DEWI ULAR

DEWI ULAR JILID 01

DEWI ULAR JILID 02

DEWI ULAR JILID 03

DEWI ULAR JILID 04

DEWI ULAR JILID 05

DEWI ULAR JILID 06

DEWI ULAR JILID 07

DEWI ULAR JILID 08

Selamat  Membaca

DEWI ULAR JILID 01


Tidak dapat di sangkal pula , seperti terbukti dalam catatan sejarah bahwa di antara semua kaisar bangsa Mancu yang memerintah seluruh Cina.

Kaisar Kian Liong merupakan seorang pemimpin yang pandai mengambil hati rakyat Cina . Biarpun bangsa Mancu menjajah Cina , namun kenyataannya , mereka itu mencontoh semua peradaban dan kebudayaan Cina , bahkan berusaha untuk bersikap lebih Cina daripada bangsa Cina sendiri .

Kaisar Kian Liong merupakan seorang pemuda yang suka membaur dengan rakyat di waktu masih menjadi pangeran , bahkan memasuki dunia kang-ouw sehingga dia popular sekali di kalangan dunia persilatan , disenangi dan di hormati banyak pendekar karena sikapnya yang baik . 

Namun , sejak masih menjadi pangeran , Kaisar Kian Liong diam-diam juga merupakan kaisar yang romantis , bahkan dapat di bilang mata keranjang . 

Namun , karena sikapnya yang baik dan bijaksana dan karena keahliannya dalam kesusasteraan dan kesenian , dia di puji banyak orang , bahkan di juluki Pangerang Mulia ! .
Agaknya memang tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna . Betapa banyak sifat-sifat baik yang di miliki seseorang , pasti dia memiliki kelemahan dan cacat . 

Agaknya , satu di antara kelemahan yang dimiliki Kian Liong adalah wanita cantik . Matanya selalu silau oleh kecantikan wanita , dan dia akan mengejar dan merayunya dengan segala cara untuk memiliki wanita itu 

Hanya , karena pandainya dia menyimpan rahasia dan kesenangannya ini dilakukan secara rahasia , banyak orang yang tidak mengetahuinya . 

Bahkan di waktu keluyuran ke rumah-rumah pelesiran , bersenang-senang dengan wanita-wanita pelacur yang tercantik . 

Tentu saja semua ini di lakukan dengan rahasia , dengan menyamar sebagai seorang pemuda hartawan biasa , seorang kongcu ( tuan muda ) yang tampan dan royal .
Ketika dia masih muda , sebagai Pangeran Mulia yang tidak lama lagi akan menggantikan kedudukan Kaisar Yung Ceng , pada suatu hari Pangeran Kian Liong bertemu dengan seorang wanita di istana yang membuat dia tergila-gila . 

Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa wanita itu adalah Nyonya Fu Heng , isteri dari salah seorang kakaknya , kakak tiri yang terlahir dari selir . 

Nyonya Fu Heng dalam pandang mata Kian Liong nampak demikian cantiknya sehingga setelah pertemuan itu , dia tidak dapat tidur karena bayangan nyonya cantik itu selalu terbayang di depan matanya ! . 

Kian Liong menjadi bingung dan menderita rindu dendam yang tidak dapat di obati dengan wanita-wanita cantik lainnya . 

Keinginannya hanya satu , yaitu memiliki Nyonya Fu Heng yang wajahnya cantik jelita dan bentuk tubuhnya denok menggairahkan itu ! .
Tentu saja tidak mudah bagi Pangeran Kian Liong untuk mendapatkan bunga impiannya itu sehingga dia tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur , membuat tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat . 

Untung baginya bahwa seorang pembantu pribadinya , Thaikam ( sida-sida ) Siau Hok Cu yang sangat setia kepadanya , amat memperhatikannya dan thaikam itu tahu bahwa majikannya sedang berada dalam keadaan prihatin . 

Dengan berani dia menghadap majikannya yang sedang duduk menunjang dagu dan berulang kali menghela napas panjang itu .
" Ah , paduka junjungan hamba , Hamba melihat dalam beberapa hari ini nampak gelisah dan berduka , kalau malam tidur gelisah dan kalau makan selalu tersisa banyak di mangkok . Sudikah paduka memberitahu kepada hamba apa gerangan yang menggelisahkan paduka sehingga hamba dapat berusaha mencarikan obatnya " 

Apakah paduka berduka karena Yang Mulia Kaisar sedang menderita penyakit berat ?" 

" Aih , Hok Cu . Tentu saja aku bersedih karena Sri Baginda Kaisar sakit , akan tetapi kenyataan itu sudah dapat ku terima dengan wajar . Bukan, bukan karena Sri Baginda Kaisar sakit , Hok Cu."


" Kalau begitu , apa gerangan yang membuat tuanku berduka dan gelisah " Percayalah , hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan obatnya ." 


Pangeran Kian Liong memandang pembantunya yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu dengan penuh harapan . " Benarkah engkau akan dapat mencarikan obatnya , Hok Cu ?" .


" Kalau saja paduka sudi memberitahukan sebabnya saya akan berusaha sekuat kemampuan saya untuk mencarikan obatnya " .


" Begini Hok Cu . Beberapa hari yang lalu aku melihat seorang wanita di istana ini dan sejak itu aku tidak mampu melupakannya , bayangannya selalu bermain di depan mata sehingga tidurku terganggu dan selera makan ku lenyap. 


Hok Cu , kalau aku tidak bisa mendapatkan wanita itu , aku akan merasa sengsara hidupku " .
Siau Hok Cu tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang sudah ompong .


" Ah , kalau Cuma wanita yang membuat paduka gelisah , apa sih sukarnya " Wanita mana di dunia ini yang tidak akan membuka lengan dan hatinya untuk menyambut cinta kasih paduka " Katakanlah , pangeran . Siapa wanita yang telah mengusik hati paduka itu ?" .


" Inilah yang membingungkan hatiku , Hok Cu . Setelah ku selidiki , wanita itu bernama Nyonya Fu Heng dan ia adalah iparku sendiri , isteri dari kakakku Pangeran Kian Ki " .


Siau Hok Cu mengangguk-angguk dan mengusap dagunya yang tidak berambut .


" Pangeran Kian Ki adalah kakak tiri paduka , kalau memang paduka menghendaki isterinya , apa sih sukarnya " " kata Thaikam itu sambil tersenyum .


" Benarkah , Hok Cu " Akan tetapi bagaimana caranya " Tidak mungkin aku berterang menyatakan cintaku kepadanya !" .


" Tentu saja tidak demikian caranya , tuanku . Serahkan saja urusan ini kepada hamba dan hamba akan mengatur agar tuanku dapat bertemu berdua saja dengannya " .


Pangeran Kian Liong girang bukan main dan menjanjikan hadiah yang besar kepada Siau Hok Cu kalau keinginannya terkabul . Thaikam itu lalu memutar otaknya yang licik dan cerdik , mengatur siasatnya untuk membantu junjungannya .


Pada suatu senja , Nyonya Fu Heng menerima undangan dari Puteri Ting Ci untuk berkunjung kepadanya di Taman Musim Semi Bahagia . Nyonya Fu Heng tidak merasa aneh dengan undangan ini karena sang puteri itu merupakan saudara perempuan suaminya dan seringkali mengundangnya untuk bersenang-senang di taman .


 Sang puteri Ting Ci telah menjalin persahabatan dengannya . Maka , menerima panggilan atau undangan ini , iapun tergesa-gesa pergi memenuhi undangan . 

Taman Musim Semi Bahagia itu letaknya di sebelah barat istana pusat dan berada di bagian dari Istana Musim Panas . Perjalanan dilakukan dengan duduk di dalam joli yang di gotong oleh empat orang .

Setelah tiba di taman itu , Nyonya Fu Heng turun di sebuah pondok indah yang berdiri di antara pohon-pohon bamboo yang terawatt , daun-daun bamboo berbisik-bisik di goda angina sepoi . Beberapa gadis dayang cekatan dan lincah menyambutnya .


" Selamat datang , Nyonya . Tuan Puteri baru akan tiba di sini setelah satu jalm lagi , maka Nyonya dipersilahkan menanti di dalam kamar , dan kalau Nyonya menghendaki , hamba akan menyediakan air hangat untuk 

mandi ." 

Perjalanan dari istana ke tempat ini cukup melelahkan dan panas , maka Nyonya Fu Heng dengan senang hati menerima tawaran itu . 


Para dayang itu dengan hormat mempersilahkan ia masuk ke kamar mandi dan membantu nyonya cantik itu mandi sehingga tubuhnya terasa segar .

 Air yang di campur dengan minyak bunga itu membuat seluruh tubuhnya segar dan harum . Setelah selesai mandi , para dayang mengantarnya memasuki kamar dan meninggalkannya seorang diri .
Dengan hanya mengenakan pakaian yang longgar dan tembus pandang , Nonya Fu Heng duduk di depan cermin besar dan menyisiri rambutnya yang di biarkan terurai lepas . 

Rambut itu hitam dan subur , indah sekali dan panjang sampai ke bawah perutnya . Baunya harum ketika ia menyisiri rambut yang mengkilap itu .
Akan tetapi , ia mengangkat muka memandang ke dalam cermin . Pintu yang nampak melalui cermin itu terbuka perlahan dan seorang laki-laki muncul memasuki kamar itu .
Alangkah terkejut rasa hati Nyonya muda itu . Hampir ia menjerit , akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul itu Pangeran Kian Liong , ia tidak jadi menjerit akan tetapi sibuk menutupi tubuhnya yang terbungkus pakaian tipis yang tidak sanggup menutupi tubuhnya dengan sempurna .

Ketika Nyonya Fu Heng membalikkan tubuh dan siap untuk menegur sang pangeran , Pangeran Kian Liong cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depannya dan menghunus 

pedangnya .

" Kalau engkau menjerit , aku akan membunuh diri di depan kakimu !" kata sang pangeran sambil menempelkan pedang di lehernya sendiri . Tentu saja Nyonya Fu Heng menjadi ketakutan . 


Kalau pangeran itu mati di depan kakinya , tentu ia sendiri juga akan di hokum mati . Dan ia pun teringat bahwa pemuda tampan yang berlutut di depannya itu adalah calon Kaisar , dan tak lama lagi pemuda tampan itu tentu di angkat menjadi kaisar , mengingat bahwa Kaisar yang sekarang sedang rebah dan menderita sakit parah . 

Maka dengan seluruh muka dan lehernya berubah kemerahan , wanita muda itu berbisik .

" Ssshhhh " jangan begitu , pangeran . Simpan kembali pedangmu yang menakutkan itu ?".


Pangeran Kian Liong adalah seorang pemuda yang sudah lama bergaul dengan banyak wanita , maka dia tahu bahwa sikap dan kata-kata Nonya Fu Heng itu menandakan bahwa dia telah memperoleh kemenangan berkat kepintaran Thaikam Siau Hok Cu mengatur siasat ini . 


Maka , tanpa banyak cakap lagi dia menyimpan pedangnya dan bangkit lalu memondong tubuh Nyonya Fu Heng .
Bunga curian dari kebun orang memang selalu harum , buah curian dari kebun orang memang selalu manis . Kedua orang muda itu tenggelam dalam lautan nafsu asmara yang memabokkan . 

Di pondok itu hanya mereka berdua karena memang Puteri Ting Ci tidak hendak pergi ke situ . Mereka berdua bermain-main terbang ke angkasa sampai semalam suntuk .

Sejak malam itu , Nyonya Fu Heng tidak pernah mau di dekati suaminya dan pertemuannya dengan Pangeran Kian Liong berlangsung terus . Thaikam Siau Hok Cu yang mengatur pertemuan-pertemuan itu , dan andaikata ada yang tahu sekalipun , siapa berani menegur Sang Pangeran calon kaisar "


Andaikata Pangeran Kian Ki mendengar tentang penyelewengan isterinya dengan Pangeran Kian
Liong , apa pula yang dapat dia lakukan "

Dia hanya seorang pangeran beribu selir , tentu saja kalah pengaruh dan kalah kuasa dibandingkan Pangeran Kian Liong .

Pada suatu hari selagi Pangeran Kian Liong dan Nyonya Fu Heng menikmati anggur pelepas dahaga mereka yang tidak mengenal kepuasan , di siang hari yang dingin , karena musim dingin sudah tiba . Thaikam Siau Hok Cu memasuki kamar itu tergesa-gesa dan memberitahukan kepada Pangeran Kian Liong bahwa Kaisar Yung Chen baru saja meninggal dunia ! Pangeran itu cepat bangkit , berpakaian , dan cepat menuju ke istana induk .

Demikianlah ,satu di antara kelemahan Pangeran Mulia itu adalah wanita dan kegemaran ini di lanjutkan setelah dia menjadi kaisar Kian Liong . Dia memiliki banyak selir dan dayang . 

Setiap malam dia berganti wanita . Akan tetapi , di samping kegemaran yang yang menggambarkan kelemahannya ini , harus di akui bahwa Kaisar Kian Liong berjasa besar dalam mengembangkan Kerajaan Ceng . 

Dia pandai mengambil hati para pendekar dan sastrawan , menghargai mereka sehingga banyak pendekar masuk menjadi panglima atau perwira dan banyak sastrawan memegang jabatan penting . Karena Kaisar Kian Liong mementingkan kebutuhan rakyat , maka tidak ada rakyat yang memberontak . 

Tidak dapat di sangkal bahwa di antara para pendekar dan sastrawan tetap saja ada yang tidak sudi membantu dan bekerja untuk kerajaan penjajah , akan tetapi mereka tidak ada kekuatan dan tidak berani mengadakan gangguan .
Setelah memegang jabatan kaisar selama lima belas tahun , dalam tahun 1750 Kaisar Kian Liong mencapai puncak kejayaannya . 

Setiap ada pemberontakan di perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa selalu pemberontakan dapat di padamkan . 

Dia memiliki banyak panglima yang tangguh , di antaranya Jendral Cao Hui . 

Jendral inilah yang berjasa besar menundukkan para kepala suku di perbatasan dan menindas pemberontakan " pemberontakan yang timbul .

Sebuah puncak di pegunungan Hong-san di sebut Bukit Ular . Di sebut demikian karena memang daerah itu kaya akan binatang ini . 


Dari jenis ular yang besar dan tidak beracun , sebesar paha orang dewasa sampai jenis kecil namun beracun dan berbahaya sekali walaupun besarnya hanya seberar kelingking orang dewasa . 

Di sini tanahnya tidak subur , banyak mengandung batu-batu padas dan di sana sini terdapat rumpun bamboo yang liar dan lebat . 

Di seputar bukit itu terdapat banyak hutan yang lebat dari hutan-hutan itu lah ular-ular mencari mangsanya akan tetapi selalu kembali ke puncak ini . 

Karena tempat itu terkenal 
berbahaya , maka jarang atau hampir tidak pernah ada manusia berani mendaki puncak Bukit Ular .

Pada suatu pagi , di puncak Bukit Ular itu terdapat seorang manusia . Tentu bukan manusia sembarangan yang berani berada di situ seorang diri . Kalau orang tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi , sungguh teramat berbahaya berada di situ . 


Sekali tergigit ular beracun akan dapat membunuhnya , belum lagi kalau bertemu ular besar yang akan dapat membelit , menggigit dan menelannya .

Orang akan merasa lebih terkejut dan heran kalau melihat bahwa orang yang berada di puncak itu adalah seorang gadis yang cantik jelita . 


Usianya kurang lebih sembilan belas tahun . Pakaiannya berwarna cerah berkembang-kembang . Wajah itu memang manis sekali . 

Mukanya berbentuk bulat telur , mulutnya yang kecil mungil itu berbibir manis , merah membasah selalu dan seolah tersenyum terus , hidungnya mancung dengan ujung arah menjungat ke atas . matanya mencorong seperti mata Burung -Hong , lembut namun amat tajam kalau ia tertawa atau bicara , muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya . 

Di punggungnya tergantung sepasang pedang dengan ronce merah dan di pinggang terselip sebatang suling .
Dara jelita itu melangkah dengan perlahan dan hati-hati di antara batu-batu padas . Kalau melihat ada 
lubang , ia lalu berjongkok di dekat lubang kecil itu , mencabut sulingnya dengan tangan kiri dan meniup suling itu yang mengeluarkan suara lembut dan bernada tinggi mengalun . 

Sambil meniup suling dengan tangan kiri , matanya dengan penuh perhatian menatap lubang kecil di depannya . 

Tak lama kemudian , sebuah kepala ular yang kecil , sebesar ibu jari , muncul dari dalam lubang , agaknya tertarik oleh suara lengkingan suling . 
Begitu ular itu muncul sepanjang jari tangan dari lubang , secepat kilat tangan kanan gadis itu menyambar dan tahu-tahu ia telah menjepit leher ular itu dengan ibu jari dan telunjuk kanannya . 

Ia meletakkan sulingnya ke atas 
tanah , lalu mengambil sebuah bumbung bambu dari ikat pinggangnya . Ia membuka tutup bamboo itu dengan giginya , lalu menggunakan jari tangan kanan untuk membuka mulutnya . 

Ia mendekatkan kepala ular di atas lubang bambu dan ketika ia memperkuat jepitannya pada leher dan kepala ular , maka cairan hijau menghitam keluar dari taring ular itu dan jatuh ke dalam bumbung bambu . 
Kiranya gadis itu sedang memaksa ular mengeluarkan bisanya dan di tampung ke dalam bumbung bambu ! 

Setelah dari mulut ular tidak menetes racun lagi , ia melepaskan ular yang dengan lemah lalu merayap kembali ke dalam lubangnya . Kemudian ia menutup bumbung , menyelipkan kembali ke ikat pinggangnya dan ia berjalan lagi seperti tadi , meneliti ke bawah untuk mencari lubang ular yang di kehendakinya .

Dari bentuk liangnya , gadis itu dapat mengetahui jenis ular yang menjadi penghuninya dan agaknya ia hanya mencari ular tertentu seperti yang di tangkapnya tadi . 


Ular belang-belang hitam kuning yang amat berbahaya , dan sekali menggigit orang akan sukarlah bagi orang itu untuk dapat hidup . Kalau bertemu dengan liang yang di kehendakinya , gadis itu berhenti dan mengulang perbuatannya yang tadi , menangkap ular belang hitam kuning setelah ular itu di pancing keluar dengan bunyi sulingnya untuk di perah racunnya dan di tampung dalam tabung bambunya .

Agaknya jenis ular yang di carinya itu merupakan ular yang langka dan tidak banyak terdapat di Bukit Ular itu . Ia melangkah terus sampai tiba di bawah sebatang pohon besar . 


Di atas pohon itu terdapat ular-ular besar yang melingkar di cabang-cabang pohon . Agaknya seekor di antara ular-ular itu , yang terbesar , sedang lapar . Maka , begitu gadis itu duduk di atas pohon yang menonjol di permukaan tanah , ular itupun bergerak perlahan menuruni cabang dimana tadinya dia melingkar . 

Sama sekali tidak ada suara terdengar ketika tubuhnya merayap turun . Kulitnya yang berwarna kuning kehijauan itu tampak sangat indah , bagaikan lukisan bunga-bunga yang beraneka bentuk . 

Memang ular itu di sebut Bunga Ular karena lukisan di kulitnya itu . Kulit seperti ini berharga mahal dan di kehendaki banyak orang untuk dijadikan barang-barang dari kulit seperti tas , dompet dan sebagainya lagi.

Gadis itu bukan tidak tahu bahwa pohon itu menjadi tempat tinggal banyak ular besar , akan tetapi ia seperti tidak peduli . Biarpun ia tidak mendengar gerakan ular yang mendekatinya , namun hidungnya dapat menangkap bau yang dikeluarkan ular itu , penciumannya amat tajam . 


Tanpa menengok ke atas dari mana bahaya maut mengacamnya , gadis ini mengeluarkan suling dari ikat pinggangnya . 

Padahal ular itu sudah dekat dengan kepala nya dan sekali terkam saja , kepala gadis itu akan masuk ke moncongnya kemudian perlahan-lahan seluruh tubuh gadis itu akan di telan memasuki perutnya yang besar ! .
Begitu gadis itu menempelkan lubang suling pada bibirnya yang merah basah , terdengarlah suara lengkingan suling yang aneh dan merdu . 


Suaranya mengalun , kadang tinggi kadang rendah akan tetapi bukan sejenis lagu yang enak di dengar , melainkan amat aneh dan asing bagi pendengaran manusia .

Akan tetapi , terjadilah keanehan yang akan membuat orang bengong terlongong menyaksikan akibat dari permainan suling itu . 

Ular besar tadi lalu melorot ke bawah sama sekali tidak kelihatan buas dan liar lagi , melainkan merayap mendekati gadis itu dengan sikap seolah ketakutan . 

Dan bukan ular itu saja yang menjadi seperti setengah lumpuh . Bahkan ular-ular lain yang masih berada di atas pohon , semua merayap ke bawah dan mengepung gadis itu dalam jarak dua meter , lalu mendekam dan diam saja seperti tertidur !.

Setelah melihat ular-ular yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh lima ekor itu seolah berlutut menyembah kepadanya , gadis itu menghentikan tiupan sulingnya dan bangkit berdiri . Ia tersenyum dan sekali menggerakkan kedua kakinya ia sudah melompat jauh melampaui kepungan ular . 


Setelah tidak terdengar lagi suara suling , ular-ular itu pun perlahan-lahan mulai bergerak dan merayap naik lagi ke atas pohon .

Siapakah gadis cantik jelita yang dapat menguasai ular-ular itu " Ia seperti seorang pawang ular yang pandai ! Memang demikianlah . 


Gadis itu bernama Souw Lee Cin yang tinggal berdua saja dengan ayahnya di Puncak Hong-san . Bukan saja ia pandai menguasai ular , dari ular kecil beracun sampai ular besar , namun ia pandai pula bermain silat .
Ayahnya pun bukan orang sembarangan . Ayahnya bernama Souw Tek Bun yang dua tahun lalu di angkat oleh para tokoh kang-ouw sebagai Beng-cu ( Pemimpin ) ! 

Ayahnya di kenal orang sebagai Souw-taihiap dan pendekar ini amat di segani karena selain ilmu pedangnya terkenal sebagai ilmu pedang keluarga Souw , juga watak dan sikapnya yang gagah perkasa , dapat dipercaya dan selalu menegakkan kebenaran dan keadilan . 

Karena watak inilah maka dia di pilih menjadi bengcu , walaupun masih banyak datuk persilatan yang tingkat kepandaian lebih tinggi darinya . 

Untuk menjadi bengcu , orang harus memenuhi tiga syarat , yaitu berilmu tinggi , gagah perkasa dan adil . Souw Tek Bun memenuhi semua syarat itu .
Souw Lee Cin ini , baru dua tahun tinggal bersama ayahnya . Bahkan baru dua tahun ia tahu bahwa Souw Tek Bun adalah ayah kandungnya ! 


Sejak kecil Lee Cin tinggal bersama subonya ( ibu gurunya ) yang berjuluk Ang-tok Mo-li ( Iblis Betina Racun Merah ) yang tinggal di Bukit Ular Merah di Lembah Huang-ho .

Sejak kecil ia di gembleng ilmu-ilmu yang tinggi oleh gurunya itu yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa . Setelah Lee Cin berusia tujuh belas tahun , ia di perintahkan oleh gurunya itu untuk pergi mencari Souw Tek Bun dan membunuh musuh besar gurunya itu ! 


Lee Cin berhasil bertemu dengan Souw Tek Bun dan menantangnya , akan tetapi pendekar itu dapat menduga bahwa Souw Lee Cin yang ketika itu memakai nama marga Bu , menjadi Bu Lee Cin , bukan lain adalah puterinya sendiri yang di lahirkan Bu Siang atau yang berjuluk Ang-tok Mo-li itulah ! 

Setelah ibunya atau gurunya muncul dan memaksanya menyerang Souw Tek Bun , baru Lee Cin percaya bahwa pendekar itu adalah ayah kandungnya dan gurunya itu bukan lain adalah ibu kandungnya !.

Melihat betapa jahat ibunya , Lee Cin bahkan membantu ayah kandungnya dan berhasil keduanya mengusir Ang-tok Mo-li . 

Semenjak itulah Lee Cin tinggal bersama ayahnya dan mengubah namanya menjadi Souw Lee Cin bukan marga Bu lagi .

Kalau ia teringat akan ibunya , bermacam perasaan menggetarkan hatinya . Ia mencinta gurunya itu sebelum ia tahu akan rahasia antara ayah dan ibunya . 


Dan tentu saja ia mencinta wanita itu setelah mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya . Akan tetapi ia pun merasa penasaran dan menyesal sekali mengapa ibunya demikian jahat , hendak mengadu domba antara ia dan ayahnya sendiri , ingin melihat ia membunuh ayahnya atau di bunuh ayahnya ! 

Ia merasa menyesal mengapa ibunya demikan jahatnya sehingga ayahnya dahulu tidak mau menikahinya setelah melihat betapa ibunya adalah seorang tokoh sesat di dunia persilatan .

Akan tetapi , semua ilmu yang dimilikinya adalah gemblengan ibunya . Ibunya memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada ayahnya . 


Dari ibunya dia memiliki keahlian sebagai pawang ular . Selain ilmu aneh ini , ia pun menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya , di antaranya yang dahsyat adalah Ang-tok-ciang ( Tangan Racun Merah ) yaitu ilmu silat tangan kosong dengan pukulan tangan mengandung hawa beracun , dan juga Ang-coa-kiamsut ( Ilmu Pedang Ular Merah ) yang dimainkan dengan pedangnya yang bersinar merah dan tipis sekali dapat di pakai sabuk dan bentuknya seperti ular , di sebut Ang-co-kiam ( Pedang Ular Merah ) . 

Baru dua macam ilmu silat itu saja sudah membuat Lee Cin menjadi seorang gadis yang sukar di cari tandingnya , apalagi dara perkasa ini pernah menerima ilmu totokan It-yang-ci dari In Kong Thaisu , ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu . 

Tingkat kepandaiannya demikian tinggi sehingga ayahnya sendiri , Souw Tek Bun yang menjadi Bengcu , masih kalah olehnya ! .

Pada pagi hari itu , Lee Cin mengumpulkan racun ular belang hitam kuning untuk dibuat obat penawar racun dari gigitan binatang beracun lain . 


Racun dari ular hitam kuning ini selain mengandung racun yang amat kuat , juga kalau di campur dengan beberapa macam rempah-rempah tertentu , racun ini dapat menjadi obat yang menawarkan segala macam bisa . 

Pengetahuan ini ia dapatkan dari ayahnya yang menyetujui kalau ia mencari dan mengumpulkan bisa itu .
Setelah melepaskan diri dari ular " ular besar , Lee Cin melangkah perlahan hendak menuruni Puncak Bukit Ular itu . 

Tiba-tiba ia melihat bayangan tiga orang mendaki puncak dari arah lain dan melihat betapa tiga orang itu dapat bergerak cepat ketika mendaki , tahulah ia bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu berlari cepat . 

Ia melihat betapa mereka bertiga itu dengan ringan meloncati batu-batu dan melihat pakaian mereka yang ringkas , masing-masing membawa tongkat panjang dan karung , ia dapat menduga bahwa mereka tentulah sebangsa pemburu binatang . 

Tadinya ia tidak memperdulikan . Akan tetapi ia teringat akan sesuatu . Kalau mereka itu pemburu binatang hutan , mengapa naik ke puncak Bukit Ular ini " Seharusnya mereka memburu binatang di dalam hutan . 

Ah , tidak salah lagi , mereka pasti akan memburu ular-ular ! .
Lee Cin mengerutkan alisnya yang kecil hitam dan ia pun lalu mempergunakan keringanan tubuhnya untuk kembali mendaki puncak itu . 


Kini ia melihat betapa tiga orang tadi sudah berkumpul di bawah pohon besar yang menjadi tempat tinggal ular-ulang besar . 

Mereka memegang tongkat panjang yang ternyata adalah semacam tombak yang ada kaitannya . Ketika mereka menggerakkan tombak di tangan dan di lontarkan ke atas , jatuhlah tiga ekor ular besar yang kepalanya telah tertancap tombak-tombak itu ! .

" Wahhh , yang ini besar sekali !" kata seorang .


" Kulitnya indah lagi , tentu akan laku mahal ! " seru orang kedua .


" Dagingnyapun perlu di bawa , daging ular sebesar ini akan menjadi santapan lezat dan berharga mahal ! kata orang ke tiga .


Melihat dan mendengar ini , Lee Cin sudah marah sekali . Ia melihat tiga orang itu sudah mencabut tombak mereka dari kepala tiga ekor ular yang menggeliat-geliat sekarat dan sudah siap untuk melontarkan tombak mereka kepada korban lain .

" Tahan ?". ! " Ia membentak dan sekali melompat ia telah tiba di belakang orang-orang itu . Tiga orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh , terbelalak melihat seorang gadis yang cantik jelita di tempat itu .
" Nona , kenapa engkau menahan kami ?" Tanya seorang .
" Seorang gadis muda seperti engkau , mau apa berada di tempat seperti ini ?" kata orang ke dua .


" Tempat ini berbahaya sekali bagi seorang gadis seperti engkau !" kata orang ke tiga .


Kini Lee Cin melihat betapa tiga orang itu memakai sepatu yang tinggi sampai ke lutut . Kulit kering yang kuat melindungi kaki mereka dari bahaya gigitan ular-ular berbisa .


" kalian bertiga tidak boleh membunuhi ular-ular itu !" kata Lee Cin dengan suara ketus .


" Kenapa tidak boleh ?" Tanya seorang ." Kami sudah membunuh tiga ekor !" kata orang ke dua .
" Kami memang pemburu ular , ada hak apakah engkau melarang kami ?" kata orang ke tiga .


" Tidak perlu banyak cakap . Pokoknya , kalian tidak boleh berburu ular di Bukit Ular ini ! Aku berhak melarang karena ini termasuk wilayah kekuasaanku !" .


Tiga orang itu saling pandang dan merasa lucu . Mereka adalah orang-orang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan sudah belasan tahun mereka menjadi pemburu ular . 

Baru sekali ini bertemu dengan seorang gadis cantik yang melarang mereka berburu ular .

Setelah saling pandang , ketiganya tertawa . Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat 

tinggi , tidak gentar menghadapi binantang hutan yang bagaimana pun buasnya . 

Tentu saja mereka tidak takut menghadapi seorang gadis begitu cantik .

" Bagaimana kalau kami melanjutkan perburuan kami dan membunuh sebanyak mungkin ular ?" Tanya mereka hamper berbareng .


Sepasang mata Lee Cin mencorong . " Kalau begitu kalian pilih mati di tanganku atau mati di keroyok ular !" .Mendengar ini , tiga orang itu menjadi marah sekali . 


Selama hidup mereka baru sekali ini ada orang melarang mereka berburu ular dengan ancaman akan di bunuh pula ! " .

" Eh , nanti dulu , nona ! Apa kau kira kami bertiga ini anak-anak kecil yang takut mendengar ancamanmu yang tidak masuk di akal " Orang selemah engkau ini bagaimana akan dapat membunuh kami "

 Dan ular-ular itu bagaimana pula dapat mengeroyok kami ?" .

" Hemmm , dengan mudah sekali aku akan membunuh kalian bertiga " , kata Lee Cin dengan mulut tersenyum dingin .
Tiga orang itu memegang tombak mereka di tangan kanan dan kembali mereka saling pandang lalu tertawa . Mereka anggap gadis cantik ini lucu sekali .


" Eh eh , dengan apa engkau akan membunuh kami , nona manis ?" ejek orang kedua .


" Dengan ini !" kata Lee Cin dan begitu ia menggerakkan tangan ke 

pinggang , ia telah meloloskan " ikat pinggang" hitam yang kemudian ternyata adalah seekor ular hitam yang panjang ! Ketika tadi melilit pinggang gadis yang ramping itu , semua orang mengira bahwa hitam-hitam itu adalah sabuk ikat pinggang . Siapa kira benda itu adalah seekor ular hitam yang hidup ! .

" Wah , jangan main-main , nona . Biarpun engkau menggunakan seekor ular sebagai senjata , kau tidak akan mampu menandingi kami . Dengan memiliki sedikit ilmu silat , jangan engkau menggertak dan menakut-nakuti kami ! " .


" Majulah kalian bertiga dan dalam waktu singkat kalian bertiga akan mati !" .

Tiga orang itu kini menjadi marah sekali dan menganggap bahwa gadis itu seorang yang tidak waras otaknya atau seorang gadis yang sombong sekali . 


Mereka tidak berniat mencelakai gadis cantik itu , akan tetapi panas perut mereka mendengar tantangan itu .

" Mari kita beri hajaran kepadanya !" kata orang pertama . Tiga orang itu mengepung Lee Cin , tersenyum-senyum seperti tiga orang dewasa mempermainkan seorang anak kecil yang nakal . 


Akan tetapi Lee Cin berdiri saja dengan tenang , sama sekali tidak bergerak walaupun dua orang berdiri di belakangnya dan siap untuk menyerangnya . 

Karena tiga orang pemburu ular itu menganggap gadis itu hanya menggertak saja dan juga karena mereka tidak ingin mencelakai Lee Cin , maka mereka bertiga melepaskan tombak mereka dan bermaksud menyerang gadis itu dengan tangan kosong saja .

" Lihat serangan kami !" . Orang yang berhadapan dengan Lee Cin membentak dan mulai menyerang dengan cengkraman tangan ke depan . Berbareng pada saat itu , dua orang temannya yang berada di belakang Lee Cin juga sudah menyerang . 


Seorang mencengkram kearah pundak kiri dan seorang lagi menampar kearah punggung .

Dengan gerakan tenang namun lincah sekali , Lee Cin mengelak dari tiga serangan itu dengan jalan meloncat ke kiri membalik dan menangkis penyerang yang menampar punggungnya . 


Ia sudah melibatkan ular hitam di lehernya dan melihat tiga orang itu tidak menggunakan senjata ia pun tidak ingin menggunakan ular hitamnya .

" Dukkk !" Orang yang tertangkis pukulannya itu terpelanting . Bukan main kagetnya ketika bahwa lengannya seperti bertemu dengan baja yang amat kuat . 


Akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting roboh .
Tiga orang itu menyerang , kini lebih berhati-hati . Akan tetapi Lee Cin bergerak cepat , dan tiba-tiba mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu lenyap dari tengah kepungan mereka . 


Sebelum mereka sempat membalikkan tubuh , dua kali tangan Lee Cin menampar dan dua orang dari mereka terjengkang dan terbanting dengan keras ke atas tanah berpadas . 

Yang seorang lagi cepat membalikkan tubuh , akan tetapi hanya untuk menerima sebuah tendangan yang mengenai dadanya dan diapun terpelanting roboh ! .

Baru terbukalah mata tiga orang pemburu ular ini bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai , yang mampu merobohkan mereka bertiga hanya dalam dua gebrakan saja ! 


Mereka menjadi marah dan menyambar tombak masing-masing , kini mengepung lagi dengan tombak di tangan . Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum mengejek . 

Kini telah mengukur kepandaian mereka dan maklum bahwa baginya tiga orang itu merupakan lawan yang lunak sehingga tidak perlu ia harus menggunakan senjata maupun ularnya . 

Tiga batang tombak menyerangnya dengan ganas dari tiga jurusan , akan tetapi tubuh Lee Cin mencelat ke atas sehingga tiga ujung mata tombak tidak mengenai sasaran . Ketika tiga orang itu mengejarnya dengan tombak menyerang ke atas , bagaikan seekor burung Lee Cin hinggap dengan kakinya menginjak tiga ujung tombak yang runcing , lalu melompat lagi ke atas berjungkir balik dan dalam keadaan kepala di bawah kini ia menukik ke bawah , berhasil menampar dua orang dengan kedua tangannya .

" Pla-plak !" Dua orang itu kembali terjungkal . Yang seorang menusukkan tombaknya , namun tombak itu dapat di tangkap Lee Cin dari samping dan sekali membuat gerakan menekuk , tombak itu patah pada tengahnya dan sebuah tendangan membuat orang ke tiga ini terjengkang .


Sekali ini tamparan dan tendangan Lee Cin lebih kuat lagi sehingga tiga orang itu tidak dapat segera bangkit . Lee Cin tersenyum mengejek ." tiga orang macam kamu berani melawan nonamu " Sekarang hadapilah kematianmu di keroyok ular !"


 Gadis itu lalu mencabut sulingnya , meniup suling sehingga terdengar suara melengking-lengking . Tiga orang itu tadinya tidak mengerti mengapa gadis yang lihai itu meniup suling , akan tetapi mereka tidak bertahan mendengar lengkingan suling yang seolah-olah akan memecahkan telinga mereka . 

Ketiganya lalu menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga mereka . Akan tetapi kini mereka terbelalak dengan wajah pucat . dari mana-mana berdatangan ular yang banyak sekali .

 Semua ular yang berada di pohon itu merayap turun dan dari empat penjuru juga berdatangan ular-ular besar kecil dan banyak ular yang memiliki bisa yang jahat sekali ! .
Melihat betapa ular-ular itu makin mendekat dan mengepung mereka sedangkan gadisi cantik itu tetap berdiri meniup suling , tiga orang ini menjadi ketakutan dan segera menjatuhkan diri berlutut .

" Nona , ampunkan kami " ampunkan kami ?". " Mereka meratap dan menangis saking ngeri dan takutnya melihat banyak ular mendesis-desis marah .


Sejak kecil Lee Cin di gembleng oleh gurunya yang juga ibu kandungnya sendiri , Ang-tok Mo-li . Wanita ini merupakan seorang datuk sesat dunia kang-ouw yang berwatak keras dan kejam . 


