurkan tangan
persahabatan kepada kalian, maukah kalian menerimanya?"


"Apa" Jadi engkau sekarang sudah menjadi anjing peliharaan Mancu, Thiante Mo-ong" Engkau membujuk kami untuk bersahabat dengan penjajah Mancu" Tidak sudi!
Katakan kepada majikanmu di kota raja bahwa selama kami masih
bernapas, kami akan selalu menentang dan memusuhi penjajah Mancu!"


"Ha-ha-ha, sudah kuduga engkau nenek kepala batu akan menjawab begitu. Apa engkau tidak takut terhadap kekuatan kami" Kami diberi wewenang untuk membasmi
keluarga Cia kalau kalian membangkang!"


"Jahanam busuk! Kalian akan mengerahkan tenaga pasukan Mancu. Biar ada seribu orang dari mereka, kami tidak takut dan tidak akan mundur!"
"Nenek sombong! Kami tidak perlu menggunakan tenaga pasukan untuk membasmi kalian. Kita boleh bertanding dengan adil dan jujur, satu lawan satu! Siapa di antara kalian yang menjadi jagoan pertama, silakan maju, akan kami lawan dengan seorang di antara kami."


Cia Tin Siong, Cia Hok dan Cia Bhok melangkah maju,akan tetapi Nenek Cia membentak. "Mundur kalian! Aku sendiri yang akan maju lebih dulu!"
Nenek Cia melompat ke depan dan memalangkan tongkat nya di depan dada, lalu menghardik kepada Thian-te Mo-ong. "Nah, aku yang maju. 


Kalian maju satu demi satu atau semua, aku tidak akan mundur!"
"Nenek sombong! Akulah lawanmu dan dayungku akan melumatkan kepalamu yang keras itu!" Siang Koan Bhok membentak dan diapun melompat maju sambil memutar
dayungnya. Hal ini memang sudah diatur oleh Thian-te Moong yang sudah mengetahui tingkat kepandaian Keluarga Cia. Yang paling lihai adalah Nenek Cia maka sebelumnya dia sudah mengatur agar Siang Koan Bhok yang menghadapi nenek tangguh itu.


"Bagus, Siang Koan Bhok, aku tidak takut kepadamu!"
bentak Nenek Cia dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tongkat naganya diputar cepat dan dia menyerang dengan dahsyatnya.
"Trangg! Trakk!" Dayung menangkis bertemu dengan tongkat naga dan nenek itu terhuyung ke belakang
sedangkan Siang Koan Bhok hanya mundur dua langkah.


Dari akibat pertemuan dua senjata ini saja sudah dapat dilihat bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Siang Koan Bhok masih menang setingkat.
Namun nenek itu memang seorang yang amat berani.
Walaupun ia tahu pula bahwa tenaganya kalah kuat, namun ia menyerang lagi dengan hebatnya.
Tongkatnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi berciutan. 


Akan tetapi Siang Koan Bhok yang tidak berani memandang
rendah kepada nenek itu dan diapun mengimbangi dengan permainan keras, mengandalkan tenaga sin-kangnya yang memang lebih kuat. 


Pertandingan itu berlangsung seru dan dahsyat sekali. Angin pukulan tongkat dan dayung baja itu terasa oleh semua yang hadir di situ, terasa menyambar-nyambar.
Tin Han yang menonton dari tempat sembunyinya,mengerutkan alisnya. 


Dia tahu bahwa neneknya kalah
tenaga dan mulailah neneknya itu terdesak. Gerakan tongkatnya tidak setangkas tadi. Setelah bertanding 
selama seratus jurus lebih, neneknya yang seringkali tergetar ketika senjatanya bertemu dengan senjata lawan itu mulai kehabisan tenaga.

Kekhawatiran Tin Han segera terbukti. Ketika itu, Nenek Cia
mengerahkan seluruh tenaganya menghantamkan tongkat naganya, agaknya dengan nekat hendak mengadu tenaga. Tongkatnya menyambar seperti seekor naga yang menyerang dan melihat ini, Siang Koan Bhok juga
mengerahkan tenaga pada dayung bajanya, menyambut
hantaman itu dengan tangkisan yang amat kuat. Tak dapat dicegah lagi, adu tenaga melalui senjata itupun terjadilah.


Dua senjata panjang itu bertemu di udara.
"Darrr. . . .!!!" Terdengar seperti ledakan ketika dua buah senjata itu bertemu di udara. Siang Koan Bhok terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi Nenek Cia terhuyung-huyung dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangannya.


Pada saat ia kehilangan tenaga dan keseimbangannya itu, mulutnya juga mengeluarkan darah segar tanda bahwa nenek ini telah menderita luka dalam yang parah, Siang Koan Bhok masih mengayun dayung bajanya, mengirim.hantaman ke arah kepala Nenek Cia. 


Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi hendak melumatkan kepala nenek itu dengan dayung bajanya.

Pada saat itu tampak sesosok bayangan menyambar dan
dayung baja yang sudah menyambar itu tertahan di udara.
Siang Koan Bhok terkejut sekali dan menarik kembali dayungnya. Pada saat itu, Tin Han sudah menyambar tubuh neneknya yang terhuyung sehingga tidak sampai terjatuh.

"Nek, bagaimana keadaanmu nek?" tanya Tin Han dan segera dia memegang nadi tangan neneknya. Nadinya berdenyut lemah sekali dan Nenek Cia hanya menggeleng kepalanya, lalu melepaskan diri dari rangkulan Tin Han, duduk bersila mengatur pernapasan.

Thian-te Mo-ong segera melangkah maju dan dengan gembira dia berkata lantang. "Nah, Keluarga Cia, pihakmu telah kalah. Apakah ada lagi yang berani mencoba-coba untuk maju?"
Sebelum lain orang menjawab, Tin Han sudah melompat berdiri dan dia yang menghadapi Thian-te Mo-ong sambil berkata, "Akulah yang maju mewakili Keluarga Cia!"


Melihat pemuda itu, Thian-te Moong berkata, "Siapakah engkau, orang muda?"
"Aku bernama Tin Han, cucu dari Nenek Cia."


Melihat Tin Han yang mereka kira telah tewas itu maju, Cia Kun cepat berkata, "Tin Han, jangan sembrono. Biarkan aku yang maju!" bentaknya.
Tin Han menghibur ayahnya, "Ayah, kalau Nenek saja kalah, apakah ayah kira mampu menandingi Siang Koan
Bhok" Biarkan aku yang maju untuk mencoba-coba, hitung-hitung aku menebus dosa dan kalau aku kalah olehnya, barulah ayah yang maju sendiri," kata-kata Tin Han ini terdengar demikian meyakinkan. 


Diam-diam Cia. Kun,ayahnya berpikir. Mereka semua telah tahu bahwa Tin Han ternyata Si Kedok Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapa tahu pemuda itu benar-benar akan dapat menandingi Siang Koan Bhok! Maka dia mengangguk lalu mundur. Ketika Cia Tin Siong hendak maju melarang
adiknya, Cia Kun memberi isyarat agar Tin Siong membiarkan Tin Han main lebih dulu.


Akan tetapi Thian-te Mo-ong tertawa bergelak. Kini dia tahu bahwa Tin Han adalah seorang cucu lain dari Nenek Cia yang dikabarkan tidak memiliki ilmu silat, melainkan hanya pandai sastra, maka dia mengambil keuntungan ini dan berkata, "Saudara Siang Koan Bhok telah menangkan pertandingan, harap beristirahat dulu. 


Biarkan aku sendiri yang akan menghadapi pemuda ini!" Berkata demikian, Thian-te Mo-ong melangkah maju menghadapi Tin Han tanpa mencabut sepasang pedangnya. Jelas bahwa dia
memandang ringan lawannya.

"Cia Tin Han, engkau boleh maju menyerangku!"tantangnya. Tin Han juga bertangan kosong. Dia masih menyimpan pedang Pek-kongkiam di buntalannya. Buntalan pakaian itu kini dia gantungkan pada sebatang cabang pohon yang tumbuh di situ, lalu dengan tangan kosong dia menghadapi lawannya.

Ibunya, Nyonya Cia Kun, memandang dengan penuh
kekhawatiran dan tiba-tiba ia berkata, "Tin Han, pergunakanlah pedangku ini!"


Akan tetapi Tin Han menoleh kepadanya dan berkata,
"Tidak usah, ibu. melawan kakek tua ini tidak perlu aku menggunakan pedang. Kedua tangan dan kakiku juga sudah cukup!" Ibunya mengerutkan alisnya mendengar ini dan menganggap ucapan puteranya yang kedua itu sebagai
gertak sambal belaka dan ia menjadi amat khawatir. 


Ia tahu bahwa ilmu kepandaian Thian-te Mo-ong amat tinggi,
mungkin setingkat dengan kepandaian suaminya. Bagaimana kini puteranya yang biasanya lembut dan tidak pandai berkelahi itu berani memandang rendah kepada
kakek itu" Akan tetapi karena Tin Han menolak dipinjami pedang, iapun tidak dapat memaksa, hanya menonton dengan hati terguncang dan tegang.


Thian-te Mo-ong yang juga mendengar kata-kata Tin Han itu menjadi merah mukanya. Pemuda itu berani memandang rendah
kepadanya! Kalau tadinya dia hanya ingin mengalahkan Tin Han, kini timbul keinginannya untuk
membunuh pemuda sombong itu.






"Cia Tin Han, jangan banyak bicara. Cepat serang aku!"tantangnya.
"Baik, aku akan menyerangmu dengan pukulan tangan kanan
lalu dilanjutkan tamparan tangan kiri. 

Awas serangan!"

Mana ada orang hendak menyerang memberitahu lebih dulu dengan serangan bagaimana dia akan melakukannya"

Dan benar saja, tangan kanannya menyambar dan memukul ke arah dada Thian-te Mo-ong dan ketika kakek itu mengelak, disusul tamparan tangan kirinya menyambar ke arah muka Thian-te Mo-ong. 

Dan gerakan tangan kiri yang menampar itu sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat dielakkan lagi oleh kakek itu yang terpaksa menangkis dengan tangan kanannya.

"Dukk...... Tangkisan itu dilakukan dengan kuatnya akan tetapi akibatnya, Thian-te Mo-ong terhuyung ke belakang!


Bukan main kagetnya kakek ini karena dari pertemuan tangan itu dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuatnya.


Thian-te Mo-ong menjadi marah sekali dan dia segera mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan ilmu Pek-swat Tok-ciang (Tangan Betacun Salju Putih) yang amat ampuh itu. Pukulan ini selain mendatangkan hawa dingin yang amat kuat, juga mengandung racun dan siapa terkena pukulan ini tentu akan keracunan dan darahnya dapat menjadi beku karena kedinginan!



          **********


"Wuuuttt.. .....!" Pukulan itu menyambar ke arah dada Tin Han, akan tetapi dengan mudahnya Tin Han mengelak.


Thian-te Mo-ong yang merasa penasaran sekali sudahmenyusulkan serangan pukulan yang bertubi-tubi. Hawa dingin menyambar ke arah Tin Han. Pemuda ini mengandalkan kecepatan gerakannya untuk mengelak dan ketika dia menangkis dengan tangannya, kembali dua tenaga saling bertemu dan kembali Thian-te Mo-ong terhuytmg dan merasa betapa lengannya nyeri dan tulang lengannya seperti bertemu dengan tongkat baja saja. 


Dia terhuyung ke belakang dan meringis kesakitan dan dalam beberapa gebrakan itu saja maklumlah dia bahwa pemuda itu bukan hanya menggertak sambal atau membual, akan tetapi benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Sementara itu, Keluarga Cia yang menonton pertandingan itu, termasuk Nenek Cia yang masih duduk bersila, menjadi kaget, heran dan kagum bukan main.


Dalam beberapa gebrakan saja Tin Han mampu membuat kakek itu terhuyung dua kali! Hal ini sama sekali tidak diduga oleh mereka. Ketika mereka tahu bahwa Tin Han adalah Si Kedok Hitam, merekapun hanya menduga bahwa Tin Han telah mempelajari ilmu silat, namun pemuda itu masih kalah oleh neneknya. 


Akan tetapi kini Tin Han mampu membuat seorang datuk seperti Thian-te Mo-ong terhuyung dua kali hanya dalam beberapa gebrakan saja!
Thian-te Mo-ong maklum bahwa dia terancam kekalahan.


Dia menjadi marah sekali dan ketika kedua tangannya bergerak, dia telah melolos sepasang pedangnya. Sambil melintangkan sepasang pedangnya di depan dada, dia berkata dengan lantang. "Setan cilik, sekali ini engkau akan mampus di ujung pedangku. Hayo cepat keluarkan senjatamu!"


"Tin Han, pakailah pedang ini!" kembali ibunya berseru.
Tin Han menoleh kepada ibunya dan tersenyum. "Belum, Belum perlu menggunakan pedang. Biarlah kakek ini menggunakan sepasang pedang pemotong leher ayam itu, aku masih sanggup menghadapinya dengan tangan kosong!"


Semua orang terbelalak! Thian-te Mo-ong adalah seorang datuk dari selatan, ilmu silatnya tinggi, apalagi kalau dia sudah mengeluarkan sepasang pedangnya, dia menjadi lihai bukan main. 


Nenek Cia sendiri tentu tidak berani 
menghadapi sepasang pedang Thian to Mo-ong hanya dengan tangan kosong saja! Keluarga Cia menjadi kaget, akan tetapi sekarang mereka menjadi khawatir sekali.


"Hei, Thian-te Mo-ong! Tidak malukah engkau, seorang datuk besar, melawan seorang pemuda bertangan kosong menggunakan sepasang pedangmu" Anak kecilpun akan menertawakanmu dan menganggapmu seorang pengecut,
apalagi dunia kang-ouw!" teriak Cia Kun yang merasa khawatir sekali akan keadaan puteranya.


"Aku menggunakan pedang, siapapun juga boleh maju melawanku. Kalau bocah setan ini tidak mau menggunakan senjata, itu adalah salahnya sendiri. Anak setan, keluarkan senjatamu atau engkau akan menjadi setan penasaran tanpa kepala!"


Tin Han bukan seorang yang sombong. Kalau dia tidak
mau menggunakan senjata menghadapi sepasang pedang
Thian-te Mo-ong, hal itu bukan karena kesombongannya, melainkan dia sudah memperhitungkannya dengan baik bahwa tanpa senjatapun dia akan mampu menandingi kakek itu.


"Thian-te Mo-ong, majulah dan pergunakan pedangmu, aku cukup dengan sepasang kaki dan sepasang tanganku saja!"
Thian-te Mo-ong menjadi merah mukanya saking marahnya. Kemarahan membuat dia kehilangan rasa malunya dan cepat dia memutar kedua pedangnya dan membentak, "Lihat pedangku!"

Akan tetapi Tin Han memperlihatkan siapa dia
yang sesungguhnya. Gerakannya menjadi luar
biasanya cepatnya, tubuhnya berkelebatan di antara dua sinar pedang lawan yang bergulung- gulung. 


Gerakan yang lebih cepat dari pada pedang di tangan lawan
ini membuat dia leluasa
mengelak dan kadang dengan kaki atau tangannya dia menangkis
ke arah pergelangan tangan lawan. 


Thian-te Mo-ong hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Pemuda itu lenyap begitu saja ketika pedangnya membacok atau menusuk dan muncul di samping atau di belakangnya. Dia menyerang dengan membuta dan limapuluh jurus telah lewat tanpa dia mampu menyentuh ujung baju pemuda itu dengan sepasang pedangnya.

Tin Han menggunakan gerakan seperti seekor burung rajawali. Ketika sepasang pedang membacok dengan cara bersilang untuk 
seperti mengguntingnya,
tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan ketika turun, kedua tangannya sudah menyambar ke arah kepala Thian-te Mo-ong. 


Kakek ini terkejut sekali melihat pemuda itu menukik dan mencengkeram ke arah kepalanya. Dia melempar diri ke samping dan sepasang pedangnya membacok. 

Akan tetapi tubuh Tin Han sudah berjungkir balik dengan cepat sekali dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di belakang tubuh Thian-te Moong dan sekali tangannya menampar, pundak kanan kakek itu terkena tamparan sehingga terasa lumpuh dan pedang yang dipegang tangan kanannya, terlepas dan terlempar jauh. 

Kakek itu terkejut dan membalikkan
tubuhnya, pedang kirinya menyambar, menusuk ke arah
dada Tin Han. Pemuda itu menggunakan kedua tangan
menangkap dan menjepit pedang itu, mengerahkan tenaganya dan terdengar bunyi "krekk!" pedang itupun patah menjadi dua potong!

Sebelum kakek itu hilang kagetnya, kaki Thian Han telah mencuat dan menendang, mengenai perut Thian-te Moong dan terjengkanglah kakek itu, lalu tubuhnya terbanting keras ke atas tanah!

Kemenangan itu tidak saja membuat pihak Siang Koan Bhok menjadi terkejut bukan main, akan tetapi juga semua Ke luarga Cia menjadi terkejut, heran dan juga kagum !
Yang amat bergembira adalah Nenek Cia. Nenek ini saking gembiranya sampai melupakan bahwa ia menderita luka dalam yang parah. Ia bangkit berdiri dan berteriak riang. 


"Siang Koan Bhok, pihakmu sekarang kalah. Keadaan kita sama, satu menang dan satu kalah. Apakah pihakmu ada yang hendak maju lagi?" tantangnya. Akan tetapi begitu dia mengeluarkan suara keras ini, tubuhnya limbung dan terhuyung
hampir jatuh. Untung Tin Han cepat merangkulnya dan memapahnya ke bawah pohon.


"Bagus, Tin Han. Engkau tidak percuma menjadi anggauta Keluarga Cia! Lepaskan aku, biarkan aku menonton pertandingan berikutnya,"katanya sambil terengah- engah dan duduk bersila kembali. 


Tin Han membantunya duduk lalu dia bangkit berdiri pula.
Siang Koan Bhok menjadi marah bukan main. Dia maklum bahwa di antara kawannya, tidak ada yang akan dapat menandingi pemuda itu, maka diapun melompat ke depan dan menggoyang dayung bajanya.



Sekarang aku sendiri yang maju! Hayo, siapa berani menghadapiku, majulah!"
Tentu saja di pihak Keluarga Cia tidak ada yang berani maju. Nenek Cia saja kalah oleh Siang Koan Bhok ini, siapa lagi yang akan mampu menandingi " Tin Han menghampiri buntalan pakaian yang digantungkan di cabang pohon, lalu mengambil pedang Pek- kong- kiam dan dihunusnya pedang itu.

"Akulah yang akan menandingimu, Siang Koan Bhok!"katanya dan dia melintangkan pedang Pek- kong-kiam di depan dadanya.


"Bagus. Aku memang mengharapkan engkau yang akan menandingiku agar aku dapat membalaskan kekalahan Thian-te Mo-ong! Cia Tin Han, lihat senjataku!" Siang Koan Bhok lalu menggerakkan dayung bajanya untuk menyerang dan menghantamkannya ke arah kepala Tin Han. Pemuda ini cepat mengelak dan diapun membalas dengan tikaman pedangnya. Siang Koan Bhok menggerakkan dayungnya
menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dengan maksud untuk memukul runtuh pedang itu.


"Trangg..... !" Tampak bunga api berpijar ketika pedang bertemu dayung baja. Kedua senjata itu terpental dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang senjata tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka berdua seimbang! 


Hal ini mengejutkan Siang Koan Bhok. Kalau ada orang, apalagi masih begitu muda, dapat menandingi tenaganya. maka itu adalah hebat sekali. Hampir dia tidak dapat percaya. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu telah menguasai Khong-sim Sin-kang (Tenaga Sakti Hati Kosong) yang amat dahsyat.
Pertandingan itu berlangsung paling seru. Siang Koan Bhok adalah Datuk Timur yang berilmu tinggi, tingkatnya melebihi para datuk lainnya. Ditambah lagi dengan senjata dayungnya yang dahsyat, dia merupakan lawan yang amat 
tangguh dan sukar dikalahkan. 


Akan tetapi, sekali ini dia bertemu dengan Cia Tin Han yang telah menguasai ilmu silat Hek-tiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) dan ilmu tenaga dalam Khong-sim Sin-kang yang dahsyat. Pertandingan itu menjadi hebat, saling serang dan saling berusaha mengalahkan lawan.
Kalau tenaga sin-kang mereka seimbang, tidak demikian dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) mereka. Tin Han yang jauh lebih muda itu memiliki gerakan yang lebih cepat dan inilah keuntungannya. 


Biarpun senjata lawan lebih panjang, namun dengan kecepatan gerakannya, dia dapat mulai mendesak lawan dalam perkelahian jarak dekat. Tin Han bertindak cerdik. Kalau perkelahian itu dilakukan dalam jarak renggang, dialah yang akan mengalami kerugian karena senjata lawan dapat menjangkaunya sedangkan
pedangnya sukar menyentuh lawan. 


Akan tetapi dengan kemenangan gin-kangnya, dia mendesak dalam pertandingan jarak dekat. Pedangnya dapat bergerak leluasa, sebaliknya dayung lawan terlalu panjang untuk pertandingan jarak dekat. Kalau Siang Koan Bhok meloncat mundur untuk mengambil jarak jauh, dengan kecepatan
gerakannya Tin Han sudah mendekatinya lagi dan memaksanya untuk bertanding dalam jarak dekat!


Setelah lewat seratus jurus mereka bertanding, mulailah Siang Koan Bhok terdesak hebat oleh pedang yang sinarnya putih menyilaukan mata itu. Biarpun pertahanan Siang Koan Bhok luar biasa kuatnya, namun dengan senjata
panjangnya harus melakukan perkelahian jarak dekat,
gerakannya tidak leluasa dan beberapa kali hampir saja tubuhnya tersentuh pedang.


"Haiiiitttt..... !" Tin Han mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya menyambar dari atas ke bawah membacok ke arah kepala. Siang Koan Bhok. Cepat gerakan pedang yang menyerang itu sehingga tidak ada lain jalan bagi Siang 
Koan Bhok untuk menghindarkan diri selain memalangkan dayungnya di atas kepala untuk melindungi kepalanya dari bacokan pedang.


"Hyaattt!!" Kesempatan yang sedetik itu cukup bagi Tin Han untuk meng gunakan tangan kirinya dengan jari-jari tangan terbuka melancarkan pukulan dorongan ke arah
dada Siang Koan Bhok yang terbuka karena kedua tangannya memegang dayung yang dilintangkan di atas
kepalanya. 


"Dukk!" Tubuh Siang Koan Bhok yang terkena pukulan dengan tenaga Khong-sim Sin-kang itu seperti layang-layang putus talinya, terhuyung-huyung ke belakang kemudian dia roboh miring di atas tanah, dari mulutnya keluar darah segar. 

Dia telah terluka parah oleh pukulan tangan kiri Tin Han tadi.
Tentu saja Keluarga Cia merasa gembira bukan main.
Dengan kemenangan Tin Han itu berarti kemenangan
mereka semua terhadap rombongan Thian-te Mo-ong yang datang menyerbu itu. 


Sementara itu, melihat kekalahan Siang Koan Bhok, Thian-te Mo-ong menjadi putus harapan dan sambil memapah Siang Koan Bhok, diapun mengajak teman-temannya meninggalkan tempat itu tanpa sepatahpun kata dan mereka semua pergi dengan kepala ditundukkan.
"Bagus, engkau...... engkau telah menyelamatkan nama baik keluarga kita_..... ! kata nenek Cia terengah-engah.
"Mari kita bicara di dalam saja," kata Cia Kun dan diapun membantu ibunya untuk bangkit berdiri dan memapahnya memasuki pondok besar di tengah.


Tin Han juga ikut masuk dan ketika dia memeriksa keadaan neneknya lagi, dia mengerutkan alisnya, Neneknya telah terluka dalam yang amat parah. Nenek itu dengan muka pucat rebah terlentang di pembaringannya, napasnya 
terengah-engah. Biarpun Cia Kun telah meminumkan obat luka dalam, akan tetapi keadaannya masih tetap parah.


"Tin Han. ...... , sebelum mati, aku ingin mendengar .....
dari mu...... bagaimana engkau...... dapat memiliki ......
semua kepandaian itu...... dan bagaimana ketika terjatuh ke jurang itu engkau tidak sampai mati..... " Nenek Cia berkata dengan susah payah karena napasnya tersendat-sendat.


Maklum bahwa keadaan neneknya sudah parah, Tin Han lalu cepat menceritakan keadaan dirinya. "Harap nenek, ayah ibu dan para paman memaafkan aku," katanya: "Aku telah bertemu dengan suhu Bu Beng Lo-jin yang mengajarkan ilmu silat sejak aku kecil, akan tetapi beliau tidak mau namanya disebut. 


Oleh karena itu aku tidak memberitahu kepada siapapun juga. Untuk mempergunakan ilmu yang kupelajari, terpaksa aku mengenakan pakaian dan topeng hitam agar tidak diketahui orang. Ketika aku terkena tendangan nenek dan terjatuh ke dalam jurang. aku tertolong oleh suhu Thai Kek Cai-jin dengan burung rajawali hitamnya. 

Selama beberapa bulan aku dilatih oleh suhu Thai Kek Cai-jin mempelajari dua macam ilmu. Sesudah itu, aku lalu kembali ke dunia ramai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang panglima Kerajaan Mancu yang
ternyata bersekongkol dengan Thian-te Mo-ong. Kerajaan Manchu telah berhasil menarik orang-orang kangouw golongan sesat untuk membantu Kerajaan Mancu menghancurkan para pendekar yang berjiwa patriot. 


Kemudian aku membayangi rombongan Thian-te Mo-ong
yang melakukan serangan terhadap Panglima atau lebih tepat bekas panglima Song Thian Lee. 


Suami isteri itu dikeroyok dan aku membantu mereka sehingga gerombolan itu dapat diusir. Karena aku mendengar dari percakapan antara panglima itu dan Thian-te Moong bahwa mereka akan membasmi Keluarga Cia kalau keluarga kita, tidak mau menjadi antek Mancu, aku lalu membayangi gerombolan itu yang kini diperkuat oleh Siang Koan Bhok. 

Dan setelah melihat nenek dikalahkan Siang Koan Bhok, aku tidak tahan lagi dan segera keluar untuk menandingi mereka."

"Penjajah Mancu keparat! Jadi mereka mempergunakan golongan sesat untuk membasmi para pendekar patriot!"seru Nenek Cia marah.
"Itulah, nek. Golongan sesat adalah orang-orang jahat.


Mereka mau mengerjakan apa saja demi uang, mereka tidak segan untuk mengkhianati bangsa dan tanah air sendiri.
Seperti kukatakan dahulu, kita keliru kalau bergabung dengan mereka, apa lagi dengan orang-orang Jepang dan para pemberontak Mancu sendiri. 


Perjuangan kita haruslah suci dan bersih, mengandalkan kekuatan rakyat jelata untuk menentang dan mengusir penjajah Mancu. Sekarang yang menjadi beng-cu kabarnya adalah seorang bernama Ouw
Kwan Lok murid Siang Koan Bhok dan berpusat di Pulau Naga. Mungkin sekali mereka akan mempengaruhi atau mencoba mempengaruhi seluruh dunia kang-ouw agar suka menjadi kaki tangan penguasa Mancu. 


Setidaknya mereka tentu akan menarik semua tokoh sesat melalui Beng-cu yang baru, dan hal ini merupakan bahaya besar karena kekuatan mereka tentu besar sekali. Dan mereka akan mencoba untuk membasmi para pendekar yang tidak mau bekerja sama."

"Aihh.... selama ini..... aku..... telah bodoh...... seperti mimpi buruk. Aku hanya berpendapat bahwa perjuangan harus dilakukan dengan menghimpun semua tenaga. Tidak tahu bahwa para tokoh kang-ouw yang sesat itu mudah saja berkhianat seperti itu. 


Aku..... aku menyesal sekali..... apa lagi kalau kuingat bahwa aku nyaris telah membunuh cucu sendiri yang ternyata memiliki pendirian yang lebih luhur dan bersih...... " Nenek itu terbatuk-batuk dan darah keluar dari mulutnya. Keadaannya sudah parah sekali.

Ia lalu menggapai puteranya, Cia Kun, untuk mendekat, juga menggapai Cia Hok dan Cia Bhok. "Dengarkan kalian bertiga. ...... mulai saat ini..... kalian harus berubah sikap.....


Jangan lagi bekerja sama dengan kaum sesat atau orang asing. Tin Han benar, ikutilah petunjuknya..... berjuanglah dengan jalan bersih...... mengandalkan kekuatan para pendekar dan rakyat jelata.. Kuserahkan kepada Tin Han untuk memimpin kalian...... " Nenek itu bicara dengan suara lirih dan napas satu-satu, kemudian setelah habis bicara, ia terkulai.


Tiga orang puteranya menggoyang-goyang tubuhnya, akan tetapi nenek itu sudah tidak dapat sadar kembali. Ia meninggal dunia dalam keadaan terluka parah, meninggal
dalam rubungan keluarga. Semua orang menangisi kematiannya. 

Seorang nenek yang berhati sekeras baja, yang tetap membenci penjajah Mancu sampai ke tulang sumsumnya.

Setelah selesai mengubur jenazah Nenek Cia sebagaimana mestinya, keluarga itu berkumpul dan bercakap-cakap.
"Ayah, dan ibu dan kedua paman. Kalau menurut pendapatku sebaiknya kalau kita meninggalkan tempat ini.
Tempat ini sudah diketahui musuh, dan sewaktu-waktu mereka tentu akan datang dan menggempur kita. Kalau mereka membawa pasukan besar, kita tentu tidak akan
mampu melawan dan tidak sempat lari menyelamatkan diri.


Karena pemerintah sudah menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak yang harus dibasmi, maka mulai sekarang kita menjadi buruan pemerintah. Dan kukira amat tidak menguntungkan kalau kita melakukan perjalanan
bersama. Akan lebih mudah di ketahui musuh. 


Sebaiknya kita berpencaran dan melakukan tugas kita seperti sebagaimana mestinya, sebagaimana pendekar yang menentang kejahatan dan penindasan. Kita musuhi orang-orang jahat, kita menentang pembesar yang sewenang-
wenang sambil menunggu saatnya yang baik untuk membantu gerakan rakyat yang hendak menumbangkan
kekuasaan pemerintah penjajah Mancu."

Para orang tua itu mengangguk setuju. "Engkau benar, Tin Han," kata Cia Kun sambil memandang kepada
puteranya yang kedua
itu dengan kagum. "Memang
sebaiknya kita berpencar sehingga lebih leluasa kita bergerak dan tidak mudah didapatkan orang-orangnya
pemerintah. Aku akan pergi berdua dengan ibumu. Tin Siong sebaiknya pergi seorang diri untuk menambah pengalaman.


Adik Cia Hok dan Cia Bhok boleh memilih jalannya sendiri-sendiri atau pergi berdua. Dan engkau juga mengambil jalanmu sendiri."
"Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat bertemu kembali?" kata Tin Siong kepada ayahnya.

"Kita jadikan kota Hiu-cu di kaki bukit Lo-sian, tempat tinggal kita dahulu, menjadi tempat pertemuan. 

Setiap tahun, di waktu Sin-cia (Tahun Baru Im lek) kita datang ke sana dan berkumpul."
"Itu baik sekali," kata Tin Han gembira. "Dengan demikian setiap tahun kita dapat saling bertemu dan
berkumpul di sana. Selain itu, harap ayah, ibu, para paman dan kakak Tin Siong ketahui bahwa saya biasanya
melakukan tugas pendekar dengan bertopeng dan berpakaian hitam, dan saya memakai nama Hek-tiauw Enghiong. Kalau ada yang mendengar nama itu di suatu tempat, boleh menjumpaiku."


"Baik, Tin Han. Dan sekarang sebaiknya kita pergi dengan cepat sebelum tempat ini diserbu lagi."
Mereka saling mengucapkan selamat berpisah dan menuruni Bukit Cemara dengan mengambil jalan masing-masing. 



          **********


Lee Cin meninggalkan Hong-san. Kepada orang tuanya ia hanya
mengatakan bahwa ia ingin merantau untuk meluaskan pengalaman dan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. 


Tentu saja Souw Tek Bun dan Ang-tok Mo-li Bu Siang dapat memaklumi keinginan Lee Cin ini dan merekapun tidak menahannya. Lee Cin meninggalkan ayah ibunya dengan hati tenang dan lega.

Ayahnya telah berkumpul kembali dengan ibunya dan ia merasa berbahagia sekali. Ia maklum bahwa ibunya dahulu hidup sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi ia percaya bahwa di bawah bimbingan ayahnya, ibunya akan kembali ke jalan benar. 


Ia sendiri juga telah menyadari bahwa hidupnya dahulu ketika ia masih berada di bawah
bimbingan ibunya, terisi penuh keganasan dan keliaran.


Akan tetapi setelah ia hidup dengan ayah kandungnya, ia tahu mana jalan yang benar dan mana yang tidak. Apa lagi setelah ia bertemu dan bergaul dengan Thian Lee, ia
mendapatkan contoh yang lebih baik lagi dan kini ia sama sekali telah meninggalkan wataknya yang keras dan ganas dan bersikap sebagai seorang pendekar wanita pembela kebenaran dan keadilan.


Lee Cin mengadakan perjalanan menuruni bukit Hong-
san yang tinggi. Ia berjalan seenaknya seorang diri, tampak sebagai seorang dara yang lincah dan berwajah cantik jelita dan riang. Pakaiannya berkembang, biarpun potongannya sederhana namun bersih dan pantas sekali ia memakainya.


Mukanya yang bulat telur itu tampak berseri, mulutnya yang kecil mungil dan berbibir merah membasah tampak tersenyum. Hidungnya yang mancung menjungat ke atas, tampak lucu sekali, apa lagi di kanan kiri pipinya terhias lesung pipit yang menambah manisnya wajah. 


Sepasang matanya tajam mencorong, memandang dunia dengan
penuh semangat hidup. Pedang Ang-coa-kiam yang tipis itu 
melingkari pinggangnya, dipergunakan sebagai sabuk dan suling ularnya terselip di pinggangnya.


Setelah hari menjelang sore, tibalah ia di sebuah dusun yang berada di kaki bukit Hong-san. Ketika ia melewati dusun yang cukup besar itu, ia mendengar suara tangis.
Sayup-sayup terdengar tangis itu dan ketika ia memperhatikan, tangis itu terdengar dari sebuah rumah yang dirias dengan kertas-kertas dan kain berwarna, seperti biasanya kalau orang dusun mengadakan perayaan untuk suatu keperluan. 


Tentu saja ia merasa heran. Orang yang mengadakan perayaan, biasanya bergembira, akan tetapi mengapa dari rumah yang sedang mengadakan perayaan itu terdengar tangis yang demikian menyedihkan" Ia merasa curiga dan cepat ia melompat naik ke atas wuwungan rumah dari mana terdengar tangis itu.

Ia mengintai ke dalam sebuah kamar dan di kamar itulah melihat seorang gadis sedang menangis tersedu-sedu dan seorang wanita setengah tua yang berusaha menghiburnya.


"Siok Hwa, sudahlah jangan menangis. Apa yang
kautangisi" Engkau akan menjadi isteri kepala dusun, walaupun hanya isteri ke tiga. Suamimu kaya raya,
berpengaruh dan besar kekuasaannya. Kalau engkau sudah menjadi isterinya, apa saja yang kauinginkan akan dapat terlaksana."

Dengan terisak-isak, gadis yang bernama Siok Hwa itu merintih dan mengeluh. "Ibu, aku tidak suka menjadi isterinya. Aku tidak sudi....!"
"Hushh, apa engkau hendak membikin celaka ayah
ibumu" Ayahmu mempunyai hutang yang tak terhitung besarnya dari Lurah Kwa, dan sudah menerima banyak hadiah darinya. 


Siapa lagi yang akan mampu membalas kebaikannya kalau bukan engkau anak kami" Apa engkau ingin melihat ayahmu mati dipukuli oleh para tukang pukul Lurah Kwa?"

Gadis itu menangis semakin sedih dan mendengar ini,tergeraklah hati Lee Cin. Ia meloncat turun dan membuka jendela kamar itu dari luar, lalu melompat masuk. Tentu saja ibu dan anak itu terkejut bukan main melihat ada seorang gadis melompat masuk ke dalam kamar mereka.


" Jangan kaget, bibi. Aku datang untuk menolong kalian!"
Ibu itu seorang wanita berusia empatpuluh tahunan dan ia memandang kepada Lee Cin dengan alis berkerut.
Bagaimana seorang gadis akan dapat menolong mereka"
"Nona, siapakah engkau dan bagaimana engkau akan dapat menolong kami?"


"Aku akan menolong kalian, akan tetapi ceritakan dulu apa yang menyebabkan adik ini menangis demikian sedihnya. Adik yang baik, maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa engkau menangis?"
Gadis yang usianya sekitar delapan belas tahun itu
menghentikan isaknya dan ia memandang kepada Lee Cin dengan penuh harapan.


 "Enci yang baik, aku menangis sedih karena hendak dipaksa harus menikah dengan kepala dusun."
"Kenapa menangis" Bukankah menikah merupakan peristiwa yang membahagiakan?"
"Bagaimana aku dapat berbahagia" Aku tidak suka menjadi isteri kepala dusun itu. Aku tidak sudi menjadi isterinya yang ke tiga."


"Bibi, kalau anakmu tidak mau dikawinkan, mengapa engkau memaksanya" "


"Aduh, apa yang dapat kami lakukan, nona" Kami semua terpaksa dan tidak dapat menolak. Bagaimana kami dapat menolaknya" Hutang kami kepada kepala dusun sudah
bertumpuk-tumpuk. 


Ketika musim kemarau panjang, ketika terjadi banjir dan ketika kami kematian seorang anak laki-laki kami, terpaksa kami terlibat hutang yang besar kepada kepala dusun. 

Hutang itu setelah bebeberapa tahun menjadi berlipat ganda dengan bunga-bunganya dan kami sama
sekali tidak mungkin dapat membayarnya kembali. 


Kemudian kepala dusun menawarkan jasa baiknya. Dia
akan membebaskan semua hutang kami bahkan memberi hadiah berupa sawah kalau kami menyetujui permintaannya, yaitu mengangkat anak kami Siok Hwa ini menjadi isterinya yang ke tiga. 


Kami tidak mungkin dapat menolak pinangannya itu, nona. Bagaimana nona dapat menolong kami dalam hal ini?"
"Jangan khawatir, bibi. Aku akan menolong kalian.
Sekarang panggil dulu ke sini suamimu, aku ingin bicara dengannya."


Melihat sikap Lee Cin yang demikian tegas, wanita itu terkesan juga dan ia segera keluar dari dalam kamar untuk memanggil suaminya.
Lee Cin duduk di kursi depan tempat tidur di mana Siok Hwa duduk dan ia berkata menghibur, "Tenanglah dan percayalah, engkau tidak akan dipaksa menjadi isteri ke tiga kepala dusun."


"Akan tetapi, bagaimana....... ?"
"Serahkan saja kepadaku. Biarkan aku bicara dulu dengan ayahmu," kata Lee Cin sambil memandang wajah calon pengantin yang manis itu.
Pintu kamar terbuka dari luar dan masuklah seorang laki-laki setengah tua bersama wanita tadi. Laki-laki itu mengerutkan alisnya ketika melihat Lee Cin dan segera dia bertanya dengan suara tidak yakin.

"Siapakah engkau, nona dan apa maumu masuk ke
rumah kami?"
"Siapa aku tidak penting diketahui paman. Yang penting aku tertarik oleh suara tangis anakmu dan ingin menolong kalian. Sebetulnya bagaimana urusanmu dengan kepala
dusun sehingga engkau terpaksa hendak menyerahkan
anakmu kepadanya?"


Laki-laki itu menghela napas. "Nasib kami buruk sekali.
Malapetaka karena musim kering, lalu banjir dan kematian anak kami membuat kami berhutang uang banyak sekali kepada kepala dusun Kwa. Sekarang hutang itu telah
bertumpuk dan ketika dia meminang anak perempuan kami, bagaimana kami dapat menolaknya" Utang kami akan dibebaskan dan di samping itu, kami mendapatkan hadiah uang dan tanah. 


Dan selain itu, sebagai isteri ke tiga kepala dusun, anak kami tentu akan hidup serba terhormat dan kecukupan. Mengapa mesti ditolak?"
"Akan tetapi anakmu tidak suka di peristeri kepala dusun itu. Ia yang akan menjalani, maka tidak boleh kalian hendak memaksanya."


"Nona, engkau tidak tahu. Kalau kami menerimanya, keadaan kami semua selamat. Sebaliknya kalau kami menolak, hutang kami akan ditagihnya dan kalau kami tidak dapat membayarnya, para tukang pukul kepala dusun tentu akan
memukuli aku sampai mati. Apa yang dapat kulakukan?"


"Tenangkan hatimu, paman. Aku akan menolongmu.
Kapan adik Siok Hwa ini akan di kirimkan kepada kepala dusun ?"
"Sore ini juga kami harus mengantarnya dengan joli ke rumah kepala dusun. Kami sedang membujuk-bujuknya untuk suka berdandan sebagai seorang mempelai wanita."


"Sekarang begini saja, paman. Suruh adik ini bersembunyi dan aku akan menggantikannya duduk dalam joli. Biar mereka membawa aku ke rumah kepala dusun!"

Suami isteri itu terbelalak, hampir tidak percaya akan kata-kata Lee Cin. Gadis itu demikian cantik jelita, jauh lebih cantik dari pada anak perempuan mereka.
"Apakah engkau ingin menjadi isteri ke tiga kepala dusun, nona?" tanya ayah Siok Hwa.


"Hemm, siapa sudi " Akan tetapi aku akan menggantikan tempat adik ini dan aku yang akan memaksa kepala dusun untuk mengurungkan niatnya."


"Akan tetapi, kalau diurungkan tentu dia akan menggunakan kekerasan untuk menagih hutang-hutang
kami" " Jangan khawatir. Dia tidak akan berani lagi menagih hutangmu. 


Sekarang, mana pakaian pengantinnya " Biar kupakai di luar pakaianku agar lebih mudah aku menyamar sebagai adik Siok Hwa."
Suami isteri itu masih khawatir, akan tetapi mereka menurut segera pakaian pengantin dikenakan pada Lee Cin, di pakai diluar pakaiannya sendiri dan juga kepalanya ditutup kerudung yang menyembunyikan wajahnya.


Setelah itu, joli dan pengiring yang dikirim kepala dusun datang. Pengantin wanita lalu dituntun keluar dan masuk ke dalam joli. Musik dipukul dan dimainkan di sepanjang jalan sehingga iring-iringan pengantin itu menarik perhatian banyak orang. 


Bahkan banyak anak-anak mengikuti rombongan itu yang menuju ke rumah kepala dusun Kwa. Di rumah kepala dusun ini juga telah diadakan persiapan untuk menyambut mempelai wanita. 

Rumah kepala dusun dirias dengan meriah dan para tamu sudah memenuhi ruangan depan di mana terdapat meja-meja dan kursi.

Ketika rombongan pengantin wanita tiba, pengantin wanita dituntun keluar dari joli dan dibawa duduk ke kursi pengantin yang sudah tersedia. 


Kepala dusun Kwa sebagai pengantin pria juga sudah menyambut dan duduk di samping pengantin wanita yang menundukkan mukanya
yang berkerudung.


Pesta dimulai dan pengantin wanita lalu dibimbing masuk ke dalam sebuah kamar pengantin yang berbau semerbak harum karena sejak tadi sudah diberi asap hio yang harum. Pengantin pria menemani para tamu makan minum di luar. 


Akhirnya saat yang dinanti-nanti Lee Cin tiba. Para tamu bubaran dan meninggalkan rumah itu. Kepala dusun Kwa, pengantin pria itu segera memasuki kamar dan mengunci pintunya dari dalam.

"Nah, sekarang kita berdua saja, manis, heh-heh-heh!"
Lurah Kwa lalu menghampiri pengantin wanita yang duduk di tepi pembaringan. Dijulurkan tangannya untuk membuka kerudung muka pengantin wanita sambil tersenyum lebar.


Penutup muka itu dibuka, kepala dusun Kwa memandang
wajah mempelai dan dia terbelalak kaget. Ini bukan Siok Hwa walaupun wajahnya bahkan lebih cantik dari Siok Kwa!


"Kau ....... siapakah?" tanya kepala dusun Kwa, akan tetapi hatinya tidak kecewa bahkan tegang gembira mendapat kenyataan betapa cantik jelitanya pengantin wanita itu.
Lee Cin bangkit dan sekali tangannya menampar, pipi kanan Lurah Kwa sudah terkena tamparannya.


"Plakk!" tubuh Lurah Kwa terpelanting dan terputar saking kerasnya tamparan itu.
"Aduh........ ahhhh....... !" Akan tetapi sebelum dia sempat berteriak,
Lee Cin sudah menyusulkan totokan jari tangannya yang membuat lurah Kwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi. 


Akan tetapi dia yang biasa
memerintah dan memperlakukan orang sesuka hatinya,masih merasa penasaran. Dia bangkit berdiri dan biarpun dia sudah tidak mampu bersuara, dia masih dapat menggerakkan kaki tangannya dan dia mencoba memukul wanita yang berani memukulnya itu.


Akan tetapi sebelum pukulannya mengenai Lee Cin, gadis itu sudah memapakinya dengan sebuah tendangan yang mengenai perut yang agak gendut itu dan kembali tubuh lurah Kwa terjengkang dan terbanting keras ke atas lantai.


Darah bercucuran dari bibirnya yang pecah-pecah dan dia meringis karena merasa perutnya mendadak menjadi mulas setelah terkena tendangan tadi.


Setelah mendapatkan hajaran keras, Lalu Lurah Kwa tahu bahwa wanita ini bukan orang sembarangan. Apa lagi ketika Lee Cin menyambar sebatang pedang milik Lurah Kwa yang tergantung di dinding lalu menempelkan pedang itu di lehernya. 


Wajah Lurah Kwa menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut! Karena dia masih belum dapat mengeluarkan suara, dia hanya membentur- benturkan kepalanya di lantai dan mulutnya mengeluarkan suara ah- eh- uh-uh seperti seorang gagu.

"Lurah Kwa pemeras keparat! Aku akan memenggal kepalamu di sini juga!" kata Lee Cin sambil membebaskan totokannya dengan jari tangan kiri. Lurah itu dapat
mengeluarkan suara lagi dan dia segera meratap sambil berlutut.
"Ampunkan saya, lihiap. Ampunkan nyawa saya........
apakah yang lihiap kehendaki dari saya?"


"Sebetulnya aku menghendaki nyawamu untuk menebus guna perbuatanmu yang kotor! Engkau mempergunakan kekuasaan dan kekayaanmu untuk menindas rakyat di dusun ini. 


Engkau tidak menggunakan kekayaanmu untuk menolong sesama manusia, sebaliknya menggunakan uangmu untuk menipu mereka, memberi pinjaman dengan bunga besar dan kalau mereka tidak mampu membayar lagi, engkau minta mereka menyerahkan anak gadisnya atau
mungkin juga sawah ladang mereka! 


Engkau juga memelihara banyak tukang pukul untuk memaksakan
kehendakmu kepada rakyat. Orang macam engkau ini tidak pantas menjadi kepala dusun dan sepantasnya dihukum mati!" "Ah, ampunkan saya, lihiap. Saya tidak berani lagi..... "


Lurah Kwa meratap ketakutan karena pedang itu menempel ketat
di lehernya dan dia sudah merasa ngeri membayangkan kepalanya akan terlepas dari tubuhnya.


"Engkau harus membebaskan Siok Hwa dan tidak menuntut kembalinya hutang orang tuanya kepadamu!


Awas, kalau engkau masih melanjutkan penekananmu
kepada mereka, aku akan datang untuk mengambil kepalamu!"


"Baik, lihiap...... Saya..... tidak..... akan mengganggu mereka lagi."
"Dan tidak mengganggu para penduduk lainnya. Mulai sekarang, bubarkan semua tukang pukulmu dan jadilah kepala dusun yang baik, yang memperhatikan kepentingan pendudukmu. Mengerti?"


"Baik,. lihiap."
"Nah, sekarang kumaafkan engkau dan kepada semua penduduk katakanlah bahwa engkau tidak jadi menikah dengan Siok Hwa."


"Baik, lihiap...."
Lee Cin lalu membuka daun pintu kamar itu lalu melangkah keluar. Akan tetapi baru saja ia melangkah, tempat itu telah penuh dengan belasan orang laki-laki.


Mereka adalah tukang-tukang pukul Lurah Kwa yang merasa curiga ketika mendengar suara-suara yang tidak wajar dari dalam kamar pengantin.

Ketika mereka melihat seorang wanita keluar membawa
pedang, mereka lalu cepat mengepungnya dan seorang di antara mereka membentak.


"Siapakah engkau ?"
Lurah Kwa muncul di pintu dan melihat betapa Lee Cin sudah dikepung para jagoannya, cepat berseru, "Tangkap wanita pengacau itu!"
Para tukang pukul itu mendengar seruan Lurah Kwa lain menggerakkan golok mereka mengancam Lee Cin. "Menyerah kau sebelum kami mengambil tindakan kekerasan!"


Lee Cin tersenyum mengejek. "Anjing- anjing macam kalian ini bisanya hanya menggonggong dan menggigit orang-orang yang lemah tak berdaya. Majulah kalau hendak menangkap aku!"


Dua orang tukang pukul yang memandang randah gadis
cantik itu menubruk dari belakang untuk menangkap kedua lengan Lee Cin. Akan tetapi Lee Cin mendengar gerakan mereka dari belakang dan sekali memutar tubuhnya,
kakinya telah mencuat dan menyambar ke arah mereka.


Dua orang tukang pukul itu berteriak dan tubuh mereka terjengkang dan terbanting ke belakang. Terkejutlah para tukang pukul itu dan mereka menggunakan golok mereka untuk menyerang Lee Cin. 


Akan tetapi Lee Cin memutar pedang rampasannya tadi dan terdengar suara berdentang-dentang ketika pedangnya menangkis semua golok itu dan banyak golok terlepas dari pegangan para pengeroyok dan terlempar ke kanan kiri ketika ditangkis pedang. 

Tenaga sinkang yang terkandung dalam pedang di tangan Lee Cin
terlampau kuat bagi mereka. Lee Cin tidak berhenti sampai di situ saja, tangan kirinya dan kedua kakinya silih berganti bergerak membagi tamparan dan tendangan. 


Dalam waktu singkat saja belasan orang pengeroyok itu jatuh malang melintang dan mengaduh-aduh tidak dapat melanjutkan
pengeroyokan mereka.


Melihat betapa cepatnya belasan orang anak buahnya roboh, Lurah Kwa menjadi ketakutan dan dia segera melarikan diri. Akan tetapi Lee Cin menggerakkan pedangnya dan pedang itu meluncur ke arah kaki Lurah Kwa.


"Singggg..... ..... capp..... .!" Lurah Kwa terguling roboh dengan paha kiri tertusuk pedang sampai tembus.
"Aduh ..... ampun, lihiap....!" Dia merintih ketakutan melihat Lee Cin menghampirinya. Gadis itu mencabut pedang yang menancap di paha Lurah Kwa.


"Jahanam kau! Baru saja berjanji akan mengubah kelakuanmu, engkau malah mengerahkan anjing-anjingmu untuk mengeroyokku. Engkau memang layak mampus!" Lee Cin mengelebatkan di depan mata Lurah.


"Ampun. ..... , ampun, lihiap... saya.... saya.... tidak berani lagi...."


 Lurah Kwa menangis dan melihat keadaan Lurah Kwa kedua orang isterinya dan anak-anaknya yang sudah bermunculan mendengar suara ribut-ribut, ikut pula berlutut mintakan ampun suami dan ayah mereka.

"Hemm, melihat keluargamu, aku masih suka mengampunimu. Akan terapi kalau lain waktu engkau masih bermain gila mengandalkan kekuasaan dan uangmu, aku
tentu akan datang menabas kepalamu! 


Sekarang sebagai pelajaran, rasakan ini!" Pedang itu berkelebat dan Lurah Kwa menjerit kesakitan sambil mendekap telinga kirinya.
Daun telinganya yang kiri telah buntung terbabat pedang itu. Lee Cin lalu melempar pedang itu yang menancap sampai setengahnya di daun pintu.


"Ingat, kata-kataku, mulai besok bubarkan semua anjing peliharaanmu ini dan mulailah memimpin rakyat dusun ini dengan baik dan tidak menggunakan kekerasan!" Setelah berkata demi kian Lee Cin lain meninggalkan dusun itu dan kembali ke rumah Siok Hwa.

Siok Hwa dan kedua orang tuanya yang menanti dengan jantung berdebar tegang dan khawatir, begitu melihat Lee Cin kembali seorang diri segera menghujani dengan pertanyaan. Lee Cin 

tersenyum. 

"Beres, mulai sekarang kalian hiduplah dengan tenang dan jangan takut kepada Lurah Kwa. Dia sekarang menjadi seorang Lurah yang baik.
Hutangmu telah bebas dan kalian boleh bekerja lagi dengan sebaiknya. 


Hanya kuanjurkan kepadamu, sebaiknya kalian segera kawinkan anak perempuan kalian ini dengan pemuda yang disukainya, agar di belakang hari tidak ada lagi orang yang mengganggunya."

Suami isteri petani itu dan Siok Hwa segera menjatuhkan diri berlutut di depan Lee Cin. Lee Cin membangunkan mereka.
"Tidak perlu begitu. Aku hanya melakukan tugasku dan sebaliknya aku minta tolong kepada kalian agar malam ini aku diperbolehkan bermalam di sini."


Tentu saja keluarga petani itu setuju bahkan merasa girang sekali. Akan tetapi Lee Cin tidak ingin merepotkan mereka dan minta tidur sekamar dengan Siok Hwa.


Setelah berdua saja di dalam kamar, Lee Cin bercakap-cakap lebih dulu dengan Siok Hwa sebelum tidur. "Adik Siok Hwa, kenapa engkau tidak mau dijadikan isteri ke tiga Lurah Kwa" Kalau aku tidak salah, banyak gadis yang ingin dijadikan isteri kepala seorang kepala dusun yang kaya dan berkuasa. Mengapa engkau tidak mau?"


"Enci Lee Cin, bagaimana aku dapat menjadi seorang isteri dari yang tidak kusuka" Menjadi isterinya berarti bahwa selama hidupku aku harus hidup bersamanya.
Bagaimana mungkin selama hidupku aku dapat hidup disamping seorang yang aku tidak suka?"

"Jadi engkau hanya mau dijodohkan dengan seorang pria yangkausukai?"
Wajah Siok Hwa yang manis itu menjadi kemerahan.
"Tentu saja, enci Lee Cin. Apakah engkau tidak berpikir demikian juga" 


Setelah menikah, aku harus berpisah dari ayah ibuku yang selalu mencintaku, dan hidup di samping seorang laki-laki lain yang sama sekali asing bagiku. Kalau aku tidak menyukai laki-laki itu, bagaimana aku dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun di sampingnya?"

Lee Cm tersenyum dan tidak banyak bertanya lagi. Akan tetapi jawaban Siok Hwa itu sama dengan suara hatinya. Ia sendiri tidak akan sudi diperisteri seorang pria yang tidak disukanya, tidak dicintanya. 


Ingatan ini langsung saja mengingatkan ia akan pria yang dicintanya, yaitu Tin Han dan hatinya seperti ditusuk rasanya. Tin Han telah lenyap, bagaikan ditelan bumi, entah masih hidup ataukah sudah mati. 

"Han-ko," pikirnya, "kalau engkau masih hidup, betapa inginku untuk berjumpa denganmu, sebaliknya kalau engkau sudah mati, akupun ingin melihat kuburmu. Betapa rindu hatiku kepadamu.

" Ia mengeluh dalam hatinya dan malam itu ia hampir tidak dapat tidur pulas, penuh dengan mimpi buruk tentang Tin Han.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lee Cin sudah terbangun dan ia lalu berpamit dari Siok Hwa dan ayah ibunya. Mereka ingin menahannya karena takut kepada
Lurah Kwa, akan tetapi Lee Cin meyakinkan hati mereka bahwa Lurah Kwa tidak mungkin akan mengganggunya lagi.


"Aku yakin bahwa mulai malam tadi, Lurah Kwa sudah bertaubat atas semua kelakuannya yang lalu dan kini dia menjadi seorang kepala dusun yang baik. Percayalah
kepadaku," demikian Lee Cin menghibur mereka dan ia lalu melanjutkan perjalanannya meninggalkan dusun itu.


          **********



Lee Cin tiba di kota Liok-bun yang cukup ramai. Ia bermaksud untuk pergi ke Bukit Lo-sian, untuk mencari kabar tentang Tin Han. 


Siapa tahu pemuda itu masih hidup dan sudah pulang ke tempat yang dulu menjadi tempat tinggal keluarga Cia itu, yalah di kota Hiu-cu di kaki bukit Lo-sian. 

Dalam perjalanannya menuju ke bukit Lo-sian, ia melewati kota Liok-bun dan mengambil keputusan untuk melihat-lihat kota itu dan bermalam selama satu dua malam di tempat itu.

Ia menyewa sebuah kamar di rumah penginapan merangkap rumah makan "Hok-tiam" dan setelah menaruh buntalan pakaiannya di dalam kamar, ia lalu keluar dan memasuki rumah makan yang merupakan bagian depan dari rumah penginapan itu.


Selagi ia duduk menanti masakan yang dipesannya, ia melihat dua orang berpakaian pengemis serba hitam memasuki rumah makan itu. Seorang pelayan segera
menyambutnya dengan wajah tidak senang.


"Hei, kalian berdua! Kalau hendak minta sedekah jangan memasuki rumah makan, tunggu saja di luar nanti kumintakan kepada juragan kami. Jangan masuk rumah
makan, kalian hanya menimbulkan jijik kepada para tamu kami! 


Harap keluar!"
Lee Cin memperhatikan dua orang pengemis itu. Pakaian mereka serba hitam penuh tambalan, namun tampak bersih.
Usia mereka sekitar limapuluh tahun dan di punggung masing-masing, mereka menggendong tiga buntalan yang entah berisi apa.


Ketika pelayan itu mendorong-dorong mereka menyuruh mereka keluar, dua orang pengemis itu kelihatan tenang saja dan seorang di antara mereka berkata kepada pelayan rumah makan itu. "Kami hendak bertemu dengan juragan 
kalian, beritahukan bahwa kami datang dengan urusan penting." 


"Tidak bisa, juragan kami tidak ada waktu untuk bertemu dengan para pengemis. Kalau untuk memberi
sumbangan, cukup kami yang melakukannya. Keluarlah atau terpaksa aku akan menyeret kalian keluar!" kata pula pelayan yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat itu.


"Hemm, kalau belum bertemu dengan pemilik rumah makan ini, kami tidak mau keluar," kata pengemis yang tubuhnya tinggi kurus, suaranya tenang sekali.
"Apa! Kalian mau nekat?" Berkata demikian, pelayan rumah makan itu menangkap lengan dua orang pengemis itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia terbelalak dan tidak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi. 


Pelayan itu berdiri seperti sebuah patung, tidak mampu bergerak dan tidak mampu bersuara.
Lee Cin yang memperhatikan mereka, melihat betapa
pengemis yang bertubuh pendek berkulit hitam tadi menggerakkan jari tangannya menotok sehingga pelayan itu tidak mampu bergerak lagi. 


Cara menotok pengemis itu cukup lihai dan teringatlah ia akan berita yang pernah didengarnya bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah
perkumpulan pengemis yang terkenal, yaitu Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Menurut apa yang
pernah didengarnya, Hek I Kai-pang dipimpin oleh tokoh-tokoh pengemis yang lihai ilmu silatnya. 


Perkumpulan pengemis itu dipimpin oleh ketuanya yang dikenal sebagai Hek I Kai-pang (Ketua Perkum pulan Pengemis Baju Hitam) dan ketua ini mempunyai beberapa orang pembantu yang dapat diketahui tingkatnya melihat banyaknya buntalan yang digendongnya. 

Dua orang pengemis itu menggendong tiga buntalan, berarti mereka adalah tokoh-tokoh Hek I Kaipang bertingkat tiga. Lee Cin tertarik sekali. Melihat cara pengemis itu menotok, ia dapat mengetahui bahwa pengemis itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.

 Kalau mereka yang bertingkat tiga saja seperti itu, dapat dibayangkan betapa lihainya mereka yang bertingkat satu atau lebih lagi ketuanya!
Pengemis tinggi kurus menepuk pundak pelayan itu
sambil berkata, "Sobat, harap laporkan kepada majikanmu bahwa kami datang untuk bertemu dan bicara."


Tepukan pada pundak itu membebaskan totokan tadi
dan sekarang si pelayan yang telah merasakan totokan tadi, dengan cepat membungkuk dan mengangguk lalu pergi
masuk ke dalam untuk melapor kepada majikannya.
Lee Cin terus mengikuti semua itu dengan pandang matanya. Demikian cepat gerakan menotok dan membebaskan tadi sehingga kejadian itu tidak tampak oleh tamu lain.


Tak lama kemudian, pemilik rumah makan muncul dan melihat dua orang pengemis itu, dia lalu memberi isyarat agar mereka berdua memasuki kantornya di depan. Agaknya majikan ini sudah tahu dengan siapa dia berhadapan dan melayaninya dengan baik.


Lee Cin cepat memakan hidangannya yang telah
disediakan. Ia cepat menyelesaikan makannya dan ketika melihat dua orang pengemis tadi keluar lagi sambil membawa buntalan kain kuning, ia segera membayar harga makanan dan diam-diam membayangi mereka. 


Ia menjadi tertarik sekali dan ingin mengetahui apa yang akan
dilakukan dua orang tokoh Hek I Kai-pang itu. Dua orang pengemis itu agaknya mengumpulkan sumbangan dari para pemilik toko dan rumah penginapan serta rumah makan dan sumbangan-sumbangan itu telah mereka simpan di dalam tiga buntalan yang mereka gendong.

Melihat dua orang pengemis itu ke luar dari kota Liok-bun, Lee Cin terus mengikuti mereka. Mereka menuju ke sebuah bukit dan segera memasuki hutan di bukit itu. Lee Cin merasa heran, akan tetapi membayangi terus. 

Akhirnya dua orang pengemis itu tiba di tengah hutan dan di situ berdiri banyak pondok-pondok sederhana. Di depan pondok-pondok itu terdapat sebuah lapangan rumput yang luas dan di situ telah berkumpul banyak pengemis. 

Mereka itu terdiri dari bermacam tingkat, ada yang menggendong lima
buntalan di punggung, ada yang empat, tiga, dua dan satu.


Hanya ada tiga orang pengemis yang menggendong dua buntalan dan yang menggendong satu buntalan saja hanya ada seorang. 


Orang ini merupakan seorang kakek yang usianya sudah enam puluh lebih, tubuhnya juga tinggi kurus dan rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi wajah dan sikapnya masih tampak segar dan gesit.

Pengemis ini duduk di atas sebuah bangku bambu sedangkan di depannya dan sekitarnya berkumpul hampir limapuluh orang pengemis berpakaian serba hitam.


Dengan hati-hati Lee Cin menyusup dan menyelinap di antara batang pohon dan semak belukar dan mengintai dari jarak yang tidak terlalu jauh sehingga bukan saja ia dapat menonton apa yang akan terjadi di lapangan rumput itu, namun juga terdengar apa yang akan dibicarakan orang.


Dua orang pengemis tingkat tiga tadi lalu datang menghadap pengemis bertingkat satu dan melaporkan
bahwa mereka telah berhasil mengumpulkan sumbangan
dan mereka mengeluarkan buntalan-buntalan kecil dari gendongan mereka, lalu menyerahkan kep.....



RAJAWALI HITAM JILID 05



ada pengemis tingkat satu. "Bagus, kini sudah terkumpul cukup dana untuk mengadakan pesta menyambutan para tamu yang hendak mengunjungi kita," terdengar pengemis tingkat satu berkata,"Pang- cu (Ketua) kita tentu akan girang melihat hasilnya.

Akan tetapi sekali lagi kutanyakan kepada kalian seperti yang juga kutanyakan kepada para pengumpul sumbangan yang lain. Dalam mengumpulkan sumbangan ini kalian tidak mempergunakan paksaan dan kekerasan, bukan?"


"Kami tidak berani melanggar perintah pang-cu," kata dua orang itu dan pengemis tingkat satu itu mengangguk-angguk dengan senang.
Tidak, lama kemudian muncul seorang pengemis baju hitam yang memegang sebatang tongkat hitam pula.


Pengemis ini berusia enampuluh lima tahun dan dia tidak menggendong apa-apa di punggungnya. Ketika dia muncul, semua pengemis dari semua tingkatan bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat kepadanya. 


Melihat ini,maklumlah Lee Cin bahwa tentu pengemis bertongkat yang tubuhnya juga tinggi kurus ini ketua mereka atau Hek I Pang-cu sendiri. Maka ia memandang dengan penuh perhatian dan ingin tahu apa yang akan terjadi.

Hek I Pang-cu itu bersikap sederhana saja. Setelah semua pengemis memberi hormat dan pengemis tingkat satu menyerahkan bangku kepada ketuanya, dia lalu duduk di atas bangku itu dan mengangkat kedua tangannya ke atas.


Ini merupakan tanda bahwa dia ingin bicara dan semua pengemis yang berada di situ segera duduk di atas tanah berumput sehingga sang ketua yang duduk di bangku tampak nyata, karena tempat duduknya paling tinggi.


"Apakah semua masakan yang akan dihidangkan kepada para tamu telah siap" Sebentar lagi para tamu datang dan pelayanan harus dilakukan sebaiknya agar tidak mengecewakan dan membikin malu nama perkumpulan kita." 


Beberapa orang yang bertugas mempersiapkan masakan menjawab, "Sudah siap tinggal menghidangkan!"

"Bagus. Sekarang para murid tingkat pertama, kedua dan ke tiga agar berdiri di depan untuk menyambut para tamu.


Bangku-bangku agar dipersiapkan sebagai tempat duduk para ketua perkumpulan. Ingat, hanya para ketuanya saja yang dipersilakan duduk di bangku, sedangkan yang Iainnya biar duduk di atas rumput."


Pengemis tingkat pertama yang hanya ada seorang bangkit berdiri dan ke luar, diikuti tiga orang tingkat dua dan lima orang tingkat tiga. Mereka bertugas menyambut tamu di luar pekarangan yang luas itu.


Lee Cin yang masih mengintai tahu bahwa para pengemis Hek I Kai-pang ini sedang mengadakan pesta dan akan dihadiri oleh para tamunya. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi dan siapa tamu-tamu mereka. Kalau perlu iapun dapat menyelinap di antara para tamu dan menjadi seorang tamu pula.


Tak lama kemudian rombongan tamu mulai berdatangan.
Akan tetapi Lee Cin melihat bahwa mereka yang datang itu adalah rombongan tamu dari perkumpulan pengemis yang lain. Ada pengemis-pengemis yang pakaiannya bermacam-macam akan tetapi semua memakai sabuk merah. 


Ketika tiba, belasan orang itu berhenti di luar pekarangan dan seorang di antara mereka berseru, "Mereka dari Ang-kin Kaipang
(Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah) datang berkunjung!"


Para tamu itu lalu dipersilakan memasuki lapangan rumput, dan ketuanya yang bertubuh gemuk pendek dipersilakan duduk di atas bangku, sedangkan para anggautanya dipersilakan duduk di atas tanah berumput.


Berbondong- bondong berdatangan para tamu dan Lee Cin melihat bahwa semua tamu terdiri dari para pengemis melulu. Ada rombongan pengemis berbaju kembang dari
Hwa I Kai-pang (Pengemis Berbaju Kembang), rombongan pengemis berbaju Biru, dan ada pula rombongan pengemis yang membawa tongkat ular, yaitu tongkat dari kayu yang dibentuk seperti ular dan mereka menggunakan nama Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Ular).

Mereka semua dipersilakan duduk dan masing-masing perkumpulan berjumlah belasan orang sehingga tempat itu menjadi ramai. Tentu saja Lee Cin tidak dapat menyelinap sebagai tamu karena semua tamu adalah pengemis belaka.


Setelah semua orang berkumpul, Hek I Kai-pang bangkit berdiri dari bangkunya dan berkata dengan suara lantang,
"Selamat datang, kawan-kawan dari perkumpulan masing-masing. Kami mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada kawan- kawan yang sudah datang untuk merayakan hari jadi perkumpulan kami Hek I Kai-pang. 


Hari jadi kami yang ke duapuluh lima. Terima kasih pula atas ucapan selamat dan pemberian sumbangan dari kawan-kawan sekalian. Dan marilah kita menikmati hidangan
sekedarnya dari kami!"


Hidangan lalu di keluarkan dan ditaruh di atas tanah berumput dan pesta makan minum itu dimulai. Karena mereka adalah para pengemis yang biasanya hanya makan makanan sederhana saja, maka sekarang begitu menghadapi hidangan masakan yang mengepul panas dan bermacam-macam, maka merekapun makan dengan lahapnya.


Tiba- tiba dari luar terdengar seruan, "Sin-ciang Mo-kai dan 
rombongannya datang berkunjung!"
Mendengar ini, Hek I Kai-pang bergegas bangkit berdiri dan keluar menyambut. Yang muncul adalah seorang pengemis berusia limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning seperti berpenyakitan, matanya sipit dan dia memegang sebatang tongkat yang ujungnya bersinar kehijauan. 


Pakaiannya tambal-tambalan pula, akan tetapi terbuat dari kain yang baru dan agaknya sengaja ditambal-tambal. Inilah Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) yang terkenal sebagai seorang tokoh sesat. Yang mengikutinya ada sepuluh orang dan para pengikutnya ini tidak ada yang berpakaian pengemis, melainkan berpakaian biasa bahkan seorang di antara mereka mengenakan pakaian perwira kerajaan! 

Melihat sikap Hek I Kaipangcu yang demikian hormat terhadap Sin-ciang Mo-kai dapat diduga bahwa ketua ini tentu sudah mengenalnya dengan baik.
Memang demikianlah. Beberapa hari sebelum Hek I Kai-pang mengadakan pesta ulang tahun atau hari jadinya ini, ketua Hek I Kai-pang sudah mengadakan pertemuan dengan Sin-ciang Mo-kai dan Pengemis Iblis ini telah membujuknya untuk bersatu dengan mereka yang membantu pemerintah untuk memusuhi para pendekar dan para patriot.


Mula-mula Hek I Kai-pangcu menolak. "Kami adalah pengemis-pengemis yang kerjanya hanya minta sedekah dan sumbangan dari orang, kami tidak ingin bermusuhan
dengan siapapun juga," demikian dia menjawab.


Sin-ciang Mo-kai mengerutkan alis nya. "Apakah kalian tidak menginginkan kehidupan yang lebih baik dari pada menjadi pengemis" Kalau kalian membantu pemerintah,
pemerintah tentu tidak akan melupakan kalian. 


Siapa tahu kalian kelak akan diangkat menjadi perajurit dan engkau sebagai ketuanya diangkat menjadi seorang perwira" 

Sebaliknya kalau kalian tidak mau membantu, bisa saja kalian dianggap sebagai pemberontak yang membantu para patriot dan kalian akan dibasmi!"

Sin-ciang Mo-kai membujuk dan menggertak dan ketika ketua Hek I Kai pang berkeras tidak mau, mereka lalu berkelahi dan akibatnya, dengan mudah Sin-ciang Mo-kai mengalahkannya. 


Ketua Hek I Kai-pang mengaku kalah dan menakluk, bahkan dia menyetujui untuk bekerja sama
dengan pemerintah. Sin-ciang Mo-kai inilah yang mengusulkan agar Hek I Kai-pang mengadakan pesta mengundang para pimpinan perkumpulan pengemis lainnya.


Ini adalah siasat dari Beng-cu Ouw K wan Lok yang berusaha menarik sebanyak mungkin anggauta dari berbagai perkumpulan untuk bekerja sama membantu pemerintah Mancu. 


Dia tahu bahwa terdapat banyak sekali perkumpulan pengemis dan bahwa para pimpinannya terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Kalau para pengemis ini mau diajak bekerja sama, mereka merupakan kekuatan yang besar. 

Karena itulah, dia mengutus Sin-ciang Mo-kai untuk membujuk para pimpinan pengemis untuk bekerja sama. Setelah para tamu dari berbagai perkumpulan pengemis itu tiba dan pesta dimulai, muncullah Sin-ciang Mokai dan rombongannya. 

Rombongannya ini terdiri dari orang-orang kang-ouw golongan sesat dan ada seorang perwira kerajaan yang ikut pula.

Untuk Sin-ciang Mo-kai dan rombongannya disediakan
bangku-bangku oleh Ketua Hek I Kai-pang dan hal ini membuat banyak pengemis mengerutkan alisnya karena mereka, kecuali sang ketua, hanya disuruh duduk di atas tanah berumput.


Hek I Kai-pangcu bangkit dan dengan hormat mempersilakan Sin-ciang Mo-kai beserta semua rombongannya untuk duduk di bangku dan diapun berkata lantang kepada semua tamu, "Kawan-kawan sekalian.


Kepada yang belum mengenalnya kami perkenalkan bahwa yang baru tiba adalah Sin-ciang Mo-kai yang terhormat bersama rombongannya. 

Tentu semua kawan pernah mendengar nama besarnya yang amat terkenal di dunia kang-ouw. 

Setelah pesta nanti, Sin-ciang Mo-kai berkenan akan memberi petunjuk yang amat penting bagi kita semua.
Sekarang, silakan melanjutkan makan minum sepuasnya!"

Pesta dilanjutkan dan mereka makan minum sampai banyak di antara mereka yang mabuk. Setelah hidangan mereka sikat habis dan mereka kini hanya minum-minum arak sambil bercakap-cakap, Hek I Kai-pang, kembali bangkit dan berseru lantang. "Kawan-kawan sekalian, sekarang tiba saatnya bagi Sin-ciang Mo-kai untuk bicara memberi petunjuk kepada kita sekalian."


Semua orang berhenti bicara dan suasana menjadi tenang. Sin-ciang Mokai lalu bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang tinggi melengking karena mengandung khi-kang yang kuat. "Saudara-saudara kaum kai-pang yang baik! 


Saya datang sebagai utusan Bengcu kita yang baru untuk mengajak saudara sekalian bekerja sama membantu pemerintah!"


          **********


Baru saja sampai di situ dia bicara, keadaan menjadi riuh kembali berbagai tanggapan dilontarkan oleh para pengemis. Sin-ciang Mo-kao mengangkat tangan kanan ke atas memberi isyarat agar semua orang diam. 


Setelah keadaan menjadi tenang kembali, dia melanjutkan kata-katanya.
"Harap jangan memberikan tanggapan dan dengarkan dulu kata-kataku sampai habis! Saudara-saudara sekalian hidup sebagai pengemis, dipandang rendah dan dihina oleh banyak orang, dan kadang dikejar-kejar seperti penjahat. 


Mengapa saudara sekalian tidak mau mengubah keadaan itu" Kini tiba saatnya untuk mengubah keadaan seperti itu. Kalau saudara mau bekerja sama dengan pemerintah, saudara akan dilindungi. Para pejabat akan berbaik hati terhadap saudara dan tidak ada orang berani memandang rendah kaum pengemis! 

Semua itu diberikan kepada saudara sehingga kalau saudara meminta sumbangan, tidak ada lagi yang berani menghina atau menolak. Dan apakah yang saudara-saudara
harus lakukan" Bersama pemerintah membasmi para pemberontak! 


Saudara tinggal pilih. Tidak mau bekerja sama dengan pemerintah berarti mendukung pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah, atau mendukung pemerintah membasmi pemberontak yang hanya mendatangkan kekacauan. Apa lagi sebagai orang-orang kang-ouw, saudara patut tunduk kepada Beng-cu kita, dan Beng-cu kita yang minta
kepada saudara sekalian untuk membantu pemerintah dan menentang kaum pendekar dan patriot yang memberontak terhadap pemerintah yang sah!"


Semua orang terdiam mendengarkan ucapan itu. Mereka membayangkan betapa akan susahnya hidup mereka kalau dimusuhi pemerintah. Pasukan pemerintah akan menangkapi dan mengejar mereka sebagai anggauta pemberontak! 


Sebaliknya, kalau mereka diakui oleh para pejabat sebagai sekutu, tentu mereka tidak akan dimusuhi, bahkan dilindungi dan siapa yang berani menentang mereka" Akan tetapi, di antara mereka, terutama para ketuanya, banyak yang ragu-ragu. 

Bagaimana mereka harus memusuhi para pendekar" Terutama para ketua yang berpendirian bersih, yang pantang melakukan kejahatan, mereka sangsi apakah benar kalau mereka membantu pemerintah membasmi para pendekar!"

"Saudara sekalian! Akupun seorang pengemis! Maka, aku hendak mempergunakan kesempatan selagi kita berkumpul ini untuk mengangkat diriku sebagai pimpinan para pengemis! 


Biarlah aku yang bertanggung jawab dan aku yang membimbing kalian untuk bekerja sama dengan pemerintah."

Lee Cin yang mendengarkan ucapan Sin-ciang Mo-kai menjadi terkejut sekali. Kiranya Ouw Kwan Lok yang telah merebut kedudukan Beng-cu kini bekerja sama dengan pemerintah Mancu. Dan Ouw Kwan Lok agaknya hendak mengumpulkan semua tenaga di dunia kang-ouw, baik dari golongan bersih maupun kotor, untuk bersama-sama menjadi sekutu pemerintah. 