Karena di gembleng oleh wanita seperti itu , Lee Cin menjadi dewasa dengan watak yang keras pula , dan kalau perlu dapat bertindak kejam terhadap musuh-musuhnya . 

Akan tetapi begitu melihat tiga orang itu berlutut dan merayap minta ampun , ia teringat akan nasehat ayahnya dengan siapa ia hidup bersama selama dua tahun ini .

" Jangan sembarangan membunuh orang , kecuali kalau terpaksa untuk membela diri sendiri . Jangan membunuh lawan yang sudah tidak mampu melawan lagi dan jangan sekali-kali membunuh orang yang sudah minta ampun " , demikian ayahnya pernah menasehatinya . 


Pada saat itu , ia pun membayangkan wajah seorang pendekar muda yang pernah menjatuhkan hatinya , Pendekar muda yang kini telah menjadi seorang panglima besar di kota raja dan telah menikah dengan seorang pendekar wanita pula . 

Pendekar itu adalah seorang pendekar budiman yang bijaksana yang tidak pernah berlaku kejam biarpun terhadap musuh besarnya . 

Teringat akan ayahnya dan pemuda bekas pujaan hatinya itu , seketika Lee Cin menjadi lemah lunglai . Kebekuan hatinya mencair , dan ia merasa malu kepada diri sendiri yang sedang hendak menyiksa dan membunuh tiga orang pemburu ular itu .

Tiba "tiba ia mengubah suara sulingnya . Kini terdengar seperti orang marah dan mengancam dan sungguh mengagumkan sekali , mendengar lengkingan suara suling ini , ular-ular itu berhenti bergerak , nampak ketakutan lalu melarikan diri cerai berai , pergi bersembunyi sehingga sebentar saja di tempat itu sudah tidak nampak ada ular seekorpun , kecuali yang masih bergantung di leher Lee Cin .


Tiga orang yang berlutut itu terbelalak dan merasa lega . Mereka menatap gadis yang berdiri di depan mereka . 


Seorang gadis cantik jelita dengan seekor ular hitam panjang membelit lehernya ! Menyeramkan sekali ! Bagaikan seorang Dewi Ular yang cantik menarik namun menyeramkan.

" Kalian boleh pergi , akan tetapi lebih dulu kalian harus berlutut minta ampun kepada ular-ular di pohon itu , kemudian menguburkan tiga bangkai ular yang kalian bunuh itu dengan baik . Laksanakan !" .


Tanpa banyak cakap cakap lagi tiga orang pemburu itu lalu berlutut menghadap ke arah pohon yang menjadi sarang banyak ular besar

 itu , mereka berlutut dan mengucapkan permintaan ampun . 

Kemudian , mereka sibuk membuat lubang yang cukup besar untuk mengubur bangkai tiga ekor ular yang tadi mereka bunuh . 
Lee Cin masih berdiri tegak dan mengamati pekerjaan mereka .

Setelah mereka selesai mengubur bangkai tiga ekor ular itu , Lee Cin menghardik , " Sekarang pergilah dan jangan sekali-kali berani mendaki bukit ini kalau kalian ingin selamat !" .
Saking girangnya karena mereka yang nyaris tewas mengerikan itu mendapat pengampunan , tiga orang yang masih berlutut itu menghadap Lee Cin dan berkata seperti di komando , " Terima kasih , Sian-li ". !" .
Lee Cin tersenyum geli mendengar mereka menyebutnya Sian-li ( Dewi ) dan segera membentak , " Pergilah !" .
Tiga orang itu bangkit dan setelah membungkuk-bungkuk melewati Lee Cin mereka lalu berlari secepatnya menuruni bukit itu . 


Setelah mengalami peristiwa menakutkan itu , Tiga orang pemburu itu bercerita kepada siapa saja bahwa di Bukit Ular mereka bertemu dengan Bi-Coa Sian-li ( Dewi Ular Cantik ) yang memiliki kecantikan dan menguasai semua ular ! 

Para penghuni dusun-dusun di kaki pegunungan Hong-san adalah orang-orang dusun yang sederhana dan tahyul . Mendengar cerita lucu mereka lalu mempunyai pujaan baru yang mereka sembahyangi dan di mintai berkah , yaitu Dewi Ular yang di anggap sebagai penjaga Bukit Ular .
Lee Cin sudah merasa cukup mengumpulkan racun ular belang hitam kuning . Ia lalu menuruni Bukit Ular . 

Pemandangan di pagi hari itu teramat indahnya . Matahari telah naik agak tinggi di timur , tersenyum menebarkan cahayanya yang masih lembut dan mempunyai daya hidup . 

Lee Cin merasa kagum dan ia berhenti melangkah , memandang penglihatan di bawah yang amat indah . 

Terhampar persawahan yang tiada batasnya . Daerah pegunungan Hong-san memang terkenal bertanah 
subur , kecuali tentu saja Bukit Ular . 

Sawah ladang luas dengan tanaman padi-padian yang masih menghijau karena belum berkembang . 

Bagaikan permadani hijau yang menyejukkan mata , kalau angin bertiup , permadani hijau itu berubah menjadi lautan hijau yang 
berombak . 

Amat mempesonakan Sekumpulan burung pipit terbang lalu , tidak menghiraukan padi-padian yang belum menumbuhkan padi . Di musim seperti itu , burung-burung itu harus terbang sampai jauh untuk memperoleh makanan . 

Nanti kalau sudah dekat masa panen , ketika padi-padian telang menguning , ribuan burung pipit akan berpesta pora di sawah-sawah , berlomba dengan para petani yang berusaha mengusir mereka dengan orang-orangan yang di gerakkan dengan tali yang di tarik-tarik .

Lee Cin menghela napas panjang . Seringkali ia merasa tenggalam kalau sedang mengamati keindahan alam , tenggalam kedalam keindahan itu sendiri sehingga tidak ada batas ruang antara ia dan pemandangan 

itu . 

Ia juga menjadi satu dengan alam di sekelilingnya . Kalau sudah begitu , ia merasa dirinya tidak ada lagi , tidak ada lagi si aku yang mengaku-ngaku , yang ada hanyalah keutuhan alam 
itu . 

Kembali ia menghela napas panjang . Begitu pikirannya bekerja , lenyap perasaan bersatu itu dan ia kembali menjadi Lee Cin yang sedang memandangi keindahan alam dan timbul rasa kehilangan yang aneh , yang membuatnya menghela napas panjang berulang kali .

Lee Cin menuruni lereng terakhir dari Bukit Ular dan tibalah ia di daerah pegunungan yang bertanah subur . 


Mulailah ia bertemu dengan orang-orang . Ketika melihat sepasang suami isteri tua sedang membersihkan rumput-rumput liar yang yang tumbuh di dekat batang-batang padi , bekerja sama dengan rukun dan nampak asyik , ia termenung . 


Pria itu sebaya dengan ayahnya dan wanita itu tentu isterinya . Mereka berusia kurang lebih lima puluh tahun . Begitu rukun bekerja sama . 

Keakraban yang nampak tanpa kata . Dan hati Lee Cin merasa terenyuh . Ia teringat akan ayah dan ibunya .
Ayahnya Souw Tek Bun yang kini berusia empat puluh tujuh tahun . 


Sudah menyadari akan kesalahan nya ketika dia dahulu meninggalkan ibunya . Ayahnya ingin berkumpul lagi dengan ibunya , namun ibunya mendendam sakit hati yang berlebihan . 

Padahal ia sudah membunuh isteri ayahnya . Akan tetapi ibunya masih juga penasaran dan sakit hatinya itu hanya akan dapat terobati kalau sudah dapat membunuh ayahnya ! 

Ah , betapa akan bahagia rasa hatinya kalau ayah dan ibunya dapat hidup bersama sebagai suami isteri , seperti sepasang petani itu . 

Ayahnya sudah merasa bersalah dan hendak menebus kesalahannya dengan membahagiakan ibunya kalau ibunya mau hidup bersama .
" Ayah , kasihan engkau " , Lee Cin berbisik membayangkan betapa ayahnya sering kali duduk melamun seperti orang kehilangan akal . Ia tahu benar betapa ayahnya amat merindukan ibunya . 

Mengingat keadaan ayahnya ini , Lee Cin segera berlari pulang ke lereng Hong-san yang sudah nampak dari situ .

Setelah tiba di pondok tempat tinggal ia dan ayahnya , sebuah pondok kayu yang sederhana namun kokoh kuat dan bersih , di kelilingi taman bunga yang di rawat oleh Lee Cin sendiri , gadis itu melihat keadaan di situ sunyi sekali , tidak seperti biasanya . 


Biasanya ayahnya bangun pagi-pagi sekali , berlatih silat untuk menjaga kesehatannya , kemudian ayahnya akan membelah kayu atau mencari air di pancuran air belakang rumah mereka atau kalau tidak ada sesuatu yang dikerjakan , ayahnya tentu akan duduk di taman bunga , menghirup hawa segar . 

Jarang ayahnya berdiam di dalam rumah saja . Akan tetapi , ketika ia tiba di pekarangan rumah mereka , tidak nampak bayangan ayahnya .
" Ayah "..!" Ia memanggil . Sepi saja . Dengan heran Lee Cin berlari ke pintu depan yang terbuka , lalu masuk ke dalam ia mendengar rintihan dan cepat ia memasuki kamar ayahnya . Dan ayahnya berada di kamarnya , rebah telentang sambil merintih lirih .
" Ayahhhhhh ". !! Engkau kenapa ?"..?"
Lee Cin cepat menghampiri ayahnya , duduk di tepi pembaringan dan segera memeriksa tubuh ayahnya . Ia melepaskan ular hitam yang melilit pinggangnya dan melemparkannya ke bawah . 


Ular itu , bagaikan binatang peliharaan yang telah jinak , merayap ke sudut kamar dan melingkar di sana.

Setelah memeriksa dengan kaget Lee Cin melihat ada tanda telapak jari di dada ayahnya . Pukulan yang mengandung sinkang kuat telah melukai ayahnya .


" Ayahh ". !" Ia memanggil lagi . Akan tetapi agaknya Souw Tek Bun masih setengah pingsan , hanya dapat merintih sedikit akan tetapi belum membuka matanya .


Lee Cin tahu apa yang harus di lakukannya . Ia merobek baju ayahnya , kemudian duduk bersila di dekat ayahnya , menempelkan kedua telapak tangannya di dada ayahnya , lalu mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh pukulan tangan hitam itu . 


Ia merasa betapa ada hawa panas menyambut kedua tangannya , akan tetapi ia melawan dan mengerahkan tenaganya untuk mengusir hawa panas dari pukulan telapak hitam itu . 
Setelah ia berkeringat dan melawan sampai setengah jam , barulah ayahnya kembali merintih , kini agak kuat rintihannya dan ia melihat ayahnya membuka matanya .
" Ayah ". !" Souw Tek Bun memandang puterinya dan memanggil lirih , " Lee Cin ?"". "

" Ayah , siapa yang telah melakukan ini kepadamu " Katakanlah siapa orangnya ?" Tanya Lee Cin hampir menangis . Tanda telapak tangan hitam itu masih belum lenyap , menandakan bahwa pukulan itu memang hebat sekali .


" Lee Cin ". Aku tidak mengenal dia siapa ?". Mengaku siapa ". "
Melihat ayahnya harus mengerahkan kekuatan untuk bicara , Lee Cin kembali menaruh kedua tangannya ke dada ayahnya sambil berkata , " Ayah jangan bergerak atau bicara dulu . Akan ku coba mengusir hawa pukulan itu !" .


Souw Tek Bun membiarkan puterinya melawan hawa pukulan itu sampai satu jam lamanya . Dahi dan leher gadis itu sudah penuh keringat . Warna telapak tangan itu tidak begitu hitam lagi , akan tetapi masih belum hilang .


" Cukup Lee Cin . Jangan memaksakan dirimu , engkau bisa terluka " . Bengcu itu mencoba untuk bangkit duduk , di bantu puterinya . Dia dapat duduk bersandar bantal .


" Pukulannya hebat sekali . Pukulan itu merusak otot-otot di tubuhku . Masih terasa nyeri sekali , jaringan otot-ototku seperti di gigiti ribuan semut ?".. ahhh ?".. " . Dia menekan dadanya menahan nyeri .


" Nanti dulu ayah . Aku pernah mempelajari It-yang-ci , dan menurut locianpwe In Kong Thaisu , ketua Siauw-lim-pai yang mengajarkan ilmu itu , dapat mengobati luka-luka dalam yang hebat . Akan ku cobakan kepadamu " .


Souw Tek Bun mengangguk , lalu duduk bersila tegak , Lee Cin menghimpun tenaganya kemudian ia mengisi jari-jari tangannya dengan tenaga sakti itu , mengerahkan ilmu totokan It-yang-ci dan menotok beberapa bagian di pundak dan dada ayahnya .


" Uhh ". !" Souw Tek Bun muntah darah menghitam , akan tetapi dadanya terasa lega dan tidak begitu nyeri lagi .


" Cukup , Lee Cin . Agak enakan sekarang , tidak begitu nyeri lagi . Akan tetapi , aku harus minum obat pembersih darah dan penguat badan . Kau ambilkan bungkusan obat itu dan cepat masak , ku rasa sekarang tidak ada lagi bahaya maut bagiku " .


Lee Cin melaksanakan permintaan ayahnya . Ia memberi obat itu kepada ayahnya untuk di minum , kemudian ia mengambilkan ganti pakaian ayahnya karena bajunya sudah 

robek . Ia memakaikan baju itu , lalu menyuruh ayahnya rebah kembali , menyelimutinya .

" Ayah , apakah ayah telah merasa nyaman " Kalau belum kuat benar , jangan ayah banyak bicara dulu " .


" Sudah enakan sekarang , tidak ada yang menusuk-nusuk dan menggigiti lagi . Ku rasa nyawaku telah dapat di selamatkan . Ilmu totokan It-yang-ci darimu itu memang ampuh . 


Sungguh beruntung engkau dapat menerima ilmu itu dari In Kong Thaisu " .



Mendengar kata-kata ayahnya sudah keluar dengan lancar dan tidak perlu menggunakan banyak tenaga , Lee Cin lalu bertanya . " Ayah , apa yang telah terjadi ?" .

Souw Tek Bun menghela napas panjang . " Sejak dahulu , aku sudah tidak begitu suka di angkat menjadi seorang bengcu . Memang benar bahwa sebagai bengcu aku di hormati orang seluruh dunia kang-ouw karena mereka memandang aku sebagai pemimpin yang akan mengadili kalau terjadi suatu kesalah pahaman atau permusuhan di antara orang kang-ouw . 


Akan tetapi , kedudukan inipun membuat banyak orang kangouw menjadi iri hati . Ketika terjadi pemilihan Bengcu beberapa tahun yang lalu , sudah ada saja datuk kangouw yang merasa tidak setuju dan hendak menguji kepandaianku sehingga terjadi pertandingan . 

Semenjak itu aku selalu merasa khawatir kalau kedudukanku sebagai bengcu membuat banyak orang tidak senang , dan hari ini kekhawatiranku itu terbukti " .

" Ayah , siapakah datuk yang merasa tidak setuju ketika ayah di angkat menjadi bengcu ?" .


" Dia adalah Jeng-Ciang-Kwi ( Iblis Bertangan Seribu ) " .


Dengan alis berkerut Lee Cin bertanya , " Di mana adanya iblis itu , ayah ?" .
" Dia tinggal di Guha Tengkorak di Lembah Iblis Pegunungan Kwi-san . Akan tetapi mengapa engkau menanyakan itu , Lee Cin ?" .


" Aku akan mencarinya . Kalau benar dia yang melukai ayah , aku akan mengadakan perhitungan dengan 

dia !".

" Jangan , Lee Cin . Aku hampir yakin bahwa penyerangku itu bukan Jeng-ciang-kwi . Iblis itu sekarang sudah berusia tujuh puluh tahun lebih , sedangkan orang berkedok hitam itu , melihat tubuhnya yang ramping , tentu muda . 


Pula punggungnya tidak bongkok seperti punggung Jeng-ciang-kwi " .
" Bagaimana sih terjadinya , ayah ?" .
Souw Tek Bun bercerita . 


Pagi tadi , seperti biasa , dia bangun pagi lalu berlatih silat di taman bunga sebelah kiri pondoknya . Taman di bagian ini memang di lengkapi dengan sepetak tanah berumput yang memang di sediakan untuk berlatih silat di alam terbuka . 

Souw Tek Bun dan puterinya selalu berlatih silat di tanah kosong selama setengah jam , lalu bermain silat pedang selama setengah jam pula sehingga tubuhnya sudah berkeringat di pagi hari itu . Baru saja dia menyelesaikan silat pedangnya , terdengar orang berseru .

" Hemmm , kiranya begini saja beng-cu antek Kaisar Mancu itu !" .
Souw Tek Bun terkejut bukan main . Kalau orang dapat datang ke tempat itu tanpa dia ketahui , hal itu sudah menunjukkan bahwa orang itu memiliki gin-kang yang lihai . 


Apa lagi mendengar sebutan " antek kaisar Mancu " dia menjadi kaget dan cepat memutar tubuh menghadapi orang itu . Dia mengerutkan alisnya melihat seorang yang memakai kedok hitam di mukanya , rambutnya juga tertutup topi hitam . 

Melihat pakaian yang ringkas dan pedang di punggung orang itu , dia dapat menduga bahwa yang datang ini tentu seorang kalangan kang-ouw .
" Sobat " , katanya dengan tenang . " Kalau engkau hendak bicara dengan aku , silahkan membuka kedok . Hanya orang pengecut saja yang tidak berani memperkenalkan mukanya dan aku yakin engkau bukan seorang pengecut !" .

" Ha-ha-ha !" Orang itu tertawa dan dari suaranya , Souw Tek Bun menduga bahwa dia adalah seorang pria muda . " Souw Tek Bun eh ".. Beng-cu , kau boleh mengoceh apa pun juga selagi engkau masih bernapas . 


Aku datang untuk membunuh seorang antek Kaisar Mancu yang tidak tahu malu seperti engkau !" .
Souw Tek Bun menduga bahwa orang ini tentu seorang pejuang patriot yang membenci kaisar penjajah . 

Memang banyak di antara pendekar yang membenci pemerintah Mancu yang menjajah tanah air . 

Akan tetapi , dia sendiri biarpun bukan seorang pembenci Kaisar Mancu , bahkan yang pernah membantu Pemerintah Kerajaan Mancu dengan membasmi kawanan perusuh sehingga dia mendapat hadiah Pedang Ceng-liong-kiam dari kaisar Kian Liong , namun tidak sudi di sebut antek Kaisar Mancu . 

Kaisar itu hendak menganugerahkan pangkat besar kepadanya , namun hal itu di tolaknya . Dan selama ini , dia menghormati para patriot yang hendak berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan orang Mancu .

" Sobat , engkau salah duga kalau mengira aku seorang antek Mancu , walaupun aku tidak pernah menentang pemerintah Mancu . Aku bukan anteknya dan aku tidak membenci Kaisar karena dia seorang yang baik dan tidak menindas 
rakyat " .

" Hemmm , pandai engkau bersilat lidah ! Engkau mau menjadi bengcu karena yang memilih adalah Panglima utusan Kaisar . 

Padahal , kepandaianmu tidak pantas untuk menjadikan engkau seorang bengcu . Coba buktikan kalau engkau seorang bengcu dan hadapi pedangku ini !"

Orang berkedok hitam itu meraih ke belakang punggungnya dan tampak sinar berkelebat ketika dia mencabut pedangnya .


Souw Tek Bun masih memegang Ceng-Liong-Kiam , akan tetapi dia tidak mengangkat pedangnya . " Sobat , ku kira engkau seorang patriot yang membenci pemerintah Mancu . Aku tidak pernah menghalangi perjuangan para patriot dan aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian " .


"Souw Tek Bun , beginikah sikap seorang bengcu dunia kangouw " Percuma saja engkau di pilih dan mau menjadi bengcu kalau engkau hanya seorang pengecut yang tidak berani melawan kalau di tantang orang ! 

Kalau engkau jantan , hayo lawan aku atau aku akan membunuh engkau begitu saja seperti cacing !" Orang itu mengelebatkan pedangnya terus menusuk kearah dada Souw Tek- 
Bun . 

Bengcu ini miringkan tubuhnya mengelak , akan tetapi pedang orang itu membalik dan membacok kearah lehernya . Souw Tek Bun masih 
mengalah dengan loncatan ke 
belakang , akan tetapi orang berkedok itu tidak menghentikan 
penyerangannya , bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat . 

Karena serangan selanjutnya 
merupakan serangan maut yang 
dahsyat sekali , Souw Tek Bun tidak dapat mengelak terus dan menangkis dengan Ceng-liong-kiam sambil 
mengerahkan tenaga sinkangnya .

" Traanngggg ". !" Akan tetapi Souw Tek Bun kecelik kalau mengira bahwa pedang lawan akan patah bertemu pedang pemberian Kaisar itu . Dia bahkan merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat , tanda bahwa orang itu pun memiliki singkang yang amat kuat . 

Tahu bahwa lawannya bukan orang sembarangan , Souw Tek Bun lalu balas menyerang dan terjadilah 
perkelahian yang seru dan standing .
Souw Tek Bun memainkan ilmu 

pedang keluarganya yang membuat dia pernah di juluki Sin-kiam Hok-mo ( Pedang Sakti Penakluk Iblis ). 

Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar . Akan tetapi alangkah kaget hati bengcu ini ketika lawannya juga memainkan pedang secara hebat . 

Dua gulungan sinar pedang saling belit dan saling desak dengan 
hebatnya . Mereka saling serang 
bergantian dan Souw Tek Bun 
mendapat kenyataan betapa 
lawannya itu memang lihai bukan main . 

Katakanlah dia masih menang sedikit dalam ilmu pedang , akan tetapi dia harus mengaku bahwa  hal tenaga sakti , dia masih kalah setingkat . 

Tenaga sakti orang berkedok itu kuat bukan main sehingga setiap kali beradu lengan kiri , dia yang 
terdorong ke belakang sampai dua tiga langkah .

Mereka bertanding sampai seratus jurus lebih ! Saling desak dan saling mengeluarkan jurus-jurus terampuh menjadi serangan maut . 


Pada suatu saat , ketika lengan kiri mereka beradu dan Souw Tek Bun terhuyung ke belakang , lawannya mendesak dengan tusukan pedang kea rah dada . Souw Tek Bun sudah memperhitungkan hal ini , maka dia miringkan tubuh ke samping dan dari samping dia mengelebatkan 
pedangnya yang mengenai lengan kanan lawan sehingga baju dan kulitnya terobek berdarah ! 

Akan tetapi , dengan tiba-tiba tanpa di duga-duga oleh Souw Tek Bun , tangan kiri orang itu memukul 
dadanya dengan kekuatan hebat sekali .

" Desss"! " Tubuhnya terpental sampai tiga meter dan dia terbanting jatuh ke atas tanah . Pukulan itu demikian hebatnya sehingga Souw Tek Bun merasa dadanya panas dan seperti pecah , terasa nyeri bukan main .
Si kedok hitam itu tertawa bergelak . " Cukup sekali pukulan itu saja , Souw Tek Bun . Pukulan yang sekali itu kalau tidak membunuhmu , sedikitnya akan melenyapkan tenaga sinkangmu selama bertahun-tahun . 

Itulah ilmu pukulan merontokan Jalan darah ! Selamat tinggal dan selamat mampus ha-ha-ha !".  Si Kedok hitam itu lalu meloncat dan lenyap dari taman itu .

Souw Tek Bun menghela napas panjang sambil memandang Lee Cin yang sejak tadi mendengarkan penuturan ayahnya dengan penuh perhatian . 


" Demikianlah , Lee Cin . Aku sendiri tidak tahu siapa orang itu , berapa usianya . Hanya yang ku ketahui , bicaranya teratur baik , tidak kasar dan bentuk tubuhnya sedang saja . 

Mungkin dia seorang pria muda yang terpelanjar dan ilmu silatnya sungguh hebat, terutama sekali tenaga saktinya . Ucapannya itu bukan sekedar bualan belaka . Aku merasa bahwa aku telah terkena pukulan istimewa biarpun andaikata tidak membuat aku mati , akan tetapi mungkin sekali aku tidak akan dapat menggunakan tenaga sinkang lagi sampai lama sebelum aku sembuh benar " .

Lee Cin bangkit dengan marah . Kedua tangannya di kepal dan dengan muka merah ia berkata , " Aku tidak terima ! Aku akan mencari dia sampai dapat dan aku akan membuat perhitungan dengannya ! ". 


Matanya mencorong dan ia membanting-banting kaki , cuping hidungnya berkembang-kempis . Souw Tek Bun memandang dengan bengong . 

Dia seperti melihat ibu gadis itu , Bu Siang yang di waktu masih gadis persis seperti Lee Cin .

" Jangan , Lee Cin . Selain amat sukar mencari seorang yang belum kita ketahui mukanya , juga apa artinya " Dia seorang patriot yang membenci penjajah Mancu , membenci Kaisar mancu yang di anggap membelenggu rakyatnya ".


" Kalau dia membenci Kaisar mancu , mengapa bukan Kaisar mancu saja yang dia serang atau bunuh" Mengapa harus ayah yang menjadi tumpahan marahnya " Aku tetap tidak mau terima dan harus mencarinya sekarang juga ! 


Gadis itu melangkah hilir mudik dalam kamar ayahnya , seperti seekor singa betina dalam kerangkeng .
" Aku tidak mungkin tinggal diam saja . Akan tetapi ayah ".. bagaimana kalau ku tinggal seorang diri " Ah , aku akan mencari seseorang di dusun bawah lereng sana , akan ku minta dia untuk melayani ayah . 


Sekarang juga aku akan mencari seorang pembantu , ayah !" . Setelah berkata demikian , tanpa menanti jawaban ayahnya , gadis itu sudah berlari keluar . Souw Tek Bun hanya menghela napas panjang. Dia mengerti betapa keras hati puterinya dan akan celakalah orang itu kalau dapat di temukan puterinya . 

Biarpun si kedok hitam itu lihai , akan tetapi kalau melawan puterinya , sukar baginya untuk dapat menang . Bertanding melawan dirinya saja sampai lebih dari seratus jurus baru mendapatkan kemenangan . 

Itu pun dengan lengan terluka pedangnya . Padahal , ilmu silat yang di miliki Lee Cin jauh lebih tinggi daripada tingkatnya .

Tak lama kemudian , Lee Cin datang kembali di ikuti seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun . Dia seorang petani yang hidup sebatang kara di dusun berdekatan dan segera menyatakan kesediannya ketika di minta tolong oleh Lee Cin untuk merawat ayahnya , tentu saja dengan menerima uang pembayaran secukupnya .


Melihat kekerasan hati puterinya untuk mencari orang yang telah menyerang dan melukainya . Souw Tek Bun memesan kepada puterinya . " baiklah , kalau kukuh keinginanmu untuk mencari si Kedok Hitam itu , aku pesan agar engkau berkunjung ke Kun-lun-pai atau Siuw-lim-pai , temui Im Yang Sengcu atau Hui Sian Hwesio dan laporkan kepada seorang di antara mereka bahwa aku mengundurkan diri dari kedudukan bengcu " .


Lee Cin mengerutkan alisnya . ia tidak keberatan akan keputusan ayahnya ini karena menjadi bengcu banyak tidak enaknya . Keuntungannya tidak ada , bahkan kerugian yang di derita karena banyak orang menjadi iri hati .

Akan tetapi ia tidak tahu mengapa harus mengunjungi Kun-lun-pai atau Siauw-lim-pai "

" Ayah mengapa ayah harus melapor kepada mereka berdua kalau ayah mengundurkan diri " Apa 

hubungannya dengan mereka " 
"Kedua orang tokoh itulah yang dahulu menolak kedudukan bengcu dan mengalihkan kepadaku . Karena di desak dan di minta banyak orang , aku tidak dapat menolak dan mau menjadi bengcu dengan syarat bahwa kedua orang tokoh itu mau menjadi penasehat dan pembantuku . 

Karena itu , sekarang aku 
mengembalikan kedudukan itu 
kepada mereka berdua atau seorang di antara mereka ".

" Baik , ayah . Akan tetapi karena Siauw-lim-pai di Kwi Cu lebih dekat dari pada Kun-lun-pai , aku hendak mencarinya ke Kwi-cu dan kalau Hui Sian Hwesio tidak berada di sana , aku akan melapor saja kepada ketua Siauw-lim-pai yang sudah ku kenal , yaitu In Kong Thaisu " .

Setelah berkemas, berangkatlah Lee Cin meninggalkan ayahnya , menuruni pegunungan Hong-san dimana ia telah tinggal bersama ayahnya selama dua tahun lebih . 

Pagi hari itu Lee Cin menuruni pegunungan . Ada perasaan gembira di hatinya , seperti seekor burung yang baru terlepas dari sangkarnya dan terbang melayang di angkasa bebas merdeka . 

Selama tinggal di Hong-san , Lee Cin telah kehilangan rasa bebas lepas ini , karena ia harus melayani ayahnya . Ia sudah rindu akan alam kebebasan , rindu akan petualangan di dunia kang-ouw seperti yang pernah ia lakukan sebelum ia tinggal bersama ayahnya . 

Banyak yang harus ia lakukan . Selain mencari si Kedok hitam yang telah melukai ayahnya , pekerjaan yang sukar karena ia tidak tahu bagaimana macamnya si Kedok hitam tahu namanya dan tidak tahu pula dimana ia bisa menemukannya . 

Ia harus pula menghadap Hui San Hwesio atau Im Yang Sengcu dan ia ingin pula mencari ibu kandungnya , yaitu Ang-tok Mo-li yang tinggal di Bukit Ular Merah di Lembah Huangho .
Orang tidak akan mengira bahwa gadis cantik jelita yang berlenggang menuruni pegunungan Hong-san itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi . 

Ia masih membawa Ang-tok-kiam 
( Pedang Racun Merah ) pemberian ibunya . Pedang itu tidak nampak dari luar karena ia belitkan di pinggang menjadi semacam sabuk merah yang indah . 

Sulingnya terselip di ikat pinggang ini dan sekali ini ia tidak membawa ular hitamnya . Ia melepaskan ular hitam yang jinak itu di Bukit Ular . 

Ini adalah karena ia menuruti nasehat ayahnya . kata ayahnya , kalau ia pergi membawa-bawa ular hitam , orang tentu akan menyangka buruk kepadanya , mengira ia seorang tokoh sesat dari dunia kang-ouw . 

Juga ayahnya berpesan kepadanya agar ia tidak mencari permusuhan di luar dan sama sekali tidak boleh mengumbar nafsu membunuhi orang-orang .

" Orang-orang yang tersesat dalam dunia kejahatan , tidak semestinya kalau di benci , bahkan patut di kasihani , Mereka itu tiada bedanya dengan orang yang sedang sakit , sakit jiwanya karena di cengkram nafsu . 

Akan tetapi orang sakit , bagaimana beratpun akan sewaktu-waktu sembuh . 

Demikian pula orang yang jahat itu sewaktu-waktu dapat menyadari kesalahannya dan bertaubat . Sebaliknya , yang waras dan sehat tidak selamanya demikian , sekali waktu bisa saja terserang penyakit dan jatuh sakit seperti orang yang berbudi baik belum tentu selamanya akan tetap baik , sekali waktu bisa saja ia tergoda dan melakukan kejahatan . 

Tidak ada gading yang tak retak , tidak ada manusia sempurna sepenuhnya di dunia ini , pasti ada kelemahannya . Akan tetapi Tuhan Maha Pengampun dan orang yang merasa berdosa dan mohon pengampunan dari dosanya kepada Tuhan , dia pun harus dapat mengampuni kesalahan orang lain !" .

Pesan itu masih terngiang di dalam telinganya ketika Lee Cin menuruni lereng terakhir dari pegunungan Hong-san . Kini ia menyadari sepenuhnya betapa gurunya atau juga ibu kandungnya itu hidup dalam kesesatan . 

Ibu nya berhati baja , amat keras dan kejam , tidak pernah mau 
mengampuni siapa saja yang di 
anggapnya musuh , dapat 
membunuhi orang tanpa berkedip . 

Dan sejak kecil ia di didik seperti itu oleh ibunya . Akan tetapi kini ia menyadari betapa kelirunya watak seperti watak ibunya itu betapa jauh bedanya dengan watak ayahnya . 

Akan tetapi ayahnya mengatakan bahwa betapa jahatnya seseorang , seperti juga betapa hebat sakit yang di deritanya , orang itu akan dapat menjadi sadar dan bertaubat , seperti juga orang sakit akan dapat menjadi sembuh . 

Adakah harapan bagi ibunya untuk menjadi sadar akan kekeliruannya dan kembali ke jalan bersih " Ia akan mencoba menyadarkannya ! .

Menghadapi beberapa tugas penting itu , Lee Cin menjadi bersemangat dan timbul kegembiraannya . Setidaknya ada tujuan-tujuan tertentu dalam hidupnya .

Kita tinggalkan dulu Lee Cin yang menuruni pegunungan Hong-san untuk melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya dan mari kita melihat peristiwa hebat yang terjadi di bagian lain dari daerah kota raja , dua tahun yang lalu .

Dua tahun yang lalu , terjadu usaha pemberontakan yang di pimpin oleh mendiang Pangeran Tang Gi Lok yang di kenal dengan sebutan Pangeran Tua , di bantu oleh banyak datuk dan tokoh kang-ouw ( baca kisah Gelang kemala). 


Akan tetapi usaha pemberontakan itu gagal oleh para pendekar yang di pimpin oleh pendekar Song Thian Lee yang kini di angkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Kian Liong . 

Dan Lee Cin juga ikut pula membantu Song Thian Lee , pendekar muda yang pernah menjatuhkan hati dara perkasa itu , akan tetapi kemudian Lee Cin terpaksa mundur ketika mendapat kenyataan bahwa Thian Lee mencinta gadis lain bernama Tang Cin Lan , puteri dari Pangeran Tang Gi Su , yang kini telah menjadi isteri Panglima Besar Song Thian Lee 
( semua ini terjadi dalam kisah Gelang Kemala ) .

Banyak tokoh sesat yang membantu Pangeran Tang Gi Lok atau Pangeran Tua yang tewas dalam penggebrekan pasukan kerajaan , sama pula nasibnya dengan Pangeran Tua yang membunuh diri setelah melihat usaha pemberontakannya gagal sama 

sekali . 

Ada pula yang tertawan dan di hukum , sebagian besar di hukum mati karena memberontak merupakan dosa yang paling besar . 

Ada pula yang di hukum buang , yaitu mereka yang masih masuk sanak keluarga Kaisar yang ikut-ikutan memberontak atau mereka yang tadinya telah melakukan jasa besar dalam pemerintahan .

Di antara mereka yang tidak di hukum mati itu terdapat seorang datuk sesat bernama Thian-te Mo-ong Koan Ek . 


Thian-te Mo-ong terbawa dalam pemberontakan karena janji-janji muluk dari Pangeran Tua dan mengingat bahwa dia seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dan bahwa dia hanya ikut-ikutan saja , diapun di hukum buang ke luar tembok besar , Thian-te Mo-ong yang ikut pula bertempur ketika pusat para pemberontak di serbu pasukan kerajaan , dapat di tangkap ketika dia di hadapi oleh Lee Cin dan Tang Cin Lan yang kini menjadi isteri Song Thian Lee . 

Dua orang pendekar wanita yang lihai ini akhirnya dapat merobohkan Thian-te Mo-ong dan pasukan lalu menelikung dan menawannya .
Akan tetapi terjadi hal yang di luar dugaan semua orang . 

Pada saat bekas datuk besar ini di buang , di masukkan ke dalam 
kerangkeng dan di belenggu kaki 
tangannya , seperti seekor binatang 
buas yang berbahaya , dan 
kerangkeng yang beroda di dorong oleh para perajurit , di kawal oleh seregu perajurit berjumlah dua lusin orang , datuk besar ini memberontak . 
Ketika kerangkeng itu tiba di dekat Tembok Besar yang sunyi , tiba-tiba saja Thian-te Mo-ong meronta , belenggu kaki tangannya patah-patah dan sekali ia bergerak , dia telah menjebol kerangkeng itu ! 

Para perajurit tentu saja menjadi kaget dan mengepungnya , akan tetapi apa artinya dua lusin perajurit bagi seorang datuk besar seperti Thian-te Mo-ong " .

Biarpun tubuhnya yang tinggi kurus itu tidak nampak kokoh kuat , akan tetapi begitu dia menggerakkan kaki tangannya banyak senjata golok terlempar dan banyak perajurit terpelanting . 

Kemudian dengan mudahnya dia lari seperti terbang cepatnya , tidak dapat di kejar lagi oleh para perajurit dan diapun lenyap di dalam hutan 
belukar di pegunungan yang luas dan liar itu .

Akan tetapi , karena ketika berada dalam tahanan dia menerima penyiksaan berat sehingga sekujur tubuhnya luka-luka dan nyeri semua , ketika dia memaksakan diri melarikan diri , rasa nyeri tubuhnya makin menjadi dan akhirnya dia terpelanting roboh pingsan di tengah hutan dengan kaki tangan masih di lingkari belenggu yang rantainya sudah dia putuskan ketika meronta tadi . 


Kedua kaki dan tangannya masih terikat belenggu yang belum sempat dia lepaskan .

Ketika Thian-te Mo-ong menggeletak di hutan itu selama lebih dari satu jam , seekor harimau hitam 

melangkah perlahan-lahan 
mendekatinya dan mencium-cium 
dengan hidungnya yang mendengus-dengus . 

Agaknya harimau itu tidak percaya bahwa ada mangsa yang demikian saja berada di depannya , tanpa dapat melarikan diri atau melawan . 

Harimau itu menggunakan kaki depannya yang kokoh kuat , mengguling-gulingkan tubuh Thian-te Mo-ong . Orang tua yang usianya sudah lima puluh lima tahun ini mengerang dan merintih . 

Ketika dia membuka matanya , dia terbelalak kaget melihat moncong harimau begitu dekat dengan mukanya ! 

Agaknya sudah tidak ada harapan lagi baginya untuk hidup . Bagaimanapun lihainya , pada saat itu dia kelelahan dan kesakitan , dan harimau itu 
sudah tinggal menerkam saja dengan kuku-kukunya yang runcing dan menggigitnya dengan taring yang kuat .

Pada saat yang amat gawat baginya keselamatan Thian-te Mo-ong itu , tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan putih . Begitu berkelebat datang bayangan putih itu menggunakan kakinya menendang perut harimau hitam ! .


" Desss ". ! " Harimau itu terlempar sampai tiga tombak . Akan tetapi dia adalah seekor binatang yang kuat sekali . 


Begitu tubuhnya terbanting jatuh , dia sudah bangkit lagi dan menggereng-gereng memperlihatkan taringnya , memandang dengan marah kepada seorang pemuda berpakaian serba putih yang sudah berdiri dekat Thian-te Mo-ong yang masih rebah .
Sekali lagi harimau itu mengaum dan tubuhnya sudah siap untuk lari maju dan menerkam , akan tetapi pemuda baju putih itu dengan tenang menggerekkan tangan kanannya dan tiga pucuk sinar kilat menyambar kea rah harimau itu . 

Binatang itu tidak sempat mengelak dan tiga batang pisau belati telah mengenai leher , muka dan 
lambungnya !" .

" Craatt-craatt-crrattt ?".!"
Sabitan pisau terbang itu tepat sekali , terutama yang mengenai muka . Pisau menancap di antara kedua mata binatang itu . Yang mengenai leher dan lambung juga menancap sampai ke gagangnya . 


Binatang itu melompat ke atas lalu jatuh lagi berdebuk di atas tanah menggeram-geram dan berkelonjotan sekarat . 

Pemuda itu tidak memperdulikan lagi harimau yang sekarat itu dan dia berjongkok dekat tubuh Thian-te Mo-ong untuk memeriksa keadaan orang tua yang hampir saja menjadi mangsa harimau hitam yang kelaparan itu .
Tiba-tiba pemuda itu terbelalak dan terkejut bukan main ketika tanpa di duga-duga kedua tangan orang yang di tolongnya itu bergerak dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi kaku terkena totokan yang kuat sekali . 

Biarpun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya , namun dia masih dapat bicara dan pemuda itu berkata dengan suara mengandung penasaran .

"Kenapa engkau lakukan ini 

kepadaku " Aku telah menolong-
mu ?"."

Thian-te Mo-ong bangkit duduk ,
mengamati wajah pemuda itu . 
Seorang pemuda yang kurang lebih dua puluh dua tahun usianya , 
bertubuh tinggi besar berkulit putih dan berwajah tampan . 

Rambutnya yang subur dan tebal di kuncir ke belakang dan sepasang matanya mencorong .

" Hayo katakana siapa engkau dan mengapa engkau berada di sini ! 

Awas , sekali engkau berbohong dan menimbulkan kecurigaanku , engkau tentu ku bunuh !" 

Thian-te Mo-ong memandang ke arah pakaian pemuda itu yang terbuat dari sutera putih bersih dengan garis kuning dan di punggungnya terdapat sebatang pedang . 

Pemuda ini nampak gagah dan ganteng sekali .
" Aku bernama Ouw Kwan Lok , locianpwe " , kata pemuda itu yang baru menyadari bahwa kakek yang di tolongnya itu ternyata lihai bukan main . 


Hanya seorang yang berilmu tinggi saja yang dapat menotoknya dan membuat dia tidak mampu bergerak . 

Kalau hanya ilmu totokan biasa saja , jangan harap akan dapat membuat tubuhnya yang kebal dengan sinkang itu menjadi tidak berdaya seperti itu.
" Mengapa engkau berada di sini " 


Dan engkau hendak pergi kemana ?" Thian-te Mo-ong mencabut pedang yang berada di belakang punggung pemuda itu dan mengancam pemuda itu dengan menempelkan pedang di lehernya . 

" Hayo jawab sejujurnya kalau engkau tidak ingin lehermu ku penggal dengan pedangmu sendiri !" .
Pemuda itu tenang saja 
dan tersenyum . " Locianpwe , tidak 
perlu lagi locianpwe menggertak aku karena aku sudah tidak bergerak , dan aku percaya sepenuh 
keyakinanku bahwa seorang tua sakti seperti locianpwe tidak akan membunuh seorang pemuda tanpa kesalahan dan tanpa memberinya kesempatan untuk membela diri !" .

Pemuda itu bicara dengan sikap halus dan wajahnya tersenyum . Hal ini diam-diam mengejutkan dan mengagumkan hati Thian-te Mo-ong . Pemuda ini memiliki kecerdikan dan juga ketenangan yang luar biasa . 

Dalam keadaan terancam nyawanya seperti itu masih bersikap tabah dan sedikitpun tidak kelihatan takut .
" Cepat jawab pertanyaanku tadi !" bentaknya .

" Aku datang dari luar Tembok Besar di utara , sengaja datang ke selatan untuk mencari guruku yang sudah hampir setahun pergi ke selatan dan tidak ada beritanya . 

Dalam perjalanan ke utara itu ini hari aku lewat di sini dan melihat locianpwe dan harimau hitam tadi " .
" Siapa gurumu itu ?" . "Locianpwe seorang sakti tentu sudah mendengar tentang guruku. Dia adalah datuk dari utara yang berjuluk Pak-thian-ong."
Thian-te Mo-ong membelalakkan matanya. 


Tentu saja dia mengenal pak-thian-ong (Raja Dunia Utara) yang bemama Dorhai dan bahkan mereka berdua telah bekerja sama membantu 
Pangeran Tua dalam 
pemberontakannya yang gagal. 

Pak-thian-ong adalah rekan dan 
sahabatnya
"Murid Pak-thian-ong?" Thian-te Mo-ong melepaskan pedangnya dan menggerakkan tangan membebaskan totokannya sehingga pemuda yang bernama ouw Kwan Lok itu dapat bergerak kembali. 


Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengannya yang tadi menjadi kaku, lalu mengambil pedangnya dan memasukkannya ke dalam sarung pedangnya kembali.

"Agaknya Locianpwe mengenal baik guruku," kata pemuda itu sambil mengamati wajah Thian-te Mo-ong dan memandang ke arah pakaiannya yang serba hitam dari kain kasar itu
Thian-te Mo-ong menghela napas panjang. 


"Bukan hanya mengenal. Gurumu dan aku adalah rekan seperjuangan menentang Kerajaan Ceng. Akan tetapi perjuangan kami gagal dan gurumu tewas dalam pertempuran. "
ouw Kwan Liok mengerutkan alisnya dan memandang wajah Mo-ong dengan penuh perhatian- "suhu tewas....?"

"Gerakan kami gagal, gurumu tewas dan aku sendiri tertawan. Ketika akan dihukum buang, aku memberontak di perjalanan dan melarikan diri sampai di hutan ini. 


Karena tubuh luka-luka dan kehabisan tenaga, aku agaknya jatuh pingsan di sini dan hampir saja menjadi mangsa harimau. Baiknya engkau datang dan membunuh harimau itu. 

Bagus, bagaimanapun juga persahabatanku dengan Pak-thian-ong tidak percuma. Ketahuilah ouw Kwan Lok, aku adalah Thian-te Mo-ong Koan Ek."

Mendengar nama ini, Kwan Lok lalu menjatuhkan diri bertutut di depan kakek itu "Maafkan aku yang tidak mengenal Locianpwe sehingga bersikap tidak hormat. 

sudah lama aku mendengar akan nama besar Locianpwe disebut-sebut oleh suhu."

Thian-te Mo-ong mengangguk-angguk dan hatinya semakin tertarik dan senang. seorang pemuda yang tabah, tenang, ramah dan juga tahu diri, pandai membawa diri.

"sudah,jangan memakai banyak peradatan. Tubuhku lemah dan perutku lapar sekali. Apakah engkau tidak membawa bekal makanan?" tanpa malu-malu kakek itu bertanya, sambil memandang buntalan kain kuning yang tadi diletakkan di atas tanah oleh pemuda itu ketika memeriksa tubuhnya.


"Aku tidak membawa bekal makanan, Locianpwe. Akan tetapi di sini terdapat daging harimau yang tentu akan lezat sekali. Tunggu akan kupanggangkan daging harimau yang dapat menyehatkan kembali tubuh Locianpwe."


Tanpa menanti jawaban, dengan cekatan Kwan Lok lalu menghampiri bangkai harimau hitam dan menggunakan pisau yang menancap di leher harimau untuk memotong bagian yang mengandung daging dari binatang itu. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun dan memanggang daging harimau yang ditusuknya dengan kayu yang banyak terdapat di situ. 


Dia pun memberi garam dan bumbu yang diambilnya dari buntalannya sehingga daging itu berbau sedap ketika dipanggang.

"silakan, Locianpwe. silakan makan daging pang gang ini dan kebetulan sekali aku masih mempunyai persediaan anggur yang baik."


Dengan lahap Thian-te Mo-ong makan daging harimau panggang dan minum anggur itu dan tubuhnya terasa segar dan sehat kembali. Pemuda itu pun ikut makan dan keduanya merasa akrab satu sama lain.


setelah selesai makan, ouw Kwan Lok bertanya, "Locianpwe Thian-te Mo-ong...."


"Jangan sebut-sebut lagi Thian-te Mo-ong. Nama itu sudah menjadi buronan pemerintah Kerajaan Ceng. Namaku Koan Ek. sebut saja namaku, tanpa julukan apapun."


"Baiklah, Koan- locianpwe. setelah Locianpwe berhasil meloloskan diri dari hukuman, lalu apa yang akan Locianpwe lakukan selanjutnya" Apakah Locianpwe akan kembali selatan?"


"Dan engkau sendiri, bagaimana" setelah kau ketahui bahwa Pak-thian-ong tewas, apa yang akan kau lakukan?"


"Aku belum tahu, Locianpwe. Aku menjadi bingung kehilangan pegangan. Apakah Locianpwe akan kembali ke selatan" Bukankah Locianpwe terkenal sebagai Datuk selatan?"


"Tidak. aku tidak bisa kembali ke sana."
"Kalau begitu, mengapa Locianpwe tidak tinggal saja di utara" Locianpwe dapat tinggal bersamaku, menjadi pengganti suhu."


Thian-te Mo-ong atau yang sekarang menggunakan nama aselinya, Koan Ek. bangkit berdiri dan berjalan hilir-mudik seperti seekor singa dalam ruangan tertutup, Dia harus berpikir keras. 


Dia tahu bahwa perbuatannya meloloskan diri dari para perajurit yang mengantarnya ketempat 
pembuangannya, tentu akan tersebar luas dan dia menjadi buronan 
pemerintah yang mengerahkan 
banyak perwira yang pandai dan tangguh, akhirnya dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi. 

Kembali ke selatan sama dengan ular mendekati pemukul, sama dengan mencari penyakit atau menyerahkan diri sebaliknya, kalau dia memenuhi usul pemuda ini, dia akan bersembunyi di utara. Tidak akan ada orang menyangka sedikitpun bahwa Datuk selatan itu kini berada di utara, di luar Tembok Besar. 

Dan pemuda ini menarik, hatinya. seorang pemuda yang akan menyenangkan sekali kalau menjadi murid. Pemuda ini sudah cukup lihai sebagai murid Pak-thian-ong, kalau kini dia ajarkan ilmu-ilmunya, pemuda ini kelak akan dapat membalaskan sakit hatinya kepada musuh-musuhnya. 

Dia masih ingat benar bahwa kejatuhannya sampai dia tertawan pasukan adalah ketika dia melawan dua orang gadis. Yang seorang adalah murid Ang-tok Mo-li dan puteri Bengcu yang bernama souw Tek Bun. 

Gadis itu sendiri bernama souw Lee Cin. Dan gadis ke dua bernama Tang cin Lan, puteri dari Pangeran Tang Gi su. Kalau ouw Kwan Lok menjadi muridnya, dia tentu akan dapat pergi dengan leluasa ke selatan, mencari dua orang gadis itu dan membunuh mereka

"Baik, ouw Kwan Lok. aku mau tinggal bersamamu asalkan engkau suka menjadi muridku" akhirnya Koan Ek mengambil keputusan. 


Mendengar ucapan ini, Kwan Lok lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dengan wajah girang sekali.

"suhu, harap jangan khawatir. Teecu akan melayani semua keperluan suhu dan teecu akan belajar dengan tekun dan memenuhi semua perintah suhu dengan patuh."


"Bagus Aku percaya kepadamu seperti aku percaya kepada Pak-thian-ong. Aku akan mengajarkan semua ilmuku kepadamu dan mengingat bahwa engkau pernah menjadi murid Pak-thian-ong sejak kecil, tingkat kepandaianmu tentu sudah tinggi dan dalam waktu dua tahun saja engkau akan dapat mempelajari semua ilmuku dengan baik, Akan tetapi aku memberikan semua ilmuku kepadamu dengan maksud agar kelak engkau dapat mewakili aku untuk membunuh musuh- musuhku yang telah mencelakakan aku."


ouw Kwan Lok adalah seorang pemuda yatim piatu yang sejak kecil menjadi murid Pak-thian-ong. Dia lihai dan cerdik sekali, 

pembawaannya menyenangkan, 
lembut dan sopan maka dahulu Pak-thian-ong juga sayang sekali kepadanya dan telah mewarisi semua ilmunya. 

Mendengar ucapan gurunya yang baru itu, dia cepat berkata, "Teecu siap sebutkan saja nama dan tempat tinggal musuh-musuh suhu dan kelak teecu (murid) akan membasmi mereka membalaskan sakit hati suhu."

"Bagus, duduklah." setelah pemuda itu duduk di atas batu berhadapan dengan Koan Ek, bekas datuk selatan yang tadinya berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja lblis Langit Bumi), menceritakan dengan singkat nama musuh-musuhnya.


"Para musuhku ini juga menjadi musuh Pak-thian-ong pula, yang membuat gurumu yang pertama sampai tewas dan membuat aku celaka. orang pertama yang harus kau binasakan adalah seorang muda bernama song Thian Lee. 


Hati-hatilah kalau menghadapi orang ini karena dia lihai sekali. Akan tetapi setelah engkau mewarisi ilmu-ilmu Pak-thian-ong ditambah dengan ilmu-ilmu dariku pula, aku yakin engkau akan mampu menandinginya. 

Bunuhlah song Thian Lee itu Adapun orang ke dua dan ke tiga adalah dua orang gadis."

"Dua orang gadis?" tanya Kwan Lok seolah dia merasa heran mengapa gurunya dapat mendendam kepada dua orang gadis.


"Mereka pun bukan orang-orang sembarangan- Yang seorang bernama souw Lee Cin- ia ini murid Ang-tok Mo-li maka lihai sekali, dan gadis kedua bernama Tang cin Lan, puteri Pangeran Tang Gisu. 


Nah, tidak perlu kusebutkan yang lain-lain, karena musuh-musuh utamaku adalah tiga orang ini. Dan engkau harus berhasil membunuh mereka."

"Akan teecu catat dan ingat nama- nama itu, suhu. Dan teecu berjanji akan menaati perintah Suhu, membunuh tiga orang itu."


Giranglah hati Koan Ek. Setelah melepaskan lelah, dia lalu mengikuti muridnya pergi ke utara. Mendiang Pak-thian-ong mempunyai sebuah rumah besar di sebuah kampung orang-orang Hui dan di tempat tersembunyi itulah Koan Ek tinggal bersama ouw Kwan Lok, dengan tekun mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu. 


Bukan main girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kwan Lok memiliki bakat yang besar dalam ilmu silat, juga amat ralin berlatih.
Setelah dua tahun tinggal bersama, Kwan Lok sudah dapat menguasai semua ilmu silat yang diajarkan gurunya. 

Pada suatu pagi, Koan Ek memanggil muridnya untuk menghadap.
"Semua ilmuku telah dapat kau kuasai dengan baik, murid ku. sekarang tibalah saatnya engkau membalas budi kepadaku dengan mencari dan membunuh tiga orang musuh besarku itu."


Kwan Lok mengangguk-angguk dan berkata, "Teecu juga pikir begitu, Suhu. Sudah tiba waktunya bagi teecu untuk berkecimpung di dunia kang-ouw dan melaksanakan perintah Suhu. 


Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang musuh besar Suhu itu pun musuh besar Suhu Pak-thian-ong, hal ini menambah semangat kepada teecu. 

Akan tetapi, teecu masih asing di dunia kang-ouw, tidak mengetahui keadaan di dunia kang-ouw, siapa yang boleh diajak berkawan dan siapa yang harus dilawan-"
Koan Ek bercerita kepada muridnya. Dia mengatakan bahwa dua tahun yang lalu, dunia kang-ouw mengenal empat orang datuk besar. sebagai datuk besar selatan adalah dia sendiri dengan julukan Thian-te Mo-ong, sebagai datuk besar utara adalah mendiang Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar barat adalah Thian-tok GU Kiat Seng dan datuk besar dari timur adalah siangkoan Bhok.

"sekarang, setelah namaku sebagai datuk besar selatan telah terhapus, dan Pak-thian-ong sebagai datuk utara sudah tewas, yang tinggal hanya datuk timur siangkoan Bhok yang berjuluk Tung ong tinggal sebagai majikan di Pulau Naga, dan Thian-tok Gu Kiat seng yang tinggal di daerah sin-kiang sebagai datuk barat."


"Di samping kedua datuk timur dan barat itu, siapa lagi di antara tokoh dunia persilatan yang berilmu tinggi, suhu?"


"Memang hal ini amat penting bagimu yang baru akan terjun ke dunia kangouw. Ada tokoh yang berjuluk Liok-te Lo-mo (lblis Bumi Tua) yang tinggal di kaki Pegunungan Tai-hang-san- Ada pula yang lebih lihai, yaitu Jeng-ciang-kwi (setan tangan seribu) yang tinggal di Guha Tengkorak di lembah iblis Pegunungan Kwi-san-"

"Apakah hanya ada empat orang itu, suhu?"
"Empat orang itu yang sealiran dengan kita, bebas dan berkuasa di wilayah masing-masing, sering kali dimusuhi oleh para ahli silat yang menyebut diri mereka sendiri pendekar"


"Dan di antara para pendekar itu, apakah tidak ada yang lihai dan perlu dikenal namanya?"

"Wah, banyak sekali Akan kuperkenalkan nama- nama yang kukenal saja, pertama adalah Im-yang seng-cu Ketua Kun-lun-pai yang juga berjuluk Pek bi Lojin (Kakek Beralis Putih). 


Ke dua adalah Hui sian Hwesio wakil Ketua siauw-lim-pai. Ke tiga adalah Tan Jeng Kun yang bertapa di pegunungan Thai-san. Ke empat adalah Pek I Lo-kai yang perantau dan tidak tentu tempat tinggalnya dan jangan dilupakan orang ke lima bernama Im Keng Thaisu Ketua siauw-lim-pai di Kwi-cu. 

Lima orang ini adalah orang-orang sakti dan engkau harus berhati-hati kalau berjumpa dengan mereka. 

Ada lagi wanita yang lihai berjuluk Ang-tok Mo-li yang wataknya aneh, tidak berpihak kepada kita juga tidak berpihak kepada para pendekar."

"Teecu akan ingat nama-nama besar itu, suhu, dan tidak akan bertindak sembarangan-"


setelah menerima banyak petunjuk gurunya, Kwan Lok lalu berangkat 

meninggalkan gurunya 
diperkampungan suku Hui itu dan membawa bekal uang sekadarnya, pakaian yang dibuntal kain kuning, pisau-pisau terbangnya dan sepasang pedang yang diterimanya dari suhunya. 

Kemudian dia melakukan perjalanan ke selatan, seorang diri dengan pakaian serba putih. Dia melakukan perjalanan cepat, bagaikan seekor burung rajawali putih yang keluar dari sarangnya, lembut namun garang dan berbahaya.

Pulau itu kalau dilihat dari kejauhan, memang kelihatan seperti seekor naga. Karena bentuknya ini, maka pulau itu disebut Pulau Naga. setiap orang nelayan dan tukang perahu di seluruh pantai Lautan Timur, tentu mengenal pulau ini. 

Akan tetapi mereka tidak berani terlalu keras membicarakan tentang Pulau Naga. Apa lagi, tidak ada yang berani mendekati pulau itu.Bahkan apabila perahu mereka berlayar, mereka menghindari agar jangan terlalu dekat dengan pulau yang mereka takuti itu.

Ada apakah di Pulau Naga" Pulau itu menjadi tempat tinggal seorang datuk besar golongan sesat yang berjuluk Tung- hai-ong (Raja Lautan Timur). 


Bahkan dia menjadi majikan pulau itu, karena pulau itu sudah dianggap sebagai miliknya sendiri. Pulau itu tidak terlalu besar, akan tetapi memanjang seperti bentuk tubuh naga. 

Luasnya sekitar dua puluh hektar dan pulau ini mempunyai tanah yang subur, dengan bukit kecil di tengah-tengah. Karena pulau ini menjadi milik perorangan, maka penghuni pulau itu semua adalah anak buah datuk itu. 

Merupakan sebuah perkampungan besar dan Tang-hai-ong siangkoan Bhok menjadi majikannya atau raja kecilnya. Anak buah datuk ini kurang dari seratus orang banyaknya, dan semua tinggal dipulau itu bersama keluarganya.

Para penghuni Pulau Naga itu rata- rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Dan bagi semua bajak laut, siangkoan Bhok dianggap sebagai datuknya, dan para bajak laut selalu memberi semacam upeti kepada keluarga siangkoan, tanda taluk. siapa berani melanggar tentu akan 

mengalami malapetaka. 

selain menerima upeti dari para bajak laut yang membuat keluarga 
siangkoan menjadi kaya-raya, juga 
para anak buah Pulau Naga bekerja sebagai nelayan di laut dan petani di darat. 
Keadaan Pulau Naga menjadi 
makmur.

Keluarga macam apakah siangkoan itu" Keluarga siangkoan terdiri dari siangkoan Bhok yang berusia lima puluh tujuh tahun, seorang isteri dengan seorang putera, dan belasan orang selir. siangkoan Bhok seorang laki-laki yang tinggi besar dan gagah perkasa bermuka merah seperti Kwan Keng (tokoh dalam kisah sam Kek). 


Ilmu silatnya tinggi sekali dan senjata dayungnya amat ditakuti lawan disegani kawan. Dia merupakan seorang datuk besar dunia kang-ouw yang jarang memasuki daratan dan hidup dipulau itu seperti seorang raja. 

Untuk menjaga keamanan pulau yang dikuasainya, siangkoan Bhok mengadakan peraturan sendiri, yaitu bahwa wilayahnya yang tidak boleh dilanggar orang luar mencapai satu mil dari pantai ke laut. 

Karena siapa pun orangnya yang 
melanggar, perahunya tentu 
ditenggelamkan dan orangnya 
dibunuh, maka tidak ada lagi tukang 
perahu berani mendekatkan 
perahunya ke pulau itu.
Tidak ada yang usil dan berani menentang kekuasaan siangkoan Bhok. bukan hanya karena anak buahnya banyak, akan tetapi terutama sekali karena kelihaian datuk besar ini. siangkoan Bhok menguasai bermacam-macam ilmu silat, bahkan pernah mempelajari ilmu silat Jepang dari seorang pendekar samurai ketika dia masih muda. 

Dan yang terkenal di antara ilmu-ilmunya adalah ilmu tongkat swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang) yang dimainkan dengan dayung bajanya, ilmu silat Kui-liong-kun (silat Naga setan) yang dirangkainya sendiri, juga ilmu tangan beracun Ban-toksciang (Tangan selaksa Racun).
Datuk tinggi besar yang tampan dan gagah ini mempunyai seorang Isteri yang cantik, lembut dan di balik kelembutannya itu tersembunyi kekerasan hati yang mengerikan. siangkoan Hujin (Nyonya siangkoan) ini berusia lima puluh dua tahun, masih tampak cantik menarik dalam usianya yang banyak itu, selalu berpakaian sutera halus dan indah. 

Nyonya siangkoan juga bukan wanita lemah, ilmu pedangnya indah dan berbahaya dan ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang disebut Toat-beng-tok-ciam (Jarum Beracun Pencabut Nyawa). Biarpun hatinya keras, namun agaknya ia penyabar menghadapi suaminya yang di waktu mudanya merupakan seorang pria mata keranjang. 

Bahkan setelah berusia lima puluh tujuh tahun, siangkoan Bhok mempunyai belasan orang selir. Nyonya siangkoan agaknya tidak peduli akan hal ini, akan tetapi dengan satu syarat bahwa apabila ada selir suaminya yang mempunyai anak. maka anak itu akan dibunuhnya Karena keputusan yang mengerikan dari isterinya ini, siangkoan Bhok tidak mempunyai anak lain kecuali yang dilahirkan isterinya.

Anak itu adalah seorang anak laki-laki yang kini telah berusia dua puluh dua tahun dan bernama siangkoan Tek. siangkoan Tek bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan gagah seperti ayahnya. 


Gerak-geriknya lembut seperti ibunya, akan tetapi wataknya seperti ayahnya. Dia seorang pemuda mata keranjang. Karena tinggal diperkampungan anak buah Pulau Naga, maka yang menjadi korbannya tentu saja adalah gadis-gadis anak para anggauta Pulau Naga sendiri Tidak ada gadis puteri anak buah yang berwajah cantik terlewat. 
semua menjadi korban pengumbaran nafsu siangkoan Tek. 

Dan tidak ada gadis pulau itu yang menolak karena selain berwajah tampan gagah siangkoan Tek juga merupakan majikan muda mereka. 

Para anak buah Pulau Naga juga tidak ada yang berani menghalangi bahkan mereka bangga bahwa puteri mereka disukai majikan muda itu.
sebagai putera tunggal siangkoan Bhok dan isterinya, tentu saja sejak kecil siangkoan Tek digembleng ilmu silat oleh ayah ibunya dan dalam usia dua puluh dua tahun, kini dia telah menguasai semua ilmu yang dimiliki ayah dan ibunya. 

Akan tetapi dia memilih pedang sebagai senjatanya, seperti ibunya. Walaupun dia pandai pula memainkan swe-kut-pang, akan tetapi dia tidak suka kalau ke mana- mana harus membawa dayung atau tongkat seperti ayahnya. 
Membawa pedang dipunggungnya lebih gagah baginya.

Nafsu itu sifatnya seperti api. Kalau dibiarkan berkobar makin lama semakin menjadi. segala apa dilalapnya, tidak pernah mengenal puas, bahkan makin banyak yang dimakannya, makin lapar dan hauslah dia Dan sudah menjadi sifat nafsu, kalau dituruti lambat atau cepat dia akan menjadi bosan dengan yang sudah didapatkannya dan selalu haus akan "makanan" yang baru.

Demikian pula dengan siangkoan Tek yang dikuasai nafsu sejak dia masih amat muda, kini telah menjadi bosan dengan gadis-gadis diperkampungan pulau Naga, bosan dengan anak-anak perempuan para anggauta Pulau Naga sendiri. 

Demikianlah setelah berusia dua puluh dua tahun, siangkoan Tek mulai suka keluyuran keluar dari Pulau Naga, pergi ke daratan untuk bersenang-senang. 

Dia adalah seorang pemuda yang tampan gagah, berpakaian indah bersikap lembut memiliki banyak uang. Tentu saja amat mudah baginyak uang. 

Tentu saja amat mudah baginya untuk menjatuhkan hati para gadis di daratan. Beberapa tahun yang lalu ayahnya pernah mengajaknya merantau selama setengah tahun dan dalam perantauannya ini siangkoan Tek mendapatkan banyak pengalaman dan bertemu dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw (baca kisah Gelang Kemala).
Pada suatu hari, siangkoan Tek meninggalkan Pulau Naga, berperahu seorang diri menuju kepantai daratan. sedikitnya sebulan sekali dia pergi ke daratan untuk bersenang-senang. 

Dengan harapan akan mendapatkan kesenangan luar biasa dan dapat menemukan mangsa-mangsa baru, Siangkoan Tek mendayung perahunya sambil bersenandung. 

Pakaiannya mewah, sepatunya baru, kepalanya memakai topi yang biasa dipakai orang-orang muda golongan bangsawan atau hartawan, di sakunya banyak uang, dia mendayung perahu seenaknya.

setelah tiba dipantai daratan, dia mengikatkan perahunya dipantai, mengambil sehelai bendera kecil bertuliskan "Pulau Naga" dan menancapkan tangkai bendera di kepala perahunya. 


Tak seorang pun akan berani mencuri perahu itu kalau melihat bendera ini yang menunjukkan bahwa perahu itu milik Pulau Naga.
setelah itu, dia meninggalkan perahunya, yakin bahwa tidak ada orang akan berani mengganggu perahu itu. 

Dia tidak mempedulikan dusun-dusun yang dilewatinya, melainkan langsung menuju ke kota Yen-tai yang tidak jauh dari tempat itu.
Akan tetapi, di tengah perjalanan ini dia menyusul serombongan orang yang mengiringkan sebuah joli yang digotong dan rombongan ini diramaikan oleh bunyi alat-alat musik yang dimainkan di sepanjang perjalanan dengan gembira juga wajah orang-orang yang mengiringkan joli itu nampak cerah gembira. 

siangkoan Tek segera mengetahui bahwa rombongan itu adalah orang-orang yang mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai pria dan melihat bahwa mempelai wanita yang diantarkan ke rumah mempelai pria, mudah diduga bahwa mempelai prianya tentu seorang bangsawan atau setidaknya seorang yang kaya-raya dan terpandang.

siangkoan Tek tidak peduli akan hal itu dan hatinya sudah tertarik sekali. Kalau ada gadis dusun yang dipilih oleh seorang bangsawan atau hartawan yang tinggal di kota, maka mudah diduga bahwa gadis itu pasti seorang yang cantik sekali. 


Dia lalu berjalan cepat mendahulu rombongan itu sambil menengok ke arah joli untuk melihat mempelai wanita itu. 

Akan tetapi jolinya tertutup tirai merah dan dia tidak dapat melihat ke dalamnya. siangkoan Tek cepat mengambil dua buah batu kerikil dan tanpa ada yang mengetahuinya dia melontarkan dua buah batu itu ke arah pemikul joli. 

Dua dari empat orang pemikul joli itu mengaduh dan terguling sehingga joli itupun miring. cepat dua orang pemikul yang lain menurunkan joli agar tidak sampai terpelanting dan gegerlah semua orang, ingin mengetahui apa yang terjadi. 

suara suling dan tambur dihentikan dan semua orang merubung dua orang pemikul tandu yang tadi mengaduh dan terguling. 

Tirai joli disingkap oleh sebuah tangan yang mungil dan tampaklah seorang gadis yang cantik jelita dirias sebagai mempelai muncul dari balik tirai. 

Mempelai wanita itu pun agaknya tertarik dan hendak melihat apa yang terjadi. 

Inilah yang dikehendaki siangkoan Tek dan begitu melihat wajah mempelai wanita, jantungnya berdebar dan seluruh, tubuhnya tergetar. 

Alangkah cantiknya mempelai wanita itu.Keadaan menjadi semakin gempar ketika tiba-tiba ada sesosok bayangan orang melompat dekat joli dan menyambar tubuh mempelai wanita lalu wanita itu dipanggulnya dan dibawa lari, cepat sekali. 

semua orang hanya melihat bahwa penculik itu seorang pemuda yang berpakaian indah, akan tetapi tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena siangkoan Tek bergerak dengan cepat sekali. 

Mempelai wanita itu menjerit-jerit akan tetapi lalu bungkam ketika siangkoan Tek cepat menotoknya dan membuatnya pingsan.
Tentu saja para pengantar mempelai itu menjadi terkejut dan marah. Di siang bolong ada orang berani menculik mempelai wanita, sungguh peristiwa ini luar biasa. 

Mereka lalu melakukan pengejaran, bahkan dua orang di antara mereka yang sejak tadi menunggang kuda dan menjadi semacam "pengawal" bagi rombongan mempelai itu, lalu membalapkan kudanya melakukan pengejaran.

Akan tetapi, biarpun memanggul tubuh seorang gadis dewasa, siangkoan Tek dapat lari cepat sekali sehingga tidak dapat dikejar dua orang penunggang kuda itu. Akan tetapi siangkoan Tek juga tidak dapat meninggalkan jauh.


setelah tiba di tepi pantai, siangkoan Tek cepat melepaskan tali pengikat perahunya dan membawa gadis itu meloncat ke dalam perahunya yang sudah ditariknya ke air. 


Dua orang penunggang kuda itu masih sempat melihat bendera bertuliskan Pulau Naga di kepala perahu dan mereka mendadak berhenti dengan muka pucat. 

Pulau Naga Mereka berdua tidak berani mengejar lagi, apa pula perahu itu sudah mulai didayung ke tengah lautan oleh siangkoan Tek.
Keluarga mempelai wanita menjadi geger setelah mendengar bahwa mempelai wanita diculik orang Pulau Naga. 

Pihak mempelai pria segera diberitahu akan peristiwa itu.
Keluarga mempelai pria adalah seorang pejabat tinggi di kota Yen-tai, merupakan komandan pasukan penjaga keamanan di daerah pesisir dan kota Yen-tai. 


Komandan pasukan itu bernama su Tian Ho dan yang menikah adalah puteranya bernama su Keng Bi. Ketika menerima laporan bahwa calon mantu perempuannya diculik oleh orang Pulau Naga, Panglima su menjadi marah sekali. 

Dia memang tidak pernah bentrok dengan Pulau Naga dan tidak mau mengganggu Pulau Naga karena tidak pernah ada laporan bahwa orang-orang Pulau Naga melakukan kekacauan. 

Di samping itu, dia pun segan bermusuhan dengan penghuni Pulau Naga yang ditakuti orang itu. Asal orang-orang Pulau Naga tidak membikin kerusuhan, dia pun tidak ambil peduli.

Akan tetapi sekali ini dia yang terpukul. Mantunya dilarikan orang Pulau Naga, hal itu berarti penghinaan besar baginya. 


Kalau dia tidak bertindak, apa akan kata orang"
Dia adalah komandan pasukan keamanan!!


Dengan geram Komandan su lalu mengumpulkan seratus orang perajurit, mempergunakan belasan buah perahu dan memimpin pasukannya itu menyeberang ke Pulau Naga dengan persenjataan lengkap sebelum mereka tiba di Pulau Naga, orang-orang Pulau Naga dengan kaget melihat datangnya belasan buah perahu yang mendekati pulau itu. Mereka cepat memberi laporan kepada siangkoan Bhok. 


Majikan pulau ini menjadi marah mendengar pelaporan anak buahnya bahwa ada belasan buah perahu penuh dengan penumpangnya menghampiri pulau.

"Kenapa kalian melapor kepadaku" Bukankah sudah kuperintahkan untuk membinasakan semua orang yang berani mendekati pulau?" bentak siangkoan Bhok.


"Ampunkan kami, To-cu (Majikan atau Ketua Pulau), kami tidak berani sembarangan bertindak karena perahu-perahu itu memakai bendera pemerintah. 


Mereka adalah para perajurit kerajaan yang dipimpin oleh seorang perwira bertubuh tinggi besar. Kami menunggu perintah dari To-cu, baru berani kami bertindak."

Mendengar ini, siangkoan Bhok terkejut. Memang bukan main-main kalau harus menyerang dan membinasakan banyak perajurit kerajaan. 


selama ini dia sudah bersikap hati-hati, menjauhkan perbuatan yang akan dapat mencelakakan diri sendiri, yaitu bermusuhan dengan pemerintah. 

Ini pula yang menyebabkan dia tidak mau ikut campur ketika beberapa orang datuk mendukung pemberontakan yang dilakukan Pangeran Tua. 

Maka, ketika pemberontakan itu dihancurkan, namanya tetap bersih dan dia tidak dimusuhi pemerintah. Kenapa sekarang ada perajurit-perajurit mendatangi pulaunya" 

siangkoan Bhok segera berganti pakaian yang mewah, kemudian memimpin orang-orangnya menuju ke pantai pulau ke arah mana perahu-perahu itu berlayar menghampiri. 

Dia memerintahkan anak buahnya agar jangan sembarangan bergerak sebelum mendapat perintah darinya.
Perahu-perahu itu kini merapat ke pantai pulau dan semua penghuni pulau Naga memandang dengan hati tegang. Haruskah mereka bertempur melawan pasukan pemerintah" 

Namun siangkoan Bhok bersikap tenang saja, seperti tuan rumah yang menanti datangnya tamu kehormatan.

su-ciangkun melompat dari atas perahunya ke darat. Dia sudah pernah berjumpa dengan siangkoan Bhok dalam undangan pesta-pesta di kota Yen-tai, karena orang-orang penting di kota itu tidak melupakan majikan pulau Naga itu kalau merayakan sesuatu dan mengundang orang-orang kalangan atas. 


Maka, begitu su-ciangkun melompat ke daratan pulau itu, siangkoan Bhok yang segera mengenalnya mengangkat kedua tangan depan dada dan bertanya dengan suara lantang,
"Kunjungan su-ciangkun membawa pasukan, sungguh mengejutkan. 


Ada urusan apakah gerangan yang membuat Ciangkun datang seperti hendak melakukan pertempuran?"
Dalam suaranya, biarpun cukup sopan akan tetapi ada nada mengejek. seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada pasukan yang seratus orang banyaknya itu. 