Hal ini amat berbahaya bagi para pendekar dan patriot kalau usaha itu berhasil. Ia sendiri tahu betapa besarnya kekuatan para perkumpulan pengemis itu kalau dikumpulkan dan dapat dipersatukan.

Tentu akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang terdapat di mana-mana. Agaknya pemerintah Mancu telah berhasil membujuk Beng-cu Ouw Kwan Lok untuk menjadi antek
mereka dan tentu sudah banyak tokoh sesat di kang-ouw yang menjadi anak buahnya. 


Ayahnya sendiri ketika menjadi beng-cu, berdiri bebas, tidak menjadi antek Mancu, juga tidak menggerakkan dunia kang-ouw untuk memberontak terhadap pemerintah. 

Sekarang ketahuanlah mengapa Ouw Kwan Lok bersikeras untuk mengambil kedudukan beng-cu.
Sekarang, kaum sesat, telah berbalik pendirian. Kalau dulu bersekongkol dengan pemberontak, kini sebaliknya malah menjadi antek pemerintah Mancu. 


Ia harus memberitahu kepada Song Thian Lee akan hal ini. Kalau kaum sesat bekerja sama dengan pemerintah, sama saja dengan menarik Song Thian Lee menjadi sekutu pula. Lee Cin mengerutkan alisnya.

Merupakan ganjelan dalam hatinya melihat kenyataan bahwa Thian Lee menjadi panglima. Sungguh suatu kedudukan yang sama sekali tidak cocok dengan watak dan pendirian Thian Lee. Ia mengenal Thian Lee sebagai seorang pendekar, akan tetapi kedudukannya sebagai panglima menaruh dia di tempat yang lain bahkan yang berlawanan. 


Seperti keadaannya sekarang ini, kalau Thian Lee tetap menjadi panglima, berarti dia harus bekerja sama dengan golongan sesat dan harus memusuhi para pendekar dan patriot! 

Tidak, ini tidak benar dan ia harus memberitahu kepada Thian Lee tentang pertemuan para pengemis ini. 

Ucapan Sin-ciang Mo-kai yang mengangkat diri sendiri menjadi pimpinan kaum pengemis ini mendapat tanggapan bermacam-macam. Akan tetapi para ketua kai-pang banyak yang tidak setuju. 

Ketua Hwa I Kai-pang yang berpakaian berkembang-kembang itu segera berdiri dari bangkunya dan berkata dengan suara lantang. "Kami dari Hwa I Kai- pang selamanya bekerja bebas dan tidak mengakui pimpinan orang lain kecuali ketuanya. 

Kami seluruh kaipang pernah 
mengakui Pek I Lo-kai sebagai sesepuh, akan tetapi setelah bertahun-tahun dia tidak pernah muncul, kami tidak mempunyai sesepuh lagi dan tidak ingin mengangkat sesepuh baru."


"Hemm, aku ingin bertanya. Mengapa dulu kalian mau mengangkat Pek I Lo-kai sebagai sesepuh?"
"Karena ilmu kepandaiannya yang tinggi dan dia patut menjadi pemimpin dan sesepuh kami seluruh kai-pang!"
jawab Hwa I Kai-pangcu.


"Apakah kalian tidak percaya akan ilmu kepandaian kami
"Kalau ada yang meragukan kepandaianku, silakan maju dan kita main-main sebentar!"
Mendengar ucapan yang nadanya menantang itu, Hwa I Kai- pangcu lain melompat ke depan sambil membawa tongkatnya yang terbuat dari pada bambu. 


"Biarlah kucoba-coba sebentar!" katanya, tidak berani berlagak, hanya sebagai jawaban atas tantangan itu karena diapun sudah mendengar akan nama besar Sin-ciang Mo-kai sebagai seorang tokoh pengemis tunggal yang amat lihai.

"Baik! Akupun sudah mendengar bahwa ilmu tongkat ketua Hwa I Kai-pang sudah mencapai tingkat tinggi!" kata Sin- ciang Mo-kai sambil melintangkan tongkatnya yang beracun itu di depan, dada. "Silakan mulai, Hwa I Kaipangcu!"


Ketua Hwa I Kai-pang juga tidak berlaku sungkan lagi, segera menggerakkan bambunya dan menotok ke arah dada dan perut lawan. Sin-ciang Mo- kai cepat menangkis dengan tongkatnya dan ketika dua tongkat bertemu, keduanya merasa tangannya gemetar. 


Sin-ciang Mo-kai menerjang ke depan dan selagi tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan, tangan kirinya juga menyambar dan menghantam ke arah dada. 

Hwa I Kai- pangcu cepat mengelak dan melintangkan tongkatnya ke depan dada untuk menangkis pukulan ke arah dadanya itu. Sin-ciang Mo-kai cepat menarik kembali tangan kirinya dan kini dialah yang diserang oleh totokan tongkat bambu. 

Kembali dia menangkis dan mereka sudah saling serang dengan hebat.
Ilmu tongkat ketua Hwa I Kai-pang cukup hebat, gerakannya cepat dan tenaganya juga besar. Namun dia bertanding dengan Sin-ciang Mo-kai yang bukan saja lihai ilmu tongkatnya, akan tetapi juga memiliki pukulan tangan yang ampuh sehingga dia dijuluki "Sin-ciang (Tangan Sakti).

Setelah pertandingan berlangsung limapuluh jurus, mulailah ketua Hwa I Kai-pang terdesak karena lawannya selalu menyusul serangan pukulan tangan kiri setiap kali tongkat mereka bertemu.


"Haittt..... ...!" Tongkat Hwa I Kai-pang menyambar lagi, kini menghantam ke arah kepala Sin-ciang Mo-kai. Pengemis berbaju kembang- kembang mewah ini menangkis dengan tongkatnya dan kembali tangan kirinya memukul dengan dorongan kuat. Ketua Hwa I Kai-pang menangkis dengan dorongan tangan kanan untuk mengadu tenaga.


"Dess. .... !" Ketika dua tangan bertemu tubuh ketua Hwa I Kai-pang terpental ke belakang dan jatuh terjengkang. Dia bangkit duduk dengan napas terengah-engah, lalu dipapah oleh anak buahnya sehingga dia mampu berdiri lagi. Dia memandang kepada Sin-ciang Mo-kai dengan mata mengandung penasaran.


"Nah, bagaimana, Hwa I Kai-pangcu" Apakah engkau menganggap aku cukup lihai untuk menjadi sesepuh semua kai- pang " "
"Kepandaianmu memang tinggi, Sin ciang Mo- kai, akan tetapi..... "?"Akan tetapi apa" Apakah masih ada yang menyangsikan kemampuanku sebagai pimpinan kalian "
Kalau masih ada, silakan maju!"

Tiba-tiba terdengar suara orang, "Sungguh menggelikan.
Sin-ciang Mo-kai bicara besar untuk mempengaruhi para kai-pangcu!" Tiba-tiba dari luar masuklah seorang pengemis yang usianya tentu sudah mendekati tujuhpuluh tahun.


Kakek yang bertubuh tinggi kurus, rambutnya sudah putih semua dan bajunya penuh tambalan dari kain putih seperti orang berkabung dan tangannya memegang sebatang
tongkat bambu butut. Melihat kakek pengemis berpakaian putih itu, ketua Hwa I Kai-pang berseru girang.


"Lo-cian-pwe Pek I Lo-kai!" katanya dan segera dia menjatuhkan diri berlutut. Juga para ketua kai-pang yang lain cepat memberi hormat kepada Pek I Lokai (Pengemis Tua Berbaju Putih) karena kakek itu dahulu dianggap sebagai sesepuh kaum kai-pang!


Lee Cin mengintai dari tempat sembunyinya. Iapun pernah mendengar akan nama julukan Pek I Lo-kai itu sebagai tokoh besar kaum pengemis yang tergolong bersih.


Pasti akan terjadi bentrokan yang seru, pikirnya, mengingat betapa kedatangan Sin-ciang Mo-kai bermaksud mengajak para pengemis untuk menjadi antek pemerintah penjajah.


Sementara itu, ketika Sin-ciang Mo kai mendengar ucapan Pek I Lo-kai, dia mengerutkan alisnya dan
melangkah maju menyambut Pek I Lo-kai yang memasuki lapangan 


"Hemm, kiranya engkau yang berjuluk Pek I Lo-kai" Aku memang sedang membujuk para kai-pangcu untuk bekerja sama dengan pemerintah menentang kaum pemberontak.

Apakah ini kau anggap keliru?"
"Sin-ciang Mo-kai, sejak kapan engkau menjadi antek pemerintah penjajah" Kalau engkau menjadi antek penjajah, itu hakmu, akan tetapi jangan membujuk para kai-pangcu untuk mengikuti jejakmu. 


Para kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang kerjanya hanya minta sedekah dari orang-orang budiman, dan di samping itu menentang kejahatan. 

Demikian aku selalu menganjurkan. Sebagai sesepuh kai-pang aku tidak setuju kalau mereka hendak menjadi antek penjajah Mancu."
"Pek I Lo-kai, kalau begitu engkau juga berjiwa pemberontak!" seru Sinciang Mo-kai marah.

"Aku bukan pemberontak, akan tetapi itu tidak berarti bahwa aku membantu pemerintah penjajah."
Dua orang yang berpakaian perwira kerajaan melompat ke depan menghadapi Pek I Lo-kai dan seorang di antara mereka menuding dengan telunjuknya. "Orang tua, kalau engkau melarang orang untuk membantu pemerintah, itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang berjiwa pemberontak! 


Kami sebagai perwira-perwira kerajaan berkewajiban untuk menangkap orang sepertimu. Dua orang perwira itu sudah mencabut pedangnya dengan sikap mengancam. "Hemm, kalian dapat saja menuduh aku pemberontak, akan tetapi mana buktinya" Aku tidak melakukan sesuatu yang sifatnya memberontak, aku hanya tidak ingin melihat para kai-pang dibujuk untuk memusuhi para pendekar."

"Itu artinya sudah memberontak! Hayo menyerah menjadi tawanan
kami atau terpaksa kami mempergunakan kekerasan untuk menangkapmu!"


"Aku tidak bersalah apa-apa, tidak sudi aku menyerah, dan silakan menangkap aku kalau kalian mampu!" tantang Pek I Lo-kai sambil tersenyum. Para ketua kai-pang tidak ada yang berani mencampuri. Bagaimanapun juga, dua orang itu adalah perwira kerajaan, kalau mereka memihak Pek I Lo-kai, tentu mereka akan dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah. 


Kalau sudah dimusuhi pemerintah, tentu mereka akan celaka dan tidak mempunyai tempat untuk berpijak lagi, ke mana-mana akan dikejar-kejar pasukan pemerintah. Maka, biarpun di dalam hati mereka berpihak kepada Pek I Lo-kai, mereka tidak berani menyatakan dengan terang terangan, dan hanya menonton saja.

"Bagus, kalau begitu terpaksa kami harus membunuhmu, pemberontak!" Dua orang perwira itu menggerakkan pedang mereka dan menyerang dengan ganas. Ternyata mereka adalah orang-orang yang pandai memainkan pedang dan serangan mereka cukup dahsyat.


Akan tetapi, dengan gerakan cepat dan tenang, Pek I Lokai sudah dapat mengelak dari serangan mereka. Dua orang perwira itu menjadi semakin penasaran dan mereka berdua mendesak maju, mengirim serangan beruntun dengan pedang mereka. Pek I Lo-kai meloncat ke belakang dan ketika dua orang itu mengejar dengan serangan pedang berikutnya, dia mulai menggerakkan tongkat bambunya untuk menangkis.

"Trang-trangg..... ?" Dua batang pedang itu tertangkis tongkat dan akibatnya, dua orang perwira itu terhuyung ke belakang. Melihat ini, Sin-ciang Mokai melompat ke depan setelah memberi isyarat kepada rombongan dan menggerakkan tongkatnya mengeroyok Pek I Lo-kai. 

Delapan orang anggauta rombongannya juga sudah bangkit berdiri dan meloloskan senjata masing-masing. Mereka adalah para tokoh sesat di dunia kang-ouw yang sudah dapat terbujuk untuk membantu gerakan Ouw-bengcu yang mengumpulkan mereka untuk membantu pemerintah Mancu.
Pek I Lo-kai yang sudah mulai mendesak dua orang perwira itu, kini dikeroyok oleh sebelas orang yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh.

Para ketua kai-pang hanya menonton saja dengan muka
berubah pucat. Biarpun dalam hati mereka condong memihak Pek I Lo kai, namun mereka tidak ada keberanian untuk menentang mereka yang berpihak pemerintah,
khawatir kalau mereka akan dianggap pemberontak dan dimusuhi pemerintah.


Melihat betapa Pek I Lo-kai dikeroyok sebelas orang, Lee Cin tentu saja tidak membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan. Ia merasa penasaran sekali melihat para ketua kai-pang yang tinggal diam sambil menonton sesepuh mereka dikeroyok. 


Dengan gemas Lee Cin lalu meloncat ke depan dan berseru dengan suara lantang.
"Hei para kai-pangcu! Apakah kalian telah menjadi begitu pengecut membiarkan yang jahat mengeroyok sesepuh kalian?"


 "Kami.,....kami tidak ingin dianggap sebagai pemberontak!" kata ketua Hwa I Kai-pang dengan muka berubah merah. Para ketua lain juga mengangguk membenarkan ucapan ketua. Hwa I Kai-pang.

"Kami tidak ingin terlibat....." kata ketua Hwa I Kai-pang dan mereka semua segera menjauhkan diri, tidak ingin terlibat dalam perkelahian itu.
Lee Cin menjadi semakin gemas. Ia mencabut pedang Ang-coa-kiam dari lilitan di pinggangnya dan melompat ke dalam pertempuran sambil berseru, "Lo cian-pwe Pek I Lokai, aku datang membantumu!" Dan pedangnya lalu menerjang Sin-ciang Mo-kai yang merupakan pengeroyok paling berbahaya bagi Pek I Lo-kai.

Melihat sinar pedang putih yang menyilaukan mata menyambar ke arahnya, Sin-ciang Mo-kai menjadi terkejut sekali dan cepat dia membuang dirinya ke belakang sambil memutar tongkatnya melindungi tubuhnya. Pedang itu
menyambar bagaikan kilat saja. 


Ketika Sin-ciang Mo-kai yang baru saja lolos dari serangan hebat itu bangkit berdiri, pedang itu sudah menyambar lagi dan cepat Sinciang Mo-kai menangkis dengan tongkatnya.

"Trangg..... !" Tongkat itu hampir terlepas dari pegangan tangan Sin-ciang Mo-kai. Dia menjadi semakin terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai dan ketika dia memperhatikan teringatlah dia bahwa gadis ini adalah gadis lihai yang dulu bersama Song Thian Lee pernah dia keroyok bersama rekan-rekannya di timur. 


Maka dia tahu bahwa dia bukan lawan gadis itu dan dia segera berseru kepada kawan-kawannya untuk membantunya. Para pengeroyok Pek I Lo-kai terkejut dan sebagian dari mereka meninggalkan kakek pengemis baju putih itu untuk mengeroyok Lee Cin.

"Nona yang baik, jangan sembarangan membunuh orang!" Pek I Lo-kai berseru kepada Lee Cin ketika melihat betapa ganasnya pedang Lee Cin menyambar-nyambar. Lee Cin cemberut. 


Kakek itu dikeroyok orang-orang secara curang dan kini malah melarangnya membunuh para pengeroyok! Sama seperti pendirian ayahnya yang tidak memperbolehkan ia mudah membunuh orang! 
Maka iapun mengubah gerakan pedangnya dan kini ia hanya ingin
merobohkan mereka tanpa membunuh.

Sementara itu, sebenarnya Pek I Lo-kai tidak membutuhkan bantuan Lee Cin. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi kakek itu akan mampu mengalahkan semua pengeroyoknya. Kini, setelah sebagian pengeroyoknya meninggalkannya, lebih mudah baginya untuk mengalahkan para pengeroyok yang hanya tinggal lima orang itu. 


Berturut-turut mereka itu roboh berpelantingan terkena tendangan atau hantaman tongkat bambu Pek I Lo-kai.

Demikian pula Lee Cin, dengan ilmu pedangnya yang hebat, ia telah membuntungi senjata-senjata para pengeroyoknya, bahkan ia berhasil menendang Sin-ciang Mo-kai sehingga roboh terguling-guling. 


Namun Sin-ciang Mo-kai tidak terluka parah dan setelah melompat berdiri, dia lalu berseru kepada kawan-kawannya untuk lari meninggalkan gelanggang perkelahian. 

Sebelas orang itu lalu melarikan diri, ada yang terpincang-pincang dan ada yang saling papah. Pek I Lo-kai dan Lee Cin tidak melakukan pengejaran.

"Ha-ha-ha, nona yang lihai! Engkau mengingatkan aku akan muridku Tang Cin Lan!"
Lee Cin terbelalak. Jadi inikah guru Cin Lan" "Lo-cianpwe, kebetulan sekali aku me
ngenal baik enci Tang Cin Lan.

Ia kini telah menjadi isteri Panglima Song Thian Lee."
"Bagus, siapakah namamu, nona?"
"Namaku Souw Lee Cin, lo-cianpwe."
"She Souw" Masih adakah hubunganmu dengan Beng-cu Souw Tek Bun?"
"Dia adalah ayahku, lo-cian-pwe, akan tetapi sekarang dia bukan beng-cu lagi."


"Aku sudah mendengar bahwa ayahmu telah mengundurkan diri. Sayang ketika itu aku tidak sempat datang ke Hong-san."


"Lo-cian-pwe,para ketua kai-pang ini sungguh menjemukan. Melihat lo-cian pwe dikeroyok, mereka hanya menjadi penonton saja. Bukankah lo-cian-pwe menjadi sesepuh mereka?"
Pek I Lo-kai menghela napas panjang dan memandang kepada para pengemis yang menjauhkan diri karena tidak mau terlibat. 


"Jangan salahkan mereka. Mereka tentu takut melawan orang-orangnya pemerintah. Kalau pemerintah sudah memusuhi para pengemis, akan celakalah mereka, di mana-mana mereka akan ditangkap dan dikejar. Mereka tidak seharusnya membantu pemerintah, akan tetapi juga tidak perlu memusuhi pemerintah. 

Mereka harus berdiri bebas dan bekerja mengumpulkan sumbangan sehari-hari untuk keperluan hidup mereka."

Pada saat itu, para ketua kai-pang berdatangan memberi hormat kepada Pek I Lo-kai. Mereka merasa bersalah dan malu.


"Mohon pengertian dan maaf lo-cian pwe bahwa kami para ketua kai-pang tidak berani membantu melihat lo-cian pwe dikeroyok mereka," kata ketua Hek I Kai-pang.


Pek I Lo-kai tersenyum dan mengangguk-angguk. "Aku sudah mengerti. Memang tidak perlu kalian dianggap musuh oleh pemerintah, akan tetapi kuperingatkan kalian semua, jangan sekali-kali mau diperalat pemerintah untuk memusuhi para pendekar dan patriot."


"Kami mengerti, lo-cian-pwe."
"Sudahlah, sekarang kalian boleh pergi, pulang ke tempat masing-masing dan bekerjalah seperti biasa. Kami ber duapun harus pergi dari sini. 


Mari, Nona Souw, kita bicara di tempat lain!" Kakek itu lalu meloncat dan pergi dari situ.
Melihat kakek itu mempergunakan gin-kangnya, Lee Cin juga berkelebat lenyap dari situ, mengagumkan para ketua kai-pang yang kemudian memimpin anak buah masing-masing untuk meninggalkan hutan itu.


Setelah mengerahkan ilmunya berlari cepat, barulah Lee Cin dapat menyusul kakek itu. Pek I Lo-kai memang sengaja hendak menguji kepandaian gadis itu dan melihat betapa gadis itu mampu menyusulnya, dia tertawa kagum dan berhenti berlari. Lee Cin juga berhenti.


"Hebat, ilmu kepandaian hebat, nona. Apakah engkau mendapatkan semua ilmu ini dari ayahmu Sin-kiam Hok-mo (Pedang Sakti Penaluk Iblis) Souw Tek Bun?"


"Dari ayahku, juga dari ibuku dan dari In Kong Thai-su."
"In Kong Thai-su ketua Siauw-limpai" Hebat sekali kalau engkau dapat mempelajari It-yang-ci darinya."


"Memang It-yang-ci yang telah diajarkan kepadaku, locian-pwe."
"Hebat! Dan siapa ibumu?"
"Ibuku pernah berjuluk Ang-tok Mo li," kata Lee Cin agak ragu karena maklum bahwa nama julukan ibunya itu tidak terlalu harum, melainkan julukan seorang datuk sesat!


"Aha! Jadi Ang-tok Mo-li itu isteri Souw Tek Bun" Betapa anehnya dunia kang-ouw."
"Akan tetapi sekarang ayah dan ibuku telah hidup bersama di Hong-san. Lo-cian-pwe, sekarang kaum pendekar dan patriot terancam bahaya besar. 


Agaknya beng-cu yang sekarang,Ouw Kwan Lok itu, telah menjadi antek pemerintah Mancu dan melakukan gerakan baru. Mereka hendak menarik orang-orang kang-ouw untuk membantu pemerintah Mancu dan memusuhi para pendekar dan
patriot! 


Sin-ciang Mo-kai tadipun merupakan orangnya Ouw-bengcu. Kalau sampai semua kai-pang terpengaruh dan
memusuhi para pendekar dan patriot, sungguh berbahaya, lo-cian-pwe."


Kakek itu mengelus jenggotnya dan menggeleng kepalanya. "Ahh, belum tiba saatnya untuk memberontak.
Kerajaan Ceng terlampau kuat. Akan tetapi aku percaya bahwa orang-orang kang-ouw yang masih mempunyai perasaan mencinta tanah air, tidak akan sudi menjadi antek pemerintah penjajah. Yang dapat mereka tarik tentu hanya tokoh-tokoh kang-ouw yang sesat saja. 


Aku tidak dapat membayangkan bahwa para kaipang akan menjadi antek penjajah. Mungkin mereka pura-pura tunduk karena takut, akan tetapi jarang di antara mereka yang mau memusuhi para pendekar. 

Tentu saja ada kecualinya, yaitu kai-pang yang memang sudah menjadi golongan sesat."
"Aku juga prihatin memikirkan keadaan panglima Song Thian Lee dan isterinya, enci Tang Cin Lan. 


Kalau pemerintah merangkul golongan sesat memusuhi para
pendekar patriot, berarti Panglima Song harus bekerja sama dengan golongan sesat dan memusuhi kaum pendekar."


"Ha-ha, apakah engkau belum mendengar, nona Souw"
Song Thian Lee telah mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima dan dia bersama isteri dan puteranya telah meninggalkan kota raja dan tinggal di Tung-sin-bun."


"Ah, benarkah, lo-cian-pwe" Ah, aku ikut gembira mendengar ini!"
"Akan tetapi, baru saja aku pergi ke sana untuk mengunjungi mereka dan mendengar bahwa mereka sekeluarga terpaksa melarikan diri setelah rumah mereka diserbu
serombongan orang jahat. 


Menurut para tetangganya, mereka dituduh pemberontak dan didatangi pasukan untuk menangkap mereka. Song Thian Lee dan anak isterinya telah melarikan diri meninggalkan Tung-sinbun dan aku tidak tahu ke mana mereka pergi." Pek I Lo-kai menghela napas panjang. 

"Sebetulnya, aku sudah merasa rindu kepada muridku Cin Lan. Kasihan sekali mereka, begitu Song Thian Lee mengundurkan diri sebagai panglima muda, langsung saja dia dicap pemberontak dan dikejar-kejar."

Lee Cin mengepal tinjunya. "Jahanam benar penjajah Mancu! Siapa yang tidak mau menjadi antek mereka,langsung saja disebut pemberontak! Kita harus hancurkan penjajah, lo-cian-pwe."


"Ho-ho, tidak begitu mudah, nona muda! Pemerintah memiliki pasukan yang besar dan kuat. Mempunyai
panglima-panglima yang lihai, apa lagi dibantu oleh para tokoh sesat yang berilmu tinggi. Apa yang dapat kita lakukan" Sekarang belum tiba saatnya untuk memberontak.


Kita harus bersatu padu menyusun kekuatan, terutama menggerakkan seluruh lapisan rakyat, baru kita mempunyai kekuatan dan kesempatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. 


Sekarang, untuk sementara ini, kita hanya dapat bertindak sebagai golongan pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah yang tertindas dan menentang si kuat yang menindas."
"Akan tetapi, penindasnya adalah para pembesar penjajah, lo-cian-pwe."


"Pembesar bangsa Mancu atau bangsa Han, kalau dia menindas rakyat harus kita tentang, kita kaum pendekar berkewajiban untuk menentang si jahat siapapun dan dari golongan atau bangsa apapun mereka itu. Dan kita semua harus bersiap-siap untuk mendukung kalau waktunya tiba untuk mengadakan perjuangan melawan penjajah."


"Lo-cian-pwe benar," kata Lee Cin yang kemudian teringat bahwa kakek ini agaknya mengerti akan apa yang terjadi di seluruh tanah air, lalu bertanya, "Bagaimana pendapat lo-cian-pwe dengan para patriot seperti Keluarga Cia di kaki bukit Lo-sian itu" Atau lo-cianpwe tidak pernah mendengar tentang mereka?"


"Keluarga Cia" Ah, tentu saja aku pernah mendengar tentang mereka. Mereka adalah keluarga patriot, akan tetapi mereka itu melakukan perjuangan secara membuta, mau
bersekutu dengan golongan sesat untuk memusuhi penjajah.


Gerakan seperti itu adalah keliru, dan gerakan mereka yang bersekutu dengan pasukan pemberontak, golongan sesat dan para bajak laut Jepang telah menderita kegagalan dan kehancuran. Perjuangan seperti itu tidak akan dilakukan oleh para patriot sejati. 


Patriot sejati tidak akan mengotori perjuangan dengan hubungan persahabatan dengan para golongan sesat. Betapa banyaknya sekarang ini muncul perkumpulan-perkumpuIan pejuang seperti itu. Mereka merangkul tokoh-tokoh sesat yang lihai untuk memperkuat diri mereka. 

Mereka memang mengganggu pasukan pemerintah, akan tetapi mereka juga merampok dan melakukan kejahatan lain lagi. Mereka hanya mencemarkan perjuangan yang suci."

"Siapakah mereka, Lo-cian-pwe?"
"Yang aku ketahui hanya tiga yang terbesar, yaitu Thian-li-pang, Pek-lianpang dan Pat-kwa-pang. Karena sepak terjang mereka yang tidak pantang melakukan kejahatan, para pendekar juga menentang mereka. 


Mereka menutupi kejahatan mereka dengan kata perjuangan, mereka minta derma dengan paksa atas nama perjuangan. Pek-lian-pang bergerak di wilayah barat, Thian-lianpang bergerak di wilayah Utara dan Pat-kwa-pang bergerak di wilayah selatan.

Perkumpulan-perkumpulan seperti itu berjuang melawan pemerintah penjajah dengan tujuan mencari kemuliaan dan kedudukan untuk diri sendiri. Sedangkan para patriot sejati berjuang dengan satu tujuan, yaitu membebaskan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajahan, tanpa pamrih apapun untuk diri sendiri. Itulah bedanya."


Mendengar ucapan ini, Lee Cin teringat akan Cia Tin
Han. Betapa sama pendapat Pek I Lo-kai ini dengan pendapat pemuda yang dicintanya itu. Tin Han adalah
seorang patriot sejati! Jantungnya terasa pedih begitu ia teringat akan pemuda itu.


"Tahukah lo-cian-pwe di mana adanya Keluarga Cia sekarang?" Tentu saja yang dimaksudkan Lee Cin adalah untuk mencari tahu di mana adanya Tin Han. sekarang.


"Aku tidak tahu, nona. Aku hanya mendengar setelah mereka
yang bersekongkol dengan pasukan yang memberontak di timur digagalkan oleh Song Thian Lee, mereka menghilang dan tidak terdengar lagi beritanya. Dan sekarang, engkau hendak pergi ke manakah, Nona Souw?"


"Aku hendak melanjutkan perjalananku merantau, locian-pwe. Dan lo-cianpwe hendak ke manakah?"
"Aku akan mencari di mana adanya Song Thian Lee dan Tang Cin Lan."

"Kalau begitu, selamat jalan dan selamat berpisah, locian-pwe. Kalau bertemu dengan Lee-ko dan enci Cin Lan, sampaikan salamku kepada mereka."

"Selamat berpisah, nona Souw. Aku senang sekali dapat bertemu denganmu."
Mereka lalu berpisah dan Lee Cin kembali ke kota Liok-bun. Malam itu ia bermalam di rumah penginapan Hoktiam dan dapat tidur pulas karena ia merasa lelah sekali.



          **********


Pada keesokan harinya, pagi-pagi Lee Cin sudah meninggalkan rumah penginapan Hok-tiam di kota Liok-bun dan ia melanjutkan perjalanannya ke timur.

Pada suatu hari, di luar sebuah dusun di lereng Bukit Awan, selagi Lee Cin berjalan seorang diri seenaknya di tempat yang sunyi itu, tiba-tiba dari belakang terdengar derap kaki kuda. Seorang penunggang kuda membalap di sebelahnya dan tiba-tiba penunggang kuda itu menahan kudanya dan dia menoleh, memandang kepada Lee Cin dengan pandang mata tajam penuh selidik. 

Lee Cin balas memandang dengan penuh perhatian akan ia merasa tidak mengenal laki-laki itu. Dia seorang laki-laki yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, mengenakan pakaian berwarna serba hijau, bertubuh sedang dan berwajah tampan. 

Rambutnya yang di kuncir panjang melibat lehernya, membuat dia tampak lebih gagah lagi. Di punggungnya terselip sebatang tongkat bambu kuning. Lee Cin tidak mengenal laki-laki ini dan ia mengerutkan alisnya ketika orang itu mengamatinya seperti itu. 

Sebelum ia menegur marah, laki-laki itu telah meloncat turun dari atas 
kudanya dan bertanya, suaranya lembut dan so-pan, "Maaf, nona. Apakah nona She Souw ?"


"Benar, siapa engkau dan mengapa engkau bertanya demikian?"
Wajah laki-laki itu berubah berseri. "Kalau begitu, nona tentu bernama Souw Hiang, bukan " "
"Bukan, namaku Souw Lee Cin. Engkau siapakah?"


"Ah, maafkan aku kalau begitu aku salah sangka, nona.Wajah nona mirip nona Souw Hiang, maka aku bertanya padamu. Aku Yauw Seng Kim, tentu tidak nona kenal. Sekali lagi maafkan kekeliruanku, nona."

Laki-laki itu meloncat ke atas kudanya lagi dan membalapkan kudanya ke depan. Lee Cin tersenyum geli.
Mengapa begitu kebetulan" Wajahnya mirip dan she-nya sama pula. Ia tahu bahwa banyak terdapat orang she Souw maka hal itu dianggapnya biasa saja dan ia sudah
melupakan lagi laki-laki itu setelah kuda dan penunggangnya lenyap di sebuah tikungan. 


Sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia bertemu dengan seorang musuh besar yang mengancam keselamatannya. Pemuda tadi adalah Yauw Seng Kun, pemuda yang ingin membalas dendam atas kematian gurunya, yaitu mendiang Jeng ciang-kwi yang tewas di tangan Lee Cin. 

Ketika melewati Lee Cin, dia teringat bahwa gadis itulah Lee Cin yang dicarinya maka dia menggunakan akal menanyakan she gadis itu. Begitu mengetahui bahwa gadis itu benar musuh besarnya, maka dia lalu bersiasat, pura-pura mencari gadis she Souw yang lain lagi namanya, akan tetapi dalam hatinya dia mencatat bahwa gadis ini yang dicarinya. 

Karena pernah mendengar betapa lihainya musuh besarnya itu, dia tidak mau sembrono dan langsung menyerangnya, maka dia segera
meninggalkan gadis itu dan membalapkan kudanya.

Setelah hari mulai condong ke barat Lee Cin tiba di lereng bukit yang berhutan. Dari lereng itu ia dapat melihat ke kaki bukit dan melihat genteng-genteng rumah penduduk dusun di bawah. Ia lalu mempercepat jalannya agar dapat tiba di dusun itu sebelum senja.


Tiba-tiba ia mendengar jerit wanita. "Tolooongg..... !"
Mendengar ini, Lee Cin berhenti berlari dan menoleh ke arah kiri.. Dari hutan itulah suara tadi datang.

"Tolonggg....
lepaskan aku, ahh...... lepaskan...... toloooong..... !"


Mendengar ini, Lee Cin cepat melompat ke dalam hutan dan lari ke arah datangnya suara itu. Tak lama kemudian ia melihat seorang laki-laki sedang bergumul dengan seorang wanita. 


Wanita itulah yang menjerit-jerit tadi. Melihat laki-laki itu hendak memperkosa wanita naiklah darah Lee Cin.
Ia melihat bahwa laki-laki itu adalah si penunggang kuda yang berpakaian serba hijau tadi. 


Tanpa banyak cakap lagi ia segera melompat dekat dan tangannya men cengkeram leher baju orang itu dan menariknya keras-keras. Laki-laki itu terkejut dan setelah leher bajunya dilepaskan, dia langsung menyerang Lee Cin dengan pukulan tangan
kanannya. 


Pukulan itu kuat sekali dan ilmu silatnya juga hebat. Lee Cin mengelak dan mereka segera saling serang dengan serunya. Ilmu silat orang itu berdasarkan pat-kwa (segi
delapan) dengan perubahan-perubahan yang membingungkan, akan tetapi ketika Lee Cin menggunakan it-yang-ci, terbalik orang baju hijau itulah yang terkejut dan berulang kali terpaksa menjauhkan diri agar jangan sampai terkena totokan yang amat lihai itu.

Laki-laki itu bukan lain adalah Yauw Seng Kun! Setelah mengerahkan tenaga dan ilmu silatnya untuk menyerang Lee Cin tanpa hasil, bahkan setelah lewat limapuluh jurus dia terdesak, Seng Kun lalu mencabut tongkat bambu kuning
dari punggungnya dan menyerang Lee Cin dengan senjatanya yang ampuh.


Lee Cin mengelak ke sana sini dan maklum bahwa lawannya memang tangguh. Maka iapun cepat melolos
pedang Ang-coa-kiam dan kini balas menyerang dengan ganas. 


Terjadilah pertandingan mati-matian karena Seng Kun berniat sungguh-sungguh untuk membunuh musuh
besarnya. Akan tetapi ternyata benar yang dikhawatirkan tadi, ilmu kepandaian Lee Cin amat hebat dan sama sekali dia tidak mampu mendesak bahkan lewat puluhan jurus dia mulai terkurung sinar pedang yang putih berkilauan itu.

Maklum bahwa dia tidak akan mampu menang, Seng Kun melompat ke kiri di mana kudanya berada dan langsung dia membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu.

Lee Cin tidak mengejar dan mendengar isak tangis, ia lalu cepat menghampiri wanita tadi. Ia seorang wanita yang usianya kurang lebih duapuluh lima tahun, cantik manis dan pakaiannya mewah. Ia menangis terisak-isak dan air matanya membasahi kedua pipinya.


"Diamlah, enci. Penjahat itu telah pergi. Engkau siapakah enci, dan tinggal di mana" Bagaimana engkau bisa berada di sini dan diserang orang tadi?"


"Aku..... aku Siu Lan.... seorang janda yang tinggal di dusun sana itu. ....." Wanita itu berkata sambil terisak-isak dan ketika ia mencoba melangkah, tubuhnya terguling.
Tubuh itu tentu akan terpelanting kalau saja Lee Cin tidak cepat-cepat merangkulnya.


"Hati-hati, enci..... " Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan sehelai saputangan merah dan mengebutkan saputangan itu ke muka Lee Cin. Karena sedang merangkul dan sama sekali tidak menduga akan serangan itu, Lee Cin tidak sempat mengelak lagi. Ia mencium bau keras yang menyengat
hidungnya. 


Ia cepat meloncat ke belakang, akan tetapi pandang matanya menjadi gelap dan iapun roboh pingsan karena menyedot bau racun pembius yang amat ampuh Tubuh Lee Cin memang sudah kebal racun, akan tetapi racun yang masuk ke tubuh melalui mulut atau melalui luka, ia tidak kebal. 

Bahkan ibunya sendiripun tidak kebal terhadap racun yang masuk melalui penciuman ini....
Muncullah Yang Seng Kun dari balik semak belukar.


Kiranya pemuda ini tadi hanya berpura-pura saja melarikan kudanya, padahal dia berhenti lagi dan kembali dengan berlari dan mengintai apa yang terjadi. 


Kini dia muncul dan berseru, "Bagus sekali Mo-li (Wanita Iblis), sandiwaramu bagus sekali sehingga kita berhasil!"

Wanita yang mengaku bernama Sui Lan itu menoleh dan tertawa. "Hi- hik, engkau juga pandai bermain sandiwara menjadi tukang perkosa, agaknya engkau memang sudah biasa memperkosa wanita!" ia menggoda.


"Serahkan ia kepadaku, Mo-li "
Wanita itu memang bernama Teng Sui Lan,akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-tok Mo-li (Wanita Iblis Selaksa Racun). Ban-tok Mo-li Teng Siu Lan adalah seorang tokoh baru dalam kalangan sesat di dunia kangouw.


Ia datang dari selatan dan sejak lama ia telah menjadi sahabat baik Yauw Seng Kun. Karena sama-sama dari satu golongan, mereka segera menjadi akrab, bukan hanya sebagai teman melainkan juga sebagai kekasih. Sen Kun segera membawanya ke Pulau Naga untuk bergabung dengan beng-cu Ouw Kwan Lok.


Kemudian mereka berdua mendapat tugas untuk membujuk orang-orang kang-ouw agar mau bergabung dengan beng-cu Ouw Kwan Lok di Pulau Naga.


Pada siang hari itn, Seng Kun melakukan perjalanan untuk menyusul kekasihnya yang berada di dusun bawah bukit itu. Secara kebetulan dia bertemu dengan Lee Cin di tengah perjalanan dan setelah yakin bahwa gadis itu Souw Lee Cin musuh besar yang dicari-carinya,dia lalu membalapkan kudanya menuju ke dusun. 


Setelah bertemu dengan Bantok Mo-li, dia segera mengatur siasat untuk menjebak Lee Cin. Tadinya dia yang berpura-pura menjadi pemerkosa itu menguji kepandaian Lee Cin, akan tetapi kemudian dia tahu bahwa gadis itu benar-benar amat lihai dan tak dapat dikalahkannya. Karena itu dia melarikan diri, kemudian kembali dengan, berlari untuk membantu Ban-tok Mo-li kalau-kalau wanita iblis itu gagal membius Lee Cin.

Akan tetapi ternyata Ban tok Mo-li berhasil baik dan dengan girang Seng Kun lalu muncul dan memuji kekasihnya itu.


"Serahkan kepadamu untuk kauperkosa?" Ban-tok Mo-li bertanya dengan alis berkerut. "Kau hendak mengkhianati cintaku" "

Wajah Seng Kun berubah merah. 'Tidak, aku akan menyiksanya dulu lalu membunuhnya!" katanya dengan geram, teringat akan gurunya yang tewas di tangan Lee Cin.


Dia mendekati tubuh Lee Cin, lalu menotoknya untuk membuat gadis itu tidak dapat menggerakkan kedua tangannya kalau sadar nanti kemudian dia masih mengeluarkan tali yang kuat untuk membelenggu kedua tangan Lee Cin ke belakang tubuhnya.


Pada saat itu Lee Cin membuka matanya. Tubuhnya yang kuat itu hanya sebentar saja terpengaruh bius. Akan tetapi setelah ia sadar dan hendak bangkit, ia tidak dapat
menggerakkan kedua tangannya dan selain lumpuh tertotok, juga terbelenggu. 


Dengan susah payah ia dapat bangkit dan bangun berdiri karena ia masih mampu menggerakkan kedua kakinya. Ia memandang kepada laki-laki dan wanita itu.
"Seng Kun, aku tidak sudi melihat engkau memperkosanya dan akupun tidak ingin engkau membunuhnya." Le Cin yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu memandang mereka dan mendengarkan 
percakapan itu.


"Hemm, ia musuh besarku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya, Mo-li?"
"Seng Kun, lupakah engkau akan pesan Beng-cu" Dia berpesan kepada kita untuk mencari tiga orang, yaitu Song Thian Lee, Tang Cin Lan, dan Souw Lee Cin. 


Sekarang kita sudah mendapatkan seorang di antara mereka, tidak boleh membunuhnya, harus dihadapkan kepada Beng-cu. Kalau Beng-cu tahu bahwa engkau membunuhnya, apa yang akan dilakukannya terhadapmu, terhadap kita" Tidak, engkau tidak boleh membunuhnya!"

"Akan tetapi ia musuh besarku yang telah membunuh guruku!" bantah Seng Kun.

"Oleh Beng-cu ia akan dibunuh juga, atau engkau nanti boleh minta kepada Beng-cu agar engkau yang membunuhnya. 

Bukankah itu sama juga" Pendeknya, aku tidak mau engkau membunuhnya sekarang dan kita harus membawanya menghadap Beng-cu. Ingat, akulah yang menangkapnya, bukan engkau!"

Lee Cin yang mendengarkan percakapan itu lalu tersenyum mengejek. "Hemm, kalian sungguh orang-orang pengecut yang tidak tahu malu. Kalau memang kalian memiliki kegagahan, mengapa menjebakku dengan cara yang demikian curangnya" Kalau berani, lepaskan aku dan kalian boleh mengeroyokku, kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi!"


"Hemm, perempuan sombong! Engkau sudah terjatuh ke tangan kami, nyawamu berada di telapak tangan kami dan engkau masih berani bersikap sombong?" bentak Ban-tok Mo-li dengan muka merah. 


Baru sekarang ada orang berani menghinanya seperti itu, mengatakan ia pengecut dan curang, tanpa ia dapat berbuat sesuatu karena ia tahu bahwa kalau dilepaskan, Lee Cin merupakan lawan yang amat berbahaya dan ia sangsi apakah ia dan Seng Kim
berdua akan mampu mengalahkannya.

"Kau perempuan tak tahu malu!" bentak Lee Cin marah sekali mengingat betapa wanita ini yang menjatuhkannya dengan cara yang amat curang.


"Plakk!" Ban-tok menampar pipi Lee Cin, keras sekali, akan tetapi Lee Cin menerima tamparan itu tanpa berkedip dan memandang dengan mata bernyala penuh kemarahan.
"Manusia tidak tahu diri! Aku dapat menyiksamu sampai mati!"


"Hemm, apa artinya menyiksa orang yang tidak mampu melawan" Itu hanya dilakukan orang-orang yang berwatak rendah dan pengecut. Setidaknya, katakan kenapa kalian menangkap aku!"


Yauw Seng Kun menyeringai di depan Lee Cin. "Engkau mau tahu mengapa aku menangkapmu" Ingatkah engkau akan kematian suhu Jeng-ciang-kwi?"
"Hemm, kiranya engkau ini murid Jeng-ciang-kwi"


Pantas engkau tidak pantang melakukan kecurangan yang memalukan ini. Engkau hendak membalas kematian Jeng-ciang-kwi" Memang dia mampus di tanganku. Kalau engkau hendak membalas kematiannya, bunuhlah aku, aku tidak takut mati!"

Seng Kun yang masih memegang bambu kuningnya,menggerakkan bambu itu untuk menyerang Lee Cin yang sudah tidak berdaya.
"Plakk!" dari samping Ban-tok Mo-li menangkis tongkat bambu kuning itu.


"Tidak boleh, Seng Kun! Gadis ini harus dihadapkan kepada Beng-cu!" bentak wanita itu dan Seng Kun hanya dapat cemberut. Kalau menurut hatinya, dia ingin mempermainkan Lee Cin, memperkosanya sampai puas,
menghinanya lain membunuhnya. 


Baru akan puas kalau sudah membalas secara begitu. Akan tetapi dia tidak berani melakukan hal itu karena ancaman Ban tok Mo-li. Dia tidak ingin wanita itu marah dan menjauhkan diri darinya. 

Apalagi kalau sampai Ban-tok Mo-li melapor kepada Ouw Beng-cu, dia bisa celaka. Dia tidak berani menentang beng-cu yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu. Terpaksa dia harus menahan diri dan bersabar.

"Souw Lee Cin, engkau sudah berada di tangan kami dan kami hendak membawamu ke Pulau Naga. Kalau engkau mau ikut dengan baik, kamipun tidak akan mengganggumu, akan tetapi kalau engkau tidak menurut, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan menyeretmu ke Pulau Naga."


Lee Cin tersenyum. Ia mengerti. Tentu ia akan dihadapkan kepada bengcu baru Ouw Kwan Lok itu. Dan
dari orang macam Ouw Kwan Lok ia tidak dapat mengharapkan yang baik. Orang itu pernah menjebaknya dan nyaris memperkosanya karena ia dianggap musuh besar, di samping Song Thian Lee dan Tang Cin Lan. 


Kalau ia terjatuh ke tangan Ouw Kwan Lok, keadaan dirinya tidak akan menjadi lebih baik. Akan tetapi perjalanan menuju ke Pulau Naga masih jauh dan selama dalam perjalanan ia diperlakukan dengan baik, masih ada harapan baginya
untuk meloloskan diri dari tangan dua orang jahat ini. Kalau 
ia tidak menurut dan berusaha memberontak, dan mereka menggunakan kekerasan, akan lebih buruk keadaannya.




"Seng Kun, cepat cari seekor kuda lagi untukku. Biar ia berboncengan dengan aku sehingga setiap saat aku dapat menjaga agar ia tidak sempat meloloskan diri," kata Ban-tok Mo-li. Seng Kun mengangguk dan pergi, menunggang kuda yang ditinggalkan agak jauh kemudian dia pergi membeli seekor kuda di dusun bawah lereng. 

Tak lama kemudian dia sudah kembali menunggang kuda dan menuntun seekor kuda lain. Ban-tok Mo-li memeriksa ikatan pada kedua tangan Lee Cin lalu berkata kepada tawanannya itu, "Naiklah ke atas kuda itu!"

Lee Cin tidak membantah. Masih mending diajak menunggang kuda berboncengan dengan wanita iblis itu, dari pada diseret atau disuruh menunggang kuda bersama Seng Kun. 


Nasibnya masih baik karena wanita iblis yang cantik itu agaknya cemburu kepadanya dan tidak mau
membiarkan Seng Kun memboncengkannya.


Demikianlah, tiga orang itu melakukan perjalanan. Kalau berhenti di sebuah kota, Ban-tok Mo-li menotok dulu tubuh Lee Cin sehingga gadis ini tidak dapat menggerakkan kedua tangannya, lalu melepaskan ikatan kedua tangan Lee Cin dan menggandeng tangan gadis itu memasuki rumah
penginapan. 


Juga mereka memesan makanan dalam kamar sehingga tidak melihat betapa mereka menawan seorang gadis yang tentu oleh orang luar dianggap sebagai kawan juga. 

Setelah berada dalam kamar, mereka mengikat kedua tangan Lee Ciri kembali dan membebaskan totokan. KaIau tiba waktunya makan, mereka mengikat kedua tangan Lee Cin di depan tubuhnya sehingga dengan kedua tangan terikat itu ia dapat makan sendiri.


          **********


Sudah sepekan Lee Cin menjadi tawanan dua orang itu.
Ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk dapat meloloskan diri. Kalau tidak tertotok, kedua tangannya tentu dibelenggu dan ia tidak mendapat kesempatan untuk
melepaskan ikatan kedua tangannya karena dijaga ketat dan terus diawasi penuh perhatian. 


Bahkan di waktu malam, dua orang itu bergiliran menjaganya, pedang Ang-coa-kiam telah dirampasnya dan kini melingkar di pinggang Ban-tok Mo-li.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Seng Kun dan Ban-tok Mo-li sudah meninggalkan sebuah rumah penginapan dikota Hui-an. Seperti biasa, kalau hendak membawa Lee Cin di tempat umum, mereka menotok jalan darah di tubuh Lee Cin sehingga gadis ini tidak mampu menggerakkan kedua tangannya. Ikatan kedua tangan itu dibuka dan Lee Cin digandeng oleh Ban-tok Mo-li keluar dari rumah penginapan.


Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu depan rumah penginapan itu mereka berpapasan dengan seorang pemuda.


Hampir saja Lee Cin menjerit ketika ia mengenal pemuda itu yang bukan lain dari Cia Tin Han! Pemuda itu juga memandang wajah Lee Cin dan sedetik dua pandang mata itu saling tatap. 


Tin Han terheran-heran dan Lee Cin mengedipkan sebelah matanya. Isyarat itu cukup bagi Tin Han. Dia melihat betapa Lee Cin bergerak dengan kaki di bagian tubuh atasnya, dan di pergelangan kedua tangannya terdapat tanda merah bekas ikatan. 

Dia memperhatikan dua orang itu. Dia memandang kepada Ban-tok Mo-li dan tidak mengenalnya, akan tetapi ketika dia memandang kepada Yauw Seng Kun, dia terkejut! Dia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menculik The Kiok Hwa.

Akan tetapi sebaliknya Seng Kun tidak mengenal Tin Han. Sama sekali dia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah Hek tiauw Eng-hiong, Si Kedok Hitam yang pernah menyerangnya dan membebaskan Kiok Hwa dari cengkeramannya.


Jantung Lee Cin berdebar-debar dan wajahnya berubah kemerahan dan berseri-seri. Hatinya berbahagia sekali melihat Tin Han. Pemuda yang dicintanya itu tidak mati! Tin Han masih hidup dan baru saja ia melihatnya! Ia merasa gembira luar biasa. 


Ingin ia bersorak dan bernyanyi, dan iapun yakin bahwa tentu Tin Han akan membebaskannya.
Ban-tok Mo-li melihat perubahan pada wajah Lee Cin dan ia menjadi curiga. Diperiksanya totokannya pada diri Lee Cin. 


Gadis itu masih tidak mampu menggerakkan kedua tangannya! Akan tetapi kenapa tersenyum-senyum dan wajahnya berseri kemerahan seperti seorang yang berbahagia sekali"

"Kenapa engkau tersenyum-senyum?" tanya Ban-tok Mo-li kepada Lee Cin setelah mereka menunggang kuda dan keluar dari kota Hui-an. Lee Cin tersenyum.


"Aku sedang membayangkan dan memikirkan apa yang akan kulakukan terhadap kalian setelah aku terbebas dari tangan kalian."


"Hemm, engkau tidak akan dapat bebas dari tangan kami sebelum tiba di Pulau Naga. Di, sana kami akan menyerahkan engkau kepada Ouw Beng-cu dan dia boleh melakukan apa saja atas dirimu. 


Akan tetapi mengingat betapa engkau adalah salah seorang musuh besarnya, aku yakin engkau akan dibunuhnya!"

"Yang jelas aku tidak akan membunuh kalian. Kalian tidak membunuhku dan di sepanjang jalan bersikap baik ke padaku, untuk itu, aku hanya akan menghajar kalian, tidak akan membunuh kalian. Aku masih mengharapkan agar kalian bertaubat dan kembali ke jalan benar!"


Mereka sudah tiba di luar kota dan Ban-tok Mo-li menghentikan kudanya, diturut oleh Yauw Seng Kun.
Wanita Iblis itu lalu mengikat kedua tangan Lee Cin ke belakang tubuhnya, dan melanjutkan perjalannya.


Lee Cin menunggu dengan sabar. Ia yakin bahwa Tin Han tentu akan membebaskannya. Ia hanya menunggu waktu.
Di depan ada segerombol hutan, mungkin di tempat itu Tin Han akan turun tangan. 


Ia percaya bahwa sekarang Tin Han tentu telah mendahului mereka dan menghadang dijalan. Perkiraannya memang tepat sekali. Setelah mereka
memasuki hutan yang sunyi itu, sebuah batu kerikil menyambar cepat dan mengenai pundak Lee Cin. 


Seketika Lee Cin merasa betapa totokannya terbuka dan ia sudah dapat menggerakkan kedua tangannya. Akan tetapi ia berada di atas kuda, di depan Ban-tok Mo-li sehingga kalau ia mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali yang mengikat kedua tangannya, tentu akan ketahuan dan wanita iblis itu akan turun tangan lebih dulu. Karena itu ia tinggal diam saja menanti kesempatan baik.

Tiba-tiba tampak bayangan hitam berkelebat dan didepan dua ekor kuda itu telah berdiri Si Kedok Hitam! Lee Cin tersenyum. Engkau tidak perlu berpura-pura terhadapku lagi, Cia Tin Han. Aku tahu bahwa engkaulah Si Kedok Hitam, Lee Cin bersorak dalam hatinya.


Sementara itu, Ban-tok Mo-li dan Seng Kun terkejut bukan main ketika melihat Si Kedok Hitam tiba-tiba berdiri di depan mereka. Terutama sekali Seng Kun amat terkejut ketika mengenal orang yang dulu pernah membebaskan Kiok Hwa dan dia sudah merasakan betapa lihatnya Hek- tiauw Eng-hiong ini! Akan tetapi, mengingat bahwa di situ terdapat Ban-tok Mo-li, dia tidak takut dan cepat melompat turun dari atas kudanya.


"Mo-li, dia ini musuhku, mari kita bunuh dia!"
Ban-tok Mo-li juga melompat turun dari atas kudanya meninggalkan Lee Cin. Gadis itu tertotok dan terbelenggu, tentu tidak akan mampu melakukan sesuatu, pikirnya.


"Jahanam, siapa engkau" Kenapa engkau menghadang kami?" bentak Ban tok Mo-li sambil mencabut pedangnya.
Tampak sinar pedang kehijauan karena pedang itu beracun.


"Hemm, kalian hendak mengetahui siapa aku" Sobat ini sudah mengenalku!" Dia menuding ke arah Seng Kun.
"Sebut saja aku Hek-tiauw Eng-hiong!"
"Kenapa engkau menghadang kami?"
"Kalian menangkap seorang gadis yang tidak bersalah.

Aku minta kalian 
membebaskannya!"

"Serang..... ...!" Seng Kun sudah membentak dan dia sudah menyerang dengan tongkat bambu kuningnya.
Melihat ini, Ban-tok Mo-li juga menggerakkan pedangnya menyerang. Menghadapi dua, serangan yang dahsyat itu, Hektiauw Eng-hiong mencelat ke belakang sambil mencabut pedangnya. 


Tampak sinar putih berkilauan ketika dia mencabut Pek-kong- kiam. Ban-tok Mo-li menerjang lagi.
Sekali ini Si Rajawali Hitam menggerakkan pedangnya
menangkis. 


"Tranggg..... !" Kedua pedang bertemu di udara dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Ban-tok Mo-li terkejut dan melangkah ke belakang. Ia merasa betapa lengan
kanannya tergetar hebat seolah-olah pedangnya bertemu dengan dinding baja yang keras dan kuat. 


Maklumlah ia bahwa Rajawali Hitam ini memang lihai sekali maka iapun membantu Seng Kun yang sudah menghujankan serangannya. Yauw Seng Kun bernafsu sekali untuk mengalahkan Rajawali Hitam, untuk menebus kekalahannya ketika pendekar itu membebaskan Kiok Hwa. 

Dia mainkan Pat-kwa-sin-kun dengan tongkat bambu kuningnya. Bambu kuning itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, merupakan gulungan sinar kuning melingkar-lingkar.

Semua serangan yang dahsyat ini ditambah lagi oleh serangan pedang beracun di tangan Ban-tok Mo-li, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan kedua orang itu. 


Akan tetapi Hek-tiauw Eng-hiong bersikap tenang, pedangnya diputar merupakan perisai putih berkilauan yang tidak dapat ditembus tongkat bambu dan pedang beracun.

"Hyaaattttt ...... !" Seng Kun membentak dan tongkatnya meluncur dengan tusukan ke arah tenggorokan Tin Han.
"Syatttt ..... !" Pedang beracun membarengi gerakan tongkat itu menusuk ke arah perut Tin Han.


Pemuda itu bersikap waspada, maklum akan hebatnya dua serangan yang dilakukan dalam saat yang bersamaan itu. Dia miringkan tubuh untuk mengelak dari sambaran tongkat yang meluncur ke arah lehernya, lalu memutar pedang untuk menangkis pedang yang menusuk perutnya.


"Trangggg......!" kembali bunga api berpijar dan Tin Han menggerakkan kakinya menendang kepada Ban-tok Mo-li, menggunakan kesempatan selagi wanita itu melangkah mundur ketika kedua pedang bertemu.


"Wuuuuuttt..... ..... Ban-tok Mo-li terpaksa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, baru ia terbebas dari tendangan yang mengancam perutnya itu.
Karena tongkatnya dielakkan, Seng Kun menjadi penasaran dan kembali tongkatnya menusuk-nusuk dengan cepat mengarah jalan darah di bagian depan tubuh Tin Han.


Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya melindungi tubuhnya Saat itu kembali pedang Ban-tok Mo-li menyambar, sekali ini membabat ke arah lehernya.


Tin Han yang masih memutar pedang melindungi tubuh bagian bawah, merendahkan tubuh sehingga babatan pedang Ban-tok Mo-li meluncur lewat di atas kepalanya.


Dengan memutar tubuh Tin Han menusukkan pedangnya ke dada wanita itu dan kakinya mencuat menyambar ke arah Seng Kun. Dengan tergopoh-gopoh kedua orang itu,mengelak dari serangan yang cepat dan berbahaya itu.


Kembali mereka saling serang dan kedua orang itu mengurung ketat, namun gerakan pedang Tin Han tetap melindungi tubuhnya dan sukar pertahanannya ditembus.


Sementara itu, Lee Cin yang sudah dapat menggerakkan kedua tangannya, mulai menghimpun tenaganya. Ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya ke arah kedua lengannya, kemudian menggerakkan kedua tangannya dan putuslah tali pengikat kedua pergelangan tangannya. 


Setelah bebas dari belenggu, Lee Cin melompat turun dari punggung kuda. Melihat betapa Tin Han dikeroyok oleh dua orang itu, ia cepat masuk ke dalam gelanggang perkelahian dan dengan menggunakan Ang-tok-ciang ia menyerang ke arah dada Ban-tok Mo-li.

Pukulan yang dilakukan Lee Cin ini dahsyat bukan main, mengejutkan Ban-tok Mo-li. Ia mengelak dan mencoba untuk balas menyerang dengan pedangnya, akan tetapi Lee Cin tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyerangnya. 


Lee Cin sudah menghujani lawan dengan totokan It- yang-ci yang amat lihai. Ban-tok Mo-li mengeluarkan seruan kaget dan terpaksa ia mengelak ke sana sini sambil membabatkan pedangnya, mencoba untuk membutungi kedua tangan Lee Cin yang melakukan totokan.

Kini Seng Kun terpaksa menghadapi Tin Han seorang diri, dan tentu saja begitu ditinggalkan Ban-tok Mo-li segera terdesak hebat oleh sinar pedang di tangan Tin Han. 


Si Kedok Hitam atau Si Rajawali Hitam ini mendesaknya dan ketika Seng Kun sudah mundur- mundur kewalahan,sebuah tendangan menyambar dan mengenai tangan Seng Kun yang memegang tongkat bambu kuning. 

Tongkat itu terlepas dari tangannya dan terlempar jauh. Dengan tangan kirinya, Tin Han dapat menotok pundak Seng Kun dan pemuda itupun terguling dan tidak mampu bergerak lagi.

Melihat Seng Kun sudah roboh. Ban-tok Mo-li menjadi panik. Gerakannya makin kacau dan karena ia suduh
terdesak oleh serangan It-yang-ci, akhirnya ia tidak dapat mengelak dari sebuah totokan jari tangan kiri Lee Cin dan iapun roboh dengan lemas tak dapat menggerakkan kedua tangannya lagi.


Melihat lawannya sudah roboh, cepat Lee Cin meraih ke arah pinggang Ban-tok Mo-li, merenggut lepas pedang Ang-coa-kiam dan memasangnya sebagai sabuk di pinggangnya sendiri. 


Setelah itu ia memutar tubuhnya, menghadapi Rajawali Hitam dan memandang dengan sinar mata berseri penuh kegembiraan. Tin Han tidak tahu bahwa Lee Cin sudah mengetahui rahasianya, bahwa gadis itu sudah tahu akan penyamarannya sebagai Kedok Hitam, maka dia tidak berkata apa-apa dan menghampiri Seng kun sambil menodongkan pedangnya ke arah dada orang itu.

"Jangan ...... ! Jangan bunuh mereka. Betapapun juga, mereka tidak membunuhku. Sekali ini biarlah mereka bebas sebagai balasanku bahwa mereka tidak membunuh atau menggangguku!' 


Setelah ia berkata demikian, Lee Cin
menotok ke arah tubuh Ban-tok Mo-li untuk mengembalikan jalan darahnya. Melihat ini, Tin Han juga membebaskan totokannya atas diri Seng Kun. Setelah kedua orang itu bangkit dan menggeliat, Lee Cin berkata kepada mereka dengan lantang:


"Yauw Seng Kun dan Ban-tok MoIi, kalian tidak membunuhku dan telah memperlakukan aku dengan baik,
maka sekali ini aku maafkan kalian. Kalian boleh pergi.


Akan tetapi kalau lain kali aku bertemu dengan kalian dan kalian masih melakukan kejahatan, aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Pergilah!"

Seng Kun mengambil tongkat bambu kuningnya dan Ban-tok Mo-li juga memungut pedangnya, kemudian kedua orang ini berlari pergi tanpa sepatahpun kata. Mereka merasa amat penasaran dan juga marah dan kecewa.


Terutama sekali Seng Kun. Kalau tahu akan begini kesudahannya, tentu sudah kemarin-kemarin
dia membunuh Lee Cin!



          **********


Kini Lee Cin dan Rajawali Hitam berdiri saling berhadapan. Rasa haru mencengkeram hati Lee Cin. Ia
berhadapan lagi dengan Cia Tin Han!
"Han-ko, aku gembira sekali bahwa engkau ternyata tidak mati di jurang itu!" katanya dengan suara gemetar.

"Nona Souw, aku...... bukan..... "
"Aih, Han-ko. Apakah engkau masih bersembunyi dariku" Aku melihat ketika kedokmu terbuka oleh Nenek Cia dan melihat engkau tertendang jatuh ke dalam jurang! Tidak perlu berpura-pura lagi, Han-ko. Aku tahu bahwa engkaulah Si Kedok Hitam!"


"Ah,..... engkau sudah tahu..."
Lee Cin mengangguk dan berkata dengan terharu. "Aku mengira engkau telah mati, Han-ko. Aku sudah hampir putus asa...... mencarimu ke mana-mana ...... akan tetapi engkau tetap menghilang..... " 


Lee Cin tidak dapat menahan keharuan dan juga kebahagiaan hatinya, dan beberapa tetes air mata membasahi pipinya.
Tin Han melangkah maju dan memegang kedua tangan Lee Cin. "Cin-moi, engkau...... engkau menyedihi kematianku. ..... ?"

"Aku....... rasanya aku kepingin mati saja, Han-ko. Aku mencarimu di dasar jurang, aku kehilangan engkau, aku menangisi kematianmu akan tetapi aku tetap penasaran karena tidak melihat jenazahmu. 


Harapanku hanya untuk melihatmu kalau engkau masih hidup, dan kalau engkau sudah mati, aku ingin melihat kuburanmu. Akan tetapi.....
engkau kini masih hidup, di sini.....!"


"Cin-moi, apakah ini berarti bahwa engkau...... juga membalas cintaku kepadamu?"
Lee Cin menengadah dan pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang mencorong dari balik kedok. Ia tersenyum dengan mata basah lalu mengangguk.


"Ahhhhh, Cin-moi..... !" Tin Han mendekap kepala itu ke dadanya dengan kuat, seolah hendak membenamkan kepala itu ke dalam dadanya dan menyimpannya di hatinya agar jangan sampai terpisah lagi.


"Han- ko..... !" Lee Cin balas merangkul, lalu dengan lembut tangan kiri Lee Cin merenggutkan penutup muka Tin Han sehingga tampaklah Tin Han yang tampan. 


Wajah itu tersenyum dan kedua matanya juga basah saking terharunya mengetahui bahwa gadis yang amat dicintanya itu juga membalas cintanya.

"Cin-moi..... !" Dia menunduk dan mencium pipi, hidung dan bibir Lee Cin dengan sepenuh perasaannya.
"Han-ko, tadinya aku bingung. Aku mencinta Cia Tin Han, akan tetapi aku kagum kepada Si Kedok Hitam, apa lagi ketika Si Kedok Hitam menyatakan cintanya kepadaku, seperti juga Cia Tin Han mengaku cinta kepadaku. Aku bingung harus memilih yang mana. Sampai aku melihat Nanek Cia menyingkap kedokmu. 


Aku berbahagia melihat bahwa engkaulah Si Kedok Hitam, akan tetapi kebahagiaan itu segera terganti hancurnya hatiku melihat engkau terjungkal ke dalam jurang itu! Seperti gila aku menuruni
jurang dan mencarimu, Han-ko. Kukira engkau sudah mati, akan tetapi ada juga kesangsianku karena aku tidak dapat menemukan jenazahmu. 


Ternyata engkau masih hidup seperti yang kusangka, bahkan engkau telah membebaskan aku dari cengkeraman kedua orang itu" Lee Cin memperkuat rangkulannya di pinggang pemuda itu. "Engkau harus menceritakan apa yang kaualami ketika terjatuh ke jurang itu, Han-ko!"

Tin Han melepaskan rangkulannya dan tersenyum.
"Banyak yang harus kuceritakan, banyak pula yang dapat kau ceritakan, Cin-moi. Biar aku menukar dulu pakaianku."


Penuda itu melepaskan pakaian hitamnya dan di sebelah dalam dia sudah mengenakan pakaian biasa. Dia menggulung pakaian hitam dan topeng itu, menyimpannya dalam buntalan pakaiannya dan dia mengajak Lee Cin duduk di atas batu. Mereka duduk sambil saling berpegang tangan, dan Tin Han berkata.


"Sekarang, kau ceritakan lebih dulu apa saja yang kaualami dan bagaimana engkau dapat terjatuh ke tangan dua orang jahat tadi."
Dengan kedua pipi kemerahan karena dicumbu oleh pemuda yang ia cinta tadi, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar menunjukkan kebahagiaan hatinya, Lee Cin lalu bicara, kedua tangannya masih dipegang oleh Tin Han dan kedua matanya menatap wajah pemuda itu dengan penuh kasih sayang.


"Han- ko, banyak sudah kualami sejak kita berpisah, sejak engkau membebaskan aku dari tangan keluargamu itu." Lee Cin lalu menceritakan pengalamannya, betapa ketika ia mencari-cari Tin Han di dasar jurang, ia bertemu dengan Ouw Kwan Lok dan berhasil membuntungi lengan kiri pemuda jahat itu.


"Ah, dia tentu akan lebih mendendam kepadamu, Cin-moi."
"Tentu saja, akan tetapi biarlah, aku tidak takut walaupun kemudian aku menerima kenyataan bahwa kini
dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi dan lihai bukan main." 


Lee Cin melanjutkan kisahnya, betapa ia kembali ke Hong-san dan melihat ibu kandungnya telah bersatu kembali dengan ayahnya dan mereka hidup berbahagia di Hongsan. Kemudian ia menceritakan tentang pengunduran diri ayahnya sebagai Beng-cu.

Dalam pemilihan b
eng-cu baru inilah Ouw Kwan Lok muncul bersama Siang Koan Bhok, datuk dari timur yang menjadi pemilik Pulau Naga itu. Dan dalam pemilihan itu diadakan pertandingan. 

Akhirnya Ouw Kwan Lok menangkan semua pertandingan. Orang itu kini berubah lihai bukan main setelah menjadi murid Siang Koan Bhok dan dialah yang terpaksa dipilih sebagai Beng-cu baru karena memang tidak ada yang dapat mengalahkannya.

Tadinya aku hendak maju menentangnya, akan tetapi
ayahku melarangku, agaknya memang aku belum tentu dapat menandingirya. Dia benar-benar lihai, Han-ko."


"Hemm, kalau yang menjadi beng-cu seorang yang jahat, akan dibawa ke manakah dunia kang-ouw?" kata Tin Han sambil mengerutkan alisnya yang hitam tebal.


"Benar, dan sekarang yang menjadi pimpinan dunia kang-ouw adalah para datuk sesat belaka. Ketuanya Ouw Kwan Lok dan pembantu pertamanya Siang Koan Bhok
sedangkan pembantu kedua adalah Thian-te Mo-ong."


"Lalu bagaimana kelanjutan ceritamu, Cin-moi" Setelah engkau tinggal di Hong-san bersama ayah ibumu, mengapa engkau berada di sini dan menjadi tawanan kedua orang jahat tadi?"


"Aku tidak betah tinggal di Hong-san, koko. Aku ingin merantau,ingin mencarimu sampai dapat bertemu denganmu atau dengan kuburanmu. 


Ketika tiba di sebuah hutan di lereng bukit yang sunyi, aku mendengar jerit tangis seorang wanita. Aku segera memasuki hutan itu dan melihat orang tadi, Yauw Seng Kun, sedang hendak memperkosa seorang wanita. Tentu saja aku segera menolongnya dan menyerang Yauw Seng Kun. Kami berkelahi dan dia
melarikan diri. 


Ketika aku menolong wanita yang hendak dipermainkan tadi, merangkulnya karena ia terhuyung, tiba-tiba saja wanita itu mengebutkan saputangan yang mengandung obat bius. Aku jatuh pingsan dan ketika tersadar, aku berada di tangan mereka. Mereka menotokku dan mengikat kedua tanganku. Ternyata mereka tadi hanya bersandiwara sehingga aku terjebak."

"Akan tetapi, engkau ditawan dan diajak sampai ke sini, hendak dibawa ke manakah?"
"Ke mana lagi kalau tidak ke Pulau Naga. Ternyata mereka itu menjadi anak buah Ouw Kwan Lok yang menjadi beng-cu dan tinggal di Pulau Naga."


"Hemm, aku tahu bahwa beng-cu baru Ouw Kwan Lok itu mengumpulkan para tokoh kang-ouw golongan sesat untuk bergabung dengannya," kata Tin Han.


"Mereka berdua itu sengaja tidak membunuhku. Tadinya Seng Kun hendak membunuhku, akan tetapi dia dilarang oleh Ban-tok Mo-li. Mereka tahu bahwa Ouw Kwan Lok
menganggap aku, Song Thian Lee, dan Tang Cin Lan sebagai musuh
besarnya. 


Kami bertiga memang pernah bertentangan dengan guru-gurunya, yaitu mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong. Ban-tok Mo-li berkeras untuk menyerahkan aku sebagai tawanan kepada Ouw
Kwan Lok, maka ia dan Seng Kun memaksa aku mengikuti mereka menuju ke Pulau Naga. 


Kalau memasuki tempat ramai, mereka membuka ikatan tanganku, akan tetapi aku ditotoknya sehingga aku tidak dapat memberontak. Untung sekali engkau datang, Han-ko. Kedatanganmu membawa
berkah bagiku, bukan saja membuatku berbahagia melihat 
engkau masih hidup, akan tetapi juga sekaligus menolongku dari ancaman bahaya."


"Mereka jahat sekali, Cin-moi. Kenapa engkau melarangku membunuh mereka?"
"Ada dua hal yang membuat aku ingin membebaskan mereka,
Han-ko. Pertama karena mereka tidak membunuhku dan memperlakukan aku dengan baik dan tidak menggangguku sepanjang perjalanan dalam beberapa hari ini. 


Dan ke dua, kuanggap merekalah yang telah berjasa mempertemukan aku denganmu! Kebahagiaanku bertemu denganmu tidak boleh dikotori dengan pembunuhan dan
saking girangnya hatiku, maka aku membebaskan mereka berdua. 


Aku berterima kasih sekali kepada Thian yang telah mempertemukan kita berdua!"
Tin Han meraih kepalanya dan mencium dahinya. Lee Cin gemetar dan memejamkan matanya. Ia merasa betapa mesranya ciuman pemuda yang dikasihinya itu.


"Sekarang giliranmu, koko. Ceritakanlah pengalamanmu sejak engkau terjatuh ke dalam jurang Bagaimana engkau dapat terbebas dari kematian setelah terjatuh dari tempat yang demikian tingginya" Rasanya sukar dapat dipercaya bahwa orang yang terjatuh ke dalam jurang sedalam itu masih dapat lolos dengan selamat."


"Memang, Cin-moi, peristiwa yang kualami betapa Maha Kuasanya Tuhan, betapa tepatnya pendapat bahwa apabila Tuhan menghendaki sesuatu, pasti akan terjadi betapa tidak mungkinpun menurut pendapat manusia. 


Siapapun didalam dunia ini pasti akan berpendapat sama, yaitu bahwa orang yang terjatuh dari tempat yang demikian tinggi tidak mungkin dapat lolos dengan selamat. Akan tetapi terjadilah suatu kemujijatan ketika aku melayang jatuh itu, Cin-moi.

Ketika tubuhku melayang-layang
tanpa aku dapat menguasai diriku lagi, tiba-tiba ada seekor burung rajawali hitam yang besar sekali mencengkeram leher bajuku dan membawaku terbang turun dengan selamat."


"Burung rajawali hitam yang besar" Betapa anehnya..... !"
Lee Cin berseru heran sambil memandang kepada wajah Tin Han. Kalau bukan pemuda yang dicintanya ini yang bercerita, sukarlah mempercaya keterangan itu.


"Ya, nama sebutannya Hek-tiauwko dan dia ternyata adalah burung peliharaan seorang kakek sakti bernama Thai Kek Cin-jin. Ketika aku dibawa oleh Hek-tiauw-ko menghadap Thai Kek Cin-jin, aku bertemu dengan guruku, Bu Beng Lo-jin."


"Ah, jadi sebelum itu engkau telah memiliki seorang guru, Han-ko" Pantas ilmu kepandaianmu sudah begitu hebat mengatasi kepandaian keluargamu."


"Benar, Cin-moi. Aku berguru kepada Bu Beng Lo-jin yang tidak mau disebut namanya dihadapan keluargaku maka aku belajar ilmu secara rahasia kepadanya. Dan karena itu pula aku terpaksa harus menyamar sebagai Si Kedok Hitam untuk menyembunyikan kepandaianku dari keluargaku."

"Aih, engkau nakal, Han-ko. Dengan penyamaranmu itu, engkau membuat aku pusing tujuh keliling, harus memilih antara Cia Tin Han dan Si Kedok Hitam yang kedua-duanya menyatakan cinta kepadaku! Kiranya orangnya sama!"

"Aku memang sejak pertemuan pertama telah mencintamu, Cin-moi. Maka ketika bertemu denganmu
sebagai Si Kedok Hitam, aku tidak tahan untuk tidak mengakui cintaku."


"Lalu bagaimana ceritamu, Han-ko?"
"Aku sempat mendapat kebahagiaan dilatih ilmu oleh Thai Kek Cin-jin selama beberapa bulan. Biarpun hanya tiga bulan, namun petunjuk beliau telah memberi kemajuan
pesat kepadaku. 


Dua ilmu yang dia turunkan adalah Hektiauw kun dan Khong-sim Sin-kang."
"Hebat sekali! Ilmu kepandaian telah demikian hebat, apa lagi setelah mendapat petunjuk seorang sakti. Aku kagum sekali dan semakin mencinta padamu!" kata Lee Cin sambil menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya itu. Tin Han memeluknya dengan penuh perasaan bahagia.


"Aku juga melihat betapa hebatnya ilmu totok yang kaupergunakan tadi, Cin-moi. Dari siapakah engkau mempelajari ilmu totok seperti itu?"
"Itu adalah ilmu totok It-yang-ci...."
"Apa" Apakah ilmu totok dari ketua Siauw-lim-pai itu?"


"Benar, In-kong Thai-su telah melatih ilmu totok It-yang-ci kepadaku, Han-ko."
"Ah, pantas engkau demikian lihai, kiranya engkau adalah murid kakek sakti dari Siauw-lim-pai itu."


"Lalu bagaimana kelanjutan ceritamu, Han-ko?"
"Setelah berpisah dari suhu Thai Kek Cin-jin, aku lalu merantau. Mencari keluargaku yang ternyata telah pergi dari Hui-cu setelah persekutuan itu dihancurkan Panglima Song Thian Lee. Aku juga berusaha mencarimu di Hongsan, akan tetapi aku merasa ngeri dan khawatir membayangkan
penyambutan ayahmu terhadapku yang pernah menyerangnya dahulu. 


Dalam perjalanan itu, kalau aku bertindak terhadap orang jahat, aku selalu menggunakan kedok dan pakaian hitam dan aku mengaku berjuluk Hektiauw Eng-hiong."

"Aha, engkau menggunakan nama Rajawali Hitam itu untuk penyamaranmu" Bagus sekali, Han-ko!"


"Hal ini kulakukan agar aku tidak dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah Mancu. Dalam perjalanan aku bertemu dengan orang yang bernama Yauw Seng Kun tadi. Dia menculik seorang gadis dan aku mengejarnya lalu membebaskan gadis itu setelah Yauw Seng Kun melarikan diri dan mengenalku sebagai Hektiauw Eng-hiong. Dia menculik gadis karena ia mirip sekali denganmu, Cin-moi.


Aku sendiri tadinya juga mengira bahwa gadis itu adalah engkau. Akan tetapi aku segera mengenalnya. Ternyata bukan engkau."
"Mana lebih cantik, gadis itu atau aku, Cin-ko?" tanya Lee Cin dan ia merasa rikuh sendiri. Kenapa ia mendadak menjadi begini manja"


"Tentu saja engkau berlipat kali lebih cantik, Cin-moi.
Nah, setelah itu, aku menuju ke Hong-san. Di dalam perjalanan itu aku bertemu dengan serombongan perajurit kerajaan. Aku menjadi tertarik dan membayangi mereka.