"Agaknya ada urusan yang sangat penting yang dibawa Ciangkun"
Agak tergetar juga perasaan hati su-ciangkun melihat sikap majikan pulau itu dan melihat puluhan orang anak buah Pulau Naga berjaga-jaga dan tidak bergerak bagaikan barisan patung. 


sungguh besar wibawa majikan pulau Naga ini. Maka diapun mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata, "Tepat sekali dugaan To-cu bahwa kami datang membawa urusan yang amat penting. 

Ketahuilah bahwa hari ini putera kami hendak menjemput calon isterinya, akan tetapi di tengah perjalanan, calon mantuku itu diculik orang. 

Penculiknya seorang pemuda dan melihat dia melarikan calon mantuku dengan perahu yang ada bendera Pulau Naga, maka kami sengaja datang ke sini untuk minta agar mantu perempuan kami itu dikembalikan dan pelakunya dihukum"

Tanpa diberi keterangan dua kali, siangkoan Bhok sudah menduga bahwa pelaku penculikan wanita itu tentu puteranya siapa lagi yang berani melakukan hal itu kalau bukan puteranya" 


Dia sudah mengenal watak puteranya dan biasanya dia mendiamkan saja semua ulah siangkoan Tek yang gila wanita itu. 

Akan tetapi sekali ini lain, Yang diculik adalah calon mantu su-ciangkun. Pasti akan terjadi malapetaka besar kalau gadis itu tidak dikembalikan. 

Kalau hanya menghadapi su- ciangkun dan seratus orang perajurit saja, dia sama sekali tidak gentar. 

Akan tetapi bagaimana kalau pasukan kerajaan menyerbu pulau itu dengan ribuan orang perajurit"
"Hemm, memang ucapan ciangkun benar. Kalau ada anak buah kami yang melakukan perbuatan, pasti akan kami hukum seberat-beratnya dan calon mantu Ciangkun kami kembalikan. 

Berilah waktu kepada kami sampai besok pagi, akan kami selidiki lebih dulu dan besok akan kami serahkan kepada Ciangkun dipantai daratan"
Mendengar jawaban ini, su- ciangkun terpaksa menahan kemarahannya. Ucapan majikan Pulau Naga itu memang masuk di akal, pelakunya harus diselidiki lebih dulu. 

Maka dia lalu dengan suara lantang,
"Kami dapat menerima usul To-cu. Kami akan menarik diri dan menanti dipantai daratan sampai besok pagi. 


Kalau sampai besok pagi tidak ada berita ketentuan dari To-cu, jangan salahkan kami kalau terpaksa kami bertindak"

siangkoan Bhok juga menahan rasa dongkolnya. Dia saling memberi hormat dengan su-ciangkun yang segera memasuki perahunya kembali dan dia memerintahkan pasukannya untuk kembali ke daratan.


siangkoan Bhok melihat betapa dalam menyambut pasukan pemerintah itu, semua anggauta Pulau Naga keluar, kecuali siangkoan Tek. 


Dugaannya semakin kuat dan setelah keadaan pulih kembali, dia lalu cepat menuju ke rumah puteranya itu. sejak berusia dua puluh tahun, siangkoan Tek memang minta tinggal di rumah terpisah dari orang tuanya sehingga dia dapat leluasa melakukan apa saja yang dikehendakinya.

setelah tiba di rumah puteranya, siangkoan Bhok langsung saja menuju ke kamar puteranya yang pintunya tertutup dan dari luar kamar dia sudah mendengar isak tangis seorang wanita. 


Dia marah sekali, bukan marah karena siangkoan Tek menculik seorang wanita, melainkan karena perbuatan puteranya itu mengandung permusuhan dengan pasukan kerajaan. 

sekali tendang pintu kamar itu jebol dan siangkoan Bhok melangkah masuk.

Dia mengerutkan alisnya melihat siangkoan Tek sedang merangkul seorang gadis cantik yang menangis terisak-isak. 


Pemuda itupun terkejut dan cepat meloncat ketika melihat ayahnya memasuki kamarnya dengan menjebol daun pintu.

"Ada apakah, Ayah?" tanyanya heran karena belum pernah ayahnya marah melihat dia mempermainkan wanita. biasanya ayahnya tidak peduli bahkan pura-pura tidak tahu kalau dia membawa gadis-gadis ke dalam kamar rumahnya.


siangkoan Bhok memandang kepada puteranya dengan mata marah. Lalu dia memandang kepada gadis itu yang nampak ketakutan dan turun dari pembaringan lalu berjongkok di sudut kamar.


"Inikah gadis yang menjadi pengantin dan kau culik?" tanya siangkoan Bhok.


siangkoan Tek tersenyum, masih tidak percaya bahwa ayahnya akan marah kepadanya hanya karena soal kecil itu. Dia mengangguk dan menjawab, "Benar, Ayah. Apakah Ayah menghendaki?"


"Goblok!! Tolol!! Tidak tahukah engkau siapa ia" Ia adalah calon mantu su-ciangkun. 


Tadi dia membawa pasukan mendarat ke Pulau Naga dan hendak menggunakan kekerasan."
"Ah, takut apa, Ayah" Kita lawan saja" kata siangkoan Tek penasaran.


"Dasar bodoh tak pandai menggunakan otak" siangkoan Bhok memaki marah. "Dapatkah engkau melawan kalau kerajaan mengirim ribuan pasukan ke sini?"


Mendengar ucapan ayahnya itu, siangkoan Tek terkejut, matanya terbelalak dan dia menundukkan mukanya. 


Tak disangkanya kalau perbuatannya itu dapat berakibat luas.
"Ah, maafkan, Ayah. Aku tidak menyangka akan berakibat begitu. 


Aku tidak tahu bahwa ia calon mantu su- ciangkun-" Pemuda itu menoleh ke arah gadis yang masih mendekam di sudut. "Kalau begitu, kita kembalikan saja gadis itu kepada su- ciangkun-"
"Tolol Hal itu bahkan akan membuat su- ciangkun semakin marah. 

Mengembalikan gadis setelah semalam engkau keram di sini"jangan kata kan bahwa engkau belum mengganggunya, karena aku tidak akan percaya."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ayah?" kini siangkoan Tek menjadi kebingungan dan gugup,
siangkoan Bhok menudingkan telunjuknya ke arah pedang yang tergantung di dinding kamar itu, 


"Bunuh ia, cepat"
siangkoan Tek mengerti apa yang dikehendaki ayahnya. Cepat dia meloncat, mencabut pedangnya dan di lain saat, gadis yang malang itu telah tewas dengan dada tertusuk pedang dan tidak sampai berteriak lagi.


"sekarang cepat cari seorang yang dianggap menculik gadis itu, bunuh dia dan bawa ke sini" Kembali siangkoan Bhok memerintahkan kepada puteranya.


siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang cerdik dan licik. Tanpa diberi penjelasan tahulah dia sudah apa yang akan dilakukan ayahnya. 


Dia berkelebat lenyap dari situ, berlari keluar dan di lain saat dia sudah mendayung perahunya menjauhi Pulau Naga. 

Yang diincarnya adalah sebuah perahu nelayan yang sedang mencari ikan, di luar wilayah perairan pulau Naga. Nelayan itu seorang yang masih muda dan perawakannya seperti siangkoan Tek. 

Inilah yang dicarinya.
Nelayan itu terkejut dan heran ketika perahu siangkoan Tek mendekatinya. Akan tetapi hanya sebentar dia terheran karena di lain saat dia sudah menggeletak tewas dan dipindahkan ke perahu siangkoan Tek. 


Pemuda ini mendayung perahunya kembali ke Pulau Naga, meninggalkan perahu nelayan yang terapung-apung tanpa pemiliknya. 

setelah tiba di pantai, dia memondong mayat itu menuju ke rumahnya, di mana siangkoan Bhok masih menunggu. 
sementara itu, hari telah hampir gelap karena senja telah tiba.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar siangkoan Bhok telah naik perahunya yang cukup besar, dikawal oleh belasan orang anak buahnya yang mengemudikan perahu. 

Tujuan mereka ke pantai daratan- Setelah dekat dengan pantai dia melihat belasan perahu yang kemarin mendatanginya masih berada di tepi pantai dan tampak pasukan itu masih bergerombol di pantai.
Perahunya tiba di pantai dan siangkoan Bhok melihat Su-ciangkun sendiri yang maju menyambutnya. siangkoan Bhok meloncat ke daratan menjumpai Su-ciangkun.

"Bagaimana, To-cu" Sudahkah engkau berhasil menemukan calon mantuku dan jahanam yang menculiknya itu?"
siangkoan Bhok tersenyum. 


"Sudah kami temukan dan sudah kami hukum pelakunya." Dia memberi tanda kepada anak buahnya dan beberapa orang anak buah Pulau Naga menggotong dua mayat yang sudah dimasukkan peti mati terbuka. 

Dua peti mati itu diletakkan di depan Su-ciangkun yang memandang dengan mata terbelalak!! Dia melihat gadis calon mantunya sudah tewas, dan seorang pemuda yang berpakaian mewah mati pula di dalam peti mati itu.

"Bagaimana calon mantuku sampai tewas?" tanya per.....


DEWI ULAR JILID 02


wira itu.

 "Kami menemukan penculik ini di hutan pulau kami dan ketika kami menghampiri, dia menusuk mati gadis ini. Kami turun tangan dan dia melawan, terpaksa kami membunuhnya pula. 

Ternyata dia bukan anak buah kami, Ciangkun."
"Akan tetapi dia menggunakan sebuah perahu yang ada benderanya."

"Memang itu perahu kami. Dia mencurinya dan menggunakan nama Pulau Naga untuk melakukan kejahatannya," siangkoan Bhok menghela napas panjang. 

"Untung kami dapat menemukan penculik ini, kalau tidak tentu Ciangkun akan menuduh kami."
su-ciangkun juga menghela napas. 


"Bukan maksud kami untuk menuduh sembarangan. Akan tetapi pelakunya sekarang sudah dapat ditemukan dan dibunuh. sudahlah !!

Kematian calon mantuku lebih baik daripada hidup menanggung aib yang akan menodai nama seluruh keluarganya dan keluarga kami. 

Terima kasih, To-cu."
Komandan itu lalu memerintahkan pasukannya untuk membawa dua peti mati itu, yang wanita untuk dikubur sepatutnya, sedangkan yang pria untuk digantung di luar tembok kota agar semua orang melihatnya.

Setelah pasukan dan komandannya pergi, barulah siangkoan Bhok kembali ke perahunya dan memerintahkan anak buahnya untuk kembali ke Pulau Naga.
"Siangkoan Tek. sekali ini engkau bertindak ceroboh. Hampir saja engkau mencelakakan kita semua. 

Engkau terlalu mata keranjang dan tidak pilih bulu siapa yang akan menjadi korbanmu," siangkoan Bhok mengomeli puteranya ketika mereka berdua berada di dalam kamar.
Nyonya siangkoan memasuki kamar itu dan Ia masih sempat mendengar omelan suaminya terhadap puteranya. Ia pun sudah mendengar akan peristiwa penculikan yang terjadi dari suaminya ketika ia bertanya mengapa ada ribut-ribut.
"sudahlah, diomeli juga tidak ada gunanya. salahmu sendiri. Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa anak ini harus segera dikawinkan. 

Usianya sudah dua puluh dua tahun dan aku benar-benar menginginkan gadis murid Pek I Lo-kai itu menjadi mantuku. siangkoan Tek juga sudah menyatakan suka kepada gadis cantik yang lihai itu. Ia pantas untuk menjadi mantu kita."

"Hemm, ia bukan saja murid Pek I Lo-kai, akan tetapi juga puteri Pangeran Tang Gi su yang sekarang menjadi Koksu Negara" kata siangkoan Bhok.
"Apa salahnya" Itu malah baik, akan mengangkat derajat kita" bantah Nyonya siangkoan. "Anak kita cukup baik dan berharga untuk menjadi mantu Pangeran"

"Akan tetapi, siapa tahu ia telah bertunangan atau bahkan telah menikah," bantah pula siangkoan Bhok. "Aku juga mempunyai pandangan, seorang gadis cantik lihai, yaitu murid Ang-tok Mo-li."

Mendengar ucapan ayahnya, siangkoan Tek berkata, "Kedua-duanya aku suka, Ayah"

"Huh, mana bisa keduanya" Engkau harus pergi dari sini sekarang, agar tidak terjadi kehebohan lagi. Engkau berangkatlah dan kau selidiki tentang dua orang gadis itu, apakah mereka belum bertunangan atau menikah, baru aku yang akan pergi melakukan pinangan."

"Ayahmu benar, Nak. Pergilah cepat, selidiki dua orang gadis itu, sukur kalau mereka berdua itu belum menikah atau seorang di antara mereka masih bebas, sehingga ayahmu dapat melakukan pinangan. Akan tetapi kalau keduanya sudah menikah atau bertunangan...."

"Akan kuculik saja, lbu. Kubawa ke sini dan kami akan menikah" sambung siangkoan Tek.

"Hush, ngaco" bentak ibunya. "Aku tidak sudi mempunyai mantu seorang janda. Kalau mereka berdua sudah menikah, engkau merantaulah sampai bertemu seorang gadis yang baik dan pantas menjadi mantuku."

"Akan tetapi jangan terlalu lama. Merantaulah untuk mencari jodoh dan pengalaman di dunia kang-ouw. Paling lambat setahun engkau sudah harus pulang," kata siangkoan Bhok.
Pemuda itu menyatakan setuju dan dia lalu berkemas. 
Membawa buntalan pakaian, bekal uang secukupnya, membawa pedang dan kantung jarum yang menjadi senjata rahasia ibunya dan sudah diajarkan kepadanya. 

Kemudian berangkatlah pemuda tampan gagah yang berpakaian mewah ini, meninggalkan Pulau Naga diantar sampai ke seberang oleh seorang anak buah.
Di sepanjang pelayaran menuju pantai daratan itu, siangkoan Tek duduk diam di perahu, termenung. 

Dia teringat akan pembicaraannya dengan ayah ibunya dan kini dia terkenang akan pengalamannya bersama ayahnya dua tahun yang lalu. 

Dia telah bertemu dengan Tang cin Lan dan Bu Lee Cin, dua orang gadis yang sama cantik jelita dan menariknya, dan keduanya sudah menjatuhkan hatinya. 

Kalau diumpamakan bunga, Tang cin Lan adalah setangkai bunga seruni yang indah dan tumbuh di dalam taman- anggun dan indah. 

sedangkan Bu Lee Cin ibarat bunga mawar hutan- harum liar dan berduri. Akan tetapi baginya, kedua orang gadis itu sama menariknya dan kalau memperisteri seorang di antara mereka, hatinya akan merasa puas. 

Teringat dia peristiwa pada dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia dan ayahnya bertemu dengan dua orang gadis itu (baca Kisah Gelang Kemala). 

Mereka bertanding dan dia bersama ayahnya sudah hampir dapat menaklukkan dua orang gadis itu. Dia sudah memesan kepada ayahnya agar jangan membunuh mereka karena dia ingin menawan mereka dan memiliki keduanya. 

Akan tetapi kemudian muncul pemuda bernama song Thian Lee itu yang membantu mereka dan menggagalkan usaha dia dan ayahnya untuk menawan dua orang gadis itu.

"Awas kau song Thian Lee Kalau bertemu lagi denganmu, aku tidak akan mengampunimu" desisnya di antara giginya dengan dendam. Kini dia telah memperdalam ilmu-ilmunya, pasti dia tidak akan kalah oleh pemuda itu.

Setelah tiba dipantai daratan, siangkoan Tek melanjutkan perjalanan seorang diri menuju ke barat. Melihat dandanan dan sikapnya, orang tentu akan mengira dia seorang sastrawan muda yang kaya-raya atau berdarah bangsawan, akan tetapi melihat pedang yang menempel dipunggung bersama buntalan kain biru, orang akan menjadi ragu karena hanya orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan membawa buntalan pakaian dan pedang.


Pada suatu pagi yang cerah, seorang kakek berusia lima puluh dua tahun, bertubuh pendek gendut, berpakaian jubah pertapa, rambutnya digelung ke atas dan dipotong pendek, memasuki kota raja dari pintu gerbang barat. 

Kakek ini tampak lucu. Bentuk tubuhnya serba bulat. Perutnya, kepalanya, kaki dan tangannya yang pendek gemuk itu membuat dia tampak seperti kanak-kanak. tangan kirinya memegang sebuah kebutan berbulu putih.

Akan tetapi, orang yang mengenalnya akan terkejut sekali melihat kakek ini di kota raja. Dia bukan orang sembarangan, bukan tokoh tak terkenal di dunia kang-ouw karena kakek gendut pendek ini adalah Datuk Besar dari barat. 


Namanya Gu Kiat seng dan julukannya adalah Thian-tok (Racun Langit). Ilmu kepandaiannya amat tinggi. Kesaktiannya setingkat dengan kesaktian para datuk lain seperti Thian-te Mo-ong dari selatan, mendiang Pak-thian-ong dari utara atau siangkoan Bhok dari timur. 

Orang akan terheran-heran melihat datuk ini memasuki kota raja. selama ini Thian-tok tidak pernah berhubungan dengan kerajaan. Biarpun dia tidak secara langsung membantu pemberontakan para pejuang dan patriot, namun dia pun tidak pernah mau bekerja sama dengan pemerintah Ceng. 

Di dalam hatinya, dia bahkan membenci bangsa Mancu yang menjajah bangsa dan tanah airnya. Karena itu, dia memandang rendah para pendekar yang suka bekerja pada pemerintah Mancu.

Setelah berada di tengah kota raja, Thian-tok berhenti di depan seorang laki-laki tua yang berjualan buah-buahan lalu bertanya, "sobat, maukah engkau menunjukkan kepadaku, di mana rumah sang Panglima Besar?"
Penjual buah itu memandang Thian-tok dengan heran dan penuh perhatian. orang yang tidak tahu di mana adanya rumah Panglima Besar tentu seorang asing yang sama sekali tidak mengenal kota raja. 

Siapa yang tidak tahu rumah song-thai- ciangkun, Panglima Besar souw Thian Lee yang terkenal itu" Akan tetapi melihat sepasang mata kakek itu mencorong memandangnya, penuh wibawa walaupun seluruh muka Thian-tok terenyum lucu, penjual buah itu segera menjawab,
"Rumah song-thai- ciangkun" itu di ujung jalan ini, rumah yang besar bercat hijau dan depannya terjaga oleh perajurit,"jawabnya.


Thian-tok mengucapkan terima kasih lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh penjual buah, dan tak lama kemudian tibalah dia di depan gedung besar bercat hijau dan di depan gedung itu, dekat pintu halaman, terdapat sebuah gardu di mana ada tiga orang perajurit sedang berjaga.

Melihat seorang kakek gendut memakai jubah pendeta berdiri di pintu halaman dan memandang ke arah gedung, seorang di antara tiga perajurit itu lalu menegur Thian-tok. 


"Hei, orang tua, Mau apa engkau berhenti di situ dan memandang ke arah gedung?"
Karena teguran itu mengandung kecurigaan, Thian-tok yang wajahnya selalu berseri itu tersenyum dan wajahnya yang bulat itu seperti lenyap terselimut senyum lebar itu.


"Maafkan aku. Benarkah ini rumah Panglima Besar song Thian Lee?"
"Benar, dan engkau mau apa?"
"Aku bermaksud untuk menghadap song-tai- ciangkun, ada urusan penting yang hendak kubicarakan dengannya."


Pemimpin regu penjaga itu mengerutkan alisnya. "Urusan penting apakah" Engkau harus memberitahu kami dulu, baru akan kami laporkan ke dalam."

Melihat perajurit itu agaknya mencurigainya, Thian-tok tertawa, "Katakan saja bahwa Thian-tok Gu Kiat Seng mohon menghadap.

Song- ciangkun tentu mengenalku dan suka menerimaku."

Perajurit itu mengamati wajah dan tubuh kakek itu dan dia pun tidak lagi meragu. Dia tahu bahwa Song-ciangkun mengenal banyak tokoh kang-ouw dan sudah sering panglima itu menerima tamu yang aneh-aneh dari dunia persilatan. 


Bagaimanapun juga, sebaiknya dia melapor dulu ke dalam.
"Tunggulah dalam gardu sebentar sementara kami akan melaporkan ke dalam," kata perajurit itu. Thian-tok mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas bangku dalam gardu bersama dua orang perajurit lainnya. 


Perajurit yang menanyainya tadi lalu melangkah tegap menuju gedung besar itu.

Seperti yang telah diduganya, ketika dia melapor bahwa seorang kakek bernama Thian-tok Gu Kiat mohon menghadap. Panglima Song Thian Lee mengangguk-angguk dan memerintahkan kepada perajuritnya penjaga itu agar mengantarkan tamu itu ke ruangan tamu yang berada di sebelah depan kiri dari gedung itu.


Pembaca kisah Gelang Kemala tentu telah mengenal baik Song Thian Lee yang memegang peran utama dalam kisah itu dan yang karena jasa-jasanya membongkar komplotan pemberontak yang dipimpin Pangeran Tua Tang Gi Lok, telah diangkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Kian Liong. 

Setelah dia diangkat menjadi Panglima Besar dua tahun yang lalu, Song Thian Lee yang kini berusia dua puluh dua tahun itu menikah dengan kekasihnya, Tang Cin Lan puteri dari Pangeran Tang Gi su yang kini diangkat oleh Kaisar Kian Liong menjadi Koksu (Penasihat atau Guru Negara). 

Kini Panglima Besar song Thian Lee tinggal di gedung besar pemberian Kaisar itu bersama isterinya. Mereka telah dikarunia seorang anak laki-laki yang kini telah berusia setahun.
Nama besar song Thian Lee mencuat di dunia kang-ouw setelah dia berhasil membongkar komplotan pemberontak yang dibantu tokoh-tokoh kang-ouw bahkan datuk-datuk besar. 

Panglima yang masih muda itu memang memiliki ilmu silat yang amat hebat. Dia pernah menjadi murid Liok-te Lo-mo, pernah pula digembleng oleh tokoh sesat Jeng-ciang-kwi, kemudian menjadi murid seorang pertapa di Thai-san yang bernama Tan Jeng Kun. 

Di tempat ini dia secara kebetulan menemukan kitab pelajaran ilmu menghimpun tenaga sinkang yang disebut Thian-te sin-kang dan sebatang pedang Jit-goat sin-kiam dengan ilmu pedangnya Jit- goat Kiam-sut. 

Bahkan dia makan banyak jamur ular belang yang membuat tubuhnya kuat dan kebal terhadap segala macam racun. 

Di dunia kang-ouw, dia dikenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa.

Isterinya, Tang Cin Lan, juga memiliki kepandaian silat tinggi dan lihai sekali. Tang Cin Lan ini pernah menjadi murid seorang tokoh persilatan perantau yang kenal oleh semua kai-pang (perkumpulan pengemis) bahkan dianggap datuknya, terkenal dengan julukan Pek I Lo-kai (Pengemis Tua Berbaju Putih). 


Dengan ilmu tongkatnya yang disebut Hok-mo-tang itu, dia malang-melintang di dunia kang-ouw. sebagai murid tunggalnya Tang Cin Lan juga mewarisi ilmu silat tongkat Hok-mo-tang. 

Bahkan karena pernah digigit ular merah dan ular putih yang merupakan ular yang racunnya berlawanan, ia menjadi kebal terhadap racun, juga mampu menghimpun tenaga dalam Ang-coa-kang dan Pek-coa-kang.

Demikianiah keadaan suami isteri pendekar yang kini memperoleh kedudukan tinggi itu. Mereka hidup berbahagia dengan putera mereka yang baru berusia setahun dan bernama song Hong san. Ketika mendengar laporan bahwa seorang kakek berjuluk Thian-tok dan bernama Gu Kiat Seng datang bertemu dengannya, song Thian Lee menjadi terkejut juga . 

Dia sudah pernah mendengar akan nama besar Thian-tok sebagai datuk persilatan daerah barat. Kini datuk itu datang berkunjung, ada keperluan apakah" Dia lalu meninggalkan isterinya yang sedang bermain-main dengan Hong san, dan bergegas menuju ke ruangan tamu lalu duduk menunggu di situ. 

Karena dia sedang berada di rumah, tidak bertugas, maka dia pun mengenakan pakaian biasa saja, bukan pakaian seorang Panglima.
Dengan langkah santai Thian-tok yang diantar perajurit itu memasuki ruangan tamu yang luas itu. Melihat sang Panglima sudah duduk menanti, perajurit itu memberi hormat lalu mengundurkan diri, keluar dari ruangan tamu.

Thian-tok Gu Kiat seng terbelalak memandang ke arah pemuda tinggi tegap yang duduk di atas kursi itu. Dia menjadi ragu-ragu. 


Inikah Panglima Besar song Thian Lee itu" Pakaiannya biasa dan sederhana, bukan seperti seorang panglima besar yang mewah.

Thian Lee bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat kepada kakek pendek gendut itu. Dari sinar mata kakek itu saja dia sudah dapat menduga bahwa kakek itu seorang yang lihai dan kuat sinkangnya.


"Selamat datang, Locianpwe. Ada keperluan penting apakah yang mendorong Locianpwe datang berkunjung..."


Thian-tok membalas penghormatan itu dan bertanya, "Apakah aku berhadapan dengan panglima song Thian Lee?"


"Benar sekali, Locianpwe. silakan duduk!" dengan sikap hormat Thian Lee mempersilakan Thian-tok duduk. Kakek itu mengangguk-angguk lalu duduk di atas kursi, berhadapan dengan tuan rumah terhalang meja.

"Aku telah mendengar banyak tentang dirimu, song-ciangkun, selama dua tahun ini. Dan sekarang, setelah berhadapan aku merasa lebih kagum lagi akan nama besarmu. 

Akan tetapi akupun semakin heran dan keherananku itulah yang mendorongku datang berkunjung."
Thian Lee tersenyum memandang wajah kakek itu. 


Wajah yang lucu, akan tetapi sinar mata itu membayangkan kekuatan yang dahsyat.

"Apa yang Locianpwe herankan?"
"Ciangkun, aku sudah mendengar banyak tentang dirimu. Engkau seorang pendekar berkepandaian tinggi, dan aku bahkan aku mendengar bahwa orang tuamu tewas dalam pengeroyokan pasukan kerajaan. sudah sepantasnya kalau engkau menjadi seorang pendekar patriot, membela bangsa, membebaskan rakyat kita dari kesengsaraan, menumbangkan pemerintah penjajah"


Thian Lee tersenyum. "Locianpwe, kalau aku boleh bertanya, Locianpwe yang terkenal sebagai datuk barat ini telah berbuat apa saja untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan?"


Wajah Thian-tok menjadi kemerahan. "Aku memang tidak berbuat banyak. akan tetapi setidaknya aku tidak menjadi seorang pengkhianat yang membiarkan dirinya menjadi kaki tangan penjajah"


"Locianpwe, banyak jalan untuk menolong rakyat, di antaranya bekerja untuk pemerintah. Bahkan bersikap menentang dan berlagak patriot bukan menguntungkan, bahkan merugikan rakyat"


"Song-ciangkun, tidak malukah engkau kepada mendiang ayahmu kalau berkata seperti itu" Ayahmu menentang penjajah sampai meninggal dunia dan engkau mengatakan bahwa perbuatan itu berlagak patriot?"


"Bukan begitu, Locianpwe. Aku bukan maksudkan Ayah, karena urusan Ayah bukan urusan melawan penjajah melainkan urusan pribadi. 


Membantu rakyat banyak jalannya, Locianpwe. Kalau sekarang kita melakukan usaha mengusir penjajah, hal itu belum waktunya. Mana kekuatan kita" Pemberontakan kecil-kecil itu hanya meresahkan dan mendatangkan malapetaka bagi rakyat. 

Untuk usaha perjuangan mengambil alih kekuasaan penjajah belum waktunya dan sementara ini, kita dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat."

"Dengan membiarkan diri menjadi kaki tangan penjajah Mancu?" tanya Thian-tok dengan suara mengejek.

"Harap Locianpwe bersabar dan mendengarkan dulu penjelasanku. Yang dinamakan kaki tangan penjajah adalah mereka yang bekerja untuk pemerintah penjajah dengan menekan dan menyengsarakan rakyat. 

Akan tetapi, kita bisa bekerja untuk pemerintah demi kepentingan rakyat jelata. Dengan kedudukan kita, kita dapat mencegah terjadinya pemerasan dan penindasan, dengan demikian kita sudah melakukan sesuatu untuk kepentingan rakyat. 

Kalau tidak ingin menjadi pekerja pemerintah, kita dapat menjadi pendekar yang membela rakyat, membasmi para penjahat dan juga para pejabat yang memeras rakyat. 

Kalau hanya pemberontakan kecil-kecilan saja, apa artinya" Apakah Locianpwe setuju dengan cara yang dipergunakan Pek-lian-pai, berkedok pejuang untuk menutupi kejahatan mereka" 

Aku bekerja menjadi panglima bukan demi kesenangan pribadi, bukan untuk mengejar kemuliaan dan harta, melainkan untuk membantu Kaisar dalam usaha-usaha yang baik dan menguntungkan rakyat jelata juga membasmi para gerombolan penjahat yang memakai kedok perjuangan. 

Kalau Kaisar tidak bijaksana, akupun tidak mungkin mau menjadi panglima. Kurasa hal ini Locianpwe yang berpengalaman sudah mengetahuinya sendiri dengan baik, Apakah para tokoh kang-ouw yang membantu pemberontakan yang diadakan Pangeran Tua dua tahun yang lalu itu benar"

 Pemimpin pemberontakan seperti Pangeran Taa itu hanya karena ingin merampas kedudukan. Andaikata dia yang berhasil menjadi kaisar, tentu keadaan rakyat kita semakin celaka"
Thian-tok mengerutkan alisnya menunduk dan meraba-raba dagunya yang tidak berambut. Dia menghela napas panjang, lalu memandang wajah Thian Lee dan berkata lirih, 

"Kalau begitu, engkau hendak mengatakan bahwa perjuangan meruntuhkan kekuasaan penjajah adalah keliru" Kita harus tunduk dan membiarkan bangsa dan negara kita terjajah terus?"

"Sama sekali tidak. Locianpwe. sudah kukatakan tadi bahwa kita harus menanti waktu dan kesempatan yang baik. Kita harus memiliki pasukan yang kuat dan pemimpin perjuangan yang benar-benar bekerja demi kebebasan bangsa. 


Bukan sekedar membuat kekacauan dan kerusuhan kecil-kecilan yang akhirnya akan dibasmi juga oleh pemerintah. Dan untuk itu membutuhkan waktu, Locianpwe. Kalau kita merasa lemah, kita harus cerdik. 

Dan sementara itu, kita dapat berbuat banyak untuk membantu rakyat jelata seperti yang kukatakan tadi. Aku menghargai sikap keras terhadap penjajah, akan tetapi aku tidak menganggapnya bijaksana. Bahkan tidak ada manfaatnya bagi rakyat. 

Coba saja Locianpwe ingat, pengorbanan nyawa orang tuaku yang tewas karena menentang pemerintah, membuahkan apa bagi rakyat" Kalau waktunya tiba dan sudah masak untuk mengadakan perjuangan menentang penjajah, aku akan berdiri di barisan terdepan" 

Thian Lee berkata penuh semangat karena dia terbakar juga karena dianggap sebagai seorang pengkhianat.


"Hemm, kalau Kaisar Kian Liong mengetahui isi hatimu, apakah mungkin engkau menjadi panglima besar?"


"Locianpwe keliru.. Beliau tahu benar akan isi hatiku. Beliau adalah Kaisar. Mancu, akan tetapi beliau juga mengetahui bahwa tidak ada rakyat di dunia ini yang suka negerinya dijajah. 


Beruntunglah kita mempunyai seorang kaisar penjajah seperti beliau. Beliau selalu mementingkan kebutuhan rakyat dan di lubuk hatinya, beliau mencintai rakyat jelata. 

Karena cintanya itulah maka beliau mengangkat aku menjadi panglima besar, maklum bahwa dengan kedudukanku aku pasti akan membela rakyat dan membasmi mereka yang menindas rakyat. 

Apakah dengan kedudukan ini bukan berarti aku lebih banyak berbakti kepada rakyat daripada para tokoh kang-ouw yang hanya dapat mencaci akan tetapi tidak melakukan sesuatu?"

Thian-tok mengangguk-angguk dan dia sekarang tersenyum lebar.
"Bagus sekarang baru aku mengerti benar akan isi hati song-ciangkun. 


Terima kasih atas semua keterangan itu yang melegakan hatiku. Aku dapat menemukan kebenaran dalam semua keteranganmu tadi. selamat tinggal, Ciangkun, aku mohon diri dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi."
Song Thian Lee tersenyum dan bangkit berdiri "Apakah Locianpwe tidak ingin minum-minum dulu denganku?"

"Tidak usah, terima kasih. selamat tinggal."


"selamat jalan, Locianpwe Thian-tok"
Thian-tok Gu Kiat Seng melangkah keluar dengan cepat dan ketika dia melewati gardu penjagaan, tiga orang perajurit penjaga memberi hormat karena mereka tahu bahwa kakek pendek gendut itu adalah kenalan panglima mereka. 


Thian-tok membalas dengan lambaian tangan, lalu keluar dari pekarangan itu.

Setelah keluar dari kota raja, dengan mengerahkan ilmu berlari cepat Thian-tok menuju ke barat. Biarpun tubuhnya gendut dan pendek, kedua kakinya juga pendek. akan tetapi Thian-tok dapat berlari cepat sekali karena dia menggunakan ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakannya ringan dan cepat seperti terbang.


D
i luar kota Pao-teng sebelah timur merupakan daerah yang sunyi karena penuh dengan hutan belukar. Daerah ini disukai para pemburu karena mengandung banyak binatang hutan seperti babi hutan, kijang, kelinci dan sebagainya.

Pada suatu pagi yang cerah, terdengar derap kaki kuda datang dari barat memasuki daerah itu. Tak lama kemudian tampaklah tiga orang penunggang kuda. 

orang akan memandang, kagum kalau melihat tiga orang penunggang kuda itu. seorang di antara mereka adalah seorang pemuda tampan gagah berpakaian mewah. orang ke dua seorang gadis cantik manis dengan pakaian mewah pula. 

Adapun orang ke tiga juga seorang gadis cantik, namun pakaiannya tidaklah semewah gadis pertama.
Siapakah tiga orang muda yang mengagumkan ini" Mereka adalah tokoh-tokoh Kim-liong-pai, yaitu perkumpulan yang mengelola perusahaan pengawal barang kiriman. barang kiriman itu dikawal oleh para piauwsu (pengawal barang) dari Kim-liong-pai dan kalau di atas kereta barang itu terdapat bendera Naga Emas, para penjahat tidak berani mengganggunya. 

Bendera Kim- liong (Naga Emas) itu bergambar seekor naga emas dan dibawahnya ditulisi tiga huruf "Kim Liong Pai". 

Gadis yang cantik berpakaian mewah itu bernama Souw Hwe Li, berusia dua puluh tahun. la adalah puteri tunggal dari Souw Can pendiri Kim-liong-pai, seorang tokoh Kun-lun-pai berpusat di kota Pao-ting, di mana keluarga Souw tinggal.

Gadis ke dua bernama Liu Ceng atau biasa dipanggil Ceng Ceng, berusia sebaya dengan Souw Hwe Li, dua puluh tahun dan ia adalah keponakan dari Souw Can, saudara misan Hwe Li. Gadis yang cantik sederhana ini pun mendapat pelajaran ilmu silat dari pamannya, dan biarpun ilmu silatnya tidak setangguh Hwe Li, namun Ceng Ceng mempunyai cukup kepandaian untuk menjaga dan membela diri
Pemuda itu bernama Lai song Ek. 


Dia berusia dua puluh dua tahun dan putera Jaksa Lai di kota Pao-ting. sejak kecil dia belajar ilmu silat dari Souw Can dan merupakan murid yang paling dekat karena dia putera jaksa dan pergaulannya dengan kedua gadis itu akrab. 

Bahkan tampak jelas bahwa Lai Siong Ek ini telah jatuh cinta kepada sumoinya Hwe Li. Lai Siong Ek yang menyadari bahwa dia putera seorang yang berpangkat tinggi dan berkuasa di Pao-ting, mempunyai watak yang tinggi hati. 

Apalagi setelah menguasai ilmu silat yang dipelajarinya dari Souw Can, dia semakin sombong. sifat ini agaknya menular kepada Souw Hwe Li. 

Gadis ini juga tinggi hati, angkuh dan merasa dirinya paling cantik dan paling lihai. 

Berbeda dengan watak kedua orang ini, Ceng Ceng yang menyadari bahwa ia seorang gadis yatim piatu yang hanya mondok saja di rumah pamannya, berwatak sederhana, pendiam dan rendah hati. 

Bahkan kedua orang muda itu, Siong Ek dan Hwe Li, kadang bersikap angkuh terhadap Ceng Ceng dan memperlakukannya seperti seorang pembantu saja. 

Akan tetapi Ceng Ceng menerima perlakuan itu dengan wajar dan ia memang menyadari sepenuhnya bahwa ia hanya seorang yang numpang hidup dan kedudukannya sama sekali tidak dapat disejajarkan dengan Hwe Li. 

Ia mencoba menutupi rasa rendah diri itu dengan mempelajari ilmu silat dari pamannya, Souw Can, dengan tekun. Akan tetapi karena dalam mengajarkan ilmu silat pun Souw Can pilih kasih, maka tingkat kepandaian silat Ceng Ceng hanya sejajar dengan tingkat Lai Siong Ek saja, tidak dapat menyamai tingkat Hwe Li yang paling lihai di antara mereka bertiga.

 Yang membuat hati Ceng Ceng selalu merasa tidak enak adalah kalau Siong Ek bicara dan memandang kepadanya. 