Ternyata mereka mengadakan pertemuan di sebuah hutan lembah Huang-ho, dan tahukah engkau siapa yang ditemui perwira yang memimpin serombongan perajurit itu" Ternyata perwira itu mengadakan pertemuan dengan Thian-te Moong."


"Ah, wakil ke dua dari Beng-cu" Aneh sekali, kenapa panglima kerajaan mengadakan pertemuan dengannya yang dahulu membantu pemberontakan?"


"Memang aneh sekali, tadinya akupun berpendapat begitu. Akan tetapi setelah mendengarkan percakapan mereka, mengertilah aku bahwa memang mereka itu utusan dari Ouw-bengcu untuk berhubungan dengan pihak pasukan pemerintah. 


Ternyata Ouw-bengcu hendak membawa semua orang kang-ouw untuk menjadi antek penjajah Mancu!" kata Tin Han dan nada suaranya menunjukkan bahwa dia menyesal dan marah sekali "Pihak Mancu agaknya mengubah politiknya, hendak mendekati kaum kang-ouw terutama golongan sesat untuk memperkuat kedudukannya, untuk menentang para pendekar dan patriot." 

"Hemm, rencana yang licik dan jahat!" kata Lee Cin. "Lalu bagaimana selanjutnya, koko?"
"Dari percakapan mereka itu aku mendengar bahwa mereka hendak mencari Song Thian Lee untuk dibunuh. .....


" "Ehhh" Song Thian Lee adalah panglima mereka sendiri!"
"Ternyata tidak, moi- moi. Song Thian Lee telah mengundurkan diri dari jabatannya dan mungkin dia
dianggap orang berbahaya bagi pemerintah, maka komplotan itu berusaha hendak membunuhnya. 


Juga mereka hendak membunuh dan membasmi Keluarga Cia yang mereka anggap juga berbahaya bagi pemerintah!"
Lee Cin terkejut. "Jahat sekali mereka! Lalu bagaimana?"

"Karena mereka menyatakan hendak menuju ke tempat tinggal Song Thian Lee dan menyerbu, aku lalu mengikuti mereka. Ternyata Song Thian Lee yang telah meninggalkan kota raja bertempat tinggal di kota Tung-sin-bun. 


Rombongan itu menuju ke sana dan mereka semua yang  jumlahnya banyak, termasuk pula Yauw Seng Kun tadi, dan Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo kai, segera mengeroyok Song Thian Lee dan isterinya yang menggendong seorang anak kecil berusia kira-kira tiga tahun. 

Kedua suami isteri yang perkasa itu mengamuk dan aku kagum sekali kepada mereka. Keduanya bukan main lihainya, akan tapi karena pengeroyok itu berjumlah sembilanbelas orang, aku khawatir mereka sampai terluka, apa lagi isteri Song Thian Lee yang menggendong anak kecil. 

Aku lalu melompat dan membantu mereka!"
"Bagus! Aku girang sekali engkau melakukan hal itu, koko. Isteri Song Thian Lee itu adalah seorang sahabat baikku, namanya Tang Cin Lan. Ia memang lihai..... lalu bagaimana?"


"Kami bertiga mengamuk dan agaknya gerombolan itu tidak dapat bertahan dan melarikan diri. Aku menasihatkan Song Thian Lee untuk segera meninggalkan tempat kediamannya itu- karena pasukan itu tentu akan mendatangkan bala bantuan dan kalau pasukan besar
menyerbu, bagaimana mereka akan dapat membela diri"


Aku lalu pergi dan dari percakapan mereka yang kudengar tadi,aku mendapat tahu bahwa keluargaku telah menyembunyikan diri di puncak Bukit Cemara. Aku lalu mendahului mereka pergi ke sana. 


Akan tetapi aku merasa sungkan sekali untuk bertemu mereka, karena mereka tentu menganggap aku sebagai pembantu musuh. Aku menanti sampai beberapa hari tanpa berani menemui mereka. ..... "

"Kasihan engkau, Han-ko. Karena engkau menolongku, maka engkau bentrok dan dibenci oleh keluargamu. Maafkan aku, Han-ko," kata Lee Cin dengan nada suara berduka.


Tin Han merangkulnya. "Jangan bersedih, Cin-moi, karena semua berakhir dengan baik. Ketika aku sedang menanti, datang rombongan Thian-te Mo-ong yang kini diperkuat oleh Siang Koan Bhok. Mereka itu membujuk nenekku untuk bergabung dengan mereka membantu pemerintah Mancu. 


Tentu saja nenek menolak keras dan terjadilah pertandingan satu lawan satu. Nenek maju bertanding melawan Siang Koan Bhok dan nenek kalah,bahkan terluka parah. 

Aku maju tanpa topeng, sebagai Cia Tin Han aku maju membela nenek sekeluarga. Thian- te Moong dan dia dapat kukalahkan. Lalu Siang Koan Bhok yang maju bertanding denganku dan akhirnya, setelah melalui pertandingan yang sengit, aku dapat pula mengalahkan dia.

Agaknya Thian- te Mo- ong putus asa setelah kekalahan Siang Koan Bhok dan mereka lalu pergi."
"Bagus, engkau dapat mengalahkan Siang Koan Bhok, itu berarti bahwa kepandaianmu telah maju pesat, koko. Jarang ada orang mampu mengalahkan dia, datuk besar dari timur itu.


"Ah, kepandaian manusia itu terbatas dan tentu ada yang melampauinya, Cin- moi. Kita sama sekali tidak boleh berbangga dan sombong karena kepandatan kita, melainkan harus dengan rendah hati siap dan waspada, karena setinggi-tingginya kepandaian orang, tentu ada yang menandingi dan melebihinya."


"Engkau lihai dan rendah hati, itulah yang membuat aku kagum kepadamu koko. Kemudian bagaimana?"

"Menyedihkan, Cin- moi. Nenek meninggal dunia karena luka dalam yang parah akibat pukulan Siang Koan Bhok."

"Ah, kasihan sekali. Nenek Cia pernah bersikap baik sekali kepadaku. Engkau tentu mendendam kepada Siang koan Bhok"

"Tidak, moi- moi. Pertandingan itu adil dan kekalahan nenek memang sewajarnya. ilmu kepandaian Siang Koan Bhok lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya. Kematiannya wajar dan memang sudah di takdirkan begitu.

Aku membenci Siang Koan Bhok bukan karena dendam atas kematian nenek itu, melainkan karena..... sekarang menjadi antek penjajah Mancu untuk memusuhi para pendekar dan patriot."
"Lalu bagaimana, selanjutnya, koko?"


"Sebelum nenek meninggal dunia, kami masih sempat bercakap-cakap dahulu dan nenek dengan gagah dan jujur mengakui akan kesalahannya bahwa ia pernah bersekutu dengan golongan sesat, dengan pasukan pemberontak dan bahkan dengan orang Jepang. 


Ia mengakui bahwa pendapatku yang benar, bahwa kita berjuang harus secara murni, tidak bersekutu dengan golongan sesat, kecuali hanya dengan rakyat jelata untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu. Bahkan nenek selanjutnya
berpesan kepada semua keluarganya untuk tidak mengulangi kesalahan itu."

"Lalu bagaimana?"
"Aku mengusulkan kepada keluargaku untuk berpencar karena kami menjadi buruan pemerintah. Ayah pergi bersama ibu, kedua orang paman pergi bersama, kakak Tin Siong pergi seorang diri dan aku juga pergi seorang diri, melaksanakan tugas sebagai pendekar dan patriot. 


Nah, dalam perjalanan terakhir ini, ketika aku hendak melanjutkan perjalanan ke Hong-san untuk mencarimu, aku bertemu dengan engkau yang menjadi tawanan dua orang jahat tadi."

"Agaknya Thian sendiri yang membimbingmu ke sini sehingga dapat bertemu dan menolongku, Han- ko. Dan sekarang, kita mau ke mana?"
"Engkau sendiri tadinya hendak ke mana, Cin-moi?"


"Sudah kukatakan kepadamu tadi bahwa aku merantau untuk mencarimu."
"Demikian pula tadinya aku hendak ke Hong-san, juga untuk mencarimu. Dan kita sudah bertemu di sini sekarang."
"Aku tidak ingin berpisah lagi dari mu, Han-ko."


"Demikian pula aku, Cin-moi. Kita tidak akan pernah berpisah lagi sekarang. Suka-duka harus kita pikul bersama.
Maka, marilah kita lanjutkan perjalanan kita ke Hong-san.
Aku ingin menghadap orang tuamu, bukan saja untuk membicarakan urusan kita berdua, akan tetapi juga untuk minta ma"af atas penyeranganku tempo hari."


"Han-ko, perlukah hal itu kauceritakan" Ayahku tidak mengenalmu, hanya tahu bahwa yang menyerangnya adalah Si Kedok Hitam. Apakah tidak sebaiknya kalau hal itu didiamkan saja agar tidak menimbulkan persoalan baru?"


Tin Han memandang kekasihnya dengan sinar mata tegas. "Tidak, Cin-moi. Di dalam kehidupan kita, kita harus bersikap jujur. Aku akan selamanya merasa bersalah kalau aku berdiam saja terhadap ayahmu, aku merasa telah berlaku curang kepada calon mertuaku sendiri. 


Aku harus mengaku terus terang, mengapa aku menyerangnya ketika itu. Aku memang bersalah. Kuanggap tadinya bahwa ayahmu diangkat menjadi beng-cu atas restu dan pilihan pemerintah penjajah, maka aku tidak senang dan ingin sekedar memberi peringatan."

Lee Cin mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, Han-ko. Aku khawatir sekali, apa lagi mengingat bahwa ibu kini berada di sana. Mungkin ayah dapat memaafkanmu, akan tetapi ibu berhati amat keras. Bagaimana kalau ia menjadi marah?"


"Apapun akibatnya harus kutanggung, Cin- moi. Seorang pendekar harus berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya,bukan" Biar apapun akibatnya akan kuterima dengan lapang dada."


"Ah, Han- ko..... !" Lee Cin merangkul dan menempelkan mukanya ke dada pemuda itu. Tubuhnya agak gemetar,
"Aku takut, aku khawatir sekali, Han-ko."
"Percayalah,aku akan sanggup menerima segala akibatnya. 


Harap engkau tidak khawatir, apapun akibatnya, aku akan tetap mencintamu, sampai mati sekalipun."
"Han- ko, jangan sebut-sebut tentang kematian. Engkau bagiku pernah mati sekali, jangan ulangi lagi hal itu."


Tin Han merangkul dan menghibur. "Sudahlah, tabahkan hatimu dan mari kita berdua menghadapi kenyataan yang tidak dapat diubah lagi. Mari kita berangkat , Cin-moi."

Dengan bergandeng tangan, dua orang yang sedang dimabok asmara itu lalu meninggalkan hutan itu dan
melakukan perjalanan berdua. 


Biarpun dibayangi kekhawatiran besar, Lee Cin tetap merasa berbahagia bahwa sekarang Ia telah melakukan perjalanan di samping orang yang di kasihinya dan yang telah membuat ia menderita kesedihan dan kerinduan selama berbulan-bulan itu. 

Entah bagaimana, mendadak saja segala sesuatu yang dilihatnya tampak indah sekali. 

Pohon-pohon, rumput-rumputan, daun dan bunga, bahkan sawah ladang yang jauh itu tampak
demikian indahnya bagi Lee Cin dan juga bagi Tin Han.


Memang demikianlah pengaruh cinta asmara antara kedua insan yang sedang dimabok asmara. Hidup rasanya indah bukan main, cerah dan menggembirakan hati. 


Dunia ini serasa mereka berdua saja yang punya. Semua ingatan terlupakan, yang ada hanya diri mereka masing-masing.
Kalau cinta sudah bertemu cinta, hidup ini serba indah berbunga-bunga.


          **********


Souw Tek Bun dan isterinya, Ang-tok Mo-li Bu Siang,sedang duduk berdua di beranda depan. Bekas beng-cu dan isterinya ini hidup tenang dan damai dan menikmati kehidupan di hari tua yang tenteram. 


Bu Siang sudah sama sekali mencuci tangan tidak lagi mau mencampuri urusan dunia kang-ouw, sedangkan Bun Tek juga tidak ingin pergi merantau sebagai seorang pendekar lagi. 

Mereka berdua menganggap bahwa kehidupan di dunia persilatan penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka tidak ingin tengganggu ketenangan hidup yang mereka nikmati itu dengan kekerasan dan permusuhan lagi. 

Lega hati Souw Tek Bun bahwa dia sudah mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai beng-cu. Sekarang tidak akan ada lagi orang kang-ouw yang mencarinya.

Tiba-tiba mereka melihat dua sosok bayangan orang datang menuju ke pondok tempat tinggal mereka. Setelah melihat dua sosok bayangan itu semakin dekat, Ang-tok Mo-li berseru gembira, "Itu Lee Cin!"


Mereka bangkit dan Souw Tek Bun tersenyum ketika melihat bahwa yang datang itu betul Lee Cin bersama seorang pemuda tampan yang kelihatan lembut. 


Jantung kedua orang tua ini berdegup tegang melihat ini. Siapakah pemuda itu" Apakah pemuda itu pilihan hati Lee Cin"

Mereka merasa tegang dengan harapan dan kegembiraan.
"Ayah!..... ..... !" kata Lee Cin gembira dan ia segera merangkul ibunya.
Tin Han memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan membungkukkan tubuhnya di depan suami isteri itu. "Paman dan bibi berdua, terimalah hormat saya."


"Eh, Lee Cin, siapakah orang muda ini?" tanya Ang-tok Mo-li Bu Sian sambil menatap wajah yang tampan dan lembut itu. Ini adalah koko Cia Tin Han, ibu dan ayah. Dia sahabat baikku yang sudah berulang kali menolong dan menyelamatkan aku dari bahaya maut."


Mendengar keterangan ini, suami isteri itu dapat menduga bahwa pemuda yang nampak halus ini tentu
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ini mengingatkan Ang-tok Mo-li akan sesuatu.
"She Cia, ya" Apakah ada hubungannya dengan Keluarga Cia di Hui-cu?"
"Benar sekali, ibu! Kak Tin Han adalah cucu kedua dari Nenek Cia Hui-cu!"



          **********



"Hemm, bagus. Jadi ini cucu Nyonya Cia" Aku pernah bertanding mengadu ilmu dengan Nyonya Cia, dan keadaan kami seimbang. Ingin aku sekali lagi mengadu ilmu dengannya!"


"Akan tetapi Nenek Cia telah meninggal dunia, ibu. Ia terluka akibat bertanding melawan Siang Koan Bhok."


"Hemm, kalau begitu, boleh juga aku mencoba ilmu kepandaian yang ia turunkan kepada cucunya ini."
"Ibu jangan begitu! Kak Tin Han adalah sahabat baikku yang telah berulang kali menyelamatkan nyawaku."


"Sudahlah, isteriku, untuk apa mencari keributan lagi"
Cucu Nyonya Cia ini tidak tahu apa-apa, jangan libatkan dia dalam pertandinganmu melawan Nyonya Cia. Mari, silakan masuk. Kita bicara di dalam saja." Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di ruangan depan yang cukup luas.


"Lee Cin, inikah pemuda yang kau ceritakan dahulu itu"
Yang 
kau sangka mati masuk ke dalam jurang?"

Lee Cin mengangguk dan kedua. pipinya berubah kemerahan. Agaknya ayahnya tahu apa yang terasa olehnya.
"Benar, ayah. Ternyata dia tidak terjatuh dan mati, melainkan tertolong oleh seorang sakti yang memiliki burung rajawali hitam."


"Rajawali Hitam kau bilang" Hem, aku pernah mendengar tentang seorang manusia setengah dewa yang memiliki burung seperti itu. 


Kalau tidak salah nama julukannya adalah Thai Kek Cin-jin, akan tetapi nama itu hanya seperti nama tokoh dalam dongeng."
"Memang dialah orangnya, ayah! Malah dia menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Han-ko!" kata Lee Cin gembira.


"Hemm, begitukah?" Souw Tek Bun mengangguk-angguk dan memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian dan kagum.

"Paman Souw Tek Bun, saya sengaja ikut dengan Cin-moi datang menghadap paman dan bibi berdua untuk menyampaikan dua hal penting. Akan tetapi sebelumnya saya mohon maaf terlebih dahulu."


Ang-tok Mo-li masih memandang dengan penasaran,akan tetapi Souw Tek Bun menjawab sambil tersenyum,"Katakanlah, Tin Han, apa yang ingin kau sampaikan kepada kami?"


"Pertama-tama, saya mohon maaf bahwa dahulu saya pernah menyerang paman, bahkan melukai paman dalam penyamaran saya sebagai Kedok Hitam. Sayalah orangnya, paman dan saya merasa menyesal sekali."


"Ah, itukah" Lee Cin sudah menceritakan kepada kami dan aku sudah melupakan peristiwa itu. Apalagi engkau sudah berulang kali menyelamatkan nyawa Lee Cin, maka perhitungan antara kita sudah impas. 


Lebih lagi kalau diingat bahwa dalam pertandingan itu akupun telah melukai lenganmu dengan pedangku. Hanya ada satu hal yang masih belum kuketahui benar. Mengapa engkau menantang dan
menyerangku ketika itu, Tin Han?"


"Ampun, paman. Ketika itu, saya masih hijau dan semangat saya menggebu-gebu. Saya membenci semua orang yang bekerja untuk pemerintah penjajah dan karena paman diangkat sebagai beng-cu atas pilihan dan restu pemerintah, maka saya menganggap paman juga seorang.....antek pemerintah penjajah. Itulah sebabnya saya menyerang paman."


"Ha-ha-ha, sudah kuduga begitu! Tahukah engkau, orang muda. Penyeranganmu atas diriku itulah yang menyadarkan aku bahwa kedudukanku sebagai beng-cu tidak akan mengangkat derajat dan kehormatanku sebagai seorang
pendekar. Karena itu aku mengundurkan diri dari kedudukan beng-cu. Seperti kaukatakan tadi, aku memaafkanmu dan bahkan sudah melupakan peristiwa itu.

Sebelum menjadi murid Thai Kek Cin-jin engkau sudah begitu lihai, apa lagi setelah menjadi murid manusia setengah dewa itu, tentu kepandaianmu telah meningkat tinggi sekali, Tin Han."
"Ah, biasa-biasa saja, paman."


"Dia memang lihai sekali, ayah. Bahkan Siang Koan Bhok pernah dikalahkannya dalam pertandingan," kata Lee Cin yang sudah mendengar tentang pertandingan itu dari mulut Tin Han.


Souw Tek Bun membelalakkan matanya. "Begitukah" Ah, hebat sekali kalau begitu. Pada waktu sekarang ini sukarlah dicari orang yang akan mampu menandingi Siang Koan Bhok kecuali mungkin hanya Panglima...... eh, maksudku mantan Panglima Song Thian Lee. 


Lalu, hal apakah yang kedua, yang ingin kausampaikan kepada kami?"
Tin Han memandang kepada Lee Cin seperti ingin minta kekuatan dari gadis itu. Lee Cin balas memandang dan tersenyum menenangkan. 


Tin Han lalu mengumpulkan keberanian hatinya dan berkata, "Paman Souw dan bibi, terus terang saja bahwa di antara adik Lee Cin dan saya telah ada persetujuan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri. Oleh karena itu, sekarang saya mohon persetujuan paman berdua. 

Kalau sudah begitu, saya akan minta kepada orang tua saya untuk mengajukan pinangan."
Souw Tek Bun terbelalak kaget dan heran mendengar pernyataan yang demikian terus terang dan terbuka, akan tetapi mulutnya tersenyum karena diam-diam dia menyetujui kalau Lee Cin berjodoh dengan pemuda yang lihai ini. 


Akan tetapi sebelum dia dapat memberi jawaban, isterinya sudah cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara ketus. "Tidak bisa! Aku pernah bermusuhan dengan Nyonya Cia, dan engkau sendiri pernah menyerang suamiku.

Bagaimana mungkin aku dapat menerimanya sebagai mantu" Tidak, aku tidak setuju sama sekali!"
"Ibu..... !" Lee Cin berseru kaget.


"Lee Cin, aku adalah ibumu. Aku lebih tahu dari pada engkau. Pendeknya engkau tidak boleh berjodoh dengan pemuda ini. Hei, Cia Tin Han, engkau sudah mendengar 

RAJAWALI HITAM JILID 06




Engkau sudah memdengar penolakkanku jangan suruh ayah bundamu ke sini untuk meminang Lee Cin karena aku tentu akan menolaknya dan kalau merekta berani datang, kuanggap mereka tidak tahu diri dan mungkin akan kusambut dengan tantangan!"

Lee Cin dan ayahnya terkejut sekali mendengar kata-kata yang keras dan ketus dari Ang-tok Mo-li itu. Tin Han sendiri menggigit bibirnya dan mukanya berubah pucat.


"Siang-moi! Jangan berkata demikian. ...... " kata Souw Tek Bun kepada isterinya.
"Pendeknya aku tidak setuju kalau Lee Cin berjodoh dengan pemuda ini, habis perkara!" kata pula Ang-tok Mo-li dengan marah.


Tin Han bangkit dengan perlahan, memandang kepada Lee Cin dengan wajah pucat lalu menjadi merah, dan dengan lirih dia berkata, "Cin-moi..... aku mohon diri, engkau sudah mendengar sendiri kata-kata ibumu."


"Tidak, Han-ko!"
"Lee Cin, apakah engkau hendak menentang pendapat ibumu sendiri" Lupakah engkau bahwa sejak kecil engkau kubesarkan kudidik dan kugembleng, hanya untuk menentangku sesudah engkau dewasa" Hei, Cia Tin Han, apakah engkau tidak tahu malu" Sudah kutolak masih juga belum pergi dari sini?"


Tin Han membalikkan tubuhnya memandang kepada wanita yang marah itu, wajahnya kini berubah kemerahan dan diapun berkata, "Paman Souw dan bibi, aku mohon diri.
Cin-moi selamat tinggal!"

Tin Han lalu berkelebat lenyap dari situ, sudah keluar dari pondok itu dengan cepat sekali.


"Han-ko !" Lee Cin mengejar, akan tetapi ketika tiba di luar rumah ia sudah tidak melihat lagi bayangan pemuda itu dan ia tidak tahu kearah mana Tin Han pergi. 


Kemudian ia mengejar ke arah selatan, akan tetapi sampai belasan li ia berlari, tidak juga dapat menyusul Tin Han yang mungkin lari ke lain jurusam. Air mata Lee Ci bercucuran dan ia masih menangis ketika memasuki rumahnya.

"Ibu, kau keterlaluan, ibu! Karena ibu menolak bahkan mengusir Han-ko" Apa salahnya?" Ia menuntut kepada ibunya yang masih duduk di ruangan depan bersama ayahnya. "Aku bertindak demi kebaikanmu, Lee Cin. Aku tidak setuju kalau engkau menjadi isteri keturunan keluarga Cia!"


"Akan tetapi mengapa, ibu" Apa alasanmu?" Lee Cin mendesak.
Souw Tek Bun juga berkata kepada isterinya. "Engkau harus menerangkan alasanmu yang kaukatakan kepadaku tadi agar anak kita dapat mengerti, isteriku."


"Kau mau tahu" Duduklah, Lee Cin," kata Ang-tok Mo-li kepada puterinya. "Ketahuilah, Keluarga Cia itu adalah manusia-manusia yang tidak baik. Mereka mengaku sebagai patriot pembela tanah air dan hendak berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air."


"Memang benar mereka patriot!" jawab Lee Cin. "Apa salahnya dengan itu" Jangan ibu katakan bahwa ibu
membela Kerajaan Mancu penjajah!"
"Huh, siapa yang membela penjajah" 


Aku hendak mengatakan bahwa Keluarga ia itu adalah patriot-patriot palsu. Mereka telah bersekutu dengan orang-orang jahat, bersekutu dengan orang Jepang para bajak dan bersekutu dengan pasukan pemerintah yang memberontak. 

Mereka menjadi patriot dan pejuang hanya untuk kedok saja.
Sebetulnya mereka adalah orang-orang yang jahat. Ingat saja. Cia Tin Han itu nyaris membunuh ayahmu dengan memakai kedok pula, bukankah itu perbuatan pengecut dan jahat " Dan engkau akan menjadi isterinya" Menjadi mantu Keluarga Cia yang brengsek itu ?"


"Ibu salah sangka! Han-ko tidak bersekutu dengan orang-orang jahat! Dia bahkan menentang orang-orang jahat, dan ketika Keluarga Cia bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat , diam-diam dia bahkan menentangnya. Akan tetapi sekarang KeIuarga Cia sudah sadar akan kesalahan mereka dan mereka menjadi pendekar dan patriot sejati."

"Engkau membela karena engkau sudah kegilaan kepada pemuda itu! Pendeknya, kami tidak setuju kalau engkau berjodoh dengannya!"

"Ibu...... !" Akan tetapi Ang-tok Mo-li membalikkan tubuhnya tidak mau memandang kepada puterinya.


"Ayah...... !!" Lee Cin menoleh kepada ayahnya. Akan tetapi orang tua ini pun hanya menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundak seperti orang yang tidak berdaya. 


Lee Cin terisak lalu lari ke dalam kamarnya, melempar diri ke atas pembaringan dan menangis sesenggukan Ia merasa hatinya hancur lebur, kebahagiaan yang dirasakannya ketika melakukan perjalanan bersama Tin Han lenyap seperti asap ditiup angin dan hatinya merasa perih, merasa dan bingung. 

Ingin ia lari menyusul Tin Han, akan tetapi ke mana" Pemuda itu tentu sakit hati dan marah sekali karena telah ditolak, diusir dan dihina dan kalau Tin Han sengaja tidak mau menemuinya lagi, biar ia mencari keliling dunia juga tidak akan dapat berjumpa.

"Han-ko..... !" Ia merintih dan tangisnya semakin mengguguk, sampai bantalnya basah semua dan akhirnya ia jatuh pulas setengah pingsan, tidak ingat apa-apa lagi.


Malam itu Lee Cin masih rebah di dalam kamarnya.
Ketika ibunya datang mengajaknya makan, ia tidak menjawab dan pura-pura tidur. Ayahnya juga datang dan meraba dahinya, akan tetapi ia pura-pura tidur juga sehingga kedua orang tua itu meninggalkan kamar dan menutup daun pintu kamarnya.

Malam telah larut, dan Lee Cin kini sadar sepenuhnya. Ia tidak tahu apakah ia tadi tidur atau pingsan. Karena tubuhnya lemas akibat dari kesedihannya yang amat sangat sehingga melukai perasaannya, Lee Cin segera bangkit duduk dan bersila di atas pembaringannya. Ia harus
menjaga kesehatannya karena ia sudah mengambil keputusan untuk besok pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk mencari Tin Han!


Dalam keadaan seperti itu, panca indera Lee Cin menjadi peka bukan main. Oleh karena itu ia dapat mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng rumah itu. Seperti suara orang berjalan dengan ringannya di atas genting! 


Jantungnya berdebar penuh harap ketegangan. Mungkin Tin Han yang datang!
"Han-ko..... ....!" Bibirnya berbisik dan iapun cepat keluar dari kamarnya dan melompat keluar rumah melayang naik ke atas genteng. 


Akan tetapi mendengar suara gedebukan di bawah sperti orang berkelahi disusul jeritan ibunya. Ketika ia melayang turun kembali ke ruangan dalam ia melihat berkelebatnya bayangan hitam. Cia Tin Han yang menyamar menjadi Hek-tiauw Eng tong, pikirnya. 

Akan tetapi karena khawatir mendengar jerit ibunya tadi, ia pun tentu saja masuk ke ruangan belakang dari mana suara tadi terdengar.

"Ibu...... !" Lee Cin berseru. Ia melihat ibunya yang berwajah pucat dipapah oleh ayahnya. "Kau kenapa?"

Souw Tek Bun bersikap tenang. "Ia terluka oleh pukulan..... orang itu!"
Lee Cin cepat memeriksa keadaan ibunya yang sudah direbahkan di atas pembaringan. Ternyata di pundak ibunya terdapat tanda telapak tangan hitam seperti yang pernah diderita ayahnya. Pukulan dari Cia Tin Han!


Lee Cin menahan mulutnya yang sudah penuh pertanyaan itu. Lebih dulu harus menolong ibunya. Dengan ilmu totok It-yang-ci Lee Cin merawat ibunya, menotok beberapa
jalan darah untuk menyembuhkan luka mengandung hawa beracun itu. Itulah pukulan Hek-tok-ciang yang dimiliki oleh Keluarga Cia, pikirnya. Untung tubuh ibunya kuat, maka luka itu tidak sampai membahayakan nyawanya. 


Setelah mengusir hawa beracun itu dari tubuh ibunya dan melihat ibunya tidak menderita lagi bahkan dapat tidur pulas, barulah Lee Cin bertanya kepada ayahnya.

"Ayah, apakah yang telah terjadi?" tanyanya.
Ayahnya menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Sungguh aku tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan berbuat seperti ini!"
"Ayah, apa maksudmu?"


"Dia..... dia datang kembali menyerang kami. Dia lihai sehingga ibumu terpukul pundaknya, lalu dia melarikan diri."


"Dia siapa, ayah?" tanya Lee Cin dengan hati berdebar keras karena ia sudah menduga siapa orangnya.
"Aku menyesal sekali harus bicara terus terang padamu, Lee Cin. Yang menyerang kami tadi adalah seorang yang memakai pakaian dan topeng hitam, persis seperti yang kualami dahulu itu. Dialah yang telah melukai ibumu."


"Cia Tin Han?" Lee Cin mendesak.
Souw Tek Bun menghela napas. Kurasa dia orangnya,siapa lagi yang begitu lihai dapat melukai ibumu walau pun kami maju berdua" Dan lukanya sama benar dengan luka yang kuderita dahulu, bukan?"


Lee Cin mengangguk dan suaranya terdengar seperti berbisik, "Hek-tok-ci-ang..... "
"Ternyata dia merasa sakit hati kepada ibumu karena siang tadi dia ditolak dan diusir, maka dia melukai ibumu.
Ah, aku tidak mengira dia dapat melakukan hal seperti ini."


"Aku juga tidak percaya bahwa Han-ko dapat melakukan hal itu!" kata Lee Cin cepat.
"Akan tetapi buktinya ......, Lee Cin. Tidak dapat disangkal lagi bahwa tentu dia. yang melakukan hal ini."


"Ah...... aku...... aku akan mencari dia, ayah. Kalau benar dia telah menyerang ibu dan melukainya, aku akan mengadu nyawa dengannya!" 


Setelah berkata demikian, Lee Cin meninggalkan kamar ibunya dan kembali ke kamarnya sendiri. Kembali dara ini menangis sedih, akan tetapi sebab tangisnya kini berbeda dari tadi. 

Di dalam hatinya terjadi perang antara rindu dan benci. Kenapa Tin Han melakukan hal itu kepada ibunya" Karena sakit hati ditolak dan diusir tadi" Akan tetapi, kalau ia perhatikan tingkah laku Tin Han selama ini, demikian gembira, demikian tenang dan demikian gagah, rasanya tidak mungkin Tin Han melakukan itu. Akan tetapi siapa tahu hati orang" 

Dahulu pun Tin Han pernah menyerang dan melukai ayahnya dengan pukulan yang sama. "Awas kau...... awas kau.....! Aku akan membalas perbuatanmu ini!" Kembali Lee Cin menangis setelah mengucapkan ancaman itu. Dan pada keesokan harinya,setelah menengok ibunya dan melihat bahwa ibunya tidak lagi terancam bahaya dan kesehatannya sudah hampir pulih kembali, ia berkata kepada ibunya.

"Tenangkanlah hatimu, ibu. Aku akan pergi mencari orang yang telah melukaimu dan akan membalaskan sakit hati ini!"
Ibunya memandang dengan sinar mata menyelidik. "Kau tahu siapa orangnya?"


"Siapa lagi kalau bukan dia ibu?"
Ibunya mengangguk. "Sudah kuduga dia bukan orang baik-baik. Keluarga Cia memang bukan keluarga yang baik.


Akan tetapi engkau harus berhati-hati sekali, anakku. Dia itu lihai bukan main. Aku dan ayahmu juga tidak dapat menandinginya."


Dengan hati yang perih sekali Lee Cin menjawab, "Aku tahu, ibu. Bagaimanapun lihainya, aku tidak takut dan dia harus membayar hutangnya malam tadi.


Souw Tek Bun mencoba untuk mencegah Lee Cin pergi.
"Lee Cin, tenangkan dulu hatimu dan jangan tergesa-gesa.
Siapa tahu kalau pelaku penyerangan tadi malam bukan Cia Tin Han. Bagaimanapun juga, kita belum mempunyai bukti bahwa dia yang menyerang dan melukai ibumu."


"Siapa lagi kalau bukan dia, ayah" Tidak perlu bukti nyata, semuanya sudah dapat diduga. Tentu dia merasa kecewa, menyesal dan sakit hati karena kemarin ibu telah menolaknya, bahkan mengusirnya. 


Aku sendiri tadinya juga merasa kecewa dan menyesal sekali atas perbuatan ibu.
Akan tetapi sekarang aku harus membenarkan ibu. Dia itu bukan seorang manusia baik-baik, seperti juga keluarganya.


Aku harus menemukannya dan membalas dendam sakit hati ini. Bukan hanya karena dia telah melukai ibuku, melainkan karena dia telah mengecewakan dan menghancurkan kepercayaan dan kebahagiaan hidupku!"


Souw Tek Bun tidak dapat lagi menahan Lee Cin, maka dia hanya berpesan kepada puterinya itu, "Bagaimanapun juga, aku harap engkau tidak mengambil keputusan yang gegabah. Selidiki lebih dulu sebelum engkau bertindak sesuatu terhadap dirinya."


Berangkatlah Lee Cin meninggalkan rumahnya. Sekali ini hatinya tidak berduka karena kehilangan Tin Han, melainkan berduka karena dianggapnya Tin Han telah
merusak kebahagiaan hidupnya.


 Kuil Siauw-lim-pai yang berada di tepi atau Lembah Sungai Huang-ho pada hari itu tampak sunyi. Para hwe-sio sudah melakukan pekerjaan masing-masing. juga tidak tampak orang yang datang untuk bersembahyang. 


Karena itu, maka In Tiong Hwe-sio, ketuanya yang berusia enampuluh dua tahun, dengan santai berjalan-jalan di ruangan kuil yang luas. Beberapa orang hwe-sio bekerja di pekarangan kuil. Ada yang merawat tumbuh-tumbuhan bunga di situ, ada yang menyapu dan ada yang membersihkan dinding dan pintu serta jendela. 

Melihat ini, In Tiong Hwe-sio lalu keluar ke pekarangan dan berjalan-jalan di situ. Lima orang hwe-sio yang bekerja di sekitar tempat itu menyambut dengan membungkuk hormat kepada ketua mereka yang dibalas oleh In Tiong Hwe-sio dengan meletakkan tangan kiri di depan dadanya.

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan di pekarangan ini telah berdiri seorang yang mengenakan pakaian hitam dan menutupi mukanya. Orang bertopeng ini segera menghampiri In Tiong Hwe-sio dan suaranya lantang ketika dia bertanya, "Apakah engkau yang bernama In Tiong Hwesio ketua kuil Siauw-lim-pai ini?"


In Tiong Hwe-sio memandang dengan penuh perhatian.
"Omitohud, siapakah si-cu" Pin-ceng memang benar In Tiong Hwe-sio ketua Siauw-lim-pai (Kuil Siauw lim-si) ini."

"Ketahuilah, aku adalah Hek-tiauw Eng-hiong dan aku sengaja datang mencarimu untuk menantangmu bertanding."
"Hemm, Hek-tiauw Eng-hiong. Pinceng tidak pernah mengenalmu dan tidak ada urusan denganmu. Kenapa engkau menantang pin-ceng?"


"Aku menantangmu karena engkau adalah antek penjajah Mancu, karena itu mau atau tidak mau engkau harus menerima tantanganku, atau aku akan membunuhmu begitu saja walau engkau tidak menerima tantanganku. 


Nah, bersiaplah engkau, In Tiong Hwe-sio!"
Lima orang hwe-sio yang berada di pekarangan itu mendengar suara orang bertopeng itu dan mereka menjadi marah.


"Hei, dari mana datangnya orang gila yang menantang-nantang tidak karuan?" bentak seorang di antara mereka dan mereka berlima sudah datang mengepung si orang bertopeng. "Pergilah dari sini atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan menyerangmu!"


Hek-tiau Eng-hiong tertawa bergelak "Ha-ha-ha, kalian ini anjing-anjing gundul kecil berani menggonggong!"
Tentu saja lima orang hwe-sio itu menjadi marah sekali karena dimaki anjing gundul kecil. 


Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu menubruk hendak menangkap orang bertopeng itu dan menyeretnya keluar dari halaman kuil. Akan tetapi orang bertopeng yang mengaku bernama Hek-tiauw Enghiong itu, tiba-tiba memutar tubuh dan kedua tangannya menyambar-nyambar dan robohlah lima orang itu terkena tamparan pada kepala mereka dan tidak dapat bangun kembali! 

"Omitohud...... !" 

In Tiong Hwe-sio memeriksa tubuh lima orang hwe-sio itu ternyata telah tewas dan di bagian kepala yang ditampar itu tampak tanda telapak tangan hitam!

"Omitohud,
engkau telah melakukan pembunuhan terhadap lima orang yang tidak berdosa!" katanya dengan marah.
"Akupun akan mengirimmu menyusul ke sana!" kata si topeng hitam. 


Pada saat itu, dua orang hwe-sio lain muncul dan mereka terkejut melihat lima orang rekan mereka roboh tewas. Mereka menonton sambil bersembunyi di balik tembok, mendengarkan dan juga menonton guru mereka menghadapi orang berto-peng itu.

"Omitohud,
orang seperti engkau ini harus
dibasmi dari permukaan bumi karena hanya membikin kotor saja!"


Setelah berkata demikian, In Tiong Hwe-sio menyerang orang bertopeng itu dengan kedua ujung bajunya.. Baju itu longgar dan panjang, dan lengan bajunya juga lebih panjang dari lengannya. Biarpun hanya terbuat dari kain, begitu digerakkan oleh In Tiong Hwe-sio, ujung lengan baju itu menyambar seperti terbuat dari benda keras.


"Wuuuut, wuuuuuttt !!" sambaran ujung lengan baju itu mendatangkan angin yang kuat, akan tetapi Hek-tiauw Enghiong mengelak dengan ringan dan cepat pula. Kemudian dia membalas dengan pukulan-pukulannya yang ampuh. 


In Tiong Hwe-sio terkejut dan maklum bahwa tamparan yang 
sekaligus membunuh lima orang muridnya itu tidak boleh dipandang ringan. Itu adalah pukulan yang mengandung hawa beracun, maka diapun mengelak beberapa kali lalu mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menangkis. Dua kali lengan baju kanan kiri itu menangkis tamparan yang bertubi tubi datangnya.


"Brett- bretttl" Kedua ujung lengan baju itu pecah dan robek ketika bertemu dengan tangan orang bertopeng itu.
Tentu saja In Tiong Hwe-sio menjadi semakin kaget dan terpaksa dia mela wan dengan kedua tangannya. Hwe-sio ini merupakan seorang ketua cabang, dan dia adalah satu dari In Kong Thai- su ketua Siauw- lim- pai di Kwi-cu, maka ilmu kepandaiannya sebetulnya sudah mencapai tingkat tinggi.


Akan tetapi, kini menghadapi orang
bertopeng yang mengaku sebagai Hek- tiauw Eng-hiong, dia kewalahan!
Orang bertopeng itu ternyata lihai bukan main dan setelah mempertahankan diri selama limapuluh jurus lebih, akhirnya dada In Tiong Hwe-sio terkena pukulan tangan kanan orang bertopeng itu. 


Tubuhnya terdorong mundur sampai beberapa meter dan hwe-sio itu terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi. Di baju bagian dadanya terdapat tanda telapak tangan hitam yang menghanguskan baju itu dan menembus sampai ke kulit dadanya.

Setelah merobohkan In Tiong Hwesio, orang bertopeng itu lalu memasuki kuil dan begitu bertemu dengan hwe-sio dia menyerang dan merobohkannya sehingga tidak kurang dari duabelas orang hwe-sio kuil itu roboh dan tewas. Jumlah mereka yang tewas bersama In Tiong Hwe-sio ada delapan belas orang!


Setelah si topeng hitam itu pergi, barulah para hwe-sio yang tadi bersembunyi berani dan mereka semua dengan berduka sekali mengurus delapan belas jenazah itu.


Beberapa orang hwe-sio segera melaporkan peristiwa hebat itu ke kuil Siauw-lim-si di Kwi-cu, dan ada pula yang langsung pergi ke pusat Siauw-limpai yang berada di kaki Gunung Sung-san di Propinsi Honan di mana yang menjadi ketuanya adalah Sang Thian Hwe-sio yang usianya sudah delapanpuluh tahun dan hwe-sio tua ini merupakan susiok dari In Kong Thai-su dan juga In Tiong hwe-sio yang baru saja terbunuh.


Gegerlah Siauw-lim-pai dengan adanya peristiwa ini.
Sang Thian Hwe-sio lalu memerintahkan seluruh murid
Siauw lim-pai untuk mencari tahu siapa si topeng hitam berjuluk Hek-tiauw Eng-hiong dan mencarinya untuk membuat perhitungan. Juga ketua Siauw-lim-pai ini mengajak para muridnya untuk berunding, dan menyelidiki apa yang menjadi sebab pembunuhan itu.


"Menurut keterangan murid yang menyaksikan semua itu sambil bersembunyi dikatakan bahwa si topeng hitam memaki sute In Tiong Hwe-sio sebagai antek penjajah Mancu. 


Jelas bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang patriot yang membenci pemerintah. Seorang patriot yang fanatik biasanya menganggap semua orang yang tidak mendukung gerakannya sebagai antek Mancu."

Sang Thian Hwe-sio menghela napas panjang. "Omitohud, kalau benar seperti keterangan itu. berarti bahwa patriot memusuhi kita yang dianggap membantu pemerintah Mancu. 


Pada hal, kita ini adalah orang-orang beribadat yang hanya mengurus perkembangan agama,bagaimana kita dapat ikut-ikutan memberontak terhadap pemerintah Mancu seperti patriot itu?"

"Susiok, di antara para patriot banyak yang melakukan 

penyelewengan. Mereka 
memberontak terhadap pemerintah Mancu dan tidak segan untuk bergandengan tangan dengan tokoh-tokoh sesat dan bahkan dengan bajak-bajak Jepang.
Pin-ceng rasa orang-orang seperti itulah yang telah membunuhi para murid Siauw-lim-pai."

"Bagaimanapun juga, kita harus menyelidiki dan mencari Hek-tiauw Enghiong itu. Apa yang telah dia lakukan terhadap para murid kita sudah keterlaluan. Engkau sendiri harus turun tangan karena orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi, dan menurut pemeriksaan pin-ceng, para murid tewas karena pukulan semacam ilmu pukulan seperti Hektok- ciang."


"Susiok, tee-cu ingat bahwa yang terkenal dengan ilmu Hek-tok-ciang adalah Keluarga Cia yang dahulu tinggal di Hui-cu. Keluarga Cia memang terkenal sebagai patriot-patriot yang membenci pemerintah Mancu, bahkan membenci semua orang yang tidak mau memusuhi pemerintah penjajah. Besar kemungkinan seorang di antara mereka yang telah membunuh sute In Tiong Hwe-sio."


"Apakah ilmu kepandaian Keluarga Cia itu sedemikian tinggi?"
"Sepanjang pengetahuan tee-cu, yang paling lihai di antara mereka adalah Nyonya Cia atau Nenek Cia, akan tetapi siapa tahu bahwa di antara mereka kini ada yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi. Atau mungkin Nenek Cia sendiri yang memakai topeng hitam melakukan pembunuhan ini."


"Bagaimanapun juga, engkau harus melakukan penyelidikan."
"Baik, susiok, tee-cu akan menyebar murid-murid untuk melakukan penyelidikan dan tee-cu sendiri akan turun tangan." kata In Kong Thai-su yang juga merasa penasaran sekali. 


Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang bersih. Sekarang delapanbelas orang murid Siauw-lim-pai dibunuh begitu saja dengan tuduhan sebagai antek Mancu.
Siapa yang tidak merasa penasaran"

Delapanbelas jenazah itu lalu diperabukan dan diadakan upacara sembahyang besar. Banyak tokoh kang-ouw yang berdekatan dan mendengar akan berita ini datang melayat.


Pada keesokan harinya setelah upacara perabuan itu selesai, kuil Siauw lim-pai itu kedatangan serombongan pasukan pemerintah sebanyak dua losin prajurit. 


Rombongan pasukan ini dipimpin sendiri oleh Panglima Coa Kun, wakil Panglima Tua Bouw Kin Sek. In Kong Thai-su yang masih berada di situ dan memimpin upacara perabuan segera keluar menyambut.

"Omitohud, kepentingan apakah yang membuat ciangkun datang berkunjung ke kuil kami?" tanya In Kong Thaisu setelah mempersilakan Coa-ciang kun mengambil tempat duduk di sebelah dalam kuil.


"Kami mendengar tentang malapetaka yang menimpa kuil ini, lo-suhu. Sebetulnya, apakah yang terjadi sehingga kami mendengar ada banyak hwe-sio terbunuh" Siapa pembunuh mereka dan mengapa pula mereka dibunuh?"


"Kami sendiri tidak mengenal pembunuh itu, ciangkun, karena dia memakai topeng hitam. Dia hanya mengatakan bahwa kami adalah antek pemerintah dan dia lalu mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap delapan
belas anggauta kami."


"Hemm, kalau begitu mudah sekali diduga. Pembunuh itu tentulah seorang pemberontak yang menentang pemerintah yang sah. 


Apakah ada ciri-ciri tertentu pada diri pembunuh itu" Kami merasa bertanggung-jawab untukmenyelidki dan menangkap pelakunya, Lo-suhu."

"Dia mengenakan pakaian dan kedok hitam, bertubuh sedang dan dari suaranya dia mungkin seorang muda. Tidak ada ciri-cirinya kecuali bahwa dia membunuh dengan
memakai ilmu Hek-tok ciang atau semacam itu yang membuat korban tewas oleh pukulan beracun yang meninggalkan bekas tapak tangan hitam."


"Hemm, Hek-tok-ciang" Petunjuk itupun cukup. Kami akan rnengerahkan banyak mata-mata untuk menyelidiki di kalangan kang-ouw, siapa yang memiliki pukulan seperti itu.


Kami merasa yakin bahwa dia seorang pemberontak yang membenci kalian karena Siauw-lim-pai bukan pemberontak.
Mari kita bekerja sama untuk menangkap pemberontak itu, lo-suhu."


Di dalam hatinya In Kong Thai-su sama sekali tidak suka kalau diharuskan bekerja sama dengan pemerintah Mancu, akan tetapi untuk menolak secara terang-terangan dia merasa tidak enak. 


Apalagi perwira itu mengulurkan tangan untuk bantu menyelidiki dan menangkap pembunuh itu.
Maka dia lalu merangkap kedua tangan depan dada dan berkata. "Omitohud, terima kasih sekali atas maksud ciangkun yang hendak membantu kami menyelidiki dan menangkap pembunuh itu. 


Akan tetapi kami sendiri sudah mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri."
"Baik kalau begitu, lo-suhu. Kalau kami mendapatkan jejak, akan kami beritahukan kepada kalian, akan tetapi sebaliknya kalau kalian menemukan jejak, harus memberitahu kami agar kami dapat bertindak menangkap pembunuh itu."


"Omitohud, baik, ciangkun," jawab In Kong Thai-su, namun dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak melibatkan pemerintah dalam urusan Siauw-lim-pai dengan pembunuh itu. 


Bahkan In Kong Thai-su tidak memberitahukan kepada Coa-ciangkun bahwa pembunuh itu meninggalkan nama, yaitu Hek-tiauw Eng- hiong.

Tidak sampai sebulan kemudian, terjadi hal yang menghebohkan di Kunlun- pai. Para tosu Kun-lun-pai
mendengar pula akan pembunuhan sadis yang dilakukan seorang bertopeng hitam terhadap orang-orang Siauw-limpai di Lembah Huang-ho. 


Mereka bahkan mengirim utusan untuk menyampaikan bela sungkawa.


          **********


Pada hari itu, Im Yang Seng-cu, ketua Kun-lun pai sendiri, melakukan penelitian terhadap latihan para murid Kun-lun pai. Tentu saja bukan dia sendiri yang melatih karena Im Yang Seng-cu sudah berusia tujuhpuluh tahun lebih. 


Yang para murid itu adalah dua orang sutenya yang bernama Thian Hwat To-su dan Te Hwat To-su. Biarpun tingkat kepandaian kedua orang tosu ini masih setingkat di bawah ilmu kepandaiaii Im Yang Seng-cu, namun mereka berdua sudah memiliki kepandaian yang tinggi.

lm Yang Seng-cu pagi itu duduk di atas bangku dan melihat para murid sedang berlatih di bawah bimbingan kedua orang sutenya itu. Mereka berlatih di luar asrama, di dalam sebuah taman yang hawanya nyaman sekali. 


Para murid itu terdiri dari laki-laki semua, dan mereka melepaskah baju bagian atas. Kini dada dan punggung
mereka berkilat tertimpa sinar matahari karena mereka telah mandi keringat berlatih di bawah sinar matahari pagi itu.


Ada tigapuluh orang murid yang berlatih dan Im Yang Sengcu mengangguk-angguk puas melihat hasil latihan para murid.


Tiba-tiba terdengar suara orang, "Hah, begini saja ilmu silat dari Kun-run pai " Tidak sehebat nama besarnya!"


Tentu saja semua murid berhenti latihan dan semua orang, termasuk Im Yang Seng-cu memandang ke arah datangnya suara itu. Dan di sana, entah kapan dan dari mana datangnya, telah berdiri seorang yang perawakannya sedang. 


Orang itu memakai pakaian serba hitam, bahkan  mukanya ditutup sehelai kain hitam. Tentu saja semua orang terkejut. Berita tentang kematian orang-orang Siauwlim- pai oleh seorang bertopeng hitam masih hangat dalam ingatan mereka dan kini muncul orang bertopeng hitam di situ! 

Karena orang itu mencela ilmu silat Kun- lun-pai, tentu saja para murid, Kun-lun-pai menjadi marah.. Mereka mengambil sikap menyerang, akan tetapi Thian Hwat To-su mengangkat tangan menahan para muridnya dia bersama Te Hwat To-su menghampiri orang bertopeng itu.
"Sobat, siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau datang ke tempat kami ini ?"
Si Kedok Hitam itu tertawa_ "Sebut saja aku Hek-tiauw Eng-hiong! Aku kebetulan lewat dan melihat kalian berlatih Untuk apa susah payah berlatih silat kalau tidak dipergunakan sebagai mana mestinya" 


Apa kah kalian.berlatih silat hanya untuk pamer dan menakut-nakuti orang saja ?"
"Sobat, apa maksudmu" Sejak dulu Kun lun pai memang mengajarkan silat kepada semua murid untuk menjaga kesehatan badan dan juga untuk membela diri, membela kebenaran dan keadilan."


"Membela kebenaran dan keadilan" Ha-ha-ha, kalau begitu,mengapa kalian tidak menentang pemerintah penjajah Mancu" Seharusnya sebagai pendekar-pendekar kalian harus menentang penjajah. Akan tetapi tidak, kalian bahkan menjadi antek bangsa Mancu!"


"Tutup mulutmu!" bentak Te Hwat To-su. "Kami tidak pernah menjadi antek Mancu!"
"Ha-ha-ha, orang yang tidak mau menentang penjajah Mancu berarti menjadi antek Mancu. Akan tetapi, dengan ilmu silat kalian yang rendah itu memang tentu saja kalian takut terhadap penjajah Mancu."

"Kata-katamu agaknya menghina dan mencari perkara, sobat," kata Thian Hwat To-su. "Timbul pertanyaan kami apakah engkau orangnya yang telah menyerang Siauw-limpai dan membunuh belasan orang anggauta Siauw-limpai?"


"Ha-ha-ha..... bukan lain adalah antek Mancu dan aku paling benci terhadap antek Mancu seperti kalian. Apakah kalian menjadi marah dan semua muridmu akan mau
mengeroyokku"


Silakan, aku tidak takut terhadap pengeroyokan orang-orang pengecut macam kalian!"
Dua orang to-su itu tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi pada saat itu lm Yang Seng-cu berkata dengan suara berwibawa, 


"Siancai! Tahan dulu dan bersikaplah tenang, sute. Sobat muda, katakanlah terus terang apa yang engkau kehendaki maka engkau berkunjung ke sini" Apakah engkau datang hanya untuk menghina kami tanpa sebab?"
"Aku datang untuk menantang Kun lun- pai karena Kunlun- pai menjadi antek Mancu. Siapa yang memiliki ilmu silat akan tetapi tidak menentang penjajah Mancu kuanggap sebagai antek Mancu yang patut dibasmi. 

Engkau orang tua tentulah lm Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai. Nah, aku tantang engkau untuk mengadu ilmu! Kalau kalian mau mengeroyokku, akupun tidak takut!"
"Siancai..... " Im Yang Seng- cu berseru, kaget dan heran.
Thian Hwa To-su segera berkata kepada ketua Kun- Iun- pai itu. "Suheng, biarkan kami yang melawan orang kurang ajar ini!"
Im Yang Sang- cu mengangguk. 


"Akan tetapi majulah satu satu, jangan menggunakan pengeroyokan, itu tidak sesuai dengan watak murid Kun-lun- pai!"
Te Hwat To-su sudah meloncat maju dan menantang si Kedok Hitam. 


"Hek-tiauw Eng-hiong, pintolah lawanmu!"tantangnya. 
"Wah, engkau tidak akan mampu menandingi aku.
Biarlah Im Yang Sengcu sendiri yang maju," orang berkedok itu mengejek.

"Jangan banyak cakap lagi, kalau memang berani majulah!" Te Hwa To-su yang sudah marah sekali berkata dengan lantang.
"Siapa takut padamu" Lihat seranganku!" Si Kedok Hitam menyerang dan Te Hwat To-su terkejut melihat tangan yang berubah menjadi hitam dan mengeluarkan asap hitam itu.

Dia mengelak dan balas menyerang dan mereka segera saling serang dengan sengit.
Namun agaknya Te Hwat To-su memang bukan lawan
Hek- tiauw Eng- hiong. Baru tigapuluh jurus mereka saling serang dan ketika Hek-tiauw Eng- hiong membentak dan memukul, tamparan tangan kirinya sudah mengenai dada to-su itu.


"Bukk...... !" Te Hwa To-su terpental dan roboh tak berkutik lagi. Bajunya bagian dada robek dan tamparan itu mengenai dada meninggalkan bekas tapak tangan hitam!


Thian Hwa To-su marah sekali. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa sutenya telah tewas. Dengan pedang di tangan dia melompat ke depan dan membentak, "Manusia keji, keluarkan senjatamu!"


"Ha-ha-ha,untuk melawanmu aku tidak perlu menggunakan senjata. Pakailah pedangmu untuk menyerang aku!" Si Kedok Hitam menantang. Mendengar tantangan ini Thian Hwa To-su tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Lihat pedang!" Dia berseru dan secepat kilat pedangnya sudah menyambar ke arah leher Si Kedok Hitam. 


Akan tetapi dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali, Si Kedok Hitam sudah dapat mengelak 
mundur dan begitu pedang menyambar luput, dia sudah melangkah maju lagi dan merigirim pukulan dengan tapak tangan terbuka ke arah dada Thian Hwa To-su. 


Maklum betapa ampuhnya pukulan itu, pukulan yang telah menewaskan sutenya, Thian Hwa To-su mengelak sambil membahat ke arah tangan yang memukul itu. Akan tetapi Hek-tiauw eng hiong menarik kembali tangannya dan setelah sabatan pedang lewat, dia memukul lagi sampai tiga kali secara beruntun. 

Thian Hwa To-su terdesak dan memutar pedangnya melindungi dirinya, akan tetapi sebuah tendangan dari samping mengenai
pinggangnya dan 'Thian Hwa To-su terhuyung-huyung.


Melihat lawan sudah terhuyung, Si Kedok Hitam menyusulkan pukulan. Thian Hwa To-Su menangkis dengan pedangnya,akan tetapi tangan yang memukul itu menyambut dan menjepit pedang! Pedang itu terjepit jari-jari tangan Si Kedok Hitam, tidak mampu ditarik kembali dan tiba-tiba tangan kanan Si Kedok Hitam menyambar dengan tamparannya yang mengenai pelipis Thian Hwa To-su.


"Plakk!" Thian Hwa To-su terpelanting dan roboh tak dapat bergerak lagi.
"Siancai..... !" Im Yang Seng-cu berseru dan tubuhnya melayang maju. Maksudnya hendak menolong Thian Hwa To-Su akan tetapi dia sudah terlambat. 


Melihat tosu tua itu melayang datang, Si Kedok Hitam menyambutnya dengan pukulan Hek-tok-ciang yang ampuh itu. Im. Yang Seng-cu menyambut dengan dorongan tangan kanannya pula.

"Wuuutitittt ...... plakk!!" Dua telapak tangan bertumbuk di udara dan akibatnya, kedua orang itu sama-sama terpental sampai dua meter lebih.
Im Yang Seng-cu menahan napas dan merasa dadanya. nyeri. Akan tetapi dia menahan dirinya sehingga tidak tampak terpengaruh pukulan. Sebaliknya, Si Kedok Hitam juga merasa betapa dadanya nyeri, tanda bahwa dia sudah terluka dalam. 


Melihat lawannya kelihatan tidak apa- apa, hatinya menjadi kecut dan tanpa banyak cakap sekali berkelebat Si Kedok Hitam lenyap dari tempat itu.

Setelah Si Kedok Hitam pergi, barulah Im Yang Seng-cu terhuyung. Beberapa orang muridnya melompat maju dan memapahnya memasuki kuil dan merebahkannya di dalam
kamarnya. Im Yang Seng- cu telah menderita luka dalam yang cukup parah, akan tetapi untung nyawanya masih dapat tertolong dengan minum obat luka dalam yang ampuh dari Kun-lun- pai.


Berita tentang serangan Hek- tiauw Eng- hiong ke Kunlun-pai ini segera tersiar luas. Dunia kang-ouw mengetahui bahwa seorang pendekar muda yang baru, berjuluk Hektiauw Eng- hiong dan selalu mengenakan topeng hitam, memusuhi partai- partai persilatan besar, bahkan melakukan pembunuhan di kuil Siauw-lim-si dan juga di Kun-lun- pai.


Gegerlah dunia kang-ouw dan para pendekar yang merasa marah atas perbuatan Hek-t iauw Eng-hiong, ikut pula melakukan penyelidikan untuk mencari Pendekar Rajawali Hitam itu.


Karena dalam penyerangan terhadap Siauw-lim- pai
maupun Kun-lun- pai itu Si Kedok Hitam menggunakan pukulan yang meninggalkan bekas tapak tangan hitam,semua orang kang- ouw menduga bahwa Si Kedok Hitam itu tentulah anggauta Keluarga Cia yang terkenal mempunyai ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)!


          **********


Tin Han yang meninggalkan Hongsan berlari cepat meninggalkan gunung itu. Hatinya terasa nyeri dan pedih.

Bukan saja lamarannya ditolak, bahkan dia diusir dan dihina oleh ibu kandung Lee Cin! Kalau saja tidak teringat kepada gadis yang dicintanya itu, tentu dia sudah
menantang Ang-tok Mo-li untuk mengadu kepandaian.


Dengan wajah sebentar merah sebentar pucat dia lari ke arah timur Akhirnya dia berhenti di bawah sebatan pohon besar. Karena merasa hatinya terganggu dan semangatnya lemah, dia lalu duduk bersila di bawah pohon itu untuk menghimpun hawa murni menenangkan hatinya. Dia kini
dapat berpikir dengan tenang dan tampaklah kenyataan olehnya bahwa tuduhan Ang-tok Mo-li itu tidak terlalu salah.


Wanita itu pernah bentrok dengan neneknya agaknya masih mendendam karena bentrokan itu dan menganggap Keluarga Cia sebagai musuhnya. Tentu saja ia tidak membiarkan puterinya menikah dengan anggauta keluarga yang menjadi musuhnya. 


Apalagi kalau diingat betapa neneknya selama ini bertindak salah bersekutu dengan para tokoh sesat. Dia menghela napas panjang. Dia merasa kasihan kepada Lee Cin.
Bagaimana dengan gadis itu" Dia tahu bahwa Lee Cin amat mencintanya seperti juga dia mencinta gadis itu. 


Akan tetapi kalau ibunya, menentang keras perjodohan mereka, apa yang dapat mereka lakukan" Dia membayangkan betapa
sedihnya hati Lee Cin. 


Dia juga menyesali perbuatanuya sendiri bahwa dahulu pernah dia menyerang dan melukai Souw Tek Bun, ayah gadis itu. Biarpun pendekar itu tidak mengandung sakit hati dan telah memaafkannya, akan tetapi isterinya tidak mau memaafkannya dan bahkan
membencinya. "Cin- moi,..... kasihan..... engkau...... Dia bangkit berdiri dan menghela napas panjang kembali. 


Akan tetapi dia percaya bahwa jodoh, seperti kelahiran dan kematian, berada dalam Tangan Tuhan. Kalau memang dia berjodoh dengan Lee Cin, tentu terbuka jalan bagi dia dan Lee Cin untuk menjadi suami isteri. 

Akan tetapi kalau Tuhan menghendaki lain, apa dayanya" Dia hanya menyerah atas kehendak
Tuhan. Kepercayaan dan 

penyerahan ini menenangkan batinnya Dan dia mulai melihat cerahnya sinar matahari lagi. Tidak perlu membenamkan diri dalam kedukaan. Berlarut-larut dalam kedukaan hanya akan
melemahkan batinnya, memadamkan semangatnya. 

Dia harus berani menghadapi segala kenyataan, betapapun pahit..... dan tidak enaknya kenyataan itu.
"Tin Han, engkau bukan seorang anak yang cengeng!"demikian dia mencela dirinya sendiri dan mulailah wajahnya bersinar dan berseri kembali, pandang matanya tidak muram seperti tadi. 

Sinar harapan memancar lagi dari pandang matanya. Tidak, dia tidak boleh putus harapan.
Bagaimanapun juga, yang penting dia dan Lee Cin saling mencinta dan tidak ada apapun juga di dunia ini yang dapat mengubahnya.

Dengan sikap begini, Tin Han dapat melanjutkan perjalanannya merantau dan di manapun dia berada, selalu dia mengulurkan tangan untuk membela orang-orang yang tertindas dan menentang orang-orang jahat.


Dua bulan telah lewat dan pada suatu hari, tibalah dia menjelang senja sebuah dusun. Ketika dia memasuki dusun itu, terdengar suara ribut-ribut orang berseru minta tolong dan ada yang mengaduh-aduh. Mendengar ini, Tin Han cepat melepaskan pakaian luarnya dan sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dia lalu berlari cepat memasuki dusun itu.


Setibanya di tengah dusun, kemarahan hatinya melihat belasan orang laki-laki yang bertampang serem sedang melakukan perampokan, pemukulan dan ada pula dua orang yang sedang menyeret seorang gadis manis sambil tertawa-tawa. 


Perampokan! 
Tin Han marah sekali.

Betapa jahatnya orang-orang itu, merampok penduduk dusun! Dengan hati panas dia melompat ke arah dua orang yang menyeret gadis itu, tangannya bergerak dua kali dan dua orang itu terpelanting roboh. 


Dua kali tendangan menyusul membuat mereka berdua tidak mampu bangkit berdiri lagi, hanya mengaduh-aduh kesakitan.

Para perampok yang melihat kejadian ini, tentu saja menjadi marah sekali. Dengan golok di tangan mereka menyerbu menyerang Hek-tiauw Eng-hiong, dipimpin oleh seorang yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok. 


Hek- tiauw Eng-hiong tahu bahwa tentu si tinggi besar brewokan ini yang menjadi kepala perampok itu, maka melihat kepala rampok itu mengayunkan golok besar ke arahnya, dia menyambut dengan tamparan tangan kiri yang mengenai pundak kanan kepala perampok itu.
"Krekk!" Tulang pundak itu patah dan golok besar itupun terlepas dari tangan. Sebuah tendangan membuat
tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting jatuh. 


Anak buah perampok yang belasan orang jumlahnya lalu mengeroyok Hek-tiau Eng-hiong akan tetapi Pendekar Rajawali Hitam itu mengamuk, tamparan dan tendangannya tentu mengenai seorarang lawan dan membuatnya roboh.

Dalam waktu yang singkat saja, belasan orang perampok itu sudah roboh semua. Melihat betapa para perampok sudah roboh tak berdaya, mengamuklah para penduduk dusun.


Dengan senjata seadanya mereka menghujani para perampok dengan pukulan dan tusukan. Para perampok tidak mampu melawan lagi dan banyak di antara mereka
tewas oleh amukan penduduk dusun itu.


Terdengar derap kaki kuda. Lima orang laki-laki memasuki dusun itu dan melihat penduduk dusun mengamuk, mereka berseru, "Hentikan! Apa yang telah terjadi di sini?"
Mereka adalah lima orang yang berpakaian ringkas sebagai pendekar, dengan pedang di punggung mereka dan tampak gagah perkasa. Usia mereka antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun.

"Mereka adalah perampok-perampok dan beruntung kami ditolong oleh Enghiong (pendekar) ini!" kata penduduk imbil mending ke arah Hek- tiauw Eng-hiong.

"Hek-tiauw Eng-hiong!" lima orang itu berseru ketika mereka melihat Pendekar Rajawali Hitam dan segera mereka berlompatan turun dari atas kuda mereka. Seorang di antara mereka menambatkan kuda-kuda mereka itu di batang pohon, sedangkan yang empat orang sudah menghampiri Tin Han. 


Tin Han tidak mengenal mereka dan dia merasa heran bahwa lima orang itu mengenal nama julukannya. Mungkin juga, pikirnya. Di mana-mana dia telah meninggalkan nama julukan itu kalau memperkenalkan diri dan karena dia berpakaian dan bertopeng hitam sehingga mudah di kenal oleh lima orang ini.

"Engkau Hek-tiauw Eng-hiong!" berkata seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung dan matanya tajam.
Pendekar Rajawali Hitam mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata, "Benar, saya Hek-tiauw Eng-hiong.


Saya melihat belasan orang perampok ini sedang menyerang penduduk, maka saya lalu turun tangan membantu para penduduk."
Akan tetapi, jawaban Hek-tiauw Eng-hiong ini disambut dengan pencabutan pedang oleh lima orang itu.


"Hek-tiauw Eng-hiong!" bentak orang kurus itu sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Tin Han. "Sudah lama kami mencarimu untuk membuat perhitungan atas perbuatanmu! Bersiaplah tintuk melawan kami!"


Tin Han tertegun, heran dan terkejut mendengar tantangan itu. "Eh, apa artinya ini" Mengapa cu-wi (anda sekalian) menantangku?"
"Hek-tiauw Eng-hiong, seorang laki-laki harus berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya!"


"Nanti dulu, sobat. Perbuatanku yang mana harus kupertanggung-jawabkan?"


"Masih berpura-pura" Engkau telah membunuh dua orang paman guru kami dan masih pura-pura tidak tahu akan dosamu" Hayo para sute, serang dan bunuh keparat ini!"
teriak si jangkung marah dan iapun sudah menggerakkan pedangnya untuk menyerang, diikuti oleh empat orang sutenya dan lima orang itu menghujankan serangan pedang mereka kepada Tin Han.


Tin Han terkejut sekali mendengar tuduhan itu. "Tahan dulu, aku tidak melakukan pembunuhan itu!" katanya sambil mengelak, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tidak memperdulikan seruannya dan menyerang semakin hebat. Lima orang itu adalah murid- murid Kun-lun- pai tingkat atas, maka ilmu pedang mereka sudah lihai sekali.


Tin Han menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak dan meloncat ke sana sini. Dia tidak mau membalas karena maklum bahwa mereka itu adalah pendekar-pendekar Kun- lun-pai yang entah bagai mana, menuduhnya sebagai pembunuh dua orang paman guru
mereka. 


Karena mereka tidak mau mendengar kata- kata 
punyangkalannya, diapun bergerak cepat, melompat jauh dan berkelebat lenyap dari depan mereka. Lima orang itu bersiap mengejarnya, akan tetapi bayangannya telah berkelebat cepat sekali.

"Mari kita kejar!" teriak si jangkung dan mereka lalu berlompatann ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda melakukan pengejaran ke arah lenyapnya bayangan hitam tadi. Namun, Hek-tiauw Eng-hiong tidak dapat mereka kejar karena sudah lenyap entah kemana.


Sementara itu, orang-orang dusun menjadi bengong terheran- heran melihat penolong mereka tadi di keroyok oleh lima orang pendekar itu. Mereka tidak berani mencampuri dan setelah mereka semua pergi, para penduduk lalu mengurus mayat- mayat perampok yang mereka keroyok. 


Ada tujuh orang perampok yang tewas dan sisanya melarikan diri cerai berai. Biarpun tadi mereka melihat betapa Hek-tiauw Eng-hiong dikeroyok para pendekar yang menuduhnya melakukan pembunuhan,namun orang- orang dusun itu tetap menjunjung nama Hektiauw Eng-hiong sebagai tuan penolong mereka.

Tin Han cepat mengenakan pakaian luarnya yang menutupi pakaian hitam itu dan melanjutkan perjalanan.
Dia melihat lima orang murid Kun-lun- pai tadi membalapkan kuda mereka melewatinya, namun mereka tidak mengenalnya.


Maka mengertilah Tin Han bahwa yang mereka musuhi dan sangka sebagai pembunuh dua orang paman guru mereka di Kun-lun-pai adalah Hek-tiauw Eng-hiong dan bukan Cia Tin Han.


Ini tentu fitnah, pikirnya. Dia tidak merasa pernah membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai! Baik sebagai Tin Han maupun sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Kalau benar
seperti tuduhan lima orang pendekar Kun-lun-pai tadi bahwa Hek-tiauw Eng-hiong membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai, maka yang melakukannya itu jelas orang lain yang mengaku sebagai Hek-tiauw Enghiong! 


Ada orang yang memalsukannya! Dia harus menyelidiki hal ini sampai
tuntas. Dia harus membuktikan bahwa bukan Hek-tiauw Eng-hiong yang melakukan pembunuhan itu melainkan orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. 


Namanya sedang dibikin buruk orang. Dan tidak sukar baginya untuk menebak siapa orang yang telah memalsukan namanya melakukan pembunuhan. Tentu seorang di antara mereka yang pernah bentrok dengan Hek-tiuw Eng-hiong.

Siapakah mereka itu" Tin Han mengingat-ingat. Banyak tokoh sesat yang pernah berurusan dengan Hek-tiauw Enghiong. Paling akhir dia membebaskan Lee Cin dari tangan Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Dua orang itu tentu sakit hati terhadap Pendekar Rajawali Hitam.


Siapa lagi yang pernah ditentang Si Rajawali Hitam" Dia mengingat-ingat. Thian Te Mo-ong dan kawan-kawannya seperti Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai yang pernah membantu pemberontakan dan menawan Song Thian Lee dan Lee Cin, kemudian juga gerombolan kaum sesat itu dia tentang ketika dia membantu Song Thian Lee dan isterinya yang diserbu mereka. 


Jelaslah, tentu seorang di antara golongan sesat itu yang kini membikin pembalasan secara licik dan curang, yaitu dengan menyamar sebagai Hek- tiauw Eng-hiong melakukan pembunuhan terhadap dua orang tokoh Kun-lun-pai. 

Apa maksud mereka" Tentu untuk
mengadu domba! Biar Hek-tiauw Eng-hiong dimusuhi para pendekar!
"Jahat, curang dan keji sekali mereka!" gerutu Tin Han sambil mengepal tinju. Akan tetapi dia yang menyamar sebagai Hek- tiauw Eng-hiong tentulah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. 


Siapakah di antara mereka yang memiliki ilmu yang tinggi" Ilmu kepandaian Yauw Seng Kun, Ban-tok Mo-li, Thian- te Mo-ong, Hek-bin Mo- ko, Sinciang Mo-kai dan lain-lainnya itu biarpun sudah cukup tinggi,
namun kiranya belum cukup untuk berani membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai. 


Agaknya hanya Siang Koan Bhok yang mungkin berani melakukan hal itu.
Akan tetapi Siang Koan Bhok adalah seorang datuk besar.


Maukah dia merendahkan diri sampai sedemikian rupa, menggunakan cara yang licik dan curang untuk menjatuhkan nama Hek-tiauw Eng- hiong" Pula, Siang Koan Bhok pernah bertempur dengannya dan dia kalahkan. 


Akan tetapi ketika itu dia mengalahkannya sebagai Cia Tin Han, bukan sebagai Pendekar Rajawali Hitam.
Tin Han melamun sambil melanjutkan perjalanannya
menuju ke timur.

Dia memasuki propinsi Ho-nan dan ketika dia tiba dikaki pegunungan Sung-san, tiba-tiba dari belakangnya terdengar derap kaki banyak kuda. Makin lama suara itu semakin gemuruh dan ternyata yang lewat adalah pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari duaratus orang! 


Dia minggir dan mengintai dari balik batang pohon. Pasukan itu di pimpin oleh seorang panglima dan yang menunggang kuda paling depan, dekat sang panglima adalah orang-orang berpakaian biasa, orang-orang kang-ouw yang wajahnya bengis dan kasar. 

Dari lagak dan pakaiannya saja Tin Han dapat menduga bahwa belasan orang itu adalah orang-orang kang-ouw dan bukan golongan pendekar, melainkan lebih mirip golongan sesat! Bagaimana pula ini " Orang-orang golongan sesat pergi bersama pasukan pemerintah" Dia lalu teringat akan gerakan yang dilakukan panglima kerajaan yang mengadakan pertemuan rahasia dengan Thian-te Moong dan kawan-kawannya. 

Benar, kini orang-orang kangouw golongan sesat sudah bekerja sama, atau dipergunakan oleh pasukan pemerintah Mancu untuk memusuhi para pendekar dan patriot!
Ke manakah rombongan ini hendak pergi" Tin Han tertarik sekali dan diam-diam dia mengikuti rombongan berkuda itu. 


Mereka mendaki bukit kecil di kaki pegunungan Sung-san dan memasuki sebuah hutan. Agaknya para tokoh kang-ouw itu menjadi petunjuk jalan karena mereka yang kini berjalan di depan. 

Tak lama kemudian, tibalah mereka disebuah perkampungan baru dan segera terjadi pertempuran ketika dari perkampungan itu muncul puluhan orang yang segera menyerang begitu melihat rombongan pasukan pemerintah.

"Hancurkan anjing-anjing Mancu!" teriak mereka.
"Basmi penjajah Iaknat!"
Tin Han melihat betapa beberapa orang dari para penyerang itu memakai baju yang ada gambarnya sebatang 
teratai putih, maka tahulah dia bahwa mereka itu adalah para anggauta Pek lian-pai (Perkumpulan Teratai Putih) yang terkenal sebagai sebuah di antara perkumpulan yang anti pemerintah Mancu. 

Tin Han hanya tinggal diam saja. Dia tidak ingin terlibat. Kalau dulu, tentu mendiang neneknya akan membantu pihak Pek-lian-pai karena bagi neneknya itu,sebelum sadar menganggap bahwa siapa yang menentang pemerintah penjajah Mancu adalah sekutunya, sebaliknya
siapa yang menentang penjajah adalah musuhnya. 

Akan tetapi dia menentang pendirian itu. Peklian-pai memang terkenal sebagai pemberontak yang gigih, akan tetapi merekapun terkenal sebagai golongan sesat yang tidak segan-segan mengganggu rakyat jelata.

Perjuangan mereka berpamrih demi kesenangan diri pribadi, merebut kekuasaan untuk berganti menjadi penguasa, bukan sekedar membebaskan rakyat jelata dari penindasan kaum penjajah. 

Karena ini, melihat pertempuran itu, Tin Han tinggal diam saja, hanya menonton dari jauh. Dia naik ke atas pohon yang tinggi dan dari situ dia dapat melihat pertempuran itu. 

Pihak Pek-lian-pai ternyata hanya berjumlah kurang dari seratus orang, maka menghadapi pasukan pemerintah yang duaratus orang jumlahnya itu, mereka kewalahan. Apa lagi di pihak pemerintah terdapat orang-orang kangouw yang lihai.

Dalam waktu satu jam saja mereka sudah lari kalang kabut, meninggalkan teman yang mati atau terluka. Dan Tin Han menyaksikan pembantaian yang kejam. Pasukan
pemerintah itu seperti berpesta pora membacoki tubuh-tubuh para pemberontak itu sehingga mereka yang terluka tewas pula dalam keadaan mengerikan. 


Kemudian pasukan itu merampok semua barang berharga yang ditinggalkan pemberontak, lalu membakar perkampungan baru yang menjadi sarang Pek-lian-pai itu. 

Bau sangit menusuk hidung ketika pasukan itu melempar-lemparkan semua mayat itu ke dalam api yang sedang berkobar melahap rumah-rumah kayu itu. Setelah semua rumah bernyala, pasukan itu
meninggalkan sarang Pek-lian-pai sambil bersorak gembira karena kemenangan. 


Kemenangan selalu membuat pasukan bergembira, lupa akan kawan-kawan yang tewas dalam
pertempuran. Tin Han menyaksikan ini semua dan dia menghela napas.
Perang memang kejam. Manusia saling memburruh tanpa
sebab pribadi. 


Mereka itu tidak saling kenal, akan tetapi saling membunuh dengan kejamnya. Dan dia maklum bahwa pemberontakan-pemberontakan
itu tidak akan berhasil karena mereka tidak didukung rakyat. 


Pemberontakan harus didukung seluruh rakyat, baru ada harapan akan berhasil baik. Kalau hanya pemberontakan kecil-kecilan itu, bagaimana akan mampu menandingi kekuatan pasukkan Mancu yang besar "

Setelah pasukan Pancu yang lewat di bawah pohon besar di mana dia bersembunyi dan menonton pertempuran itu pergi jauh, Tin Han turun dari pohon.
Dia lalu menuruni bukit itu. Dari jauh api yang membakar perkampungan itu masih tampak asapnya dan dia menghela napas, teringat akan keadaan dirinya. 


Dia baru saja mengalami himpitan batin karena terpaksa harus berpisah dari Lee Cin yang dicintanya, bahkan terpaksa harus meninggalkan gadis itu dengan hati terluka, ditolak dan diusir oleh ibu gadis itu. 

Belum juga luka di hatinya itu berkurang nyerinya, tiba-tiba saja dia dikeroyok lima orang pendekar Kun-lun-pai yang menuduhnya telah membunuh dua orang tokoh Kun-lun- pai sebagai Hek-tiauw Eng-hiong!

Di mana letak kesalahan ini" Jelaslah -bahwa ada orang menyaru sebagai Hek-tiauw Enghiong melakukan pembunuhan itu untuk menjatuhkan nama Hek-tianw Eng-hiong, agar pihak Kun-lun-pai memusuhinya.




Tiba-tiba dia teringat. Dia berada di daerah pegunungan Sung-san. Bukankah pusat Siauw-lim-pai berada di kaki Gunung ini" Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan
pusat yang melahirkan banyak pendekar yang kenamaan dan para pendekar Siauw-lim-pai tidak ada yang pernah menjadi antek Mancu. 


Mungkin para tokoh Siauw-lim-pai dapat memberi penjelasan kepadanya tentang Hek-tiau Enghiong yang dituduh membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai dan menceritakan apa sebetulnya yang terjadi. 

Setelah mengambil keputusan demikian, Tin Han melanjutkan
langkahnya untuk mencari sebuah dusun di mana dia dapat bertanya di mana adanya kuil Siauw-limi yang tersohor itu.



          **********


Pemuda itu tampan dan gagah, tubuhnya sedang dan gerak geriknya lembut, pakaiannya juga indah seperti seorang kong-cu (tuan muda), di pinggangrya terselip sebatang suling perak. Pemuda itu adalah Cia Tin Siong.

Seperti diketahui, setelah keluarga Cia berpencar,. Tin Siong melakukan perjalanan seorang diri. 

Dalam perjalanannya itu dia selalu bertindak seperti seorang pendekar yang menolong mereka yang tertindas dan menentang kejahatan dengan gagah perkasa.

Pada suatu hari, ketika, dia melakukan perjalanan melalui sebuah lereng bukit, dia melihat seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun dan seorang gadis cantik berusia delapanbelas tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang perampok yang ganas. 


Para perampok itu semua menggunakan golok besar dan laki-laki dan gadis yang dikeroyok itu menggunakan sebatang pedang. Biarpun laki-laki setengah tua dan gadis itu memiliki ilmu pedang yang baik, yang menurut penglihatan Tin Siong adalah ilmu pedang dari Bu-tong-pai, namun pengeroyokan belasan orang perampok itu membuat mereka terdesak hebat. 

Para perampok itu memiliki ilmu golok yang cukup baik dan karena jumlah mereka jauh lebih besar maka kini mereka mengepung dengan ketat dan agaknya dua orang itu tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. 

Melihat ini, mudah saja bagi Tin Siong untuk membantu pihak yang mana. Laki-laki dan gadis itu adalah murid-murid Bu-tong-pai, tentu mereka tergolong pendekar dan melihat sikap para pengeroyok itu, mudah diduga bahwa mereka adalah
golongan sesat yang melakukan pengeroyokan dengan kasar dan curang.


Tin Siong tidak merasa ragu lagi untuk membantu pihak mana. Dia mencabut suling peraknya dan segera melompat dan terjun ke dalam pertempuran itu, menggunakan suling peraknya untuk menyerang para pengeroyok. 


Dua orang pengeroyok roboh oleh totokan sulingnya dan seorang lagi roboh oleh tamparan tangan kirinya yang menggunakan Hektok-ciang. 

Masuknya pemuda ini dalam pertempuran dan dalam waktu singkat telah merobohkan tiga orang, para perampok menjadi gentar dan kacau sehingga pria dan gadis itu juga dapat merobohkan masing-masing dua orang.

Kembali Tin Siong menampar dan seorang perampok roboh terkena hantaman di bagian dadanya. Melihat ini, sisa para perampok lalu kabur melarikan diri cerai berai.


Pria itu tidak mengejar para perampok, melainkan menghadapi Tin Siong dan mengangkat kedua tangan memberi hormat lalu berkata, "Si-cu, saya Kwe Ciang dan anak saya Kwe Li Hwa menghaturkan terima kasih atas bantuan Bagaimana si-cu dapat mengetahui bahwa kami ayah dan anak diserang segerombolan orang jahat dan datang membantu?"

"Tidak perlu berterima kasih dan bersikap sungkan, paman. Tadi ketika saya kebetulan lewat dan melihat kalian berdua dikeroyok, memang saya merasa bimbang untuk berpihak yang mana karena kesemuanya tidak saya kenal.

Akan tetapi saya mengenal ilmu pedang paman dan adik ini sebagai ilmu pedang Bu-tong-pai, maka saya tidak ragu lagi siapa-yang harus saya bantu."


"Bagus, ternyata pandangan sicu jauh dan bijaksana.
Sicu yang begini lihai dan berilmu tinggi, siapakah nama sicu dan dari perguruan manakah?"


"Nama saya Cia Tin Siong, paman, dan saya mempelajari ilmu silat dari keluarga saya sendiri."
Pria itu tampak terkejut dan memandang kepada Tin Siong dengan penuh perhatian. "Keluarga Cia di Hui-cu"'


Setelah bertanya demikian, pria yang bernama Kwe Ciang itu memandang ke arah dua orang perampok yang roboh dan tewas terkena tamparan tangan kiri Tin Siong. 


Dia melihat tanda tapak tangan hitam di dada dan leher dua orang perampok itu dan dia lalu meloncat mundur sambil menarik tangan puterinya untuk mundur menjauhi Tin Siong. 

"Jadi engkau ini Hek-tiuw Enghiong yang telah membunuh banyak pendeta Siauw-lim-pai dan dua orang tosu Kun-lun-pai?" 

Kwe Ciang dan puterinya mundur dan dia memegang tangan puterinya lalu berkata, "Li Hwa, mari kita cepat pergi dari sini!" Dia lalu menarik tangan anaknya diajak berlari cepat meninggalkan Tin Siong.

"Paman, tunggu...... !" Tin Siong yang terheran-heran memanggil, akan tetapi mendengar panggilan ini Kwe Ciang dan puterinya berlari semakin cepat.


Tin Siong memandang ke arah mayat para perampok,lalu memandang dua orang yang sudah berlari jauh itu, dan mengangkat kedua pundaknya. 


"Heran, watak orang-orang kang- ouw memang aneh sekali." Akan tetapi dia pergi dari situ dengan alis berkerut dan memutar otaknya. Hek- tiauw Eng-hiong. 

Bukankah itu julukan yang di pakai adiknya Cia Tin Han" Akan tetapi orang she Kwe tadi mengatakan bahwa Hek-tiauw Eng- hiong telah membunuhi banyak pendeta Siauw- lim- pai dan orang tosu Kun- lun-pai 

" Apa artinya ini "

Dia harus selidiki hal ini. Rasanya tidak mungkin kalau Tin Han membunuhi orang Siauw- lim- pai dan Kun- lun pai. Kebetulan sekali dia berada tidak jauh dari pusat Siauwlim- pai. 


Pegunungan Sung-san tampak di depan, maka dia segera menuju ke Gunung Sung- san. Dia harus mendatangi sendiri Siauw-lim-pai dan bertanya tentang berita itu. Dia harus membela nama baik adiknya, dan juga nama baik Keluarga Cia. 

Akan tetapi yang mengherankan hatinya, bagai mana Kwe Ciang tadi tahu bahwa Hek tiauw Eng- hiong
adalah keluarga Cia, apakah mungkin karena pukulan Hektok ciang itu" Tin Siong adalah seorang pemuda yang cerdik, maka dia dapat mengambil kesimpulan yang tepat. 


Namun ada kekecewaan besar di dalam hatinya. Dia telah melihat Kwe Li Hwa tadi dan hatinya terpikat. Gadis itu dalam pandang
matanya demikian cantik jelita dan serba menawan. Sayang ayah gadis itu menuduhnya yang bukan-bukan sehingga dia tidak mempunyai kesempatan untuk berkenalan dengan Li Hwa. 


Sebetulnya, dia tidak dapat melupakan Lee Cin. Akan tetapi Tin Siong dapat menduga bahwa gadis itu mempunyai hubungan cinta dengan Tin Han dan dia tidak ingin mengganggu hubungan itu. 

Kini, melihat gadis lain yang dalam pandangannya tidak kalah cantik menarik diapun jatuh hati.

Tin Siong melakukan perjalanan cepat ke Gunung Sung-san. Akan tetapi ketika dia tiba di sebuah lapangan rumput yang luas di kaki pegunungan itu, tiba-tiba dia melihat lima orang dengan cepat sekali beriari-lari dari depan. 


Ketika mereka sudah dekat, dengan girang dia mengenal bahwa dua dari lima orang itu adalah Kwe Ciang dan Kwe Li Hwa! Sedangkan yang tiga orang lagi adalah hwesio-hwesio tua yang berkepala gundul dan memakai jubah longgar berwarna kuning. 

Tiga orang hwe-sio tua itu semuanya melangkah seenaknya namun gerakan mereka sedemikian cepat dan ringannya sehingga Tin Siong mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. 

Dia melihat betapa Kwe Ciang menuding-nudingkan telunjuknya ke
arahnya dan lima orang itu berlari menghampirinya. Tin Siong berhenti melangkah dan menanti mereka tiba dekat di depannya.


"Inilah, lo- suhu! Dia inilah Hek-tiauw Eng- hiong dari Keluarga Cia!" kata Kwe Ciang.


Tin Siong mengamati tiga orang hwe-sio itu. Dia tidak tahu bahwa tiga orang hwe-sio itu adalah tokoh- tokoh Siauw-lim- pai yang terkenal. 


Mereka itu bukan lain adalah In Kong Thai su yang bertubuh tinggi kurus, berusia enampuluh lima tahun dan menjadi ketua Siauw-lim- pai cabang Kwi- cu. 

0rang kedua yang bertubuh gendut adalah Hui San H we- sio, wakil ketua atau pembantu dari Seng Thian Hwe-sio yang menjadi ketua pusat.

"Omitohud...... ...!" Kata In Kong Thai- su sambil memandang kepada Tin Siong dengan penuh perhatian.
"Orang muda, engkaukah Hek- tiauw Eng-hiong" Dan engkau seorang she Cia?"
Dengan tenang Tin Siong menjawab, "Benar, lo-suhu.
Saya bernama Cia Tin Siong, akan tetapi sama sekali saya bukan Hek-tiauw Eng-hiong!"


"Omitohud..... Hek-tiauw Eng- hiong pasti dari keluarga Cia dan andai kata bukan engkau orangnya, tentu engkau tahu siapa dia. Dia telah membunuh banyak rekan pin-ceng menggunakan ilmu pukulan Hek- tok-Ciang," lagi In Kong Thai-su mendesak.


"Memang ada adik saya menggunakan nama julukan
Hek-tiauw Eng- hiong, akan tetapi tidak mungkin dia membunuhi para hwei-sio Siauw-lim-pai. 


Adik saya seorang pendekar patriot sejati, tidak mungkin memusuhi sesama pendekar.
"Bukti sudah cukup jelas. Pembunuh para rekan pin-ceng adalah Hek-tiaw Eng-hiong dan melihat pukulannya Hek tok-ciang jelas pula bahwa dia adala anggauta keluarga Cia," kata Hui Sia Hwe-sio sambil tersenyum. 


"Kalau dia itu adikmu, engkaupun harus bertanggung jawab, orang muda!"

Tin Siong mengerutkan alisnya. "Saya sengaja mencari para lo-suhu untuk menjelaskan persoalan, akan tetapi sam-wi lo-suhu malah tetap menuduh adik saya yang melakukan pembunuhan, bahkan minta kepada saya untuk bertangung jawab. 


Tidak ada alasannya sama sekali bagi adik saya untuk membunuh para hwe-sio Siauw-lim-pai!"

"Omitohud..... !" In Kong Thai- su menggerakkan lengan baju kirinya. "Siapa yang tidak mengenal Keluarga Cia. Yang pernah bersekutu dengan pemberontak pasukan pemerintah di timur dan bersekutu pula dengan kaum sesat di dunia kang-ouw, bahkan dengan para bajak Jepang" 


Keluarga Cia paling benci kepada mereka yang tidak mau ikut memberontak dan menganggap mereka musuhnya! Maka apa anehnya kalau Hek-tiauw Eng- hiong membunuhi para hwe-sio di Siauw-lim-pai?"

"Terserah kalau sam-wi lo-suhu tidak percaya. Sekarang, apa yang hendak sam- wi lakukan terhadap diri saya?"
"Omitohud, kami bukan orang-orang suka sewenang-wenang. Akan tetapi karena engkau adalah kakak dari Hektiauw Eng-hiong, terpaksa engkau akan kami tawan agar Hek-tiauw Eng-hiong sendiri mau datang mempertanggung jawabkan perbuatannya."


"Saya tidak merasa bersalah, karena itu saya tidak mau dijadikan tawanan!"
"Omitohud, sudah pin-ceng sangka. Sicu tentu akan melakukan perlawanan terhadap kami" Bagus, pin-ceng hendak mencoba ilmu Hek-tok-ciang darimu!"

Setelah berkata demikian, In Kong Thai-su menggerakkan lengan bajunya dan tubuhnya sudah melompat ke depan Tin Siong.
"Orang muda she Cia, coba tunjukkan ilmumu yang telah membunuh para rekan pin-ceng itu. Pergunakan Hek-tok ciang untuk membunuh pin-ceng!"


"Saya tidak bermaksud untuk berkelahi. Akan tetapi kalau lo-suhu memaksa, silakan maju!" tantang Tin Siong yang sudah marah sekali. Dia merasa betapa para hwe-sio ini terlalu mendesaknya.


"Bagus, lihat serangan pin-ceng, orang muda!" In Kong Thai-su menggerakkan tangannya dan dia sudah menyerang dengan gerakan yang tampaknya, lambat namun sebenarnya cepat sekali dan mendatangkan angin yang kuat. Tin Siong cepat mengelak dan balas menyerang. 


Tin Siong membela diri dengan memainkan ilmu silat Keluarga Cia yang khas dan In Kong Thai-su diam-diam kagum karena ilmu silat pemuda itu sungguh termasuk ilmu silat tinggi. Juga dari sambaran angin pukulan pemuda itu dia maklum bahwa Tin Siong memiliki sin-kang yang cukup baik. 

In Kong Thai-su bermaksud memaksa pemuda itu mengeluarkan Hek-tok-ciang maka tiba-tiba dia mengubah serangannya. Kini dia menggunakan It-yang-ci! Tentu saja Tin Siong menjadi repot sekali menghindarkan diri dari serangan totokan yang ampuh itu. Ketika ia sudah kepepet sekali, ketika sebuah totokan meluncur ke arah pundaknya, dia cepat menggunakan tangan kanannya menyambut dengan pukulan telapak tangan Hek-tok-ciang. 

Hanya itu yang dapat dia lakukan untuk menyelamatkan diri!
"Wuuuuutt..... tukk!" Jari tunggal In Kong Thai-su bertemu dengan telapak tangan menghitam itu dan akibatnya tubuh pendeta itu tergetar akan tetapi Tin Siong terpelanting roboh.

Pada saat itu tampak berkelebatan bayangan hitam dan di situ sudah berdiri Hek-tiauw Eng-hiong!


"Sam-wi lo-suhu, mengapa memaksa orang yang tidak bersalah sama sekali" Ketahuilah bahwa Hek-tiauw Enghiong adalah, saya dan saya tidak pernah membunuhi para hwe-sio Siauw-lim-pai! Keluarga Cia sekarang telah menjadi pejuang- pejuang patriot sejati, tidak mungkin melakukan hal tercela itu!"


"Omitohud! Hek-tiauw Eng-hiong berani muncul sendiri, ini menunjukkan kegagahannya. Akan tetapi kalau dia mengingkari perbuatannya, itu merupakan tindakan pengecut!" kata In Kong Thaisu.


Hek-tiauw Eng-hiong membantu Tin Siong bangun lalu berkata lirih kepadanya. "Mundurlah, koko, biarkan aku yang menyelesaikan urusan ini."


"In Kong Thai-su, sudah lama saya mendengar bahwa lo-suhu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang bijaksana dan berbudi mulia. 


Akan tetapi apa yang lo-suhu tuduhkan ini hanya menunjukkan bahwa para hwe-sio Siauw-lim-pai kurang cermat mengadakan penilaian. 

Saya percaya bahwa yang muncul di Siauw-lim-pai dan membunuh para hwe sio mungkin memakai pakaian dan kedok seperti saya, mengaku pula sebagai Hek-tiauw Eng-hiong, akan tetapi apakah hal itu sudah dapat dijadikan kepastian bahwa saya yang melakukannya" 

Bagaimana kalau ada orang lain yang menyamar sebagai saya dengan maksud untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Keluarga Cia" 

Sekali lagi saya berani bersumpah bahwa saya tidak melakukan pem bunuhan itu. "

"Hemm, Hek-tiauw Eng-hiong, bagaimana pula dapat dibuktikan
bahwa bukan engkau yang melakukan pembunuhan itu?" tanya Hui San Hwe-sio sambil tersenyum mengejek.

"Kalau sam-wi lo-suhu tidak percaya, terserahlah. Lalu apa yang hendak sam-wi lakukan?"
"Omitohud! Hek-tiauw Eng-hiong, kami bukan orang-orang yang suka main hakim sendiri. 


Selain membunuh belasan orang anak murid Siauw-lim-pai, engkau juga telah membunuh dua orang to-su Kun-lun-pai. Karena itu, kami harus menangkapmu dan membawamu ke persidangan
pengadilan di depan Ketua kami dan Ketua Kun-lun-pai."


"Hemm, lo-suhu. Tentu saja saya tidak mau ditangkap karena tidak merasa bersalah. Saya menawarkan tindakan lain kalau lo-suhu setuju," kata Hek-tiauw Eng-hiong.


"Tindakan apa yang kautawarkan?" tanya In Kong Thaisu.
"Karena saya merasa betapa nama baik saya dicemarkan, maka saya berjanji akan membantu para lo-suhu untuk mencari sampai dapat orang yang membunuhi para hwe-sio Siauw-lim-pai dan para to-su
Kun lun-pai dengan menyamar sebagai saya. 


Berilah waktu dua bulan untuk mencarinya, lo-suhu."
"Tidak! Jangan biarkan dia pergi, suheng. Kalau sekali kita biarkan dia pergi, akan sukarlah untuk mencarinya kembali," kata Hui Sian Hwe-sio kepada In Kong Thai-su.


"Omitohud! Kami tidak dapat menerima usulmu itu, Hektiauw Eng-hiong. Kesalahanmu sudah jelas. Engkaulah, yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dengan Hek-tok-ciang itu. Sekarang menyerahlah untuk menjadi tawanan kami."


"Terpaksa saya menolak untuk ditangkap, lo-suhu."
"Bagus, sudah pin-ceng duga bahwa engkau tentu akan menolak. Mari kita putuskan dengan sebuah pertandingan."


"Terserah kepada lo-suhu."
In Kong Thai-su lain memasang kuda-kuda dan berseru.
"Awas terhadap serangan pin-ceng, Hek-tiauw Eng-hiong,"
"Silakan, lo-suhu!"
In Kong Thai-su lalu menerjang maju, mengirim pukulan dengan ujung lengan bajunya. Tin Han tidak mengelak melainkan menggerakkan jari-jari tangannya untuk menyentil ujung baju yang menyambar ke arah dadanya itu.


Wuuutt t ...... pratt !" Ujung Iengan baju ini terpental kembali dan dari rangkisan ini saja tahulah In Kong Thai-su bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki sing-kang yang amat kuat.


Diapun bersilat dengan mantap dan kedua buah jari telunjuknya menyerang secara bertubi dengan ilmu totok lt-yang-ci! Hebat sekali serangan ini dan Tin Han yang maklum akan ampuhnya ilmu ini, segera mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk berkelebat ke sana sini, kadang menangkis dan juga membalas dengan serangan tamparan yang mendatangkan angin kuat.


Tin Han harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menandingi ketua
Siauw- lim- pai cabang Kwi- cu ini dan setelah pertandingan berlangsung limapuluh jurus lebih, perlahan namun tentu Tin Han mulai mendesak In Kong Thai- su. 


Bagai manapun juga, dalam keadaan tingkat kepandaian yang seimbang, akhirnya usia yang menentukan. Tin Han adalah seorang pemuda yang sedang kuat-kuatnya sedangkan In Kong Thaisu adalah seorang yang sudah mulai tua. 

Daya tahannya sudah berkurang dimakan usia.
Tiba- tiba In Kong Thai- su yang merasa kalah dalam hal kecepatan dan daya tahan, mengirim serangan dengan kedua tangannya menotok ke arah dua jalan darah Tin Han.


Cepat datangnya serangan itu sehingga tidak ada kesempaan lagi
bagi Tin Han untuk mengelak. Dia terpaksa mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangan lalu menyambut totokan itu dengan pukulan tapak tangan yang terisi penuh tenaga Khong-sim Sin kang.


"Winmuuttt ..... dess!" Kedua orang itu terpental ke belakang, hanya bedanya kalau Tin Han dapat berjungkir balik ke belakang dan turun dengan lunak ke atas tanah, sebaliknya In Kong Thai-su terhuyung- huyung ke belakang.

Dia menghela napas panjang tiga kali dan keadaannya sudah pulih kembali.
"Hek- tiauw Eng- hiong, pin- ceng masih belum kalah.
Mari kita lanjutkan!" kata In Kong Thai-su yang sudah melompat ke depan sambil menghadapi Tin Han. Pemuda inipun sudah siap dan mereka segera bergebrak kembali, saling serang dengan hebatnya karena keduanya maklum akan kelihaian lawan maka setiap serangan dilakukan dengan pengerahan sekuatnya. 


Pada saat itu ter- dengar seruan. "Tahan,henti kan pertandingan
ini!" Sesosok bayangan
berkelebat dan mener- jang di antara kedua orang itu yang terpaksa
melompat mundur ke belakang. 


Baik Tin Han maupun In Kong Thai-su segera mengenal laki-laki muda
perkasa yang telah melerai mereka. Pria muda tampan tegap dan
gagah dengan pakaian sederhana ini bukan lain adalah Song Thian Lee!

Bagaimana Thian Lee dapat muncul di situ" Song Thian Lee dan isterinya Tang Cin Lan membawa putera mereka, Song Hong San, pergi meninggalkan kota Tung-sin-bun
karena mereka sudah menjadi orang buronan pemerintah.


Dia melarikan diri ke gunung-gunung dan akhirnya memilih untuk tinggal di lereng Bukit Hoa-san. Pada suatu hari, suami isteri pendekar ini mendengar pula berita tentang Hek-tiauw Eng-hiong yang telah membunuhi belasan orang hwe-sio Siauw-lim-pai dan membunuh dua orang to-su Ktm-lun-pai. Mendengar berita Thian Lee terkejut bukan main.


"Bagaimana mungkin ini?" katanya kepada isterinya.
"Aku mengenal betul orang berkedok itu! Dia menolong dan menyelamatkan aku dan adik Lee Cin. Dia seorang pendekar yang menentang komplotan kaum sesat dan bajak Jepang yang membantu pasukan memberontak di timur itu.

Bagaimana mungkin orang seperti dia itu melakukan pembunuhan terhadap para hwe-sio dan to-su" Rasanya tidak masuk akal!"
"Akan tetapi kukira ada asap tentu ada apinya. Ada berita tentu ada pula kenyataannya."


"Aku tetap tidak percaya. Kebetulan sekali Sung-san tidak berapa jauh dari sini. Isteriku, kau tinggal di rumah dengan anak kita, aku akan meluangkan waktu beberapa hari untuk pergi ke kuil Siauw-lim-pai di Sung-san dan mencari keterangan yang sejelasnya tentang hal itu."


Demikianlah, Thian Lee meninggalkan isteri dan anaknya, melakukan perjalanan cepat menuju Sung-san.
Dan dalam perjalanannya ke Sung-san itulah di tengah perjalanan dia melihat pertandingan yang amat seru antara seorang yang berkedok dan berpakaian hitam melawan In Kong Thai-su. 


Dia melihat gerakan yang berkedok itu hebat sekali dan teringatlah dia akan Si Kedok Hitam yang pernah menolongnya. 

Maka cepat dia melerai karena pertandingan antara kedua orang lihai itu sudah mencapai puncak yang berbahaya sekali di mana keduanya melakukan serangan yang ampuh dan bertenaga.

Ketika In Kong Thai-su mengenal Thian Lee, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Omitohud! Kiranya Panglima Song Thian Lee dari kota raja yang datang melerai!"


"Lo-suhu, telah beberapa bulan ini saya sudah mengundurkan diri, tidak lagi menjadi panglima, melainkan menjadi rakyat biasa."


"Omitohud, tindakan yang tepat dan baik sekali itu. Akan tetapi mengapa engkau datang melerai pertandingan kami?"


Thian Lee menoleh ke arah Si Kedok Hitam dan tersenyum berkata, "Senang sekali dapat bertemu lagi denganmu di sini."
Si Kedok Hitam memberi hormat. "Song- ciangkun......!"


"Aku tidak lagi menjadi perwira, harap jangan sebut aku ciangkun."
"Maaf, Song-taihiap," Si Kedok Hitam berkata lagi. "Saya juga senang dapat bertemu dengan tai- hiap di sini, akan tetapi mengapa tai- hiap tadi melerai pertandingan kami ?"


"Suhu In Kong Thai- su dan engkau, Si Kedok Hitam..... "
"Sebut saja saya Hek- tiauw Enghi ong, tai- hiap."


"Hek- tia uw Eng- hiong dan lo- suhu, keduanya saya kenal saya kenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah dan budiman, mengapa sekarang tahu- tahu bertanding sendiri.


Kita semua adalah segolongan, maka kalau ada urusan sebaiknya dirundingkan secara baik-baik."

" Omitohud, Song- taihiap. Engkau
tentu sudah mengetahui bahwa kami para hwe-sio adalah orang-orang yang tidak suka menggunakan kekerasan. Akan tetapi menghadapi Hek- tiauw Enghiong ini tidak mungkin untuk tidak menggunakan kekerasan. Apakah thaihiap belum
mendengarnya. Dia telah membunuh delapanbelas orang
hwe-sio Siauw-lim- pai. 


Sekarang setelah dapat bertemu di siniami hendak menangkapnya untuk dibawa ke persidangan untuk mengadilinya, akan tetapi dia tidak mau.
Terpaksa kami mempergunakan ke kerasan."
Thian Lee menoleh kepada Tin Han. "Hek- tiauw Enghiong,seorang pendekar yang gagah sepatutnya mempertanggung- jawabkan semua perbuatannya. Kenapa engkau menolak untuk ditangkap?"


"Song-taihiap, saya adalah seorang laki-laki sejati. Kalau benar saya yang melakukan pembunuhan- pembunuhan itu, untuk apa saya banyak bicara lagi. Akan tetapi soalnya, saya tidak merasa melakukan pembunuhan itu. Karena merasa tidak bersalah, tentu saja saya tidak mau ditangkap. 


Saya sudah mengajukan usul kepada hwe-sio ini agar memberi waktu satu dua bulan kepadaku untuk mencari orang yang telah menyamar sebagai saya dan melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Akan tetapi mereka tidak mau menerima dan memaksa hendak menangkap saya."
"Hek- tiauw Eng- hiong, saya pernah merasa kagum kepadamu! Karena itu, saya bertanya sekali lagi agar hatiku yakin. Benarkah engkau yang melakukan pembunuhan terhadap delapanbelas orang hwe-sio Siauw-lim- pai itu?"

"Tidak benar! kalau memang saya yang membunuh mereka, saya tentu akan mengakui dan mempertanggung-jawabkan perbuat an saya!"


"Bagus, saya percaya kepadamu. Suhu In Kong Thai- su, saya tidak meragukan kebenaran ucapan Hek- t iauw Enghiong. 


Karena itu, usulnya tadi baik sekali. Harap lo- suhu memandang muka saya untuk membebaskan dia agar dia dapat membantu mencari pembunuh kejam itu."

"Song-taihiap, apakah taihiap berani menanggung kalau dia kami lepaskan kemudian dia melarikan diri dan tidak akan muncul kembali?" tanya Hui Sian Hwe-sio.
Thian Lee tersenyum dan berkata dengan tegas. "Sekarang saya hendak membantu pula mencari penjahat bertopeng itu, kalau kelak Hek-tiauw Eng-hiong tidak muncul lagi, akulah yang akan mencarinya dan mengajaknya menghadap para lo-suhu!"


Hui Sian Hwe-sio memandang kepada In Kong Thai- su.
"Bagai mana baiknya, suheng?"
In Kong Thai- su tidak ragu lagi setelah Thian Lee menanggung bahwa Hek-tiauw Eng-hiong tidak akan lari.


Pula, tadi dia mendapat kenyataan betapa tingginya ilmu silat Hek-tiauw Enghiong.. Dengan ilmunya setinggi itu, mengapa dia harus mengingkari kalau memang dia yang
membunuhnya" Dia dapat membela diri kalau ada orang yang hendak menangkapnya. Pula, sekarang selain Hek-tiauw Eng- hiong yang akan mencari pembunuh itu, Thian Lee juga memberikan janjinya untuk membantu.


" Omitohud, agaknya Song-taihiap yakin dan percaya penuh kepada Hektiauw Eng-hiong. Mengapa kita harus ragu- ragu. Baiklah, Song-tai hiap, kami bebaskan Hektiauw Eng-hiong dan memberi waktu dua bulan untuk dia mencari pembunuh itu."


"Terima kasih, lo-suhu. Dan terima kasih kepadamu, Song- taihiap."
"Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya mencarikan jalan terbaik bagi kedua pihak. Dan saya percaya bahwa engkau akan bersungguh-sungguh mencari pembunuh itu, Hek-tiauw Eng-hiong. Kalau engkau gagal, namamu akan menjadi buruk karenanya. "


"Tentu saja, saya akan mencarinya sampai dapat. Mari, koko, kita pergi dari sini," kata Tin Han kepada Tin Siong.
Tin Siong mengangguk dan setelah memberi hormat kepada semua orang, dua orang kakak beradik itu lalu pergi meninggalkan tempat itu.


Sementara itu Thian Lee lalu bertanya kepada In Kong Thai- su, "Lo-suhu, setelah saya berjanji untuk membantu mencari pembunuh itu, saya mohon petunjuk, bagaimana ciri-ciri pembunuh itu?""Tidak ada ciri lain kecuali bahwa dia membunuh dengan pukulan ilmu Hek-tok-ciang. Kami semua pernah mendengar bahwa yang memiliki ilmu itu adalah Keluarga Cia dan pemuda bertopeng tadi jelas adalah anggauta Keluarga Cia.

Dia adalah adik dari pemuda yang lain itu yang bernama Tin Siong. Karena itulah maka tadi kami berkeras untuk menangkapnya. Akan tetapi karena pertanggungan tai-hiap, kami terpaksa membebaskannya. Kami tidak mempunyai petunjuk lain atas ciri-ciri Hek-tiauw Eng-hiong yang telah membunuh delapanbelas orang murid Siauw-lim-pai. "


Thian Lee mengangguk- angguk. Tidak ada petunjuk yang jelas akan tetapi dia dapat memperhitungkan dan mengambil kesimpulan. Jelas bahwa pembunuh itu membenci Hek-tiauw Eng hiong, maka memalsukan namanya untuk merusak nama Hek-tiauw Eng-hiong dan mengadu domba dia dan pihak Siauw-lim-pai. Dan pembunuh itu tentu membenci pula kepada Siauw-lim-pai.


Siapakah yang membenci Siauw-lim-pai" Tentu saja para tokoh sesat di dunia kang-ouw. Dan siapa pula yang
memusuhi Hek-tiauw Eng-hiong" 


Para tokoh sesat dunia kang-ouw tentu juga membencinya karena dia bertindak sebagai pendekar. Juga para pemberontak membencinya.

Thian Lee tidak ragu lagi bahwa pelaku pembunuhan itu tentu seorang tokoh sesat yang lihai sekali. Siapakah dia"
Dia mengingat-ingat siapa saja tokoh sesat di dunia kangouw yang pernah memusuhinya ketika dia membasmi
pemberontakan di timur. 


Ada Thian-te Mo-ong, Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Mo-kai dan beberapa orang tokoh sesat lain.
Boleh jadi seorang di antara mereka yang melakukan pembunuhan. Akan tetapi, biarpun mereka itu lihai, kiranya tidak mungkin mampu membunuh delapanbelas orang hwesio Siauw-lim-pai. Tiba-tiba dia teringat. Siang Koan Bhok!


Datuk sesat majikan Pulau Naga itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan tentu saja dia membenci para pendeta Siauw-limpai. Ilmu kepandaiannya cukup tinggi dan mungkin dia melakukan pembunuhan itu dengan menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong untuk mengadu domba.


Thian Lee berpamit dari para hwe sio dan segera melanjutkan perjalanannya. Dalam hati dia mencatat nama Siang Koan Bhok sebagai seorang yang patut dicurigai.
Kalau perlu dia hendak menyelidiki ke Pulau Naga.



          **********


Tin Han yang pergi meninggalkan para hwe-sio Siauw-lim-pai itu menanggalkan pakaian hitamnya setelah dia dan kakaknya tiba di sebuah tempat sunyi. Dia membungkus pakaian hitamnya dan kembali menjadi Cia Tin Han.


"Siong-ko, maafkan bahwa engkau ikut terlibat dan hampir tertawan oleh para hwe-sio Siauw-lim-pai," kata Tin Han kepada kakaknya.


"Semua ini gara-gara engkau suka memakai kedok hitam," Tin Siong menyaIahkan adiknya. "Kalau engkau tidak pernah memakai kedok hitam, tentu tidak ada yang dapat menjatuhkan fitnah kepadamu. 


Sekarang bagaimana, bagaimana engkau akan dapat mencari orang yang telah menyamar sebagai engkau itu, Han-te?"


          **********



Tin Han menggeleng kepalanya perlahan. "Aku sendiri masih belum tahu benar. Akan tetapi kalau aku tidak salah membuat perhitungan, yang melakukan itu tentulah orang yang amat membenci kepadaku. 


Di antara para tokoh besar banyak yang membenci aku, Siang ko. Aku akan melakukan penyelidikan kepada mereka, terutama Siang Koan Bhok.

Dialah yang mengumpulkan para tokoh sesat dunia kangouw untuk bersatu dan mereka kini berbalik menjadi antek-antek pemerintah Mancu."


"Akan tetapi engkau berhati- hatilah, Han-te. Mereka itu lihai sekali, apa lagi kalau sudah bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Aku sendiri akan membantumu membuka mata dan telinga untuk mencari tahu siapa pembunuh itu."

"Baik dan terima kasih, Siong-ko. Sekarang sebaiknya kita berpisah mengambil jalan masing-masing."
"Baik, selamat jalan, adikku. Eh, sebuah pertanyaan lagi.
Bagaimana dengan hubunganmu dengan nona Souw Lee Cin?" Tin Han terkejut dan mukanya berubah merah. "Hubungan apa maksudmu, Sing-ko?"


Tin Siong tersenyum. "Jangan pura-pura. Engkau saling mencinta dengan nona Souw, bukan?"
"Bagaimana Siong-ko bisa mengetahuinya?"


"Tentu saja aku tahu dan diam-diam aku merasa girang.
Ia memang pantas menjadi jodohmu, Han-te. Di mana ia sekarang?"
"Di Hong-san, di rumah ayah ibunya."


"Dan hubunganmu dengannya?"
"Ah, baik-baik saja. Siong-ko," katanya akan tetapi di dalam hatinya ingin dia menangis ditanya tentang hubungan cintanya dengan Lee Cin.

Kedua orang kakak beradik itu lalu berpisah. Belum lama mereka berpisah, Tin Siong yang berjalan seenaknya mendengar seruan orang dari belakang.
"Cia-taihiap......... !"
Tin Siong berhenti melangkah, menoleh dan jantungnya berdebar-debar melihat siapa yang berlari-lari menyusulnya.
Mereka itu bukan lain adalah Kwa Ciang dan puterinya, Kwe Li Hwa!

"Cia-taihiap, perlahan dulu!" teriak Kwe Ciang dan tak lama kemudian kedua orang itu sudah berada di depan Tin Siang. Ketika pandang mata Tin Siong bertemu dengan
pandang mata Li Hwa, kedua pandang mata itu berlutut sebentar kemudian wajah cantik manis itu menunduk kemerahan. 


"Ah, kiranya Paman Kwe dan adik Li Hwa," kata Tin Siong dengan suara gembira.
"Cia- taihiap, kami berdua sengaja menyusulmu karena kami ingin mohon maaf atas tindakan kami yang tidak mengenal budi," kata pula Kwe Ciang dengan sikap sungkan dan merendah.


"Eh, apa yang paman maksudkan?" tanya Tin Siong.
"Kami berdua sudah menerima pertolongan darimu ketika kami dikeroyok perampok, akan tetapi sebagai balas jasa kami malah melaporkan kepada para hwe-sio Siauwlim-pai karena kami mengira bahwa engkau adalah Hektiauw Eng-hiong yang telah membunuhi para pendeta Siauw-lim-pai."


Tin Siong tersenyum dan kembali pandang matanya bertemu dengan pandang mata Li Hwa. "Ah, itukah" Tidak mengapa, paman. Aku sendiri kalau bertemu dengan orang yang telah membunuhi para hwe-sio itu, tentu akan menentangnya. 


Paman hanya salah menduga, karena pembunuh itu bukanlah aku orangnya. Tidak perlu paman minta maaf."
Kwe Ciang tersenyum girang. "Ah, lega sudah hatiku telah memohon maaf kepadamu, Cia-taihiap. Sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan suasana yang lebih enak.


Kalau boleh kami mengetahui, taihiap hendak pergi ke manakah?"
"Aku hanya menurutkan ke mana hati dan kakiku membawaku sambil melihat-lihat kalau-kalau aku akan
dapat membantu para hwe-sio Siauw-lim-pai untuk menemukan pembunuh itu."


"Kalau begitu, kalau tai-hiap tidak berkeberatan, kami ingin melakukan perjalanan bersamamu sambil mempererat persahabatan kita."


"Tentu saja aku tidak keberatan, bahkan merasa senang sekali, paman!" kata Tin Siong sejujurnya dan kembali sinar matanya menyambar ke arah wajah Li Hwa dan ketika gadis itu juga mengangkat muka memandangnya, ia segera
tertunduk kembali sambil tersenyum.


"Nah, kalau begitu mari kita melanjutkan perjalanan kita, Cia-taihiap. Di depan terdapat sebuah dusun dan kita harus cepat berjalan agar jangan kemalaman di dalam perjalanan."


"Baik, paman. Akan tetapi kuharap paman jangan menyebut lagi tai-hiap kepadaku, cukup dengan menyebut namaku saja. Namaku Cia Tin Siong."

Tiga orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka. Tin Siong merasa betapa suasananya amat berbeda setelah dia melakukan perjalanan dengan gadis itu. Biarpun di situ ada ayah gadis itu, namun dia sudah merasa gembira bukan main. Apa lagi ternyata olehnya bahwa Li Hwa adalah seorang gadis yang lincah dan enak diajak bercakap-cakap.

Dan lebih dari itu, sikap dan sinar mata gadis itu kalau memandangnya, dia dapat merasa bahwa gadis itu juga ada hati kepadanya!



          **********


Cia Tin Han melakukan perjalanan seorang diri. Hatinya dipenuhi penasaran. Dia dituduh membunuh delapanbelas orang hwe-sio Siauw-lim-pai dan dua orang to-su Kun-lunpai. Sungguh tuduhan yang berat sekali. 


Dan diapun maklum betapa keadaannya terjepit. Pembunuh itu memakai pakaian dan kedok hitam, mengaku berjuluk Hek-tiauw Enghiong dan menggunakan ilmu pukulan yang sama dengan Hek-tok-ciang, ilmu pukulan Keluarga Cia!

 Ini berarti bahwa buktinya telah ada bahwa dia yang membunuh mereka!
Kalau tidak muncul Song Thian Lee yang melerai, entah bagaimana jadinya antara dia dan para hwe-sio Siauw-limpai. Dia memang harus menolak tuduhan itu, akan tetapi tidak mungkin dia lalu melawan para hwe-sio yang berarti menambah berat tuduhannya.


Dalam keadaan seperti itu, segala sesuatu tampak buruk.
Jalanan yang kotor berdebu, pohon-pohon yang tumbuh. kacau, bahkan rumput dan bunga-bunga di sepanjang jalan tampak seperti memperoloknya. Tidak menyenangkan bahkan menyebalkan. Ditambah lagi ketika dia teringat kepada Lee Cin, hatinya terasa berat dan kehidupan ini tampak membosankan baginya. 


Hilang semua gairah hidupnya dan dia menganggap bahwa kehidupan hanya merupakan beban penderitaan belaka.
Indah buruknya hidup memang tergantung dari keadaan hati sendiri. 


Kalau hati sedang gembira, maka segalanya tampak indah menyenangkan, kehidupan merupakan sarang madu kebahagiaan. Akan tetapi sebaliknya, kalau batin sedang dilanda duka nelangsa, segala sesuatu tampak buruk dan kehidupan merupakan kepahitan yang memuakkan.

Tiba-tiba di depan matanya berkelebat bayangan orang dan bagaikan mimpi dia melihat di depannya telah berdiri seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Lee Cin sendiri!


"Cia Tin Han, hendak lari ke mana engkau?" Gadis itu membentak dengan wajah tampak marah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi.

"Cin- moi......... Apa......... apa kata mu...... ?" Tin Han gelagapan karena sama sekali tidak mengerti akan sikap dan ucapan Lee Cin itu.

"Artinya, engkau harus mampus di tanganku!" Lee Cin berseru dan segera menyerang dengan Ang-tok-ciang.


"Wuuutttttt ..... !" pukulan itu cepat dan kuat bukan main, dan nyaris dada Tin Han terkena hantaman itu. Akan tetapi biarpun dalam keadaan tegang, terkejut, khawatir dan bingung, Tin Han masih sempat mengelak dan melompat mundur. 


"Cin-moi ...... ! Ingat, aku Cia Tin Han, kekasihmu!"
"Siapa sudi" Kau..... kau jahat dan curang!" Kembali Lee Cin mendesak dan kini dia menyerang dengan ilmu totok It-yang-ci.


Tin Han merasa sedih bukan main. "Baiklah, kalau engkau hendak menganggap aku. Akan tetapi sebelum membunuhku, jelaskan dulu persoalannya mengapa engkau bersikap begini," Tin Han sengaja memasang diri tidak mau mengelak akan sehingga totokan Lee -in mengenai jalan darahnya dan diapun menjadi lumpuh tertotok.


Lee Cin mencabut Ang-coa-kiam dan menempelkan pedangnya di dada Tin Han. Pemuda yang telentang itu tidak berkedip, hanya memandang kepada Lee Cin dengan pasrah.
"Kalau engkau ingin membunuhku, lakukanlah, Cin-moi.


Akan tetapi berlakulah adil dan katakan dulu apa salahku."
"Masih berpura-pura" Engkau seorang yang palsu, curang dan licik! Masihkah engkau tidak mau mengaku dan berpura-pura bodoh?"
"Sungguh mati, Cin-moi. Aku sungguh tidak mengerti mengapa engkau menjadi marah- marah seperti ini!"


"Engkau telah menyerang dan melukai ibuku sehingga hampir menewaskannya dan engkau masih pura-pura tidak tahu" Sungguh hatimu palsu dan jahat!"


Tin Han terbelalak. "Apa" Aku sama sekali tidak melakukannya, Cin-moi!"
"Keparat! Aku sudah melihat dengan kepalaku sendiri engkau sebagai Si Kedok Hitam menyerang ibu dan
melukainya dengan Hek-tok-ciang, dan engkau masih menyangkal" 


Selain jahat dan curang, engkau ternyata juga hanya seorang pengecut yang tidak berani mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
Dengan marah sekali Lee Cin tidak menghiraukan lagi penyangkalan Tin Han, melainkan melolos sabuknya dan mengikat kedua tangan Tin Han di depan tubuhnya.

Kemudian ia menotok bebas kedua pinggang Tin Han sehingga pemuda itu terbebas di bagian kedua kakinya, akan tetapi belum dapat menggerakkan kedua lengannya_
Hebat memang ilmu totok It-yang-ci itu.


"Cin-moi, percayalah kepadakti! Aku tidak melakukan hal itu. Yang melakukannya bukan aku, melainkan orang lain yang menyamar sebagai aku!"


"Cukup! Alasan tak masuk akal. Aku tahu bahwa engkau mendendam
kepada ibuku karena menolak dan mengusirmu. Hemm, ternyata ibu lebih benar. Kalau saja aku berjodoh dengan seorang licik dan pengecut seperti engkau, celakalah hidupku!"

"Cin-moi ...... !" Akan tetapi Lee Cin tidak menjawab lagi melainkan menyeret ujung sabuk sehingga terpaksa Tin Han berlari mengikutinya.
"Cin- moi, kemana engkau hendak membawaku?" tanya Tin Han. Kalau dia menghendaki, dengan kedua kakinya yang telah bebas tentu saja dia dapat menyerang Lee Cin dengan
tendangan. 


Akan tetapi dia tidak tega melakukannya. Dia sudah menyerah dan dia tetap mencinta Lee Cin walaupun diperlakukan demikian karena dia tahu bahwa Lee Cin marah dan membencinya karena perbuatan pembunuh yang menyamar sebagai dirinya itu.

Lee Cin tidak pernah bicara lagi, hanya kadang ia menengok ke belakang seolah ia takut kalau- kalau pemuda itu akan meloloskan diri. Akan tetapi ia melihat Tin Han masih melangkah mengikutinya dengan kedua tangan terbelenggu. Sudah beberapa jam mereka berjalan. Kadang-kadang lari dan kadang-kadang berjalan.


. "Cin-moi, beritahulah aku. Aku hendak kaubawa kemanakah?" tanya Tin Han. Suaranya agak gemetar dan sebetulnya Lee Cin merasa kasihan sekali mendengar suara itu, akan tetapi kalau ia menengok dan melihat Tin Han, ia teringat akan bayangan hitam yang melukai ibunya dan hatinya menjadi keras kembali.


"Akan kubawa engkau kepada ibuku, biar ibuku sendiri yang akan menghukummu!" kata Lee pendek dan ketus.


Matahari naik tinggi dan Lee Cin merasa lelah. Lelah, lapar dan haus karena matahari amat teriknya. Dan ia sendiri merasa heran mengapa ia demikian mudah lelah. Ia berhenti di bawah sebatang pohon besar dan duduk di atas sebuah batu. 


Tin Han juga duduk di atas batu di
bekangnya. Sejak tadi dia menurut saja, seperti seekor anjing yang di tuntun majikannya.
Lee Cin mengeluarkan guci airnya dan minum beberapa teguk. 

Kemudian teringat betapa dahulu Tin Han minum dari guci yang sama. Hatinya menjadi kesal dan ia
menyimpan gucinya kembali. Lalu dikeluarkannya beberapa potong roti, digigitnya sepotong. Ketika mengunyah roti itu, ia menengok ke belakang dan melihat betapa Tin Han sedang menatap wajahnya. 


Melihat Lee Cin menengok, Tin Han
tersenyum. Lee Cin merasa jantungnya seperti ditusuk ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat pemuda itu tersenyum. Ia menjadi marah kepada diri sendiri karena tadi hampir saja ia menawari roti dan minum kepada Tin Han. 


Dibantingnya sisa rotinya, ia bangkit dan melanjutkan berlari lagi. Tin Han terseret dan diapun ikut berlari-lari.
Melihat tingkah Lee Cin, Tin Han tersenyum-senyum. Dia seperti dapat membaca isi hati gadis itu. Gadis itu
membencinya, marah kepadanya karena mengira dia melukai ibunya seperti dia melukai ayahnya dahulu, akan tetapi kebencian itu masih terselubung rasa sayang dan cinta kepadanya!


Mengetahui akan hal ini, Tin Han yang berjalan dibelakang Lee Cin itu tiba-tiba membuka mulutnya dan
bernyanyi! "Benci akan tetapi cinta perpaduan yang aneh tapi nyata marah akan tetapi sayang mendatangkan salah tingkah salah paham mendatangkan bencana
sebaiknya selidiki dulu dengan seksama!"


Lee Cin yang merasa disindir oleh nyanyian itu, menarik sabuknya dengan kuat sehingga Tin Han hampir jatuh tersaruk-saruk.
"Diam kau! Apakah tidak bisa menutup mulut?"bentaknya sambil berdiri menghadapi Tin Han dengan muka merah.


Tin Han tersenyum. "Bagaimana aku dapat diam kalau menghadapi keadaan seperti ini" Sungguh mesra sekali perjalanan ini!" Dan dia tertawa.


"Singgg !" Lee Cin mencabut pedangnya. "Apa engkau ingin mati sekarang juga?"


"Ha-ha-ha, aku tahu bahwa seorang gadis gagah seperti engkau tidak akan membunuh seorang yang sudah ditawan dan tidak mampu melawan lagi. Akan tetapi andaikata
engkau nekat membunuhku, aku tidak akan menyesal,tewas di tangan seorang gadis yang kucinta sepenuh jiwa ragaku."


"Diam! Keparat kau!" Tiba-tiba dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk mata Lee Cin dan ia membanting kakinya, lalu melangkah lagi menarik ujung sabuknya.


Tiba-tiba tam
pak sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Lee Cin telah berdiri dua orang laki-laki.

Lee Cin memandang mereka dengan terkejut karena mereka itu bukan lain adaiah Yauw Seng Kim dan Ban-tok Mo-li.

Melihat Lee Cin menyeret Tin Han, Seng Kun dan Mo-li saling pandang dengan heran, akan tetapi Yauw Seng Kun lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, nona Souw Lee Cin. Sungguh kebetulan kita saling berjumpa lagi di tempat ini. Dan itu, engkau mempunyai tawanan. Bukankah itu si orang jahat Cia Tin Han" Ah, engkau sudah menangkapnya. Kebetulan sekali kami juga ingin menangkapnya. 


Sekali ini kalian berdua akan menjadi tawanan kami!" Yauw Seng Kim mencabut tongkat bambu kuning dan Ban-tok Mo-li juga sudah
mencabut pedangnya yang beracun. 


Mereka berdua tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Lee Cin dengan ganasnya. Lee Cin terpaksa melepaskan ujung sabuk yang dipakai mengikat kedua pergelangan tangan Tin Han dan melompat ke belakang untuk mengindarkan serangan kedua orang itu. Ia juga mencabut Ang-coa-kiam dan ketika dua orang lawannya sudah menyerang lagi, ia memutar pedangnya sekaligus menangkis tongkat bambu kuning dan pedang.

"Trang-trangg.........!!" Bunga api berpijar dan kedua orang pengeroyok itu merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar hebat. Lee Cin cepat membalas serangan mereka dengan sambaran pedangnya yang digerakkan dengan cepat dan amat kuatnya. 

Namun kedua orang lawannya bukan orang lemah. Mereka telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mereka dapat mengelak, lalu menyerang lagi.
Lee Cin memutar pedang melindungi tubuhnya sehingga dua senjata lawan itu tidak mampu menembus gulungan sinar pedangnya dan secepat kilat ia balas menyerang kalau melihat kesempatan terbuka. 


Pertandingan itu berjalan seru dan mati- matian. Akan tetapi, biarpun kalau mereka itu maju lawan satu masih belum mampu menandinginya, kini karena dikeroyok dua Lee Cin menjadi repot juga.

"Haiiiiitttt........!" Tongkat bambu kuning menotok ke arah lehernya. Lee Cin menangkis dengan pedangnya akan tetapi pada saat itu, pedang Ban-tok Mo-li menyambar ke arah dadanya dengan bacokan dari kanan ke kiri. Karena pedangnya dipergunakan menangkis tongkat, maka ia tidak sempat lagi untuk menangkis pedang dan ia melempar
tubuh ke belakang dan berjungkir balik dua kali, namun ia dapat menighindarkan diri dari serangan pedang yang berbahaya itu. 


Lee Cin selanjutnya bersikap hati-hati sekali karena dua orang itu dapat bekerja sama dengan baik dan kalau ia lengah, nyawanya terancam maut.

Sementara itu, Tin Han melihat pula bahaya yang mengancam diri gadis yang dicintanya itu.
Dia mengerahkan tenaga sin- kang dari tantian di bawa pusar. Hawa panas menjalar naik dan membuka semua  jalan darahnya sehingg totokan yang tadinya melumpuhkan kedua tangannya, kini terbebas dan dia mampu mengerahkan tenaganya melalui kedua tangannya. 


Dengan mudah dia dapat membikin
putus sabuk yang mengikat kedua pergelangan tangannya, kemudian sekali menggerakkan.....


RAJAWALI HITAM JILID 07



n tubuh dia sudah meloncat ke depan dan tangannya menampar ke arah Yauw Seng Kun.

Seng Kun terkejut bukan main merasa ada angin yang kuat m enyambar ke arahnya. Dia melempar tubuh ke belakang lalu mengelebatkan tongkatnya untuk menyerang Tin Han yang sudah berada di sampingnya. Tin Han mengelak dan menyerang lagi dengan tamparan tangannya.


Lee Cin kini menghadapi Ban-tok Mo-li seorang. Setelah tidak dikeroyok Lee Cin segera dapat mendesak Ban-tok Mo-li dengan Ang-coa-kiam di tangannya. Sama seperti pedang yang dipegang Ban-tok Mo-li, Ang - coa- kiam juga merupakan sebatang pedang beracun, warnanya kemerahan dan ampuh sekali. 


Setelah tidak dibantu Seng Kun, Ban-tok Mo-li menjadi repot dan tahulah ia bahwa sekarang keadaannya terbalik. Ia dan Seng Kun yang terdesak hebat dan berada dalam bahaya.

Mendadak Ban- tok Mo-li mengeluaran suara melengking nyaring dan segera muncullah duapuluh lebih pasukan pemerintah yang tadinya berada dalam hutan di sebelah.


Mereka segera menggunakan golok untuk menyerang Lee Cin dan Tin Han, dipimpin oleh seorang perwira yang mempergunakan pedang dan yang memiliki ilmu pedang yang lumayan. 


Tin Han maklum bahwa berdua degan Lee Cin, dia akan mampu menanggulangi pengeroyokan duapuluh lebih orang perajurit itu. 

Akan tetapi dia tidak ingin melihat Lee Cin membunuh banyak orang, maka dia segera memegang tangan kiri Lee Cin dan berseru,"Cin-moi, lari!" Dan dia sudah meloncat sambil menarik Lee Cin. Karena tangan kirinya dipegang kuat, mau tidak mau Lee Cin harus berlari juga untuk mengimbangi larinya Tin Han.
Pasukan itu mengejar, namun sudah kehilangan jejak karena larinya Tin Han dan Lee Cin cepat bukan main.
Dengan hati mendongkol karena gagal menawan Lee Cin dan Tin Han, Yauw Seng Kim dan Ban-tok Mo-li terpaksa meninggalkan tempat itu untuk melapor kepada bengcu Ouw Kwan Lok bahwa mereka telah bertemu dengan Cia Tin Han dan bahwa Lee Cin agaknya menawan pemuda itu.


"Lepaskan tanganku!" Lee Cin membentak ketika mereka tiba di tengah hutan. Tin Han melepaskannya dan memandang kepada gadis itu dengan senyum.
"Kenapa engkau menarikku dan mengajak lari" Aku tidak takut menghadapi pengeroyokan anjing-anjing Mancu itu!


Mengapa pula engkau membantuku"
Aku tidak membutuhkan bantuanmu karena engkau adalah musuh besarku" 
Tin Han tidak tersenyum lagi, melainkan memandang gadis itu dengan tatapan mata serius dan berkatalah dia,


"Cin-moi, engkau salah paham! Ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak pernah menyerang dan melukai ibumu. Kalau aku melakukannya tentu aku akan mengaku. Bukankah aku mengaku juga ketika aku menyerang dan melukai ayahmu"


Akan tetapi sekali ini aku sama sekali tidak melakukannya.
Harap engkau suka mempertimbangkan baik-baik hal ini."


"Siapa percaya omonganmu" Aku, dengan kedua mataku sendiri, melihat engkau sebagai Hek-tiauw Eng-hiong menyerang ibuku dan melukainya. Apakah aku lebih
percaya kepadamu dari pada kepada kedua mataku sendiri?"


"Akan tetapi siapapun juga dapat menyamar sebagai Si Kedok Hitam dan mengaku sebagai Hek-tiauw Eng-hiong!
Aku yakin bahwa yang kaulihat itu adalah Hek-tiauw Enghiong palsu, karena aku tidak pernah melakukannya."


"Hemm, ada buktinya yang lebih meyakinkan lagi! Ibuku, setelah kuperiksa, terkena pukulan Hek- tok-ciang, ada tanda tapak tangan hitam di bagian tubuhnya yang terpukul. 


Siapa lagi orangnya kalau bukan engkau yang melakukan itu?"
Tin Han menghela napas panjang. "Aku sudah berusaha untuk menyadarkan dan menjelaskan, akan tetapi kalau engkau tetap tidak percaya, nah, kau boleh totok dan ikat aku lagi," kata Tin Han dan dia menyodorkan kedua lengannya ke depan agar di belenggu seperti tadi.

Pada saat itu terdengar suara lantang, "Cin- moi, kenapa engkau masih memakai watakmu yang keras itu?" Dan di situ muncullah Thian Lee !

"Lee- ko......... !" Lee Cin berseru sambil memandang kepada orang muda itu. "Apa maksudnya omonganmu tadi?" 
"Ketahuilah, Cin- moi bahwa apa yang diucapkan saudara Cia Tin Han itu benar semua. Dia tidak melakukan seperti yang kau tuduhkan. 


Bukan hanya engkau yang kena dikelabuhi orang, bahkan para tokoh Siauw-lim- pai dan Kunlun-pai juga dapat tertipu. Belasan orang hwe- sio Siauw-lim- pai dan dua orang to-su Kun-lun-pai dibunuh oleh seorang yang berkedok hitam dan menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Akan tetapi saudara Cia sama sekali tidak bersalah."

"Lee-ko, kenapa engkau membelanya" Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ketika dia menyerang dan melukai ibuku. Dan dia memang baru saja meninggalkan rumah kami setelah diusir ibu, jadi dia mendendam kepada ibu."


"Bisa saja orang lain yang menyamar sebagai Eng-tiauw Eng-hiong untuk memburukkan namanya seperti yang dilakukan orang itu ketika membunuhi para hwe-sio dan to-su. 


Aku yang tanggung jawab kepada para lo-suhu Siauwlim-pai sehingga saudara Cia Tin Han ini tidak jadi mereka tangkap. Saudara Cia diberi waktu dua bulan untuk menangkap pembunuh itu. Karena itu, akupun minta kepadamu agar engkau membebaskan Hek-tiauw Eng-hiong yang aseli dan biarlah dia mencari pembunuh dan penyerang ibumu itu. 

Bukankah demikian 
kesanggupanmu, SaudaraCia Tin 
Han?"
Tin Han tersenyum. "Tadi sudah kujelaskan kepadanya, akan tetapi nona Soauw ini tetap marah kepadaku dan hendak menyeretku menghadap ibunya agar aku dihukum."
"Tidak, Cin-moi. Ini tidak boleh kaulakukan. Kalau dia yang ditangkap kemudian dibunuh, berarti berhasillah Hektiauw Eng-hiong palsu yang hendak mengadu domba. Aku kira engkau tidak sebodoh itu."


Timbul keraguan dalam hati Lee Cin setelah mendengar semua kata-kata itu, dan timbul pula harapannya bahwa yang dikatakan Thian Lee itu benar. Karena kalau benar seperti yang dikatakan Thian Lee, berarti Tin Han tidak bersalah, tidak pernah menyerang dan melukai ibunya.


"Baiklah, aku setuju untuk membebaskannya. Akan tetapi kalau selama dua bulan ini dia tidak dapat
menangkap pembunuh itu dan menyeretnya kehadapan ibu, aku tidak akan dapat memaafkan lagi. Karena kalau benar dia yang menyerang dan melukai ibuku, berarti dia telah menghancurkan
harapan dan kebahagiaan hidupku. 


Sudahlah, Lee- ko, selamat tinggal!" Setelah berkata demikian Lee Cin memandang sejenak kepada Tin Han
dengan mata basah, lalu ia meloncat pergi dengan cepat sekali.


Thian Lee menghela napas panjang. "Gadis yang hebat!
Betapa ia mencintamu, saudara Cia!"
Tin Han memandang wajah Thian Lee yang gagah itu.
"Hemm, bagaimana engkau dapat mengatakan demikian, saudara Song Thian Lee?"


"Aku mengenal baik adik Lee Cin, mengenal pula wataknya. Ia hendak menangkapmu, tentu saja karena ia mengira bahwa orang yang dicintanya itu telah melukai ibunya. 


Kalau ia membencimu tentu ia ingin membunuhmu, bukan sekedar menangkapmu. Dan ingat kata-katanya tadi bahwa kalau benar engkau telah melukai ibunya, berarti engkau menghancurkan harapan dan kebahagiaan hidupnya. 

Bukankah itu sudah cukup jelas" Dan engkaupun tentu amat mencintanya, saudara Cia."
"Eh, bagaimana pula engkau dapat mengetahuinya?"
"Mudah saja," kata Thian Lee tersenyum. "Kalau engkau hendak melepaskan diri dari tangan Lee Cin, apa sukarnya bagimu"


Akan tetapi tidak, engkau menurut saja ditangkapnya tanpa perlawanan. Apa lagi artinya itu kalau bukan cinta?"

"Ha-ha-ha, sudah lama aku mendengar bahwa Song
Thian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi ternyata sekarang aku mendapatkan bahwa selain gagah perkasa, dia cerdik pula. Saudara Song, engkau tahu pula bahwa Hek-tiauw Eng-hiong adalah aku. Bagaimana engkau dapat menduganya?"


"Engkau sudah beberapa kali menolongku dan aku tadinya hanya tahu bahwa engkau Si Kedok Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dilihat dari gerakan ilmu silatmu, memang ada dasar-dasar ilmu silat Ketuarga Cia, maka tadinya aku hanya menduga bahwa Si Kedok Hitam tentu seorang anggauta Keluarga Cia. 


Kemudian timbul geger ketika Hek-tiauw Eng-hiong melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan Cin-moi menangkapmu. Siapa lagi
engkau kalau bukan Hek-t iauw Eng-hiong yang aseli?"
"Bagus. Engkau hebat, saudara Song dan engkau sudah menyelamatkanku. Baik kalau engkau sudah mengetahui
bahwa aku adalah Hek-tiauw Eng-hiong, dan terima kasih kepadamu bahwa engkaulah seorang yang mempercayaiku bahwa aku tidak melakukan semua pembunuhan itu.

Sekarang tinggal bagaimana nasibku saja. Kalau selama dua bulan ini aku tidak berhasil menangkap Hek-tiauw Enghiong palsu itu, tentu seluruh dunia persilatan akan memusuhiku dan aku tidak dapat menyangkal lagi."

"Jangan khawatir, sobat. Orang yang benar selalu dilindungi Thian. Aku pun akan membantumu untuk mencari pembunuh itu."
"Ah, betapa gembiranya hatiku. Aku seperti mendapatkan seorang kakak yang baik hati kepadaku."


"Mengapa tidak" Engkaupun dapat kuanggap sebagai adikku, Han- te (adi Han)."
"Terima kasih, Lee-ko. Sekarang hatiku merasa tenteram karena engkau berpihak kepadaku. Aku mohon petunjuk, Lee- ko. Ke manakah kiranya aku harus mencari pembunuh itu?"


"Hemm , aku sendiri belum dapat menduga dengan tepat siapa dia. Akan tetapi, kita sudah mempunyai beberapa pegangan. Pembunuh itu adalah seorang pemuda yang
tubuhnya sebesar tubuhmu dan pembunuh itu memliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali sehingga dia mampu membunuh In Tong Hwe-sio dan belasan orang hwe-sio lain, bahkan membunuh dua orang to-su dari Kun-lu pai. Selain itu, diapun memiliki ilmu pukulan seperti Hek-tok-ciang."


"Lalu bagaimana kesimpulan Lee- ko" "
"Aku teringat bahwa orang yang memiliki pukulan beracun seperti Hektok- ciang itu adalah Tung- hai- ong Siang Koan Bhok, majikan Pulau Naga. Dia memiliki ilmu pukulan Ban- tok- ciang (Tangan Selaksa Racun). selain itu juga ilmu kepandaiannya tinggi, dapat dibilang merajai di antara datuk sesat:"


"Hebat! Pendapatmu itu sungguh cocok dengan jalan pikiranku. `Ketika engkau diserang rombongan orang dari golongan sesat itu, juga ketika Keluarga Cia di serang, mereka yang menyerang adalah orang-orang yang datang dari Pulau Naga. Bahkan ketika mereka menyerang Keluarga Cia, Siang Koan Bhok sendiri juga ikut dan aku pernah bertanding dengan kakek yang sakti. 


Barang kali engkau sudah mendengar, Lee- ko, bahwa setelah beng-cu Souw Tek Bun mengundurkan diri sebagai beng-cu, penggantinya adalah seorang pemuda yang bernama Ouw Kwan Lok.
Ketika mereka memperebutkan kedudukan beng cu, kabarnya tidak ada yang mampu menandingi Ouw Kwan Lok. 


Pada hal dia hanya mempunyai lengan kanan saja, yang kiri sudah putus. Aku curiga kepadanya karena kabarnya dia bertekad untuk menalukkan seluruh dunia kangouw dan mengangkat dia sebagai beng-cu semua golongan. 

Apa lagi sekarang ketahuan bahwa dia menggerakkan tokoh-tokoh 
sesat dalam dunia persilatan, dan bersekutu pula dengan pemerintah penjajah Mancu. Sangat boleh jadi kaIau Ouw Kwan Lok itu yang menjadi pembunuhnya."


"Akan tetapi, engkau sendiri yang mengatakan bahwa Ouw Kwan ok yang menjadi beng- cu baru itu haya
berlengan satu. 


Pada hal pembunuh para hwe-sio dan to-su itu mempunyai dua buah lengan yang lengkap. Ini saja sudah menjadi bukti bahwa bukan dia orangnya yang memalsukan Hek-tiauw Eng-hiong," kata Thian Lee sambil mengerutkan alisnya.

Tin Han menghela napas panjang "Benar juga pendapatmu itu, Lee- ko. Akan tetapi, apakah tidak ada kemungkin yang menyangkal bukti itu?"
"Nanti dulu!" Tiba-tiba Thian Le berseru. "Aku teringat bahwa di kota raja terdapat seorang pandai besi yang terkenal dengan kepandaiannya membuat lengan dan tangan palsu, bahkan kaki palsu. 


Banyak para hartawan dan
bangsawan yang karena suatu sebab kehilangan lengan atau kakinya, membeli kaki tangan palsu itu darinya. Tentu saja mungkin sekali kalau Ouw Kwan Lok menggunakan tangan palsu yang tidak kentara karena tertutup pakaian."


"Bagus! Engkau memang hebat, Lee- ko! Makin tebal kepercayaanku bahwa Ouw Kwan Lok yang menyamar menjadi Hek- tiauw Eng- hiong itu. Aku pernah mengalahkan Siang Koan Bhok ketika dia ikut menyerbu Keluarga Cia dan mungkin karena itu aku dianggap sebagai musuh berbahaya yang harus dilenyapkan. 


Mungkin dengan memburukkan namaku mereka itu akan dapat melenyapkan aku dari permukaan bumi. Dan memang usaha mereka itu hampir berhasil. Aku pernah terancam oleh para hwe-sio Siauw-lim-pai, kemudian terancam oleh Cin- moi sendiri.

Siapa tahu pada suatu waktu Kun- lun-pai juga mencariku untuk
membalas dendam. Aku harus melakukan penyelidikan ke Pulau Naga!"
"Tepat sekali. Akan tetapi engkau harus berhati-hati sekali, Han-te. 


Kalau Pulau Naga menjadi tempat tinggal beng-cu dan kalau beng-cu mengumpulkan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw di sana, maka tempat itu menjadi amat berbahaya. 

Sebaiknya kita kini berpencar dan mencari jalan masing-masing sambil melakukan penyeledikan di sepanjang jalan. Kita bertemu kelak di Pulau Naga karena akupun akan melakukan penyelidikan di sana."
"Ada urusan apakah engkau hendak pergi ke sana, Lee-ko?"
"Selain untuk membantu mencari pembunuh akupun mempunyai perhitungan dengan Siang Koan Bhok. Ketika Thian-te Mo-ong dan kawan-kawannya hendak menangkap kami dahulu itu, ini jelas ada hubungannya dengan persekutuan antara beng-cu, para tokoh sesat, dan pasukan pemerintah. 


Agaknya beng cu itu telah berhasil menghasut Kaisar sehingga Kaisar juga menyuruh pasukannya menangkap aku dengan tuduhan memberontak. Aku ingin membuat perhitungan dengan biang keladi ini semua yang kuduga berada di tangan beng-cu Ouw Kwan Lok itu."
"Baik, Lee-ko. Kita bertemu di sana."



          **********


Lee Cin meninggalkan Tin Han dan Thian Lee dengan hati tidak karuan rasanya. Benarkah ucapan Thian Lee bahwa yang menjadi pembunuh para hwe-sio dan to-su, juga yang menyerang dan melukai ibunya itu, bukan Tin Han,melainkan orang lain yang menyaru setegai Hek-tiauw Enghiong" 

Memikirkan kemungkinan ini, hatinya menjadi semakin tidak karuan. Ada rasa lega dan gembira, akan tetapi juga ada rasa penyesalan dan malu. Ia telah memperlakukan Tin Han sebagai tawanannya dan diseretnya seperti seekor anjing! Ia tahu bahwa ia, bagaimanapun juga, 
masih amat mencinta Tin Han.


Kalau ia bersikap seperti itu terhadap Tin Han, hal itu adalah karena tadinya ia yakin bahwa Tin Han yang menyerang ibunya. Akan tetapi sekarang baru ia menyadari kemungkinan adanya pihak ke tiga yang sengaja mengadu domba antara keluarganya dan Tin Han! 

Kalau dipikirkan secara tenang dan mendalam, kini iapun sangsi apakah Tin Han yang demikian lembut dan bijaksana,yang demikian baik hati sehingga berani menentang keluarga sendiri karena dia mempunyai pendirian yang teguh sebagai seorang pendekar patriot sejati, apakah pemuda yang demikian baik itu dapat berbuat demikian rendah untuk menyerang dan melukai ibunya"

Diam-diam hatinya yang tadinya merasa tertindih kini menjadi lega. Ah, alangkah senangnya kalau ternyata bukan Tin Han yang melakukan hal itu. Akan tetapi ia sudah terlanjur bersikap demikian galak dan membenci terhadap Tin Han!


"Ah, apakah sikapku itu tidak amat menyakiti hatinya dan membuat dia membenci aku?" Bibir Lee Cin gemetar dan tak terasa beberapa tetes air mata menuruni kedua pipinya.


Ia berhenti di bawah pohon, berlindung dari terik matahari. Ia teringat akan apa yang baru saja terjadi.
Kembali Yauw Seng Kun, si keparat itu, bersama Ban-tok Mo-li hampir mencelakainya. Kalau tidak ada Tin Han yang membantunya, maka pengeroyokan duapuluh lebih orang
perajurit dan dua orang jahat itu tentu dapat membahayakan dirinya.

Setelah mendengar pendapat bahwa ada musuh rahasia yang sengaja menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong untuk mengadu domba, Lee Cin teringat akan musuh-musuhnya.
Selama ini ia selalu bentrok dengan golongan sesat yang dahulu membantu pemberonrak akan tetapi yang sekarang bahkan menjadi sekutu pemerintah penjajah. Orang-orang seperti Thian-te Mo-ong, Siang Koan Bhok, Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Mo- kai, Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li itu selalu menyerangnya kalau bertemu dengannya. 

Orang-orang itu juga menjadi musuh Tin Han. Tentu saja mereka itu memusuhi pula Siauw- lim- pai, Kun- lunpai dan lain-lain partai persilatan besar yang menjadi tempat para pendekar. Ia sekarang teringat. 

Kalau ada orang yang hendak mengadu domba Hek- tiauw Eng- hiong dengan keluarganya, dengan Siauw-lim- pai dan Kun- lun- pai, maka besar sekali kemungkinannya orang itu adalah seorang di antara mereka yang memusuhinya itu. Yauw Seng Kun!

Bukankah yang menyamar sebagai Hektiauw Eng- htong palsu itu seorang muda yang badannya sebesar Tin Han"
Yauw Seng Kun juga memiliki kepandaian tinggi.
Ia tidak boleh tinggal diam. Ia merasa kasihan kepada Tin Han yang hanya diberi waktu dua bulan untuk dapat menangkap pembunuh itu. 


Bagaimana kalau selama dua
bulan itu pencarian Tin Han gagal " Tentu semua tuduhan akan kembali kepada pemuda itu! Ah, ia tidak boleh tinggal diam. Ia harus membantu Tin Han, melakukan penyelidikan dan mencari pembunuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng- hiong itu.


Pusat para tokoh sesat itu sekarang berada di Pulau Naga, dipimpin oleh beng-cu baru itu. Ouw Kwan Lok! Tiba tiba saja seperti sinar kilat menerangi otaknya. Benar! Ouw Kwan Lok itu sekarang telah menjadi seorang yang lihai bukan main. Mengalahkan Im Yang Seng-cu ketua Kun-lunpai bahkan mengalahkan Nenek Cia. Ouw Kwan Lok menjadi beng-cu dan dia yang memimpin golongan sesat. 


Mungkin Ouw Kwan Lok yang amat lihai itu yang menyaru sebagai Hek-tiauw Eng- hiong. Akan teapi, tuduhan itu menjadi lemah kembali ketika ia teringat bahwa lengan kiri Ouw Kwan Lok buntung. Ia sendiri yang membuntungi lengan itu.

Bagaimana mungkin Ouw Kwan Lok dapat menyaru sebagai Hek-tiauw Eng-hiong kalau lengannya hanya satu" Tentu akan ketahuan semua orang. Tidak, Ouw Kwan Lok tidak 
mungkin menyamar sebagai orang lain. Cacat lengan buntungnya tidak memungkinkan dia melakukan hal itu.


Akan tetapi, andaikata bukan Ouw Kwan Lok sendiri,agaknya pembunuh itu seorang di antara para tokoh kang ouw yang telah bergabung dengan bengcu baru itu. Atas perintah Ouw Kwan Lok; Benar, tidak dapat salah lagi. Kalau hendak mencari pembunuh itu, tempatnya tentu di Pulau Naga. 


Dengan pikiran ini, Lee Cin lalu melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, untuk pergi ke Pulau Naga.

Ketika dua hari kemudian memasuki kota Teng-lok yang cukup ramai, dan mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu, di sebuah rumah makan merangkap rumah
penginapan ia melihat Cia Tin Siong sedang duduk menghadapi meja makan dengan seorang pria setengah tua dan seorang gadis cantik. 


Sebelum Lee Cin mengambil putusan harus mengambil sikap bagaimana, Tin Siong sudah melihatnya dan pemuda itu segera bangkit berdiri.
"Souw-lihiap!" Tin Siong memanggil dan terpaksa Lee Cin menghampiri meja mereka. Bagaimanapun juga, Tin Siong adalah kakak kandung Tin Han.


Ia membalas penghormatan Tin Siong. "Siong-twako, engkau di sini'?" Lee Cin bertanya sambil memandang kepada gadis yang masih duduk menghadapi meja itu.
"Paman Kwe dan adik Li Hwa, perkenalkan. Nona ini adalah pendekar wanita Souw Lee Cin, puteri dari mantan beng-cu Souw Tek Bun di Hong-san. Souw-lihiap, ini adalah Paman Kwe Ciang bersama puterinya, adik Kwee Li Hwa.


Mereka ini adalah murid-murid 
Bu-tong-pai yang segolongan pendekar.
Lee Cin saling memberi hormat dengan ayah dan anak itu. Tin Siong menggunakan kesempatan itu untuk nempersilakan Lee Cin duduk di meja mereka dan makan bersama. Karena sikap Tin Siong yang sopan dan lembut, Lea Cin merasa tidak enak untuk menolak karena iapun masuk ke rumah makan itu untuk makan siang.