Dalam pandang matanya terpancar nafsu yang seolah menelanjanginya, padahal ia tahu benar bahwa Siong Ek naksir Hwe Li. 
Hal ini membuat hatinya tidak tenang dan kadang gelisah.

Ketika mereka bertiga pada hari itu berkuda dan hendak berburu di hutan sebelah timur, Ceng Ceng selalu menjaga agar kudanya berlari paling belakang dan membiarkan Hwe Li menunggang kudanya berdampingan dengan Siong Ek.

Setelah tiba agak jauh dari kota Paoting, tiba-tiba Hwe Li menahan kudanya. Melihat ini, Siong Ek dan Ceng Ceng juga menghentikan kuda mereka. 


Hwe Li melambaikan tangan ke arah belakang dan Ceng Ceng menjalankan kudanya menghampiri saudara misannya itu.

"Ceng Ceng, sebaiknya engkau pulang saja untuk memberitahukan kepada Ayah bahwa aku dan Lai-suheng pergi berburu, sore nanti baru pulang. 


Kita tadi belum memberitahu Ayah, khawatir Ayah akan marah. Engkau tidak perlu ikut dengan kami, Ceng Ceng."

"Ah, mengapa, sumoi" Biarkan Ceng Ceng ikut membawakan nanti kalau kita mendapatkan binatang buruan."

"Tidak usah, engkau sendiri dapat membawakan, suheng. Ia harus pulang, aku tidak ingin mendapat marah dari Ayah karena tidak memberitahukan lebih dulu."
"Baiklah, Hwe Li. Aku akan pulang saja dan memberitahukan Paman," kata Ceng Ceng melihat perbantahan itu. 

Ia tidak ingin dibela oleh Siong Ek. setelah berkata demikian, ia memutar kudanya dan melarikan kudanya kembali ke barat, menuju kota Pao-ting. Hwe Li juga melanjutkan perjalanan diikuti oleh Siong Ek.
Ceng Ceng tidak merasa kecewa disuruh pulang. Tadi pun ia diajak oleh Hwe Li maka ia ikut. sedapat mungkin ia tidak ingin melakukan perjalanan bersama Lai Siong Ek yang pandang matanya jalang terhadap dirinya itu. 

selagi ia menunggang kudanya dengan santai, tiba-tiba nampak debu mengebul dari depan dan serombongan penunggang kuda mendatangi dari depan.

"Tar-tar-tar Minggir kamu...." Penunggang paling depan meledakkan cambuknya dan membentak kepada Ceng Ceng dengan kasar. Penunggang kuda ini bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh cambang bauk menyeramkan. Ceng Ceng merasa mendongkol juga , akan tetapi ia mengalah dan cepat minggirkan kudanya. 


Rombongan yang terdiri dari tujuh orang itu lewat dan meninggalkan debu mengebul tinggi.

"Orang-orang kasar" Ceng Ceng memaki dalam hatinya dan tiba-tiba ia mengerutkan sepasang alisnya. Kalau Hwe Li dan Siong Ek yang dibentak seperti itu, kedua orang itu pasti akan menjadi marah sekali. 


Dan rombongan penunggang kuda itu membalapkan kuda mereka, tentu akan dapat mengejar Hwe Li dan Siong Ek. 

Kalau kedua orang itu menjadi marah tentu akan terjadi keributan dan perkelahian- Ah, hatinya merasa tidak nyaman dan ia pun cepat memutar kudanya dan melarikan kudanya mengejar rombongan yang menuju ke timur itu.
Hwe Li dan Siong Ek menjalankan kuda mereka dengan santai. Mereka memandang ke kanan kiri dalam hutan itu, melihat-lihat kalau ada binatang buruan. Kuda mereka berjalan berdampingan di atas jalan yang sunyi itu.

Tiba-tiba terdengar derap kaki dari arah belakang mereka dan segera terdengar bentakan orang didahului dengan bunyi cambuk meledak-ledak.

"Tar-tar-tar Minggir kalian semua" Bentakan itu kasar dan nyaring sekali. Hwe Li dan Siong Ek menengok dan melihat rombongan itu, mereka menjadi marah.

"Gila, apa mereka kira jalan ini milik pribadi mereka?" kata Hwe Li dan gadis ini sengaja melintangkan kudanya menghadang. 


Hal yang sama dilakukan pula oleh Siong Ek dan keduanya sudah siap untuk menghadapi apa saja sebagai akibat sikap mereka yang menentang.
"Heii, minggir kalian Apa kalian sudah bosan hidup?" bentak laki-laki tinggi besar yang bercambang bauk itu sambil memutar-mutar cambuk mereka di atas kepalanya.
Namun Hwe Li dan Siong Ek tentu saja tidak mau minggir, bahkan Hwe Li menudingkan cambuknya kepada tujuh orang yang terpaksa menahan kuda mereka agar jangan menabrak dua ekor kuda yang dipalangkan itu. 

Karena tadinya berlari cepat lalu mendadak dihentikan, tentu saja kuda itu mengangkat kedua kaki depan mereka ke atas dan meringkik-ringkik.

"Hemm, bukan kami yang harus minggir, melainkan kalian" hardik Hwe Li marah. "Dan bukan kami yang bosan hidup, melainkan kalian yang mencari mampus sejak tadi kami sudah berkuda dijalan ini, kalau kalian hendak lewat, harus minta jalan dengan sopan, bukan berteriak-teriak seperti orang gila"


Tujuh orang penunggang kuda itu marah sekali. Ada seorang gadis muda berani bicara seperti itu kepada mereka, sungguh luar biasa sekali. 


Penunggang kuda yang brewokan itu juga marah bukan main. Dia meloncat dari atas kudanya, diikuti oleh enam kawannya. 

Tujuh orang itu sudah turun dari atas kuda mereka dan si Tinggi Besar bereambang bauk itu lalu membentak dengan nyaring,
"Gadis kurang ajar. Berani engkau besikap seperti itu kepada kami" Hayo lekas kau berlutut minta ampun, baru kami akan mengampunimu" si Tinggi Brewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun itu bertolak pinggang dan berdiri dengan kedua kaki terpentang. 


Teman temannya juga sudah bersiap-siap untuk berkelahi.
"Twako, ia cantik sekali. Biarlah kita ampuni ia kalau ia mau ikut dengan kita" kata kawannya yang termuda dan ucapan ini disambut suara tawa mereka.

Hwe Li menjadi merah mukanya dan ia pun meloncat turun dari atas punggung kudanya sambil mencabut pedang.


"Kalian orang-orang kasar dan kurang ajar, cepat kalian berlutut minta ampun kepadaku atau pedangku akan membuat kalian menjadi setan-setan tanpa kepala".


Melihat sumoinya sudah marah dan mencabut pedang, Siong Ek juga mencabut pedangnya dan dia pun membentak. "Gerombolan berandal, kalian mencari penyakit. 


Hayo cepat berlutut minta ampun seperti yang diperintahkan sumoiku"
Melihat muda-mudi itu sudah mencabut pedang, tujuh orang itu pun menjadi semakin marah. 


Mereka semua menggerakkan tangan kanan kepunggung dan di lain saat mereka sudah mencabut golok mereka yang tadi diselipkan di belakang punggung. 

Golok mereka berkilauan saking tajamnya dan sikap mereka semakin bengis.

Si Tinggi brewokan berteriak sambil memutar goloknya di atas kepala. "Tangkap yang perempuan dan bunuh yang laki-laki. Rampas kuda mereka"


Tujuh orang itu lalu bergerak menyerang muda-mudi yang sudah siap sedia itu. Terdengar bunyi nyaring ketika golok bertemu pedang. 


Hwe Li dan Siong Ek menggerakkan pedang mereka dan memainkan ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut yang diajarkan oleh Souw Can. ilmu pedang Kun-lun-pai memang indah dan hebat dan gerakan dua orang muda itu menunjukkan bahwa mereka telah berlatih dengan baik. 

Apalagi Souw Hwe Li. Dara ini mengamuk dengan pedangnya dan memaksa para pengeroyoknya untuk berlompatan ke belakang. sayang mereka berdua itu kurang pengalaman dan terlalu berhati-hati sehingga mereka tidak terlalu mendesak tujuh orang pengeroyoknya. 

Andaikata Hwe Li dan Siong Ek terus mendesak dan mengeluarkan jurus-jurus terampuhnya, tentu tujuh orang itu dapat dikalahkan dan tidak memakan waktu lama. Hwe Li dan Siong Ek lebih banyak menanti serangan lawan untuk dielakkan atau ditangkis, baru balas menyerang. 

Kalau lawan-lawannya melompat mundur, mereka tidak mendesak sehingga memberi kesempatan kepada para peneroyoknya untuk maju lagi.

Selagi pertandingan berlangsung seru, tiba-tiba terdengar teriakan, "Hwe Li, aku datang membantumu"
Yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Ceng. 


Melihat Hwe Li dikeroyok, ia cepat mencabut pedangnya dan terjun dalam pertempuran membantu Hwe Li. Lima orang mengepung kedua orang gadis ini dan yang dua orang lagi mengeroyok Siong Ek.

Tadi pun sebelum Ceng Ceng datang membantu, tujuh orang berandalan itu sudah kesulitan menghadapi pedang Hwe Li dan Siong Ek. 


Kini datang lagi bantuan Ceng Ceng yang ilmu pedangnya setingkat dengan kepandaian Siong Ek, maka tentu saja tujuh orang berandalan itu menjadi semakin kerepotan. 

Dan Ceng Ceng ternyata tidak menanti seperti mereka, melainkan terus menyerang untuk menolong Hwe Li. Tak lama kemudian, Ceng Ceng berhasil melukai seorang pengeroyok dengan pedangnya. 

Pundak kanan pengeroyok ini terluka dan mengucurkan banyak darah sehingga orang itu terpaksa mundur dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokannya. 

Pedang Hwe Li menyambar ke arah pemimpin gerombolan itu. si Tinggi Brewokan berteriak dan goloknya terlepas dari pegangan karena lengan kanannya terluka parah di dekat siku. 

Dia pun terpaksa mundur tidak dapat melanjutkan pengeroyokan.
Melihat ini Siong Ek mempercepat gerakan pedangnya dan seorang pengeroyok roboh dengan paha terluka parah. 


Melihat keadaan para temannya, si Muka Brewok lalu memberi aba-aba, "Gawat, kita lari"
Dia sendiri sudah cepat meloncat ke atas punggung kudanya, diikuti oleh dua orang teman yang terluka. 


Empat orang lainnya segera berlompatan ke belakang dan mengikuti jejak pemimpinnya, dan tak lama kemudian tujuh orang itu sudah membalapkan kuda mereka melarikan diri.

"Kita kejar mereka" Siong Ek berseru,
"Musuh yang lari tidak perlu dikejar, dapat berbahaya bagi kita" kata Ceng Ceng memperingatkan, seperti yang pernah dinasihatkan pamannya.

"Tidak usah mengejar. Tikus-tikus seperti itu tidak ada harganya untuk dikejar. Baru mereka tahu rasa, berani mengganggu kita" kata Hwe Li dengan sikap bangga, lalu menoleh kepada Ceng Ceng. "Ceng Ceng, aku sudah menyuruh engkau pulang, kenapa engkau masih berada di sini?"
"Ya, tidak perlu bantuanmu pun kami berdua akan membasmi mereka" kata Siong Ek. akan tetapi matanya memandang ke arah Ceng Ceng dengan penuh gairah, dan menyimpan kembali pedangnya dengan lagak gagah.

"Aku berpapasan dengan mereka di jalan dan melihat sikap mereka yang kasar, aku khawatir mereka akan mengganggu kalian- maka aku lalu kembali. 


Benar saja mereka mengeroyok kalian maka aku cepat membantu," kata Ceng Ceng.

"Hemm, melawan tikus-tikus macam itu, aku atau suheng sendiri pun akan mampu mengalahkan mereka. Kami tidak memerlukan bantuan" kata Hwe Li dengan nada menyalahkan.


"Bagus, pendekar-pendekar Kun-lun-pai sungguh mengagumkan" tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang pemuda. tiga orang murid Souw Can itu segera memutar tubuh menghadapi orang itu Mereka merasa heran. 


Pemuda itu berpakaian serba putih dari sutera halus, dipunggungnya nampak gagang sepasang pedang dan diikat pinggangnya nampak belasan gagang belati bergagang hitam. 

Pemuda itu berusia kira-kira dua puluh empat tahun, wajahnya tampan sikapnya lembut dan mulutnya tersenyum ramah, akan tetapi sepasang matanya mencorong dan mengandung sinar dingin atau kejam.
Pemuda ini bukan lain adalah ouw Kwan Lok. pemuda murid mendiang Pak-thian-ong yang kemudian diambil murid Thian-te Mo-ong. seperti kita ketahui, setelah dia tamat belajar ilmu kepada Thian-te Mo-ong, dia lalu terjun ke dunia kang-ouw dengan tugas dari gurunya untuk membalas dendam guru pertamanya dan guru ke dua itu kepada musuh-musuh mereka seperti yang dipesankan Thian-te Mo-ong. 

Musuh-musuh itu adalah song Thian Lee, Tang cin Lan dan Souw Lee Cin. Dia sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja untuk menyelidiki musuh-musuhnya itu ketika di tempat itu dia sempat menyaksikan tiga orang muda itu dikeroyok oleh tujuh gerombolan jahat. 

Dia bersembunyi dan tidak mencampuri, apa lagi melihat betapa pemuda dan dua orang gadis cantik itu tidak kalah. setelah mereka bertiga menang dan mendengar ucapan mereka, barulah dia muncul dan mengeluarkan suara pujian.
Hwe Li dan Ceng Ceng memandang kepada pemuda itu dengan bimbang karena mereka ini tidak tahu orang macam apakah adanya pemuda tampan berpakaian putih itu. 

Akan tetapi Siong Ek menjadi marah karena pemuda itu tampan dan bersikap ramah, seolah hendak menarik hati kedua orang sumoinya dan menyainginya
Siong Tek menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu dan menghardik, 

"Sudah tahu kami pendekar-pendekar Kun-lun-pai mengapa engkau berani sembarangan muncul disini?"

Souw Kwan Lok memperlebar senyumnya, akan tetapi sinar matanya yang tajam seolah-olah hendak menusuk dada Siong Ek. 

"Sobat, aku memuji kalian bukan karena ilmu silat kalian, melainkan kalian yang masih muda, tidak ada pengalaman dan dengan ilmu silat yang begitu-begitu saja berani menentang tujuh orang gerombolan tadi."

Siong Ek membelalakkan matanya juga Hwe Li memandang dengan marah sekali karena apa yang diucapkan Kwan Lok itu merupakan penghinaan bagi mereka. 


Hanya Ceng Ceng yang menjadi khawatir karena pemuda berpakaian putih itu pasti bukan membual kosong belaka.

"Hwe Li, mari kita pulang saja. Aku khawatir nanti Paman Souw Can akan menanti- nanti dan mengkhawatirkan kepergian kita," bujuk Ceng Ceng yang sebetulnya merasa enggan untuk bercekcok dengan pemuda asing itu.

Akan tetapi Hwe Li yang sudah marah itu membentaknya, "Engkau pulanglah sendiri kalau merasa takut. Kami tidak takut kepada pemuda sombong ini"

Lai Siong Ek sudah mencabut kembali pedangnya dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka ouw Kwan Lok. "Kalau engkau mengatakan ilmu silat kami hanya begitu-begitu saja, coba perlihatkan ilmu silatmu. 


Beranikah engkau melawan aku?" siang Ek membusungkan dadanya dan sikapnya menantang sekali.
Kwan Lok tertawa, "Heh-heh, harimau yang belum tajam taringnya dan belum kuat kukunya berani bicara besar. 


Jangankan melawan engkau seorang biarpun dikeroyok tiga aku tidak akan takut, dan aku akan menghadapi kalian hanya dengan tangan kosong saja"

Hampir meledak rasa perut Hwe Li mendengar ucapan itu Andaikata ia dan suhengnya bersombong, pemuda ini ternyata lebih sombong lagi. Dikeroyok tiga pedang dengan tangan kosong saja"

"Bangsat sombong!! Jangan lari dari pedangku" teriak Hwe Li dan ia pun sudah mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat. Melihat ini, Siong Ek juga sudah menggerakkan pedangnya, mengirim serangan yang dahsyat. 

Akan tetapi Kwan Lok adalah seorang pemuda yang pernah digembleng oleh dua orang datuk besar dari utara dan selatan. ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat dua orang pengeroyoknya itu. 

Dengan kedua tangan kosong dia menyambut dua serangan itu. Mula-mula dia memperiihatkan ilmunya meringankan tubuh. Dua pedang yang menjadi dua gulungan sinar menyambar-nyambar itu selalu dielakkan dan tubuhnya bagaikan bayangan yang menghilang ke sana muncul ke mari, membingungkan Hwe Li dan Siong Ek. 

Setelah mendemonstrasikan kelincahannya, Kwan Lok mengeluarkan suara mengejek,
"Ha-ha, tidak kena Ah, luput lagi Hayo keluarkan semua ilmumu" Tentu saja Hwe Li dan Siong Ek menjadi semakin penasaran dan marah.
Sementara itu, Ceng Ceng yang menjadi penonton, tidak mau membantu. Ia melihat bahwa pemuda itu tidak berniat buruk. Kalau dia berniat buruk tentu dia akan mencabut senjatanya. 

Dia hanya melawan dengan tangan kosong saja dan ini saja menunjukkan bahwa pemuda baju putih itu tidak berniat jahat. 

Dugaannya benar karena setelah mereka bertanding, Ceng Ceng melihat pemuda itu berkelebat kesana sini dengan kecepatan seperti seekor burung walet dan dua orang pengeroyoknya tidak mampu berbuat banyak. 

Kalau pemuda itu seorang jahat, biarpun betapa kuatnya, Ceng Ceng pasti akan membantu dan mengeroyoknya. Akan tetapi, pemuda itu bukan orang jahat, mengapa mesti dikeroyok dan diserang mati-matian" ia hanya menonton saja sambil mengerutkan alisnya karena ia melihat betapa Hwe Li dan siang Ek semakin marah dan serangan mereka semakin hebat, merupakan serangan-serangan maut.

Kini Kwan Lok memamerkan kehebatan sinkangnya. Dia tidak lagi mengelak ke sana ke mari, melainkan menangkis dua batang pedang itu dengan telapak tangannya Bacokan atau tusukan pedang disambut begitu saja dengan tangan terbuka dan kedua senjata itu sama sekali tidak mampu melukai telapak tangannya.

Ceng Ceng menjadi semakin kagum dan khawatir. Mengapa Hwe Li dan Siong Ek tidak mau berhenti saja" Apakah mereka tidak melihat bahwa pemuda itu lihai sekali dan kepandaiannya amat tinggi"
Memang Hwe Li dan siang Ek sama saja. Mereka terlalu tinggi hati dan manja, menganggap diri sendiri paling hebat sehingga sukar bagi mereka untuk mengakui kekalahan
"Haiiiitt." Hwe Li menusukkan pedangnya ke arah lambung kiri Kwan Lok. Pemuda baju putih ini menggerakkan tangan kiri dan menangkap pedang itu Begitu ditangkap, pedang itu seolah melekat pada tangannya dan betapapun Hwe Li menariknya, pedang itu tidak dapat terlepas dari cengkeraman tangannya.

"Haiiitt." Siong Ek menggunakan kesempatan itu untuk membacokkan pedangnya ke arah leher Kwan Lok. Kini tangan kanan Kwan Lok menyambar dan pedang Siong Ek itu pun dapat ditangkapnya dan tidak dapat ditarik lepas
Selagi Hwe Li dan Siong Ek menarik-narik, sekuat tenaga, tiba-tiba Kwan Lok berkata lembut, "Pergilah kalian"

Dia mengerahkan sin-kangnya dan "krak krak" dua pedang yang dipegang kedua tangannya itu patah dan pemilik masing-masing terdorong ke belakang dan terjengkang lalu terbanting ke atas tanah. Hwe Li dan Siong Ek merangkak bangkit dengan muka pucat. 

Akan tetapi Kwan Lok tidak mempedulikan mereka. sekali menggerakkan tubuh, Kwan Lok sudah meloncat ke dekat Ceng Ceng.
"Nona yang baik, engkau ikut dengan aku."
Ceng Ceng terkejut dan hendak membantah, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Kwan Lok menotok punggung Ceng Ceng, membuat gadis ini menjadi lemas dan akan terkulai roboh. 


Kwan Lok menyambar tubuhnya, dipanggulnya gadis itu dan sekali berkelebat dia sudah lenyap dari depan Hwe Li dan Siong Ek.
Hwe Li dan Siong Ek saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. 

"Celaka, dia menculik Ceng Ceng" kata Siong Ek dengan alis berkerut karena khawatir.
Hwe Li memandang pedang di tangannya yang tinggal gagangnya, dengan gemas ia membanting pedang itu ke atas tanah. 


"Hhmm, agaknya Ceng Ceng yang tergila-gila kepada pemuda itu" gerutunya.

"Ehhh" Mengapa engkau menuduh begitu, sumoi" Ceng Ceng telah diculik orang, apa yang harus kita katakan kepada suhu?"


"Kalau Ceng Ceng tidak tergila-gila kepada pemuda itu, mengapa ia tidak membantu ketika kita mengeroyok pemuda baju putih itu" Tidak salah lagi, Ceng Ceng tentu tergila-gila kepadanya dan pemuda itu mengetahuinya maka membawanya pergi. 


Hemm, sungguh gadis yang tidak tahu malu, mencemarkan nama keluarga kami dengan perbuatannya yang tidak tahu malu sungguh hina sekali"
Akan tetapi hati Siong Ek tetap saja merasa gelisah. "Pemuda itu tidak meninggalkan nama, kita tidak tahu siapa dia dan bagaimana kita harus melapor kepada suhu?"

"Katakan saja bahwa Ceng Ceng ikut pergi dengan seorang pemuda yang tampan, tidak tahu ke mana dan kita tidak dapat menghalanginya karena pemuda itu lihai sekali."


Siong Ek tidak berani membantah lagi, akan tetapi diam-diam dia merasa cemburu sekali. Diam-diam dia pun tertarik kepada Ceng Ceng yang manis dan lembut hati, walaupun dia jatuh hati kepada Hwe Li.


Mereka segera menunggang kuda masing-masing dan pulang. Siong Ek menuntun kuda yang tadi ditunggangi Ceng Ceng. setelah tiba di rumah, tentu saja Souw Can terkejut melihat mereka pulang menuntun kuda Ceng Ceng, dan gadis itu tidak tampak di antara mereka.


"Di mana Ceng Ceng" Kenapa hanya kudanya saja yang kembali?" tanya Ketua Kim-long-pang itu.

"Entah, dia dibawa pergi seorang laki-laki muda" jawab Hwe Li dengan alis berkerut tidak senang.

"Apa" Dia pergi dengan seorang laki-laki?" tanya Souw Cin tidak percaya. "Siong Ek, apa yang telah terjadi?" Dia bertanya kepada muridnya karena dia tahu bahwa Hwe Li bersikap galak terhadap saudara misannya itu dan keterangannya amat meragukan.
Siong Ek yang tidak setuju dengan keterangan Hwe Li, melirik kepadanya dan menjelaskan- "Begini, suhu. 


Tadi ketika kami bertiga sedang menunggang kuda di tengah hutan di sebelah timur kota, mendadak ada tujuh orang gerombolan menyerang kami. Kami bertiga melawan dan akhirnya kami dapat mengalahkan dan mengusir mereka."

"Tujuh orang gerombolan" siapa mereka" Apakah kalian tidak bertanya siapa mereka dan dari golongan mana?"


"Kami tidak sempat bertanya, suhu. Mereka menyerang dan mengeroyok kami."


"Hhmm, lalu bagaimana" Ke mana perginya Ceng Ceng?"
"setelah gerombolan itu pergi, muncul seorang pemuda berpakaian serba putih. Dia menghina dan mengejek ilmu silat kami. Tentu saja kami menjadi marah dan terjadilah perkelahian. 


Teecu bersama sumoi Hwe Li maju menyerang pemuda baju putih itu. Akan tetapi... hemm, ini anehnya, suhu, sumoi Ceng Ceng tidak membantu kami, hanya menonton saja. 

Akhirnya, kami berdua terpaksa mengakui kekalahan kami, suhu. Pemuda itu lihai bukan main. Dengan tangan kosong dia melawan kami dan dapat mematahkan pedang kami. Kemudian tanpa berkata apa-apa, dia meloncat mendekati sumoi Ceng Ceng, menotoknya dan memanggulnya lalu membawanya pergi."

Souw Can terbelalak kaget. "siapa nama pemuda berpakaian putih itu?"
Siong Ek menundukkan mukanya yang berubah merah. 


Dia tidak mampu menjawab. Hwe Li yang menjawab, "Kami tidak sempat bertanya karena kami sudah marah sekali, Ayah. Akan tetapi melihat betapa Ceng Ceng tidak membantu kami, itu menunjukkan bahwa Ceng Ceng agaknya tertarik, kepada pemuda itu, Ayah. 

Dia memang tampan dan ilmu silatnya tinggi."




"Ah, celaka. Apa yang akan terjadi dengan Ceng Ceng. Ke mana pemuda itu membawanya pergi" Aku harus mengerahkan semua anak buah untuk melakukan pengejaran dan mencarinya."

Souw Can lalu mengumpulkan semua anggauta Kim-liong-pang yang jumlahnya lima puluh orang lebih, semuanya merupakan piauwsu (pengawal pengiriman barang) yang berpengalaman dan pandai silat, lalu memerintahkan mereka berpencar untuk mencari jejak pemuda yang melarikan Ceng Ceng.


Mari kita ikuti perjalanan ouw Kwan Lok yang melarikan Ceng Ceng. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi. Kwan Lok memondong Ceng Ceng yang sudah ditotoknya itu dan akhirnya, setelah jauh sekali dari tempat tadi, dia berhenti di dalam sebuah hutan, di lereng terbawah sebuah bukit. 


Dia menurunkan tubuh gadis itu dan merebahkannya di atas rumput tebal. sejenak dia menatap wajah Ceng Ceng yang cantik manis itu. Ceng Ceng tidak mampu bergerak atau bicara, akan tetapi pandang matanya yang penuh permohonan itu menggerakkan hati Kwan Lok untuk membebaskan totokannya.

Begitu terbebas dari totokan- Ceng Ceng menggerak-gerakkan kaki tangannya yang masih terasa agak lemas, lalu ia bangkit duduk lalu berdiri sambil memandang kepada Kwan Lok.

Kwan Lok juga bangkit berdiri sambil tersenyum. Melihat pandang mata dan senyum itu, diam-diam berdiri bulu roma Ceng Ceng. la melihat sesuatu yang mengerikan dalam pandang mata dan senyum itu.


"Mengapa... mengapa engkau membawaku ke tempat ini?" tanyanya lirih karena terkandung rasa ngeri dan takut.

"Mengapa" Untuk kuajak bercakap-cakap. Di sini jauh dari dua orang muda besar kepala itu. Aku melihat bahwa engkau lain dari mereka. 

Engkau seorang gadis yang cantik manis dan bijaksana, dan aku merasa berbahagia sekali karena engkau suka kepadaku. Nona manis, siapakah namamu?".

"Aku bernama Liu Ceng, akan tetapi aku... aku tidak merasa suka kepadamu... aku tidak mengenalmu...."


Pemuda itu tersenyum mengejek. "Tidak usah kau katakan juga aku sudah tahu bahwa engkau tertarik, dan suka kepadaku, Adik Liu Ceng. 


Dan aku bukan orang yang tidak tahu membalas budi baik. Engkau tidak ikut mengeroyok. itu berarti engkau suka kepadaku, bukan" Tidak usah malu-malu, kalau kita berdua saling tertarik. untuk apa dibuat malu?"

Sambil berkata demikian, Kwan Lok mejulurkan tangan dan memegang lengan Ceng Ceng. Ada sesuatu perasaan dalam sentuhan itu yang membuat Ceng Ceng melompat ke belakang dan menarik tangannya.

"Engkau salah mengerti. Aku tidak ikut mengeroyok karena aku melihat bahwa engkau tidak hendak mencelakai mereka. Aku dapat menduga bahwa ilmumu amat tinggi dan kami bukan tandinganmu. 

Terima kasih bahwa engkau tidak mencederai mereka. sekarang, ijinkan aku pulang. selamat berpisah" Ceng Ceng membalikkan tubuh untuk lari dari tempat itu.

"Nanti dulu" Kwan Lok berkata dan Ceng Ceng tidak dapat lari karena lengannya sudah ditangkap tangan Kwan Lok.


"Lepaskan aku" Ceng Ceng meronta-ronta. Akan tetapi tangkapan itu kuat sekali sehingga tidak mampu ia melepaskan lengannya.


"Ceng-moi, engkau begini cantik, Aku tidak mencelakai mereka karena aku melihat engkau. Kalau tidak ada engkau, tentu dua orang manusia sombong itu sudah kubunuh. 


Nah, aku begini baik kepadamu, apakah engkau tidak ingin bersahabat denganku" Engkau akan menjadi pacarku yang istimewa dan kusayang, bahkan aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu agar engkau menjadi lihai dan dapat mengalahkan dua orang sombong itu."

Kwan Lok menarik lengan itu dan hendak merangkul. Akan tetapi Ceng Ceng meronta dengan marah sekali dan kini ia dapat melepaskan lengannya.

"Jangan mendekat Jangan sentuh aku. Aku bukan gadis macam itu, mudah saja kau permainkan."


"Ha-ha-ha, bagus Aku senang dengan gadis-gadis yang keras hati, binal seperti seekor kuda liar, tidak mudah menyerah," kata Kwan Lok yang sudah melangkah maju lagi hendak memeluk, akan tetapi Ceng Ceng membalikkan tubuhnya dan lari sekuat tenaga.


Setelah berlari sejauh kurang lebih satu mil, Ceng Ceng menengok dan tidak melihat dirinya dikejar. ia merasa lega dan bernapas panjang. 


Akan tetapi baru saja melangkah ke depan, ia terbelalak melihat pemuda itu sudah berada di depannya, bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. lalu mengembangkan kedua lengannya. 

"Mari, mari ke sini, manis. Engkau tidak akan dapat meloloskan diri dari pelukanku."

Bukan main bingung hati Ceng Ceng. Ia menengok ke kanan kiri, tidak ada seorang pun di tempat yang lebat penuh pohon-pohon itu, tidak ada orang yang dapat dimintai tolong. 


Lalu ia mencabut pedangnya. Ia bertekad untuk melawan sampai akhir hayatnya. Lebih baik mati daripada menyerah ke dalam tangan pemuda yang halus tampan seperti seekor ular berbisa itu.

"Baik, apa boleh buat. sekarang aku akan melawanmu sampai mati Lebih baik mati daripada menyerah kepadamu"



"Ha-ha-ha, aku senang sekali. Engkau bukan gadis murahan. Engkau mempertahankan kehormatanmu dengan taruhan nyawa. Bagus, engkau memang gadis yang patut menjadi sisihanku."

"Hyaaattt " Ceng Ceng sudah menyerang dengan memainkan jurus yang paling hebat untuk membunuh pemuda yang membuatnya merasa ngeri itu. Akan tetapi dengan amat mudahnya Kwan Lok mengelak 

sambil menggoda.

"Keluarkan semua ilmumu, hendak kulihat sampai di mana 

kepandaianmu, sayang."

Kemarahan dan ketidak berdayaan membuat Ceng Ceng menjadi nekat dan semangatnya yang besar untuk melawan menambah kekuatannya. 


Pedangnya berkelebatan dan membentuk segulung sinar yang menyambar ke arah pemuda itu.
"Ha-ha, bagus sekali. Engkau berbakat dan setelah menjadi pacarku, engkau akan kuajarkan ilmu pedang yang lebih hebat pula."

"Tidak Lebih baik aku mati" kembali Ceng Ceng menyerang dengan hebat.
Sekali ini Kwan Lok menangkap pedang itu sehingga tidak dapat ditarik kembali oleh Ceng Ceng dan tangan kirinya meraih ke depan, menyambar tangan kiri gadis itu dan dia mendekatkan mukanya untuk mencium.


Ceng Ceng mengelak dengan memalingkan mukanya ke kiri dan kanan. Akan tetapi kedua tangannya tidak mampu digerakkan lagi dan agaknya elakannya tidak akan berhasil terus.


Tiba-tiba angin lembut menyambar ke arah punggung Kwan Lok disertai bentakan, "Pemuda jahat, lepaskan gadis itu"


Kwan Lok terkejut karena hembusan angin lembut pada punggungnya itu terasa membawa tenaga yang kuat sekali. Dia cepat meloncat ke samping dan melepaskan kedua tangan Ceng Ceng sambil mendorongnya sehingga Ceng Ceng terhuyung dan tentu akan terjengkang kalau saja tidak ada sesuatu yang menangkap tangan kirinya dan menahannya sehingga tidak sampai terjatuh. 


Ketika dia melihat, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek gendut pendek yang memegang sebatang kebutan. Bulu kebutan berwarna putih itu yang melibat pergelangan tangan Ceng Ceng sehingga ia tidak sampai terjengkang dan bulu kebutan itu pula yang tadi mengancam punggung Kwan Lok. 

Ceng Ceng maklum bahwa ada seorang kakek yang menolongnya, maka ia lalu meloncat ke belakang kakek itu untuk berlindung.
"Ha-ha-ha, jangan takut, Nona. Tidak ada yang dapat mengganggumU selama aku berada di sini."

Kwan Lok adalah seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. BiarpUn dia merasa marah dengan bercampur tangannya kakek itu, akan tetapi dia bersikap tenang saja. Dia maklum bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. 

Dia memandang penuh perhatian dan melihat kakek pendek gendut yang memegang kebutan berbulu putih, dia segera dapat menduga dengan siapa dia berhadapan. 

sebelum dia berangkat merantau, Thian-te Mo-ong telah menceritakan padanya tentang pada datuk dan tokoh persilatan yang terkenal. Dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata,
"Ah, kiranya Locianpwe Thian-tok Cu Kiat Seng yang datang selamat datang dan selamat berjumpa, Locianpwe."
Thian-tok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini, seorang pemuda yang lihai. Akan tetapi pemuda itu agaknya sudah mengenalnya dengan baik.

Dia segera tersenyum lebar dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aih, dunia telah mengalami kemajuan. seorang pemuda telah memiliki ilmu silat tinggi dan juga bermata tajam mengenal orang. siapa kah engkau, orang muda yang pandai?"

"saya bernama ouw Kwan Lok. Locianpwe. saya mengenal nama Locianpwe dari suhu saya dan saya yakin bahwa Locianpwe tentu sudah mengenal baik kedua orang suhuku."

Ceng Ceng masih berdiri di belakang tubuh kakek itu dan mendengarkan dengan penuh perhatian. 

Ia sendiri juga tidak mengenal siapa itu ouw Kwan Lok dan ia masih bergidik kalau mengingat akan bahaya yang mengancamnya tadi dan ia tahu bahwa tanpa bantuan kakek itu, ia tentu tidak akan terlepas dari cengkeraman pemuda yang seperti srigala buas itu.

Thian-tok memandang penuh selidik ketika dia bertanya, "orang muda, siapakah kedua gurumu itu?"

"Guruku yang pertama adalah mendiang suhu Pak-thian-ong, dan guruku yang ke dua adalah suhu Thian-te Mo-ong."

"Wah-wah-wah... Kiranya engkau murid mereka" Aku tahu bahwa Pak-thian-ong sudah tewas, dan aku mendengar pula bahwa Thian-te Mo-ong tertawan pasukan kerajaan. 


Pantas engkau, begini lihai, kiranya engkau murid kedua orang datuk itu"
Kembali Kwan Lok mengangkat kedua tangan depan dada. 


"Karena Locianpwe mengenal kedua orang guruku, bahkan kalau tidak salah mereka adalah segolongan dengan Locianpwe, maka kuharap Locianpwe suka melihat muka mereka dan tidak mencampuri urusan pribadiku. 

Aku cinta kepada gadis itu, harap Locianpwe suka membiarkan aku menangkapnya."

"Ho- ho- ho, engkau mau enaknya sendiri saja, ouw Kwan Lok. Aku memang mengenal kedua orang gurumu, akan tetapi di antara kami tidak ada hubungan apapun. 


Dan engkau hendak memaksa gadis ini, mana mungkin aku mendiamkan saja" Kalau kalian saling mencinta, aku orang tua tidak akan mencampuri urusan kalian. Akan tetapi coba kutanya dulu Nona ini."

"Tidak. aku tidak kenal padanya, tidak cinta padanya. Dia hendak memaksa aku" seru Ceng Ceng tanpa ditanya karena dia sudah merasa khawatir sekali kalau- kalau kakek itu akan memenuhi permintaan pemuda bernama Kwan Lok itu.


Thian-tok melambaikan tangannya kepada Kwan Lok. "Nah, engkau mendengar sendiri, orang muda. Mana mungkin cinta bertepuk sebelah tangan. Mana mungkin aku menyerahkannya kepadamu walaupun engkau mengaku cinta kalau gadis ini tidak mau dan tidak cinta kepadamu?"


Kwan Lok mengerutkan alisnya dan memandang wajah kakek gendut pendek itu dengan tajam, mulutnya tersenyum aneh dan ujung kedua bibirnya agak gemetar sedikit, tanda bahwa dia marah sekali.


"Thian-tok Gu Kiat Seng, engkau seorang tua yang tidak ingin dihormati orang muda. Jangan mengira bahwa aku takut kepadamu. 