Sambil makan mereka bercakap-cakap. "Souw-lihiap, apakah engkau sudah nendengar tentang fitnah yang dilontarkan orang terhadap keluarga Cia kami?"
Tentu saja Lee Cin mengerti, akan tetapi ia pura-pura bertanya, "Fitnah yang bagaimana, Siong-twako?"


Dengan suara lirih agar jangan terdengar orang lain di rumah makan itu, Tin Han berkata. "Ada seseorang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng hiong membunuhi belasan orang hwe-sio Siauw-lim-pai dan dua orang to-su Kun lun-pai. 


Karena orang berkedok itu membunuh dengan pukulan yang mirip Hek- tok-ciang, maka orang-orang sudah menuduh keluarga kami yang melakukan. Terutama sekali adik Cia Tin Han yang dituduh sebagai pembunuh itu."

"Itu benar sekali," kata Kwe Ciang kepada Lee Cin. "Kami sendiri ketika pertama kali bertemu Cia Tin Siong, mengira dialah pembunuh itu dan kami melaporkan kepada para
hwe-sio di Siauw-lim-pai."


"Dan para tokoh Siauw-lim-pai segera datang kepadaku dan mereka hendak menangkap aku. Ketika aku tidak mau karena merasa tidak bersalah, mereka memaksa sehingga terjadi pertandingan. 


Pada saat itu, Hek-tiauw Enghiong muncul. Dia itu bukan lain adalah adikku Cia Tin Han.
Adikku juga menyangkal bahwa dia melakukan pembunuhan, akan tetapi para hwe-sio tidak percaya
sehingga terjadi perkelahian antara kami berdua dan mereka. Selagi keadaan kami terdesak, muncullah pendekar Song Thian Lee, bekas panglima itu dan dialah yang melerai, bahkan dia yang menanggung bahwa adikku Tin Han tidak bersalah. 


Akhirnya, setelah Tin Han berjanji bahwa dalam dua bulan dia akan menangkap pembunuhnya yang
menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong itu, atas tanggungan Song Thian Lee, kami dibebaskan. 


Sungguh membuat orang merasa penasaran sekali!"
Tentu saja Lee Cin sudah mengetahui semua itu. Akan tetapi ia tidak ingin menceritakan betapa orang berkedok itupun menyerang dan melukai ibunya sehingga iapun pernah menangkap dan menyeret Tin Han. 


Hanya kemunculan Song Thian Lee yang membuat ia sadar dan meragu akan kesalahan Tin Han.
"Aku sudah mendengar tentang pembunuhan itu, bahkan akupun sedang ikut melakukan penyelidikan tentang pembunuhan itu. Apakah engkau sudah dapat menduga siapa adanya pembunuh yang menyamar sebagai adikmu itu Siong-ko?"


"Aku belum dapat menduga siapa yang melakukan perbuatan keji itu. Aku pun hendak menyelidiki, akan tetapi tidak tahu harus mulai dari mana."
"Siong- ko, jelas bahwa orang yang melakukan itu tentu seorang yang menjadi musuh dan amat membenci Keluarga Cia. Tentu engkau dapat tahu siapa kiranya orang yang membenci dan memusuhi keluargamu, orang yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi."


Tin Siong mengingat-ingat, kemudian dia mengepal tinjunya dan berkata "Ahh, benar juga! Kenapa aku tidak memikirkan sebelumnya" Keluarga kami pernah didatangi Siang Koan Bhok dan Thian-te Mo- ong bersama kawan-kawan mereka. Mereka membujuk agar kami mau bersekutu dengan mereka dan membantu pemerintah Mancu. 


Tentu saja kami tidak setuju sehingga terjadi perkelahian antara kami dan mereka. Untung adik Tin Han muncul dan berhasil mengalahkan mereka. Tentu mereka itu yang membenci kami dan tentu perbuatan yang mencemarkan Keluarga Cia ini datang dari mereka!"

"Sekarang semua sudah jelas. Beng-cu baru Ouw Kwan Lok kini telah menjadi antek Mancu dan dia berusaha untuk mempengaruhi semua orang kang-ouw agar mau bekerja sama. Yang tidak mau lalu di musuhi. 


Keadaan mereka kuat sekali karena selain banyak tokoh sesat mendukung mereka, kini mereka dilindungi oleh pasukan pemerintah. Hemm, sungguh menyesal aku mengapa tempo hari bukan lehernya yang kubikin buntung, melainkan hanya lengan kirinya!"

"Keadaan ini gawat sekali," kata Kwee Ciang yang sejak tadi bersma puterinya hanya mendengarkan saja. "Kita kaum pendekar harus bertindak, kalau tidak, mereka tentu akan lebih berani mencoba untuk membasmi golongan pendekar yang tidak mau menjadi antek Mancu. 


Aku sendiri akan pergi ke Butong-pai dan memberi kabar ini kepada para suhu di sana agar Bu-tong-pai tidak tinggal diam namun bekerja sama dengan semua pendekar untuk
menghancurkan kekuatan jahat yang disusun oleh beng-cu baru di Pulau Naga itu."


Tin Siong mengangguk dengan gembira. Dia merasa senang bahwa ayah Li Hwa mau dengan aktip membantu gerakan untuk membasmi persekongkolan jahat itu.
"Dan aku sendiri akan pergi ke Pulau Naga untuk melakukan penyelidikan dan mencoba untuk mencari dimana adanya pembunuh yang telah mempergunakan nama Hek-tiauw Eng-hiong itu."


Tiba-tiba Kwe Li Hwa berkata kepada ayahnya, "Ayah, aku ingin ikut dan membantu Siong-ko. Engkau setuju, bukan?"
Kwe Ciang tersenyum dan sebelum menjawab dia menatap wajah pemuda itu. 


Selama beberapa hari melakukan perjalanan bersama, memang terdapat keintiman antara kedua orang muda.
Ketika dia melihat bahwa Tin Siong hanya tersenyum dan kelihatan girang dengan ucapan yang dikeluarkan Li Hwa, dia berkata, "Li Hwa, engkau hanya akan mengganggu Tin Siong. Dia sedang melakukan pekerjaan penting."


"Aku tidak akan mengganggunya, bahkan membantunya, ayah!" bantah Li Hwa.
Kwe Ciang menoleh kepada Tin Siong. "Bagaimana pendapatmu, Tin Siong" Apakah engkau tidak berkeberatan kalau Li Hwa ikut pergi bersamamu?"


Tin Siong tersenyum. "Saya tidak berkeberatan dan merasa gembira sekali mendapat bantuan adik Li Hwa."
"Baiklah kalau begitu. Li Hwa, engkau boleh ikut pergi dengan Tin Siong dan membantunya. Akan tetapi kalian berdua harus berhati-hati sekali. Pulau Naga merupakan tempat yang amat berbahaya bagi kalian."


Tentu saja Li Hwa merasa girang bukan main. Wajahnya yang cantik manis itu berseri- seri, sinar matanya juga seperti menari- nari ketika ia memandang kepada Tin Siong.
"Ayah, dengan Siong- ko tentu akan bersikap hati- hati.


Kuharap saja kami akan dapat membongkar rahasia orang yang menyamar sebagai Hek- tiauw Eng- hiong dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu."
Melihat sikap kedua orang muda itu, Lee Cin dapat,menduga bahwa tentu ada hubungan batin antara Tin Siong dan Li Hwa. Ia diam-diam merasa gembira sekali.


"Kalau begitu, kita mengambil jalan masing- masing dan mudah- mudahan kelak kita dapat bertemu di Pulau Naga untuk bersama-sama membasmi komplotan golongan sesat yang dihimpun oleh berg-cu Ouw Kwan Lok itu!" kata Lee Cin.


Setelah selesai makan dan bercakap- cakap dengan suara lirih namun bersemangat, Tin Siong lalu membayar harga makanan dan Lee Cin minta diri untuk pergi dari situ.

Mereka semua berpencar. Kwee Ciang juga pergi meninggalkan puterinya dan sepasang orang muda itu, Tin Siong dan Li Hwa, juga pergi meninggalkan kota Teng- lok.


          **********


Senja itu indah bukan main. Cahaya kemerahan dari langit barat mengecat permukaan bumi dengan warna keemasan yang cerah. 


Burung- burung beterbangan pulang ke sarang mereka dan berkicau riang setelah sehari lelah bekerja kini kembali ke sarang mereka yang hangat. Dari jauh tampak seorang anak remaja menggiring sekumpulan kerbau kembali ke dusun. Punggung kerbau-kerbau itu
tampak bersih mengkilap karena habis dimandikan disungai setelah kenyang makan di padang rumput. Para petani juga berjalan menuju pulang sehabis bekerja sehari di sawah ladang. 


Langit di barat merupakan keindahan tersendiri untuk dinikmati. Awan-awan yang membentuk bangunan-bangunan aneh berwarna kemerahan, seperti
istana-istana sorga tempat tinggal para dewa.


Tin Han terpesona dan dia berhenti melangkah di lereng bukit itu dan memandang ke arah barat. Alangkah
indahnya, menakjubkan! Dari lereng yang agak tinggi itu dia dapat melihat kesibukan di dusun bawah bukit. Agaknya semua mahluk sudah siap untuk menanti datangnya malam yang menggantikan siang. 


Agaknya Sang Raja Matahari
hendak meninggalkan kesan yang indah sebelum dia menghilang ke balik gunung di barat. Sebentar lagi semua keindahan di langit itu akan lenyap dan terganti oleh kegelapan yang pekat.


Tin Han teringat. Dia harus bersicepat kalau tidak ingin kemalaman di jaIan. Kakinya mulai bergerak, akan tetapi sukar baginya untuk tidak memandang ke arah langit di barat itu. 


Awan-awan yang membentuk bermacam bangunan itu demikian indahnya. Lekuk lengkung dengan garis lembut itu demikian sempurna, seperti lukisan Tangan yang Maha Sakti. Kembali dia menahan langkahnya. Lambat laun pemandangan di langit barat itu mulai memudar dan cuaca menjadi semakin remang. Tanda bahwa malam telah hampir tiba.

Ketika memandang dan menikmati semua keindahan itu tanpa berpikir, rasanya dia seperti menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari alam. Akan tetapi begitu dia teringat akan keadaan diri dan kebutuhannya, dia merasakan perpisahan dirinya dengan alam.

Karena cuaca sudah mulai remang dia bergegas menuruni lereng bukit itu menuju ke dusun di kaki bukit.
Penduduk itu miskin, tampak dari rumah mereka yang kecil-kecil dan butut sehingga Tin Han merasa tidak tega untuk mengganggu dan merepotkan mereka. Di luar dusun itu dia melihat sebuah kuil dan ke sanalah dia berjalan.


Kuil itu sudah tua sekali dan tidak dipergunakan lagi, tidak terawat sehingga dindingnya dari tembok itu penuh lumut.
Pohon-pohon rambat memenuhi jendela dan pintunya.


Sebagian dari atapnya sudah ambruk, akan tetapi bagian belakangnya masih utuh sehingga tempat itu lumayan untuk dipergunakan sebagai tempat melewatkan malam. Dia menguak daun pintu dan terdengar bunyi berkeriyet nyaring, lalu memasuki kuil itu. 


Hawa dingin menyambutnya dan Tin Han bergidik saking dinginnya dan juga karena sedikit banyak ada rasa was- was melihat tempat yang tampaknya angker, seolah-olah tempat itu lebih pantas dihuni setan dan iblis.

Terdapat beberapa buah arca di ruangan belakang, arca dari iblis penjaga pintu neraka. Buatannya halus sekali. 


Di ruangan belakang ini tempatnya masih lumayan, atapnya tidak rusak dan tempat itu masih mempunyai dinding yang dapat menahan serangan angin malam yang dingin.
Tin Han menemukan sebuah sapu dan menyapu lantainya sehingga bersih. 


Dia lalu duduk dan mengambil dua batang lilin dari buntalan pakaiannya, menyalakan lilin itu
sehingga keadaannya menjadi terang dan tidak menyeramkan lagi. Akan tetapi ketika dia duduk di atas lantai, dia seperti mendengar suara gerakan dan tiba-tiba dia seperti melihat dua pasang mata mengintainya dari balik arca-arca itu. 


Dia terkejut dan cepat melompat mendekat, akan tetapi dua pasang mata itu lenyap. Sungguh keadaannya menjadi menegangkan dan menyeramkan.
Manusia atau ibliskah yang telah mengintainya"
Tin Han merasa betapa tengkuknya meremang. Dia tidak takut, akan tetapi merasa ngeri juga. Perasaan ini dilawannya dengan anggapan bahwa tidak ada iblis dapat mengganggu manusia, kecuali kalau iblis itu manusia juga dan kalau ada manusia jahat yang mengganggunya, dia sudah siap siaga dan tidak merasa takut.


Malam semakin larut. Tin Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun. Selain dapat mendatangkan kehangatan, api unggun itupun memberi cahaya yang lebih terang dan mengusir nyamuk. Akan tetapi api unggun itu juga menimbulkan bayang-bayang yang besar dan panjang, menari-nari di sekelilirignya, seolah-olah dia dikepung oleh banyak hantu.


Tiba-tiba tampak banyak sekali nyala api disekelilingnya.
Nyala api itu seperti obor akan tetapi pemegangnya tidak tampak dan perlahan-lahan obor itu mulai bergerak mengitarinya, makin lama semakin cepat sehingga akhirnya hanya tampak sebagai sebuah lingkaran besar dari api dan kelihatan indah sekali.

Tin Han mengerutkan alisnya dan menjadi tak senang.

Dia merasa dipermainkan. Dia yakin bahwa obor-obor itu tentu dipegang oleh manusia, bukan sebangsa iblis.
Tangannya meraih ke depan, mengambil sepotong kayu bakar dan segera dia melontarkan kayu bakar itu ke arah lingkaran api sambil mengerahkan tenaga dalamnya.

" Wuuuuuttt......... dukkk!" Terdengar suara mengaduh ketika kayu bakar itu mengenai sasarannya. Tiba-tiba dari sekelilingnya menyambar benda-benda hitam dan ketika benda-benda itu jatuh ke atas lantai, terdengar ledakan-ledakan dan asap berwarna warni mengepul tebal. Tin Han terkejut. Dia meloncat bangun dan siap melawan. Akan tetapi dia segera terbatuk-batuk. Asap itu berbau keras, memasuki hidungnya seperti merica bubuk sehingga dia terbatuk-batuk. 

Tin Han tidak dapat menghindarkan diri lagi karena di dalam ruangan itu telah penuh dengan asap. Dia menerjang hendak keluar dari ruangan itu, akan tetapi kepalanya menjadi pening dan dia terhuyung-huyung lalu roboh tak sadarkan diri di atas lantai.

Setelah asap mulai memudar, tampaklah duapuluh lebih orang yang berpakaian serba hijau dan muka mereka dicoreng-moreng dengan cat berwarna warni sehingga sukar sekali untuk mengenal mereka. Akan tetapi dari gerakan mereka yang gesit, mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang lihai.

Tanpa banyak cakap lagi, dua orang di antara mereka lari menghampiri Tin Han dan melibat- libatkan tali kain sutera ke tubuh bagian atas Tin Han sehingga kedua tangan pemuda itu sama sekali tidak dapat di gerakkan, dilibat-libat kain sutera itu dengan kuat.

"Cepat bawa dia menghadap Kui-bo (Biang Hantu)!" kata seorang di antara mereka yang agaknya menjadi memimpin dan dari suaranya dapat diduga bahwa ia seorang wanita.
Orang-orang itu memang sukar dikenal karena wajah yang dicoreng moreng, bahkan sukar untuk menentukan mana yang pria dan mana yang wanita.

Empat orang lalu menggotong tubuh Tin Han yang masih pingsan dan mereka lalu berjalan dengan cepat keluar dari hutan itu, membawa obor dan menuju ke utara, mendaki sebuah bukit dan keluar masuk hutan. 


Pemimpin rombongan, wanita itu, berulang kali melihat apakah Tin Han masih belum sadar dari pingsannya. Setelah melihat pemuda itu sadar dan membuka matanya, ia berkata kepada orang- orangnya, "Lepaskan dia, biar dia jalan dengan kakinya sendiri!"

Empat orang itu melepaskan Tin Han. Pemuda ini ketika sadar menjadi bingung melihat dirinya digotong orang dan berada di tengah- tengah banyak orang yang mukanya dicoreng- moreng dan pakaian mereka serba hijau. Akan tetapi dia segera teringat peristiwa di dalam kuil tua itu dan maklum bahwa dia telah ditawan sekelompok orang aneh.


Dia mendapatkan dirinya dibelenggu dan tubuhnya dibelit-belit kain sutera yang amat kuat sehingga tidak mampu membebaskan kedua tangannya. Kain pengikat dirinya itu dapat mulur seperti karet maka sukar sekali untuk dibikin putus. Tidak, dia harus sabar mencari kesempatan baik, pikirnya. Membebaskan diri sekarang, selain sukar, juga berbahaya karena dia berada di tengah- tengah duapuluh lebih orang aneh itu.


Ketika dia dipaksa melangkah bersama mereka, pemimpin gerombolan itu berjalan mendekatinya dan terdengar suaranya yang merdu, suara seorang wanita muda, bertanya kepadanya.
"Siapa namamu?" Pertanyaan itu diajukan seperti orang bertanya kepada seorang teman saja sehingga Tin Han merasa akrab pula.


"Namaku Cia Tin Han," jawabnya pendek.
"Namaku Siauw Leng Ci," kata pula orang itu dengan suara wajar. Tin Han diam-diam merasa heran. Melihat sikap dan suara orang ini, agaknya ia bukan dari golongan se
sat, akan tetapi mereka itu demikian aneh, mencoreng-moreng muka mereka dan mengapa pula dia ditawan"

"Senang sekali berkenalan denganmu," katanya.
"Akan tetapi mengapa aku kalian tawan" Apa kesalahanku terhadap kalian?"
"Hemm, engkau telah menemukan tempat rahasia kami, karena itu engkau ditawan."
Tin Han tertegun. Kiranya kuil tua itu tempat rahasia orang-orang aneh ini.


"Akan tetapi aku tidak sengaja!"
"Hal itu harus dibuktikan dulu nanti."
"Ke mana aku akan dibawa?"
"Engkau akan kami hadapkan kepada ketua kami yang akan menentukan apa yang harus kami lakukan terhadap dirimu."
"Siapakah ketua kalian?"


"la adalah.......... ibuku!"
Tin Han terkejut. Jadi gadis ini, ia dapat menduga bahwa Siauw Leng Ci tentu seorang gadis muda yang tidak lebih dari duapuluh tahun usianya, puteri ketua gerombolan orang aneh itu.
"Siapa nama ibumu?"
"Ibu hanya dikenal nama julukannya saja, yaitu Te-tok Kui-bo (Biang Hantu Racun Bumi)."


Mendengar nama julukan yang menyeramkan itu, Tin Han tertegun. Nama julukan seperti itu membayangkan seorang yang sakti dan kejam.
"Akan tetapi, Leng Ci. Engkau sendiri tahu bahwa aku tidak bersalah apa-apa. Aku menemukan tempat rahasia kalian tanpa kusengaja. 


Apakah untuk itu aku harus menerima hukuman" Itu tidak adil sekali namanya!"
"Jangan khawatir, Tin Han. Ibuku adalah seorang yang bijaksana walaupun ia dapat mengambil keputusan tegas.


Engkau tadi telah merobohkan dua orang anggauta kami dengan lemparan kayu, karena itu engkau dianggap orang yang berkepandaian. Dan ibu memerlukan bantuan orang-orang yang berkepandaian. Tenanglah saja, aku tidak akan tinggal diam kalau engkau diperlakukan tidak adil."


Tin Han merasa lega. Penglihatannya ternyata benar.
Gadis ini baik hati dan agaknya tertarik kepadanya. Maka tadi dia sengaja menyebut namanya begitu saja dan agaknya panggilan yang intim itu menyenangkan hatinya, buktinya iapun menyebut namanya begitu saja seolah mereka telah menjadi seorang sahabat baik. 


Berada di tengah-tengah sekumpulan
orang aneh ini, menghibur juga kalau mempunyai seorang sahabat. Dia harus mencari tahu,perkumpulan macam apakah mereka itu.
"Leng Ci, engkau begini baik budi, maka aku yakin bahwa perkumpulanmu tentu perkumpulan baik dan bukan termasuk golongan sesat. 


Sebetulnya, perkumpulan apakah yang dipimpin oleh ibumu itu?"
"Perkumpulan kami namanya Te-kwipang (Perkumpulan Iblis Bumi) dan jangan salah sangka, biarpun kami memakai nama seram itu, sebetulnya kami adalah segolongan patriot yang menentang pemerintah penjajah Mancu. Bahkan mata pencaharian kami untuk membiayai perkumpulan kami adalah dari hasil merampok harta para pembesar Mancu."


"Bagus!" seru Tin Han dengan gembira. "Kalau begitu aku merasa aman, tidak terjatuh ke tangan perkumpulan sesat dan jahat." Dia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian, berusaha untuk memandang wajah aselinya di balik coreng moreng itu. Matanya tajam bening, hidungnya mancung. Gadis ini tentu seorang yang cantik jelita, pikirnya.


Pada saat itu mereka tiba di sebuah puncak bukit yang tertutup hutan yang penuh dengan pohon besar. Di tengah-tengah hutan itu terdapat puluhan pondok bambu mengelilingi sebuah pondok kayu yang besar. Dan tampak banyak sekali orang yang mukanya dicoreng-moreng kurang lebih seratus orang jumlahnya.



          **********


Siauw Leng Ci memegang tangan Tin Han dan dibawanya pemuda itu memasuki rumah besar. Di ruangan dalam yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk di kursi besar, dihadapi lima orang laki-laki yang tubuhnya tinggi besar dan juga muka lima orang laki laki ini dicoreng- moreng. 


Hanya wajah nenek itu saja yang tidak dicorengi, dan melihat nenek itu, Tin Han teringat akan neneknya sendiri, mendiang Nenek Cia! Ada persamaan di antara keduanya. Usia
sepantar dan keduanya memiliki sikap tegak dan angkuh yang sama pula. Bahkan senjata merekapun serupa, yaitu tongkat berkepala naga!


"Ibu.......... " Leng Ci berseru dan membungkuk sebagai pemberian hormat kepada ibunya. Tin Han berdiri dengan kedua tangan masih terikat.
Nenek itu memandang wajah Tin Han penuh selidik, lalu ia berkata kepada puterinya. "Hemm, engkau membawa seorang tawanan! Mengapa dia?"


"Dia telah menemukan tempat rahasia kita di kuil, walaupun tidak disengaja. Akan tetapi dia merobohkan dua orang anggauta kita dengan lontaran kayu bakar. Maka aku menangkapnya dan membawanya ke sini untuk mendapat keputusan ibu. "
Nenek itu kembali memandang wajah Tin Han penuh perhatian. 

Agaknya ia merasa senang dengan wajah itu, dan ia bertanya dengan suara lirih namun mengandung desakan atau perintah untuk dijawab. "Siapa namamu, orang muda?"

"Nama saya Cia Tin Han."
"Cia?" Nenek itu memandang lebih tajam penuh selidik,"Apanya dengan Keluarga Cia di Hui-cu?"
Cepat Tin Han berpikir dan dia melihat persamaan antara nenek ini dan neneknya. Keduanya juga patriot-patriot yang membenci pemerintah penjajah Mancu. Maka dia berani berterus terang. "Saya adalah anggauta Keluarga Cia di Hui-cu."
"Ah- ah..... ! Bagus sekali. Leng Ci, lepaskan ikatan kedua tangannya. Dia bukan orang lain, masih segolongan sendiri."


Dengan wajah berseri, biarpun yang tampak hanya sinar matanya saja yang berseri, Leng Ci segera membuka ikatan yang membelit tubuh bagian atas Tin Han. 


Setelah terbebas dari ikatan, Tin Han menggerak- gerakkan kedua lengannya yang terasa agak kaku.
"Cia Tin Han, aku ingin sekali melihat kemajuan ilmu kepandaian Keluarga Cia. Leng Ci, engkau boleh mencoba ilmu silatnya!"


Leng Ci tersenyum lebar lalu menghampiri Tin Han "Nah, engkau mendengar sendiri, Tin Han. Ibu menghendaki kita bertanding untuk menguji ilmu."


"Akan tetapi , Leng Ci, aku tidak mau bermusuhan denganmu"
"Bertanding menguji ilmu bukan berarti bermusuhan, Tin Han. Kita hanya melihat sampai di mana keunggulan masing-masing. 


Marilah, kehendak ibuku jangan dibantah."
Tin Han berpikir. Kalau dia menolak, tentu nenek itu akan menjadi tidak senang hati. Nenek itu hanya ingin melihat kemajuan ilmu Keluarga Cia, bukan bermaksud lain.


"Baiklah, harap engkau banyak mengalah, Leng Ci,"
katanya dan diapun berdiri tegak di depan gadis itu.


"Mulailah!"
"Awas seranganku, Tin Han!" Leng Ci sudah menerjang dan ternyata gerakan gadis ini cepat bukan main, juga tamparan tangan kirinya didahului angin pukulan yang kuat. 


Tin Han diam-diam kagum. Gadis ini lihai juga! Dia mengelak dan ketika gadis itu menyerang secara bertubi-tubi, semua serangan itu dapat dielakkan dan ditangkis.

Untuk menjaga agar dia jangan dikira mempermainkan,diapun membalas dengan tamparan tangannya, tidak terlampau kuat dan tidak terlampau cepat sehingga dapat pula dielakkan dan ditangkis gadis itu. 


Terjadilah pertandingan yang seru. Hal ini memang disengaja oleh Tin Han. Dia melawan hanya untuk mengimbangi tingkat kepandaian gadis itu sehingga seolah mereka itu memiliki tingkat yang sama. 

Pada hal kalau dia menghendaki, tentu saja dia sudah dapat mengalahkan Leng Ci kurang dari tigapuluh jurus.
Kini lima orang laki-laki tinggi besar yang duduk di situ memandang kagum. Mereka adalah para pembantu utama dari Te Tok Kui-bo, akan tetapi dibandingkan dengan puteri ketua mereka, tingkat masih kalah tinggi. Dan pemuda itu ternyata mampu mengimbangi kepandaian nona mereka!


Te-tok Kui-bo sendiri memandang dengan wajah berseri.
Penglihatannya yang tajam memberitahu kepadanya bahwa pemuda itu banyak mengalah dan ia percaya bahwa sebetulnya kepandaian Tin Han lebih tinggi dari tingkat puterinya.


Setelah dua orang itu bertanding melewati limapuluh jurus, iapun berseru, "Tahan serangan!"
Tin Han merasa lega hatinya dan dia melompat kebelakang. Leng Ci juga melompat ke belakang dan gadis ini memandang kepada ibunya dengan sinar mata bercahaya, penuh kegembiraan mendapatkan kenyataan bahwa Tin Han dapat mengimbanginya!


"Leng Ci, sekarang coba ilmu silatnya dengan menggunakan senjata!" kata Te-tok Kui-bo kepada puterinya.
Leng Ci kembali menghampiri Tin Han dan berkata. "Tin Han, keluarkanlah senjatamu, atau kalau engkau tidak mempunyai, engkau boleh memakai senjata kami, tinggal pilih," katanya sambil menuding pada sebuah rak di sudut yang penuh dengan bermacam senjata. 


Tin Han mengambil buntalan pakaiannya dan mengeluarkan Pek- kong- kaim dari dalam buntalan pakaiannya, ketika dia mencabut
pedang itu, terdengar lima orang pembantu Te-tok Kui-bo berdecak kagum. Tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika pedang yang bersinar putih itu digerakkan.

Leng Ci terkejut dan kagum sekali melihat pedang itu.
Pedangnya sendiri adalah sebatang pedang pusaka, akan tetapi tidak mengeluarkan sinar kilat seperti yang berada di tangan Tin Han. Ia lalu mundur mengambil jarak dan
berkata, "Mari kita mulai, Tin Han."
"Silakan, Leng Cin, aku sudah siap," jawab pemuda itu sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Lihat seranganku!" Leng Ci membentak dan mulai menyerang. Ternyata serangan pedangnya juga cepat dan dahsyat sekali. Tin Han mengelak sampai tiga kali dan serangan ke empat dari gadis itu dia tangkis dengan pedangnya. 


"Trangg......... !" api berpijar ketika dua pedang bertemu dan Leng Ci merasakan tangannya agar seimbang dengan tenaga gadis itu. Dia memang harus menang, akan tetapi meninggalkan kesan ramai atau seimbang agar tidak mendatangkan kecurigaan pada Tek-tok Kui-bo. 

Kemudian dia balas menyerang dan terjadilah perkelahian dengan pedang yang lebih seru dari pada perkelahian dengan pedang yang lebih seru dari pada perkelahian tangan kosong tadi.
Tin Han sejak tadi mainkan ilmu silat Keluarga Cia sehingga mampu menandingi Leng Ci dengan seimbang.


Kini, setiap mengadu pedang Tin Han menambahi sedikit tenaganya sehingga setiap kali pedang bertemu, Leng Ci terhuyung.
Setelah pertandingan pedang berlangsung limapuluh jurus, beberapa kali Leng Ci terhuyung ke
belakang. "Cukup, tahan senjata!" teriak Te-to Kui-bo dengan wajah cerah.


Tin Han melompat ke belakang dan Leng Ci juga menahan gerakan pedangnya.
"Bagus sekali. Engkau ternyata telah mampu menandingi ilmu silat dan ilmu pedang Leng Ci. Eh, Tin Han, berapa usiamu sekarang?"
Ditanya demikian, Tin Han tertegun, 

akan tetapi dia menjawab juga, 

"Duapuluh dua tahun, lo-cian-pwe."
"Dan engkau belum menikah, belum bertunangan?"
Merah wajah Tin Han mendengar pertanyaan ini, akan tetapi terpaksa dia menjawab sambil menggeleng kepaIa.


"Belum."


"Bagus sekali! Kalian cocok satu dengan yang lain.
Tingkat kepandaian kalian juga sebanding. Tin Han, aku ingin menjodohkan engkau dengan puteriku Siauw Leng Ci."
Suara nenek itu demikian tegas dan mantap, seolah tidak dapat dibantah lagi, mengingatkan Tin Han akan watak neneknya. "Leng Ci, pergi engkau membersihkan mukamu.


Tin Han harus melihat wajah aselimu!"
Tanpa menjawab Leng Ci lalu pergi dari situ setengah berlari. Tin Han segera membantah, "Akan tetapi, lo-cianpwe......... ?"


"Akan tetapi apa" Apakah engkau nenolak niatku menjodohkanmu dengan Leng Ci?"
Walaupun hatinya membenarkan, Tin Han tidak berani terang-terangan menolak. Seorang locian-pwe seperti nenek itu tentu amat keras hati, seperti juga neneknya dan dia akan mengalami banyak kesulitan kalau membikin ia marah atau kecewa.


"Bukan begitu, lo- cian- pwe. Akan tetapi bagaimana saya dapat memutuskan sendiri urusan perjodohan saya. Masih ada ayah dan ibu di sana, tanpa persetujuan mereka, mana berani aku mengikatkan diri ?"


"Aah, itu urusan mudah. Aku sendiri yang akan bicara dengan orang tuamu kelak. Hei, Leng Ci, engkau sudah membersihkan mukamu" Ke sinilah, jangan main- main!"


Gadis itu muncul dan berdegup juga rasa jantung Tin Han ketika dia melihat gadis itu. Sungguh cantik jelita dan manis sekali, melebihi yang dia bayangkan semula. Akan tetapi hatinya yang sudah memiliki dan di miliki Lee Cin tidak begitu mudah untuk jatuh cinta kepada gadis lain.


Gadis itu memandang kepadanya dan diapun balas memandang. Dua pandang mata bertemu, bertaut sejenak dan Leng Ci lalu menundukkan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.
"'Tin Han, urusan orang tuamu, biarlah aku yang akan bicara. Bagaimana dengan keadaan Nenek Cia sekarang"
Aku mengenal baik nenekmu itu!"


Rasa duka menyelinap ke dalam hati Tin Han. "Nenek telah meninggal dunia, lo-cian- pwe."
Te-tok Kui-bo terbelalak dan memukulkan tongkatnya ke atas lantai. "Apa" Bagaimana orang seulet dia begitu mudah meninggal dunia " 


Apa yang menyebabkan  
kematiannya?"
"Ia bertanding dengan Siang Koan Bhok dan terluka dalam yang parah lalu meninggal dunia."

"Siang Koan Bhok, si keparat busuk!" tiba-tiba Te-tok Kui-bo memaki. "Pulau Naga itu pusat kekotoran dunia!
Coba ceritakan mengapa Nenek Cia sampai bertanding melawan Siang Koan Bhok!"


"Siang Koan Bhok dan kawan- kawannya datang 
membujuk nenek untuk bersekongkol bersama dia menjadi antek Mancu, akan tetapi nenek tidak sudi dan menolak keras, lalu timbul perkelahian di antara mereka. Nenek terluka parah kemudian meninggal dunia."

"Bangsat! Bangsat benar Siang Koan Bhok! Dia juga hendak mempengaruhi aku, mempengaruhi Te-tok-pang untuk bersekutu dan menjadi antek penjajah Mancu. Akan tetapi akupun tidak sudi. Kebetulan dia memandang kami dan para perkumpulan kang-ouw untuk berkunjung kePulau Naga atas nama Ouw-beng cu. 

Beng-cu baru yang menjadi antek Mancu itu tentu akan membujuk kami semua untuk menjadi antek Mancu. Kami semua akan datang dan beramai- ramai menolak. Hendak kulihat, mereka akan dapat berbuat apa!"

Tin Han tertarik sekali. "Kapan locian-pwe hendak memimpin anggauta ke Pulau Naga?"
"Minggu depan dan kami semua akan pergi ke sana.
Engkau, sebagai calon jodoh Leng Ci, harus ikut dan menjadi wakilku bersama Leng Ci, memperkuat lima orang wakilku ini. 


Perkenalkan, Tin Han, lima orang ini adalah para wakilku yang mempunyai kedudukan paling tinggi
sesudah kami bertiga di Te-tokpang. Ngo-kwi, perkenalkan ini Cia Tin Han. Kalian sudah melihat sendiri kehebatan ilmu silatnya, maka kalian harus menjadi pembantunya."

"Baik, Kui-bo!" Sahut mereka serentak, akan tetapi Tin Han yang kebetulan memandang kepada mereka bahwa lima pasang mata di balik coreng moreng muka mereka itu mengeluarkan sinar tidak senang! 

Akan tetapi karena tidak ada alasan untuk mencurigai mereka, diapun menganggap bahwa sinar mata mereka itu memang sudah seperti itu, dan tidak memperdulikan mereka lagi. Dia membayangkan
bahwa inilah kesempatan amat baik baginya untuk memasuki Pulau Naga tanpa dikenal, karena dia dapat
membaur dengan para anggauta Te-tok-pang dengan mencoreng moreng mukanya pula.


"Bagaimana, Tin Han. Engkau setuju bersama kami ke Pulau Naga" Di sana engkau berkesempatan untuk membalas kematian nenekmu dan aku akan membantumu."
"Ah, tentu akan saja, lo-cian-pwe. Aku senang sekali,"
jawab Tin Han cepat- cepat.


Mulai saat itu Tin Han tinggal bersama mereka sambil menanti datanganya saat berangkat ke Pulau Naga. Sore harinya, Te- tok Kui-bo memanggilnya. Tin Han sedang bercakap-cakap dengan Leng Ci. Pergaulan antara mereka akrab dan Leng Ci ternyata seorang gadis yang lincah dan pandai bergaul.


Mendapat panggilan Te- tok Kui-bo mereka berdua lalu menghadap ke ruangan dalam di mana Te-tok Kui-bo sedang duduk dihadap lima orang Sian- san Ngo kwi.
"Duduklah kalian," nenek itu menyambut. "Tin han dan Leng Ci, baru saja Ngo- kwi memberi laporan bahwa ada rombongan pasukan pemerintah yang akan lewat di kaki bukit ini. 


Mereka mengawal dua buah peti terisi emas yang akan di kirim ke kotaraja. Nah, ini kesempatan baik sekali.
jumlah mereka hanya limapuluh orang. Kalian harus dapat memimpin para anggauta untuk merampasnya!"


"Baik, ibu," jawab Leng Ci cepat dan dengan nada gembira.
"Bagai mana dengan engkau, Tin Han?"
"Biarpun belurn pernah saya melakukan perampasan harta pasukan Mancu, akan tetapi sekali ini saya akan membantu sekuat tenaga. Harta itu tentu mereka ambil dari rakyat jelata," jawab Tin Han.


"Bagus, sekarang kita atur siasatnya," kata Te-tok Kui-bo yang segera mengatur siasat bersama lima orang Sian-san Ngo- kwi dan ternyata Leng Ci juga lincah dan gagah sekali memberi usul-usulnya. Mereka akan menghadang barisan itu di kaki bukit sebelah selatan, di mana penuh dengan hutan-hutan lebar sehingga memudahkan mereka untuk melarikan diri kalau hal itu diperlukan. 


Akan tetapi mengingat bahwa perajurit itu hanya ada limapuluh orang, sedangkan anggauta Te- t ok- pang ada seratus orang lebih, rasanya mereka tidak perlu melarikan diri. Setelah berhasil merampas dua peti harta, dan memukul mundur pasukan yang mengawalnya, mereka harus mengundurkan diri sambil berpencar menjadi empat jurusan. 

Hal ini untuk membingungkan kalau nanti ada pasukan besar melakukan pengejaran.


          **********


Malam itu, serombongan pasukan pemerintah yang berkuda mengawal dua peti harta yang dimuat di dalam sebuah kereta, berhenti dan melewatkan malam di sebuah dusun di kaki bukit. 


Mereka tidak tahu bahwa di antara orang-orang dusun yang menonton rombongan mereka terdapat beberapa orang anggauta Te-tok pang yang berpakaian sebagai petani biasa memperhatikan gerak gerik 
mereka dan menghitung jumlah pasukan yang mengawal kereta yang berisi dua peti harta itu.


Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menerangi tanah, rombongan pasukan berkuda itu melanjutkan perjalanan mereka, keluar dari dusun itu, menjadi tontonan penduduk dusun. Ketika berada di dusun, dua orang perwira yang memimpin pasukan itu bermalam di rumah kepala dusun.    


Kini, dua orang perwira itu dengan pakaian mereka yang mentereng, menunggang kuda di depan pasukannya, menuju ke timur.

Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah jalan yang sunyi, di kaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan rimba. Dua orang perwira memberi isyarat agar anak buahnya waspada karena mereka menempuh jalan yang
sunyi dan agaknya berbahaya.


Baru saja dua orang perwira itu memberi isyarat kepada anak buahnya, tiba- tiba terdengar sorak-sorak dan dari empat penjuru bermunculan orang-orang yang mukanya dicoreng- moreng dan tangan mereka membawa senjata
golok atau pedang.


"Awas, kepung dan lindungi kereta!" Dua orang perwira itu memberi aba- aba dan limapuluh orang perajurit itu segera berloncatan turun dari atas kuda mereka dan membuat gerakan mengepung kereta barang.


"Hei, kalian yang berani menghadang! Kami adalah pasukan pemerintah yang sedang melakukan tugas perjalanan. Apakah kalian sudah bosan hidup berani mengganggu kami?"
"Tinggalkan kereta berisi dua peti itu!" bentak Leng Ci dengan suara dibesarkan seperti suara pria.


"Hei, berani kalian hendak merampok kami, pasukan dari kerajaan" Mundur dan jangan lanjutkan kalau kalian ingin selamat!" teriak pula komandan pasukan.
Sam-sian Ngo-kwi memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Serbu.........!"

Seratus orang lebih itu lalu mengeluarkan teriakan gemuruh dan menyerbu. Para perajurit menyambut mereka dan terjadi pertempuran yang berat sebelah.

Para perajurit itu memang rata-rata memiliki kepandaian silat, akan tetapi demikian pula para anggauta Te-tok-pang dan karena jumlah para anggauta perkumpulan itu dua kali lipat lebih banyak, sebentar saja pihak pasukan kerajaan terdesak hebat. Sian-san Ngo-kwi mengamuk. Dengan golok besar mereka yang tajam, mereka mengamuk dan membunuh banyak perajurit. 


Demikian pula Leng Ci,dengan permainan pedangnya yang cepat dan indah, para pengeroyoknya berpelantingan.
Tin Han sendiri segera lari ke arah kereta yang dilindungi belasan orang perajurit. Dengan tangan kosong dia merobohkan beberapa orang perajurit, melompat naik ke atas kereta, memukul roboh kusir kereta sehingga terjungkal ke bawah dan dia sudah menguasai kereta itu.


Pertempuran hanya berlangsung sebentar saja. Para perajurit berjatuhan dan sisanya melarikan diri cerai berai begitu melihat. dua orang perwira pimpinan mereka telah roboh.


"Mundur! Berpencar!" Leng Ci memberi aba-aba. Para anggauta Te-tokpang yang sebelumnya memang sudah diatur itu lalu melarikan diri ke jurusan yang sudah ditentukan
kepala mereka masing-masing. 


Tin Han melarikan kereta barang itu ke arah utara, dan tiba tiba Leng Ci sudah melompat ke atas kereta dan duduk disampingnya. "Tin Han, kita berhasil baik!"

"Sukurlah. Ada kawan kita yang tewas?"




"Rasanya tidak ada. Hanya ada yang luka- luka dan mereka sudah di bawa lari teman- teman mereka. 

Kita berhasil baik sekali!" Untuk meyakinkan hatinya, Leng Ci masuk ke dalam kereta dan membuka dua peti itu. Isinya memang emas permata yang mahal.
"Horre, kita berhasil!" Leng Ci kembali ke atas kereta di sebelah Tin Han dan saking gembiranya ia merangkul pemuda itu. Hampir saja Tin Han terguling roboh dari bangku tempat mengemudi dan dia hanya tersenyum.


Saking girangnya gadis itu bersikap seperti anak kecil saja!
Keberhasilan mereka itu disambut dengan pesta malam itu. Setelah itu, mereka membuat persiapan untuk berangkat ke Palau Naga. Tin Han ikut dan karena diapun memakai coreng- moreng pada mukanya, tak seorangpun akan mengenali mukanya.


Malam berikutnya, sebelum pemberangkatan, Tin Han berada di kamarnya dan jantungnya berdebar tegang kalau dia membayangkan bahwa dia akan menyusup ke Pulau
Naga bersama orang-orang Te-tok- pang. 


Dia akan dapat menyelidiki dan kalau mungkin menangkap orang yang telah memalsu sebagai Hek tiauw Eng- hiong dan melakukan
pembunuhan besar- besaran di kalangan para pendekar.


Tiba-tiba dia tertegun. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang ringan di luar kamarnya.
Cepat dia berjingkat turun dan mengintai dari balik jendela.


Seorang laki- laki tinggi besar melangkah menjauhi kamarnya. Suasana sudah sepi dan Tin Han merasa curiga.


Dengan mempergunakan gin- kangnya, dia bergerak tanpa menimbulkan suara, membayangi orang tinggi besar itu yang menghilang ke dalam sebuah di antara pondok-pondok bambu yang mengelilingi pondok induk tempat 

tinggal Te-tok Kui-bo dan Leng Ci. 

Dia cepat mendekati pondok itu dan menempelkan telinganya diluar jendela. 

Segera dia mendengar percakapan di sebelah dalam.
"Pemuda itupun sudah tidur. Semua orang agaknya sudah tidur dan inilah kesempatan baik bagi kita," kata seorang yang diduga tentu orang yang baru saja meninggalkan kamarnya.


"Twa-ko, sebaiknya kita turun tangan sekarang saja. Kita bunuh nenek tak tahu diri itu, juga si pemuda dan paksa Leng Ci menjadi isteri twa-ko. Kita kuasai harta dan anak buah, dan kita terima uluran tangan Ouw-bengcu untuk bekerja sama membantu pemerintah," kata orang kedua..


"Nenek itu sungguh menggemaskan!" terdengar kata-kata yang penuh kemarahan dan agaknya inilah suara twa-ko (kakak tertua). "Sudah puluhan tahun aku membantunya dan ia tahu bahwa aku merindukan Leng Ci untuk menjadi isteriku. 


Gadis itu kan bukan puteri kandungnya melainkan hanya anak angkat. Sampai setua ini aku belum menikah karena menunggu Leng Ci. Siapa kira sekarang dengan mudah saja diberikan kepada orang yang baru saja muncul!

Jangan khawatir, kalau pemuda itu dan Leng Ci nanti tahu dan membantu nenek itu, kalian berempat cukup untuk menundukkan mereka. Bunuh pemuda itu akan tetapi jangan lukai Leng Ci. Adapun nenek itu, serahkan saja kepadaku. 


Dengan ilmu yang kudapat pelajari dari Ouw-bengcu, rasanya aku akan mampu mengalahkan dan membunuhnya."
Setelah mendengar dengan baik, Tin. Han yang terkejut sekali itu lalu cepat meninggalkan pondok itu tanpa bersuara dan memasuki pondok- besar tempat tinggal Te-tok Kui-bu dan Leng Ci. 


Dia sudah tahu di mana kamar Leng Ci dan dia menghampiri jendela kamar gadis itu lalu mengetuk daun jendelanya dengan perlahan.
"Eh, siapa di situ?" terdengar suara Leng Ci. Agaknya gadis itu sudah turun dengan cepat dan bersikap waspada, tidak sembarangan membuka daun jendela.

"Sssssttt ..... ini aku Tin Han. Buka lah jendelamu aku ada urusan penting sekali denganmu."
Leng Ci cepat membuka daun jendela itu tanpa menyalakan Iilin. Cuaca remang-remang karena hanya
mendapat penerangan dari luar pondok di mana tergantung sebuah lampu.


"Ada apa, Tin Han?" tanyanya heran.
Leng Ci yang sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda yang menawan hatinya itu, membalik untuk mengambil pedangnya kemudian meloncat ke luar jendela dan tiba di luar kamar.


"Mari ikuti aku!" bisik Tin Han
Mereka berdua keluar dari pondok dan Tin Han mengajaknya mendekam dan mengintai. Sambil berbisik dia lalu menceritakan rencana Sian-san Ngo kwi untuk membunuh dia, Te-tok Kui-bu dan menangkap Leng Ci.


"Celaka!" seru Leng Ci dengan muka berubah pucat.
"Bagaimana mereka dapat berkhianat seperti itu" Aku harus cepat memberitahu ibuku!" Gadis itu lalu berlari menuju ke kamar Te-tok Kui-bo dan menggedor pintu kamarnya.


"Eh, Leng Ci, ada apakah?"
"Ssstt, ibu. Ada bahaya mengancam. Sian-san Ngo-kwi merencanakan membunuh ibu dan merampas kedudukan ketua. Tin Han yang mengabarkannya kepadaku."
"Hemm, mereka berani, ya" Biarlah, engkau menanti di luar saja, aku akan menghadapi dan menghajar mereka kalau mereka berani datang ke sini!"


"Harap ibu berhati-hati," pesan Leng Ci yang segera keluar kembali, mengintai bersama Tin Han.


Menjelang tengah malam, lima sosok bayangan berkelebat di dalam pondok besar itu. Leng Ci sudah hampir melompat, namun Tin Han memegang lengannya.
"Belum waktunya," kata pemuda itu.
Lima orang itu kini sudah tiba di depan kamar Te-tok Kui-bo. Selagi mereka hendak mencokel jendela, terdengar seruan dari dalam kamar. 


"Daun pintuku tidak terkunci, mengapa pakai cokel jendela?"
Lima orang itu terkejut dan mundur.
Daun pintu kamar itu terbuka dan nenek itu sudah berdiri di depan pintu dengan senjata tongkat naga di tangannya.


"Kalian berlima hendak membunuhku dan merebut
kedudukan" Pengkhianat kalian. Aku akan mengantar kalian ke neraka dengan tongkat ini!" Setelah berkata demikian,nenek itu menggerakkan tongkatnya dan menyerang orang tertua dari lima saudara itu. 


Giam Su, orang pertama itu, segera menangkis dengan goloknya dan diapun membalas dan berkelahilah kedua orang ini. Diam-diam Te-tok Kui-bo terkejut karena mendapat kenyataan betapa Giam Su tidak seperti biasanya, ilmu goloknya berubah hebat dan tenaganya juga kuat sekali. Dia dapat menduga bahwa bekas pembantunya ini tentu telah mempelajari ilmu silat golok dari orang lain. 

Akan tetapi nenek itu tidak menjadi gentar dan menyerangnya dengan dahsyat.
Ketika empat orang yang lain menggerakkan golok hendak mengeroyok terdengar bentakan nyaring, "Pengkhianat pengkhianat keparat!" Dan Leng Ci sudah muncul dengan pedang di tangan, langsung saja gadis ini menyerang empat orang itu. 


'Serangannya di sambut oleh dua orang pengeroyok, dan yang dua orang lainnya langsung saja menerjang Tin Han yang datang bersama Leng Ci.
Giam Su, orang pertama dari Sian-san Ngo-kwi, baru-baru ini menerima pelajaran tambahan dari Ouw Kwan Lok yang hendak menarik Te-tok-pang menjadi sekutunya.


Biarpun setelah mendapat petunjuk dari Ouw-bengcu ilmu silatnya maju pesat tetap saja dia masih kewalahan
menghadapi tongkat naga di tangan nenek itu. Dia mulai terdesak mundur dan menggunakan golok besarnya hanya untuk menangkis saja.


Dua orang yang mengeroyok Leng Ci berada dalam keadaan seimbang. Kalau mereka maju satu demi satu,
mereka memang tidak akan mampu menandingi Leng Ci.


Akan tetapi setelah mengeroyok dua, mereka dapat mengimbangi kekuatan Leng Ci. Namun Leng Ci yang sudah marah sekali mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga dua orang lawannya harus
memutar golok mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh mereka.


Pertandingan antara Tin Han dan dua orang pengeroyoknya yang paling tidak seimbang. Tin Han hanya melawan dengan tangan kosong, akan tetapi baru belasan gebrakan saja dua orang itu telah terpelanting keras, yang seorang terkena tamparan tangan Tin Han dan yang kedua terkena tendangannya.


Melihat Leng Ci masih belum dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya, Tin Han meloncat ke depan dan sekali kakinya mencuat, dada seorang pengeroyok terkena tendangannya sehingga dia terjengkang dan terbanting keras. 


Yang seorang lagi menjadi panik dan sambaran pedang Leng Ci merobohkannya dengan tusukan yang mengenai pundak kanannya.

Giam Su yang masih bertanding melawan Te-tok Kui-bo, terkejut bukan main. melihat semua kawannya roboh. Dia telah salah perhitungan! Kalau saja di situ tidak terdapat Cia Tin Han, boleh jadi rencananya akan berhasil. 


Akan tetapi ternyata pemuda itu menjadi batu sandungan yang besar dan tidak disangka-sangka.
Dia menjadi nekat dan menggerakkan goloknya dengan cepat, mengamuk tanpa memperdulikan keselamatan dirinya.


Sementara itu, para anak buah Te-tok- pang berdatangan ketika mereka mendengar ribut-ribut itu dan mereka terheran-heran melihat Sian- san Ngo- kwi menyerang ketua mereka. 


Akan tetapi karena tidak mengerti akan duduknya persoalan, mereka tidak berani berkutik dan hanya menjadi penonton.

"Mampuslah!" teriak Te-tok Kui- bo dan tiba- tiba tongkat naganya menyambar dahsyat. Giam Su masih mencoba untuk menangkis dengan goloknya, namun goloknya terlepas dari pegangannya dan tongkat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya.


"Prok!" Tubuh Giam Su terpelanting dengan kepala retak dan dia tewas seketika! Nenek itu dengan mata liar dan galak masih memandang ke kanan kiri. Melihat empat orang pembantu yang lain masih belum tewas walaupun sudah roboh, ia meloncat dan tongkatnya menyambar bertubi-tubi mengenai kepala empat orang itu dan tewaslah Sian-san Ngo-kwi dengan kepala retak!


Melihat semua anggautanya sudah memenuhi tempat itu, Te-tok Kui-bo lalu berseru, "Lihatlah, lima orang ini berkhianat dan hendak membunuhku, maka sebagai hukumannya mereka harus mampus! Agar menjadi pelajaran bagi yang lain, yang mempunyai hati untuk berkhianat!"


Semua anggauta menjadi gentar dan mereka semua menjatuhkan diri berlutut menghadap nenek itu dan
terdengar suara-suara menyangkal bahwa mereka hendak berkhianat.
"Baik, aku percaya kepada kalian. Sekarang bawa mayat-mayat ini dan kuburkan sebagaimana mestinya. 


Jangan sampai ada orang luar mengetahui tentang peristiwa
memalukan ini!"
Para anggauta lalu menggotong lima mayat itu dan pergi meninggalkankan pondok kayu, meninggalkan Te-tok Kui-bo, Leng Ci dan Tin Han.


"Tin Han, engkau yang memberitahu, kepada Leng Ci tentang pengkhianatan ini. Jasamu cukup besar dan mulai sekarang, hanya engkau dan calon isterimu Leng Ci.........


"Maaf, lo-cian-pwe. Sebelum ada persetujuan dari orang tua saya, harap lo-cian-pwe jangan menganggap saya sebagai calon suami Leng Ci, melainkan sebagai sahabat saja."


"Hemm, baiklah. Akan tetapi begitu aku menerima kesanggupan dan persetujuan kedua orang tuarnu kalian harus segera menikah. Kuulangi lagi, mulai sekarang, hanya engkau dan Leng Ci yang menjadi pembantu utama dan wakilku. Mari kita berangkat secepatnya ke Pulau Naga."


Mereka semua berkemas dan membuat persiapan,kemudian berangkatlah Te tok Kui-bo, Siauw Leng Ci dan Cia Tin Han, diikuti seratus orang lebih anggauta Te-tokpang. 


Para anggauta itu tidak ada yang menikah karena pernikahan dan membentuk keluarga dianggap suatu kelemahan bagi mereka. 

Kalau ada yang menikah, maka dia harus keluar dari perkumpulan itu. Karena tidak ada yang berkeluarga, hari itu mereka semua meninggalkan sarang mereka dari puncak bukit itu yang ditinggalkan kosong sama sekali. 

Mereka membawa perbekalan secukupnya, dan kelebihan harta yang tidak dibawa, disembunyikan dalam guha yang tersembunyi, jauh di puncak bukit yang liar dan tak pernah didatangi manusia.

Diam-diam Tin Han merasa girang. Dia akan dapat masuk Pulau Naga dengan mudah dan karena Te-tok-pang mengambil sikap menentang kehendak Ouw-bengcu, maka dia merasa mendapatkan teman sehaluan.



          **********


Setelah mengangkat diri sendiri menjadi beng-cu dan mengalahkan semua orang yang dicalonkan sebagai beng-cu, Ouw Kwan Lok lalu tinggal di Pulau Naga sebagai beng-cu dan gurunya sendiri, 


Siang Koan Bhok dijadikan wakil atau pembantu utamanya. Begitu dia menjadi beng-cu, Ouw Kwan Lok lalu mengambil cara hidup yang lain dari pada para beng-cu sebelumnya. 

Kalau para beng-cu sebelumnya adalah pendekar yang tidak mau bergaul dengan golongan sesat, juga tidak sudi tunduk kepada kerajaan penjajah Mancu, beng-cu yang sekarang ini telah dibujuk oleh Panglima Tua Bouw Kin Sek untuk menjadi sekutu pemerintah! 

Dengan janji yang muluk-muluk, Ouw Kwan Lok mau menjadi pembantu pemerintah untuk membasmi para pemberontak yang menamakan dirinya pejuang, kemudian membagi dunia kang-ouw menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendukung dan kelompok yang menentang Kerajaan Mancu. 

Mereka yang pro ditarik menjadi sekutu, sedangkan yang anti lalu dianggap musuh dan kalau perlu dihancurkan!
Banyak sudah perkumpulan-perkumpulan yang dipimpin
tokoh-tokoh sesat menyerahkan diri membantu beng-cu setelah ketuanya dikalahkan dan ditundukkan. 


Banyak pula perkumpulan yang dipimpin oleh pendekar yang bersih, di musuhi karena tidak mau bersekutu!

Setelah pengaruh dan kekuasaannya cukup besar, Ouw Kwan Lok lalu mengirim undangan kepada perkumpulan-perkumpulan persilatan dan para tokoh dunia persilatan untuk mengadakan pertemuan di Pulau Naga, di mana dia sebagai Beng-cu akan mengumumkan pandangannya
mengenal pergolakan yang ada. 


Dia tidak takut kalau- kalau para pendekar akan menyerangnya karena dia sudah mendapat persetujuan Panglima Coa Kim, .wakil Panglima Tua Bouw Kin Sek yang berjanji akan mengirim seribu orang perajurit untuk melindungi Pulau Naga pada saat pertemuan diadakan.

Ouw Kwan Lok merasa dirinya kuat karena dilindungi oleh sekelompok tokoh sesat yang lihai. 


Selain gurunya sendiri yang kini tingkat kepandaiannya sudah kalah tinggi dibandingkan dirinya, kelompok itu terdiri pula dari Thiante Mo-ong, Kim-to Sam- ong yaitu ketua perkumpulan Kim-to-pang di Liang-cu kaki bukit Lo-sian- san, Hek- bin Mo- ko dan Sin-ciang Mo- kai, Ma Huan, Yauw Seng Kun dan Bantok Mo-li, dan masih banyak tokoh sesat lain yang sudah menjadi kaki tangan Ouw- bengcu. 

Para tokoh itu tinggal di Pulau Naga bersama para anak buah mereka sehingga di Pulau Naga itu terdapat tidak kurang dari tigaratus anak buah yang kuat.

Setiap beberapa hari sekali ada saja pembantunya yang datang membawa sekutu baru sehingga keadaan Pulau Naga menjadi semakin kuat.


Pada suatu hari. Ma Huan, penyelidik yang paling rajin, datang menggadap Ouw Kwan Lok dan melaporkan bahwa di pantai daratan terdapat kurang lebih seratus anak buah Pek-Lian-kauw yang mengadakan pertemuan dengan para bajak laut Jepang. 


Mendengar ini, Ouw Kwan Lok segera memanggil para pembantunya untuk berunding.

"Mengapa kita mesti mencampuri urusan mereka?" kata Thian- te Mo-ong kepada bekas muridnya itu. "Mereka bukan dari golongan pendekar. Lebih baik kita diamkan saja dan tidak mencari bibit permusuhan dengan mereka."


"Kalau begitu suhu berpikiran keliru. Kita sudah sepakat untuk membantu pemerintah dan kita mengetahui bahwa Pek-lian- kauw, biarpun bukan golongan pendekar, merupakan perkumpulan yang gigih menentang pemerintah Mancu. 


Kalau kita biarkan saja mereka melewati daerah kita tampa berbuat apa-apa, tentu dunia. kang- ouw akan menganggap kami bersekutu pula dengan gerombolan Peklian-kauw dan pemerintah juga akan mencurigai kami.

Tidak, kami harus menyerang dan mengusir gerombolan Pek-lian-kauw dari daerah ini. Juga kalau kita memusuhi para bajak laut Jepang, kita akan mendapat simpati rakyat dan golongan pendekar sehingga lebih mudah membujuk mereka bekerja dengan kita untuk mendukung pemerintah Mancu," demikian Ouw Kwan Lok berkata dan pendapat ini dibenarkan pula oeh Siang Koan Bhok dan para tokoh lain.


Demikianlah, pada hari itu juga Ouw Kwan Lok sendiri memimpin dua ratus orang anggauta para perkumpulan 'yang sudah bergabung dengan Pulau Naga untuk menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw yang mengadakan pertemuan
dengan para bajak laut Jepang di pantai daratan itu.


Penyerbuan dilakukan mendadak dan karena jumlah para penyerbu amat banyak, maka orang-orang Pek-lian kauw dan para bajak laut Jepang dapat dihancurkan, para pemimpin mereka dibunuh dan sebagaian anak buahnya terbunuh dan sisanya melarikan diri cerai berai.


Peristiwa ini segera terdengar oleh orang-orang bahwa gerombolan Pek-lian-kauw dan bajak laut Jepang dibasmi oleh orang-orang Pulau Naga dan sebentar saja dunia kangouw juga mengetahuinya. 


Panglima Bouw Kin Sek juga mendengar dan panglima tua ini segera mengirim utusan ke Pulau Naga untuk menyampaikan penghargaannya. Juga banyak tokoh kang-ouw yang memuji tindakan Pulau Naga yang dipimpin beng-cu Ouw Kwan Lok ini.

"Hari undangan kita kepada semua golongan di dunia kang- ouw telah hampir tiba. Kalian semua ingatlah bahwa kita harus bersikap baik terhadap semua golongan, terutama 
terhadap golongan para pendekar. 


Tidak boleh memperlihatkan permusuhan terhadap mereka selama mereka menjadi tamu di sini demi menjaga nama baikku sebagai bengcu. Kelak mudah bagi kita untuk membereskan dan membasmi mereka yang benar-benar tidak mau bekerja sama," demikian Ouw Kwan Lok memesan kepada para sekutunya.

Hari yang ditentukau dalam undangan bengcu baru itupun tiba dan berbondong- bondong mulai berdatanganlah orang-orang kang- ouw dari segala golongan menuju ke Pulau Naga. Selain perkumpulan dan golongan sesat yang berdatangan, juga perkumpulan- perkumpulan atau partai bersih kaum pendekar berdatangan pula. 


Mereka yang mengirim wa kil- wakilnya adalah dari Siauw- lim- pai, Kunlun- pai, Bu-tong- pai, Kong-thong pai, Go- bi- pai dan masih banyak lagi perkumpulan para pendekar yang menaruh perhatian karena undangan ini menyangkut pendirian mereka terhadap pemerintah Mancu.

In Kong Thai- su sendiri datang dengan empat orang hwe-sio lain mewakili Siauw-lim- pai, Im Yang Seng-cu mewakili Kun- lun- pai diikuti empat orang to-su lainnya, dan para perkumpulan pendekar lainnya juga mengirim
wakil- wakilnya. Di antara mereka yang tampak hadir terdapat Song Thian Lee mantan panglima besar pasukan Mancu yang telah mengundurkan diri, yang muncul seorang diri. Cia Tin Siong datang bersama Kwee Ciang dan Kwe Li Hwa sebagai rombongan dari Bu- tong-pai mengikuti tiga orang to-su Bu-tong-pai yang menjadi guru Kwe Ciang.


Dalam rombongan Siauw-lim-pai terdapat pula Thio Hui San murid In Kong Thai-su bersama Lui Ceng murid Thian- tok Gu Kiat Seng. Berdatangan pula sisa Keluarga Cia, yaitu Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok. Mereka saling berjumpa ketika hendak menyeberangi lautan menuju Pulau Naga dan datang bersama. 


Tin Han dengan muka coreng moreng tidak dikenal oleh keluarganya sendiri, apalagi dia
datang bersama rombongan besar dari Te-tok-pang yang berjumlah seratus orang lebih dengan coreng moreng mukanya kecuali pemimpinnya yaitu Te-tok Kui-bo. 

Namun dari penyamarannya ini Tin Han dapat mengenal mereka yang datang menghadiri pertemuan di Pulau Naga itu.

Dengan jantung berdebar girang dan tegang ia melihat pula Lee Cin yang datang seorang diri. Tin Han kagum akan keberanian Lee Cin datang di sarang harimau itu, seorang diri saja. 


Kekasihnya itu benar-benar seorang wanita gagah perkasa yang tidak gentar menghadapi apa pun juga. 

Hanya dia yang tahu bahwa kedatangan Lee Cin, juga Thian Lee, bukan semata- mata karena ingin mendengar tentang pendapat beng-cu mengenai hubungannya dengan pemerintah Mancu, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki siapa pelaku pembunuhan terhadap para hwesio Siauw-lim-pai dan to-su Kun- lun- pai yang menyamar sebagai dirinya.

Para tamu yang datang sehari di muka itu mendapatkan rumah pondok di luar perkampungan para anggauta Pulau Naga, di pantai, untuk melewatkan malam. 


Di situ, berjajar telah dibangun rumah-rumah pondok di pantai yang terbuat dari pada bambu untuk menampung para tamu yang datang sebelum hari pertemuan dibuka. Tin Han diam- diam meninggalkan rombongannya dan seorang diri dia pergi ke pantai yang sepi, jauh dari perumahan para tamu.

Hari telah menjelang senja, sinar merah matahari yang hendak tenggelam di ufuk barat itu mulai membakar langit.


Matahari sendiri sudah merupakan bola merah yang besar mengambang di permukaan laut sebelah barat. Dia berada di ujung utara pulau itu.


Tiba-tiba dia mendengar suara pekik yang tidak asing lagi baginya. Ketika dia menengadah, dia melihat seekor burung rajawali hitam terbang melayang di atas kepalanya.

"Hek- tiauw- ko!" Serunya girang ketika mengenal burung rajawali hitam yang pernah menjadi temannya bermain dan bermain silat. 


Burung itu mendengar seruannya dan menyambar turun. Tin Han melihat betapa seorang kakek berambut dan berjenggot putih menunggangi burung rajawali itu, jenggot dan rambutnya berkibar seperti bendera putih.

"Suhu..........!" Serunya, akan tetapi burung rajawali sudah niengulur kukunya dan mencengkeram punggung bajunya dan membawanya terbang tinggi! Karena sudah mengenal burung itu, Tin Han tidak merasa takut dibawa terbang seperti itu. 


Burung itu ternyata terbang ke sebuah pulau lain yang tidak begitu jauh dari Pulau Naga, sebuah pulau kecil saja yang tidak berpenghuni. 

Bahkan binatang yang mau singgah di pulau itu hanya burung laut karena tanah pada dan batu karang yang keras dari pula itu hanya menghasilkan tumbuh-tumbuhan laut yang tidak ada gunanya bagi binatang.

Rajawali Hitam menurunkan Tin Han perlahan di atas pulau itu dan Thai Kek Cin-jin juga melompat turun dari punggung rajawali hitam. Tin Han cepat maju berlutut di depan kakek Thai Kek Cin- jin dan memberi hormat.


"Apakah suhu dalam keadaan sehat saja selama ini ?"
sapanya. Akan tetapi kakek itu langsung menegurnya. "Tin Han, apa yang kudengar selama ini " Aku mendengar bahwa engkau sebagai Hek- tiauw Eng-hiong telah membunuhi belasan orang hwe- sio Siauw- lim- pai dan to-su Kun- lunpai 


" Aku tidak dapat tinggal diam saja atas perbuatanmu yang jahat itu!"
Tin Han tersenyum. "Kiranya berita itu sudah sampai pula ke telinga suhu" Betapa hebat tersiarnya. 


Suhu, sesungguhnya karena ada berita itulah maka teecu sampai ke Pulau Naga, menyamar sebagai anggauta Te- tok-pang untuk melakukan penyelidikan. 

Teecu sama sekali tidak melakukan itu, suhu, akan tetapi ada orang lain yang menyamar sebagai Hek- tiauw Eng- hiong melakukan semua itu untuk mengadu domba."

"Hemm, bagaimana pula ini" Mengapa terjadi hal seperti itu" Siapa dia yang menyamar dan memburukkan namamu sebagai Hek-tiauw Eng-hiong?"


"Siapa dia sesungguhnya belum dapat teecu ketahui, suhu. Akan tetapi mengingat bahwa orang-orang yang memusuhi teecu juga memusuhi Siauw-limpai dan Kun-lunpai datang dari Pulau Naga, maka teecu merasa yakin bahwa penjahat itu tentu bersembunyi di sana. 


Ada yang teecu curigai, yaitu bengcu Ouw Kwan Lok sendiri. Akan tetapi karena lengannya buntung sebelah kiri, agaknya bukan dia yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Biarpun demikian, dia tentu tahu siapa orangnya, mungkin seorang di antara kaki tangannya.."

"Dan orang-orang dunia kang-ouw itu sekarang berkumpul di Pulau Naga, ada keperluan apakah?"
"Semua ini ulah beng-cu yang baru yang bernama Ouw Kwan Lok itu, suhu. 


Setelah menjadi beng-cu, dia mengambil sikap bersahabat dengan pemerintah Mancu dan menentang para pendekar yang memusuhi penjajah. 

Pada hal ketika dia pertama kali diangkat menjadi beng-cu, dia menyatakan bahwa penjajah adalah musuh kita semua. Dan dia membujuk para tokoh kang-ouw golongan sesat untuk bekerja sama dengan dia membantu pemerintah penjajah untuk membasmi para pendekar patriot dan membujuk
dunia kang-ouw untuk membela pemerintah Mancu. 


Sekarang dia mengundang semua orang kang-ouw untuk datang ke Pulau Naga dan bicara tentang sikap terhadap pemerintah Mancu itu."

"Sian-cai....! Aku sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan dunia. Aku sengaja mencarimu untuk bertanya tentang sepak terjang Hek-tiauw Eng-hiong yang namanya menjadi demikian tercela. 


Tidak tahunya ada orang yang sengaja memburukkan nama itu. Engkau harus bertindak, jangan sampai nama Rajawali Hitam menjadi kotor. Engkau harus memancing agar Rajawali Hitam yang palsu muncul."

"Baik, suhu. Memang kedatangan teecu ke pulau ini justeru untuk mencari orang itu dan membersihkan nama tee-cu sebagai Hek- tiauw Eng-hiong. Akan tetapi untuk itu, teecu mohon dapat diberi pinjam Hek- tiauw-ko untuk membantu teecu."


"Baiklah, aku akan beristirahat di pulau kecil ini selama tiga hari, sampai engkau berhasil menelanjangi orang yang memburukkan nama Hek-tiauw Eng-hiong. "


"Terima kasih, suhu. Teecu mohon pamit."
"Pergilah, akan tetapi ingatlah, jangan sampai engkau terjerumus menjadi pembantu penjajah Mancu, walaupun untuk
berjuang menumbangkan pemerintah penjajah sekarang belum tiba saatnya. Kalau saatnya belum tiba, walaupun engkau berusaha juga tidak akan berhasil. 


Masih harus ditunggu beberapa puluh tahun lagi sampai kesadaran dan semangat rakyat benar-benar matang untuk mengadakan perjuangan mengusir penjajah dari tanah air."

"Teecu akan selalu mengingat akan semua nasihat suhu,"
kata Tin Han yang segera memberi hormat dan dia
menghampiri Hek- tiauw- ko yang mendekam tidak jauh dari situ.
"Hek- tiauw- ko, sekali ini aku mengharapkan bantuanmu," kata Tin Han sambil merangkul leher burung itu.


Agaknya coreng moreng di muka Tin Han tidak membuat
burung itu asing bagi dirinya dan masih mengenalnya dengan baik. Burung itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah hendak menyatakan setuju.


Sekarang terbangkan aku kembali ke Pulau Naga, turunkan di tempat yang sunyi di mana engkau membawaku tadi." Tin Han segera melompat ke punggung rajawali itu.

Akan tetapi rajawali itu hanya berdiri dan tidak mau terbang, memandang ke arah Thai Kek Cin-jin.

Kakek itu tersenyum dan berkata, "Engkau boleh pergi membantu Tin Han, Hek-tiauw- ko!" kata kakek itu dan setelah mendengar persetujuan kakek itu, barulah burung rajawali itu mengembangkan sayapnya dan mengenjot kedua kakinya lalu terbang ke atas dengan cepat sekali.

Burung itu menukik turun ke arah Pulau Naga dan tak lama kemudian Tin Han sudah tiba di tempat di mana tadi dia dibawa terbang. Dia melompat turun dari punggung rajawali, merangkul lehernya seperti dulu ketika dia masih tinggal bersama Thai Kek Cin-jin dan burung ini, dan berkata, "Terima kasih, Hek-tiauw-ko. 

Sekarang harap engkau tunggu aku di tempat ini dan jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu."

Setelah berkata demikian, dengan keyakinan bahwa
burung itu mengerti akan maksud kata-katanya, Tin Han lalu melompat dan meninggalkan burung rajawali itu.
Tin Han mencari-cari dan akhirnya dia dapat menemukan di mana Lee Cin tinggal. Malam telah tiba dan di pondok pondok para tamu telah digantungi lampu penerangan. Ternyata Lee Cin menempati sebuah pondok kecil seorang diri saja dan dia menghampiri daun jendela pondok itu dan mengetuknya perlahan.
"Siapa?" terdengar bentakan dari dalam pondok.
"Aku Cia Tin Han, Cin-moi. Bukalah pintu pondokmu dan keluarlah, aku menantimu di luar dan ingin membicarakan urusan penting sekali denganmu."


Hening sejenak. Lee Cin yang mendengar suara Tin Han ini
terkejut dan juga berdebar jantungnya. Sejak kedatangannya tadi ia memasang mata mencari-cari adanya Tin Han, akan tetapi dengan hati kecewa ia tidak mendapatkan orang yang dicari. Ia ikut datang ke Pulau Naga karena hampir yakin bahwa penyerang ibunya yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong tentulah orang dari Pulau Naga. 


Maka, menggunakan kesempatan selagi para tokoh kang-ouw berkunjung ke Pulau Naga, dara inipun bertekat untuk memasuki Pulau Naga dan mengadakan penyelidikan. Dia telah bersikap menuduh, bahkan menghina dan menyeret-nyeret Tin Han yang dianggapnya telah menyerang ibunya. 

Akan tetapi setelah bertemu
dengan Thian Lee dan mendengar keterangan pemuda perkasa itu, ia pun menyadari bahwa besar kemungkinannya Tin Han difitnah, penyamarannya sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dipergunakan orang untuk mengadu domba dan merusak nama baik Hek-tiauw Eng-hiong. 


Kini ia harus membantu Tin Han untuk menemukan pembunuh yang sebenarnya.
Ketika mendengar suara lirih kekasihnya itu, Lee Cin agak gemetar karena tegangnya. 


Ia cepat meniup padam lilin di atas meja, lalu berindap keluar dan membuka daun pintu, lalu keluar dari pondok itu. Ia melihat bayangan orang berkelebat dan bayangan itu berdiri di bawah lampu gantung di luar pondok. Ia terkejut bukan main melihat muka yang dicoreng-moreng itu. 

Ia tahu bahwa muka yang dicoreng-morertg itu merupakan tanda sebagai anggauta Te-tok-pang yang datang siang tadi dengan jumlah anggauta lebih dari seratus orang. Karena curiga ia berhenti melangkah dan memandang tajam.

"Cin-moi, apakah engkau tidak mengenali aku" Aku adalah Tin Han," kata Tin Han sambil menghampiri Lee Cin.
Dari suaranya Lee Cin yakin bahwa ia benar berhadapan dengan Tin Han.

"Mari ikuti aku. Kita bicara di tempat yang aman," kata pula Tin Han sambil berlari meninggalkan tempat Lee Cin mengikutinya dengan perasaan heran. Kiranya Tin Han
dapat menyamar sebagai anggauta Te-t ok- pang, pantas saja ia mencari-cari siang tadi tanpa hasil.


Tin Han berhenti di pantai laut yang sunyi. Lee Cin menghampirinya.
"Ada apakah engkau memanggilku?" tanya Lee Cin.


Suaranya masih kaku karena ia masih merasa sungkan, mengingat akan perlakuannya terhadap Tin Han beberapa waktu yang lalu.


"Cin-moi, maukah engkau membantu aku untuk menangkap orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-
hiong dan melakukan pembunuhan- pembunuhan itu, juga telah menyerang dan melukai ibumu"

"Hemm, tentu saja. Lalu apa yang harus kulakukan?"
tanya Lee Cin, kekakuannya agak berkurang.


"Menurut dugaanku, yang mengetahui akan rahasia itu hanyalah beng-cu Ouw Kwan Lok. Dia sendiri yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng hiong palsu, atau kalau bukan dia, tentu seorang di antara anak buahnya."


"Segala kemungkinan bisa terjadi. Lalu bagaimana?"
"Aku minta kepadamu untuk menemuinya besok pagi-pagi benar sebelum pertemuan dimulai dan engkau katakan kepadanya bahwa engkau sudah tahu akan semua rahasianya, akan pembunuhan terhadap orang-orang Siauwlim-pai dan Kun- lun- pai dan katakan bahwa engkau akan membuka rahasia itu dalam pertemuan nanti."

"Hemm, apa artinya kata- kataku seperti itu kepadanya"
Apa gunanya?"


"Untuk memancing keluarnya Hek tiauw Eng- hiong palsu. Kalau dia mendengar ancamanmu tentu dia akan merasa khawatir sekali dan mungkin saja, hal ini yang menjadi harapanku, dia akan berusaha untuk melenyapkan atau membunuhmu sebelum pertemuan dibuka. 


Dan yang paling tepat, untuk melakukan hal itu tentu Hek- tiauw Enghiong yang palsu akan muncul agar kembali kesalahan dijatuhkan kepadaku." .

"Tapi......... tapi ........"
"Aku yakin engkau tidak takut dan mampu menandinginya kalau dia muncul, dan aku akan berada tak jauh dari situ untuk membantu. Bagaimana Cin- moi, masih maukah engkau membantuku menangkap penjahat yang ingin memisahkan kita itu?" Dalam suara Tin Han terkandung permohonan dan hati Lee Cin tergerak. 


Tentu saja ia mau melakukan apa yang diminta pemuda itu. Bagai mana pun juga, ia semakin yakin bahwa apa yang ia tuduhkan atas diri Tin Han tidaklah benar, bahwa memang ada orang yang memalsukan samaran-nya kemudian menyerang ibunya. 

Iapun mempunyai kepentingan untuk mengetahui orang itu. Kalau Hek-tiauw Eng-hiong benar-benar muncul, yaitu Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu, ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membalas perbuatan penjahat itu terhadap ibunya.