Sekali lagi kuperingatkan jangan mencampuri urusanku dan lebih baik engkau cepat pergi dari sini sebelum terlambat"

"Hemm, Kwan Lok. Engkau sungguh beruntung dapat menjadi murid dua orang Datuk selatan dan Datuk Utara itu. Hanya sayang sekali, engkau bukan hanya mewarisi ilmu- ilmu mereka, melainkan juga kejahatan mereka. 


sebaiknya engkau menyadari akan hal ini dan mengubah kelakuanmu, karena kelakuanmu sendiri itu yang kelak akan membinasakan engkau."
Kwan Lok menjadi marah sekali walaupun tidak nampak pada wajahnya yang masih tersenyum-senyum. 


"Thian-tok. engkau orang tua yang bosan hidup," teriaknya dan begitu kedua tangannya bergerak cepat, beberapa sinar menyambar ke arah kakek gendut itu. 

Jarak antara mereka tidak begitu jauh, hanya empat meter dan sambitan pisau terbang itu cepat sekali. 

Akan tetapi, Thian-tok tidak akan menjadi datuk barat kalau dia menjadi korban dari serangan gelap macam itu. 

Dia menggerakkan kebutan berbulu putih di depan tubuhnya dan runtuhlah lima batang pisau terbang itu, terpukul bulu kebutan. 

Akan tetapi Kwan Lok tidak berhenti sampai di situ saja. Dia telah mencabut sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Gerakan pedangnya selain cepat juga mengandung tenaga sinkang yang amat kuat.

Thian-tok menyambut dengan kebutannya. Bulu- bulu halus kebutan itu kadang dapat menjadi kaku seperti kawat baja dan begitu bertemu pedang, bepercikan bunga api. Mereka saling serang dengan hebatnya.


Kwan Lok adalah murid dua orang datuk dan hampir seluruh ilmu kedua orang datuk itu telah dipelajarinya sehingga tentu saja dia menjadi seorang pemuda yang amat tangguh. 


Akan tetapi lawannya juga seorang Datuk Barat yang telah membuat nama besar, maka tidak mudah bagi Kwan Lok untuk memperoleh kemenangan dalam pertandingan itu.
Mereka saling serang sampai lima puluh jurus lebih. Ceng Ceng yang sejak tadi nonton menjadi amat khawatir kalau-kalau kakek itu tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu. 

Kalau kakek itu kalah, bukan hanya kakek itu yang celaka atau mungkin mati, akan tetapi ia sendiri pun akan terancam bahaya yang mengerikan. setelah berpikir demikian, dengan nekat Ceng Ceng lalu melompat dan menyerang pemuda itu dengan pedangnya.

"Tranggg...." Pedang Ceng Ceng tertangkis dan terpental, akan tetapi gadis itu menyerang lagi dengan nekat dan dengan sepenuh tenaganya untuk membantu Thian-tok. 


Menghadapi Thian-tok sendiri saja, Kwan Lok belum juga mampu mengalahkannya, apa lagi sekarang kakek itu dibantu oleh Ceng Ceng. 

Biarpun tingkat kepandaian gadis ini masih jauh di bawah Kwan Lok, akan tetapi ia telah mewarisi ilmu pedang Kun-lun-pai yang cukup lihai. 

Masuknya gadis ini dalam pertempuran itu membuat Kwan Lok terdesak karena Thian-tok mempergunakan kesempatan itu untuk memutar kebutannya dan menggunakan pukulan dorongan tangan kirinya yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok. 

Hawa pukulan yang dahsyat menyambar-nyambar ke arah Kwan Lok,Pemuda itu maklum bahwa kini dirinya yang terancam, maka dia mengelebatkan sepasang pedangnya menyerang dengan hebat. 

Menghadapi sambaran pedang itu, Ceng Ceng melompat ke belakang dan Thian-tok menangkis dengan kebutannya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kwan Lok untuk melompat jauh dan melarikan diri dengan cepatnya.

Thian-tok tersenyum memandang kepada Ceng Ceng dan berkata, "Bagus, Nona. Kalau engkau tidak membantu, belum tentu dia akan melarikan diri Bocah itu lihai bukan main."


Ceng Ceng sudah menyimpan pedangnya, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. 


"Locianpwe telah menyelamatkan saya dari kematian yang mengerikan. sampai mati saya tidak akan dapat membalas budi kebaikan Locianpwe."
"Ha-ha, engkau sendiri sebetulnya sudah memiliki ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat. sayang masih belum sempurna. Kalau engkau sudah menyempurnakan ilmumu, belum tentu pemuda tadi dapat mengganggumu."

Mendengar ini, Ceng Ceng cepat memberi hormat sambil berlutut. "saya mohon sudilah kiranya Locianpwe membantu saya menyempurnakan ilmu silat saya."


"Hemm, engkau memang berbakat dan aku pun belum mempunyai murid. sukakah engkau menjadi muridku, Nona?"


"Justeru itu yang saya harapkan, Locianpwe."


"Bagus, akan tetapi engkau harus langsung ikut dengan aku meninggalkan ayah ibumu. Apakah engkau tega melakukan hal itu?"


"Suhu, teecu sudah tidak mempunyai ayah bunda. Teecu yatim piatu," kata Ceng Ceng yang langsung saja menyebut kakek itu dengan sebutan suhu.


"Ha-ha-ha, ini namanya jodoh. Bagus sekali kalau begitu"
"Akan tetapi, suhu. selama ini teecu ikut dan mondok di rumah Paman Souw Can, Ketua Kim-liong-pang di Pao-ting. 


Rasanya tidak enak kalau teecu pergi tanpa pamit, akan tetapi untuk pamit pun teecu merasa tidak enak karena Paman dan Bibi tentu akan melarang. Teecu hanya ingin memberitahu bahwa teecu pergi bersama suhu untuk mempelajari ilmu."

"Hemm, jangan khawatir. Malam ini juga kita kesana dan menyampaikan pemberitahuanmu. "


"Baik, suhu. saya akan mentaati semua perintah suhu."
"Bagus, engkau murid yang baik. siapa namamu?"


"Nama teecu Liu Ceng, biasa dipanggil Ceng Ceng."
"Nah, Ceng Ceng, kita berangkat ke Pao-ting, memasuki kota itu setelah malam tiba." 


Berangkatlah guru dan murid ini, melangkah perlahan dan santai menuju ke kota Pao-ting.

Malam itu ketika Souw Can dan isterinya masih belum tidur, bahkan mendengarkan lagi cerita Hwe Li dan Siong Ek tentang hilangnya Ceng Ceng, tiba-tiba mereka mendengar suara di atas genteng,


"Paman Souw Can dan Bibi, saya mohon diri untuk mengikuti suhu mempelajari ilmu."


"Ceng Ceng...." Souw can cepat melayang ke atas genteng, diikuti pula oleh Hwe Li dan Siong Ek. Di atas genteng yang diterangi bulan- mereka bertiga melihat Ceng Ceng berdiri di depan seorang kakek gendut pendek.

"Ceng Ceng." kata Souw Can. "Engkau akan pergi ke mana dan dengan siapa?"

Kakek gendut itu yang menjawab sambil tersenyum lebar, "Souw-pancu, mulai sekarang Ceng Ceng menjadi murid ku, setelah tamat belajar ilmu barulah ia akan kembali ke sini."


"Akan tetapi siapa kah engkau" Aku paman dan juga guru Ceng Ceng, tidak dapat membiarkan engkau membawanya begitu saja"


"Ayah, kakek ini tentu teman pemuda yang menculiknya itu"
"Suhu, serang saja dia, dia tentu bukan orang baik-baik"


Hwe Li dan Siong Ek maju menyerang kakek itu. Akan tetapi, sekali berkelebat kakek gendut itu lenyap pula Lalu terdengar suara kakek itu, 


"Souw-pangcu, lebih baik engkau mengajarkan kesopanan kepada puteri dan murid mu."

"Paman, Bibi, selamat tinggal, saya pergi" masih terdengar lapat-lapat suara Ceng Ceng lalu sunyi.
Souw Ceng menghela napas panjang. Ketika dia melihat Hwe Li dan Siong Ek hendak melakukan pengejaran, dia berkata, "Tidak perlu dikejar. Kalian tidak akan mampu menyusulnya. 


Kakek itu seorang yang amat sakti. Kalau Ceng Ceng menjadi muridnya, hal itu malah baik sekali."

Mereka semua lalu turun dan semalam itu mereka membicarakan soal Ceng Ceng yang pergi secara aneh itu. Gadis itu sama sekali tidak membawa bekal pakaian dan semua barangnya ditinggalkan di kamarnya.

Lee Cin berjalan santai di bukit itu. Pemandangan alam pada pagi hari itu teramat indahnya. Matahari bersinar cerah. Langit biru dan awan-awan putih, berarak seperti sekumpulan domba berbulu putih. 

Di bawah kakinya, sawah ladang terbentang luas kehijauan jauh di sebelah kanan tampak sebuah pedusunan dengan genteng- genteng rumahnya berwarna kemerahan. 

Kalau atap rumah pedusunan itu sudah memakai genteng semua, hal itu menandakan bahwa dusun itu sudah lumayan keadaannya, sudah cukup kebutuhan hidup penghuninya. 

Di atas sana, dekat puncak, tampak sebuah bangunan dengan menara yang berbentuk kerucut, bersusun delapan. Agaknya itu merupakan sebuah bangunan semacam kuil atau tempat pemujaan, kelihatan begitu menyendiri di lereng atas terkurung pohon-pohon, semua kelihatan demikian tenteram dan penuh damai.
Dia melangkah terus, mendaki sebuah lereng. Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh manusia menggeletak di antara semak-semak, Lee Cin menjadi heran dan cepat ia menghampiri Yang menggeletak dengan napas tinggal satu-satu itu adalah seorang pemuda.
Sebetulnya pemuda itu berwajah tampan, akan tetapi wajah itu amat pucat seperti mayat dan tubuh itu pun kurus. seperti seorang pemuda yang kehabisan banyak darah sehingga di wajah itu sudah hampir tidak darahnya lagi. 

Lee cin berjongkok dekat pemuda itu dan memeriksa nadinya. Begitd lemahnya, tinggal satu-satu.
Agaknya sentuhan jari tangan Lee Cin menggugah pemuda itu siuman dari pingsannya. Dia mengeluh dan membuka matanya yang sayu, nampak kaget melihat Lee Cin dan mendadak seperti mendapat tenaga baru, dia menudingkan telunjuknya ke muka Lee cin sambil berseru lemah.

"Iblis cantik... kau iblis cantik...."
Lee Cin terkejut, akan tetapi ia memegang lengan orang itu dan bertanya cepat, "Apa maksudmu" siapa iblis cantik?"


"Kau... kau... iblis cantik, lepaskan aku... lepaskan...." Dan orang itu terkulai lemas. Ketika Lee cin memeriksanya lagi, ternyata orang itu sudah tewas.


Lee Cin bangkit berdiri, alisnya kerut. Ada yang tidak beres di sini. Jelas pemuda itu amat ketakutan dan yang ditakutinya adalah iblis cantik. 


Siapakah iblis cantik dan di mana ia" Lee cin memandang ke atas, ke arah lereng di dekat puncak di mana tampak bangunan dengan menara tinggi itu. Kembali ia memeriksa pemuda itu. 

Jelas telah mati dan kematiannya bukan karena luka atau karena sakit, melainkan lemah sekali seperti yang kehabisan darah. Tapi tidak ada luka di tubuhnya. 

Teringat akan sebutan iblis tadi, ia bergidik. Benarkah ada iblis yang menghisap semua darah orang itu" Kembali ia bangkit berdiri. Ia harus menyelidiki hal ini. Ia maju lagi dengan perlahan, mendaki bukit itu. 

Belum jauh ia melangkah, ia melihat tubuh tiga orang pemuda di dalam sebuah jurang yang tidak begitu dalam. Ia dapat melihat jelas bahwa tiga orang pemuda itu juga sudah mati dan keadaannya sama seperti pemuda tadi. 
Apakah tiga orang pemuda itu pun korban iblis cantik"

Tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi di lereng atas. Suara mendesingnya senjata dan teriakan suara laki-laki yang parau, "Kau iblis terkutuk. 


Aku harus membasmi kamu dan kaki tanganmu" Kembali terdengar bunyi desing senjata tajam. 

Lee cin mencari jalan terobosan agar dapat cepat tiba di tempat itu. Tiba-tiba ia mendengar suara orang menjerit,mengerikan.

Jeritan itu terdengar parau seperti suara laki-laki yang bicara dengan marah tadi. Ia mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya ia tiba di tempat itu. sudah sepi, akan tetapi ada seorang laki-laki rebah miring di situ. 

Tangannya masih memegang sebatang golok besar. Ia cepat menghampiri Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan gagah, usianya sekitar empat puluh tahun. 

Laki-laki itu mengerang lirih, tanda bahwa dia masih hidup, Akan tetapi ketika Lee Cin berjongkok memeriksanya, ia terkejut bukan main melihat baju laki-laki itu robek di bagian dada dan di kulit dadanya tampak cap telapak tangan menghitam.

Ketika laki-laki itu membuka mata melihat Lee Cin, dia membelalakkan matanya dan menggerakkan goloknya untuk menyerang. Akan tetapi begitu mengerahkan tenaga, dia mengeluh dan golok itu pun terlepas dari pegangannya. 


Dia menuding ke arah Lee Cin dan berseru, "Terkutuk. kau... kau iblis cantik...." Dan tiba-tiba saja orang itu terkulai dan tewas.

Lee Cin bangkit berdiri, mengerutkan alisnya memandang kepada pria itu, kemudian ia memandang lagi ke atas, ke arah bangunan yang bermenara itu. 


Adakah hubungannya bangunan ini dengan peristiwa aneh yang dihadapinya" Ada beberapa orang pemuda tampan tewas secara aneh, dan kini ada seorang laki-laki gagah juga tewas setelah bertempur dengan menderita luka bekas pukulan beracun yang hebat.

Pemuda yang seperti mati kehabisan darah itu, sebelum tewas, seperti juga laki-laki ini, memaki ia sebagai iblis Cantik. Agaknya yang menyebabkan mereka mati adalah seorang penjahat wanita yang cantik dan lihai.

Lee cin menjadi waspada. Ia seperti dapat merasakan bahwa ia telah memasuki daerah yang penuh bahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan mendaki terus, dengan lambat dan hati-hati.


Tidak sia-sia ia bersikap hati-hati dan waspada. Tiba-tiba ia mendengar angin berdesir dan sinar berkelebat. Cepat ia mengelak dan sebatang piauw (senjata rahasia runcing) menyambar lewat, lalu menancap di batang pohon di belakangnya. 


Ketika ia menengok memandang, kiranya piauw itu digantungi sehelai kertas. Didekatinya kertas itu yang ada tulisannya, pendek dan tegas berbunyi: 

"Kalau tidak ingin mati, cepat tinggalkan tempat ini"

Lee Cin adalah seorang dara yang pemberani dan keras hati. Makin ditantang ia akan semakin maju dengan tabah. Ia tahu bahwa disini terjadi kejahatan dan pelakunya adalah seorang atau banyak orang wanita cantik. 


Gertakan mengusirnya itu tidak membuatnya takut, bahkan ia lalu memandang ke sekeliling sambil tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya mendaki lereng itu. Ia masih bersikap waspada kalau- kalau akan terjadi serangan gelap. 

Ia berhenti sebentar, memperkuat ikatan rambutnya dan memutar gantung pedangnya dipunggung agar mudah dicabut, lalu mencabut sulingnya dan memegangnya dengan tangan kiri ia sudah siap siaga Untuk bertanding kalau datang serangan.

Tiba-tiba terdengar ledakan di depannya dan asap putih mengepul tebal. Dari dalam kepulan asap tebal itu berloncatan empat orang berpakaian serba hijau dan begitu melompat, mereka sudah mengepung dan menyerangnya dengan senjata pedang mereka.


Lee Cin yang memang sudah siap. berkelebat di antara sinar pedang mereka dan tangan kirinya menggerakkan suling untuk membalas serangan empat orang pengeroyok itu. Ia melihat bahwa mereka berempat adalah empat orang wanita yang mukanya bagian bawah ditutup kain hijau sebagai topeng. 


Gerakan mereka memang cukup cepat, akan tetapi bagi Lee Cin mereka itu terlalu lamban sehingga ketika sulingnya digerakkan membalas serangan, empat orang pengeroyok itu terdesak mundur. 

Mereka berloncatan ke belakang dan ketika Lee cin hendak mengejar, ia berhenti karena ada ledakan lagi di depannya dan asap putih tebal menghalanginya. 

Dari dalam asap itu meluncur belasan batang piauw ke arah tubuhnya Lee Cin meloncat ke atas, tangan kanannya berhasil menangkap sebatang piauw dan dari atas ia melihat bayangan empat orang itu melarikan diri. 

Cepat tangan kanannya bergerak menyambitkan piauw yang ditangkapnya. Terdengar orang menjerit lalu sunyi. Lee Cin yakin bahwa sambitannya tadi mengenai sasaran, akan tetapi empat orang itu telah pergi, mungkin yang tiga orang melarikan seorang di antara mereka yang terluka oleh piauw mereka sendiri.

Lee Cin melanjutkan langkahnya mendaki. Ia maklum bahwa bahaya mengintainya. Empat orang wanita tadi tentu anak buah saja dan tentu mereka telah melapor sehingga kini pimpinan mereka sudah mempersiapkan penyambutan untuknya. 


Akan tetapi di manakah sarang mereka" Di bangunan itu" Ia harus menyelidikinya sampai tuntas.

Kini Lee cin tiba di lereng paling atas di mana terdapat bangunan dengan menara tinggi itu. Dan ia tertegun. 


Banyak orang dusun mendaki puncak itu melalui jalan besar yang terawat. Ia tadi datang dari lain arah sehingga tidak tahu bahwa banyak orang dusun laki-perempuan menuju ke tempat itu. 

Tidak kurang dari lima belas orang yang berada di depannya, belum lagi ang sudah masuk dan yang masih berada di belakang. 

Ketika Lee Cin ikut dengan rombongan orang itu menuju bangunan, ia tertegun. Bangunan itu ternyata sebuah kuil para pendeta wanita. 

Ada beberapa orang to-kouw (Pendeta Wanita) menyambut orang-orang dusun yang datang hendak bersembahyang dan mengajukan bermacam-macam permohonan. 

Agaknya kuil ini laris menarik banyak pengunjung. Tentu sebuah kuil yang manjur, banyak permintaan terkabul dan yang bertobatpun banyak yang sembuh. 

Disebelah dalam banyakpula terdapat to-kouw yang melayani para tamu bersembahyang. Disebelah kiri terdapat beberapa meja besar yang dijaga beberapa orang tokouw. 

Di meja ini diterima sumbangan dari para pengunjung dan Lee Cin melihat bahwa segala macam barang disumbangkan oleh penduduk dusun itu. 

Ada hasil sawah ladang, ada ayam sampai babi, bahkan adapula yang memberi potongan emas simpanan mereka. 

Melihat banyaknya sumbangan, Lee Cin dapat menduga bahwa dalam waktu tidak terlalu lama kuil itu akan berkembang dan para penghuninya dapat hidup serba kecukupan.
Kuil itu memakai nama Kuil Thian-hok-si (Kuil Berkah Tuhan), akan tetapi tidak seperti kuil agama To lainnya, di situ yang dipuja adalah sebuah patung wanita yang indah dan cantik luar biasa. 

Besarnya seperti ukuran manusia dewasa, dan bukan seperti Patung Dewi Kwan im. Di bawah patung itu terdapat tulisan dengan huruf emas, 

"Dewi seribu Berkah" dan di depannya terdapat meja sembahyang yang besar, penuh dengan suguhan seperti buah-buahan, akan tetapi ada pula arak dan masakan daging. 

Agaknya para pemuja patung itu hanya, namanya saja memakai nama agama To, akan tetapi telah bercampur dengan aliran lain yang menyembah roh-roh halus, penuh dengan ketahyulan dan Keanehan. 

Semua patung di situ menggambarkan wanita belaka, dan rata- rata patung itu cantik jelita, dengan pakaian mewah. Bau hio harum memenuhi ruangan depan di mana Lee Cin membaur dengan para pengunjung yang sebagian besar wanita.

Akan tetapi Lee cin seperti merasa betapa dirinya diperhatikan orang walaupun para to-kouw yang berada di situ seolah-olah tidak memperhatikan sama sekali. 


Agar tidak mendatangkan kecurigaan, Lee Cin lalu melangkah ke sudut di mana terdapat sebuah meja yang dipergunakan untuk melayani tamu yang hendak melihat peruntungannya atau minta diramal nasibnya. ini merupakan alasan baik sekali bagi Lee Cin untuk keperluan kunjungannya. 

Ia sudah hampir putus asa melihat betapa keadaan kuil ini sama sekali tidak ada yang mencurigakan. Para to-kouw itu melayani para tamu dengan ramah dan baik dan di antara mereka tidak ada yang kelihatan jahat. 

Para to-kouw itu terdiri dari wanita- wanita berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun dan rata- rata mereka memiliki wajah yang halus dan manis walaupun mereka sama sekali tidak memakai riasan muka.

To-kouw yang menjaga meja bagian ramalan itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. wajahnya cukup cantik dan ia pun tidak memakai bedak atau gincu, akan tetapi pandang mata Lee Cin yang tajam melihat bahwa alis wanita ini sebagian dicabuti sehingga nampak melengkung indah. Agaknya to-kouw ini diam-diam suka mempercantik diri.


"Apakah siocia hendak menanyakan tentang nasib" Tentang perjodohan, tentang keturunan, atau tentang rejeki?" To-kouw itu menyambut Lee Cin yang mendekati meja itu.


Pada saat itu, terdapat seorang pemuda tampan yang juga menghampiri meja itu. Melihat ini, Lee Cin melangkah mundur dan menjawab pertanyaan to-kouw tadi, "Aku nanti saja."


To-kouw itu memandang kepada pemuda yang menghampiri meja. Pemuda itu berusia dua puluh tahun lebih, berpakaian seperti seorang pemuda sastrawan yang kaya, wajahnya tampan dengan kulit kemerahan dan sepasang alisnya tebal menghitam, matanya bersinar lembut dan mulutnya tersenyum ramah.


"selamat pagi, Kongcu. Apakah Kongcu hendak bertanya tentang ramalan nasib"Jodoh" Pekerjaan?"
Pemuda itu melirik ke arah Lee Cin, kelihatan malu-malu. Akan tetapi keramahan to-kouw itu membuat dia memberanikan diri berkata dengan bisikan lirih, "Aku ingin bertanya tentang perjodohan."


"Ah, mudah sekali, Kongcu. Dan jawaban dari kuil ini, atas berkah sang Dewi, selalu cocok dan tepat. silakan Kongcu, mari kulayani Kongcu bersembahyang."


Pemuda itu mengikuti to-kouw ke meja sembahyang dan dia segera menyulut belasan batang hio, lalu bersembahyang, dia diberi sebuah tabung bambu di mana terdapat belasan batang potongan bambu yang ada nomornya. 


Dia berlutut, mengocok tabung bambu itu sampai sebatang diantara potongan bambu itu meloncat keluar dan menyerahkannya kepada to-kouw yang mendampinginya.

"Yang ditanyakan tentang jodoh, Kongcu" Nomornya berapa" Ah, nomor tujuh belas. Tunggu sebentar." To-kouw itu lalu masuk ke dalam untuk mengambilkan ramalan atas batang bambu nomor tujuh belas itu. sejak tadi Lee Cin melihat saja dengan penuh perhatian.


Sambil pura-pura memandang lukisan yang indah tergantung di dinding, Lee Cin memperhatikan mereka dengan pendengarannya.


"Nah, ini jawabannya, Kongcu. Apakah Kongcu ingin agar saya menerangkan artinya" Biar saya bacakan"


To-kouw itu lalu membaca perlahan namun cukup keras sehingga dapat didengar oleh Lee Cin,
"Jodoh sudah ditakdirkan tak dapat dicari dan dipaksakan kalau ingin mengetahui dengan pasti harus mendapat petunjuk sang Dewi"


"Hemm, apa artinya itu, To-kouw" Di sini tidak ditulis jelas siapa jodoh ku" pemuda itu mencela.
"sabarlah, Kongcu. sudah jelas ditulis bahwa untuk mengetahui rahasia jodoh Kongcu, harus mendapat petunjuk sang Dewi"


"Bagaimana caranya agar bisa mendapatkan petunjuk itu?"


"syaratnya hanya satu. Kongcu membersihkan diri, mandi dengan air suci di sini, kemudian Kongcu menunggu di kamar bertapa. Di sini disediakan banyak kamar-kamar untuk keperluan itu dan Kongcu duduk bersamadhi dengan tekun. Kalau sang Dewi berkenan Kongcu tentu akan mendapat tanda melalui mimpi atau bahkan dapat melihat sendiri"


Pemuda itu menjadi girang dan segera menyanggupi. To-kouw itu membawa dia ke dalam dan menyerahkan kepada to-kouw lain yang akan melayani segala keperluannya mandi keramas dengan air suci.


Lee cin menjadi penasaran. Benarkah pemuda itu akan mendapat petunjuk Sang Dewi" Ketahyulan yang tidak masuk akal. Akan tetapi hal itu sungguh mencurigakan. ia harus menyelidiki sampai tuntas, siapa tahu di sini letak rahasia iblis Cantik itu.


"Siocia hendak menanyakan sesuatu" Jangan ragu, Nona. Nona pasti akan mendapat jawaban yang tepat kalau Nona minta dengan sungguh hati. sang Dewi tidak pernah mengecewakan para pemujanya," kata to-kouw itu kepadanya.


Lee cin melihat ke sekeliling. Wajah para penduduk dusun yang memuja di situ nampak berseri, tanda bahwa mereka itu puas dan percaya sepenuhnya akan keampuhan dan kesaktian sang Dewi yang mereka puja.


"Aku akan menanyakan sesuatu," kata Lee Cin sambil memandang wajah to-kouw itu dengan tajam.


To-kouw itu tersenyum. "Dapatkah siocia memberitahu apa yang hendak ditanyakan" Jodoh, atau rezeki atau minta obat?"


"Aku hendak menyelidiki suatu rahasia, aku hendak bertanya apakah penyelidikanku akan berhasil." Lee Cin sengaja mengeluarkan alasan ini sebagai sindiran. 


Akan tetapi wajah to-kouw itu tidak menunjukkan sesuatu dan ia segera berkata dengan suara biasa,

"Ah, itu mudah saja, siocia. Mari kubantu siocia melakukan sembahyang dan mencabut ciam-si (bambu jawaban)."


Seperti halnya pemuda tadi, Lee cin bersembahyang, berlutut lalu mengocok tabung bambu sampai sepotong bambu meloncat keluar. setelah melihat nomornya, to-kouw itu lalu masuk ke dalam untuk mengambilkan jawabannya. Lee Cin menanti dengan hati tegang.


Jawaban apa yang akan diterimanya"
Sekali ini agak lama to-kouw itu keluar. Lee Cin menanti sambil duduk di atas sebuah bangku, melihat orang-orang dusun yang hilir mudik dan sibuk bersembahyang. Ruangan itu kini pengap oleh asap dupa yang berbau harum, menimbulkan suasana yang aneh.


Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul. To-kouw itu membawa sepotong kertas dan menyerahkannya kepada Lee Cin. "Kalau masih belum jelas, saya akan menerangkan," katanya. Lee Cin membaca empat baris kalimat itu penuh perhatian. 


Pekerjaan yang dikejar-kejar amatlah sulit dan sukar lebih baik dihentikan daripada mengalami kecelakaan.

Tentu saja Lee Cin sudah mengerti benar akan arti kata- kata itu. orang hendak mencegah ia melakukan penyelidikan. Ataukah itu hanya kebetulan saja jawaban yang sudah ditulis lebih dulu" Akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti, dan menyerahkan sepotong kertas itu kepada to-kouw.


"Apa sih artinya ini?" tanyanya.
To-kouw itu membacanya sebentar lalu menghela napas panjang. "Ah, Nona. Bahaya besar mengancam keselamatan Nona kalau Nona melanjutkan dengan penyelidikan itu. 


Menurut jawaban ini, sebaiknya Nona menghentikan penyelidikan itu agar terhindar dari malapetaka."
Lee cin pura-pura berpikir, alisnya berkerut dan akhirnya ia berkata, "Aku belum puas. Aku harus minta petunjuk langsung dari sang Dewi sendiri mengapa penyelidikanku harus kuhentikan. Aku akan menyewa sebuah kamar di sini dan bersamadhi untuk mendapatkan petunjuk"

"Ah, hal itu tidak bisa, Nona."
"Mengapa tidak bisa" Aku melihat pemuda tadi kau perbolehkan menanti petunjuk langsung dari sang Dewi Apa kau kira aku tidak akan mampu membayar sewa kamarnya dan semua biayanya?"


"Bukan demikian, Nona. Kalau pemuda tadi, jawabannya jelas mengatakan bahwa dia harus mendapat petunjuk dari sang Dewi, maka kami membolehkan dia bermalam di sini. 


Akan tetapi jawabanmu sudah jelas dan tidak boleh mengganggu sang Dewi. Engkau akan terkena kutukan kalau melanggar, Nona dan kami pun tidak berani."

Lee Cin memang hanya ingin menjajaki. Kini ia yakin bahwa jawaban pertanyaannya memang sudah diatur dan ia tidak diperbolehkan bermalam di situ juga sudah direncanakan. 


Kalau para to-kouw di situ terlibat dalam urusan iblis Cantik, tentu sekarang mereka sudah mengetahui bahwa tadi di lereng ia telah mengusir dan melukai seorang di antara empat perempuan bertopeng yang hendak menghalanginya. Dan kalau memang mereka ada hubungannya, maka tentu saja ia akan dihalangi dan tidak boleh melanjutkan penyelidikannya, apa lagi bermalam di situ.

"Ah, begitukah?" Ia berpura-pura takut akan kutukan. "Kalau begitu, memang sebaiknya aku pergi dan tidak melanjutkan pekerjaanku itu. 


Terima kasih, To-kouw?" Ia lalu membayar semua biaya sembahyangan itu, memberi sumbangan yang royal dan keluar dari kuil. 

Dia memandang ke arah menara yang menjulang tinggi dan berada di belakang kuil dan menduga-duga apa rahasia yang terkandung di dalam menara tingkat delapan itu Kuil itu cukup luas, dengan bangunan kamar-kamar untuk tamu di belakang, dan agaknya hanya menara itu yang tidak boleh dimasuki para tamu. 

Karena merasa bahwa banyak mata mengikuti gerak-geriknya, Lee Cin lalu melangkah pergi menuruni lereng.

Pemuda tampan itu mendapatkan sebuah kamar yang warnanya serba putih. 


Dindingnya putih bersih dan dipan yang berada di situ pun bertilam dan berbantal putih. oleh to-kouw yang melayaninya, setelah ia mandi keramas dengan air yang disebut air suci, air mawar yang berbau harum, dia dipinjami satu stel pakaian yang longgar dan dari kain putih, lalu ia disuruh duduk bersila dan bersiulian (samadhi) di atas pembaringan itu. Pintu kamarnya ditutup dari luar oleh to-kouw yang melayaninya.

"Kalau sang Dewi berkenan mengunjungimu, engkau harus menurut atas segala petunjuknya, melaksanakan segala perintahnya dan engkau akan diberkati, Kongcu. 


Akan tetapi kalau engkau membantah, engkau akan dikutuk dan kami tidak mengharapkan hal yang demikian terjadi atas dirimu."
Kata- kata ini masih bergema di telinga pemuda itu. 


Dia menanti dengan jantung berdebar tegang. Dia adalah seorang tahyul seperti para pengunjung kuil lainnya sehingga dia yakin bahwa sang Dewi pasti akan turun menemuinya dan memberi petunjuk, entah berupa impian atau bisikan.

Malam terang bulan itu amat sunyi di dekat puncak bukit itu. Karena kuil itu dikelilingi hutan dan jauh dari dusun, setelah tidak ada lagi pengunjung, kuil itu sunyi sepi. juga para to-kouw sudah menutup pintu depan yang tebal, karena mereka akan mengaso dan tidur.


Tengah malam tiba, suasana semakin sepi. Pemuda yang duduk bersamadhi itu merasakan kesepian ini dan hawa dingin malam terang bulan itu menerobos masuk dari celah-celah atap. menerpanya dengan lembut, membuat dia agak gemetar kedinginan.


Dalam kamar itu ada penerangannya, sebatang lilin yang bernyala cukup terang. Tak lama kemudian, api lilin itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin. 


Padahal, tidak ada angin dalam kamar itu, kemudian tampak sesosok bayangan putih berputar-putar di dalam kamar itu, membuat api lilin semakin bergoyang-goyang. 

Pemuda itu memberanikan hatinya yang berdebar ketakutan untuk membuka matanya dan... dia melihat seorang gadis yang cantik jelita, bermata seperti sepasang bintang, mengenakan pakaian sutera putih yang tipis dan tembus pandang, bergerak seperti menari-nari di dalam kamar itu, membuat api lilin bergoyang dan tercium olehnya bau yang harum sekali.

Tentu saja dia tidak ragu lagi. Inilah sang Dewi seribu Berkah. Benar-benar muncul dalam kamarnya. Bagaimanapun juga , dia menjadi takut dan cepat dia menjatuhkan dirinya berlutut di atas pembaringan itu dan memberi hormat kepada sang Dewi.


Selubung kain sutera tipis yang lebar itu menyapu wajahnya dan terdengar sang Dewi yang kini berdiri di dekat pembaringan berkata dengan suara halus merdu seperti bernyanyi, "Kwa Tek Ki, jangan takut. 


Kalau engkau hendak mengetahui jodoh mu, mari ikut aku"
Pemuda itu semakin yakin bahwa wanita cantik jelita itu pasti sang Dewi. 


Demikian saktinya Dewi itu sehingga sudah mengenal namanya. Dia lupa bahwa tadi sebelum memasuki kamar, dia harus mendaftarkan nama dan alamatnya di buku tamu. setelah mendengar ucapan sang Dewi, Kwa Tek Ki lalu turun dari pembaringan dan mengikuti dewi itu keluar dari kamarnya, terus berjalan menuju ke belakang. Ke mana pun dewi itu akan membawanya, dia akan ikut.

Mereka tiba di bawah menara yang terletak di belakang kuil. Empat orang wanita berpakaian putih yang memakai cadar putih berdiri seperti patung menjaga menara itu. 


Ketika sang Dewi lewat, mereka membungkuk memberi hormat. Sang Dewi menggapai dan pemuda itu mengikutinya memasuki pintu gerbang dan terus mengikuti masuk pintu depan menara itu.

Sementara itu, Lee Cin yang membayangi mereka mendekam di balik semak-semak. Ia sejak tadi telah datang ke tempat itu dan meloncat naik ke atas kuil untuk melakukan penyelidikan. 


Tampaknya tenang-tenang saja tidak ada yang mencurigakan sehingga setelah tengah malam, Lee Cin bermaksud untuk meninggalkan tempat itu. 

Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau harum dan tampak olehnya sesosok bayangan putih berkelebat cepat di bawah kuil. 

Bayangan itu datang dari arah menara dan kini memasuki kuil bagian belakang di mana terdapat banyak kamar yang disediakan untuk para tamu. Tentu saja ia menjadi curiga sekali, akan tetapi sebelum ia dapat melihat dengan jelas, bayangan putih itu telah lenyap, Gerakan bayangan itu menunjukkan bahwa ia seorang yang memiliki gin-kang istimewa. 

Dengan hati- hati Lee Cin melayang turun dari atas atap dan berindap menghampiri bagian kamar-kamar itu lalu mengintai dari balik sebatang pohon yang tumbuh di situ.

Tidak lama ia mengintai karena tiba-tiba pintu sebuah kamar terbuka dan muncullah seorang wanita yang cantik sekali, mengenakan jubah sutera putih yang tipis dan rambut kepalanya yang hitam lebat digelung ke atas itu berhiaskan sebuah tiara yang indah. 


Wanita itu melangkah dengan ringan dan di belakangnya, seperti seekor domba yang ditarik kepenjagalan, berjalan pemuda tampan yang tadi siang minta ramalan tentang jodohnya. Mereka berjalan secara wajar, pemuda itu jelas tidak dipaksa dan mereka berdua berjalan tanpa bercakap-cakap. 

Lee Cin menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia lalu membayangi dengan hati- hati karena ia dapat menduga bahwa wanita berpakaian putih itu lihai sekali. sebelum mengetahui dengan jelas persoalannya, tentu saja ia tidak dapat turun tangan.

Ketika mereka menghampiri menara, Lee Cin mendekam di balik semak-semak dan melihat betapa empat orang gadis bercadar dan berpakaian serba putih memberi hormat kepada wanita bertiara yang cantik jelita itu dan wanita itu terus memasuki pintu menara diikuti oleh si pemuda. Lee cin tidak dapat berbuat sesuatu karena tidak melihat ada kejahatan dilakukan orang di situ. 


Setelah mereka lenyap di balik pintu yang tertutup kembali, Lee Cin melihat ke sekeliling menara itu. Menara itu, bagian bawahnya berpintu dua, depan dan belakang dan disetiap pintu terjaga oleh empat orang wanita bercadar berpakaian putih.

"Aku harus dapat memasuki menara itu untuk melihat apa yang berada di dalamnya," pikir Lee Cin. Tidak ada jalan masuk kecuali dua pintu yang terjaga itu. 


Kalau ia menerjang masuk. tentu akan timbul geger dan ia akan menjadi pihak yang bersalah memasuki tempat orang dengan paksa, apalagi kalau ternyata tidak ada kejahatan apa pun terjadi di tempat itu. Ia harus dapat masuk secara diam-diam dan memeriksa dalam menara.

Kemudian ia menyelinap dan tak lama kemudian tiba di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di dekat menara. Ia meloncat ke atas pohon dan dari situ ia dapat meloncat ke tingkat dua yang dilingkari beranda yang lebarnya sekitar dua meter. 


Dengan ringan ia melompat dari pohon itu ke beranda tingkat dua. Ia bergerak dengan hati- hati sekali agar jangan sampai menimbulkan suara. 

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bunyi kerincingan di sebelah dalam menara. Ia tidak tahu bahwa di lantai beranda tingkat dua itu dipasangi tali kecil dan kalau tersangkut sesuatu tali itu akan menarik bunyi kerincingan yang akan memberitahu penghuni menara bahwa ada orang di luar, di beranda tingkat dua. 

Pintu-pintu tingkat dua segera terbuka dan bermunculan delapan orang yang memakai cadar sesuai dengan warna pakaiannya, yang berpakaian putih cadarnya putih, demikian pula yang berpakaian hijau cadarnya hijau. 

Mereka mengepung Lee Cin dan menyerangnya. Karena beranda itu sempit, Lee Cin kurang leluasa dan karena ia ingin mengetahui bagian dalam menara, ia menerobos memasuki pintu yang terbuka sambil memutar pedang Ang-coa-kiam yang telah ia cabut dari punggungnya. 

Putaran pedang Ang-coa-kiam membuat pedang para pengeroyoknya terpental dan di lain saat ia telah berada dalam ruangan tingkat dua menara itu. 

Ternyata tingkat dua itu dipergunakan sebagai semacam tempat pertemuan karena di situ tidak ada kamar-kamarnya, melainkan sebuah ruangan yang luas, seluas ukuran menara itu.

Dan ia telah mendapatkan dirinya terkepung oleh sedikitnya dua puluh orang wanita yang semuanya bercadar. 


Mereka itu mengenakan pakaian yang berbeda. Ada yang putih, ada yang merah, dan ada yang hijau. Agaknya warna pakaian dan cadar ini menunjukkan tingkat mereka. 

Akan tetapi, mereka tidak lagi menyerangnya, hanya mengepung dan tak lama kemudian, kepungan terbuka dan masuklah seorang wanita yang membuat Lee Cin tertegun dan kagum.

Dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan, wanita ini melenggang ke dalam kepungan. 


Rambutnya hitam panjang dan mengenakan tiara dari batu permata yang gemertapan. Pakaiannya jubah panjang sutera putih yang tembus pandang sehingga memperlihatkan bentuk tubuh yang ramping dan dengan lekuk lengkung yang sempurna. 

Wajah itu pun cantik sekali, terutama matanya yang seperti bintang dan mulutnya yang setengah terbuka penuh gairah. sambil melenggang menghampiri, wanita itu pun mengamati wajah Lee Cin dengan penuh perhatian, lalu terdengar suaranya yang merdu dan lantang, 

"siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke tempat kami seperti seorang pencuri?"

Lee Cin tersenyum mengejek. sedikit pun tidak merasa jerih. Ia memandang ke sekeliling, kepada anak buah yang bercadar lalu bertanya, "Tempat apakah ini" Di luarnya kuil dan para to-kouw, akan tetapi disebelah dalamnya wanita- wanita berpakaian tipis dan bercadar. 


Apakah kalian ini pada to-kouw yang siang hari bertugas di kuil tadi?"
"orang lancang, apa urusanmu dengan kami" Di waktu melayani para tamu kami memang para to-kouw di kuil Thian-hok-si ini, akan tetapi setelah tidak melayani tamu dan berada di rumah sendiri, apa pun yang kami lakukan, pakaian apa pun yang kami pakai, tidak ada hubungannya dengan kamu"


"Hemm, pantas saja jawaban ciamsi itu menyuruh aku menghentikan penyelidikan. Kiranya kalian para to-kouw palsu, menyembunyikan sesuatu di menara ini. Apakah hubungan kalian dengan iblis Cantik?"


Ia menatap tajam wanita cantik di depannya itu dan melihat mulut wanita itu tersenyum. Manis sekali senyumnya akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan.


"Tangkap bocah ini dan sekap ia di lantai tingkat lima"
Wanita itu memberikan perintahnya dan para anak buahnya lalu maju mengeroyok. Karena perintahnya adalah untuk menangkap. mereka sudah menyimpan pedang masing-masing dan menggunakan tangan untuk membekuk Lee Cin. 


Gadis ini pun tidak ingin membunuh orang tanpa jelas kesalahan mereka, maka iapun menyimpan pedangnya dan melawan dengan tangan kosong. Ia melompat ke atas dan ketika turun, kaki tangannya menyambar dan empat orang pengeroyok sudah terpelanting Lalu Lee Cin mengamuk. 

Ia tidak menggunakan pukulan beracun, juga tidak menggunakan It-yang-ci, hanya menggunakan kecepatan gerakannya untuk merobohkan para pengeroyok. Dalam waktu singkat saja, delapan orang pengeroyok sudah berpelantingan.

"Tahan" bentak wanita cantik itu. Anak buahnya menghentikan gerakan dan tetap mengepung tempat itu. Wanita itu menghadapi Lee Cin dan kembali mengamati Lee Cin dari kepala sampai ke kaki.


"Hemm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian, ya" Coba kau lawan aku, ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu" setelah berkata demikian, tanpa peringatan lebih dulu tangan kanannya menyerang ke arah muka Lee cin. Tamparan ini mendatangkan angin mengiuk.


"Wuuutt" begitu Lee cin mengelak dengan miringkan mukanya, tangan kiri wanita itu menyambar ke depan, menotok ke arah dadanya. Lee cin kembali mengelak dan kini ia pun membalas dengan pukulan yang tidak kalah ampuhnya. 


Terjadilah pertandingan yang hebat, pukul memukul, tangkis menangkis. Lee cin mendapat kenyataan betapa kuatnya sinkang wanita itu, dan juga gerakannya amat cepat. Namun ia mampu mengimbanginya dan mereka bertanding sampai tiga puluh jurus.

Tiba-tiba wanita itu mengebutkan ujung lengan jubahnya yang tipis dan tampak asap kemerahan mengepul dan menyambar ke muka Lee cin. Lee cin tahu bahwa asap kemerahan itu mengandung racun, akan tetapi asap itu sudah menyambar ke mukanya dan ia pun roboh pingsan.


Tentu saja sebetulnya Lee cin tidak pingsan. Dara perkasa ini adalah puteri dan murid Ang-tok Mo-li seorang datuk yang selain tinggi ilmunya, juga ahli dalam soal racun, terutama racun merah. 


Maka melihat asap racun kemerahan tadi ia sengaja tidak menyingkir dan pura-pura roboh pingsan. Ia maklum betapa akan sukarnya memasuki menara ini, maka ia berpura-pura pingsan agar dapat disekap dalam tingkat ke lima di mana ia akan dapat menyelidiki keadaan menara ini.
Wanita cantik itu lalu membungkuk dan menanggalkan pedang Ang-coa-kiam dari punggung Lee cin dan berkata kepada anak buahnya, "Bawa ia ke kamar tahanan tingkat lima. 

Hati-hati, ia harus di jaga ketat. Setelah dikunci, tingkat lima harus selalu diawasi penjaga. Ilmu silatnya tinggi, ia dapat merepotkan kita"

"Kalau ia berbahaya dan merepotkan, kenapa tidak dibunuh saja, Niocu?" kata seorang diantara para anak buah yang bercadar merah.


"sayang kalau dibunuh. Ilmu silatnya tinggi, kalau kita dapat membujuknya, ia akan menjadi seorang pembantu yang lebih baik dari kalian semua."


Anak buah gerombolan wanita aneh itu lalu mengangkat tubuh Lee Cin yang lemas naik tangga. Lee Cin diam-diam memperhatikan. Tingkat tiga dan empat juga merupakan ruangan tanpa kamar, terisi penuh prabot dan alat sembahyang, alat dapur dan lain-lain. 


Agaknya kedua tingkat ini berfungsi sebagai gudang. setelah tiba di tingkat lima, di situ terdapat kamar- kamar, tidak kurang dari sepuluh kamar sekeliling tingkat itu. Ia lalu dimasukkan ke dalam salah satu kamar ini. Kamar ini memiliki pintu besi yang tebal yang bagian atasnya merupakan terali yang kuat. 

Empat orang anak buah gerombolan wanita itu merebahkan dirinya di atas lantai kamar, lalu mereka meninggalkannya di dalam kamar itu dan menguncikan pintu kamar dari luar.

Kamar itu mendapat cahaya penerangan dari luar yang menerobos masuk melalui besi di atas pintu. Lee Cin membuka matanya. Tidak nampak seorang pun penjaga. 


Tentu para penjaga itu menjaga di luar pintu dan merasa aman karena pintunya sudah dikunci dari luar. Lee Cin memeriksa keadaan kamar. 

Terbuat dari tembok tebal di tiga penjuru dan pintu itu memang kokoh sekali. sayang bahwa Ang-coa-kiamnya dirampas oleh wanita cantik itu. Kalau tidak. dengan Ang-coa-kiam tentu ia akan dapat memotong jeruji besi itu dan dapat bebas.

Lee Cin bangkit berdiri dan memeriksa daun pintu. Daun pintu itu terbuat dari besi tebal. Bagian atasnya, setinggi dada, merupakan jeruji besi yang sebesar lengan orang, tentu amat sukar untuk dipatahkan, kecuali dengan pedang pusaka yang ampuh. 


Induk kunci yang besar dipasang di luar, dekat jeruji besi sehingga kalau ia mengeluarkan tangannya melalui celah-celah jeruji, jari-jarinya dapat mencapai induk kunci. 

Akan tetapi apa gunanya. Induk kunci itu kuat kokoh sekali, tak mungkin dipatahkan begitu saja dan kuncinya tentu dipegang oleh para penjaga. Ia benar-benar tidak berdaya, Ia harus bertindak cerdik, mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri dan menyelidiki keadaan di kamar- kamar sebelah atau bagian lain dari menara itu. 

Akan tetapi percuma saja untuk coba membujuk para penjaga di luar. Mereka semua itu kelihatan taat sekali kepada pemimpin mereka yang ia duga tentulah si iblis Cantik seperti yang dikatakan oleh pemuda yang hampir mati itu dalam saat terakhirnya dan juga oleh laki-laki gagah pemegang golok yang terluka oleh telapak tangan hitam. 

Akan tetapi ia harus memperoleh bukti lebih dulu sebelum bertindak. Ia sudah berkorban, membiarkan dirinya ditangkap dan pedang pusakanya dirampas. Kalau hasil pengorbanan itu hanya menjadikan dirinya disekap tak berdaya, maka sia-sialah pengorbanan itu Ia harus mencari akal.

Ia teringat akan ucapan , si iblis cantik yang menghendaki agar ia dapat menjadi pembantunya. Itu berarti bahwa pemimpin gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Ia melihat ke atas. 


Di langit-langit tengah kamar itu terdapat sebuah paku besar yang tadinya mungkin dipasang untuk menggantung lampu penerangan. Akan tetapi sekarang penerangannya mendapatkan dari luar, cahaya lampu yang menerobos masuk melalui jeruji.
Ia berpikir sejenak lalu tersenyum.


Tiga orang penjaga di luar kamar tahanan itu saling bercakap dengan suara berbisik-bisik, "Gadis itu berbahaya sekali."


"Ya, ilmu silatnya tinggi."
"Akan tetapi Niocu tidak menghendaki ia dibunuh."
"Memang kalau ia dapat menjadi pembantu, tentu kedudukannya lebih tinggi dari kita semua."


"Akan tetapi bagaimana dapat membujuknya?"


"Aih, jangan khawatir. Niocu tentu akan dapat membuatkan obat yang membikin ia menjadi seekor harimau yang jinak dan penurut."


"Benar, buktinya para pemuda itu semua menjadi jinak penurut dan melakukan apa saja yang dikehendaki Niocu atau kita, hi-hik,"


"Akan tetapi pemuda baju biru itu sungguh keras hati, tidak pernah mau tunduk."


"Dia sudah dirantai di ruangan bawah, kalau sampai besok tidak mau menyerah, mungkin akan disiksa sampai mati. sayang, pemuda itu seperti seekor kuda yang jantan dan kuat, kalau dibunuh begitu saja."


Tiba-tiba terdengar suara seperti orang mendengkur dari kamar tahanan. Tiga orang wanita itu terkejut, menengok lalu menghampiri pintu tahanan di mana Lee Cin ditahan. 


Ketika mereka menjenguk ke dalam mereka terkejut bukan main melihat gadis yang ditahan itu telah menggantung diri dengan sabuk suteranya yang dikaitkan pada paku besar di langit-langit.

"Celaka... ia membunuh diri"
"Cepat buka pintunya, ia belum mati"
"Kalau ia mati, kita akan dihukum"


Mereka lalu membuka daun pintu itu dan cepat menghampiri tengah kamar di mana Lee Cin menggantung diri, mengeluarkan suara seperti orang tercekik lehernya. Tiga orang penjaga itu lalu menolongnya, seorang naik dengan bantuan temannya dan melepaskan ikatan sabuk sutera itu, lalu beramai menurunkan tubuh Lee Cin ke atas lantai. 


Akan tetapi pada saat itu, Lee Cin bergerak cepat sekali dan tiga orang itu roboh terkulai, tertotok dan membuat mereka tidak mampu bergerak atau bersuara lagi. 

Totokan it-yang-ci itu memang ampuh sekali. Dalam waktu sejam wanita- wanita itu akan tidak berdaya sama sekali. Lee Cin cepat keluar dari pintu, memasang lagi induk kunci dan menjenguk ke kamar- kamar yang lain.

Hanya ada tiga kamar yang terisi dan isinya sama, yaitu seorang pemuda yang tampak loyo dan lemas, berwajah tampan akan tetapi pucat sekali. 

Lee Cin memakai induk kunci ketiga kamar itu sehingga para pemuda itu akan dapat lolos dari kamar tahanan kalau dikehendaki, lalu ia menuruni tangga menuju ke tingkat bawah. Ia ingin membebaskan pemuda yang keras hati dan tidak sudi takluk kepada si iblis Cantik.

Sampai di lantai bawah, ia tidak menemui halangan, dan untung ia membawa serangkai anak kunci yang ternyata dapat digunakan untuk membuka semua kamar tahanan di menara itu. 


Berbeda dengan kamar di mana ia disekap tadi, kamar tingkat bawah di mana pemuda itu disekap dipasangi lampu yang digantung di langit-langit. Ia menjenguk ke dalam kamar itu, satu-satunya kamar di lantai bawah yang ada orangnya dan melihat pemuda dengan pakaian yang compang-camping terikat dengan rantai baja dan kedua tangan itu direntangkan dan dibelenggu pada besi yang ditanam ditembok. 

Pemuda itu kelihatan lemas dan kepalanya ditundukkan, pada kulit badannya tampak balur-balur merah, tanda bahwa dia telah disiksa dengan lecutan-lecutan. Tubuh pemuda itu memang kokoh kuat, akan tetapi mukanya tidak dapat dilihat jelas oleh Lee Cin karena dia menunduk sehingga kelihatan gelap, tidak menerima cahaya dari lampu di atas kepalanya.

Lee Cin membuka induk kunci dan pintu itu dibukanya. Ia cepat menghampiri pemuda itu untuk melihat keadaan orang. pada saat itu, si Pemuda mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara penuh geram, 


"Iblis Cantik, jangan harap aku akan tunduk kepadamu dan menuruti nafsu iblismu. Perempuan tak bermalu, kalau hendak bunuh, bunuhlah karena kalau aku sampai terbebas dari sini, aku pasti akan menghancurkan kepalamu yang isinya kotor dan najis itu"

Wajah itu tampan dan karena ia sedang marah, matanya mencorong dan hidungnya kembang kempis sehingga tampak bengis. Melihat wajah itu Lee Cin terbelalak. kemudian bertanya lirih.


"suheng... Thio Hui san-...?"
Pemuda itu membelalakkan kedua matanya yang agak bengkak bekas pukulan dan wajahnya berseri ketika dia mengenal Lee cin. 


"Aih, engkau sumoi Lee cin. Bagus, engkau datang menolongku"
"Tenang, suheng. Akan kucoba membebaskanmu dari borgol- borgol itu" 


Lee Cin meraba-raba kedua borgol yang mengikat, kedua pergelangan tangan yang terpentang itu. Borgol yang kokoh sehingga akan sukar dipatahkan. 

Kembali Lee Cin merasa menyesal mengapa. ia kehilangan pedangnya. Kalau ada Ang-coa-kiam ditangannya, tidak akan sukar mematahkan belenggu itu.

"Akan kucoba untuk mencabut saja borgol ini dari tembok" kata Lee Cin yang segera menangkap borgol yang membelenggu pergelangan tangan kanan pemuda itu.


"Sekarang, kerahkan seluruh tenagamu, suheng, akan kubantu. Hayo, tarik... satu, dua, tiga...." Mereka mengerahkan tenaga dan "broll" rantai itu terlepas dari dinding.


"Kita cabut yang sebelah lagi," kata Lee Cin dan mereka berdua pun berhasil menjebolkan rantai kedua dari tembok. Kini bebaslah pemuda itu walau rantai masih bergantung di kedua pergelangan tangannya. 


Mereka lalu duduk bersila untuk menghimpun tenaga sakti.
"Suheng, bagaimana engkau dapat berada di sini?" tanya Lee Cin sambil memandang wajah yang babak belur itu.


Pemuda itu adalah Thio Hui san, berusia dua puluh lima tahun, bertubuh jangkung tegap dan wajahnya tampan gagah. Dia adalah seorang pendekar muda dari siauw-lim-pai, murid In Kong Taisu. 


Bagaimana Lee Cin menyebut murid siauw-lim-pai ini sebagai suheng (kakak seperguruan). sebetulnya agak berlebihan karena Lee Cin hanya menerima pelajaran It-yang-ci saja dari In Kong Taisu. Biarpun hanya menerima ilmu It-yang-ci, namun Lee Cin menganggap In Kong Taisu sebagai gurunya, maka ia menyebut Thio Hui san sebagai suhengnya.

Hui San lalu menceritakan dengan singkat. Pemuda murid siauw-lim-pai ini secara kebetulan saja dalam perantauannya lewat di bukit itu dan dia mendengar dari sebuah dusun bahwa sudah ada tiga orang pemuda dusun itu lenyap dan tidak pernah pulang kembali setelah berkunjung ke kuil Thian- hok-si di dekat puncak bukit. 


Dia menjadi penasaran dan segera melakukan penyelidikan ke kuil itu. seperti juga dengan Lee cin, dia tertarik dan merasa curiga terhadap menara di belakang kuil. Malamnya dia lalu melakukan penyelidikan ke kuil itu.

"Aku berhasil masuk ke menara ini dan melihat lima orang pemuda disekap di lantai empat. Ketika aku sedang mencari akal untuk membebaskan mereka, tiba-tiba terdengar bunyi kerincingan dan aku sudah dikepung oleh banyak wanita bercadar. Kami segera berkelahi dan aku tentu dapat merobohkan mereka semua kalau tidak muncul seorang wanita cantik seperti iblis."


"Si Iblis Cantik" kata Lee cin-
"Benar, ia patut disebut Iblis Cantik. Wajahnya memang cantik akan tetapi wataknya seperti iblis. Ia lah yang menculik dan menyekap para pemuda itu. 


Pemuda yang menurut kemauannya akhirnya akan mati juga karena setiap hari diloloh obat perangsang yang amat kuat dan harus melayani banyak wanita. Pemuda yang menolak akan disiksa, ada juga dipaksa. 

Iblis itu ternyata lihai sekali. Ilmu silatnya mungkin tidak terlalu lihai dan aku dapat menandinginya, akan tetapi ia memiliki bahan peledak yang beracun. Ia meledakkan sesuatu yang menimbulkan asap merah dan aku tidak ingat apa-apa lagi."

"Hemm, obat pembius merah," kata Lee Cin.
"Ketika sadar, aku sudah berada di sebuah kamar......


DEWI ULAR JILID 03


terbelenggu dan iblis itu merayuku. 

Akan tetapi aku tidak sudi dan memakinya. Berulang kali mereka memaksa aku minum obat perangsang, akan tetapi betapapun tersiksanya perasaanku, aku tetap menolaknya. 

Akhirnya aku dibawa ke sini dan disiksa dengan kejam oleh Iblis Betina itu."

"Jahanam busuk Kita bunuh iblis itu, suheng, kita basmi gerombolan sesat ini dan bakar kuil dan menaranya" 


Lee Cin berseru marah sambil mengepal kedua tangannya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa merdu disusul ledakan dan tempat itu sudah penuh dengan asap putih yang tebal sehingga Hui san dan Lee Cin tidak dapat melihat apa-apa. Mereka hanya bersiap-siap dan legalah hati Hui san ketika ternyata asap itu tidak mengandung bius. 


Mereka berdua sudah memasang kuda-kuda dan siap menerjang. Ketika asap memudar dan menghilang daun pintu kamar itu sudah tertutup dan terkunci lagi, sedangkan belasan orang anak buah gerombolan dipimpin sendiri oleh si Iblis Cantik yang tertawa-tawa.

"Ha-ha-ha-hi-hik, kalian kira akan dapat lolos dari sini" jangan mimpi orang muda keras kepala, engkau tetap menolak ke hendak kami, sekarang engkau dan gadis ini akan kami jadikan tontonan setelah puas kami menonton, baru kalian akan kami bunuh. 


Hi-hi-hik" Wanita itu lalu pergi dari situ, akan tetapi masih ada wajah para penjaga tampak dari dalam dan kamar tahanan itu terjaga dari luar.
"Apa yang ia maksudkan?" bisik Lee Cin dengan jantung berdebar karena ia merasakan ancaman mengerikan dalam ucapan Iblis Cantik tadi.

"Aku juga tidak tahu apa maksudnya, sumoi. Akan tetapi kita boleh bersiap-siap dan sekali ada kesempatan, kalau pintu itu terbuka seperti tadi kita harus menerjang keluar. sukur kalau kita dapat menangkap Iblis Cantik itu sehingga kita dapat menjadikannya sebagai sandera."


Lee Cin mengangguk. "Kita tunggu sambil menghimpun tenaga, suheng." Keduanya lalu duduk bersila kembali dan bermeditasi.


Malam itu tidak terjadi sesuatu atas diri Lee Cin dan Hui san. Mereka hanya mendengar suara musik suling dan yangkim mengiringkan nyanyian merdu dan kadang terdengar tawa wanita yang genit. 


Mereka dapat menduga bahwa suara yang datang dari atas itu tentu suara Iblis Cantik sedang berpesta pora dan bersenang-senang. Diam-diam mereka bergidik membayangkan betapa banyak pemuda-pemuda yang menjadi korban mereka. 

Lee Cin teringat akan tiga orang pemuda dijurang. Mereka semua dalam keadaan loyo dan pucat. Biarpun tidak mengerti jelas, ia dapat menduga-duga apa yang telah terjadi dengan pemuda-pemuda itu. 

Iblis Betina Cantik itu tiada ubahnya seperti seekor binatang buas penghisap darah. suara pesta itu terdengar sampai pagi.

Pada keesokan harinya, tampak muka dua orang anak buah gerombolan di luar jeruji, memandang ke dalam. Melihat Lee Cin dan Hui san bersila dan sudah membuka mata, seorang dari mereka berseru, "Kami membawakan makanan dan minuman untuk kalian. Jangan bergerak, atau kami tidak akan memberi makanan dan minuman ini agar kalian mati kelaparan."

Seorang dari mereka membuka kunci pintu, lalu membukanya sedikit saja, hanya cukup untuk memasukkan baki tempat makanan dan minuman, meletakkan di dalam kamar lalu menutupkan dan mengunci lagi daun pintunya dengan cepat seperti takut-takut kalau kedua orang itu menerjang pintu.


Setelah mereka pergi, Lee Cin menuju ke pintu dan mengambil baki itu lalu meletakkannya di depan Hui- san
"sumoi, untuk apa makan hidangan mereka" Aku tidak sudi"


"Aih, jangan begitu, suheng. Kalau kita tidak makan, bagaimana kita dapat mengharapkan lolos dari sini" Kita akan kelaparan dan tenaga kita akan menjadi lemah. Jangan bodoh, suheng. Mari makan dan minumlah."


"Hemm, aku tidak percaya kepada mereka yang jahat. Bagaimana kalau makanan dan minuman ini dicampuri racun?"


"Jangan khawatir, aku sudah hafal akan racun- racun- Aku akan mencicipi dulu apakah beracun atau tidak." Lee Cin lalu mencicipi setiap masakan dan minuman, mengecap-kecapnya dengan lidahnya. Ia menggeleng kepala dan berkata, "Tidak mengandung sedikitpun racun yang dapat membunuh kita."


Hui san berpikir bahwa alasan Lee Cin benar. Perutnya sudah lapar karena selama dua hari dua malam dia tidak pernah mau menyentuh makanan yang dihidangkan mereka, dan tubuhnya sudah mulai lemas. 


Mereka lalu makan minum sampai kenyang dan keduanya merasa segar dan kuat sekali.

Tiba-tiba terdengar suara tawa merdu. "Ha-ha-hi-hi-hik Bagus sekali, kalian telah makan minum sepuasnya" Di balik jeruji muncullah wajah si Iblis Cantik. Ketika tertawa-tawa itu, tampak giginya yang putih bersih dan berderet rapi, membuat tawanya tampak manis sekali. 


"Setelah itu, kalian boleh berpengantinan sepuasnya dan kami pun akan mendapat tontonan yang amat memuaskan, hi-hi-hik"
"Perempuan jalang" Hui san menjadi marah dan melempar-lemparkan mangkuk dan cawan, dan sumpitnya ke arah jeruji, akan tetapi wajah cantik itu sudah lenyap dari sana.
Tiba-tiba Hui san memegang kepalanya yang terasa panas. Dia pernah dipaksa minum sesuatu dan dalam keadaan diborgol kaki tangannya, dia tidak dapat menghindar dan setelah minum air yang tidak mempunyai rasa sesuatu itu, dia pun merasa kepalanya panas dan pening, kemudian dia tersiksa oleh rangsangan yang amat hebat. 

Namun Hui-san adalah murid seorang ketua siauw-lim-pai yang bukan hanya mempelajari ilmu silat saja, melainkan juga keagamaan dan ilmu batin. 

Batinnya menjadi kuat dan dia mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk melawan dorongan rangsangan itu. Kini, merasa kepalanya panas, dia terkejut dan tahulah dia bahwa dalam makanan dan minuman itu terkandung racun atau obat yang mendatangkan rangsangan dalam tubuhnya. 

Selama beberapa hari ini, dia selalu digoda Iblis Cantik untuk melayani nafsu rendahnya. Akan tetapi dia dapat bertahan dan menolak dengan keras sehingga akhirnya Iblis Cantik menjadi marah dan dia diborgol dalam kamar itu dan disiksa. 

Kini, kembali dia dipengaruhi racun perangsang itu, dan karena Lee Cin berada di situ, dia pun tahu betapa bahaya mengancamnya.

"Celaka, sumoi... Makanan dan minuman itu mengandung racun perangsang jangan melihat ke sini, kita tidak harus saling melihat" 


Setelah berkata demikian, Hui san duduk bersila membelakangi Lee Cin dan mengerahkan sin-kang dan kekuatan batinnya untuk menolak rangsangan yang mencengkeram perasaannya itu.

Lee Cin mengerutkan alisnya. Memang ada semacam racun atau obat yang menimbulkan rangsangan gairah dan obat semacam ini tidak ada rasanya. 


Karena itu ketika mencium baunya dan menjilatnya, ia tidak merasakan apa-apa. Ia sendiri tidak terpengaruh oleh obat macam itu, karena di tubuhnya sudah terdapat kekebalan terhadap segala racun. 

Ketika ia masih kecil, gurunya atau ibunya sendiri sudah memasukkan hawa beracun dalam tubuhnya yang dapat menolak pengaruh racun atau obat apapun juga.

"Karena selalu menolak keinginan nista dari Iblis cantik walaupun aku keracunan, maka akhirnya ia menyekap aku di sini dan menyiksaku. 


Hati- hati, sumoi dan duduklah bersila untuk melawan bekerjanya racun ini." 

Hui san berkata tanpa menoleh, suaranya terdengar agak gemetar. Hatinya mulai diserang perasaan yang membuatnya panas dingin-serangan itu kini jauh lebih berbahaya baginya daripada yang lalu. 

Kalau tadinya ia menahan gelora rangsangan itu dengan tabah dan menolak bujuk rayu Iblis Cantik karena memang dia merasa tidak suka wanita jahat itu, kini dia terangsang dalam keadaan berada sekamar dengan Lee Cin. 

Padahal, dia mencinta Lee Cin
Dahulu, ketika Lee Cin dilatih It-yang-ci oleh In Kong Taisu, gurunya, dia pernah menyatakan cintanya kepada Lee Cin (baca Kisah Gelang Kemala).

Biarpun Lee Cin menolaknya dengan halus karena gadis itu belum memikirkan tentang cinta, namun cintanya tidak pernah lenyup, Kini, gadis yang dicintanya itu berada dekat dengannya, maka dorongan gairah itu menjadi berlipat ganda kuatnya.

Lee Cin yang sudah mempelajari banyak pengetahuan tentang racun dari ibunya, dapat memaklumi keadaan Hui san. Ia tidak mendekati pemuda itu dan dari sudut kamar itu ia berkata lembut, "Pertahankan, suheng. Ingat, engkau adalah murid suhu In Kong Taisu yang tentu kuat untuk menahan diri dari serangan nafsu apa pun. 


Aku akan berusaha untuk dapat lolos dari tempat ini."
Hui san diam saja, dan tidak menoleh. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara suling melengking-lengking. Dia tahu bahwa Lee Cin meniup suling, akan tetapi tidak mengerti apa maksud gadis itu bermain suling dalam keadaan seperti itu.


Akan tetapi tidak lama kemudian, seekor ular belang hitam putih merayap masuk ke dalam kamar tahanan itu. Ular ini kecil saja, sebesar ibu jari kaki. Binatang itu merayap masuk melalui celah di bawah pintu mendekati Lee Cin dan mengangkat kepalanya dan digoyang-goyangkan- seolah menari mengikuti irama suling yang ditiut gadis itu.

Lee Cin meniup suling dengan lembut, memegangi suling dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya cepat menangkap ular itu Jari-jari tangannya menjepit leher ular itu sehingga ular itu tidak mampu menggerakkan kepalanya lagi. 

Agaknya ia menjadi jinak di tangan Lee Cin.
Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya, mengambil sebuah cawan yang tadi dipakainya minum, kemudian memaksa ular itu membuka mulutnya dan menekan taringnya pada bibir cawan sehingga cairan hitam keluar dari mulut ular itu dan menetes ke dalam cawan. 


Itulah racun ular belang hitam-putih yang memang hendak diambil oleh Lee Cin. setelah merasa cukup, Lee Cin melepasnya. Ular itu, seperti seekor anjing yang jinak. merayap ke sudut itu dan melingkar di sana, tak bergerak lagi akan tetapi matanya tetap ditujukan ke arah Lee cin seperti menanti perintah selanjutnya.
Lee Cin menuang air teh dari poci yang tadi dihidangkan sampai setengah cawan dan mencicipi dengan menjilat jarinya. setelah merasa bahwa ukuran minuman itu cukup ia lalu membawa cawan itu kepada Hui san.

"Sumoi, tolong... jangan mendekat...." kata Hui san yang dapat mendengar gerakan Lee Cin mendekatinya.

"Suheng, aku telah membuatkan obat penawarnya. Minumlah cawan ini sampai habis isinya." Ia menyodorkan cawan itu dari belakang tubuh Hui san.

 Pemuda itu menerima cawan itu dan tanpa ragu sedikitpun segera minum isinya sampai habis. Air teh itu terasa lebih pahit dari biasanya. 

Setelah mengembalikan cawan, dia memejamkan mata, merasakan apa yang terjadi dalam perutnya. Perut itu mengeluarkan suara berkeruyuk seperti kelaparan dan dalam perutnya ada gerakan hawa yang meronta-ronta. 

Hui san menahan rasa muak itu dan bernapas dengan panjang, menghimpun hawa murni. Perlahan-lahan rasa muak itu menghilang dan lenyap juga pening di kepalanya dan dengan girang dia mendapat kenyataan betapa rangsangan gelora nafsu itu juga sudah lenyap sama sekali.

Dengan hati lega dan girang dia membalikkan tubuhnya menghadapi Lee Cin yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. 


Melihat wajah pemuda itu yang tadinya kemerahan seperti orang kepanasan kini sudah normal kembali, ia bertanya, "Bagaimana sekarang suheng" sudah membaikkah?"

"Ah, terima kasih, sumoi. sudah sembuh sama sekali." Dan ia terkejut melihat ular kecil melingkar di sudut ruangan itu.


"Racun ular itu penawar segala macam racun, Suheng. Yang kau minum tadi adalah racun ular belang hitam-putih dan air teh."


Mendengar ini, Hui san mengangguk-angguk. "Pantas engkau tidak sampai keracunan biarpun juga makan minum seperti aku, sumoi. Kiranya pengetahuanmu tentang racun amat mendalam."


"Akan tetapi, kalau ular belang hitam putih itu menggigit orang, racunnya akan segera mendatangkan kematian.


Biar kuusahakan pembebasan kita, suheng. Engkau pura-pura menggeletak pingsan, dan aku yang akan menarik perhatian penjaga."

Biarpun belum mengetahui dengan jelas, Hui san dapat menduga bahwa gadis cerdik itu akan bersandiwara agar pintunya dibuka, maka dia mengangguk lalu merebahkan diri miring menghadap dinding membelakangi pintu.

"Jangan miring, biar telentang saja, suheng dan kau kerahkan tenaga dalam untuk membuat wajahmu tampak pucat..."


Hui sian menurut dan dia menelentangkan tubuhnya dan mengerahkan sinkang untuk menahan jalan darah yang menuju ke mukanya sehingga mukanya itu tampak pucat sekali.


"suheng.... aduh, tolong. Tolonggg...." Lee Cin menangis dan menjerit-jerit setelah ia tadi menyembunyikan ular belang hitam putih di bawah bajunya.

Dua kepala segera tampak di luar jeruji. "Ada apa?" tanya seorang di antara mereka ketika melihat Lee Cin menangis dan mengguncang-guncang tubuh Hui san.

"Suheng.... Aduh.... perutku. perutku sakit...." Dan Lee Cin juga terkulai dan roboh menimpa tubuh Hui san, lalu berkelojotan seperti orang sekarat.

Melihat ini, dua orang penjaga itu menjadi khawatir. Kalau dua orang tawanan itu mati, tentu mereka akan dipersalahkan oleh Niocu yang berwatak keras. 

Melihat wajah pemuda itu pucat dan wajah Lee Cin juga pucat dan kerut merut menahan nyeri yang hebat, dua orang penjaga itu terkecoh. 

Mereka tahu bahwa makanan dan minuman untuk dua orang ini diberi racun perangsang dan mereka mengira bahwa mereka agaknya tidak kuat menahan bekerjanya racun itu sehingga menderita nyeri hebat. 

Karena gugup dan khawatir kalau- kalau dua orang tawanan itu mati, dua orang penjaga bergegas membuka pintu kamar tahanan dengan anak kunci yang mereka bawa, lalu menghampiri Hui San yang kelihatan pingsan dan Lee Cin yang mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. 

Akan tetapi baru saja mereka menekuk lutut hendak memeriksa, dengan kecepatan kilat Lee Cin dan Hui san menyerang mereka dengan totokan It-yang-ci. Tanpa dapat mengeluarkan suara kedua orang penjaga itu roboh tak sadarkan diri.

"Kita cepat keluar dari sini," bisik Hui san.
"Nanti dulu, kalau penjagaan amat ketat, akan sukarlah bagi kita untuk dapat meloloskan diri dari sini. 


Sebaiknya kupanggil dulu para pembantuku."

"Pembantu?" Lee Cin mengeluarkan ular belang hitam putih dari balik jubahnya dan berkata, "Pembantu-pembantu seperti ini" Lalu ia mengeluarkan sulingnya dan meniupnya. 


Terdengar bunyi melengking lengking yang lembut namun nada suara tinggi melengking-lengking itu dapat menembus sampai ke mana-mana.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan dari luar pintu kamar tahanan yang sudah terbuka itu, "Ular, ular...."

"Wah, ular banyak sekali. Haiiih, menggelikan dan mengerikan"
"Semua memasuki menara. Cepat usir"


"Hiiih, akujijik...." Suara gaduh itu diselingi suara mendesis-desis dan segera tercium bau amis dan aneh. 


Banyak sekali ular besar kecil agaknya terpanggil oleh tiupan suling Lee Cin dan puluhan, bahkan ratusan ekor ular itu menerobos pintu memasuki lantai dasar menara itu, lalu masuk ke dalam kamar di mana Lee Cin meniup sulingnya. Melihat sedemikian banyaknya ular besar kecil, Hui san sendiri merasa ngeri. 

Akan tetapi Lee Cin dengan tenang saja meniup sulingnya dan semua ular yang sudah memenuhi ruangan itu mengangkat kepala seperti menari-nari.

Tiba-tiba dari luar mendatangi banyak wanita bercadar mengiringkan sang Iblis Cantik Iblis Cantik itu nampak marah sekali. 


"Pintu kamar tahanan itu sudah terbuka. Jahanam, siapa yang berani lancang membukanya?" Akan tetapi ia segera melihat dua orang anak buahnya menggeletak di lantai kamar itu dalam keadaan pingsan, dan ia pun melihat banyak sekali ular di kamar itu, mengangkat kepala seperti menari-nari mengikuti irama lagu dari suling yang ditiup Lee Cin.
"Kalian semua maju. Bunuh dua orang itu" bentak Iblis Cantik yang menganggap dua orang itu berbahaya karena telah mengetahui rahasianya.
Akan tetapi semua anak buahnya adalah wanita, dan tidak anehlah kalau mereka merasa ngeri dan jijik melihat ular demikian banyaknya, ada yang besar ada yang kecil beraneka warna dan menggeliat-geliat menyeramkan. 