"Baiklah, Han- ko. Akan kulakukan apa yang engkau pesan. Mudah- mudahan berhasil."


Tin Han merasa girang sekali, terutama melihat sikap gadis itu yang sudah lunak terhadap dirinya. "Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Cin-moi. Akan kubuktikan bahwa kepercayaanmu kepadaku itu tidak sia-sia. 


Nah, sekarang kita berpisah dulu, selamat malam." Pemuda itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam dan Lee Cin juga kembali ke pondok kecilnya.

Setelah menemui Lee Cin dan mendapat persetujuan gadis itu untuk memancing keluar Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu, Tin Han lalu berkunjung ke perkemahan para
utusan Siauw-lim-pai dan Kun- lun- pai. 


Kebetulan pondok-pondok yang ditinggali kedua utusan ini berdekatan dan ketika dia mengunjungi In Kong Thai-su, Im Yang Seng-cu juga berada di situ sedang bercakap- cakap dengan ketua Siauw-lim-pai di Kwi- cu itu.

In Kong Thai- su yang pernah bertemu dengan Tin Han
dan pernah pula bertanding dengannya karena mengira Tin Han adalah Hek- tiauw Eng-hiong yang membunuh belasan orang anak buahnya, cepat bangkit berdiri menyambut.


"Omitohud! Engkau juga sudah berada di sini, Cia- sicu"
Bagaimana, apakah engkau sudah memperoleh jejak pembunuh itu?" In Kong Thai- su mengenal Tin Han yang kini sudah menghapus coreng- moreng dari mukanya.


"Kabar baik, lo-suhu. Akan tetapi saya mengharapkan bantuan lo-suhu agar pembunuh jahat itu dapat tertangkap atau setidaknya dapat diketahui bahwa orangnya bukanlah saya."


"Omitohud, tentu saja kami suka membantu. Bukankah begitu, to- yu?" In Kong Thai-su menoleh kepada Im Yang Seng- cu.


"Siancai, urusan apakah yang kalian bicarakan ini "
Pinto belum dapat menang kapnya."
"To- yu, perkenalkan pemuda ini adalah Cia Tin Han."


"She Cia?" Im Yang Seng-cu berseru sambil memandang tajam wajah Tin Han.
"Benar, dialah Hek- tiauw Eng-hiong." Im Yang Seng-cu melompat bangun dengan alis berkerut.


"Omitohud, tenanglah, to- yu. Cia-sicu ini adalah Hektiauw Eng- hiong yang tulen, sedangkan yang telah
membunuhi para murid kita itu adalah Hek-tiauw Eng-
hiong yang palsu. Cia-sicu ini tadinya pun hendak kami tawan, akan tetapi atas usul mantan panglima Song Thian 
Lee, kami setuju melepaskannya lagi dengan perjanjian bahwa dia akan sanggup menangkap Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu itu dalam dua bulan. 


Sekarang sudah hampir lewat satu bulan dan menurut keterangannya tadi, dia sudah hampir dapat menangkap pembunuh itu. 

Nah, Cia-sicu, sekarang jelaskan duduk perkaranya dan bagaimana engkau mengatakan bahwa engkau akan dapat menangkap penjahat itu dengan bantuan kami."

"Begini, lo-suhu. Saya telah melakukan penyelidikan dan yakin bahwa orang palsu itu berada di Pulau Naga ini. Saya telah minta bantuan nona Souw Lee Cin untuk memancingnya keluar. 


Kalau usahanya itu berhasil, besok pagi- pagi dia tentu akan keluar untuk membunuh nona Souw Lee Cin. 

Nah, pada saat itulah saya mengharap agar to-suhu beserta para suhu lain muncul dan melihat sendiri siapa adanya Hek- tiauw Eng- hiong yang palsu itu, dengan menangkapnya."

"Siancai, bagus sekali kalau begitu. Pinto juga ingin turut menangkap penjahat itu besok pagi-pagi. Di mana kami semua harus bersiap siaga?"


"Itu baik sekali, semakin banyak yang menyaksikan semakin baik. Menurut perkiraan saya, penjahat itu akan muncul di dekat pondok kecil yang menjadi tempat tinggal nona Souw Lee Cin. Sebaiknya kalau kita bersembunyi dan mengintai dekat pondok yang ditinggali Nona Souw."


Semua menyatakan sepakat, bahkan Im Yang Seng- cu hendak mengabari para to-su Bu- tong- pai untuk ikut menyaksikan dan menangkap penjahat yang telah banyak melakukan pernbunuhan itu.


Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lee Cin pergi ke rumah induk dimana tinggal keluarga Siang Koan Bhok dan juga Ouw Kwan Lok. Secara kebetulan sekali ia melihat Kwan Lok sedang berjalan seorang diri di taman bunga di samping rumah induk dan bergegas ia menghampiri pemuda itu.


"Eh, Nona Souw Lee Cin, kiranya engkau juga sudah berada di sini" Sungguh pertemuan yang menyenangkan sekali," kata Ouw Kwan Lok sambil memandang tajam.

Dalam hatinya timbul kebencian yang besar. Nona di depannya ini telah menjadi musuh besar guru-gurunya, dan bahkan telah membuntungi lengan kirinya. 

"Aku mendapat kesempatan untuk membalas budi kebaikanmu!" Kata- kata terakhir ini tentu saja mengandung sindiran, bukan membalas budi melainkan membalas dendam. 

Dia akan membalas dendam secara berlipat ganda, akan mempermainkan dan menghina gadis itu habis-habisan lebih dulu sebelum menyiksa dan membunuhnya.

"Hemm, aku juga menyesal mengapa dulu aku tidak memenggal lehermu, hanya memenggal lengan kirimu.
Orang macam engkau ini layak seratus kali mati. Ouw Kwan Lok, jangan dikira aku tidak tahu akan semua rahasia busukmu. 


Engkau menyamar sebagai orang lain untuk membunuhi banyak orang. Akan tetapi aku sudah mengetahui rahasiamu, dapat pula membuktikan dan tunggulah, nanti akan kubongkar semua rahasiamu itu di depan para lo-cian-pwe dari Siauw- lim- pai dan Kun-lunpai!" 

Setelah berkata demikian, Lee Cin membalikkan diri dan tanpa memberi kesempatan kepada orang itu untuk menjawab ia sudah berlari cepat kembali ke pondoknya.

Ouw Kwan Lok tertegun mendengar ucapan ini dan wajahnya berubah pucat. Dia lari memasuki rumah dan
mengambil sepasang pedang yang diselipkan ke punggungnya. Tak lama kemudran dia sudah keluar lagi dengan pakaian serba hitam dan sehelai kain sutera hitam menutupi mukanya hanya memperlihatkan dua lubang mata. 


Gerakannya cepat sekali ketika dia keluar dari rumah itu melalui pintu samping. Pagi itu masih sunyi dan tidak ada orang yang melihat dia keluar dalam pakaian sebagai Hektiauw Eng- hiong itu. 

Dia mengambil keputusan untuk membunuh Souw Lee Cin sebelum gadis itu membongkar rahasianya dan untuk melakukan pembunuhan itu, sebaiknya dia menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong sehingga kalau ada yang melihatnya, maka akan menjadi saksi bahwa pembunuhnya adalah Hek tiauw Eng- hiong!

Lee Cin yang berlari menuju pondoknya, sengaja tidak masuk ke dalam pondok. Ia berdiri di belakang pondok itu,di mana terdapat sebuah taman bunga. Ia berdiri termenung seperti memikirkan sesuatu.


Tiba- tiba ia mendengar desir angin dan tiga batang pisau terbang bergagang hitam menyambar ke arah paha, perut dan dadanya. 


Serangan mendadak dengan senjata rahasia itu amat berbahaya karena datangnya cepat seperti anak panah. 

Namun, sejak tadi Lee Cin telah waspada karena maklum bahwa kemungkinan besar Oaw Kwan Lok akan muncul dan menyerangnya seperti yang diperhitungkan oleh Cia Tin Han. 

Begitu mendengar desir senjata pisau terbang itu dan melihat tiga sinar menyambar ke arahnya, tubuhnya sudah melompat jauh ke samping sehingga tiga batang pisau itu terbang lewat di sisi tubuhnya.

Hek- tiauw Eng- hiong yang melepaskan senjata rahasia namun gagal itu lalu melompat dan menerjang Lee Cin dengan sepasang pedangnya! Melihat betapa orang berkedok hitam itu menggunakan sepasang pedang, Lee Cin terkejut.

Kalau begitu orang itu bukan Kwan Lok, pikirnya. Sudah jelas bahwa Kwan Lok hanya memiliki sebelah tangan kanan saja, bagaimana mungkin kini memainkan siang- kiam (sepasang pedang)" Akan tetapi ia tidak mau memusingkan kepalanya dengan hal ini.

Serangan sepasang pedang itu dahsyat sekali, maka iapun cepat melolos Ang-coa- kiam dari pinggangnya dan begitu ia memutar Ang- coa- kiam, tampak sinar merah 
bergulung-gulung menyambut sepasang pedang yang di
mainkan Hek-tiauw Eng- hiong. 


Terjadilah perkelahian pedang yang amat seru dan seimbang.

Pada saat itu, bermunculanlah para hwe- sio Siauw-lim pai, para to- su Kun-lun-pai din Bu tong-pai.


 "Tangkap pembunuh!" Mereka berteriak-teriak. Melihat ini, Si Kedok Hitam yang mengaku sebagai Hek-tiauw Enghiong itu melompat jauh ke kiri. 


Lee Cin yang berada paling dekat dengannya, cepat mengejar dengan lompatan jauh. Si Kedok Hitam berlari terus dengan cepatnya, keluar dari taman menuju ke padang rumput di depan. 

Lee Cin tidak mau berhenti mengejarnya. la harus dapat menangkap Si Kedok Hitam itu. Para hwesio dan to-su sambil berteriak-teriak juga ikut mengejar. 

Teriakan mereka membangunkan semua orang yang menjadi tamu di Pulau Naga sehingga sebentar saja di situ penuh orang yang masih merasa
bingung karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi.


"Mau lari ke mana engkau, jahanam keparat?" Lee Cin molompat ke depan ketika melihat Si Kedok Hitam melompat ke serumpun semak-semak. 


Akan tetapi ketika kakinya tiba di balik rumpun, rumput yang berada di situ menyambut kakinya dan kedua kakinya terjeblos ke dalam lubang yang disembunyikan di bawah rumput tebal.....


RAJAWALI HITAM JILID 08



Pulau Naga adalah sebuah pulau milik Siang Koan Bhok yang banyak mengandung rahasia untuk menjebak kalau- kalau ada musuh menyerbu. 

Tak terhindarkan lagi tubuh Lee Cin terjerumus dan melayang turun ke dalam sebuah sumur yang gelap! 

Para hwe-sio dan to-su yang berada. di belakang, melihat betapa Si Kedok Hitam telah lenyap seperti ditelan bumi, dan pengejarnya, Lee Cin juga lenyap tidak tampak bayangannya  
lagi. 


Mereka mencari- cari di sekitar lereng perbukitan kecil di pulau itu dan kini, para tokoh kang- ouw yang juga sudah mendengar bahwa Hek- tiauw Eng-hiong muncul hendak
membunuh Souw Lee Cin, ikut pula mencari. 


Di antara mereka yang mencari ini terdapat Song Thian Lee, Thio Hui San, Lui Ceng, Cia Tin Siong, Kwee Li Hwa dan ayahnya Kwe Ciang, dan juga Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok. Masih baayak lagi tokoh persilatan yang berkumpul di lereng itu. Mendengar bahwa Hek- tiauw Eng- hiong yang dikabarkan telah membunuh belasan orang hwe-sio Siauwlim- pai dan para to-su Kun- lun- pai itu muncul di situ, mereka semua ingin membantu untuk menangkapnya dan
melihat siapa orangnya.


Akan tetapi bayangan Hek- tiauw Eng- hiong telah lenyap, demikian bayangan Souw Lee Cin yang mengejarnya.


Kemana larinya Hek- tiauw Eng- hiong" Lee Cin sudah jelas terjeblos ke dalam sumur yang amat dalam tanpa terlihat orang lain. 


Akan tetapi Si Kedok Hitam itu dapat memasuki sebuah jalan rahasia terowongan dan muncul di balik bukit, jauh dari para pengejarnya yang tidak lagi dapat melihatnya.
Selagi dia berlari- lari, merasa puas karena semua orang tentu tahu bahwa yang menyerang Lee Cin sampai gadis itu mati dalam sumur jebakan adalah Hek- t iauw Eng- hiong, tiba- tiba dia mendengar kelepak sayap burung dan tampak bayangan hitam menyambar dari atas! 

Dia memandang ke atas dan alangkah terkejutnya ketika dia melihat bahwa yang menyambar itu adalah seekor burung rajawali hitam yang amat besar. 

Sebelum dia dapat mengelak, punggung bajunya telah dicengkeram oleh kedua kaki burung itu dan dia dibawa terbang melayang ke angkasa!

Si Kedok Hitam melihat ke atas, lalu ke bawah. Diatas sana, di punggung burung itu, dia melihat duduk seorang yang tidak dapat dilihat mukanya, tertutup badan burung.

Tentu saja dia akan dapat melepaskan diri dari cengkeraman 
burung itu dengan jalan menyerang kaki burung dengan pedangnya. ' 


Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu dan burung itu melepaskannya, tubuhnya akan hancur remuk terjatuh dari tempat yang demikian tingginya. 

Maka dia tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah, dengan keputusan kalau nanti dia dibebaskan oleh burung itu, dia akan mengamuk dan membunuh burung hitam itu.
Burung rajawali hitam itu kini melayang berputaran, makin lama semakin rendah sehingga mulai tampak oleh para hwe-sio, tosu dan orang- orang kang-ouw yang berada di situ. 


Mereka semua melihat burung itu melihat pula Si Kedok Hitam bergantungan pada kaki burung dan melihat pula bahwa seorang berkedok hitam yang lain duduk di atas punggung burung hitam itu! 

Tentu saja pemandangan ini menimbulkan keheranan dalam hati semua orang, kecuali Thian Lee yang sudah menduga bahwa tentu ada orang lain yang memalsukan Hek- tiauw Eng- hiong dan melakukan
banyak pembunuhan itu. 


Dia merasa yakin bahwa seorang di antara mereka berdua yang berkedok sama itu tentu Tin Han dan yang seorang lagi pembunuh itu.
Pemandangan yang aneh itu menarik perhatian semua
orang, dan kini dapat dibilang semua orang yang akan mengikuti pertemuan besar di Pulau Naga sudah keluar dari pondok masing-masing dan menonton pemandangan yang aneh itu. 


Rajawali Hitam tetap terbang berputaran dan akhirnya menukik turun ke dataran -tinggi yang berada di depan pondok-pondok darurat yang menjadi tempat tinggal para tamu. 

Setelah tubuhnya tinggal dua meter dari atas tanah, dia
melepaskan cengkeraman kedua kakinya dan melepaskan tubuh Si Kedok Hitam. 


Dengan berjungkir balik indah dan cekatan sekali Si Kedok Hitam hinggap dengan lunak di atas tanah. Akan tetapi segera Si Kedok Hitam yang tadi duduk di atas punggung rajawali, juga melompat turun 
dari atas punggung burung itu dan hinggap di atas tanah tepat di depan Kedok Hitam pertama. 


Tin Han memandang ke arah burung yang masih terbang di atas kepalanya.
"Hek- tiauw- ko, terima kasih atas bantuanmu. Sekarang kembalilah kepada suhu!" Tin Han berseru dan burung itu lalu mempercepat gerakan sayapnya, terbang pergi dari situ.


Kini Tin Han membuka penutup kepalanya sehingga semua orang dapat melihatnya. "Cu-wi yang gagah. 


Perkenalkanlah bahwa saya yang selama ini bergerak di dunia kang-ouw menentang kejahatan dengan julukan Hektiauw Enghiong! 

Selama ini ada orang lain menyamar
sebagai saya melakukan pembunuhan terhadap belasan
orang hwe-sio Siauwlim-pai dan beberapa orang to-su Kunlun-pai. 


Dan cu-wi lihat, inilah orangnya. Baru saja dia keluar hendak membunuh nona Souw Lee Cin seperti yang cu-wi lihat sendiri. Hei, Hek-tiauw Eng-hiong palsu,
beranikah engkau dengan jujur menyatakan siapa dirimu sebenarnya" 


Engkau telah mencemarkan nama Hek-tiauw Eng-hiong dan sekarang harus kau pertanggung jawabkan!"
Orang berkedok itu bukan menjawab pertanyaan Tin Han, bahkan mencabut sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya. 


Tin Han cepat mengelak dan diapun mencabut Pek-kong-kiam, pedang bersinar putih itu, lalu balas menyerang. 

Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat antara kedua orang yang sama-sama berpakaian hitam itu, hanya bedanya kini Tin Han telah menanggalkan kedok kain sutera hitamnya sedangkan lawannya masih memakai kedok hitam. 

Para penonton memandang dengan mata terbelalak.
Hati mereka tegang melihat munculnya dua Hek-tiauw Enghiong itu dan setelah Tin Han memperkenalkan mereka
menduga-duga siapa adanya si Kedok Hitam kedua itu.


Merekapun mulai mengerti bahwa yang melakukan banyak pembunuhan itu adalah Hek-tiauw Eng-hiong palsu. Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang mau mencampuri pertandingan itu. 


Mereka ingin agar Hek-tiauw Eng-hiong sendiri yang membereskan orang yang telah menodai
namanya itu. Pertandingan itu memang hebat sekali. 


Kekuatan dan kecepatan mereka nampaknya seimbang. Kalau pedang
mereka beradu, keduanya terdorong ke belakang. Akan tetapi kalau pedang di tangan kiri lawannya yang bertemu dengan pedangnya, Tin Han merasa bahwa tangan kiri lawan itu tidak sekuat tangan kanannya, dan gerakan pedang tangan kiri itu kaku. 


Karena itu, dia beberapa kali
menyerang tubuh bagian kiri sehingga lawannya terpaksa menangkis dengan pedang yang kiri dan serangan yang ditujukan kepada tubuh bagian kiri dapat mendesak Si Kedok Hitam.


"Hyaaatttt ...... !" Kembali Tin Han berseru nyaring sambil menusukkan pedangnya ke arah lambung kiri lawannya. Si Kedok Hitam memutar pedang kirinya melindungi lambung dan menangkis dengan pengarahan tenaga.


"Trangggg ...... !" Kembali pedang kiri Si Kedok Hitam yang menangkis itu terpental dan orangnya terhuyung, namun pedang kanannya menyambar dahsyat sehingga Tin Han tidak dapat mendesaknya, bahkan terpaksa mengelak dari sambaran pedang kanan itu. 


Akan tetapi begitu dielakkan, pedang kanan itu sudah menyambar lagi dengan amat cepatnya, membacok dari atas mengarah kepala Tin Han.
Tin Han mengerahkan tenaga pada tangan kanannya untuk menangkis pedang lawan.


"Trakkk!" Kedua pedang itu menempel ketat dan tidak dapat ditarik kembali. Mereka saling mengerahkan tenaga untuk mendorong lawan dan pada saat itu, Si Kedok Hitam menggerakkan pedang kirinya untuk menusuk dada Tin Han! Tin Han miringkan tubuh, membuka lengan kanannya dan penjepit pedang yang ditusukkan ke bawah lengannya itu. 


Akan tetapi dia kalah cepat karena tiba-tiba kaki kanan Si Kedok Hitam mencuat dan sebuah tendangan mengenai perut Tin Han, membuat tubuh Tin Han terpental dan
terjengkang roboh! 


Teriakan aneh keluar dari mulut di balik kedok itu ketika Si Kedok Hitam menubruk dan membabatkkan pedangnya ke arah leher Tin Han yang sudah roboh terjengkang.

"Trangg ...... !" Tin Han masih dapat menangkis pedang itu dan sekali meloncat dia telah bangkit berdiri lagi. 


Pada saat itu, tusukan pedang kiri Si Kedok Hitam kembali telah menyambar ke arah dadanya. Tin Han mengelak dan memutar pedangnya untuk menangkis pedang kanan lawan yang menyambar dengan bacokan ke arah pinggangnya.

Kembali mereka saling serang dengan cepat dan kuatnya, membuat penonton menjadi semakin tegang. Dari gerakan-gerakan kedua orang itu, maklumlah para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton bahwa ilmu kepandaian kedua orang itu memang setingkat.


Beberapa kali In Kong Thai-su yang berdiri dekat In Yang Seng-cu menahan napas. "Sian-cai.... ilmu pedang yang bagus!" Dia memuji.


"Omitohud, baru sekarang pin-ceng melihat seorang pemuda dengan ilmu kepandaian setinggi itu!" kata pula In Kong Thai-su.


"Thai-su, apakah kita perlu membantu pemuda she Cia itu?" Im Yang Seng cu bertanya.
In Kong Thai-su menggeleng kepalanya. -"Pin-ceng kira tidak perlu, karena kita belum tahu siapa Si Kedok Hitam yang seorang lagi itu dan kita belum yakin siapa di antara mereka yang bersalah walaupun. 


Si Kedok Hitam itu yang agaknya Hek- t iauw Eng- hiong yang palsu. Biarlah mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri dan kita hanya menonton bagai mana kesudahan peristiwa aneh ini."

"Sian-cai, pinto hampir yakin bahwa Cia-sicu di pihak benar. Dia berusaha untuk melucuti kedok orang yang
mengaku sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dan yang menggunakan namanya untuk membunuhi murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun pai. 


Bagaimana kalau kita tinggal diam dan kemudian dia kalah oleh orang yang palsu itu?"

"Omitohud, pin-ceng lebih percaya bahwa orang yang bersalah akhirnya akan kalah. Kita menjadi saksi saja, To-yu. "


Im Yang Seng-cu tidak bicara lagi karena diapun menganggap pendapat sahabatnya itu benar.


Ada lagi sekelompok orang yang menonton dengan jantung berdebar- debar penuh ketegangan. Mereka ini adalah Keluarga Cia yang juga menonton pertandingan itu.


Cia Kun dan isterinya menonton dengan hati penuh
kekhawatiran. 


Mereka tahu bahwa putera mereka hendak melucuti kedok yang memalsukan namanya dan melakukan pembunuhan, akan tetapi melihat betapa kepandaian kedua orang itu seimbang, mereka merasa khawatir sekali. 

Ingin membantu akan tetapi hal itu akan membuat pihak putera mereka
tampak curang dengan pengeroyokan, maka merekapun hanya. membantu dengan doa saja. 


Tadi ketika Tin Han tertendang jatuh, ibunya sudah memejamkan
matanya tidak ingin melihat kelanjutannya. Maka legalah rasa hatinya betapa Tin Han dapat lolos dari maut. 


Demikian pula Cia Hok dan Cia Bhok. Mereka menonton dengan
jantung berdebar,khawatir kalau keponakan mereka menderita kekalahan. 


Di samping itu mereka juga merasa amat kagum melihat keponakan mereka yang selalu dianggap pemuda lemah itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

Cia Tin Siong yang berdiri di samping Kwe Li Hwa, tidak kalah gelisahnya. Kwe Li Hwa merasakan ini dan iapun bertanya, "Siong-ko,
bagaimana pendapatmu"


Apakah adikmu itu akan dapat mengalahkan penjahat itu?"
Tin Siang menghela napas panjang. "Entahlah, kita hanya dapat berdoa semoga dia keluar sebagai pemenang.


Lawannya dengan sepasang pedangnya itu lihai luar biasa."
"Akan tetapi adikmu itupun amat lihai, Siong-ko."


"Anak itu memang aneh. Dia mempelajari ilrnu yang tinggi
tanpa sepengetahuan kami yang menjadi keluarganya."


"Dia tadi menangkap Hek-tiauw Eng hiong palsu ia dengan bantuan seekor burung rajawali hitam yang besar.


Apakah memang dia memelihara burung itu, Siong-ko?"
Tin Siong menggerakkan kedua pundaknya. "Hal inipun aku tidak tahu. Baru sekarang aku melihat burung rajawali besar itu."


Sepasang muda mudi ini menonton dengan hati berdebar penuh ketegangan.


Sementara itu, di pihak tuan rumah dengan rekan- rekan mereka, juga menonton dengan hati tegang dan heran.


Thian-to Mo- ong dan rekan- rekannya juga tidak mengenal siapa orang yang berkedok dan bersenjata sepasang pedang yang bertanding melawan Cia Tin Han


Mereka bertanya- tanya, juga merasa heran mengapa Ouw Kwan Lok tidak muncul. 


Pada hal semua tamu sudah keluar dari pondok masing- masing dan mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.

Hanya Siang Koan Bhok seorang yang tampaknya tidak heran, melainkan menonton pertandingan itu dengan sikap tenang. 


Dia menganggap Tin Han sebagai musuh besarnya, yang pernah mengalahkannya ketika dia bersama rekan-rekannya menyerbu ke tempat kediaman Keluarga Cia. 

Dia maklum betapa lihainya Cia Tin Han, akan tetapi tidak berani mencampuri pertandingan itu, karena di situ hadir pula banyak tokoh kang-ouw dan pendekar yang tentu tidak tinggal diam kalau dia mencampuri pertandingan satu lawan satu itu.

Te- tok Kui-bo dan Siauw Leng Ci yang juga menjadi penonton bersama seratus lebih anak buah mereka, tertegun dan
terheran-heran melihat betapa Tin Han dapat menandingi Hek-tiauw Enghiong yang hebat itu.


"Ya Tuhan, siapa kira bocah itu sedemikian lihainya"
Kiranya ketika berada di tempat kita dahulu, ketika kita coba ilmunya melawanmu dia hanya berpura- pura saja sehingga kepandaiannya tampak setingkat denganmu, Leng Ci. 


Kalau melihat kepandaiannya sekarang rasa-rasanya aku sendiri tidak akan mampu menandinginya."
Tentu saja Leng Ci merasa bangga sekali. Ia menganggap Tin Han sebagai tunangannya. Biarpun pemuda itu belum menyatakan kesanggupannya, namun dia tidak menolak ketika ibunya mengusulkan perjodohan di antara mereka.

Dan sekarang, melihat pemuda yang sudah dianggapnya sebagai calon suaminya itu bertanding dengan sedemikian gagah beraninya, tentu saja ia merasa bangga walaupun ada pula rasa khawatir dalam benaknya.

"Ibu, lawannya demikian lihai. Bagaimana kalau sampai Tin Han kalah" Ibu, kita bantu dia!"

"Ssttt, jangan gegabah, Leng Ci. Tidakkah engkau melihat betapa para tokoh besar persilatan berada di sini sekarang dan ikut pula menyaksikan perkelahian itu. Kalau kita turun tangan membantunya, itu tidak adil namanya dan kita dapat dianggap curang. 


Sudahlah, kita melihat saja, aku kira Tin Han tidak akan kalah. Di sana kulihat ayah ibunya dan paman- pamannya juga hadir dan mereka itu juga tidak mencampurinya."Leng Ci tidak berani bicara lagi, hanya mengepal- ngepal kedua tangannya seolah-olah dengan semangatnya ia hendak membantu orang yang dicintanya itu.

Pertandingan itu semakin seru. Pedang mereka tidak lagi tampak ujudnya, telah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. 

Tin Han sendiri kagum melihat ketangguhan lawannya. Dia melihat betapa teguh pertahanan lawan dan betapa dahsyat serangan serangannya. 

Kalau dilanjutkan begini, agaknya sampai ratusan jurus belum tentu dia akan dapat merobohkan
lawan. Akan tetapi akhirnya dia teringat akan gerakan tangan kiri yang kaku itu. 


Dia membayangkan orang yang buntung lengan kirinya dan memakai sambungan, maka
gerakan tangan dan lengan kiri itu menjadi kaku, Tin Han teringat akan percakapannya dengan Song Thian Lee. 


Dia dan Song Thian Lee tadinya mencurigai bahwa Siang Koan Bhok atau Ouw Kwan Lok yang melakukan penyamaran sebagai Hek- tiauw Eng-hiong, akan tetapi dugaan itu tidak cocok, karena Ouw Kwan Lok, hanya berlengan satu. 

Dan orang yang berkelahi dengannya ini, walaupun berlengan dua, akan tetapi tangan kirinya bergerak demikian kaku!

Salahkah perhitungannya kalau dia menduga bahwa orang ini bukan lain adalah Ouw Kwan Lok yang menyambung tangan buntungnya dengan tangan buatan"


Setelah berpikir demikian, Tin Han mengubah cara bersilatnya. Dia memainkan ilmu silat Hek- tiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) akan tetapi lebih banyak menujukan
serangannya kepada bagian kiri lawan. 


Benar saja, ketika dia melakukan hal ini, lawannya segera terdesak. Pedang tangan kiri itu tidak banyak bekerja, yang lebih banyak diandalkan adalah tangan kanan.

"Haaaaiiiittt!" Pedang di tangan Tin Han berkelebat lagi, kini tubuhnya merendah dan dari bawah pedangnya menusuk ke arah perut lawan. Hek- tiauw Eng- hiong cepat 
melompat ke samping untuk mengelak, akan tetapi tubuh Tin Han bangkit sambil mengirim tendangan kilat ke arah pergelangan tangan kiri itu.


"Dukkkk!" Dia merasakan kakinya menendang benda keras seperti besi sehingga kakinya terasa nyeri, akan tetapi tendangan itu membuat pedang terlepas dari tangan kiri Si Kedok Hitam!


Melihat hasil ini, Tin Han terus mendesaknya. Akan tetapi setelah kehilangan pedangnya, tangan kiri Si Kedok Hitam masih dapat menyerang menggunakan jari- jari
tangannya! 


Bahkan ketika pedang Pek- kong- kim menyambar dari arah kiri, Si Kedok Hitam berani mengangkat lengan kirinya untuk menangkis!
Akan tetapi sekali ini Si Kedok Hitam terlalu memandang rendah Pek-kong kiam. Pedang pusaka ini amat ampuh dan kuatnya sehingga mampu memotong baja dan besi. 

Ketika lengan kiri itu menangkis, tak dapat dihindarkan lagi mata pedang Pek- kong- kiam bertemu dengan lengan kiri itu.

"Krekk. ..... !" lengan kiri itu buntung dan jatuh terlempar ke atas tanah. Semua orang memandang dengan terkejut dan heran karena lengan kiri yang buntung itu tidak
mengeluarkan darah setetespun! 


Bahkan kini pedang kanan Si Kedok Hitam menyambar dahsyat. Pada saat itu perhatian Tin Han tertuju kepada lengan kiri lawan yang dapat di buntunginya, maka serangan Si Kedok Hitam itu datangnya terlalu cepat baginya. Dia masih melempar tubuh ke belakang akan tetapi ujung pedang Si Kedok Hitam sempat melukai pundak kirinya! 

Darah mengucur dari pundak kiri itu. Si Kedok Hitam merasa mendapat angin, menyusulkan bacokan pedang kananya dengan mengerahkan seluruh
tenaganya. Tin Han juga mengerahkan seluruh tenaga
menangkis datangnya sambaran pedang itu.


"Trangggg.........!!" Bunga api muncrat tinggi dan kedua pedang itu terlepas dari tangan mereka saking kerasnya 
benturan itu. Kini mereka saling berhadapan dengan kedua tangan kosong! Akan tetapi Tin Han tidak ingin melepaskan lawannya. Dia segera menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan ilmu silat Hek- tiauw- kun dan
mengerahkan tenaga Khong- sim Sin- kang! 


Ilmu-ilmu ini hebat bukan main. Si Kedok Hitam tampak terkejut dan diapun melawan dengan ilmu silat Hek- wan- kun (Silat Lutung Hitam) dan diam-diam diapun mempergunakan Pekswat Tok- ciang (Tangan Racun Salju Putih) yang amat berbahaya bagi lawan.

Pertandingan tangan kosong ini tidak kalah menariknya.
Setiap gerakan tangan mereka mendatangkan angin pukulan yang berdesir dan gerakan mereka demikian mantap dan kokoh kuat. 


Setiap kali kedua lengan bertemu, mereka tergetar mundur. Agaknya karena lengan kiri yang buntung itu tidak memakai lengan baju yang ikut buntung, gerakan Si Kedok Hitam menjadi canggung dan pincang, maka perlahan- lahan Tin Han mulai dapat mendesaknya.

"Hyaaaatttt ...... !" Tin Han berseru nyaring dan tangan kirinya menampar cepat dan kuat ke arah pelipis kanan lawan. Melihat pukulan yang amat berbahaya ini, Si Kedok Hitam menangkis dengan tangan kanannya. 


Akan tetapi pada saat yang sama, tangan kanan Tin Han menyambar
dan merenggut lepas kedok hitam itu. Kini tampaklah oleh semua orang bahwa yang bersembunyi di balik kedok itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok seperti banyak orang
menduga ketika melihat lengan yang putus itu tidak mengeluarkan darah.

OuwKwan Lok terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang masuk ke dalam rumah induk di
Pulau Naga itu. 


Tin Han tentu saja melompat hendak mengejar masuk ke rumah itu, akan tetapi Siang Koan Bhok menghadang di depannya.

"Perlahan dulu! Tanpa seijin kami sebagai tuan rumah, siapapun dilarang memasuki rumah kami!"
kata kakek itu sambil melintangkan dayung bajanya. Tin Han mengerutkan alisnya lalu dia meng-
ambil pedangnya yang tadi terlepas dari pegangannya. 


"Locian-pwe, aku hendak memasuki rumahmu karena hendak mengejar si jahat Ouw Kwan Lok! Semua orang kini tahu bahwa yang menyamar sebagai Hek- tiauw Eng hiong dan membunuhi para pendeta Siauw-lim-pai dan para to-su Kun-lun-pai adalah si jahat Ouw Kwan Lok! 

Untuk membersihkan namaku aku harus mengejar dan menangkapnya!"

"Aku tidak perduli akan hal itu. Yang penting, Ouw Bengcu adalah tamu kami dan kami tidak mengijinkan siapa saja memasuki rumah kami membikin kacau!" Siang Koan Bhok berseru dengan kukuh.


"Sian-cai, Tung-hai-ong bicara secara tidak pantas. Ouw Kwan Lok itu jelas adalah orang jahat yang telah membunuh banyak orang, dan engkau masih hendak melindunginya?"teriak Im Yang Seng-cu tidak sabar lagi.


"Im Yang Seng-cu, ini adalah urusan pribadiku. Aku hendak melindungi siapa saja yang berada di rumahku
adalah hak pribadiku, tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga."


"Omitohud, kalau begitu jelas bahwa Siang Koan Bhok bersekutu dengan Ouw Kwan Lok untuk mengadu domba di antara kami. Kabarnya kalian telah menjadi antek Mancu, bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi kaum.pendekar. 


Begitukah?" kata In Kong Thai-su.
"Hei, In Kong Thai-su, jangan bicara sembarangan. Kami adalah rakyat jelata yang tunduk kepada pemerintahan yang berkuasa, tentu saja kami membantu dan memihak
pemerintah. 


Apakah engkau akan memihak kaum pemberontak" Kalau begitu, kami berhak untuk menangkap kalian para pemberontak!"
Tin Han lalu memutar tubuh bicara dengan nyaring kepada semua orang yang hadir. "Saudara-saudara sekalian!


Kalian hari ini diundang oleh berg-cu baru ke sini hanya untuk dibujuk menjadi antek Mancu dan terseret dalam perbuatan jahat dan curang mereka. Keadaan itu sungguh berlawanan dengan sikap kita orang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan tentu saja di antara kita tidak ada yang sudi menjadi antek penjajah Mancu. 


Sudah jelas bahwa Ouw Kwan Lok yang mengangkat diri sendiri menjadi beng-cu hendak membelokkan perjuangan para
pendekar, bahkan mengadu domba dengan membunuhi para pendeta yang tidak berdosa. Kita harus menangkap dan mengadili orang yang demikian jahat!"


Ucapan Tin Han ini disambut dengan gemuruh oleh para pendekar yang hadir. Akan tetapi Siang Koan Bhok berteriak nyaring, "Saudara- saudara, kita bukan pemberontak. Sudah sewajarnya kita membantu pemerintah dan marilah kita 
membantu pasukan pemerintah untuk membasmi pemberontak ini!"

Tak dapat dicegah lagi, kedua pihak sudah saling serang dan terjadilah pertempuran hebat di tempat itu. Anak buah Pulau Naga bangkit dan melakukan perlawanan terhadap para pendekar dan dalam pertempuran ini anak buah Te-tok pang yang berjumlah seratus lebih juga memegang peran utama, berperang melawan anak buah Pulau Naga. 

Di pihak Siang Koan Bhok ikut mengamuk Yauw Seng Kun, Ban Tok Mo-li, Ma Huan, Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Mo-kai, Thian-te Mo-ong. 

Mereka ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, masih ditambah lagi belasan orang kang-ouw golongan sesat yang juga sudah menjadi sekutu mereka.

Di pihak para pendekar terdapat nenek Te-tok Kui-bo, Siauw Leng Ci, Song Thian Lee, Kwee Ciang, Kwe Li Hwa, Thio Hui San, Liu Ceng, In Kong Thai-su, Hui Sian Hwe-sio, Im Yang Ceng-cu, Cia Tin Siong, Cia Tin Han, Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok.


Tak dapat dicegah lagi terjadi pertempuran yang hebat.
Song Thian Lee yang maklum bahwa di antara mereka semua itu yang paling lihai adalah Siang Koan Bhok, maka begitu pertempuran berlangsung, dia sudah menerjang
majikan Pulau Naga itu dengan Jit- goat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan).


Sementara itu, tadi ketika menunggang burung rajawali hitam, Tin Han melihat betapa Lee Cin mengejar Ouw Kwan Lok lalu lenyap di tengah padang rumput. Dia amat
mengkhawatirkan nasib kekasihnya itu, maka melihat semua orang sudah bertanding, dia lalu lari ke arah padang rumput itu untuk mencari Lee Cin.


"Cin-moi ...... !" Dia mengerahkan khi-kang dan berseru memanggil. Suaranya bergema di seluruh permukaan padang rumput. Namun tidak terdengar jawaban. Dia lari ke tengah padang rumput dan berulang kali berteriak memanggil Lee Cin. 


Akhirnya, dia mendengar suara yang lapat- lapat di sebelah depan.
"Han- ko......... !"
Bagaimanakah dengan keadaan Lee Cin yang terjeblos ke dalam perangkap dan terjatuh ke dalam lubang sumur itu"


Sumur itu dalam sekali dan Lee Cin yang sedang melayang ke bawah itu teringat bahwa ia masih memegang pedangnya.


Maka ia mengerahkan sinkangnya membuat pedang itu menjadi kaku dan menusuk ke dinding sumur.

"Capppp......... !" Pedang itu menusuk dinding sumur sampai ke gagangnya dan kini Lee Cin bergantung kepada gagang pedangnya itu. Ia tidak dapat melihat ke bawah karena gelap, akan tetapi ia mendengar suara berdesis dan mencium bau amis! 

Tahulah ia bahwa di dasar sumur itu terdapat banyak ular berbisa! Ia adalah seorang pawang ular, tentu saja tidak takut menghadapi ular-ular itu. Akan tetapi dalam keadaan bergantung seperti itu ia tidak berdaya. Ia mengerahkan tenaganya dan terus bergantung di gagang pedangnya.

Akhirnya ia mendengar seruan memanggil namanya itu.
Seruan itu demikian kuat sehingga terdengar olehnya yang berada dalam sumur. 


Ia tidak ragu lagi bahwa itu tentu suara Tin Han, maka iapun segera menjawab dan memanggil nama pemuda itu. Hatinya merasa lega sekali karena akhirnya kekasihnya datang mencarinya.

"Cin- moi, engkau di situ?" terdengar kini suara Tin Han dari atas sumur.
"Tin Han koko, aku di sini, bergantung pada pedangku!"teriak Lee Cin ke atas.


"Tunggu sebentar, aku mencari sesuatu untuk menarikmu keluar!" Tin Han lalu mencari- cari dengan matanya. Akan tetapi di padang rumput dan hutan di depan, bagai mana dia akan dapat menemukan tali yang cukup panjang untuk diulurkan ke bawah" Tiba- tiba wajahnya berseri ketika dia melihat serumpun bambu yang panjang.

Cepat dia menghampiri, dengan pedangnya dia menebang sebatang pohon bambu yang paling panjang, lalu menyeret batang bambu itu ke dekat sumur.

"Cin- moi, aku telah menemukan bambu, akan kujulurkan ke bawah. Hati-hati dan tangkap bambunya!"
Dengan perlahan dia menurunkan batang bambu ke bawah sampai dia merasa bambu itu tertahan dari bawah.
Lee Cin menangkap ujung bambu
"Cin- moi, sudah siapkan engkau untuk naik ke atas ?"


"Nanti dulu, Han- ko. Aku mencabut dulu pedangku!" Lee Cin yang kini sudah memanjat batang pohon itu lalu mengerahkan tenaganya untuk mencabut Ang- coa- kiam dari dinding sumur.


"Aku sudah siap, Han- ko!" katanya. Ia sendiri memanjat naik dan Tin Han menarik bambu ke atas sehingga sebentar saja Lee Cin sudah tiba di luan sumur.


"Han- ko. . . . .!"
"Cin- moi, engkau selamat .........!" Dengan girang sekali Tin Han merangkul gadis itu dan sampai beberapa lamanya mereka saling berangkulan. 


Lee Cin merasa lega sekali, bukan hanya karena ia sudah ditolong keluar dari bahaya maut, melainkan juga melihat betapa pemuda ini sama sekali tidak kelihatan dendam atas perlakuannya tempo hari.

"Han- ko, di bawah sana penuh ular berbisa," kata gadis itu bergidik.
"Sungguh berbahaya. Ouw Kwan Lok itu licik sekali, sehingga engkau dapat terjebak.

"Apakah dia sudah dapat ditangkap atau dibunuh, Han-ko?" tanya Lee Cin yang mendengar suara gaduh dari pertempuran itu.
"Dia licik, dia melarikan diri dan Siang Koan Bhok mengerahkan orang-orangnya untuk melawan kita."


'"Hemm, kalau begitu, tunggu, Han ko!" Lee Cin mengeluarkan sulingnya, meniup sulingnya dengan nyaring.


Terdengar suara melengking- lengking aneh dan tiba-tiba dari dalam sumur itu merayap naik banyak sekali ular besar kecil dan banyak yang berbisa. Bahkan dari arah hutan berdatangan pula ular-ular besar kecil.


"Aku dapat menggunakan ular- ular ini untuk membantu kita dalam pertempuran!" kata Lee Cin dan bersama Tin Han ia lalu setengah berlari- lari menuju ke tempat pertempuran, diikuti oleh ular- ular itu yang digiring suara suling yang masih ditiup Lee Cin.


Gegerlah para anak buah Pulau Naga ketika tiba- tiba mereka diserang banyak ular. Keadaan menjadi kacau dan pihak Pulau Naga terdesak, banyak di antara mereka yang tewas.
Siang Koan Bhok marah sekali dan dengan sepenuh tenaga dia mengayun dayungnya menghantam Song Thian Lee. 


Namun pendekar ini menangkis dengan pedangnya,kemudian tangan kirinya mendorong dengan sepenuh tenaga Thian-le Sin- kang ke arah dada datuk itu. Siang Koan Bhok maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, akan tetapi dia tidak dapat mengelak lagi dan terpaksa dia melepaskan tangan kanan dari dayungnya dan menyambut dorongan
tangan Thian Lee itu dengan Ban-tok- ciang.


"Wuuuuuuttt.........
dess........!!"
Tubuh Thian Lee terdorong mundur tiga lankah akan tetapi tubuh Siang Koan Bhok terpelanting dan terhuyung, lalu dia muntahkan
darah. 


Tiba- tiba terdengar suara tambur dan canang. Thian Lee terkejut karena dia mengenal suara itu yang berarti bahwa ada pasukan pemerintah yang sedang mendatangi tempat itu. 


Sebagai seorang bekas panglima segera dia dapat melihat bahaya yang mengancam para pendekar dan cepat pula dia dapat mengambil keputusan untuk menyelamatkan mereka.

Dia mengerahkan khi-kangnya dan berseru kepada mereka semua, "Saudara-saudara para pendekar. Cepat mundur dan melarikan diri ke tempat perahu cepat!"


Mendengar ini, para pendekar itu menjadi terkejut, akan tetapi mereka percaya sepenuhnya kepada bekas Panglima yang gagah perkasa itu. 


Maka setelah mendesak pihak Pulau Naga, mereka lalu melarikan diri ke pantai.

"Cepat naik perahu dan pergi meninggalkan pulau ini!"
kembali Thian Lee berseru nyaring. Tin Han dan Lee Cin juga sudah tiba di situ dan Tin Han segera mengerti akan maksud Thian Lee mengajak mereka mundur. 


Memang dari tempat tinggi dia dapat melihat pasukan pemerintah yang ratusan orang jumlahnya sedang menuju ke tengah pulau! Tin Han juga membantu Thian Lee berteriak- teriak memberi peringatan kepada mereka yang bertempur. 

Untung bahwa pihak Pulau Naga sudah terdesak sehingga ketika para pendekar melarikan diri, mereka tidak melakukan pengejaran. Ketika akhirnya pasukan pemerintah yang
datang membantu pihak Pulau Naga tiba di situ, para pendekar sudah tiba di pantai dan mereka mempergunakan perahu-perahu untuk melarikan diri.


Tin Han dan Lee Cin berada dalam satu perahu bersama.
Te-tok Kwi-bo dan puterinya, Siauw Leng Ci. Juga Song Thian Lee berada di situ. Tin Han dan Thian Lee berdua mendayung perahu itu cepat- cepat , bersama para pelarian yang lain, menuju ke daratan. 


Mereka berdua mengerahkan
tenaga sin- kang mereka sehingga sebentar saja mereka sudah tiba di pantai daratan. Mereka berlompatan keluar.


"Sungguh berbahaya sekali," kata Song Thian Lee.
"Mereka benar- benar telah menjadi antek penjajah Mancu dan telah bersekutu sehingga demikian cepat mendapat bala bantuan."


"Untung ada engkau yang pernah menjadi panglima , Song- sicu. Kalau tidak kita semua tentu akan terkurung di pulau itu dan tidak mudah meloloskan diri," kata Te-tok Kui-bo. 


"Akan tetapi mulai sekarang aku akan lebih gigih memimpin anak buahku untuk memusuhi pemerintah Mancu." "Sayang aku tidak dapat menangkap Ouw K wan Lok,"kata Tin Han penuh penyesal.

"Lain waktu masih banyak kesempatan, Han- ko," kata Lee Cin menghibur.
Te- tok Kui- bo mengerutkan alisnya melihat sikap mesra Lee Cin kepada Tin Han. "Cia Tin Han, kita harus menunggu sampai keluargamu tiba di sini. 


Aku tadi melihat mereka lengkap di pulau, kebetulan sekali karena aku segera akan membicarakan urusan perjodohanmu dengan Leng Ci!"

Ucapan ini dikeluarkan dengan nyaring sehingga terdengar oleh Lee Cin dan Thian Lee. Mendengar ini, Thian Lee terkejut. Dia tahu bahwa Tin Han dan Lee Cin saling
mencinta, akan tetapi mengapa ketua Te-tok-pang itu
berkata demikian, bicara tentang perjodohan Tin Han
dengan puterinya"


Lebih-lebih Lee Cin yang mendengar ucapan itu.
Wajahnya tiba tiba berubah pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Tin Han penuh pertanyaan. Wajah Tin Han berubah merah sekali.


"Aih, Lo- cian- pwe, sungguh saya belum memikirkan tentang perjodohan harap lo-cian-pwe jangan bicara tentang perjodohan. Saya belum siap untuk mengikatkan diri dengan perjodohan!"


"Apa katamu" Dulu engkau mengatakan bahwa urusan perjodohan tergantung dari orang tuamu, sekarang kenapa bicara begini?"


"Aku juga tidak tergesa-gesa menikah, Tin Han. Cukup kalau kita bertunangan lebih dulu," kata Siauw Leng Ci dengan polos. Wajah Tin Han menjadi semakin merah dan dia menjadi bingung sekali ketika melirik kepada Lee Cin dan melihat wajah gadis itu pucat dan matanya basah!


"Tidak ..... tidak, bertunanganpun tidak. Saya belum bersedia!" Jawahnya kukuh. Dia merasa menyesal mengapa ketika mereka bicara tentang perjodohan dulu, tidak ditolaknya saja dengan alasan bahwa dia telah mempunyai seorang calon.


Thian Lee memandang kepada Lee Cin dengan hati penuh iba. Diapun mendongkol sekali melihat sikap Tin Han yang dianggapnya tidak tegas itu. Karena dalam hatinya dia membela Lee Cin, diapun segera berkata dengan suara tegas.


"Saudara Cia Tin Han, seorang laki-laki haruslah bersikap tegas dan tidak mencla-mencle. Apa lagi dalam memutuskan urusan pernikahan yang akan mengikatmu selama hidup. Menghacurkan hati seorang gadis sungguh merupakan tindakan pengecut!"


Wajah Tin Han menjadi pucat mendengar ini. Dia dapat mengerti bahwa Song Thian Lee dahulunya seorang pemuda yang menjadi pilihan hati Lee Cin, akan tetapi karena Thian Lee sudah mencinta seorang gadis lain maka Lee Cin juga melepaskannya. 


Kemudian Lee Cin jatuh cinta kepadanya seperti juga dia mencinta gadis itu. Tentu saja dia memilih Lee Cin dari pada Leng Ci, akan tetapi dia sudah terlanjur mengatakan bahwa urusan perjodohan tergantung kepada orang tuanya!

"Lo-cian-pwe,"
katanya kepada Te-tok Kui- bo_ "sesungguhnyalah bahwa saat ini aku tidak mau bicara tentang perjodohan. Musuh besarku, Ouw Kwan Lok, belum dapat kutangkap untuk membersihkan nama baikku."

"Ah, itu mudah saja Tin Han. Setelah engkau menjadi calon mantuku, berarti engkau bukan orang lain.. Aku dan Leng Ci tentu akan membantumu sampai engkau dapat
membasmi Ouw Kwan Lok!"


Tin Han merasa terdesak dan pada saat itu, sebuah perahu mendarat dan kebetulan sekali penumpangnya
adalah keluarga Cia! Ketika isteri Cia Kun melihat Tin Han di situ, ia segera memanggil. 


"Tin Han.......... !"
Tin Han segera menghampiri dan ikut menarik perahu itu ke daratan. Keluarga itu tampak gembira melihat Tin Han dalam keadaan selamat pula.


Te-tok Kui-bo segera menghampiri mereka dan menegur keluarga itu. Dengan ramah ia lalu memanggil mereka. "Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok, apakah kalian sudah lupa
kepadaku?"


Melihat nenek bertongkat kepala naga ini tentu saja keluarga itu menjadi girang. Nenek ini adalah sahabat baik dari ibu mereka, bahkan watak mereka juga mirip.

"Bibi Siauw!" kata Cia Kun. Isterinya juga menghampiri dan mereka semua memberi hormat kepada nenek itu.

"Aduh, semua keluarga berkumpul kalau begini. Sayang sekali ibu kalian telah lebih dulu meninggal! 


Dan sayang sekali bahwa tadi kita tidak sempat membasmi para antek Mancu. Akan tetapi anak buahku merobohkan pihak lawan yang lumayan juga banyaknya, walaupun di pihak kami juga telah tewas belasan orang," kata nenek itu sambil memandang kepada anak-buahnya yang sudah berkumpul
semua tak jauh dari situ.

"Bibi Siauw sejak dahulu bersemangat besar sekali,"
memuji Cia Kun.
"Tentu saja. Eh, perkenalkan ini anak perempuanku bernama Siauw Leng Ci," katanya sambil menuding kepada gadis cantik itu. Keluarga Cia memandang heran karena setahu mereka nenek ini tidak mempunyai puteri, bahkan tidak pernah menikah dan sama sekali tidak mempunyai anak.


Agaknya Te-tok Kui-bo maklum akan keheranan mereka.
"Ia dahulunya adalah muridku yang kemudian kuangkat menjadi anakku sendiri."


"Ah, kiranya begitu?" kata Cia Kun dan baru mereka mengerti. "Kalau begitu kami mengucapkan selamat atas pengangkatan anak itu, bibi."

"Bukan cuma itu. Maksudku memperkenalkan adalah karena kami telah sepakat untuk menjodohkan Leng Ci ini dengan anak kalian, Cia Tin Han. Bukankah dengan demikian hubungan yang erat antara aku dan mendiang
Nenek Cia dapat dilanjutkan menjadi pertalian keluarga"


Dan kedua anak itu sendiri juga sudah menyetujuinya. "
Mendengar ini, ibu
Tin Han memandang
kepada puteranya. "Tin Han, benarkah bahwa engkau sudah menyetujui untuk dijodohkan dengan puteri Bibi Siauw"


Kalau engkau sudah setuju, kiranya kamipun tidak berkeberatan, bukankah begitu?" Ia menoleh kepada suaminya dan Cia Kim mengangguk.


"Kami akan senang sekali berbesan dengan bibi Siauw yang dahulu menjadi rekan dan sahabat baik ibu kami.


Bagaimana, Tin Han?"
Song Thian Lee memandang kepada Lee Cin yang menundukkan mukanya dengan wajah pucat. Dia merasa kasihan sekali dan juga penasaran terhadap Tin Han. 


Akan tetapi keluarga itu sedang bercakap-cakap dengan asyik, tentu saja sebagai orang luar dia tidak berani mencampuri.

Sementara itu, Tin Han memandang kepada ayah ibunya dengan muka merah.
"Ayah dan ibu, sesungguhnya aku tidak pernah menyatakan setuju dengan usul perjodohan itu. Aku hanya mengatakan bahwa aku akan memberitahukan dulu-kepada orang tuaku."


"Dan sekarang ayah ibumu dan kedua pamanmu sudah setuju!?" tukas Tet ok Kui-bo.

Tin Han menggigit bibirnya. Dia harus mengambil keputusan sekarang. Dia lalu memegang tangan Lee Cin, ditariknya gadis itu menghadap ayah ibunya dan dengan lantang dia berkata, "Ayah dan ibu, aku telah mendapatkan pilihan hati sendiri. 

Nona Souw Lee Cin inilah yang akan menjadi isteriku!"
Cia Kun dan isterinya terbelalak. Mereka tidak menyangka bahwa Tin Han jatuh cinta kepada Lee Cin, gadis yang pernah menjadi tamu mereka akan tetapi juga pernah menjadi musuh dan tawanan mereka itu. 


Biarpun dulu pernah mendengar bahwa Lee Cin puteri beng-cu Souw Tek Bun, ibu Tin Han bertanya lagi untuk meyakinkan.
"Puteri siapakah ia?""


"Ibu, ayahnya adalah seorang pendekar besar, bekas beng-cu Souw Tek Bun yang terkenal itu!" kata Tin Han bangga."Dan ibunya?"

"Ibunya tidak kalah terkenalnya sebagai seorang wanita sakti berjuluk Ang-tok Mo-li!"

"Apa......... ?" Wajah Cia Kun penuh kerut merut mendengar nama ini. "Ang-,tok Mo-li datuk sesat itu" Ang-tok Mo-li adalah musuh besar mendiang nenekmu!"


"Heh-heh-heh, puteri Ang-tok Moli" Sepatutnya engkau membunuh puteri datuk itu, Tin Han. Puterinya adalah musuhmu juga karena sejak dahulu Ang-tok Mo-li memusuhi Keluarga Cia!" kata Te-tok Kui-bo.

"Akan tetapi, ibu, sekarang Ang-tok Mo-li telah mengundurkan diri, telah kembali sebagai isteri pendekar Souw Tek Bun dan tinggal di Hong-san", bantah Tin Han.

"Tidak! Engkau tidak boleh menikah dengan puteri Ang-tok Mo-li!" bentak Cia Kim.


"Benar, Tin Han. Aku tidak rela kalau engkau menikah dengan puteri Ang-tok Mo-li. Tahukah engkau bahwa dahulu Ang-tok Mo-li dalam sebuah perkelahian hampir saja
membunuh nenekmu" Tidak, akupun tidak setuju kalau
engkau berjodoh dengan puterinya!"

Lee Cin terbelalak dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba dara itu merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Tin Han dan iapun berkata dengan suara lantang penuh ke marahan. 

"Akupun tidak sudi berjodoh dengan putera keluarga Cia! Kita akan tetap menjadi musuh!" Setelah berkata demikian, Lee Cin melompat dari situ dan melarikan diri dengan cepat sekali.

"Cin- moi......... l!" Tin Han berseru dan diapun segera meloncat dan lari mengejar.


Melihat ini, diam-diam Song Thian Lee menghela napas panjang dan diapun pergi dari situ tanpa pamit. 


Bukan urusannya, pikirnya, dan dia tidak boleh mencampuri
walaupun dia merasa amat iba kepada kedua orang muda itu.

Te-tok Kui-bo juga segera memimpin orang-orangnya untuk pergi dari situ setelah pinangannya diterima oleh Keluarga Cia. Mereka tidak boleh tinggal terlalu lama di situ karena pasukan pemerintah yang mengejar tentu segera tiba di situ.


Para pendekar lainnya juga sudah melarikan diri cerai-berai dan sejak hari itu, para pendekar tentu saja tidak mengakui Ouw Kwan Lok sebagai bengcu, bahkan tahu
bahwa beng-cu baru itu rnenjadi kaki tangan penjajah Mancu.



          **********


Lee Cin berlari cepat sekali, mengerahkan seluruh ginkangnya sehingga ia berlari sangat cepat, memasuki sebuah hutan lebat dan berhenti lalu menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon dan menangis sesenggukan. 


Ia merasa jantungnya perih, hatinya sakit sekali. Orang tua Tin Han, di depannya, telah menampik ia sebagai jodoh Tin Han,
menjelek-jelekkan ibu kandungnya. Ia merasa hancur hatinya, dan melihat betapa harapannya untuk menjadi isteri Tin Han lenyap sama sekali. 


Ibu kandungnya sendiri tidak setuju kalau ia menjadi isteri Tin Han. Halangan yang satu inipun belum dapat mereka lampaui, sekarang
ditambah lagi penolakan dari pihak orang tua Tin Han.


Ia mengepal tinju dan beberapa kali memukuli tanah di depannya. Ia harus membenci Tin Han, harus melupakan pemuda itu. Akan tetapi bagaimana mungkin" Tin Han
demikian baik kepadanya, tidak ada sikap Tin Han yang menyakitkan hatinya, selalu menyenangkan dan ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu. 


Akan tetapi bagaimana mungkin mereka dapat berjodoh" Ibunya sendiri tidak setuju dan dahulu pernah mengusir Tin Han dan
sekarang orang tua Tin Han bahkan tidak setuju menerimanya dan menganggap ia sebagai puteri seorang musuh besar.


Aduh, rasa perih membuat ia mengeluh. Jantungnya seperti tertusuk pedang. Apa lagi kalau ia mengingat betapa Tin Han agaknya akan dijodohkan dengan puteri nenek yang galak itu. 


Mengingat itu semua, Lee Cin merasa betapa dadanya nyeri dan akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan.

Ia tidak sadarkan diri sampai lama dan ia sama sekali tidak tahu bahwa tak lama kemudian setelah ia roboh
pingsan, seorang kakek tinggi kurus berpakaian hitam putih dengan gambar Im yang di dadanya menghampirinya. 


Kakek ini bukan lain adalah Thian-te Mo-ong Koan Ek! Setelah para pendekar melarikan diri dari Pulau Naga, kakek inipun ikut melakukan pengejaran dan dia tiba di hutan itu seorang diri, terpisah dari kawan- kawannya yang semua melakukan
pengejaran dibantu oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.

Begitu melihat Lee Cin, sepasang matanya bersinar- sinar karena dia mengenal gadis itu sebagai musuh besar sejak dulu Lee Cin bersama Thian Lee menentang pemberontakan Pangeran Tua. 

Melihat Lee Cin pingsan di bawah pohon itu, Thian- te Mo- ong cepat mengeluarkan sehelai sabuk sutera dan mengikat kedua tangan Lee Cin ke belakang. 

Kemudian, sambil terkekeh girang dia memanggul tubuh Lee Cin,hendak dibawanya pergi ke Pulau Naga dan diserahkan
kepada Ouw Kwan Lok karena dia tahu bahwa Ouw Kwan Lok amat memusuhi gadis ini sebagai seorang di antara musuh- musuh besarnya. 


Bahkan dia tahu pula bahwa yang membuntungi lengan Ouw Kwan Lok adalah gadis ini!
Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan gagah dan seorang gadis.


Mereka ini bukan lain adalah Thio Hui San murid In Kong Thai- su dari Siauw- lim- pai dan gadis itu adalah Liu Ceng murid Thian- tok Gu Kiat Seng. 


Tentu saja mereka segera mengenal gadis yang dipanggul oleh Thian- te Mo- ong maka tanpa banyak cakap lagi Hui San dan Ceng Ceng sudah
menyerang kakek itu dari kanan kiri. 


Hui San menggunakan pedang sedangkan Ceng Ceng memegang sebatang pedang dan sebatang kebutan bulu merah.

Serangan kedua orang muda ini berbahaya sekali, karena keduanya adalah murid- murid orang pandai. Andaikata mereka itu maju satu demi satu, kiranya masih bukan
tandingan Thian- te Mo- ong. 


Akan tetapi karena mereka maju bersama dan dapat bekerja sama dengan kompak sekali, Thian-te Mo-ong cepat mengelak ke sana sini untuk menghindarkan diri dari gulungan sinar pedang dan
kebutan. 


Tentu saja gerakanriya tidak leluasa karena ia memanggul tubuh Lee Cin. Maka sekali dia menggerakkan pundak, tubuh Lee Cin terlempar ke atas tanah dan terguling-guling.
Kemudian Thian- te Mo-ong mencabut sepasang pedangnya dan melawan pengeroyokan kedua orang itu dengan marah sekali. 

Dia tidak mengenal kedua orang itu, akan tetapi tahu bahwa mereka itu masuk dua orang yang tadi bertempur di pihak para pendekar.
"Bocah- bocah yang sudah bosan hidup! Hari ini kalian akan mampus di tanganku!" bentaknya dan dia memutar kedua pedangnya sedemikian rupa sehingga tampak dua gulungan sinar yang menyilaukan mata. 

Maklum betapa lihainya kakek itu, Thio Hui San dan Ceng Ceng bersilat dengan hati- hati dan saling melindungi.






Sementara itu, Lee Cin yang sudah dilempar dan jatuh bergulingan di atas tanah, melihat kesempatan baik untuk meloloskan dirinya. 

Tadi ketika masih di panggul, tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri karena kalau ia berusaha memutuskan ikatan tangannya, tentu Thian- te Mo-ong akan mencegahnya. 

Sekarang, setelah ia dilempar ke 
atas tanah, ia bebas untuk melakukan gerakan tubuhnya. Ia mengerahkan sinkangnya sekuat tenaga. 


Ikatan itu kuat dan kain sutera itu dapat mulur, akan tetapi berkat tenaganya yang terpusat dan kuat sekali, ketika tali itu agak mulur ia dapat merenggut lepas tali pengikat itu dan sebentar kemudian iapun sudah terbebas dari ikatan! 

Ia merasa girang bahwa kakek itu tidak merampas Ang-coa- kiam yang masih melingkari pinggangnya sebagai sabuk. Ia cepat mencabut pedang itu dan sekali meloncat ia sudah menerjang Thian-te Mo-ong dengan kemarahan meluap-luap.
"Hiiiiaaaaatttt.........
singg.....!" Sinar pedang berwarna
merah itu meluncur dan menyerang ke arah dada Thian-te Mo-ong yang menjadi terkejut bukan main. 


Cepat ia menggerakkan pedang kirinya menangkis serangan yang
amat cepat dan kuat datangnya itu sambil melompat mundur. 


"Cringgggg. ..... !" Pedang di tangan kiri Thian-te Mo-ong hampir terlepas dari pegangan, demikian kuatnya serangan Lee Cin.

"Thian-te Mo- ong jahanam tua bangka busuk, bersiaplah engkau untuk mampus!" teriak Lee Cin sambil menyerang lagi susul- menyusul.


Dikeroyok oleh tiga orang itu, tentu saja Thian- te Moong menjadi kewalahan. Melawan Lee Cin seorang diri saja agaknya baru berimbang, apa lagi kini dikeroyok oleh Hui San dan Ceng-Ceng, dia terdesak hebat dan kedua pedangnya hanya mampu menangkis saja, tidak sempat lagi membalas serangan tiga orang pengeroyoknya.


Mulai paniklah rasa hati Thian-te Mo-ong Koan Ek dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. 


Akan tetapi ketika pedang kirinya menangkis pedang di tangan Hui San, tiba- tiba Lee Cin membacokkan pedang Ang-coa-kiam ke arah pedangnya itu sehingga tenaga lawan yang bersatu itu terlampau kuat baginya. dan pedang di tangan 
kirinya terpental dan terlepas dari pegangan. 


Cepat dia menarik kembali tangan kirinya yang terancam Ang- coa-kiam. Kalau tidak cepat- cepat dia menarik kembali tangannya itu tentu telah putus disambar Ang- coa- kiam!
Setelah pedang kirinya terjatuh, Thian- te Mo-ong melakukan pukulan dengan tangan kiri itu, jari- jari tangannya terbuka dan dari telapak tangannya itu menyambar uap putih yang amat dingin ke arah dada Hui San.

"Awas, mundur!" teriak Lee Cin dan ia masih sempat mendorong Hui San sehingga terdorong mundur dan
terbebas dari pukulan maut itu. 


Thian-te Mo-ong ternyata memukul dengan Pek-swat Tok- ciang (Tangan Beracun Salju Putih) yang tidak kalah berbahayanya dengan pedangnya yang sudah terlepas tadi.
Melihat pukulannya gagal, Thian- te Mo-ong mengamuk dengan pedang kanannya, dan tangan kirinya kadang melakukan pukulan beracun dan beruap putih itu.
Kini Thio Hui San maklum akan bahayanya pukulan tangan kiri itu, maka kalau pukulan itu datang dia
melawannya dengan It-yang-ci! Hal ini memang tepat sekali karena dengan It-yang-ci yang kuat, dia mampu menghadapi Pekswat Tok-ciang, bahkan dapat menotok ke arah telapak tangan itu. 

Perlawanan dengan It -yang-ci yang dilakukan Hui San dan Lee Cin membuat Thian- to Mo-ong semakin terdesak, apalagi kebutan dan pedang Ceng Ceng juga merupakan ancaman maut baginya.


Setelah dengan nekat melakukan perlawanan terhadap tiga orang itu sampai seratus jurus, akhirnya Thian-te Moong tidak kuat lagi dan sambil memben`tak nyaring diapun membalikkan tubuhriya dan hendak melarikan diri.

"Hyaaatttt......... !" Lee Cin membentak dan pedang Ang-coa-kiam meluncur lepas dari tangannya, bagaikan anak panah dan tanpa dapat di hindarkan lagi, pedang itu menancap dan menembus punggung Thian- te Mo-ong.


"Aughhhhh.......... !" Thian- te Mo-ong
terhuyung kemudian jatuh tersungkur dan tertelungkup, tewas seketika karena Ang-coa-kiam telah menembus jantungnya! Lee Cin menghampiri mayat yang menelungkup itu, mencabut pedang Ang- coa- kiam dan membersihkan pedang itu pada pakaian Thian- te Mo-ong. 


"Adik Le Cin......... !"
Ceng Ceng menghampiri gadis "Untung engkau dapat merobohkannya dan dia tidak sampai melarikan diri."


Lee Cin memakai lagi pedangnya sebagai sabuk dan tersenyum kepada Ceng Ceng. "Aku yang beruntung karena mendapat pertolongan kalian selagi aku tidak berdaya."


"Cin- moi, bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang jahat ini?"" tanya Hui San sambil memandang wajah gadis yang pernah merebut hatinya itu.


"Aku......... agaknya aku sedang ketiduran karena telah di bawah pohon ketika dia datang dan tiba- tiba saja menguasai diriku. Aku tidak sempat melawan. 


Untung engkau datang, San- ko. Terima kasih kepada engkau dan enci Ceng."

"Aihh, tidak ada yang harus berterima kasih, adik Cin.
Kalau engkau tadi tidak cepat membantu, mungkin kami berdua sudah roboh oleh kakek yang lihai itu," kata Ceng Ceng sambil tersenyum.


"Sekarang kalian hendak ke mama?" Lee Cin bertanya, diam- diam merasa gembira bahwa Thio Hui San dan Ceng Ceng tampak demikian akrab.

"Kami hendak menyingkirkan diri karena kami tentu juga menjadi buruan pasukan Mancu. Akan tetapi lebih dulu aku harus mengubur jenazah ini," kata Hui San.

"Hemm, orang jahat seperti dia tidak pantas untuk kita menyusahkan diri mengubur jenazahnya," kata Lee Cin sambil mengerutkan alisnya. Ia tahu benar akan kejahatan yang dilakukan Thian- te Mo-ong.


"Tidak bisa......... demikian,......... Cin- moi. Sebagai murid Sian-lim-pai aku harus dapat memaafkan segala
kesalahan orang yang sudah mati. 


Jenazah ini berhak mendapat perawatan yang baik, pula akan tidak sehatlah kalau dia dibiarkan membusuk di sini."

Lee Cin menghela napas panjang.
Pemuda ini memang seorang yang berbudi mulia, seperti juga halnya Song Thian Lee. Iapun teringat kepada Tin Han dan hatinya terasa nyeri seperti ditusuk duri. 


Tin Han juga seorang pemuda yang amat baik, dan tentu akan bersikap seperti Hui San ini. Akan tetapi, terdapat celah selebar langit antara ia dan Tin Han. 

Ibu kandungnya tidak setuju kalau ia berjodoh dengan Tin Han dan sekarang orang tua pemuda itu yang tidak setuju kalau putera mereka berjodoh dengannya! Adakah lagi halangan yang lebih besar dari pada itu"

Biarpun tadi mencela, melihat Hui San dan Ceng Ceng menggali lubang kuburan, Lee Cin tidak dapat tinggal diam dan membantu mereka. 


Kemudian, setelah lubang itu cukup dalam dan lebar, Hui San mengangkat jenazah Thian to Moong dan menguburnya secara sederhana.
"Sekarang kalian hendak pergi ke manakah?" tanya Lee Cin kepada mereka.

"Kami hendak pulang ke rumah paman Souw Can di Pao-ting," kata Ceng Ceng dengan nada suara gembira.


"Atas nasihat Paman Souw Can, kami akan melangsungkan pernikahan kami di sana, berbareng dengan pernikahan antara adik Souw Hwe Li dan Lai Song Ek,"sambung Thio Hui San dengan wajah gembira pula.

"Ah, khong- hi (selamat) kalau begitu! Mudah-mudahan kalian akan, dapat hidup bahagia," kata Lee Cin dan suaranya agak terharu karena ia teringat akan nasib dirinya.


"Terima kasih, adik Lee Cin," kata Ceng Ceng sambil merangkulnya. "Kalau sudah tiba saatnya, kami harap engkau akan dapat hadiri dan minum arak pengantin."


Lee Cin balas merangkul. "Engkau seorang gadis yang baik sekali, enci Ceng. Engkau berhak untuk hidup
berbahagia. "


"Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah, Cin- moi?" tanya Hui San, sambil memandang dengan perasaan iba.


Dia tahu bahwa Lee Cin dahulu mencinta Thian Lee yang menikah dengan gadis lain.



"Aku" Ah, aku akan merantau sambil mencari Ouw Kwan Lok. Hatiku belum merasa puas kalau belum dapat membunuh jahanam busuk itu. Dia telah menyerang dan
melukai ibuku."


"Berhati-hatilah, Cin- moi, orang itu lihai bukan main biarpun lengan kini nya sudah buntung," kata Hui San.


"Aku akan berhati- hati, San- ko. Nah, selamat tinggal, aku pergi dulu!"



"Selamat berpisah, adik Cin!" Ceng Ceng dan Hui San melambaikan tangan ke arah perginya Lee Cin yang sudah menggunakan ilmunya melompat jauh pergi dari tempat itu.
Hui San lalu pergi juga dari situ tersama Ceng Ceng.


Mereka pergi sambil bergandeng tangan dengan penuh kemesraan. 
      
"Cin moi......... !" Tin Han mengejar sambil memanggil-manggil, akan tetapi Lee Cin sudah tidak tampak lagi berada di mana. Dengan hati hancur Tin Han lalu kembali kepada orang tuanya, alisnya berkerut dan pandang matanya marah.


          **********

 
"Sudahlah, Tin Han. Tidak perlu kau perdulikan gadis puteri Ang-tok Mo li itu. 


Ibunya seorang jahat, anaknya tentu juga jahat pula. Ini Leng Ci berada di sini!" kata Te-tok Kui-bo.

Dengan hati panas Tin Han lalu berkata kepada nenek,"Lo-cian-pwe, kalau Io-cian-pwe mengira bahwa aku suka menjadi mantumu, pendapat itu keliru sama sekali. 


Aku tidak akan pernah mau menjadi suami adik Leng Ci atau suami siapapun juga, kecuali suami adik Lee Cin!"

"Tin Han. !" Nenek itu berseru sambil membelalakkan matanya. Biasanya Tin Han begitu lembut dan menurut
kata-katanya. "Akan tetapi kami semua sudah sepakat untuk mengikat tali perjocohan itu!"


"Masa bodoh! Siapa yang mengikat tali perjodohan itu boleh menikah. Akan tetapi aku tidak! Lo-cian-pwe sendiri yang menghendaki pernikahan itu, aku belum pernah
menyatakan setuju orang hendak memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta?"


"Tin Han Engkau tidak.........
tidak cinta kepadaku?"
Leng Ci berseru dan wajahnya hampir menangis.


Tin Han menjadi kasihan juga. "Leng Ci, kita hanya sahabat biasa. Aku tidak pernah mencinta gadis lain kecuali Lee Cin. Kuharap kelak engkau akan menemukan jodohmu dengan baik."


"Tin engkau menghancurkar harapanku. Engkau berani menampik puteriku!"
"Lo-cian-pwe
yang memaksa-maksa. Sekarang aku menyatakan tidak mau menjadi mantumu!'


"Tin Han...........!!"
Ayah dan ibunya berseru dan menegur. Kini Tin Han memandang kepada ayah dan ibunya pandang matanya penuh penyesalan. "Ayah dan ibu sudah menolak dan menghina hati Lee Cin, apakah sekarang aku harus mentaatimu menikah dengan orang lain yang sama sekali tidak kucinta" Tidak, ayah dan ibu. 


Sekali ini aku tidak akan menuruti kata-katamu. Yang hendak menikah adalah aku, bukan ayah dan ibu. Pernikahan menyangkut kehidupanku selamanya, bagaimana hal itu harus ditentukan oleh orang lain?"

"Akan tetapi ibunya adalah Ang-tok Mo-li musuh besar nenekmu dan seorang datuk sesat yang jahat!' seru ibunya.


"Ibu, maafkan. Aku bukan hendak menikah dengan ibunya, melainkan dengan anaknya dan Lee Cin adalah
seorang gadis berwatak pendekar, bukan golongan sesat."


"Tin Han, kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku!" Te-tok Kui-bo berteriak dan menggerakkan tongkatrya. "Kami semua telah mengambil keputusan, engkau tidak bisa seenaknya saja membatalkan! Ataukah engkau berani menentangku?"


"Terserah kepadamu, Te-tok Kui-bo' kata Tin Han dengan jengkel. "Aku tidak menentang siapa-siapa, akan tetapi akupun tidak sudi dipaksa menikah dengan siapapun juga.
Tidak pula olehmu!"


"Keparat!" Te-tok Kiu-bo menerjang dengan tongkat naganya. Akan tetapi Tin Han sudah marah sekali. Dia mengelak dan sekali kedua tangannya bergerak, dia sudah menangkap tongkat itu dengan tangan kanannya dan tangan kirinya menotok.

"Brett.........!" Tongkat itu sudah berpindah ke tangannya dan sekali dia menekuk dengan kedua tangan, tongkat itupun patah menjadi dua dan dilemparkannya ke atas tanah dengan bantingan.


"Ayah, ibu, aku pergi!' katanya dan dengan isak tertahan dia lalu melompat jauh lari dari tempat itu.

Semua orang terkejut bukan main. Tidak pernah mengira bahwa Tin Han sehebat itu kepandaiannya. 

Nenek Te-tok Kui-bo uring-uringan, lalu mengajak puterinya dan semua anak buahnya pergi dari situ.

Cia Kun dan isterinya saling pandang dengan Cia Hok dan Cia Bhok. Isteri Cia Kun mengalirkan air mata dan diusapnya air matanya itu, lalu berkata kepada suamimya,
"Tin Han marah sekali. Ke mana kita harus mencarinya?"


Cia Kun mengerutkan alisnya. "Sepatutnya dia ibu bersikap seperti itu. Kenapa dia memaksakan diri" Aku yakin kalau Ang-tok Mo-li tahu bahwa dia cucu Nenek Cia, iapun tidak akan menyetujui puterinya menikah dengan Tin Han.."


Cia Hok menghela napas panjang. "Sebetulnya kalian juga salah, memaksanya seperti itu untuk menikah dengan gadis yang tidak dicintanya. 


Memang baik sekali kalau dia mau menikah dengan puteri Te-tok Kui-bo yang dahulu menjadi sahabat baik ibu, dan sama-sama berjiwa patriot.
Akan tetapi orang muda sekarang lebih suka memilih calon isterinya sendiri. Pula, kita harus ingat bahwa Nona Souw Lee Cin juga seorang yang gagah perkasa. 

Memang sayang kebetulan ia adalah puteri Ang-tok Mo-li, akan tetapi siapa tahu sekarang Ang-tok Mo-li sudah bertaubat dan tidak menjadi tokoh sesat lagi."

Cia Bhok berkata, "Segala sesuatu telah terjadi. Tin Han telah pergi dan tidak akan mudah mencarinya. Anak itu kini telah menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Biarkanlah dia menentukan sendiri tentang perjodohannya,jodoh berada di tangan Tuhan. Kalau memang dia berjodoh dengan Nona Souw Lei Cin, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya, sebaliknya kalau nona itu bukan jodohnya, tentu dia akan gagal memperisterinya. 


Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing berpencar dan bersembunyi karena pasukan pemerintah tentu akan mencari kita pula dan dianggap pemberontak."

Semua menyatakan setuju dan mereka pun berpencar mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri dari pengejaran pasukan pemerintah yang bekerja-sama dengan golongan sesat dari dunia kang-ouw.


Tin Han merasa dadanya akan meledak. Kemarahan memenuhi dadanya kalau dia ingat betapa orang-orang tua itu hendak memaksa dia menikah dengan Leng Ci, apa lagi kalau mengingat betapa ayah ibunya telah menolak dan menghina Lee Cin. 


Dia dapat membayangkan betapa sakit dan hancurnya hati kekasihnya karena diapun pernah mengalami ditolak dan dihina oleh ibu gadis itu. 

Akan tetapi siapapun yang merintangi perjodohannya dengan Lee Cin, akan ditantangnya. Yang penting adalah dia dan Lee Cin sendiri!

"Cin-moi, kasihan engkau.........!" Dia mengeluh sambil berlari terus. Kemudian dia teringat akan perbuatan Ouw Kwan Lok kepadanya. 


Jahanam telah memalsukan namanya melakukan banyak pembunuhan untuk mencemarkan namanya. Dia merasa menyesal tidak dapat membunuh orang yang diakuiya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, setingkat dengan dirinya.

"Aku harus mencarinya dan menemukannya!" bisiknya kepada diri sendiri.


Kemudian dia berhenti berlari. Kenapa dia harus mencari jauh-jauh" Dia yakin bahwa Ouw Kwan Lok masih berada di Pulau Naga, bersembunyi di sana. 


Sekarang, semua pasukan dan orang-orang sesat sedang mengadakan pemburuan terhadap para pendekar. 

Pulau Naga tentu ditinggalkan dan siapa tahu Ouw Kwan Lok masih berada di sana! Dia tentu tidak akan menyangka akan ada orang yang berani datang ke Pulau Naga lagi dan enak- enak saja bersembunyi di situ.
Siapa tahu dugaannya benar dan dengan pikiran ini Tin Han lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi berkunjung ke Pulau Naga lagi!

     **********


Lee Cin berjalan seorang diri tanpa tujuan. Ia sendiri bingung harus pergi ke mana. Perpisahannya dengan Tin Han membuat semangatnya menjadi lemah dan segala tampak tidak menyenangkan. 

Satu- satunya tujuan hidupnya kini mencari Ouw Kwan Lok, orang yang selain pernah menyerang dan melukai ibunya, juga telah menjelek-jelekkan nama Hek-tiauw Eng- hiong atau Tin Han kekasihnya. 

Biarlah ia melakukan sesuatu yang terakhir, yaitu membela nama baik Tin Han. Ia tidak dapat membenci Tin Han karena sikap orang tuanya, karena ia sendiri juga merasa bahwa ibunyapun bersikap seperti itu terhadap Tin Han. 

Tidak, ia tidak membenci Tin Han. Ia tetap mencinta pemuda itu dan ingin membelanya. Walaupun agaknya ia tidak mungkin dapat berjodoh dengan Tin Han, setidaknya ia dapat mencintanya saampai mati.

Selagi ia berjalan keluar masuk hutan, tiba-tiba tampak tiga bayangan orang berkelebat dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa mereka bukan lain adalah musuh- musuh lamanya, yaitu Yauw Seng Kim, Ban- tok Mo-li dan yang seorang lagi adalah Ma Huai, anak buah Ouw Kwan Lok!


Maklum bahwa ia menghadapi musuh dan lawan tangguh,Lee Cin sudah mengeluarkan Ang-coa- kiam dan berdiri dengan pedang melintang depan dada dan keadaan siap siaga! 


Yauw Seng Kull tertawa. "Ha- ha- ha, kiranya nona Souw Lee Cin yang manis berada di sini! Sungguh kebetulan sekali. Kami memang sedang mencari-carimu."


Ban- tok Mo-li yang merasa cemburu karena tampaknya Yauw Seng Kim masih selalu tergila-gila kepada gadis itu segera membentak , "Souw Lee Cin. Menyerahlah menjadi tawanan
kami sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan untuk membunuhmu!' Ia sudah mencabut
pedangnya yang beracun. Yauw Seng Kun juga sudah mencabut senjatanya. Lee Cin diikepung segi tiga. Namun, Lee Cin sama sekali tidak merasa gentar. Tanpa berkedip dan tanpa menggerakkan tubuhnya ia membentak.


"Tiga ekor anjing Mancu, majulah! Siapa takut kepada kaliari?"
Melihat sikap dan mendengar bentakan ini, Ban-tok Mo-li lain berseru, "Serbu !!!"


Ia sendiri sudah menusukkan pedangnya yang beracun ke arah dada Lee Cin. Gadis itu tidak mengelak, melainkan menggetarkan pedangnya menangkis.


"Trangg......... !" Pedang di tangan Ban- tok Mo-li terpental dan wanita itu terkejut bukan main, cepat meloncat ke belakang agar pedangnya tidak sampai terlepas dari tangannya. 


Pada saat itu, Ma Huan sudah membabatkan goloknya ke arah kedua kaki Lee Cin. Gadis ini melompat ke atas dan mengelebatkan pedangnya ke belakang karena pada saat itu, tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kun telah menotoknya.
"Trakk!" Tongkat itu telah tertangkis, akan tetapi pedang Ban- tok Mo-li kembali mendesak dengan bacokan ke arah kepala. Lee Cin mengelak ke samping lain memutar pedangnya untuk membalas serangan tiga orang pengeroyoknya sehingga mereka bertiga terpaksa melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari gulungan sinar pedang merah yang amat berbahaya itu.

Kalau tiga orang itu maju satu demi satu, jelas mereka bukan lawan Lee Cin. Akan tetapi karena mereka bertiga maju mengeroyok, hal ini membuat Lee Cin kewalahan juga.

Hujan serangan menyerangnya dan terpaksa ia harus memutar pedang melindungi tubuhnya. Pedang itu seolah menjadi gulungan sinar yang membalut dirinya, menjadi perisai sehingga serangan ketiga orang itu dapat tertangkis semua.

Tiba-tiba Ban- Moli mengeluarkan saputangan merah dan mengebutkan saputangan itu ke arah Lee Cin. 


Debu merah mengepul. Akan tetapi Lee Cin sudah tahu akan
bahayanya racun yang dipergunakan Ban-tok Mo-li, maka ia menahan napas dan melompat mundur beberapa langkah sehingga tidak terkena racun itu. 


Tiga orang pengeroyoknya mengejar dan kembali ia terkurung.
Perlahan akan tetapi tentu Lee Cin mulai terdesak.


Tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kim sudah sempat menotok pundaknya. Akan tetapi ia masih sempat memiringkan pundak itu sehingga totokan itu tidak telak dan hanya membuat tubuhnya tergetar sedikit. 


Ayunan pedangnya menyelamatkannya karena Yauw Seng Kun tidak lagi mampu mendesaknya. Biarpun demikian, kini Lee Cin bersilat dengan hati-hati dan ia lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang.

Pada suatu kesempatan, selagi terdesak, kaki Lee Cin mencuat dan mergenai perut Ma Huan sehingga orang bergolok ini mengaduh dan terhuyung ke belakang. 


Akan tetapi dua orang kawannya segera mendesak lagi sehingga Lee Cin kembali harus memutar tubuhnya dan pedangnya menjadi
semacam baling-baling yang berputar rapat melindungi dirinya.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Adik Lee Cin, jangan khawatir, kami datang membantumu!"


Bukan main girangnya hati Lee Cin ketika melihat bahwa yang datang adalah Tan Cin Lan dan Song Thian Lee!


Sepasang suami isteri perkasa ini telah datang dan segera menyerbu membantunya. Tan Cin Lan yang memegang sebatang tongkat sudah menerjang dan membuat Ma Huan terdesak ke belakang. 


Song Thian Lee menggunakan pedang Jit-goat-kiam yang digerakkan secara dahsyat membuat Yauw Seng Kun terhuyung ke belakang. 

Kini tinggal Ban-tok Mo-li seorang yang melawan Lee Cin dan sebentar saja wanita itu tidak dapat menahan gerakan pedang Ang-coa-kiam.
Setelah sepasang suami isteri itu datang membantu,tidak sampai tigapuluh jurus saja tiga orang lawan itu roboh satu demi satu. Ma Huan roboh tertotok tongkat yang mengenai  ulu hatinya dan dia roboh untuk tidak dapat bangkit kembali. 

Ban-tok Mo-li tertembus dadanya oleh Ang-coa-kiam dan iapun tewas seketika, sedangkan Yauw Seng Kun,
biarpun sudah mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya, akhirnya roboh dengan leher nyaris putus oleh pedang Jit goat-kiam di tangan Song Thian Lee!


Setelah tiga orang lawan itu tewas, Lee Cin merangkul Cin Lan "Ah, untung engkau datang, enci Cin Lan!" katanya girang.


"Andaikata kami tidak datang sekalipun belum tentu tiga ekor anjing ini akan dapat mengalahkanmu."


"Lee-ko, bagaimana secara kebetulan kalian dapat muncul di sini" Bukankah ketika melarikan diri dari Pulau Naga, engkau seorang diri tanpa adanya enci Cin Lan?"


Thian Lee menghela papas panjang. "Biar kukubur dulu tiga jenazah ini dan engkau dapat mendengar peristiwa yang menimpa diri kami dari encimu."

Thian Lee membuat lubang untuk ke tiga mayat itu dan Cin Lan mengajak Lee Cin ke bawah sebatang pohon besar lalu bercerita.


Kiranya ketika suaminya tidak berada di rumah, ikut mencari orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong, Cin Lan tinggal berdua saja dengan puteranya yang baru berusia tiga tahun, Song Hong San. 


Pada suatu sore, ketika Cin Lan sedang berada di taman bersama puteranya yang bermain-main merigejar kupu- kupu di antara bunga-bunga yang sedang mekar, muncul tiga orang yang mencurigakan hatinya. Yang seorang masih muda dan tampan, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku.
Orang kedua adalah seorang berusia limapuluh tahun lebih yang tubuhnya tinggi besar dan serba bundar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Adapun orang ketiga adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun lebih akan tetapi tubuhnya tinggi kurus dan mukanya kuning seperti berpenyakitan dan matanya sipit seperti terpejam. 

Mereka itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok, Hek- bin Mo- ko dan Sin- ciang Mo-ko.
Sebetulnya maksud kunjungan tiga orang tokoh besar dari Pulau Naga ini adalah untuk mencari Song Thian Lee dan mengeroyoknya karena pendekar itu telah melukai Siang Koan Bhok. Akan tetapi ketika tiba di taman itu, mereka hanya mendapatkan isteri pendekar itu bersama puteranya.


Tan Cin Lan segera merasa curiga. Ia bangkit berdiri dan menghadapi mereka dengan pandang mata tajam penuh selidik. "Siapakah kalian dan ada keperluan apakah kalian datang memasuki taman bunga kami?" 


Wanita ini sama sekali tidak merasa gentar dan tangannya sudah meraih sebatang tongkat yang tadinya bersandar di bangku tempat ia duduk.

Ouw Kwan Lok menyeringai melihat wanita yang cantik jelita itu. "Kami datang untuk mencari Song Thian Lee.
Panggil dia keluar."


"Suamiku tidak berada di rumah-! Kalau kalian ada urusan boleh disampaikan kepadaku saja," kata Cin Lan dengan sinar mata masih penuh selidik dan kecurigaan.

Ouw Kwan Lok memandang kepada Cin Lan, lalu melirik kepada Song Hong San yang masih bermain- main mengejar kupu- kupu. "Dia itu anak mukah?" tanyanya.

Cin Lan masih khawatir dan melangkah hendak mendekati puteranya. Akan tetapi Ouw Kwan Lok menghadangnya dan berkata, 


"Kalau suamimu tidak ada, biarlah kami membawa anakmu dan kelak dia boleh mencari kami!" Setelah berkata demikian, Ouw Kwan Lok memberi isyarat, kepada kedua orang temannya.

Hek-bin Mo-ko yang tinggi besar melompat maju dan menggerakkan ruyung berdurinya, sedangkan Sin-ciang Mokai juga menggerakkan tongkatnya yang beracun untuk
menyerang Cin Lan. 


Wanita ini terkejut sekali dan juga marah bercampur khawatir akan puteranya. Ia sudah menyambar tongkatnya dan sekali terjang ia sudah membuat Sin-ciang Mo-kai terpelanting dan terhuyung. Ilmu tongkat nyonya muda ini memang hebat sekali, yaitu Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis). 

Akan tetapi dari samping, Hek-bin Mo-ko sudah mengayun ruyungnya dengan dahsyat sehingga Cin Lan terpaksa harus mengelak untuk menghincarkan diri. 

Si-ciang Mo-kai sudah menerjang lagi dan kini nyonya muda itu dikeroyok oleh dua orang lawannya. Ia melawan dengan gigih, namun perhatiannya terpecah kepada puteranya.

Pada saat itu, Ouw Kwan Lok melompat ke dekat Song Hong San dan sekali sambar dia sudah memondong anak itu. Hong San berteriak memanggil ibunya dan meronta, tidak mau dipondong laki-laki yang tidak dikenalnya itu, akan tetapi sekali tekan dengan jari tangannya, Ouw Kwan Lok membuat anak itu lemas tidak mampu berteriak maupun bergerak lagi.

"Kita pergi!" kata Ouw Kwan Lok kepada dua orang rekannya dan Hek-bin Mo-ko bersama Sin-ciang Mo-kai menyerang dengan hebat sehingga Cin Lan terpaksa
melompat ke belakang. 


Saat itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk melarikan diri mengejar Ouw Kwan Lok yang sudah lari terlebih dulu.
Mati-matian Tan Cin Lan melakukan pengejaran. Ia marah dan khawatir sekali akan keselamatan puteranya.
Namun, tiga orang itu berpencar sehingga ia tidak tahu siapa yang membawa pergi puteranya clan ke arah mana. Ia hanya dapat mengejar seorang di antara mereka dan setelah akhirnya ia dapat menyusul, ternyata yang dapat dikejarnya itu adalah Sin- ciang Mo- kai, pengemis tua yang bersenjatakan tongkat itu. 

Biarpun ia kecewa karena bukan pengemis itu yang melarikan puteranya, namun dengan
kemarahan luar biasa Cin Lan segera menyerangnya.


Sin- ciang Mo- kai rnenangkis dengan tongkatnya. Akan tetapi benturan kedua tongkat itu membuat dia terhuyung dan Cin Lan terus mendesaknya dengan ilmu tongkat Hek-mo-tung. 


Perkelahian mati-matian antara kedua orang yang sama-sama mempergunakan tongkat ini terjadi dan kini setelah ia hanya melawan seorang di antara mereka, Cin Lan dapat mendesak terus. 

Sin-ciang Mo-kai berusaha melawan mati- matian, akan tetapi ia kalah segala- galanya, kalah kuat dalam hal sin-kang dan kalah cepat gerakannya. juga ilmu tongkat Hok- mo-tung itu merupakan rajanya ilmu tongkat di waktu itu. 

Akhirnya, setelah lewat limapuluh jurus, ujung tongkat di tangan Cin Lan berhasil menotok dada Sin- ciang Mo-kai dan pengemis tua itu terpelanting roboh. 

Cin Lan menodongkan ujung tongkatnya ke pelipis orang yang sudah setengah mati dan tidak mampu bergerak itu dan menghardik.

"Katakan siapa yang membawa anakku dan di mana dia dibawanya?" Ujung tongkat yang menempel di pelipis itu siap untuk ditusukkan.


Akan tetapi, totokan di dadanya tadi mengguncang jantung Sin- ciang Mo- kai dan dia terengah-engah sekarat.
"Katakan atau aku akan menyiksamu!" bentak pula Cin Lan.

Akhirnya dengan napas terengah-engah Sin- ciang Mo-kai berkata, "......... Pulau Naga......... !" 

Dan diapun terkulai, tewas. Cin Lan tidak memperdulikannya lagi. Pikirannya penuh kegelisahan akan nasib puteranya. 

Maka, terpaksa dengan berduka ia pulang ke rumahnya. Pulau Naga! Ia tahu bahwa suaminya juga pergi ke Pulau Naga untuk mencari Hek-tiauw Eng-hiong palsu dan kabarnya beng-cu baru berada di Pulau Naga dan bahwa beng-cu baru itu mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk menghambakan diri kepada pemerintah. Ia menjadi bingung.

Apakah ia harus menyusul suaminya ke Pulau Naga untuk mencari Hong San di sana" Bagaimana kalau tidak bertemu dengan suaminya" Ia akan mencarinya sendiri! 

Akan tetapi ia harus meninggalkan pesan kepada pelayan agar kalau suaminya pulang akan mengetahui bahwa ia pergi ke Pulau Naga mencari puteranya.

Ketika Cin Lan tiba di rumah, ternyata Song Thian Lee baru saja pulang!


"Engkau dari mana" Mana Hong San?" Thian Lee menyambut isterinya dengan khawatir, melihat wajah isterinya yang pucat sekali. 


Ditanya demikian, Cin Lan menubruk suaminya dan menangis.
"Eh, eh, ada apakah ini" Apa yang telah terjadi?" tanya Thian Lee dengan khawatir. 


Isterinya bukan seorang wanita 
cengeng, maka kalau sampai ia bersikap seperti ini tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.


"Hong San......... diculik......... orang.......!" akhirnya Cin Lan dapat bicara dan tentu saja Thian Lee terkejut bukan main.


"Apa" Kapan terjadinya dan bagaimana?"


"Baru saja terjadi," kata Cin Lan yang masih menangis di dada suaminya. "Aku sedang berada di taman dan Hong San bermain-main. Lalu muncul tiga orang. Yang dua orang menyerangku dan yang seorang menculik dan membawa lari Hong San."


Thian Lee mengepal kedua tangannya. "Siapa mereka?"
"Aku melakukan pengejaran akan tetapi mereka berpencar. Aku dapat menyusul seorang di antara mereka dan dalam perkelahianku aku dapat membunuhnya, akan tetapi yang dua orang lagi telah lari entah ke mana. Aku sudah mendesak orang yang kurobohkan dan sebelum tewas dia mengatakan Pulau Naga."


"Ahhhh.........! Bagaimana keadaan mereka itu" Siapa mereka?"
"Yang terbunuh olehku seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan baru, bersenjata tongkat. 


Orang kedua adalah seorang kakek tinggi besar gendut bermuka hitam dan bersenjata sebatang ruyung berduri. Adapun orang ketiga yang menculik Hong San adalah seorang pemuda yang lengan kirinya buntung sebatas siku."

"Jahanam keparat! Itu adalah Ouw Kwan Lok, beng-cu baru jahanam itu! Dan yang gemuk hitam itu tentu Hekbin Mo-ko sedangkan yang terbunuh olehmu tentu Sin-ciang Mo-kai. Mereka berdua adalah kaki tangan Ouw Kwan Lok.


Jadi anak kita dibawa ke Pulau Naga" Apa yang mereka katakan ketika mereka muncul."
"Orang muda berlengan buntung sebelah itu tadinya menanyakan engkau. 


Ketika aku mengatakan bahwa engkau tidak berada di rumah, dia lalu bilang bahwa dia akan membawa Hong San dan kelak engkau boleh mencari mereka." 

"Jahanam! Sekarang juga kita pergi ke Pulau Naga menyusul mereka!" kata Song Thian Lee dengan marah.
Setelah membuat persiapan tergesa-gesa, kedua orang suami isteri perkasa ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Pulau Naga. 

Di sepanjang perjalanan Thian Lee bercerita kepada isterinya tentang pertempuran yang terjadi di Pulau Naga sehingga akhirnya para pendekar menyelamatkan diri dan lari dari Pulau Naga karena ada pasukan pemerintah yang besar jumlahnya datang membantu pihak beng-cu dan para tokoh sesat.

"Kalau begitu, keadaan di Pulau Naga sekarang ini tidak aman, terjaga banyak pasukan," kata Cin Lan.


"Kurasa tidak. Pasukan itu tentu melakukan pengejaran ke daratan dan pulau itu sudah sepi kembali. Yang tinggal di sana Siang Koan Bhck dan tentu Ouw Kwan Lok dan para kaki tangannya. tokoh-tokoh kang-ouw yang sesat. 


Akan tetapi kita tidak perlu takut. Kita harus pergi ke sana untuk merampas kembali anak kita. Kalau perlu kita akan mengamuk mati-matian, atau kita dapat menyusup ke pulau dengan menyamar. 

Kita melihat keadaannya dulu di sana."
Lega juga hati Cin Lan setelah bertemu dengan suaminya. Iapun bukan seorang bodoh. Pihak musuh
menculik Hong San tentu bukan bermaksud membunuh anak itu, melainkan untuk memancing suaminya datang ke Pulau Naga. 

Dan kelau pergi berdua dengan suaminya,biarpun ke sarang naga ia tidak takut!

Demikianlah, semua ini diceritakan Cin Lan kepada Lee Cin.. Lee Cin yang mendengar cerita itu, ikut menjadi marah sekali. 


" Jahanam benar Ouw Kwan Lok itu. Tidak malu dia berbuat curang, menculik seorang anak kecil. Kalau
memang dia gagah, kenapa tidak langsung saja menantang Lee-ko" Jangan khawatir, enci Lan. Aku akan menyertai kalian masuk ke Pulau Naga! 


Akupun ingin membunuh Ouw Kwan Lok itu. Sayang dahulu aku hanya membuntungi lengan kirinya, bukan lehernya!' katanya gemas.

Thian Lee telah selesai menguburkan mayat-mayat Ma
Huan, Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li. Dia membersihkan kedua tangannya yang terkena tanah, lalu menghampiri mereka.


"Keadaan Pulau Naga sekarang sudah tidak begitu kuat lagi," katanya. "Sin-ciang Mo-.kai, Ma Huan, Yauw Seng Kun, dan Ban-tok M.o-li telah dapat kita tewaskan.


"Masih ada seorang lagi yang berhasil kutewaskan, yaitu Thian-te Mo-ong"' kata Lee Cin yang segera menceritakan bagaimana ia berhasil membunuh tokoh sesat itu.


Thian Lee mengangguk-angguk girang. "Kalau begitu, kedudukan Ouw Kwan Lok sudah lemah. Hanya tinggal dia seorang, Siang Koan Bhok dan Nyonya Siang Koan Bhok yang kabarnya juga lihai sekali."


"Memang ia lihai," kata isterinya. "Aku dahulu pernah bertemu dengannya dan ia berwatak aneh. Setelah ia tahu bahwa aku mencarikan obat untuk guruku Pek I Lo-kai, ia membebaskan aku bahkan menyerahkan buah sian-tho di Pulau Ular Emas untuk dipakai mengobati guruku."


"Aih, menarik sekali!" kata Lee Cin. "Bagaimana ceritanya, enci Lan?"
"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan dalam perjalanan itu Cin Lan menceritakan pengalamannya dahulu," kata Thian Lee. 


Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Pulau Naga dan di sepanjang jalan ini Cin Lan bercerita tentang pengalamannya dahulu.

"Peristiwa itu amat mengesankan hatiku karena aku mengalami hal aneh di sana. Terjadinya dahulu ketika aku masih merjadi murid Pek I Lo--kai," Cin Lan mulai bercerita.

Ketika itu, beberapa tahun yang lalu, Cin Lan masih seorang gadis muda, puteri tiri Pangeran Tang Gi Su dan menjadi murid Fek I Lo-kai. 

Pada suatu hari Fek I Lo-,kai bertanding melawan datuk besar Jeng-ciang-kwi. Jeng-ciangkui kalah oleh Pek I Lo-kai, mengaku kalah dan
terluka. 


Akan tetapi diam-diam Pek I Lo-kai juga terluka parah dan menurut pemeriksaan seorang nikou yang pandai ilmu pengobatan, obat untuk kakek pengemis berbaju putih itu hanyalah buah sian-tho yang tumbuh di Pulau Ular Emas. 

Mendengar ini, Cin Lan yang amat sayang kepada gurunya, diam-diam pergi ke pulau itu untuk mencarikan obat bagi gurunya.

Setelah tiba di pantai dan menemukan seorang tukang perahu tua yang berani membawanya ke Pulau Ular Emas, mereka berangkat. Dalam pelayaran itu mereka melewati Pulau Naga dan ketika Cin Lan mendengar bahwa Pulau Naga itu dihuni iblis dan semua orang takut mendekatinya, ia malah memaksa kakek perahu untuk singgah dan melihat pulau yang dihuni iblis itu!


Di pulau Naga Cin Lan berjumpa dengan Siang Koan Tek.
Mereka bertanding dan Cin Lan terjebak, tertawan oleh Siang Koan Tek yang nyaris memperkosanya. 


Akan tetapi muncullah Nyonya Siang Koan Bhok yang memarahi puteranya dan membebaskan Cin Lan, apalagi mendengar bahwa Cin Lan adalah puteri Pek I Lo-kai. Cin Lan setelah dibebaskan meninggalkan Pulau Naga dan menuju ke Pulau Ular Emas. 

Ternyata, di sana telah ada beberapa orang kangouw yang juga hendak mengambil buah sian-tho.
Mereka berunding untuk bertanding satu lawan satu dan siapa yang menang berhak memperoleh sian-tho. 


Akan tetapi tiba-tiba muncul Nyonya Siang Koan Bhok bersama Siang Koan Tek. Nyonya ini mengatakan bahwa Sian-tho adalah haknya dan kalau orang orang itu dapat mengalahkannya baru boleh mengambil sian-tho. 

Dua orang di antara orang kang-ouw itu tewas setelah bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok.
Akan tetapi Cin Lan tidak takut. Ia bertanding dengan Nyonya Siang Koan Bhok, menggunakan tongkat dan ilmu tongkat Hek-mo-tung. 


Nyonya itu teringat akan Pek I Lo-kai yang dikenalnya dengan baik, mengagumi Hek- mo-tung dan mengalah, lalu menyuruh Siang Koan Tek menyerahkan buah sian tho kepada Cin Lan untuk mengobati gurunya.

Bahkan Nyonya Siang Koan Bhok menyatakan sukanya kepada Cin Lan untuk mengambilnya sebagai mantu. Cin Lan meninggalkan Pulau Ular Emas membawa buah sian-tho. Akan tetapi di pantai ia melihat seekor ular putih dikeroyok ular-ular emas. 


Ia penasaran melihat ular putih dikeroyok, maka turun tangan membantu membunuhi ular emas. 

Ada ular emas menggigit kakinya yang terasa amat panas, lalu ular putih juga menggigit kakinya yang
mendatangkan rasa dingin. Cin Lan pingsan, dibawa oleh kakek perahu ke dalam perahu lalu melayarkannya meninggalkan pulau berbahaya itu. 


Ketika siuman, Cin Lan merasa ada hawa sin-kang yang kuat membuat tubuhnya ringan dan mendatangkan tenaga dahsyat.

"Peristiwa itu tidak terlupakan olehku karena dalam peristiwa itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan ayahnya Hong San," kata Cin Lan sambil melirik ke arah Thian Lee yang hanya tersenyum mendengarnya.


Lee Cin menjadi tertarik sekali. ''Bagaimana terjadinya, enci Lan?" tanyanya mendesak.
"Setelah aku mendarat di pantai daratan, aku bertemu dengan empat orang pencari sian-tho yang tadi melarikan diri dari Pulau Ular Emas. 


Mereka minta bagian buah sian-tho. Tentu saja tidak kuberikan dan mereka berempat lalu  mengeroyokku. Selagi aku terdesak, muncullah dia menolongku," katanya sambil menuding ke arah Thian Lee.

"Itu merupakan pertemuan kami yang pertama kali."


"Ceritamu menarik sekali, enci Lan. Jadi engkau pernah, bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok dan ia memang lihai sekali" Akan tetapi mengapa setelah ia mendengar bahwa engkau murid Pek I Lo-kai ia lalu mengalah dan malah memberikan buah sian-tho itu
kepadamu?"


"Aku sendiripun merasa heran. Agaknya ada hubungan sesuatu antara guruku dan Nyonya Siang Koan Bhok. Hanya menurut dugaanku, ia tidaklah sejahat suaminya."


"Memang tampaknya demikian," kata Song Thian Lee.
"Buktinya, dalam gerakan yang dilakukan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu pemerintah penjajah, nyonya itu tidak pernah ikut campur. 


Mudah-mudahan saja begitu sehingga keadaan mereka tidak begitu kuat, juga mudah-mudahan dengan adanya Nyonya Siang Koan Bhok, kita akan lebih mudah mendapatKan kembali Hong San dari tangan mereka." 

Tiga orang itu melanjutkan perjalanan dan perjalanan terasa ringan dan menyenangkan bagi mereka bertiga walau pun mereka semua merasa prihatin dengan hilangnya Hong San. 

Mereka bertiga merasa kuat dan siap menghadapi lawan yang bagaimanapun.


          **********


Ketika Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko tiba di Pulau Naga membawa Hong San, Siang Koan Bhok dan isterinya sedang duduk di taman bunga milik Nyonya Siang Koan
Bhok. 


Nyonya Siang Koan Bhok sudah mendengar tentang keributan di Pulau Naga dan ia menegur suaminya.


"Mengapa engkau mencari penyakit" Kita sudah tenang-tenang hidup di sini, tidak ada orang datang memusuhi kita, engkau malah menuruti kehendak Ouw Kwan Lok itu untuk bekerja sama dengan pemerintah. 


Akibatnya, para orang gagah memusuhimu dan sekarang kita mempunyai banyak musuh," demikian Nyonya Siang Koan Bhok menegur suaminya dengan suaranya yang lembut. 

Memang gerak gerik nyonya ini serba lembut, tidak menunjukkan bahwa sebetulnya seorang yang lihai sekali ilmu silatnya.

"Sudah sewajarnya kalau ada pihak yang menjadi kawan, tentu ada pihak lain menjadi lawan," bantah Siang Koa Bhok. 


"Kita berkawan dengan orang-orang kang-ouw dan dengan pemerintah Ceng biarpun dimusuhi orang-orang
yang menamakan dirinya pendekar, kita tidak perlu takut.


Pasukan pemerintah sewaktu-waktu akan membantu kita.
Sekarangpun, pasukan sudah disebar untuk melakukan pengejaran dan penumpasan terhadap mereka yang memusuhi kita."


"Akan tetapi apa sih untungnya bekerja untuk pemerintah penjajah" Kita dibenci rakyat jelata."


"Penjajah atau bukan akan tetapi kenyataannya pemerintah adalah yang berkuasa. Rakyat tinggal menurut saja atau akan dicap pemberontak. 


Banyak kebaikannya kalau bekerja dengan pemerintah. Kita dilindungi dan seandainya kita mencari kedudukanpun akan mudah. 

Kita tidak akan dihimpit pajak dan dalam segala perkara kita akan dimenangkan. Bukankah lebih baik dilindungi pemerintah dari pada menjadi musuh dan buronan pemerintah" Sudahlah, isteriku, engkau tidak tahu apa-apa, cukup tinggallah di sini dengan tenang dan serahkan segala urusannya kepadaku."

Nyonya Siang Koan Bhok mengerutkan alisnya yang hitam dan menundukkan wajahnya yang masih tampak cantik. "Baiklah, asal nanti kalau ada apa-apa yang menyusahkan jangan mengganggu aku."


Pada saat itulah Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko memasuki taman itu. Melihat Ouw Kwan Lok datang memondong seorang anak laki-laki berusia tiga tahun suami isteri itu memandang heran.


"Kwan Lok, siapakah anak itu dan dari mana kau dapatkan dia?" tanya Siang Koan Bhok sambil memandang tajam.


Dia bangga akan kegagahan dan kecerdikan muridnya itu yang kini memiliki tingkat kepandaian yang sudah melampaui tingkatnya sendiri. 


Dan penyamaran Ouw Kwan Lok menjadi Hek tiauw Eng-hiong dianggapnya amat cerdik karena telah mampu mengadu domba para pendekar walaupun pada akhirnya rahasia itu ketahuan.

"Suhu tentu tidak dapat menduga siapa anak ini," kata Ouw Kwan Lok dengan bangga. "Kami telah mencari biang keladi kegagalan pasukan menghancurkan mereka, yaitu Song Thian Lee yang telah mengatur siasat sehingga semua orang dapat lolos dari pulau ini. 


Akan tetapi ketika kami tiba di rumah persembunyiannya, dia belum pulang dan kami hanya bertemu dengan isterinya dan anaknya. Saya lalu membawa anaknya ini untuk memancing agar dia mau datang ke sini untuk kita bunuh. 

Sebelum Song Thian Lee dapat dimusnakan, usaha kita akan banyak mengalami hambatan dan gangguan."

"Hemm, jadi dia putera Song Thian Lee" Bagus, ini umpan yang baik sekali, Kwan Lok dan aku yakin bahwa Song Thian Lee pasti akan datang ke sini menyerahkan diri.


Akan tetapi, di mana teman-teman yang lain?"
"Sian-ciang Mo-kai berpencar untuk memecah perhatian ibu anak ini yang juga lihai sehingga anak ini dapat saya bawa pergi dengan aman. 


Adapun teman-teman yang lain 
sedang sibuk ikut melakukan pengejaran terhadap para pelarian," kata Kwan Lok yang sama sekali tidak tahu bahkan tidak menduga bahwa Sin-ciang Mo-kai telah tewas di tangan Tan Cin Lan dan banyak kawannya juga sudah tewas di tangan para pendekar.


"Ouw Kwan Lok, berikan anak itu kepadaku!' tiba-tiba Nyonya Siam Koan Bhok berseru.


Kwan Lok memandang dengan heran. "Akan tetapi, subo, ini adalah anak musuh kita."


"Tidak perduli! Kalau orang tuanya musuh, anak ini masih kecil dan tidak ikut apa-apa. 


Serahkan kepadaku untuk kurawat sementara kalian menanti kedatangan ayahnya." Nyonya Siang Koan Bhok menghampiri Ouw Kwan Lok.

Pemuda ini dengan bingung memandang kepada gurunya dan Siang Koan Bhok mengangguk. "Memang lebih baik berada di tangannya lebih aman dan tentu ia lebih pandai merawatnya dari pada engkau."


Ouw Kwan Lok melepaskan anak itu ke dalam pondongan Nyonya Sian Koan Bhok yang segera menekan
pundak anak itu. 


Song Hong San dapat bersuara lagi dan anak itu lalu menangis keras. Nyonya Siang Koan Bhok lalu mebawanya masuk ke dalam rumah.

"Mari kita berunding di dalam dan panggil Tung-hai Ngohouw (Lima Harimau Laut Timur) untuk hadir," kata Siang Koan Bhok kepada muridnya.

Ouw Kwan Lok menuju ke belakang untuk mencari Lima Harimau yang menjadi kaki tangan gurunya itu, kemudian mereka mengadakan perundingan di bagian belakang rumah besar.


Tung-hai Ngo-houw adalah lima orang bajak laut yang tubuhnya tinggi besar, usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi menggunakan sebatang golok besar. 


Dahulunya mereka adalah bajak-bajak laut yang sudah menyerah
menjadi kaki tangan Siang Koan Bhok di Pulau Naga. 

Ketika para rekan kang-ouw golongan sesat bersama para pasukan pemerintah melakukan pengejaran terhadap para pendekar, lima orang ini tidak ikut karena tugas mereka menjaga di Pulau Naga bersama anak buah mereka yang kini tinggal seratus orang kurang setelah banyak di antara mereka tewas dalam pertempuran melawan anak buah Te-tok-pang tempo hari.

Setelah Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok berunding dengan Tung-hai Ngo-houw, Ouw K wan Lok berkata kepada mereka, "Kalian berlima tidak boleh lengah. Biarpun musuh sudah melarikan diri semua, akan tetapi siapa tahu ada yang diam-diam datang kembali. 

Apa lagi setelah sekarang kami mempunyai umpan untuk memancing datangnya Song Thian Lee. Kalian harus berhati-hati melakukan penjagaan.

Sebar semua anak buah mengawasi di seluruh penjuru dan hidupkan semua alat jebakan dan perangkap. Kalau Song Thian Lee dan isterinya berani datang, kita harus menangkapnya, mati atau hidup. Mengerti?"


"Baik, Beng-cu," kata mereka berlima.
"Lakukan giliran Siang dan malam dan sedikitpun tidak boleh lengah karena musuh adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. 


Nah, sekarang mundurlah dan atur penjagaan itu sebaiknya sambil menanti kembalinya kawan-kawan yang lain."

Lima orang itu mundur, tak tahu bahwa mereka harus menanti selamanya karena kebanyakan kawan mereka itu sudah gugur.

"Saya kira sebaiknya kalau kita memanggil lebih banyak rekan untuk berjaga di sini, Beng-cu," kata Hek-bin Mo-ko.

"Bagaimanapun juga, saya mendengar bahwa Song Thian Lee adalah seorang bekas panglima perang yang banyak akalnya."


"Kau kumpulkan mereka dan panggil ke sini untuk diajak berunding. Siapa saja yang masih berada di sini dan siapa pula yang ikut keluar pulau melakukan pengejaran terhadap para pendekar.


Hek-bin Mo-ko menuju ke belakang rumah di mana terdapat pondok-pondok kecil tempat tinggal para anak buah Pulau Naga dan tempat mondok para orang kang-ouw yang bergabung di situ. 


Di situ masih terdapat beberapa orang tokoh kang-ouw yang sudah bergabung, yaitu di antaranya Kim-to Sam-ong (Tiga Raja Golok Emas) ketua Kim-to-pang yang juga sudah bergabung, dan dua orang kakak beradik Ouw-yang Twa-mo dan Ouwyang Siauw-mo (Iblis besar
Ouwyang dan Iblis kecil Ouwyang). 


Dua orang yang terakhir ini dahulunya adalah sepasang perampok yang ganas.

Seperti juga Kim-to Sam-ong, ilmu silat kedua orang bersaudara Ouwyang ini da
pat dimasukkan golongan lihai.

Hek-bin Mo-ko segera mengundang mereka berlima untuk ikut berunding dengan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok. 

Kepada mereka berlima, Ouw Kwan Lok memerintahkan agar mulai hari itu mereka waspada dan mengadakan perondaan di sekitar pulau untuk menjaga kalau-kalau ada orang yang berani menyelundup ke dalam pulau. 

Lima orang itu menyatakan kesanggupan mereka dan segera pergi melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka.

Segala persiapan untuk menyambut kalau Song Thian Lee dan isterinya benar berani datang telah dibuat oleh Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok.


Kakek ini telah sembuh. dari luka dalam akibat perkelahiannya dengan Song Thian Lee dan dia tidak pernah terpisah dari dayung bajanya. Juga Ouw Kwan Lok tidak pernah meninggalkan pedang yang dibawa di punggungnya.


Bajunya kini berlengan panjang sehingga lengan baju kirinya tergantung lepas di lengan kirinya yang buntung. Lengan baju ini merupakan senjata yang ampuh juga.


Hanya Nyonya Siang Koan Bhok yang tidak ikut gelisah menjaga diri. Ia suka sekali kepada Hong San yang cerdik.


Begitu diperlakukan dengan manis, Hong San tidak menangis lagi bahkan suka tertawa-tawa dengan lucunya, mengeluarkan sepatah dua patah kata yang dapat menghibur hati Nyonya Siang Koan Bhok selama ini kesepian, apa lagi setelah kematian puteranya, Siang Koan Tek. 


Timbul rasa sayang ke pada Hong San di dalam hati wanita yang gerak geriknya lembut itu. Ia mempunyai
beberapa orang pelayan wanita yang mengurus dan melayani segala kebutuhannya, tinggal di pondok indah bertaman bunga itu.


Suasana di Pulau Naga tampak sunyi dan tenang, namun sebenarnya para penghuninya berada dalam keadaan siap siaga dan waspada penuh ketegangan karena mereka maklum bahwa Song Thian Lee dan isterinya tidak mungkin tidak datang mencari puteranya di tempat itu.


Bahkan Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok menjadi agak gelisah ketika dinanti sampai beberapa hari, kawan-kawan mereka yang melakukan pengejaran terhadap para pendekar belum juga kembali. Sama sekali mereka tidak pernah mimpi bahwa banyak kawan mereka telah tewas di tangan para pendekar.


          **********


Terdapat kurang lebih duaratus orang di dalam hutan lebat itu. Seratus orang adalah anggauta Pek-lian-kauw yang pernah diserang dan diporak-porandakan orang-orang Pulau Naga dan pasukan pemerintah dan seratus orang lagi adalah orang-orang Pat-kwa-pai, sekutu mereka. Mereka adalah golongan pemberontak yang membenci terhadap pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi mereka juga tidak segan untuk melakukan kejahatan kepada rakyat jelata. 

Mereka adalah golongan sesat yang membenci penjajah mancu dan di
mana-mana membikin kacau dan bahkan berani menyerang pasukan Mancu kalau ada pasukan yang jumlah lebih kecil dari jumlah mereka.


Mereka sedang mengadakan pertemuan di hutan itu bersama rekan-rekan mereka, kaum Pat-kwa-pai. Biarpun mereka berlainan aliran dan keagamaan, akan tetapi karena sama-sama memusuhi pemerintah Mancu, mereka dapat bekerja sama. 


Beberapa orang pimpinan mereka sedang mengadakan perundingan. Seorang berpakaian tosu yang tinggi kurus, matanya sipit dan suaranya meninggi, bangkit berdiri dan bicara kepada beberapa orang yang berjongkok membuat lingkaran. 

Di tengah mereka terdapat api unggun karena hari telah menjelang senja dan nyamuk telah banyak
berdatanga menyerang mereka. Tosu tinggi ini adalah Hwa-Hwa To-su, ketua cabang Pek-lian-kauw yang berkumpul di situ.


"Kita telah diserang oleh orang-orang Pulau Naga sehingga kehilangan banyak saudara. Orang-orang Pulau Naga bersekutu dengan penjajah Mancu, karena itu kita harus membalas dendam dan kita harus membasmi orang-orang Pulau Naga. Kami harapkan bantuan pihak Pat-kwa-pai sebagai rekan seperjuangan untuk menghadapi orang-orang Pulau Naga."


Seorang tosu yang pakaian di dadanya ada gambar Pat-kwa, yaitu Cin Cin To-jin tokoh Pat-kwa-pai, bangkit berdiri dan mengepal tinju. 


"Kami dan Pek kwa-pai adalah rekan-rekan seperjuangan, sudah seharusnya kalau kami membantu Pek-lian-pai. Marilah kita bersama menghancurkan orang-orang Pulau Naga!"

Pada saat itu terdengar ucapan nyaring, "Bagus sekali rencana itu, kalau kita bekerja sama tentu hasilnya akan lebih baik lagi"


Semua orang terkejut dan menoleh kepada orang yang mengeluarkan suara itu. Mereka melihat seorang berpakaian hitam. yang berkedok hitam pula telah berdiri di atas sebuah batu besar sehingga dapat tampak mudah dari situ.


"Siapa engkau?" Hwa Hwa To-su tokoh Pek-lian-kauw membentak penuh curiga.


"Dia bukan orang kita!' kata pula Cin Cin To-jin dari Pat-kwa-pai dengan curiga. Semua anggauta Pek-lian-kaLw dan Pat-kwa-pai telah bersiap-siap dengan senjata mereka untuk menyerang orang berkedok itu.


Akan tetapi orang berkedok itu berkata dengan nyaring.
"Aku adalah Hek -tiauw Eng-hiong yang juga anti penjajah Mancu seperti kalian. 


Walaupun kita masing-masing mengambil jalan kita sendiri, akan tetapi dalam menghadapi Pulau Naga kepentingan kita sama..... 


RAJAWALI HITAM JILID 09



Karena itu kalau kita kerja sama, tentu hasilnya akan lebih baik."

"Hek-tiauw Eng-hiong, turunlah dan mari kita bicara,"kata Hwa Hwa Tosu dan berkata kepada anak buahnya,
"Biarlah dia bicara dengan kita."


Orang itu memang Hek-tiauw Eng-hiong atau Cia Tin Han. Secara tidak disengaja Tin Han mendapatkan mereka sedang berbincang-bincang di situ. 


Maklum bahwa mereka itu adalah musuh-musuh Pulau Naga, dia lalu mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa tidak membiarkan mereka bentrok dengan orang-orang Pulau Naga dan dia mendapatkan keuntungan itu dengan menyusup ke Pulau Naga dan mencari Ouw Kwan Lok" Demikianlah, maka dia lalu muncul sebagai Hek-tiauw Eng-hiong.

Dengan beraninya Tin Han menerima tawaran orang-orang itu datang ke tengah mereka mengadakan perundingan bersama. 


Setelah dia berada di antara mereka, Hwa Hwa Tosu lalu bertanya, "Hek-tiauw Eng-hiong, apa yang dapat kau tawarkan kepada kami?"

"Begini, kita dapat bekerja sama. Pulau Naga sekarang dipimpin oleh beng-cu baru bernama Ouw Kwan Lok yang amat jahat dan juga lihai sekali. 


Dia yang telah mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan menjadi antek penjajah. Kalian boleh menyerbu dan membasmi orang-
orang Pulau Naga, dan akulah yang akan 'menghadapi dan menandingi Ouw Kwan Lok yang jahat dan lihai itu. Dialah musuh besarku."


"Nanti dulu," kata Cin Cin To-jin. 'Bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau akan mampu menandingi Ouw Kwan Lok yang kami dengar juga memiliki kelihaian melebihi Siang Koan Bhok itu?"


"Aku pernah bertanding dengan dia dan sudah mengukur kemampuannya.
Aku akan dapat menangkap atau membunuhnya," kata Tin Han.


"Ho-ho, orang muda. Kami tidak mengenalmu, tidak tahu sampai di mana kepandaianmu, bagaimana kami dapat percaya untuk bekerja sama denganmu" Mari, aku akan
menguji lebih dulu kemampuanmu!" 


kata Cin Cin To-jin yang masih curiga. "Kalau engkau mampu mengalahkan tongkatku ini, baru aku percaya akan kemampuanmu."

Para anggauta Pat-kwa-pai dan Pek lian-kauw segera memberi ruangan untuk kedua orang itu yang hendak
mengadu kepandaian. 


Cin Cin To-jin adalah ketua Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu tongkat hebat dan dahsyat, di samping tenaganya yang besar. 

Tubuhnya memang tinggi besar dan dia amat terkenal dengan tenaganya yang sebesar gajah. Hwa Hwa Tosu yang mengenal kemampuan rekannya itu membiarkan saja. 

Diapun harus melihat dulu kepandaian orang yang menawarkan kerja sama untuk
menyerang Pulau Naga sebelum menyetujuinya.

Cia Tin Han lalu melompat dari atas batu besar itu.
Tubuhnya melayang bagaikan seekor rajawali hitam dan hinggap di depan Cin Cin To-jin yang sudah melintangkan tongkat bajanya di depan dada.


"Baiklah, to-tiang. Kalau engkau menghendaki itu. Mari kita main-main sebentar."


"Hek-tiauw Eng-hiong, keluarkan senjatamu!" bentak Cin Cin To-jin kepada calon lawannya.


"To-tiang, di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan aku mengajak to-tiang bekerja sama untuk menyerang Pulau Naga. 


Oleh karena itu, dalam main-main ini biarlah aku menggunakan tangan kosong saja menghadapi tongkatmu."
Ucapan itu mengejutkan semua orang. Cin Cin To-jin amat terkenal dengan permainan tongkatnya yang dahsyat, bagaimana orang berkedok ini akan menghadapinya dengan tangan kosong saja.

"Hek-tiauw Eng-hiong, kunasihatkan engkau, cabutlah senjatamu. Tongkatku tidak bermata dan aku tidak ingin melukai atau membunuh seorang yang ingin bekerja sama,"
kata Cin Cin To-jin.


"Jangan khawatir, to-tiang. Kalau sampai aku terluka atau terbunuh, anggap saja itu kesalahanku sendiri dan tidak ada seorangpun akan menyalahkanmu. 


Mari, aku telah siap, mulailah!" Tin Han berseru menantang.
"Bagus, kalau begitu, lihat tongkatku!" Cin Cin To-jin sudah menyerang dan ternyata serangannya memang dahsyat sekali. 


Tongkatnya bergerak dengan cepat dan mengandung tenaga besar. Tin Han maklum akan hal ini, maka diapun menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak. 

Bagaikan seekor burung saja dia berloncatan ke sana sini sehingga semua serangan Cin Cin To-jin mengenai tempat kosong belaka. Hal ini membuat tosu itu menjadi 
penasaran sekali dan dia mempercepat gerakannya sehingga tongkatnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi segulungan sinar yang menyambar-nyambar.


Pertandingan itu menjadi menarik karena selain diterangi api unggun, juga para anggauta dua perkumpulan itu kini menyalakan obor sehingga tempat itu menjadi terang dan pertandingan itu dapat tampak nyata. 


Tubuh Hek-tiauw Eng-hiong merupakan bayangan hitam yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat sehingga merupakan pemandangan yang luar biasa, seolah-olah pemuda itu sedang menari saja disambar tongkat dari segala jurusan namun tidak pernah mengenai sasaran. 

Hwa Hwa Tosu yang memperhatikan gerakan Hek-tiauw Eng-hiong, diam-diam terkejut bukan main. Dia mengenal ilmu tongkat Cin Cin To-jin yang hebat dan dahsyat, tenaganya yang besar, akan tetapi sekali ini semua gerakan tongkat Cin Cin To-jin mengenai angin belaka. 

Suara tongkat menyambar-nyambar berciutan, namun tidak pernah dapat mengenai tubuh Hektiauw Eng-hiong dan setelah berlangsung limapuluh jurus di mana pemuda itu hanya mergandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, tiba-tiba Tin Han mengeluarkan bentakan keras dan ketika tongkat menyambar ke arah kepalanya, dia merangkis dengan
tangan kanannya. 


Tangkisan itu membuat tongkat terpental dan sebelum Cin Cin To-jin tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja tongkatnya terenggut lepas dan telah pindah ke tangan lawannya!

Cin Cin To-jin terkejut bukan main, menubruk untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Tin Han
menyodorkan tongkat itu untuk dipegang oleh pemiliknya, namun tidak dapat di renggut lepas. 


Mereka berbetotan sambil mengerahkan tenaga. Cin Cin To-jin yang mengerahkan seluruh tenaga tidak mampu merampas tongkat. Dia penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot tongkatnya dari tangan Tin Han.

Secara tiba-tiba Tin Han melepaskan tongkatnya dan tanpa dapat dicegah lagi Cin Cin To-jin jatuh terjengkang!

Terdengar tepuk tangan dart Hwa Hwa Tosu dan para anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai juga banyak yang bertepuk tangan kagum. 

Siapa yang tidak akan kagum melihat seorang dapat mengalahkan Cin Cin To-jin yang bertongkat itu dengan tangan kosong belaka"

Cin Cin To-jin merangkak bangun dan dengan tulus mengakui kekalahannya, mengangkat tangan di depan dada memberi hormat dan berkata, "Hek-tiauw Enghiong memang gagah perkasa dan pantas untuk menjadi sekutu kami menyerbu Pulau Naga."


"Urusanku di Pulau Naga hanya mengenai urusan pribadi dengan Ouw Kwan Lok," kata Tin Han. 


"Karena itu, kalian boleh mengamuk dan membalas dendam kepada anak buah Pulau Naga, sementara itu biarkan Ouw Kwan Lok aku yang menandingi. 

Akan tetapi, hendaknya ji-wi to-tiang tidak memandang rendah kepada penghuni Pulau Naga. 

Biarpun dia sudah tua, namun Siang Koan Bhok merupakan lawan yang tangguh sekali dan aku mendengar kabar bahwa isterinya juga seorang yang amat lihai. 

Belum dihitung lagi para tokoh kang-ouw yang sudah bergabung ke Pulau Naga.

Selain itu, aku mendengar pula bahwa di Pulau Naga terdapat perangkap-perangkap dan jebakan-jebakan rahasia yang berbahaya."


"Sicu, hal itu tidak perlu khawatir. Banyak di antara orang kami yang sudah mengetahui akan jebakan-jebakan rahasia itu dan telah mempelajari. Kami tahu bagaimarta harus menyerbu Pulau Naga," kata Hwa Hwa Tosu.


"Kalau begitu, lebih baik lagi. Sebaiknya kapan kita akan menyerbu ke sana"'

"Kita menyerbu besok pagi-pagi sekali mereka belum mengadakan persiapan. 

Kita serbu dan membuat mereka panik. Anak buah kami bagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama yang menjadi penunjuk jalan menghalau rintangan jebakan, bagian kedua yang menggunakan panah api melakukan pembakaran dan bagian ketiga yang terbesar baru melakukan penyerbuan."

"Bagus sekali rencana itu, dan aku akan menyusup bersama para pembakar untuk mencari Ouw Kwan Lok dan mencegah dia melarikan diri."


Malam itu Tin Han dijamu oleh orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan beristirahat di sebuah pondok.


Pada keesokan harinya, ketika ayam hutan mulai berkokok, bangkitlah mereka semua dan dengan teratur mereka menggunakan perahu-perahu untuk, menyeberang ke Pulau Naga. 


Mereka menggunakan obor karena pagi masih gelap pekat dan puluhan perahu itu meluncur ke arah Pulau Naga dengan cepat.


          **********


Sebuah perahu kecil meluncur pada pagi hari itu menuju ke Pulau Naga. Yang berada di perahu itu adalah Song Thian Lee, Souw Lee Cin dan Tan Cin Lan.  


Tiga orang ini dengan penuh keberanian menuju ke Pulau Naga untuk mencari dan merampas kembali putera Song Thian Lee yang diculik orang dan dibawa ke Pulau Naga.

Mereka tidak tahu akan tetapi dapat menduga bahwa kedatangan mereka tentu telah diketahui oleh para penghuni Pulau Naga. Akan tetapi mereka tidak perduli dan tidak merasa takut.


Tadinya Tang Ci Lan mengusulkan agar mereka menyamar. Akan tetapi Thian Lee membantah. "Mereka sengaja menculik anak kita untuk memancing kita datang ke sini.


Menyamarpun mereka akan mengetahui juga. Pendeknya, kita datangi mereka, kalau dapat secara halus  kita minta kembali anak kita, kalau tidak dapat secara halus, kita menggunakan kekerasan.


"Kurasa sebaiknya demikian," Lee Cin membenarkan.

"Mereka adalah orang-orang yang curang, tentu telah mengintai dan mengawasi semua tempat ini sehingga kedatangan kami tentu akan mereka ketahui. 

Lebih baik kita datang terang-terangan dan menantang mereka! Dengan bertiga, aku tidak takut menghadapi siapapun juga di pulau ini!"

Hati Tang Cin Lan menjadi besar mendengar kesanggupan suaminya dan Lee Cin. Ia sendiri seorang wanita gagah perkasa yang tidak mengenal takut, apalagi untuk membebaskan puteranya dari kekuasaan para penculiknya. 


Akhirnya mereka tiba di bagian selatan dari Pulau Naga, yaitu di bagian ekornya yang memanjang dan penuh dengan hutan di bukit yang berbatu. 

Keadaan di situ sunyi saja, agaknya tidak ada seorangpun yang berada di sekitar tempat itu. Namun ketiganya dapat merasakan bahwa gerak-gerik mereka tentu diamati orang yang bersembunyi.

Bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal para penghuni Pulau Naga berada di bukit tengah yang paling besar, dekat puncak dan sudah tampak dari situ sebagian dindingnya yang putih dan gentengnya yang merah. 


Thian Lee memimpin dua orang wanita itu mendaki bukit menuju ke bukit besar di mana terdapat bangunan itu. 

Mereka bermaksud untuk langsung mendatangi tempat itu dengan waspada agar jangan sampai terjebak di tengah perjalanan menuju ke bukit itu.

Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara ledakan-ledakan keras disusul berkobarnya api di mana-mana! Biarpun tidak mengetahui dengan pasti, Thian Lee yang melihat keadaan itu dapat menduga bahwa Pulau Naga tentu mendapat serangan dari luar!

"Pulau Naga ada yang menyerang! Lihat itu kobaran api yang disebabkan oleh panah api dan alat-alat peledak. 


Entah siapa yang sedang melakukan peryerangan itu, akan tetapi hal ini kebetulan sekali. 

Dalam keadaan terserang dan panik, mereka tentu tidak begitu memperhatikan kita dan kita dapat menyusup masuk. 

Mari cepat!' Thian Lee lalu berlari ke depan mendaki puncak bukit kecil di bagian ekor naga itu.

Tiba-tiba dia berhenti dan dua orang wanita yang mengikutinya juga berhenti. Mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam dan lebar. Tidak mungkin melompati jurang itu.


Akan tetapi di atas jurang itu terdapat dua helai tali besar terbentang dari seberang sini ke seberang sana. Agaknya itulah jalan satu-satunya untuk menyeberangi jurang itu dan untuk mendekati tempat di mana terdapat bangunan-bangunan para penghuni Pulau Naga.


"Tidak ada lain jalan, kita harus mengambil jalan melalui tali ini. Biar aku yang akan mencobanya lebih dulu!" kata Thian Lee sambil menarik-narik tali itu untuk menguji keuletannya.


"Aku akan lebih dulu menyeberang dan di sana aku akan menjaga jembatan tali ini kalau kalian hendak menyeberang nanti."


"Akan tetapi, hati-hatilah!" kata Cin Lan.
"Lee-ko, berhati-hatilah, aku masih curiga kepada kelicikan mereka?" kata pula Lee Cin.


"Jangan khawatir!"
katanya dan dia pun sudah melangkah ke atas dua helai tali yang besarnya seibu jari kaki itu. Dia melangkah ke depan, tali itu bergoyang-goyang akan tetapi Thian Lee dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya. Dua orang wanita itu memandang dengan hati khawatir.


Ketika Thian Lee sudah tiba di tengah-tengah jembatan, tiba-tiba tali jembatan itu terlepas! Entah siapa yang melepaskannya. Tentu saja dengan sendirinya tubuh Thian Lee terayun turun. 


Untung dengan sigapnya dia masih dapat menangkap kedua tali itu sehingga tubuhnya tidak terjatuh ke
dalam jurang, melainkan terayun-ayun, secara mergerikan sekali.


"Ahhhh . . . . .!!" Dua orang wanita itu memandang dengan wajah pucat. Karena terputusnya tali itu terjadi dari sebelah sini, mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong Thian Lee.



          **********


Selagi dua orang wanita itu kebingungan melihat tubuh Thian
Lee terayun-ayun di dinding jurang, tiba-tiba terdengar kelepak sayap seekor burung dan tampaklah seekor burung rajawali hitam menyambar turun ke dalam jurang itu. 


Seorang bertopeng hitam menunggang burung itu dan hati Lee Cin berdebar tegang dan juga girang. 

Cia Tin Han! Hek-tiauw Eng-hiong, siapa lagi kalau bukan dia" Hektiauw Eng-hiong memberi isyarat dengan tangan kepada mereka berdua agar mereka tenang dan burung itu lalu meluncur ke bawah jurang. 

Dengan cekatan sekali, Tin Han menyambar ujung tali yang terlepas itu dengan tangannya dan menyuruh Hek-tiauw-ko terbang kembali ke arah tebing di mana dua orang gadis itu berada. 

Burung itu hinggap di tebing dan Tin Han menyerahkan ujung kedua tali kepada Lee Cin sambil berkata, "Cin-moi, kalian pegang kedua tali ini baik-baik, ikatkan di batu besar dan jaga jangan sampai ada yang membikin putus. Aku akan menjaga yang disebelah sana."

Lee Cin mengangguk dengan gembira dan bersama Cin Lan menerima kedua ujung itu. Mereka lalu menarik kedua tali itu menegang kembali dan mengikatkan ujungnya pada batu besar lalu menjaganya. 


Mereka melihat betapa Thian Lee dapat lagi berjalan di atas tali yang sudah ditegangkan itu. 

Tin Han kembali menunggang burung rajawalinya dan terbang ke seberang, di mana dia menjaga ujung tali yang lain yang juga oleh orang telah diikatkan kepada dua batang pohon.

Tampak olehnya ada lima orang memegang golok hendak membacok putus tali itu. 


Burung rajawalinya menyambar dan Tin Han meloncat turun lalu mengamuk, menampar dan menendangi lima orang itu sehingga mereka jatuh bangun dan melarikan diri. Thian Lee selamat sampai di tebing seberang.

"Terima kasih atas bantuanmu tadi!" kata Thian Lee.
"Akan tetapi, sekarang engkau harus menjaga tali di seberang sana kalau-kalau ada yang hendak mengganggu selagi mereka menyeberang ke sini!"

"Baik, Lee-ko. Aku akan menjaga seberang sana!" kata Tin Han dan diapun menunggangi lagi rajawali hitam dan terbang ke seberang sana. 

Setelah tiba di sana, dia mempersilakan Cin Lan untuk menyeberang lebih dulu.

"Jangan khawatir, suamimu menjaga di seberang sana dan kami berdua yang akan menjaga di sini," kata Tin Han ke pada Cin Lan. 


Nyonya yang gagah perkasa inipun lalu menyeberang dengan setengah berlari, memegangi tongkatnya untuk membantu keseimbangan tubuhnya.

Akhirnya tibalah ia di seberang, disambut suaminya dengan lega.
Tin Han dan Lee Cin saling berhadapan. Dua pasang mata itu bertemu dan bertaut sampai lama, saling pandang dengan penuh selidik seolah hendak menjenguk isi hati masing-masing. 


Akhirnya Tin Han menghela napas panjang dan berkata lembut. "Cin-moi, kesempatan ini kupergunakan untuk minta maaf kepadamu sebesar-besarnya atas segala sikap keluargaku terhadap dirimu!

Sudikah engkau memaafkan aku, Cin-moi"'
Lee Cin merasa terharu. Ia tahu bahwa pemuda ini tidak bersalah apa-apa ketika keluarga pemuda itu bersikap buruk terhadap dirinya, bukan hanya menolak melainkan juga menghina ibunya, seperti juga ia tidak bersalah ketika ibunya menolak dan menghina pemuda itu.

"Han-ko, kalau engkau mau memaafkan ibuku atas sikap dan kata-katanya, akupun mau memaafkan keluargamu atas sikap dan kata-katanya."

"Tentu saja, Cin-moi, sebelum engkau minta, sudah sejak dahulu aku melupakan perlakuan ibumu itu kepadaku.


Bagiku yang terpenting adalah sikapmu kepadaku, Cin-moi, bukan sikap ibumu atau siapa saja kepadaku. 


Aku sungguh girang bahwa engkaupun mau melupakan sikap keluargaku kepadamu."

"Akan tetapi, Han-ko. Perjodohan haruslah direstui oleh orang tua masing-masing, bagaimana kalau ibuku menentang dan juga keluargamu menentang. Masih mungkinkah......... "


Tin Han melangkah maju dan memegang kedua tangan kekasihnya. "Mengapa tidak, Cin-moi" Bukankah yang terpenting itu yang akan menjalani" Kalau memang keluarga kita masing-masing tidak setuju, kita tidak perlu lagi memperhatikan mereka. 


Kita hidup berdua, jauh dari segala hal yang tidak menyenangkan. Bagaimanapun juga, hatiku masih terhibur karena aku yakin bahwa ayah kandungmu tidak melarang hubungan antara kita. 

Dan di pihakku, aku dapat minta persetujuan guru-guruku yang bijaksana untuk merestui perjodohan kita."

Sejenak Lee Cin membiarkan jari-jari tangannya diremas-remas kekasihnya. Ia lalu teringat dan berkata, "Han-ko, mereka menanti di seberang sana. 


Biarkan aku menyeberang dulu.'
"Tidak, mari kita menunggang Hek tiauw-ko. Dia yang akan menyeberangkan kita. 


Loncatlah!' 

Dengan gembira dan tegang Lee Cin lalu melompat ke atas punggung Hek-tiauwko dan Tin Han melompat ke belakangnya. 

Burung itu lalu terbang, tampaknya ringan saja membawa dua beban itu dan melayang ke seberang jurang.

Setelah turun, Tin Han berkata kepada burung. "Hektiauw-ko, terima kasih dan pulanglah dulu kepada suhu."


Burung itu seperti mengerti kata-kata itu. Dia menggerakkan sayapnya dan terbang pergi dari situ.

"Pulau Naga agaknya diserang dari luar. Lihat, terjadi kebakaran di mana-mana dan di sebelah sana terdengar suara ribut-ribut seperti ada pertempuran. 

Ketika engkau menunggang rajawali tadi, apa yang kaulihat, Han-te?" tanyi Thian Lee kepada Tin Han yang kini sudah membuka kedoknya, sehingga mukanya tampak, hanya pakaiannya yang masih serba hitam.
"Aku melihat banyak orang menaiki pulau dari arah timur dan utara. Mereka menyerang dengan anak panah berapi dan aku tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai."

"Eh, bagaimana engkau dapat tahu?"
"Aku memang telah bersepakat dengan mereka untuk mengadakan penyerbuan bersama. Pihak Pek-lian-kauw mendendam kepada Pulau Naga karena pernah diserbu dan banyak anggauta terbunuh anak buah Pulau Naga yang dibantu pasukan pemerintah. 


Aku menggunakan kesempatan baik selagi mereka melakukan penyerangan ini untuk menyeberang ke pulau dan mencari Ouw Kwan Lok.
Tak kusangka aku melihat kalian bertiga di sana tadi."


"Bagus! Kalau mereka bertempur, kita tidak perlu mencampuri urusan mereka. Yang penting sekarang mencari Siang Koan Bhok, isterinya, dan Ouw Kwan Lok untuk merampas kembali anak kami."


"Ah, apakah yang terjadi dengan anakmu, Lee-ko?"
Lee Cin menerangkan. "Putera Lee-ko yang baru berusia tiga tahun diculik oleh Ouw Kwan Lok dan dibawa ke Pulau Naga untuk memancing datangnya Lee-ko dan isterinya yang menjadi musuh besar Ouw Kwan Lok."


" Jahanam curang!" kata Tin Han. "Kebetulan sekali ada pihak lain sedang menyerang Pulau Naga sehingga kita mendapatkan banyak kesempatan. 


Mari kita datangi bangunan besar itu. Kurasa di sanalah mereka berkumpul."
Makin besar rasa hati Lee Cin setelah kini Tin Han bergabung dengan mereka. 


Mereka berempat lalu dengan hati-hati terus mendaki ke atas bukit itu menghampiri bangunan yang berada di puncak bukit.

Sementara itu, Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok terkejut juga melihat penyerbuan orang-orang Pek-lian- kat dan Pat-kwa-pai ke pulau mereka. 


Hal ini sama sekali tidak pernah mereka sangka. Pasukan pemerintah baru malam tadi meninggalkan pulau untuk melakukan pengejaran
terhadap para pendekar, bahkan banyak orang kang-ouw yang juga ikut melakukan pengejaran sehingga yang tinggal di pulau hanya beberapa orang lagi, di antaranya Tung-hai Ngo-huw, Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok bersama
beberapa orang kang-ouw lainnya. 


Mendapat serbuan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai tentu saja mereka melakukan perlawanan hebat dan karena memang pulau itu mempunyai tempat yang baik sekali untuk bertahan, seperti sebuah benteng saja, maka pihak Pulau Naga dapat membuat pertahanan yang kokoh kuat. 

Sementara itu, Ouw Kwan Lok, Siang Koan Bhok dan kelima Tung-hai Ngo-houw berkumpul di rumah induk, sedangkan Nyonya Siang Koan Bhok tetap berada di pondok belakang di mana terdapat taman bunga yang luas. 

Nyonya ini tidak mau mencampuri 
urusan suaminya dan memang ia tidak disenanginya.


Melihat ribut-ribut di luar, Nyonya Siang Koan Bhok hanya memesan belasan orang wanita pembantunya untuk berjaga-jaga di setiap pintu masuk dengan pedang di tangan dan tidak mengijinkan siapapun memasuki daerah itu.


Akhirnya Thian Lee, Cin Lan, Tin Han dan Lee Cin tiba di bangunan itu dan berhadapan dengan pintu gerbang yang ditutup rapat dari dalam. 


Untuk melompati pintu gerbang itu rasanya terlalu tinggi dan tidak ada celah-celah pada pintu itu. Mereka lalu mencari dengan jalan memutar dan akhirnya dapat melompati pagar tembok di belakang dan memasuki sebuah pekarangan yang luas. 

Akan tetapi baru saja mereka berempat masuk, tiba-tiba saja sudah ada belasan orang dipimpin Tung-hai Ngohouw mengepung mereka dengan senjata golok besar di tangan.

Melihat ada empat orang tahu-tahu telah berada di sebelah dalam pekarangan itu, belasan orang ini tidak banyak cakap lagi secara mengepung dan menyerang. 


Akan tetapi Lee Cin sudah mencabut pedangnya dan menyambut serangan mereka, demikian juga Cin Lan sudah menggerakkan tongkatnya menyambut golok mereka. 

Segera terdengar bunyi golok berdencingan dan golok-golok itu beterbangan begitu bertemu dengan Ang-coa-kiam dan tongkat. 

Dan tendangan serta tamparan tangan kiri kedua wanita perkasa itu membuat mereka terpelantingan.

Melihat ini, Tung-hai Ngo-houw menjadi marah dan mereka lalu maju, menggerakkan golok besar mereka mengeroyok dua orang wanita itu dan segera terjadi pertempuran antara dua orang wanita perkasa melawan lima orang Tung-hai Ngo-houw. 


Belasan orang lain mengepung Thian Lee dan Tin Han, akan tetapi begitu dua orang pemuda ini menggerakkan kaki tangan, mereka terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin.

Tiba-tiba muncullah Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok. Dua orang ini terkejut bukan main melihat hadirnya Song Thian Lee dan juga Cia Tin Han di tempat itu. 


Sama sekali tidak mereka sangka-sangka bahwa serangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu ternyata ada hubungannya dengan munculnya orang yang mereka tunggu-tunggu itu. 

Song Thian Lee dan isterinya telah berada di situ, dan bukan mereka saja. Juga Cia Tin Han dan Souw Lee Cin!

Begitu melihat Ouw Kwan Lok, Song Thian Lee segera berseru dengan suara nyaring, "Ouw Kwan Lok, manusia pengecut! Kembalikan anakku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang akan menang!"


Akan tetapi Ouw Kwan Lok membalas dengan bentakan mengancam. "Song Thian Lee dan isteri, kalau kalian menghendaki anak kalian selamat, cepat menyerahkan diri, kalau tidak anak kalian akan kami bunuh!"


"Jahanam Ouw Kwan Lok!" Tin Han sudah membentak marah.
"Lee-ko, jangan dengarkan ancamannya yang kosong!" Setelah berkata demikian, Tin Han sudah menerjang pemuda berlengan satu itu dengan pedangnya Pek-kong-kiam. 


Karena serangan itu dahsyat bukan main, Ouw Kwan Lok tidak berani hanyak cakap lagi dan dia sudah mencabut pedangnya, menangkis dan balas menyerang. 

Segera di antara kedua musuh besar itu terjadi perkelahian yang seru dan mati-matian.
Thian Lee menghadapi Siang Koan Bhok. "Siang Koan Bhok, kejahatan dan penyelewenganmu sudah terlalu jauh.


Mari kita tentukan dengan adu kepandaian!"
Siang Koan Bhok tidak dapat menghindar lagi. Tung-hai Ngo-houw bersama beberapa orang anak buah sudah mengeroyok dua orang wanita yang mengamuk seperti dua ekor naga betina itu, Ouw Kwan Lok juga sudah bertanding mati-matian melawan Cia Tin Han. Dia tidak dapat menghindarkan diri lagi lalu terpaksa mengerahkan tenaganya memutar tongkatnya dan menyerang Song Thian Lee dengan hebatnya.


Ilmu kepandaian Siang Koan Bhok pada saat itu sudah mencapai puncaknya, Ilmu tongkat yang dimainkan dengan dayung baja itu sudah matang dan dahsyat sekali. 


Akan tetapi, harus diakui bahwa usianya semakin tua padahal ini sangat tidak menolong. Daya tahannya sudah tidak seperti dulu lagi dan keuletannya juga berkurang. 

Adapun yang menjadi lawannya adalah Song Thian Lee, seorang muda yang sedang kuat-kuatnya yang memiliki ilmu pedang Jitgoat-kiam sut dengan pedang pusaka Jit-goat-po kiam dan memiliki pula tenaga dahsyat Thian-te Sin-kang. 

Gerakan pedangnya mantap dan mengandung tenaga kuatnya sehingga dia merupakan lawan yang berat bagi Siang Koan Bhok.

Pertandingan antara Ouw Kwa Lok dan Cia Tin Han juga terjadi mati-matian. Ouw Kwan Lok tidak dapat mengharapkan bantuan siapapun juga maka dengan nekat dia mainkan pedangnya dan mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mengimbangi Tin Han yang gagah perkasa. 


Pedang mereka lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar yang saling menekan dan menghimpit. 

Akan tetapi Lee Cin dan Cin Lan mengamuk bagaikan sepasang naga betina yang dikeroyok belasan orang anak buah Pulau Naga. Lima orang Tung hai Ngo-houw juga mengeroyok dua wanita ini, akan tetapi tetap saja mereka terdesak hebat oleh pedang Ang-coa-kiam dan tongkat di tangan Cin Lan.

Tiba-tiba terdengar gerengan hebat dan melompatlah
Hek-bin Mo-ko ke dalam pertempuran, menyerang Lee Cin dengan ruyungnya yang besar dan berduri. 


Lee Cin cepat mengelak dari serangan ruyung yang ampuh itu dan sekali membalik pedangnya sudah menusuk ke arah ulu hati Hekbin Mo-ko. Raksasa ini terkejut dan cepat membuang tubuhnya ke samping untuk menghindarkan dari tusukan itu, lalu maju lagi mengeroyok dengan yang lain-lain.
Lee Cin dan Cin Lan lalu mengamuk. 


Senjata mereka menyambar-nyambar dengan cepatnya dan sudah beberapa orang pengeroyok roboh tak dapat bangkit kembali disambar pedang dan tongkat.

Akhirnya hanya lima orang Tunghai Ngo-houw dan Hek-bin Mo-ko saja yang masih mengeroyok mereka, masing-masing dikeroyok tiga orang. 


Akan tetapi Lee Cin yang sudah marah sekali mengamuk dan ketika Hek-bin Mo-ko kurang hati-hati menghadapi sambaran pedang Lee Cin, ia berteriak dan roboh dengan dada tertusuk pedang, lalu terpelanting dan tidak dapat bangun kembali.

Robohnya Hek-bin Mo-ko ini membuat lima orang Tung-hai Ngo-houw menjadi kehilangan semangat, akan tetapi tidak mungkin mereka meninggalkan gelanggang pertempuran dan dengan mati-matian mereka masih mencoba untuk mengeroyok Lee Cin dan Cin Lan.


Namun, tingkat kepandaian lima orang Tung-hai Ngo-houw ini masih jauh kalau dibandingkan tingkat dua naga betina yang mengamuk itu. 


Dalam waktu singkat saja mereka berlima sudah roboh terpelanting, termakan pedang atau tertotok tongkat. 

Anak buah yang lain sudah siang-siang melarikan diri karena maklum bahwa mereka tidak akan menang mengeroyok dua orang pendekar wanita itu.

Setelah kehilangan lawan, Lee Cin dan Cin Lan menyimpan senjata
mereka dan kini mereka hanya menonton pertandingan yang amat seru antara Song Thian Lee dan Siang Koan Bhok dan antara Cia Tin Han dan Ouw K wan Lok. 


Mereka berdua adalah wanita-wanita pendekar gagah perkasa dan melihat betapa suaminya dan kekasih mereka tidak boleh mencampuri, apalagi melihat betapa keadaan pihak mereka tidak terdesak. 

Biarpun dengan tetap waspada, mereka kini menonton pertandingan yang amat hebat di puncak bukit itu, di depan bangunan indah yang bertaman bunga.

Pertandingan antara Song Thian Lee dan Siang Koan Bhok sudah berlangsung seratus jurus. Kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kepandaiannya sehingga tidak begitu mudah bagi Thian Lee untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. 


Ketika Siang Koan Bhok memainkan dayungnya dengan ilmu tongkat
Swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang), Thian Lee mengimbanginya dengan Silat Hui-eng-kun (Silat Elang Terbang) sehingga mereka bertanding sampai puluhan jurus dengan sangat seru dan saling serang. 


Kemudian Siang Koan Bhok mengubah gerakan tongkatnya dengan ilmu silat Kui-liong-kun (Silat Naga Siluman) dan membarengi pula dengan selingan pukulan tangan kiri dengan pukulan beracun Bantok-ciang (Tangan Selaksa Racun). 

Melihat ini, Thian Lee juga mengubah ilmu silatnya. Dia mainkan Jit-goat Kiam-sut dan menyelingi dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-kang. Beberapa kali
tangan kiri kedua orang jagoan itu bertemu di udara. 


Pada mulanya memang tampak seimbang dan keduanya terdorong mundur, akan tetapi lambat laun jelas bahwa Siang Koan Bhok kalah tenaga. Kalau Thian Lee hanya terdorong mundur, kakek itu terdorong sampai terhuyung!

Pada suatu saat, Siang Koan Bhok mengeluarkan ilmu dayungnya yang paling hebat. 

Tubuhnya bergulingan dan dayungnya yang besar panjang itu menyambar-nyambar dari bawah! Thian Lee terkejut sekali mendapat penyerangan yang tidak terduga-duga ini. Cepat dia menggunakan ilmu Hui-eng-kun (Silat Garuda Terbang) dan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor burung garuda beterbangan. 

Namun, tetap saja ketika tubuhnya menyambar turun, sebuah hantaman dayung mengenai dadanya. Melihat datangnya dayung tidak begitu kuat, Thian Lee menerima dengan dadanya dan membarengi menusuk ke bawah.

"Bukk.........
crotttt......... !" 
Dada Thian Lee terpukul dayung, akan tetapi ulu hati Siang Koan Bhok tertusuk pedang Jit-goat-kaim! Tubuh Thian Lee terlempar, akan tetapi tubuh Siang Koan Bhok rebah dan darah bercucuran dari dadanya!

Cin Lan cepat melompat dan menghampiri suaminya,membantu suaminya bangkit berdiri dan memandang dengan penuh kekhawatiran.


"Aku tidak apa-apa, hanya terluka sedikit saja," kata Thian Lee yang membikin tenang hati isterinya. Lee Cin melompat ke dekat Siang Koan Bhok dan memandang.


Ternyata kakek itu tidak mampu bangkit kembali, berkelojotan dan sebelum menghembuskan napas terakhir dia berkata dengan suara serak.


"Song Thian Lee, aku mengaku kalah!" Pengakuan yang gagah dari seorang datuk besar. Kemudian dia terkulai dan tewas.

Kini tiga orang itu menonton pertandingan antara Tin Han dan Ouw Kwan Lok. Pertandingan antara kedua orang ini tidak kalah serunya, bahkan lebih ramai dibandingkan pertandingan antara Thian Lee dan Siang Koan Bhok tadi.


Sungguh di luar dugaan Lee Cin bahwa Ouw Kwan Lok sekarang telah menjadi seorang yang sedemikian lihainya. Ia sendiri merasa bahwa agaknya sukar baginya untuk mengalahkan orang yang pernah dibuntungi lengan kirinya itu.


Sepak terjang Ouw Kwan Lok memang menggiriskan.

Pemuda ini telah menyerap ilmu-ilmu dari tiga orang datuk besar, yaitu dari Pak-thian-ong, dari Thian-te Mo-ong dan yang terakhir dari Siang Koan Bhok. Dari tiga orang datuk ini, dia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan mereka dan karena dia masih muda, berbakat dan kuat maka itu menjadi lihai bukan main di tangannya. 

Biarpun lengan kirinya sudah buntung, namun ujung lengan baju pada lengan kirinya itu menjadi senjata yang ampuh sekali.

Mereka juga sudah bertanding selama seratus jurus lebih namun Ouw Kwan Lok masih tampak mampu melawan dengan seimbang. 

Pedang di tangan kanannya menyambar-nyambar ganas dan tangan kiri yang buntung itu ternyata mampu menyalurkan pukulan beracun Pek-swat Tok-ciang yang mengeluarkan uap putih! 

Tangan kanannya memainkan ilmu silat Pek-wan-kun (Silat Lutung Putih) yang lincah dan cekatan sekali. Sambaran pedang silih berganti dengan sambaran ujung lengan baju kirinya, keduanya merupakan ancaman maut setiap kali menyambar. 

Akan tetapi sekali ini Ouw Kwan Lok benar-benar menemukan tanding!
Pedang Pek-kong-kiam di tangan Cia Tin Han adalah pemberian kakek sakti Bu Beng Lo-jin. Sejak tadi Tin Han tetap memainkan ilmu silat Hektiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) yang dimainkan dengan pedangnya yang kadang bergerak seperti paruh burung dan kadang dengan cepat berubah seperti sambaran cakar. Dan Tin Han melandasi ilmu pedangnya itu dengan tenaga Khong-sim Sin-kang.


Ouw Kwan Lok mengubah-ubah ilmu silatnya dari ketiga gurunya, namun semua ilmu silatnya itu membentur karang ketika bertemu dengan Hek-tiauw kun yang dilandasi Khong-sim Sin-kang. Terutama sekali dalam kekuatan tenaga sin-kang, lambat laun diketahui bahwa Ouw Kwan Lok masih kalah setingkat. Kini, setiap kali kedua pedang bertemu, terdengar bunyi nyaring diikuti muncratnya bunga api yang berpijar, namun jelas tampak betapa tubuh Ouw Kwe Lok tergetar, tanda bahwa tenaganya mulai kalah kuat.


Thian Lee, Lee Cin dan Cin Lan yang menonton pertandingan itu bersikap tenang saja, penuh kepercayaan kepada Tin Han. Bagaimanapun juga, tiga orang yang telah memiliki ilmu silat tingkat tinggi ini dapat melihat bahwa Tin Han tidak dapat dibilang terdesak, bahkan ilmu pedang pemuda ini mantap sekali dan beberapa kali Ouw Kwan Lok tampak kebingungan.


Ouw Kwan Lok sebenarnya merasa gelisah sekali.

Baginya Tin Han terlampau tangguh dan dia sudah hampir putus asa untuk dapat menang. Bahkan untuk melarikan diri dia sudah tidak mempunyai kesempatan sama sekali.
Kalau dia lari, tentu tiga orang yang lain itu tidak akan meninggalkannya begitu saja, tentu akan turun tangan pula.


Apalagi dia melihat gurunya telah roboh di tangan Thian Lee, nyalinya
sebagian besar telah terbang meninggalkan semangatnya. Diam-diam perhatiannya ditujukan kepada pisau-pisau terbangnya. Masih ada tujuh batang pisau terbang di pinggangnya dan mungkin pisau terbang ini yang akan dapat menolongnya membebaskan diri.


Dia membuat perhitungan dengan masak-masak. Tiba-tiba mulutnya mangeluarkan bentakan nyaring sekali dan pedang di tangan kanannya menyambar dahsyat ke arah Tin Han, disusul ujung lengan baju kirinya menyambar dengan cepat mengirim pukulan beracun. Menghadapi serangan.ganda ini, Tin Han dengan hati-hati lalu melompat ke belakang.


Pada saat itu, tubuh Kwan Lok bergulingan dan secepat kilat tangan kanannya melepas pedang yang digigitnya dan tangan kanan itu mencabuti tujuh batang pisau itu. Sambil bergulingan cepat sekali, empat batang pisau dilontarkan menyambar ke arah tubuh Tin Han dan tiga batang yang lain menyambar ke arah Thian Lee, Lee Cin dan Cin Lan.


Maksudnya untuk membuat empat orang itu mengelak dan menjauh sehingga dia akan dapat melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi Tin Han dapat mengetahui muslihatnya ini.


Pemuda ini mengelak dari dua sambaran pisau pertama kedua dan ketiga. Akan tetapi pisau keempat dia sambar dengan tangan kirinya dan Iangsung saja dia lemparkan kembali kepada penyerangnya!


Ouw Kwan Lok yang sedang bergulingan dan siap melarikan diri itu sama sekali tidak mengira bahwa dia akan makan pisaunya sendiri. Pisau itu dengan tepat mengenai lambungnya, masuk sampai ke gagangnya!


"Aduhhhh........!". Ouw Kwan Lok menjerit dan melompat ke arah Tin Han, menggerakkan pedangnya membacok kearah kepala Tin Han. Tin Han menangkis dengan pedangnya dan melihat kesempatan baik, tangan kirinya mengirim hantaman dengan Hek-tok-ciang yan mengenai dada Ouw Kwan Lok. 


"Desss ...... !!" 
Tubuh Ouw K wan Lok melayang seperti layang-layang putus talinya dan diapun roboh terjengkang.
Pisaunya masih menancap di lambung dan baju di bagian dadanya hangus dan nampak tanda lima jari tangan di situ.

Dia hanya mengeluh panjang lalu tak bergerak lagi, tewas!

"Han-ko, engkau berhasil membunuhnya!" teriak Lee Cin girang sambil mendekati Tin Han.
Tin Han memandang ke arah mayat Ouw Kwan Lok dan menghela napas panjang. "Sayang sekali dia begitu jahat.


Ilmu silatnya hebat sekali."

"Mari kita cari putera kita!" Cin Lan yang tidak pernah dapat melupakan puteranya itu berkata kepada Song Lee.

Mereka berempat lalu menghampiri pondok indah itu dan masuk ke pintu yang tadinya terkunci dari dalam, akan tetapi mereka berempat mendobraknya, sehingga terbuka.


Di sebelah dalam rumah, mereka melihat belasan orang wanita sudah siap dengan pedang di tangan untuk melawan mereka! Dan di belakang belasan orang wanita pelayan ini berdiri seorang wanita setengah tua, berusia kurang lebih limapuluh lima tahun, berpakaian indah berwajah cantik, lengan kiri memondong Hong San dan tangan kanan memegang sebatang pedang, siap pula melakukan perlawanan! "Hong San......... !"


Cin Lan berteriak memanggil puteranya yang dipondong wanita itu.

Hong San segera mengenal ibunya, "Ibu......... !" Akan tetapi dia tidak menangis dan agaknya dia senang berada dalam pondongan Nyonya Siang Koan Bhok yang tampak
menyayangnya. "Bibi, kembalikan anakku kepadaku!" Cin Lan berseru dengan suara lembut mendesak.


"Lo-cian-pwe, anak itu adalah putera kami yang diculik oleh Ouw Kwan Lok, harap lo-cian-pwe suka mengembalikan kepada kami!" kata pula Thian Lee, tidak berani menggunakan kekerasan khawatir kalau anaknya diganggu.


"Hemm, anak ini telah menjadi pengganti anakku. Tidak boleh orang mengambilnya begitu saja!" kata Nyonya Siang Koan Bhok berkeras karena ia sudah menyayang anak laki-laki yang lucu itu.


Pada saat itu, terdengar suara lembut, "Hui Cu......... , aku datang menyambutmu. ......!"


Nyonya Siang Koan Bhok terkejut dan menoleh. Dilihatnya seorang kakek berpakaian putih bersih penuh tambalan putih pula sudah berdiri tak jauh dari situ, dengan tongkatnya di tangan. Rambut dan kumis jenggot kakek ini sudah putih, akan tetapi wajahnya masih tampak segar kemerahan seperti wajah seorang muda.


"Kau......... kau......... mau apa engkau ke sini?"


"Hui Cu, engkau kini telah bebas. Siang Koan Bhok telah tewas, demikian pula anak buah Pulau Naga sudah melarikan diri semua. Engkau telah bebas dan marilah menghabiskan sisa hidup bersamaku, melalui jalan yang bersih tenang dan penuh damai sampai saatnya kita kembali kepada asal kita. Hui Cu, akan sia-sialah selama ini aku menantimu dengan sabar?"


"Tong Wan Yu......... , masih ada harapankah hidup dengan tenang dan damai setelah berpuluh tahun ini?"

" Kenapa tidak, Hui Cu" Aku sudah pernah menyakiti hatimu dan berilah aku kesempatan untuk memperbaiki itu semua, mari kita sambut masa senja kita dengan harapan baru untuk hidup penuh ketenteraman dan kedamaian, jauh dari keributan duniawi yang serba palsu."

"Akan tetapi anak ini, aku suka padanya," kata Hui Cu meragu sambil mencium pipi Hong San.


"Ia adalah cucumu, cucu murid. Ibunya adalah muridku yang dulu pernah menerima buah sian-to darimu. Berikanlah anak itu kepada ibunya, kepada Tang Cin Lan dan mari kita pergi dari tempat ini."

Setelah meragu sejenak, Nyonya Siang Koan Bhok atau yang bernama Tha Hui Cu itu lalu menyerahkan Hon San kepada Cin Lan yang segera menggendongnya dengan hati bahagia dan ia menciumi anaknya dengan berlinang air mata.


Nyonya Siang Koan Bhok lalu memesan kepada belasan orang pelayannya. "Kalian boleh tinggal di sini atau meninggalkan tempat ini. Barang-barang berharga boleh kalian bagi-bagi, aku tidak membutuhkannya lagi. Mari Wan Yu, kita pergi."


Kakek dan nenek itu lalu pergi bergandeng tangan dan tidak sekalipun nyonya itu menengok ke belakang, agaknya ia sudah rela meninggalkan semua itu untuk hidup bersama orang yang pernah dicintanya, yaitu Kakek Pek I Lo-kai atau yang di waktu mudanya bernama Tong Wan Yu.


"Siapa saja yang tinggal di sini!" tanya Lee Cin kepada belasan orang pelayan wanita yang kini tidak lagi mengambil sikap bermusuhan.


Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpinnya lalu maju dan berkata, "Kami tigabelas orang adalah pelayan-pelayan pribadi akan tetapi Hu-jin telah memberi perintah kepada kami untuk tinggal di sini atau meninggalkan pulau. Kami memilih meninggalkan pulau
karena setelah Hu-jin tidak lagi tinggal di sini, kamipun tidak suka tinggal di pulau ini."


"Baiklah, kalau begitu kalian boleh membawa barang-barang yang berharga dan tinggalkan pulau ini," kata Lee Cin.


Tiba-tiba terdengar suara banyak orang di depan pondok itu. Empat orang pendekar itu cepat keluar dan Cin Lan memondong puteranya. Ternyata yang datang Hwa Hwa To-su dan Cin Cin To-jin, pemimpin Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai.

Tin Han yang sudah mengenal mereka segera menyambut, kini tanpa kedok menutupi mukanya. " Jiwi Totiang, kita sudah berhasil. Jiwi sudah berhasil membasmi anak buah Pulau Naga dan akupun sudah berhasil menewaskan para pemimpinnya. 


Sekarang saya minta agar jiwi totiang suka membebaskan belasan orang wanita pelayan yang berada di sini dan hendak meninggalkan
tempat ini. Setelah itu terserah kepada jiwi apakah hendak menduduki Pulau Naga atau tidak."


Dua orang pemimpin perkumpulan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu sudah merasa puas dengan hasil kemenangan mereka. "Untuk sementara kami akan mengambil alih pulau ini sebagai markas besar kami," kata Hwa Hwa To-su kepada Cia Tin Han.


"Baiklah, kalau begitu sekarang kami juga akan meninggalkan tempat ini karena kami sudah tidak mempunyai keperluan apa-apa lagi." Tin Han dan tiga orang temannya lalu pergi, bersama-sama belasan orang pelayan wanita itu, meninggalkan pulau menggunakan banyak
perahu bekas milik anak buah Pulau Naga.



          ************


Kalau Tang Cin Lan dan Song Thian Lee bergembira karena dapat menemukan lagi putera mereka dalam keadaan sehat dan selamat, tidak demikian dengan Lee Cin dan Tin Han. Kedua orang muda ini masih tenggelam ke dalam lamunan masing-masing sehubungan dengan tidak setujunya kedua pihak orang tua mereka atas perjodohan mereka.


Song Thian Lee maklum akan hal itu karena dia juga menjadi saksi ketika keluarga Cia menolak Lee Cin menjadi jodoh Cia Tin Han. Sebagai seorang sahabat baik yang sudah mengetahui akan rahasia itu, di depan isterinya dia bertanya kepada kedua orang muda itu. "Aku mengerti apa yang kalian berdua resahkan. Tentu karena penolakan Keluarga Cia untuk menerima Cin-moi sebagai jodohmu, bukan, Han-te?"


Cia Tin Han menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Bukan hanya itu, Lee-ko. Bahkan lebih lagi dari itu.


Bukan saja keluargaku yang tidak menyetujui perjodohan kami, akan tetapi juga ibu kandung Cin-moi sama sekali tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan cucu mendiang Nenek Cia. Agaknya dahulu di antara mereka berdua terdapat semacam permusuhan yang sampai kini masih mengganjal hati kedua pihak."

"Orang-orang tua kalau mempunyai permusuhan memang amat kukuh hatinya. Akan tetapi kami berdua hendak mencoba untuk membantu kalian, Cin-moi dan Han-te," kata pula Song Thian Lee.

"Apakah yang dapat kaulakukan, Lee-ko" Kami sudah berputus asa, bahkan kami sudah bertekad untuk berjodoh tanpa persetujuan mereka lagi," kata Tin Han.


"Ya, apa yang dapat kaulakukan, Lee-ko" jangan-jangan engkau malah akan terlibat urusan yang tidak enak dengan ibuku dan dengan Keluarga Cia. Biarlah kami hadapi dan atasi sendiri urusan ini dan jangan menyusahkanmu Lee-ko," kata Lee Cin.


"Sama sekali tidak menyusahkan. Aku sendiri merasa penasaran dan kecewa melihat sikap keluarga kalian. Ku rasa mereka perlu disadarkan dan aku akan mencoba untuk menyadarkan mereka. Orang biasanya akan menjadi sadar kalau melihat kesalahan diri sendiri yang pernah dilakukan.


Kami berdua akan berkunjung kepada orang tuamu Han-te, kemudian kepada orang tua Lee Cin. Mudah-mudahan saja usaha akan dapat menggerakkan hati mereka."

"Sebelumnya terima kasih banyak atas kesediaanmu, Lee-ko. Akan tetapi ketahuilah, ibuku berwatak keras. Satu-satunya orang yang dapat menundukkan hatinya adalah ayahku. Aku khawatir ibu bahkan akan memusuhimu."
" Jangan khawatir, Cin-moi. Kami akan bersikap hati-hati."


Perahu mereka telah menyeberang dan mereka tiba di pantai daratan."Sekarang kalian hendak pergi ke mana, Han Te dan Cin-moi?"


"Kami akan mencari kedua orang suhuku, untuk minta doa restu mereka. Kalau kami tidak mendapatkan restu dari orang tua kami, kiranya sudah sepantasnya kami mendapatkan restu dari guru-guru kami," kata pula Tin Han.


"Baiklah, kami akan pulang, akan tetapi akan singgah dulu di tempat kediaman orang tua kalian masing-masing untuk mencoba usahaku membujuk mereka,. Kami tahu di mana harus mencari paman Souw Tek Bun. Dia masih tinggal di Hong-san, bukan, Lee Cin?"
"Benar, Lee-ko."


"Kami akan ke sana. Kemudian kami akan mencari Keluarga Cia. Dimana kiranya aku dapat bertemu dengan mereka, Han-te?"


"Mereka tidak akan tinggal jauh dari tempat kami semula, yaitu di sekitar bukit Lo-sian. Setidaknya ayah ibuku tentu tinggal di sana, di sebuah di antara dusun-dusun di pegunungan Lo-sian."


"Baik, kami akan mencari ke sana. Nah, sekarang juga kami akan berangkat, Han-te dan Cin-moi. Selamat berpisah dan sampai kita berjumpa kembali kelak dalam pesta
pernikahan kalian!"
Lee Cin berangkulan dengan Cin Lan, kemudian mereka berpisah mengambil jalan masing-masing.



          **********


Pria itu bertubuh tinggi tegap dan mukanya persegi,alisnya tebal dan matanya mencorong, gerak geriknya
membayangkan kekuatan besar dan dia gagah sekali.


Usianya sekitar limapuluh tahun namun dia masih nampak kokoh. Memang Souw Tek Bun yang dahulu dijuluki orang Sin-kiam Hok-mo merupakan seorang laki-laki yang gagah perkasa. 


Dia sedang duduk di atas bangku di serambi rumahnya, ditemani oleh seorang wanita yang cantik. Wanita ini berusia empatpuluh sembilan tahun, bertubuh tinggi agak kurus akan tetapi mukanya cantik jelita. 

Dahulu, di waktu ia masih menjadi seorang datuk sesat, karena memahami ilmu beracun, mukanya pucat seperti mayat.

Akan tetapi kini berkat bimbingan suaminya dan melepaskan diri dari hawa beracun, mukanya yang halus itu kemerahan. 


Pakaiannya masih seperti dulu, serba merah, warna kesukaannya. Ia adalah Bu Siang, isteri pendekar itu yang tadinya berjuluk An tok Mo-li. 

Setelah kini hidup berdua dengan Souw Tek Bun sebagai suaminya perubahan besar terjadi pada diri Bu Siang. Ia tidak lagi liar seperti dulu walaupun ia masih memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan masih pandai menjadi pawang ular.

Pada siang hari itu, hawanya panas sekali dan mereka berdua duduk makan angin di serambi depan. Mereka merasa demikian nyaman, tenteram dan penuh damai.

Keadaan seperti itulah, duduk berdua dengan orang yang dicinta, mengobrol tentang apa saja, yang dirasakan demikian indah oleh Bu Siang. Tidak seperti dulu ketika ia masih hidup terpisah dari Souw Tek Bun, adanya hanya tegang dan waspada, setiap saat seolah dirinya terancam bahaya.


Mengalahkan atau dikalahkan, hanya itulah semboyan hidupnya ketika itu. Tak perah mengenal kedamaian. " Aku rindu kepada Lee Cin," tiba-tiba Souw Tek Bun berkata sambil menatap wajah isterinya untuk menjenguk hatinya. Masihkah isterinya marah kepada anak mereka itu"


Sebetulnya Bu Siang amat mencinta Lee Cin. Penolakannya mati-matian ketika mengetahui bahwa Lee Cin mempunyai hubungan dengan putera Keluarga Cia, juga 
berdasarkan cintanya kepada puterinya. 

Puterinya tidak akan diperbolehkan menikah dengan keturunan orang orang yang pernah bekerja sama dengan pemberontak dan bajak-bajak laut Jepang! Apa lagi ia pernah bentrok dengan Nenek Cia yang terhitung musuh besarnya. 

Dalam pandangannya, keluarga Cia tiada bedanya dengan perkumpulan- perkumpulan seperti Pek-lian-kauw dan segala perkumpulan jahat lain yang berkedok perjuangan! Bagaimana mungkin puterinya tercinta menikah dengan keturunan dari keluarga itu"




Ang-tok Mo-li Bu Siang mengerutkan alisnya mendengar ucapan suaminya, akan tetapi ia menjawab sejujurnya. "Aku juga rindu kepadanya."
"Ia pergi mencari Hek-tiauw Eng-hiong yang telah melukaimu. 

Sebetulnya berat hatiku melepas ia pergi seorang diri. Hek-tiauw Eng-hiong demikian lihainya, aku khawatir ia akan mendapat celaka."
"Lee Cin tentu akan mampu melawannya. 

Dan peristiwa itu bahkan ada baiknya, membuka matanya bahwa laki-laki yang dicintanya itu sebetulnya seorang yang curang dan jahat. Lebih baik membunuhnya dari pada bersahabat dengannya."

"Akan tetapi yakinkah engkau bahwa yang menyerang dan melukaimu, Siang-moi?"
"Hemm, masih diragukan apanya lagi" Bukankah dahulu dia juga menyerang dan melukaimu dengan pukulan yang sama dan dia telah mengakui perbuatan itu" Aku terpukul oleh Hek-tok-ciang, ilmu pukulan yang hanya dikuasai oleh Keluarga Cia yang jahat!"


"Membiarkan Lee Cin pergi sendiri mencari musuh itu, membuat hatiku tidak tenteram. Ah, kenapa aku dulu tidak menemaninya mencari" Setidaknya kalau terjadi apa-apa aku dapat mengetahuinya."


"Sudahlah, Bun-ko. Tidak perlu dirisaukan keadaan LeeCin. Ia bukan anak kecil lagi dan tentang ilmu kepandaiannya, ia tidak kalah lihai olehku sendir
i. Aku percaya kepadanya."

Tiba-tiba sepasang suami isteri itu berhenti bicara dan perhatian mereka ditujukan keluar pekarangan. Sepasang orang muda, yang wanita memondong anak kecil, memasuki pekarangan itu sambil tersenyum. 

Segera mereka mengenalnya, terutama Souw Tek Bun yan segera bangkit berdiri menyambut kedatangan mereka. Ang-tok Mo-li Bu Siang juga bangkit berdiri ketika dua orang muda itu memberi hormat kepadanya dan kepada suaminya. 

Mereka adalah Song Thian Lee dan Tang Cin Lan yang menggendong Song Hong San.
"Aih, angin apakah yang membawa kalian datang berkunjung?" tanya Souw Tek Bun dengan ramah. "Mari silahkan duduk, thai-ciangkun."

"Ah, Paman Souw, harap jangan sebut saya dengan sebutan itu. Sudah lama sekali saya tidak lagi menjadi panglima, bahkan kini menjadi buruan pemerintah."


"Oh, ya. Maafkan kami. Eh, silakan duduk dan agaknya kalian berdua datang membawa berita yang penting."
Ang-tok Mo-li Bu Siang juga terseyum kepada Cin Lan dan berkata, "Siakan duduk."



Setelah keduanya duduk, Thian Lee segera mulai bicara.

"Sebetulnya kedatangan kami ini untuk memberi kabar gembira kepada paman dan bibi, yaitu bahwa Ouw Kwan Lok, beng-cu baru itu, telah mengakui bahwa dialah yang dulu menyerang dan melukai bibi Ang-tok Mo-li dengan pukulan Hek-tok-ciang."

Ang-tok Mo-li mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Hemm, benarkah itu" Jadi yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong itu.


"Benar, Ouw Kwan Lok yang memalsukan Hek-tiauw Eng-hiong. Bukan hanya memukul bibi, akan tetapi dia melakukan banyak pembunuhan atas diri para hwe-sio Siauw-lim-pai dan to-su Kun-lun-pai dengan menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong sehingga Pendekar Rajawali Hitam itu yang tertuduh. 


Maksudnya untuk mengadu domba." "Jahanam Ouw Kwan Lok!" Ang-tok Mo-li memaki.
"Akan tetapi dia kini telah tewas, bibi. Yang menewaskannya bukan lain adalah saudara Cia Tin Han
atau Hek-tiauw Eng-hiong sendiri." 


Setelah berkata demikian, Thian Lee memandang tajam kepada wanita
cantik itu. Akan tetapi Ang-tok Mo-li masih mengerutka alisnya.


"Dan ada berita apa lagi. Song-sicu?"
"Selain Ouw Kwan Lok telah tewas, juga para pengikutnya, para tokoh sesat dunia kang-ouw yang dibawanya menghamba kepada pemerintah penjajah telah tewas. 


Juga Siang Koan Bhok telah tewas dan Pulau Naga telah dibinasakan."
"Apakah kalian bertemu dengan Lee Cin puteriku?" tiba-tiba Ang-to Mo-li bertanya.

"Bibi, kami bertemu dengannya. Ia dalam keadaan sehat dan selamat dan iapun membantu pembasmian para antek Mancu," kata Tang Cin Lan, kini tidak ragu-ragu lagi menyebut antek Mancu biarpun ayah tirinya juga seorang Mancu! 


Akan tetapi ia sudah dapat membedakan mana orang Mancu yang berjiwa penjajah dan penindas dan mana yang bukan.
"Bagus! Kenapa ia tidak pulang bersama kalian"' tanya pula Ang-tok Mo-li.


"Ia kelak akan menghadap bibi bersama Cia Tin Han, untuk mohon doa restu perjodohan mereka," kata Thian Lee sambil menahan napas.


Wajah itu berubah merah, sepasang matanya menyinarkan kemarahan. "Tidak mungkin! Tidak mungkin ia menikah dengan cucu Nyonya Cia, musuh besarku!"


"Akan tetapi, Nyonya Cia telah meninggal dunia, dan adik Lee Cin Lan berjodoh dengan cucunya, bukan dengan Nyonya Cia. Pula, apa sih buruknya Nyonya Cia maka bibi membencinya sedemikian rupa?"


"Kau masih bertanya kejahatannya" Sayang dahulu aku hanya melukainya saja dan tidak membunuhnya. Ia pernah menghinaku, mengatakan aku datuk sesat sedangkan ia sendiri apa" Ia berkedok sebagai patriot pembela bangsa, akan tetapi ia tidak segan-segan untuk bersekutu dengan bajak laut Jepang dan dengan pasukan pemerintah. Cih, tidak tahu malu! Tidak, Lee Cin tidak boleh berjodoh dengan cucunya!"


"Akan tetapi, bibi. Harap ingat siapa adanya Cia Tin Han.

Dia yang telah membunuh Ouw Kwan Lok yang pernah melukaimu. Dia membasmi para antek Mancu. Dia seorang patriot sejati yang tidak mau bergabung dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw. Dia seorang gagah sejati. 

Pula, kalau kita mengingat-ingat, siapakah di antara kita yang tidak pernah melakukan kesalahan dalam kehidupan kita"

Saya sendiri pernah menjadi Panglima Mancu. Paman Souw Tek Bun pernah menjadi beng-cu yang direstui pemerintah Mancu. Dan maaf, bukankah bibi terkenal sebagai seorang datuk sesat di waktu itu" Kita semua pernah bersalah, akan tetapi apakah karena itu kita lalu selama hidup disumpahi dan tetap menjadi orang yang bersalah" Harap bibi ingat demi kebahagiaan puteri bibi sendiri. 


Dari pada adik Lee Cin berjodoh dengan Cia Tin Han di luar persetujuan paman dan bibi, alangkah baiknya kalau mereka itu berjodoh dengan restu paman dan bibi berdua."

Song Thian Lee bicara penuh semangat dan suaranya terdengar lantang.

Ang-tok Mo-li sendiri sampai memandang heran melihat sikap bekas panglima itu. "Song Thian Lee, mengapa engkau mati-matian membela Lee Cin agar berjodoh dengan Cia Tin Han?"

"Bibi, saya menganggap Lee Cin seperti adik saya sendiri.

Dan saya bersedia untuk membelanya mati-matian."
Souw Tek Bun lalu menyentuh tangan kiri isterinya.


"Siang-moi, kurasa banyak benarnya apa yang dikatakan oleh Thian Lee tadi. Kita mengetahui betapa keras watak Lee Cin. Kalau kita berkeras menolak ia berjodoh dengan Cia Tin Han, tentu ia akan memaksa dan kawin lari dengan pemuda itu. Kalau sampai terjadi hal seperti itu, bukankah kita sendiri yang akan merasa malu" Harap engkau pikirkan baik-baik, apa lagi setelah kita mendapat kepastian bahwa Cia Tin Han adalah seorang pendekar patriot yang gagah perkasa dan bijaksana."


Ang-tok Mo-li tampak ragu-ragu, lalu berulang kali ia menghela napas panjang. "Hemm, kalau ayah ibunya mau datang meminang dan mohon ampun atas kesalahan nenek mereka dahulu, biar kupertimbangkari!" 


Akhirnya ia berkata dan Thian Lee merasa gembira bukan main.
Saya merasa yakin bahwa mereka akan mau melakukan hal itu, bibi. Saya sendiri yang akan membujuk mereka!"


Souw Tek Bun dan isterinya menjamu tamu yang masih muda namun mereka hormati itu dan setelah mengaso di Hong-san semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi Thian Lee sudah meninggalkan Hong-san bersama isteri dan anaknya. 



          *************


Thian Lee dan Cin Lan mencari Cia Kun dan isterinya di dusun-dusun sekitar pegunungan Lo-sian dan akhirnya mereka mendapatkan suami isteri itu yang hidup sebagai petani di sebuah dusun. 

Cia Kun dan isterinya menyamar sebagai petani biasa dan mereka terkejut sekali ketika pada suatu sore Song Thian Lee dan Tang Cin Lan bersama anak mereka datang berkunjung. 

Mereka menyambut dengan hormat, akan tetapi Song Thian Lee minta kepada mereka agar jangan sungkan menyambut mereka.

"Paman Cia, kami berdua datang berkunjung untuk menyampaikan berita yang amat melegakan."

"Berita apakah itu, Song-sicu?" tanya Cia Kun sambil menatap wajah tamunya yang gagah perkasa itu.

"Pertama kami hendak mengabarkan bahwa Cia Tin Han telah berhasil menemukan Hek-tiauw Eng-hiong yang palsu dan membunuhnya. 


Penjahat yang menyamar sebagai Hektiauw Eng-hiong itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok, beng cu baru yang bekerja sama dengan Siang Koan Bhok mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk menjadi antek penjajah Mancu. Kebetulan sekali kami berdua dan nona Souw Lee Cin juga pergi ke Pulau Naga sehingga kami dapat bersama-sama membasmi para pimpinan Pulau Naga.

Saudara Cia Tin Han berhasil membersihkan namanya dan membunuh orang yang telah mencemarkan namanya selama ini."

Cia Kun dan isterinya mengerutkan alisnya mendengar bahwa Souw Lee Cin juga bekerja sama dengan putera mereka. "Kami merasa bersyukur sekali bahwa dia telah dapat membersihkan namanya," kata Cia Kun. 

"Akan tetapi kenapa dia tidak pulang bersama kalian?"
"Dia melakukan perjalanan bersama nona Souw Lee Cin dan mereka sedang menuju ke sini untuk minta doa restu paman berdua agar pernikahan antara mereka disetujui.

Paman dan bibi, saudara Cia Tin Han saling mencinta dengan nona Souw Lee Cin dan mereka merupakan pasangan yang setimpal sekali."
"Tidak bisa!" kata Nyonya Cia Kun. "Bagaimana kita dapat mengambil menantu puteri Ang-tok Mo-li yang
demikian jahat" Ia musuh besar kami dan puterinya tentu saja juga merupakan musuh besar kami. 


Bagaimana dapat dijodohkan dengan putera kami" Kami selamanya tidak akan setuju!"
"Isteri saya berkata benar, Song-sicu. Engkau sendiri tentu sudah mendengar siapa adanya Ang-tok Mo-li. Ia seorang datuk sesat yang jahat sekali. Bagaimana akan kata orang kalau kami, keluarga patriot Cia bermantukan puteri Ang-tok Mo-li?"

"Paman dan bibi harap ingat bahwa adik Souw Lee Cin adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan sudah banyak tokoh sesat roboh di tangannya. Ia benar-benar gagah perkasa dan bijaksana!" kata Cin Lan membela.


"Paman dan bibi, kami tahu siapa adanya Ang-tok Mo-li.
Akan tetapi itu dahulu, ketika ia masih menjadi datuk sesat.


Sekarang ia adalah isteri dari bekas beng-cu Souw Tek Bun yang berjuluk Sin-kiam Hok-mo dan siapa yang menyangsikan kependekaran Souw Tek Bun" Paman dan bibi, setiap orang pernah melakukan kesalahan seperti halnya Ang-tok Mo-li. Kini ia telah bertaubat dan menjadi orang baik-baik.. 


Seperti halnya keluarga Cia sendiri, bukankah keluarga Cia pernah melakukan kesalahan yang besar sekali sehingga menodai nama sendiri sebagai patriot?"
"Hemm, kami tidak pernah melakukan kejahatan!"


"Benar, akan tetapi Keluarga Cia pernah bersekutu dengan orang-orang sesat di dunia kang-ouw, bahkan bersekutu dengan bajak laut Jepang dan dengan pasukan Mancu yang memberontak. 


Bukankah itu juga merupakan suatu perbuatan yang salah" Seorang patriot dan pendekar sejati berjuang demi rakyat tentu tidak akan sudi bersekutu dengan kaum sesat dan bajak laut Jepang.

"Hemm, akan tetapi semua itu sudah lewat dan kami sekarang tidak sudi lagi bersekutu dengan mereka!" kata Cia Kun.

"Nah, sama saja halnya dengan Ang-tok Mo-li," jawab Thian Lee. "Locian-pwe itu dulu juga melakukan kesalahan akan tetapi sekarang sudah menyadarinya dan menjadi isteri pendekar besar Souw Tek Bun, tidak lagi menjadi orang sesat. 

Apakah paman dan bibi tidak dapat sama-sama melupakan kesalahan yang lalu dan kini berbaik, demi ke bahagiaan putera paman dan bibi sendiri" Ingat, paman dan bibi. Yang penting, putera paman dan bibi adalah seorang pendekar patriot dan demikian pula dengan Nona Souw Lee Cin. Mereka saling mencinta dan mereka itu cocok benar untuk menjadi suami isteri."

"Hemmmm ......... hemm........" Cia Kun menggumam dan melirik kepada isterinya "Lalu apa yang dapat kami lakukan ?" 


"Sebagai orang tua dari Saudra Tin Han, sebaiknya kalau ji-wi pergi melakukan pinangan atas diri Nona Souw Lee Cin dari ayah bundanya di Hong-san."
"Hemm, bagaimana kalau Ang-tok Mo-li menolak mentah-mentah dan marah lalu menghina kami?"


"Tidak mungkin. Kami telah melakukan penjajakan, apa lagi di sana terdapat Paman Souw Tek Bun yang bijaksana dan dia adalah ayah kandung Nona Souw Lee Cin.."


"Hemm, baik, akan kami pikir-pikir dulu sambil menanti munculnya Ti Han."

"Terima kasih, paman. Kami lega sekali karena merasa bahwa kami telah melakukan kewajiban membela Tin Ha dan Lee Cin yang kami sayang."

Suami isteri itupun bermalam satu malam di rumah Cia Kun dan pada keesokan harinya mereka berpamit untuk kembali ke tempat tinggal baru mereka di sebuah dusun yang terpencil karena mereka berdua maklum bahwa mereka tentu akan menjadi buruan pemerintah yang tidak akan segan menangkap mereka kalau mengetahui di mana mereka berada.



          **********


Sambil bergandeng tangan Tin Han mendaki bukit gersang itu. Melihat seekor burung rajawali hitam beterbangan mengelilingi puncak bukit itu tahulah dia bahwa Thay Kek Cin-jin, gurunya tentu berada di tempat itu.


Dia sudah dua kali meminjam Hek-tiauw-ko untuk membantunya mencari Ouw Kwan Lok dan sekarang dia hendak menghadap gurunya untuk minta tolong agar
gurunya mau merestui perjodohannya dengan Lee Cin.

Kalau kedua orang tuanya tidak mau meresrui, maka dia akan minta doa restu gurunya itu.

Setelah tiba di puncak, mereka berdua melihat dua orang kakek sedang duduk berhadapan di atas batu besar yang rata seperti meja dan dua orang kakek itu sedang asyik bermain catur! Yang seorang adalah Bu Beng Lo-jin, guru Tin Han yang pertama, sedangkan yang kedua adalah Thay Kek Cin-jin.


Baru saja dua orang kakek itu menyelesaikan permaianan catur mereka dan Bu Beng Lo-jin mengelus
jenggotnya tertawa. "Thay Kek Cin-jin, kembali aku harus mengakui keunggulanmu. Sekali ini engkau menang dan kiranya benar apa yang kau ramalkan bahwa masih jauh
sekali waktunya Kerajaa Ceng untuk jatuh dan kekuatan rakyat untuk bangkit dan mengusir penjajah."
"Hemm, hal itu mudah sekali diduga, Bu Beng Lo-jin.


Penjajah Mancu terlalu pandai mengambil hati rakyat sehingga rakyat tidak merasa lagi bahwa sesungguhnya mereka dijajah bangsa lain. 

Kaisar telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang baik, membangun jalan-jalan dan terusan-terusan, mendatangkan kemakmuran kepada rakyat sehingga dengan mudah rakyat terpancing hatinya. 

Banyak tokoh kang-ouw juga tertarik untuk membantu Kerajaan Mancu yang dianggap baik, bahkan lebih baik dari Kerajaan Beng kita. Karena itu, pemberontakan-pemberontakan yang dikobarkan secara kecil-kecilan pasti akan gagal. 

Nanti kalau pada saatnya tiba dan seluruh rakyat di muka bumi bangkit dan bergerak, barulah ada harapan penjajah Mancu akan terusir dari tanah air.

Akan tetapi semua itu hanya dapat terjadi apabila Thian menghendaki."
"Sian-cai, alangkah malangnya nasib rakyat kita kalau selama puluhan tahun dijajah bangsa lain."

"Pengalaman pahit sewaktu-waktu juga untuk bekal kehidupan di kemudian hari, Bu Beng Lo-jin. 

Ingat bahwa rencana Thian berbeda dengan rencana manusia, akan tetapi semua rencana itu tidak dapat diubah dan selalu menuju kebaikan."

Pada saat itu Tin Han dan Lee Cin tiba di situ dan mereka berdua segera berlutut menghadap ke arah kedua orang kakek yang duduk di batu besar itu.

"Ji-wi suhu, teecu Cia Tin Han memberi hormat," kata Tin Han dengan suara lembut.

"Teecu Souw Lee Cin memberi hormat," kata pula Lee Cin menirukan kata-kata kekasihnya.

Dua orang kakek itu menoleh. "Siancai, engkau datang lagi ke sini, Tin Han. Ada apa lagikah" Apakah engkau belum juga dapat menyelesaikan tugasmu?" tanya Thay Kek Cin-jin dengan suaranya yang lembut.


"Berkat restu suhu semua kewajiban teecu telah teecu laksanakan dengan baik. Teecu menghadap bersama adik Souw Lee Cin dengan suatu maksud untuk mohon petunjuk dan pertolongan jiwi suhu."


"Ha-ha, petunjuk apa lagi yang kau butuhkan pertolongan macam apa yang dapat kami berikan kepadamu, Tin Han?"


kembali Thay Kek Cin-jin bertanya.
"Suhu, teecu dan adik Souw Lee Cin ini, telah mengambil keputusan untuk hidup bersama sebagai suami isteri, untuk berjodoh. Akan tetapi teecu berdua mengalami rintangan yang hebat dan berat dan kiranya petunjuk dan doa restu ji-wi suhu saja yang akan dapat membuat teecu berdua melaksanakan apa yang menjadi cita-cita teecu."


"Hemm, halangan" Halangan apakah?".


"Halangan besar sekali, suhu. Orang tua teecu tidak setuju kalau teecu berjodoh dengan adik Souw Lee Cin, dan sebaliknya, ibu kandung adik Souw Lee Cin juga tidak setuju kalau ia berjodoh dengan teecu. Kiranya dahulu terdapat permusuhan antara orang tua teecu dan ibu kandung adik Souw Lee Cin. Karena tidak mendapat doa restu orang tua, teecu berdua mohon doa restu ji-wi suhu untuk menjadi suami isteri."


"Ha-ha-ha, mana mungkin itu" Ingat, Tin Han, aku menjadi suhumu hanya dalam waktu tiga bulan saja.
Sebaiknya engkau minta restu Bu Beng Lo-jin yang sudah bertahun-tahun menjadi gurumu."


"Suhu Bu Beng Lo-jin, teecu mohon doa restu."
" Anak bodoh, bagaimana seorang guru dapat memberi doa restu tentang perjodohan muridnya" Engkau harus mendapatkan doa restu orang tuamu dan orang tua nona ini. Orang tuamu adalah Keluarga Cia yang terkenal patriotik, dan siapa ibu kandung nona ini?"


"Ia adalah Ang-tok Mo-li yang kini telah hidup sebagai isteri pendekar besar Souw Tek Bun di Hong-san."
"Ah, kalau begitu ada kesulitan apa lagi" Kalau dulu ada permusuhan, dengan berjodohnya anak masing-masing,bukankah dapat menjadi rukun kembali" Pinto memberi doa restu, Tin Han, akan tetapi keputusannya tergantung dari orang tua kalian berdua. 


Sebaiknya kalau kalian berdua menghadap orang-orang tua itu. Kaum pendekar sekarang harus bersatu karena dikejar-kejar pasukan, dan persatuan yang paling baik adalah melalui kekeluargaan. 

Pergilah dan percayalah bahwa jodoh berada di tangan Thian. Kalau memang Thian menghendaki kalian berdua menjadi jodoh masing-masing rintangan apapun pasti akan dapat kalian lampaui dan atasi," kata Bu Beng Lo-jin.

"Hayo, Bu Beng Lo-jin, kita main satu partai catur lagi sebelum berpisah," tiba-tiba Thay Kek Cin-jin berkata.
Mengertilah Tin Han bahwa dua orang kakek itu tidak mau diganggu lebih lama lagi. Maka dia dan Lee Cin lalu memberi hormat kepada kedua orang itu.

"Selamat tinggal, ji-wi suhu. Harap ji-wi suhu menjaga diri baik-baik, tee-cu berdua hendak pergi."
"Pergilah, semoga Thian bersamamu," kata Thay Kek Cin-jin.
"Pergilah dan bawalah harapan besar di hatimu, jangan putus asa!" kata pula Bu Beng Lo-jin.


Setelah memberi hormat sekali lagi sepasang orang muda itu lalu meningalkan puncak bukit gersang di mana dua orang kakek sakti itu sedang bermain catur.



          **********


Cia Kun dan isterinya sedang bekerja mencangkul sawah ketika Tin Han dan Lee Cin muncul. Mereka tidak heran melihat munculnya anak itu karena sebelumnya mereka telah ditemui Song Thian Lee. 


Diam-diam ada perasaan bangga dalam hati mereka melihat putera ini. Sejak kecil Tin Han dianggap seorang pemuda yang lemah, tidak tahunya malah pemuda ini yang membuat nama besar sebagai Hektiauw Eng-hiong Dan melihat Lee Cin, mau tidak mau mereka merasa berbangga juga. 

Sejak pertemuan pertama dahulu memang mereka amat kagum kepada gadis yang berilmu tinggi dan gagah perkasa itu. Sekarang, kenyataan bahwa gadis itu adalah puteri Ang-tok Mo-li tidak mengganggu benar perasaan mereka. 

Memang benar Ang-tok Mo-li dahulu seorang datuk sesat, akan tetapi hanya terkenal karena keangkuhannya, keliarannya dan tidak mau memandang mata kepada siapapun juga. 

Namun belum pernah wanita sakti itu dikabarkan melakukan perbuatan jahat, walaupun kekejamannya kadang mengerikan terhadap musuh-musuhnya.

Ketika melihat Lee Cin berjalan di samping Tin Han,demikian cantik jelita dan. gagah, mau tidak mau hati Nyonya Cia Kun penuh kebanggaan. Lee Cin benar-benar merupakan calon mantu yang tidak mengecewakan.


"Ayah........!.
Ibu.........!"
Tin Han berseru dan menghampiri ayah ibunya yang berada di tengah sawah itu dengan keraguan di hatinya. 


Bagaimana ayah ibunya akan menerima dirinya dan Lee Cin"
Ketika melihat wajah kedua orang tuanya itu cerah dan gembira, hati Tin Han merasa senang sekali. "Ayah, ibu. Aku dan adik Souw Lee Cin pulang untuk menemui ayah ibu!"


"Mari kita bicara di rumah!" kata Cia Kun dan bersama isterinya dia keluar dari sawah, mencuci kaki tangannya dan mereka berempat lalu pergi ke pondok bambu tempat tinggal kedua orang tua itu yang amat sederhana.


Setelah kedua orang tua itu duduk di atas kursi, Tin Han mengajak kekasihnya berlutut di depan mereka dan berkata,"Ayah dan ibu, kami berdua ingin mohon doa restu ayah dan ibu agar kami dapat berjodoh."


Ayahnya mengangguk-angguk dan memandang kepada Lee Cin, kemudian berkata, "Tin Han, engkau sudah cukup dewasa untuk memilih calon isterimu sendiri. Kami berdua hanya dapat merestui. Semoga kalian menjadi suami isteri yang hidup rukun dan berbahagia."


"Akan tetapi, ayah. Bukan hanya doa restu ayah ibu yang kuminta."
"Hemm, apa lagi, Tin Han" Aku dan ayahmu sudah merestui, menyetujui, apa lagi yang kau kehendaki?" tanya ibu nya.


"Ibu, adik Souw Lee Cin adalah puteri orang terhormat, dan ayah ibunya masih ada. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kalau kita meminangnya sebagaimana mestinya dengan sah. 


Karena itu, aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengajukan pinangan atas diri adik Souw Lee Cin kepada orang tuanya di Hong-san. Ayah dan ibu, permintaanku sekali ini mohon ayah dan ibu suka memenuhinya," Tin Han berlutut di depan mereka.

Cia Kun dan isterinya saling pandang. Sejak mereka kedatangan Song Thian Lee, mereka sudah membayangkan akan terjadinya hal ini. Memang merupakan tugas besar bagi mereka untuk menghadap Ang-tok Mo-li dan mengajukan pinangan, akan tetapi agaknya tidak ada jalan lain bagi mereka.


"Song Thian Lee sudah datang memberitahu kepada kami tentang keadaanmu berdua, Tin Han. Baiklah, kami berdua akan pergi bersama kalian ke Hong-san. Akan tetapi kalau sampai penerimaannya di sana tidak menyenangkan, kami tidak bertanggung jawab."


"Harap paman dan bibi tenangkan hati. Saya yang akan menanggung mengenai penerimaan ayah dan ibu," kata Lee Cin dengan penuh semangat. Ia juga sudah yakin bahwa tentu Song Thian Lee sudah menemui ibunya untuk menyadarkan jalan pikiran ibunya yang kukuh. 


Dan ia percaya benar akan kemampuan bekas panglima besar itu.
Mereka bermalam di dusun itu dua malam, membuat persiapan dan pada hari ke tiga berangkatlah mereka berempat melakukan perjalanan menuju ke Hong-san.


Pemandangan alam di puncak Hong-san pada pagi hari itu indah bukan main. Langit cerah sehingga sinar mata hari pagi menghangatkan dan menghidupkan segala sesuatu di permukaan bumi. 


Burung-burung beterbangan di udara menuju ke tempat pekerjaan masing-masing. Ada yang masih bermalas-malasan berkicau sambil berloncatan dari dahan ke dahan. 

Ayam-ayam hutan sudah pada turun dan mencakar-cakar di bawah semak belukar mencari cacing dan binatang hutan juga sudah mulai berkeliaran untuk mencari pengisi perut. 

Seluruh permukaan gunung Hongsan tampak hidup dan bergerak, namun tidak mengganggu keheningan yang menyelimutinya.

Di lereng gunung agak ke bawah tampak ibu dan bapak tani bekerja di sawah ladang. Para prianya yang tidak berbaju tampak tubuhnya mengkilat karena berpeluh. Ulah tubuh-tubuh yang bekerja keras itu tampak demikian serasi dan indah. 

Dan ibu-ibu yang menanam padi seperti sedang bersembahyang memuji kebesaran dan kemurahan Tuhan.
Tidak ada gerakan yang lebih indah dari pada gerakan orang bekerja karena hidup adalah bekerja. Kekuasaan Tuhan sendiri tidak pernah sedetikpun berhenti bekerja sehingga segala sesuatu berjalan dengan lancar dan sempurnanya.

Di puncak Hong-san, di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal Souw Tek Bun dan isterinya, kedua orang inipun tidak membiarkan diri bermalas-malasan di pagi hari itu. Mereka sedang merawat tanaman sayur-sayuran diladang itu. 

Souw Tek Bun memegang cangkul, mencangkuli tepi-tepi pematang ladang sedangkan isterinya, Ang-tok Mo-li Bu Siang, mencabuti rumput dan daun sayur yang mengering. Mereka bekerja tanpa banyak cakap. 

Dalam keadaan seperti itu, apa artinya percakapan" Dengan diam orang bahkan dapat lebih merasakan keindahan, ketenteraman dan kedamaian suasana yang menyelimuti permukaan bumi itu. 

Hanya kadang-kadang mereka saling lirik dan merasa senang kalau melihat yang lain sibuk bekerja. Dengan menanam sayur-sayuran, Souw Tek Bun dan Bu Siang sudah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.

Hasil sayur mayur itu dapat mereka tukar dengan beras dan kebutuhan lain di pasar dusun di bawah lereng sana. Dan kebutuhan mereka tidaklah banyak. Cukup makan setiap hari. 


Adapun tentang pakaian, mereka membeli kain yang kasar dan kuat dan sekali beli dapat dipakai sampai
bertahun. 


Suasana setempat mempengaruhi kehidupan seseorang.Kalau saja sepasang pendekar ini tinggal di kota besar, tentu kebutuhan mereka melonjak. Karena lingkungan, mereka akan membutuhkan pakaian yang indah, membutuhkan makanan yang mahal dan lezat dan banyak keperluan lain.


Akan tetapi karena lingkungan di dusun membuat mereka tidak membutuhkan semua itu, keperluan hidup mereka amat sederhana.
Kebutuhan kehidupan di dusun adalah benar-benar apa yang dibutuhkan oleh tubuh dalam kehidupan ini. 


Sebaliknya kebutuhan kehidupan di kota besar lebih bersifat keinginan untuk bersenang-senang dan keinginan untuk bersenang ini kalau dituruti tidak akan ada batasnya, tidak akan ada habisnya, bahkan orang condong untuk saling bersaing, saling melebihi dalam segala hal.

Setelah selesai membersihkan rumput rumput dan mencabuti daun-daun yang mati dan layu, mengumpulkan semua rumput dan daun kering itu menjadi setumpuk di atas tanah lalu membakarnya, Ang-tok Mo-li Bu Siang duduk mengaso di atas batu besar yang terdapat di situ.

Melihat isterinya mengaso sambil menyeka keringat yang membasahi leher dan dahi, Souw Tek Bun juga berhenti mencangkul dan menghampiri isterinya, melepas caping lebarnya dan mengipasi tubuhnya yang terasa gerah dan berkeringat dengan capingnya. Mereka saling pandang dan tersenyum, merasakan kepuasan yang nikmat menyelubungi hati dan badan.

" Aku merasa heran sekali.........", kata Bu Siang.
"Apa yang kauherankan?" tanya Souw Tek Bun sambil duduk di atas batu depan isterinya. Kalau sedang begitu, dia sudah lupa bahwa yang duduk di depannya ini pernah menjadi Ang-tok Mo-li, wanita yang ditakuti orang-orang di dunia kang-ouw

"Aku merasa heran sekali merasakan betapa nikmat dan senangnya hidup seperti ini, di dalam keheningan pegunungan jauh dari manusia lain ini. Aku merasakan hidup begini penuh dengan ketenangan dan kebahagiaan, tidak pernah kekurangan sesuatupun."


Suaminya tersenyum. "Memang itulah rahasianya hidup bahagia,isteriku. Orang yang tidak pernah merasa kekurangan, dia adalah orang yang sebahagia-bahagianya, karena orang itu dapat hidup seutuhnya menikmati anugerah Tuhan yang memang sudah berlimpahan. 


Orang yang tidak pernah merasa kekurangan, berarti dia orang kaya dalam arti yang sebenarnya, karena segala apa yang diperoleh dan dimilikinya merupakan harta yang tak ternilai harganya. 

Sebaliknya, orang yang selalu merasa kekurangan hidupnya, walaupun dia kaya raya dan hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, sesungguhnya dia orang yang paling sengsara hidupnya, orang -orang semiskin--miskinnya karena dia tidak pernah dapat menikmatinya apa yang diperolehnya, yang selalu dirasakan kurang cukup banyak.

Kita, kita dapat bersorak dan berkata dengan sepenuh hati bahwa KITA TlDAK BUTUH APA-APA, bukankah begitu,Siang-moi?"


Wanita itu mengangguk-angguk dan tersenyum manis.
"Kalau saja aku dapat membayangkan akan hidup seperti ini, rasanya sudah sejak puluhan tahun yang lalu aku ikut denganmu, Bun-ko."


"Belum terlambat, Siang-moi. Kita masih dapat menghabiskan sisa hidup kita di tempat ini, atau tempat lain yang kita sukai, dengan bebas merdeka tidak terikat apapun, dan tidak dipusingkan dengan urusan dunia persilatan yang selalu mendatangkan masalah dan urusan."


"Aih, aku dahulu sungguh bodoh, Bun-ko. Baru sekaranglah terbuka mata hatiku bahwa kebahagiaan tidak bisa didapatkan melalui kesenangan dan kemuliaan lahiriah.

Baru sekarang mataku dapat melihat sebongkah tanah yang subur dan indah berbau harum, padahal dahulunya aku melihatnya sebagai benda tidak berharga yang kotor."


Souw Tek Bun mendekati isterinya dan memegang kedua pundaknya, memandang penuh kasih sayang. "Aku merasa berbahagia sekali mendengar semua kata-katamu, Siang-moi. Memang yang kutunggu-tunggu, yakni pengakuan kebahagiaanmu."


Tiba-tiba terdengar suara lantang "Ha-ha, ha, Souw Tek Bun! Engkau sungguh mencemarkan nama besar suhu!"
Suami isteri itu terkejut dan melompat turun dari atas batu, melihat adanya seorang kakek berusia enampuluh tahun berdiri di situ dengan sikap angkuh. Kakek ini mengenakan jubah seperti seorang tosu dan wajahnya yang berjenggot dan berkumis abu-abu itu tampak bengis.


"Toa-suheng......... !" Souw Tek Bun terkejut melihat tosu itu.
Tosu itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehitaman dan mengangkat pedang itu ke atas. 


"Pinto datang atas nama mendiang suhu! Tidak lekas berlutut?"
bentaknya. Melihat pedang hitam itu, Souw Tek Bun lalu merapikan pakaiannya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan tosu itu. "Apa yang dapat saya lakukan untuk suheng atas nama suhu?" tanya Souw Tek Bun dengan sikap merendah dan taat.


"Souw Tek Bun, setelah suhu kita tidak ada, apakah engkau lalu hendak berbuat tidak berbakti dan mendurhaka" 


Lupakah engkau apa yang dikatakan suhu puluhan tahun yang lalu ketika engkau hendak menikahi seorang wanita sesat berjuluk Ang-tok Mo-li ini" Sekarang, setelah suhu meninggal dunia engkau bahkan hidup bersamanya sebagai suami isteri. Aku, sebagai suhengmu, tentu saja tidak dapat mendiamkan begitu saja!"

"Akan tetapi, suheng. Sekarang kami sama-sama tua dan sudah mencuci tangan dari urusan dunia kang-ouw. Isteriku ini bukan lagi seorang datuk sesat, melainkan seorang isteri yang berbudi mulia."

"Omong kosong! Sekali orang berbuat jahat, mana bisa begitu mudah untuk mengubah diri" Ia tetap Ang-tok Mo li dan engkau tetap dilarang untuk hidup di sampingnya.
Bersahabatpun tidak boleh, apa lagi menjadi suami isteri?"


"Akan tetapi, suheng!"
"Cukup! Apakah engkau masih mengangap pusaka ini sebagai pengganti suhu?"
"Saya tetap menghormatinya."


"Kalau begitu, engkau harus menaati perintah pinto seperti wakil dari suhu. Ingat suhu pernah berkata bahwa siapa yang memegang pusaka ini berarti dia memiliki kekuasaan seperti suhu dan harus di taati "


"Apa yang harus saya lakukan, suheng?"
"Sekarang juga, engkau harus bunuh perempuan sesat ini untuk menebus dosa dan kekotoranmu! Bunuh ia,
sekarang juga!"


Souw Tek Bun membelalakkan matanya. "Saya.........
saya tidak dapat melakukan hal itu, suheng?"
"Apa" Engkau berani membantah dan tidak taat?" Tosu itu menghampiri dengan langkah lebar dan sekali dia mengangkat kaki, dia telah menendang tubuh Souw Tek
Bun. Yang ditendang itu terlempar seperti bola dan tubuhnya terpelanting lalu menggelinding di atas tanah.


Akan tetapi Souw Tek Bun menghampiri lagi suhengnya dan menjatuhkan diri berlutut.
"Ampun, saya tidak berani membantah," katanya.
"Kalau begitu, cepat bunuh perempuan yang merusak nama perguruan kita itu!" kata tosu itu sambil menudingkan pedangnya ke arah Ang-tok Mo-li.


"Akan tetapi, saya tidak dapat melakukan hal itu, suheng. Ampunkan kami!"


"Jahanam! Masih banyak membantah lagi!" Kini tangan kiri tosu itu menampar.


"Dessss ..... !" Tubuh Souw Tek Bun terpelanting dan darah segar keluar dari bibirnya yang pecah.


Melihat ini Ang-tok Mo-li tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia melompat ke depan tosu itu dan membentak.


"Tosu jahat, kenapa engkau maksa orang?" Ia telah meloloskan kebutannya yang berbulu merah dan menyerang ke arah tosu itu dengan dahsyatnya. Kebutannya menyambar disusul cakaran kuku tangan kirinya yang panjang dan masih dapat mengeluarkan racun yang berbahaya. 


"Hemm, perempuan sesat!" Tosu itu mengelak dan mengelebatkan pedangnya yang bersinar hitam. Sinar hitam berkelebat dan mengaung di atas kepala Ang-tok Mo-li.
Wanita ini terkejut sekali dan menggulingkan tubuhnya sehingga terlepas dari bahaya maut.


"Siang-moi, jangan........!" Souw Tek Bun menubruk dan memegangi kedua tangan isterinya.
"Akan tetapi, dia jahat! Dia hendak membunuh kita!"teriak Ang-tok Mo-li.
"Jangan, kita tidak boleh melawannya. Dia mewakili suhu dengan memegang pedang Hek-in-kiam itu, dan engkaupun tidak boleh melawan suhu. Itu dosa besar,Siang-moi," kata Souw Tek Bun.
Tosu itu menghampiri mereka dan tersenyum dingin.
"Souw Tek Bun, engkau masih mengenal dosa" 


Nah, bunuhlah perempuan sesat ini, baru aku akan dapat mengampunimu!" Dengan senyum dingin dia menghampiri suami isteri yang berangkulan itu.
"Tidak, aku tidak dapat membunuh isteriku. Biarlah engkau membunuh kami berdua, suheng. Kami tidak akan melawan!" kata Souw Tek Bun dengan pasrah.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Tua bangka dan jahanam dari mana berani datang untuk membunuh ayah ibuku?" Dan Lee Cin sudah berdiri di situ, menghalangi ayah dan ibunya dari tosu itu dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.


Tosu itu terkejut melihat munculnya empat orang.
Mereka ini adalah Lee Cin, Cia Tin Han dan ayah ibunya.
Apalagi melihat Lee Cin menentangnya dengan sinar mata yang seakan hendak membakar dirinya.


"Hemm, inikah hasil hubungan sesat itu, Souw Tek Bun"
Inikah puterimu. Pantas iapun menjadi gadis sesat yang kurang ajar!" Tosu itu mengejek.


"Lee Cin, jangan melawan......... dia itu supekmu, wakil dari suhu. Berlututlah!" kata Souw Tek Bun kepada puterinya.
"Tidak sudi aku berlutut di depan orang yang hendak membunuh ayah ibu biar orang itu kakek guruku sendiri sekalipun!" Lee Cin segera mengeluarkan Ang-coa-kiam dan menerjang tosu itu dengan dahsyat.


"Mampuslah
engkau tosu busuk!' bentaknya dan pedangnya sudah menyambar dengan hebatnya. Akan tetapi tosu itu mundur dan menangkis dengan Hek-in kiam (Pedang Awan Hitam).

"Tranggg......... !" Tangkisan itu demikian kuat sehingga Lee Cin terhuyung ke belakang. Ayahnya segera merangkulnya. 
"Lee Cin, engkau tidak boleh melawan. 


Selama dia memegang Hek-in-kiam, dia mewakili suhu yang telah tiada dan kita tidak boleh melawannya," kata Souw Tek Bun.
"Paman Souw Tek Bun, kalau paman sekeluarga tidak boleh melawan, mungkin ada benarnya. Akan tetapi aku orang lain, bukan apa-apanya, maka aku boleh melawannya!" Yang bicara ini adalah Cia Tin Han dan pemuda ini sudah menghadapi tosu itu.


"Singgg .... !" Dia mencabut Pek-hong kiam dan sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Tosu itu terkejut dan melangkah mundur. "Pek-kong kiam ......... gumamnya.
Tin Han melangkah maju dan tersenyum. "Agaknya engkau mengenal pula po-kiamku, kakek yang jahat. Kalau mereka tidak boleh melawanmu, maka akulah lawanmu.

Aku bukan apa-apamu! Atau, engkau takut menghadapi Pek-kong-kiam ini?"
"Bocah sombong, pinto Kong Goan Cin-jin tidak pernah takut kepada siapapun juga!" Dia lalu melangkah maju.


"Kalau engkau membela suteku Souw Tek Bun, terpaksa engkau akan kusingkirkan lebih dulu!" Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan pedang sinar hitamnya.


Serangannya demikian mantap dan kuat. Sambaran angin pedang itu saja memberitahu Tin Han bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh sekali. Akan tetapi dia mengelak dan cepat balas menyerang dengan Pek kong-kiam dan serangannya juga tidak kalah dahsyatnya. Kakek itu tampak terkejut dan melompat ke belakang, lalu memutar pedangnya dengan hati-hati karena dia juga maklum bahwa pemuda yang menjadi lawannya ini ternyata lihai bukan main.


Terjadilah pertandingan pedang yang amat hebat. Souw Tek Bun dan Ang-tok Mo-li memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa hebatnya kepandaian Tin Han. 


Pemuda itu mampu menandingi Kong Goan Cin-jin, twa-suheng dari Souw Tek Bun yang sudah puluhan tahun tidak pernah dijumpainya.

Guru Souw Tek Bun adalah seorang pertapa maha sakti yang bertapa di pegunungan Himalaya. Mereka semua ada empat orang murid, dan yang tertua adalah Kong Goan Cin-jin itulah. Guru Souw Tek Bun memang berwatak keras dan sama sekali melarang para muridnya untuk melakukan kejahatan, bahkan dilarang keras bergaul dengan orang dari dunia sesat. Oleh karena itu para muridnya semua menjadi pendekar yang kenamaan, termasuk Souw Tek Bun. 

Akan tetapi ketika di waktu mudanya Souw Tek Bun bersahabat dan berhubungan dengan Ang-tok Mo-li Bu Siang, gurunya marah dan mengutus Kong Goan Cin-jin turun gunung untuk melarang Souw Tek Bun melanjutkan hubungannya dengan Ang-tok Mo-li. Karena takut dan taat kepada gurunya, terpaksa Souw Tek Bun berpisah dari Ang-tok Mo-li yang kemudian karena marah hati kepada Souw Tek Bun menjadi datuk.  

Sekarang, setelah kedua orang kekasih itu sudah sama tuanya, mereka bersatu kembali dan sama
sekali tidak mereka sangka bahwa hal itu akan mendatangkan Kong Goan Cin-jin untuk mencampuri dan
menghalangi. 


Pada hal, guru Souw Tek Bun telah lama meninggal dunia. Agaknya Kong Goan Cin-jin yang selamanya hidup membujang itu merasa iri melihat kebahagiaan sutenya!

Cia Kun dan isterinya juga menonton pertandingan itu hati gelisah. Mereka tahu akan kepandaian putera mereka akan tetapi melihat tosu itu demikian kokoh kuat, mereka merasa khawatir akan keselamatan putera mereka. 


Mereka datang ke Hong-san untuk meminang Lee Cin, tidak tahunya dihadapkan pada urusan perkelahian itu sehingga melibatkan putera mereka.

Tadi Lee Cin yang merasa marah sekali tidak berdaya karena dicegah ayahnya untuk melawan tosu itu. Kini melihat Tin Han sudah bertanding dengan tosu itu, dalam keadaan yang seru menegangkan, hatinya diliputi kekhawatiran besar kalau-kalau Tin Han akan kalah dan celaka oleh tosu yang galak itu. Karena itu, ia meronta dari pegangan ayahnya dan melompat ke depan untuk membantu Tin Han.


"Lee Cin, engkau tidak boleh melawannya!" kembali Souw Tek Bun berseru keras.
"Ayah, tosu itu keterlaluan hendak memaksakan kehendaknya, hendak membunuh ibu. Dan sekarang yang
menandinginya adalah calon suamiku, bagaimana aku tidak boleh mencampuri" Biar harus mempertaruhkan nyawa, aku harus membela orang yang kucinta!" kata Lee Cin dengan suara nyaring dan iapun sudah menerjang ke depan dengan pedang Ang-coa-kiam digerakkan secara dahsyat.


"Ia benar! Orang harus membela orang yang dicinta dengan taruhan nyawa kalau perlu!" terdengar Ang-tok Mo-li berkata sambil memegang tangan suaminya.
Souw Tek Bun memandang dengan bingung. Dia sendiri sebetulnya tidak takut kepada suhengnya. Akan tetapi dengan Hek-in-kiam di tangan, suhengnya seolah menjadi wakil suhunya dan tentu saja dia harus menaatinya.


Sementara itu, pertandingan berjalan semakin seru.
Akan tetapi sekali ini Kong Goan Cin-jin terdesak hebat.


Baru berhadapan dengan Tin Han seorang saja, keadaannya sudah berimbang. Apa lagi kini masuk Lee Cin yang ilmu pedangnya demikian hebat, maka diapun hanya dapat
menangkis dan mengelak ke sana sini saja tainpa mampu membalas serangan kedua orang muda yang sudah marah itu. 


Dengan marah Kong Goan Cin-ji kini menggunakan tangan kirinya untuk memukul dengan dorongan tangan
terbuka. Begitu dia memukul ke arah Lee Cin ada dorongan angin kuat sekali menerpa tubuh Lee Cin dan biarpun gadis ini sudah mempertahankan diri, tetap saja ia terhuyung ke belakang, terbawa oleh angin pukulan yang keras. Kembali kakek itu memukul, kini ke arah Tin Han. 


Pemuda ini dengan beraninya lalu rnendorongkan tangan kirinya sambil mengerahkan seluruh tenaganya, menggunaan tenaga Khong-sim Sin-kang sambil membuat gerakan memutar lengan agar tenaganya dapat dipergunakan sepenuhnya.

"Wuuuuuuuuttt......... desssss.......!"
tubuh kakek itu terpelanting keras sedangkan tubuh Cia Tin Han gemetar.
Lee Cin melompat dan menggunakan pedangnya untuk membabat ke arah lengan kanan kakek itu. Kakek itu dalam keadaan terhuyung menarik kembali lengannya, akan tetapi masih saja lengannya tergores pedang di tangan Lee Cin.


Kakek itu mengeluh dan pedang Hek-in-kiam di tangannya terlepas.
Tin Han menyambar ke depan dan di lain saat pedang Hek-in-kiam telah berada di tangannya. Lee Cin menghampirinya, mengambil pedang itu dari tangan Tin Han dan menyerahkannya kepada ayahnya.


"Ayah, pedang pedang ini" Cepat, ayah!"
Karena dipaksa puterinya, Souw Tek Bun menerima juga pedang Hek-in kiam dan Lee Cin lalu berseru kepada tosu yang 
sudah berdiri tegak kembali itu.

"Heh, tosu busuk. Kau lihat apa yang dipegang oleh ayahku ini" Inilah pedang kekuasaan dan pemegangnya sebagai wakil guru kalian, apakah engkau masih juga belum mau tunduk dan memberi hormat?"

Sejenak tosu itu melongo. Melihat Souw Tek Bun mengangkat pedang itu ke atas kepala, tiba-tiba dia membereskan pakaiannya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap pedang itu.


"Teecu tidak berani ........ !" katanya lemah.
Dalam hatinya Souk-Tek Bun merasa kasihan kepada suhengnya yang demikian tunduk kepada pedang itu. Akan tetapi diapun tahu bahwa kalau pedang itu berada di tangan suhengnya orang itu pasti akan mendesak dan memaksanya mem-
bunuh isterinya. 



"Kong Goan Cin-jin,
apakah engkau sudah mengetahui kesalahan- mu?" bentak Souw Tek
Bun, memberanikan hati-nya. "Teecu belum mengerti," kata tosu itu lemah.
"Engkau hendak memaksa orang membunuh isterinya, itu satu perbuatan yang sama tidak benar. 


Sekarang,kembalilah engkau ke Himalaya dan bertaubatlah, bersihkan jiwamu dan jangan mencampuri dunia kang-ouw lagi.

Berangkatlah!"
"Saya.........
saya pergi ......... " Kong Goan Cin-jin lalu memutar tubuhnya berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kasihan kakek tua ini. Sudah terlalu lama dia tinggal di pengasingan, jauh dari dunia ramai, jauh dari kehidupan manusia sehingga dia tidak dapat mempertimbangkan
tentang kehidupan suami isteri dan sebagainya lagi. Yang diketahuinya hanyalah amat taat kepada suhunya yang telah meninggal dunia, yang meninggalkan pedang Hek-in kiam dan siapa yang memegang pedang itu menjadi wakil gurunya. Karena itulah dia bersikap demikian anehnya.


Setelah suhengnya pergi, barulah Souw Tek kun menyimpan pedang Hek-in-kiam dan menghela napas panjang. "Sungguh berbahaya sekali, ilmu kepandaian toa-suheng itu jauh melebihi aku. Akan tetapi sungguh mengagumkan pemuda she Cia itu. 


Dia mampu menandinginya."
"Akan tetapi mau apa dia datang bersama Lee Cin dan orang tuanya" Apakah kaukira mereka mau........." kata Bu Siang sambil memandang kepada pemuda dan orang tuanya itu.


"Mau apapun mereka, harus kita temui. Mereka adalah tamu-tamu kita, dan pemuda itu baru saja menghindarkan kita dari malapetaka."


Keduanya lalu maju menghampiri tamu. Cia Kun dan isterinya lalu maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, diturut oleh Tin Han.
"Kami sekeluarga ikut merasa lega bahwa ji-wi telah terhindar dari keadaan yang tidak menyenangkan tadi," kata Cia Kun.


" Berkat kehadiran sam-wi bertiga kami tertolong," kata Souw Tek Bun merendah. "Kalau boleh saya mengetahui siapakah ji-wi ini," tanya Souw Tek Bun yang baru sekali itu berjumpa dengan Cia Kun dan isterinya.


"Mereka adalah putera tertua dari Keluarga Cia, bernama Cia Kun dan isterinya. Bukankah begitu"' kata Bu Siang.
Cia Kun dan isterinya kembali memberi hormat. "


Ternyata ingatan Nyonya tajam sekali. Kami memang Cia Kun dan ini isteri kami. Kunjungan kami ini selain untuk mempererat perkenalan dan memberi hormat, juga membawa keperluan yang penting sekali menyangkut kehidupan anak kita berdua yaitu Souw Lee Cin dan anak kami Cia Tin Han."


Sebelum Souw Tek Bun menjawab, isterinya telah lebih dulu berkata dengan suara yang datar akan tetapi tidak ketus. "Ada apakah dengan mereka berdua?" Ia menoleh kepada
Tin Han dan Lee Cin yang berdiri sambil menundukkan muka dan dengan hati tegang berdebar.


"Sebagaimana mungkin Souw-taihiap dan nyonya telah mengetahuinya, di antara putera kami Cia Tin Han dan puteri ji-wi Souw Lee Cin telah terdapat ikatan batin yang amat kuat. Oleh karena itu, menuruti keinginan mereka berdua, kami memberanikan diri menghadap ji-wi untuk mengajukan pinangan secara sah agar nona Souw Lee Cin menjad
i jodoh anak kami Cia Tin Han."

"Saudara Cia Kun, tidak salahkah pendengaranku ini"
Benarkah engkau meminang anakku" Bukankah engkau juga mengetahui bahwa dahulu ibumu bermusuhan dengan aku?" Tanya Bu Siang atau Ang-tok Mo-li.


Cia Kun saling pandang dengan isterinya, akan tetapi karena ucapan itu dikeluarkan dengan nada lembut, diapun memberanikan diri menjawab. "Kami telah melupakan semua itu, Nyonya. Dan kami bersedia meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan ibu kami yang telah meninggal dunia itu."


"Ah, kesalahannya bukan terletak di pundak mendiang ibu kalian semata, akupun keras kepala ketika itu. Baiklah, kalau kita semua sudah melupakan segala peristiwa itu, mari kita bicarakan tentang perjodohan anak kita."

Bukan main gembiranya hati Cia Kun dan isterinya,sedangkan Tin Han yang mendengar ini cepat berlutut di depan Souw Tek Bun dan isterinya, memberi hormat yang diturut pula oleh Lee Cin.


"Ibu dan ayah, saya sungguh merasa berbahagia dan berterima kasih sekali kepada ibu dan ayah yang telah merestui perjodohan kami," kata Lee Cin.
Ang-tok Mo-li Bu Siang merangkul puterinya dan berbisik. "Mudah-mudahan engkau sekali ini tidak keliru dalam pemilihanmu, Lee Cin."


Cia Kun menjadi tamu kehormatan dan dijamu dengan sederhana oleh Souw Tek Bun dan mereka bercakap-cakap dengan gembira, sama-sama merasa cocok dengan pendapat mereka tentang perjuangan. Mereka akan tetap hidup sebagai pendekar dan patriot, menentang pembesar- pembesar penjajah yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan selalu siap untuk membela kebenaran dan keadilan.


Pernikahan antara Tin Han dan Lee Cin dilangsungkan secara sederhana pula, akan tetapi dihadiri orang-orang yang dekat dengan mereka. Tentu saja pendekar Song Thian Lee dan isterinya, Tang Cin Lan, tidak ketinggalan menghadiri pesta pernikahan itu. Bahkan suami isteri ini dianggap sebagai orang-orang yang sudah banyak jasanya dalam perjodohan antara Cia Tin Han dan Souw Lee Cin.


Sementara itu, di tempat lain juga dilangsungkan pernikahan antara Song Hwe li dan Lay Siong Ek, antara Liu Ceng dan Thio Hui San dan antara Kwee Li Hwa dan Cia Tin Siong.


Mereka semua hidup sebagai suami isteri pendekar yang saling mencinta dan sepak terjang mereka dalam kehidupan sebagai pendekar banyak menyusahkan pemerintah penjajah Mancu.

Sampai di sini selesailah sudah Kisah Pendekar Rajawali Hitam ini dan mudah-mudahan kisah ini dapat menghibur hati para pembacanya di waktu senggang. Sampai jumpa di lain kisah.


          TAMAT.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

GELANG KEMALA

DEWI ULAR