Iblis Cantik sendiri, biarpun ia seorang yang pemberani dan berhati kejam, tidak takut terhadap siapa pun, merasa ngeri melihat Ular demikian banyaknya. 

Lee Cin melihat bahwa pedang Ang-coa-kiamnya berada di tangan wanita cantik itu, maka hatinya menjadi panas.

"Mari  kita keluar dari sini, Suheng," katanya, menghentikan tiupan sulingnya. Kemudlan la meniup lagi sulingnya, sekali ini dengan lagu yang keras dan terdengar seperti penuh kemarahan.


Ular-ular itu segera membalik dan seperti hendak menyerang kepada semua wanita yang berada di luar kamar itu. Melihat ini, Iblis cantik sendiri yang berada paling depan, segera bergerak mundur dengan muka berubah pucat.

Hui San dan Lee Cin melangkah keluar dan berada di belakang barisan ular seolah menggiring mereka yang mengejar para wanita bercadar dan pemimpin mereka.

"Pergunakan api" tiba-tiba iblis cantik berseru kepada anak buahnya. Beberapa orang anak buahnya menyalakan obor dan menyerang ular-ular itu. 

Tentu saja ular-ular itu menjadi kalang-kabut, saling terjang dan ketakutan melihat api yang panas. Melihat ini, Lee Cin memberi isyarat kepada Hui San dan mereka menerjang maju. 

Lee Cin menggunakan sulingnya dan Hui San menggunakan kaki tangannya untuk mengamuk. 

Amukan kedua orang membuat para wanita bercadar itu terdesak mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lee Cin dan Hui San untuk melompat keluar.

"Iblis busuk. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih kuat" teriak Lee Cin dan ia pun menerjang dengan hebatnya kepada iblis cantik yang segera memutar pedang rampasannya untuk menyambut terjangan Lee Cin itu. 

Lee Cin menggunakan sulingnya untuk menangkis dan balas menyerang. Biarpun hanya sebatang suling, akan tetapi suling di tangan Lee Cin adalah suling terbuat dari baja dan memang dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh. 

Dua orang wanita yang sama cantiknya itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Ular-ular yang ketakutan menghadapi api dan yang kini tidak terkendali oleh suara suling, melarikan diri cerai berai ke segala penjuru.

Sementara itu, Hui san mengamuk dengan kaki tangannya, dikeroyok belasan orang wanita bercadar. 


Pendekar Siauw-lim-pai ini biarpun bertangan kosong, membuat para pengeroyoknya kocar-kacir dan mereka yang terkena tamparan atau tendangannya berpelantingan.
Perkelahian itu terjadi di luar menara dan karena matahari telah naik cukup tinggi dan kuil itu mulai dipenuhi pengunjung, maka tentu saja suara perkelahian itu terdengar sampai ke kuil. 

Para pengunjung kuil sejak tadi terheran-heran mengapa tidak ada seorang to-kouw yang menyambut dan melayani mereka. Mereka tadinya hanya menunggu munculnya para to-kouw. 

Kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dari belakang kuil, maka mereka lalu memasuki kuil dan keluar daripintu belakang. Mereka terheran-heran ketika melihat seorang gadis dan seorang pemuda dikeroyok banyak wanita bercadar. 

Yang amat menarik hati mereka adalah ketika mereka melihat iblis Cantik. Wanita itu mirip sekali dengan Dewi seribu Berkah yang mereka puja-puja di kuil itu Karena tidak tahu urusannya dan tidak mengenal mereka yang berkelahi, orang-orang itu tidak berani mencampuri, hanya menonton dari jarak jauh.
Hui San mengamuk dan para pengeroyoknya yang belasan orang jumlahnya itu kocar-kacir. Biarpun mereka semua memegang pedang, tidak pernah sekalipun tubuh pemuda itu terkena senjata para pengeroyoknya, bahkan beberapa orang kehilangan pedang yang terlempar karena tamparan atau tendangan kaki pemuda itu. 

Para pengeroyok mulai menjadi jerih melihat sepak terjang Hui san dan mereka mulai mundur menjauhkan diri.

Sementara itu, iblis Cantik yang melawan Lee Cin juga sudah kewalahan menghadapi permainan suling di tangan gadis itu. Lee Cin memainkan Ang-coa Kiam-sut dengan sulingnya dan tangan kirinya kadang menyelingi sambaran sulingnya dengan ilmu totok It-yang-ci yang ampuh. 


Iblis Cantik itu hanya mampu menangkis dan mengelak saja, main mundur dan didesak terus oleh Lee Cin.

Pada suatu saat, tangan kiri Lee Cin berhasil menotok mengenai siku kanan iblis Cantik. Seketika lengan itu menjadi lumpuh dan pedang Ang-coa- kiam terlepas dari tangannya. Lee Cin cepat menyambar pedangnya itu dengan tangan kiri lalu menyelipkan suling dipinggangnya.

Iblis Cantik terkejut sekali. Ia melompat ke belakang lalu tangan kirinya bergerak. Beberapa sinar kecil hitam menyambar ke arah Lee Cin. Lee Cin maklum bahwa lawan menyerangnya dengan senjata rahasia, maka ia memutar pedang ular merahnya sehingga semua senjata gelap itu runtuh.


Tiba-tiba si iblis Cantik menggerakkan tangan kirinya lagi dan terdengar ledakan disusul asap hitam tebal. Lee Cin maklum bahwa lawannya hendak melarikan diri dengan lindungan asap tebal. 


Tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan dilemparkannya ke depan- Terdengar jerit mengerikan kemudian sunyi. Anak buah iblis Cantik yang kewalahan melawan Hui san sudah melarikan diri, cerai-berai ke empat penjuru mencari keselamatan.
Lee Cin dan Hui sian mengusir asap tebal dengan pukulan dan dorongan tangan dengan pengerahan sin-kang. setelah asap menipis dan mengudara, tampaklah si iblis Cantik rebah telentang dengan mata mendelik dan kedua tangan di leher. 

Di lehernya yang putih mulus telah melingkar seekor ular belang hitam putih yang tadi dilontarkan oleh Lee Cin. Leher itu telah digigit ular, akan tetapi ular itu pun mati dengan kepala hancur dicengkeram jari tangan iblis Cantik.

Setelah pertempuran terhenti, baru para tamu kuil menghampiri. sibuklah Lee Cin dan Hui san menjelaskan dan menceritakan tentang iblis Cantik dan anak buahnya yang bersarang di menara itu dan menggunakan kuil itu untuk menjadi kedok perbuatan maksiat mereka. 


Tadinya para tamu itu tidak dapat percaya, akan tetapi setelah mereka ikut menyerbu ke menara dan membebaskan beberapa orang pemuda yang menjadi korban gerombolan sesat itu dan mendengar keterangan mereka, baru para tamu itu dapat percaya.

Para pemuda yang menjadi korban itu bercerita betapa mereka ditawan, diberi minum obat perangsang dan selanjutnya mereka harus melayani nafsu jahat si iblis Cantik. 


Kalau si iblis Cantik itu sudah bosan, seorang pemuda diserahkan kepada anak buahnya. Pemuda-pemuda itu tidak mampu menolak atau mencegah. 

Bahkan mereka yang sudah loyo dan kehabisan tenaga, dibuang begitu saja di tengah hutan di bukit itu, dan ada yang dilempar ke dalam jurang.
Mendengar ini, para tamu kuil itu menjadi marah. Mereka merasa telah tertipu oleh para to-kouw yang ternyata adalah wanita-wanita cabul yang amat jahat. 

Bahkan Dewi seribu Berkah yang mereka puja adalah patung dari iblis cantik yang mengepalai gerombolan cabut dan jahat itu. saking marahnya, para penduduk dusun yang merasa tertipu itu lalu membakar kuil dan menara dan melemparkan mayat si iblis Cantik ke dalam kobaran api.
Lee Cin dan Hui san diam-diam meninggalkan para penghuni dusun yang mengamuk itu, menuruni puncak dengan cepat. setelah tiba disebuah lereng yang merupakan lapangan rumput, mereka berhenti untuk beristirahat.


"Berbahaya sekali...." Hui san menghela napas panjang. "Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Mungkin akan disiksa sampai mati. Aku patut berterima kasih kepadamu sumoi."


Pemuda itu memandang Lee Cin sambil tersenyum dan pandang matanya bersukur.


Lee Cin tertawa keciL "Ih, perlukah itu kita saling berterima kasih, suheng" sudah sewajarnya kalau kita saling bantu, bukan" Kalau engkau berterima kasih, aku ingatkan engkau akan peristiwa dua tiga tahun yang lalu. 


Engkau pun menyelamatkan aku dari tangan sijahanam Siangkoan Tek " (baca Kisah Gelang Kemala).
Hui sian tertawa. "Akan tetapi sebaliknya engkau pun menyelamatkan aku ketika aku terluka oleh pukulan datuk Siangkoan Bhok."


"Sudahlah, karena itu tidak perlu kita saling berterima kasih, saling hutang budi. sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya, bukan" Ketika aku ke menara, aku sama sekali tidak mengira bahwa pemuda yang hendak kuselamatkan itu adalah engkau. 


Apalagi engkau, suheng, biarpun orang lain, kalau membutuhkan pertolongan tentu akan kutolong."
"Engkau seorang pendekar wanita yang berbudi mulia, sumoi," kata Hui san sambil menatap wajah gadis itu penuh kagum. Cintanya terhadap Lee Cin yang selama ini terpendam saja, kini tumbuh kembali, akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan hal itu kepada Lee Cin, takut kalau ditolak lagi. 

Penolakan Cinta memang mendatangkan perasaan pedih di hati. Daripada menyatakan Cinta lalu ditolak. lebih baik berdiam diri sehingga hubungan mereka tetap baik.

"Suheng, engkau hendak ke mana dan bagaimana dapat sampai di tempat ini?" tanya Lee Cin.


"Sebetulnya aku diutus oleh susiok (Paman Guru) Hui Sian Hwesio untuk pergi berkunjung keBengcu Souw Tek Bun di Hong-san."


"Ah, mengunjungi Ayah?" Lee Cin bertanya heran
"Ayahmu" Bengcu Souw Tek Bun itu ayahmu?" kini Hui san yang bertanya penuh keheranan. 


Ketika Lee Cin belajar It-yang-ci dari gurunya, In Kong Thaisu, yang dia tahu Lee Cin adalah murid Ang-tok Mo-li Bagaimana kini gadis itu mengaku Souw-bengcu sebagai ayahnya"

Lee Cin menghela napas panjang. Ia sudah terlanjur mengatakan demikian maka ia harus menceritakan hal yang sebenarnya, 


"Ya, dia adalah ayah kandungku. sudah hampir dua tahun aku tinggal bersama ayah kandungku di Hong-san. Akan tetapi engkau hendak ke sana menemui ayahku ada masalah apakah suheng,?" Ia membelokkan percakapan.

"Tentu engkau tahu bahwa kalau ayahmu itu menjadi bengcu, maka Susiok Hui Sian Hwesio dan Locianpwe Im Yang sengcu ketua Kun-lun-pai adalah wakil-wakil Bengcu."


"Aku mengerti. Ayah sudah memberitahu kepadaku. Akan tetapi ada urusan apakah susiok Hui san Hwesio mengutusmu mengunjungi Ayah?"


"Aku tidak tahu jelas, sumoi. Hanya pesan susiok Hui san Hwesio kepadaku agar memberitahukan Souw- bengcu bahwa pada bulan lima akan diadakan pertemuan besar antara para tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan di luar timur sepanjang pantai, di mana banyak tokoh kang-ouw terbujuk oleh bangsa Jepang untuk mengadakan pemberontakan di sana. 


Pertemuan itu akan diadakan di Hong-san dan minta kepada Souw-bengcu untuk bersiap-siap menghadapi pertemuan itu"
Lee Cin mengerutkan alisnya. "Hemm, pertemuan itu tidak bisa diadakan di Hong-san-"


"Kenapa, sumoi?" "Justeru aku hendak menghadap susiok Hui San Hwesio wakil bengcu, untuk menyampaikan pesan Ayah bahwa mulai sekarang Ayah telah mengundurkan diri dari kedudukan sebagai bengcu."


Tentu saja Hui san terkejut mendengar ini dan memandang wajah Lee Cin dengan penuh pertanyaan.


"Kenapa, sumoi?"
Lee Cin sudah siap dengan jawabannya terhadap pertanyaan itu seperti yang ia telah membayangkannya. 


"Ayah berada dalam keadaan tidak sehat setelah berkelahi melawan seseorang, karenanya Ayah tidak lagi dapat bertindak sebagai bengcu. Ayah mengutus aku menemu susiok Hui san Hwesio atau Locianpwe Im Yang sengcu dari Kun-lun-pai sebagai wakil-wakil bengcu agar mereka bertindak mewakilinya. 

Pendeknya, Ayah mengundurkan diri dari kedudukan sebagai bengcu."
"siapa yang telah melukai ayahmu, sumoi?"


Lee Cin menghela napas. "Itulah sukarnya. Ayah tidak mengenalnya siapa, hanya tahu dia seorang laki-laki muda yang memakai kedok hitam. 


Aku sekarang sedang dalam perjalanan mencari pria muda yang berkedok hitam itu. Aku harus membalas apa yang telah dia lakukan kepada Ayah."

"Akan tetapi mengapa" Apakah orang itu musuh ayahmu" Tentu ada sebab-sebabnya."


"Menurut Ayah, orang itu menyalahkan Ayah yang duduk sebagai bengcu, Ayah disebutnya sebagai antek Mancu. Jahanam busuk itu, aku akan memenggal lehernya Berani dia menuduh Ayah sebagai antek Mancu."


Hui sian menghela napas panjang. "Inilah satu di antara persoalan yang akan dibahas dalam rapat para tokoh kang-ouw. 


Kita semua mengetahui bahwa negara dan bangsa kita dijajah oleh orang Mancu, dan karena pemilihan bengcu juga disetujui bahkan didukung pemerintah Kerajaan Mancu, maka tidaklah terlalu aneh kalau ada orang-orang kang-ouw yang menuduh kita sebagai antek Mancu. sekarang ini banyak golongan yang bergerak menentang pemerintah penjajah Mancu."

"Akan tetapi, Ayah bukan antek Mancu. Dan Ayah tidak menggerakkan orang kang-ouw untuk membantu pemerintah Mancu orang menuduh sembarangan, tanpa menyelidiki lebih dulu sudah menyerang Ayah. 


Pendeknya, dari golongan manapun orang yang menyerang Ayah itu, aku pasti dan harus membalasnya. Aku tidak peduli apakah dia itu dari golongan pendekar maupun golongan sesat. Cara dia menyerang Ayah dengan memakai kedok dan menggunakan ilmu pukulan penghancur tulang sudah menunjukkan bahwa dia bukan manusia baik- baik"

Menghadapi gadis yang marah-marah itu Hui san menghela napas. Dia sudah cukup mengenal watak Lee Cin dan justeru kekerasan hati gadis ini yang membuatnya tertarik. 


Dia tahu bahwa betapapun ganas dan galaknya Lee Cin, pada dasarnya ia seorang gadis gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran seperti yang ia gambarkan dengan penuh keberanian. Ia bukan seorang gadis jahat walaupun memang wataknya keras dan liar.

"Aku sendiri tidak dapat menduga siapa orang berkedok itu, sumoi. sebaiknya sekarang kita pergi menghadap susiok Hui sian Hwesio. Kalau beliau sudah tidak berada di Kuil Kwi-cu lagi, biariah suhu yang memutuskan dan menerima pesan ayahmu. 


Susiok Hui sian Hwesio adalah wakil Ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu, dan tugasnya mewakili suhu di luaran. Beliau banyak melakukan perantauan."

"Akan tetapi pesan Ayah, kalau aku tidak dapat bertemu dengan susiok Hui sian Hwesio, aku harus pergi ke Kun-lun-pai melapor kepada Locianpwe Yang sengcu."


"Hal itu kita bicarakan nanti saja kalau kita sudah menghadap sisiok Hiu sian Hwesio atau suhu. Mari, sumoi, kita lanjutkan perjalanan ke Kwi-cu."


Kedua orang muda itu lalu meninggalkan bukit itu dan melakukan perjalanan cepat menuju ke Kwi-cu. Lee Cin sama sekali tidak mengetahui betapa bahagia rasa hati Hui sian mendapat kesempatan melakukan perjalanan bersamanya. 


Memang dua tahun lebih yang lalu Hui san pernah menyatakan Cintanya kepadanya, akan tetapi ditanggapinya dengan ringan dan tak acuh saja tanpa ketegasan apakah ia menerima ataukah menolak Cinta kasih pemuda itu. Lee Cin sendiri sudah hampir lupa akan peristiwa itu. 

Namun pada wajahnya, Hui san yang berbatin kuat itu tidak menunjukkan sesuatu. sikapnya tetap ramah dan sopan terhadap Lee Cin. Bahkan tidak nampak pada sinar matanya kemesraan yang memenuhi hatinya.
Cinta merupakan suatu perasaan teramat kuat mempengaruhi diri setiap orang manusia. Cinta dapat mendatangkan perasaan berbahagia, namun Cinta dapat pula mendatangkan perasaan sengsara. 

Kalau dua hati bertemu dan saling bertaut dalam ikatan benang-benang Cinta itu kadang dapat kusut dan ruwet. 

Namun sebaliknya, kalau Cinta tidak terbalas, dapat mendatangkan penderitaan batin yang hebat. Kekecewaan dan kehampaan akan membuat seseorang merasa sebagai manusia paling sengsara di dunia ini.
Cinta selalu diboncengi nafsu sehingga sifatnya menjadi tamak. Cinta seperti ini selalu menghendaki balasan- selalu menghendaki keuntungan bagi diri sendiri. 

Menghendaki agar yang diCinta itu membalas Cintanya, menghendaki agar dia dapat memiliki dan memiliki yang diCinta. Cinta seperti ini mendatangkan rasa senang bagaikan orang minum anggur yang dapat memabukkan dan membuat dirinya lupa daratan. 

Akan tetapi Cinta seperti ini, yang diboncengi nafsu asmara, sebaliknya dapat pula mendatangkan kekecewaan dan duka. Kalau yang diCinta itu tidak membalas dengan Cinta, kalau yang diCinta itu memalingkan muka kepada orang lain, kalau yang diCinta itu tidak menyenangkan hatinya, tidak suka dikuasai dan dimilikinya, tidak mau pula menguasai dan memilikinya, maka datanglah kekecewaan dan duka.

Ada Cinta yang murni, tidak diboncengi nafsu. Cinta seperti ini bagaikan sinar matahari yang tidak memilih siapa yang akan dilimpahi cahayanya. Cinta seperti ini tidak menuntut balasan, Cinta seperti ini tidak memilih sasaran dan Cinta seperti ini tidak pernah mendatangkan kesenangan maupun kesusahan, tidak pernah mendatangkan kepuasan maupun kekecewaan. 


Cinta seperti ini seperti matahari yang menyinarkan cahayanya kepada siapapun juga, menghidupkan, menyehatkan tanpa menuntut balas apa pun dan dari siapa pun. seperti bunga menyiarkan keharuman memberikan keindahan kepada siapapun juga tanpa menuntut balas apa pun dari siapa pun. Cinta seperti ini adalah suatu keadaan, bukan suatu perbuatan yang lahir dari hati akal pikiran.

Akan tetapi yang kita bicarakan adalah Cinta yang pertama tadi, Cinta yang ada karena bekerjanya hati akal pikiran , karena tertariknya panca indera. Manusia tidak ada yang terbebas dari Cinta seperti ini. 


Akan tetapi manusia yang sudah menyadari dan tahu macam apa Cinta yang menguasai hatinya, yang waspada dan maklum bahwa Cintanya itu bergelimang nafsu, tidak akan terlalu dalam terperosok. tidak akan terlalu kuat terikat sehingga akibatnya tidak terlalu parah. 

Sesungguhnyalah bahwa Cinta seperti ini membuahkan kesenangan ataupun kesusahan, kepuasan atau kekecewaan dan siapa yang sudah tahu benar akan hal ini, kalau harus memetik dan memakan buahnya, tidaklah terkejut benar.
Pada suatu hari yang cerah, serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang pengawal dua buah kereta terisi barang dagangan yang amat berharga, yaitu kain sutera dan bahan pakaian lainnya, yang ditarik oleh masing-masing dua ekor kuda. para piauwsu itu menunggang kuda dan mereka mengawal barang kiriman itu sambil bercakap-cakap dan menjalankan kuda mereka dengan santai. 

Mereka telah melakukan perjalanan selama dua hari dari kota Pao-ting dan tujuan mereka adalah kota Thian-ting di tenggara. Perjalanan itu akan makan kurang lebih lima hari dan sudah dilalui setengah perjalanan. 

Mereka sudah lelah dan hendak mengaso kalau terdapat tempat yang cocok untuk itu. Dua orang kusir juga melenggut di tempat duduk mereka, membiarkan kuda mereka berjalan seenaknya. 

Kuda- kuda itu perlu beristirahat dan diberi minum. Mereka tahu bahwa di lereng pertama dari bukit di depan terdapat sebuah dusun dan di sana mereka bisa mendapatkan makanan dan minuman untuk orang dan kuda.
Mereka menjalankan kuda seenaknya karena dusun itu sudah dekat dan mereka sudah melampaui daerah yang dianggap paling berbahaya tanpa mendapatkan gangguan yang berarti. 


Dari dusun di lereng itu sampai ke kota Thian-ting perjalanan akan lebih aman dan juga tidak banyak melalui jalan pegunungan yang berat. Hati mereka ringan dan karena merasa aman, mereka pun bercakap-cakap dengan santai. Yang memimpin rombongan ini adalah piauwsu kepala, sebanyak dua orang bernama Cu Lok dan Thio sin. 

Mereka adalah piauwsu yang sudah berpengalaman dan merupakan wakil-wakil yang dipercaya dari Ketua Kim-liong-pang di Pao-ting, yaitu Souw-pangcu atau Souw Can. Karena barang kiriman itu amat berharga, maka kedua orang wakil inilah yang disuruh mengawal, bersama tujuh orang piauwsu pembantu.

Ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tak jauh lagi dari dusun yang berada di lereng pertama, tiba-tiba dua buah kereta yang berjalan di depan berhenti. 


Para piauwsu yang mengiringkan di belakang sambil bercakap-cakap merasa heran dan cepat dua orang pimpinan mereka melarikan kuda menuju ke depan untuk melihat mengapa kereta dihentikan oleh kusir- kusirnya .

Cu Lok dan Thio sin yang melarikan kudanya paling depan, melihat seorang pemuda tampan berdiri di tengah jalan sehingga kusir terpaksa menghentikan keretanya karena tidak ingin menabrak pemuda itu. 

seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh dua tahun yang berwajah tampan dan gagah. Dipunggungnya terdapat sebatang pedang dan pakaian pemuda itu mewah dan indah bersih, pandang matanya tajam dan mulutnya tersenyum. 

Nampaknya dia bersikap lembut dan melihat pakaiannya seperti seorang kong-cu yang kaya, dua orang piauwsu itu menjadi tenang hatinya. Tidak mungkin pemuda seperti itu hendak mengganggu mereka. 

Tampang dan pembawaannya bukan seperti orang kang-ouw yang yang suka merampok atau memeras.
Cu Lok piauwsu yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar, berkata kepada rekannya, "Biar aku yang menghadapinya."


Thio sin, yang berusia tiga puluh lima tahun dan bertubuh sedang, juga merasa tenang melihat pemuda yang menghadang itu, maka dia pun mengangguk dan membiarkan rekannya yang lebih tua itu melompat turun dari kudanya dan menghadapi pemuda yang menghadang di tengah jalan itu. 


Cu Lok adalah seorang piauwsu yang berpengalaman. Dia tahu bahwa penjahat yang paling berbahaya adalah kalau dia berupa seorang yang lemah dan sama sekali tidak kelihatan sebagai seorang penjahat. 

Maka dia bersikap hati-hati dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada pemuda berpakaian mewah itu.

"Kami para piauwsu dari Kim-liong-pang sedang mengawal dua kereta barang menuju ke Thian-ting. Agaknya Kongcu mempunyai urusan penting dengan kami maka menghadang sini. Apakah kiranya yang dapat kami bantu untuk Kongcu?" sikap Cu Lok ini hormat sekali.


"Bagus, orang-orang Kim-liong-pang ternyata mengerti aturan," kata pemuda itu sambil tersenyum. 


"Bolehkah aku bertanya, apa isi kedua kereta itu?" Dia menuding ke arah dua buah kereta yang berhenti di situ.
"Kami sedang mengawal barang kiriman berupa kain-kain sutera dan bahan pakaian lain menuju ke Thian-ting. Harap Kongcu membiarkan kami lewat," kata Cu Lok. masih dengan sikap merendah dan hormat.
"Aha, kebetulan sekali. Kami sedang membutuhkan kain untuk membuat pakaian anak buah kami yang belasan orang banyaknya. Karena itu, bersikaplah baik dan murah hati kepada kami, piauwsu, dan tinggalkan sebuah di antara dua kereta itu untuk kami."

Cu Lok mengerutkan alisnya. Tidak salah dugaannya. Pemuda yang berpakaian mewah dan berbicara halus ini adalah seorang perampok. Maka dia berkata dengan menahan kesabaran. 

"Mana dapat begitu, Kongcu" Barang kiriman ini bukan milik kami dan kami dari Kim-liong-pang tidak pernah bermusuhan dengan Kongcu. 

Harap biarkan kami lewat dan kelak kami akan berkunjung untuk menghaturkan terima kasih."
Pemuda itu tertawa, "Ha- ha- ha, mana bisa begitu" Yang kami butuhkan sekarang adalah kain-kain untuk dibuat pakaian, bukan ucapan terima kasih."

"Kalau hanya itu yang Kongcu butuhkan, tentu dengan senang hati kami akan memberi untuk Kongcu," kata Cu Lok yang mengira bahwa pemuda itu membutuhkan pakaian untuk diri sendiri sehingga hanya membutuhkan beberapa potong kain saja.


 "Kalau Kongcu hendak membuat pakaian, silakan memilih beberapa potong kain, nanti kami yang akan menggantinya kepada pemiliknya di Thian-ting."

"Ha- ha- ha, kau ini lucu Untuk apa beberapa potong kain" Aku hendak mengambil satu kereta. Kami membutuhkan pakaian untuk dua puluh lima orang"


Tahulah Cu Lok bahwa pemuda itu tidak main-main dan memang benar dia seorang perampok yang hendak memaksanya menyerahkan sekereta kain.


"Hemm, sobat" suaranya kini berbeda, terdengar tegas, "Apakah engkau hendak merampok kami?"


"Masa bodoh apa yang kalian katakan, merampok atau meminta. Pendeknya, kalian harus meninggalkan sekereta kain ini kepadaku."


"Jelasnya, engkau hendak merampok. kami" Hei, orang muda, siapa kah engkau yang berani mengganggu barang kiriman yang dikawal oleh para piauwsu Kim-liong-pang?"


"Aku Siangkoan Tek tidak mengenal Kim-liong-pang, dan apa yang aku kehendaki harus kalian taati, atau kalian semua akan kuhajar" kata pemuda yang lemah lembut itu. 


Pemuda itu memang Siangkoan Tek adanya. seperti kita ketahu, Siangkoan Tek dimarahi ayah ibunya karena ulahnya membikin ribut Pulau Naga yang diserbu pasukan dari daratan. Ayah ibunya lalu menyuruh dia merantau selama setahun untuk mencari pengalaman dan juga mencari jodoh. dalam perantauannya itu Siangkoan Tek tiba di daerah itu.

Ketika Siangkoan Tek tiba di bukit itu, dua puluh lima orang perampok menghadangnya. Melihat pakaiannya yang mewah, para perampok itu menduga bahwa dia tentu seorang pemuda kaya, maka mereka menghentikannya dan minta semua barang yang dibawanya. 

Siangkoan Tek tertawa dan menghajar dua puluh lima orang perampok itu tanpa membunuh mereka. Para perampok itu taluk dan mengaku kalah kepada pemuda yang amat lihai itu. saat itulah Siangkoan Tek mendapat gagasan yang dianggapnya baik. 

Dipulaunya, sebagai putera majikan Pulau Naga, dia selalu dihormati dan dilayani. Kini, melihat dua puluh lima orang itu, dia mengambil keputusan untuk menjadikan mereka itu anak buahnya. 

Dengan demikian, dia akan dilayani dan juga kedudukannya menjadi kuat. Maka dia lalu mengangkat diri sendiri menjadi pimpinan mereka. 

Para anak buahnya inilah yang memberitahu kepadanya bahwa ada kiriman barang berharga sebanyak dua kereta akan lewat dijalan raya, di luar hutan yang menjadi sarang mereka. 

Ketika Siangkoan Tek bertanya mengapa mereka tidak merampas kereta berisi barang berharga itu, mereka menyatakan takut karena kereta barang-barang itu dikawal oleh para piauwsu Kim-liong-pang. 

Demikianlah, Siangkoan Tek lalu menghadang kereta itu dan menyuruh anak buahnya bersembunyi saja dan baru keluar kalau dia memberi tanda.

Sementara itu, Cu Lok dan Thio sin menjadi marah mendengar ucapan terakhir Siangkoan Tek yang hendak menghajar mereka kalau kehendaknya tidak ditaati.
Thio sin sudah marah sekali dan dia pun meloncat turun dari atas punggung kudanya, diikuti oleh papa anak buahnya yang berjumlah tujuh orang itu 

"Pemuda sombong, engkaulah yang akan kuhajar" bentak Thio sin dan dia sudah menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Akan tetapi dengan gerakan indah dan cepat, Siangkoan Tek mengelak ke kiri dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat mengenai dada Thio sin sehingga piauwsu itu terjengkang roboh.

Melihat ini, cu Lok lalu menyerangnya, diikuti oleh tujuh orang anak buahnya dan dikeroyoklah Siangkoan Tek oleh delapan orang itu Thio sin yang roboh itu sudah merangkak kembali dan ikut pula mengeroyok.

Namun, sembilan orang piauwsu itu sama sekali bukan merupakan lawan tangguh bagi Siangkoan Tek. dalam waktu singkat saja mereka itu sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan pemuda itu. 

Melihat ini, dua orang kusir meloncat turun dan ikut pula mengeroyok. akan tetapi mereka pun terpelanting roboh. 

Akhirnya, sembilan orang itu sudah dihajar oleh Siangkoan Tek. membuat mereka babak belur, dan tidak mampu melawan lagi. Siangkoan Tek bertepuk tangan dan keluarlah anak buahnya dari balik pohon-pohon dan semak-semak.

"Bawa kuda- kuda itu dan dua buah kereta" perintah Siangkoan Tek. Para anak buah perampok itu girang sekali. Baru sekali ini mereka dapat merampas barang- barang kawalan para piauwsu Kim-liong-pang. Dan semua itu terjadi tanpa mereka turun tangan sama sekali. 


Anak buah perampok itu menjadi girang sekali bukan hanya mendapatkan hasil rampokan yang amat berharga, tiga belas ekor kuda dan dua buah kereta penuh sutera dan kain, akan tetapi terutama sekali karena mereka mendapatkan seorang pemimpin yang dapat dibanggakan, yang telah berani merampok dan mengalahkan sembilan orang piauwsu Kim-liong-pang yang lihai.

Sembilan orang piauwsu dan dua orang kusir itu terpaksa melarikan diri meninggalkan kuda mereka ketika mereka melihat demikian banyaknya anak buah perampok bermunculan dari dalam hutan. 

Pemuda itu merobohkan mereka akan tetapi tidak membunuh, belum tentu kalau anak buahnya pun akan membiarkan mereka hidup, Maka mereka lalu melarikan diri dan kembali kw poa ting.

Souw Can merasa heran dan juga marah sekali mendengar laporan anak buahnya bahwa dua kereta barang itu dilarikan perampok bertkut sembilan ekor kuda tunggangan anak buahnya. 

Akan tetapi yang lebih marah lagi adalah Souw Hwe Li dan Lai Siong Ek. Dua orang muda ini marah sekali karena merasa betapa Kim-liong-pang dipandang ringan dan dihina oleh seorang perampok muda. 

Mereka berdua menanyakan kepada para piauwsu itu di mana tempat mereka dirampok dan setelah mendengar keterangan jelas, tanpa pamit lagi mereka berdua segera membalapkan kuda mereka menuju ke hutan itu.

Baru setelah dua orang muda itu dua tiga jam pergi, Souw Can diberitahu tentang kepergian mereka. Souw Can mengerutkan alisnya dan menganggap murid dan putertnya lancang. 


Menurut cerita sembilan orang piauwsu, perampok tunggal itu tentu lihai sekali. Bagaimana Hwe Li dan Siong Ek pergi begitu saja tanpa memberitahu dia lebih dulu" Karena mengkhawatirkan keselamatan puterinya, Souw Can lalu memimpin tujuh belas anggauta Kim-liong-pang dan melakukan pengejaran dengan naik kuda.

Akan tetapi Hwe Li dan Siong Ek membalapkan kuda mereka dan baru berhenti setelah malam tiba. Mereka bermalam disebuah kuil di lereng bukit danpada keesokan harinya, pagi-pagi benar mereka sudah melanjutkan perjalanan dengan membalapkan kuda mereka.


Siang hari itu, mereka tiba di tempat terjadinya perampokan. Mereka lalu membelok dan memasuki hutan seperti yang diceritakan para piauwsu yang melihat bahwa kereta mereka dilarikan ke dalam hutan. 

Kini kedua orang muda itu menjalankan kuda mereka dengan hati- hati karena maklum bahwa mereka telah memasuki daerah yang dikuasai perampok.

Tak lama kemudian mereka melihat dua orang laki-laki berusia empat puluh tahun berjalan di tengah hutan- Mereka berjalan dengan santai, akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda, mereka lalu membalikkan tubuh menghadang di jalan dan sikap mereka bengis.


Hwe Li melihat sikap kedua orang ini segera berkata kepada Siong Ek, "suheng, tentu mereka itu anggauta perampok Kita tangkap mereka hidup- hidup
".

Ia lalu melompat turun dari atas kudanya, diikuti oleh Siong Ek. Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk bergerak atau bicara, Hwe Li sudah menerjangnya dengan hebat. Song Ek juga menyerang perampok ke dua. 

Dua orang itu mencabut golok dan hendak melawan, akan tetapi dengan mudah Hwe Li dan Siong Ek meroboh kan mereka. Hwe Li sudah mencabut pedangnya dan menempelkan pedang itu di leher seorang di antara mereka, sedangkan Siong Ek juga mengancam orang ke dua dengan pedangnya.

"Hayo, katakan di mana dua buah kereta dan sembilan ekor kuda kami di sembunyikan. Dan katakan siapa kepala rampok itu dan di mana dia berada. Cepat atau aku akan penggal lehermu".

Dua orang anggauta perampok itu menjadi pucat. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tawa halus dan di situ sudah muncul Siangkoan Tek yang berdiri sambil bertolak pinggang.


Mendengar suara tawa ini, Hwe Li menoleh dan ia melihat seorang pemuda tampan dan gagah dengan pakaian mewah sudah berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum. Melihat ini, ia lalu melepaskan orang yang ditodongnya dan membalik, menghadapi Siangkoan Tek. 


Ia teringat akan cerita para piauwsu yang dirampok. maka dengan pedang di tangan kanan, ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka pemuda itu.

"Engkaukah yang bernama Siangkoan Tek dan yang telah merampok dua buah kereta barang dan sembilan ekor kuda dari para piauwsu kami?" bentak Hwe Li dengan marah.

Melihat gadis yang cantik jelita itu marah- marah, Siangkoan Tek tersenyum. Hatinya kagum sekali. 

Gadis itu selain cantik jelita, juga gagah perkasa dan pemberani, begitu gagah kelihatannya ketika menudingkan telunjuknya dengan pedang di tangan kanan.

"Benar, aku adalah Siangkoan Tek. dan engkau siapakah, Nona" Apa hubunganmu dengan kejadian itu?" tanya Siangkoan Tek sambil tersenyum memikat, matanya bersinar-sinar. 

Biarpun sedan marah, Hwe Li terpaksa harus mengakui di dalam hatinya bahwa perampok ini sungguh merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan melihat sikap dan pakaiannya, sungguh tidak patut menjadi perampok. 

Dia lebih mirip seorang siucai (sastrawan) atau seorang kongcu (tuan muda) bangsawan atau hartawan. Akan tetapi karena ia sedang marah, ia melupakan semua kenyataan ini dan membentak dengan suara lantang.

"Perampok busuk Aku adalah Souw Hwe Li, puteri Ketua Kim-liong-pang, pemimpin pengawalan barang. Hayo cepat kau kembalikan sembilan ekor kuda dan dua buah kereta berisi bahan pakaian itu lalu berlutut minta maaf, baru aku dapat mengampunimu. 


Kalau tidak. pedang nonamu akan memenggal batang lehermu"
Sementara itu, Lai Siong Ek memperlihatkan muka garang dan dia pun membentak,
"Perampok jahanam... Butakah matamu, tulikah telingamu sehingga engkau tidak melihat bahwa dua buah kereta itu dikawal oleh orang-orang Kim-liong-pang".


Berani mati engkau mengganggunya sumoi,jangan memberi ampun penjahat ini. Mari kita basmi mereka dan rampas kembali dua buah kereta itu" setelah berkata demikian, Lai Siong Ekyang sudah mencabut pedangnya mendahului sumoinya menyerang pemuda itu.

Melihat gerakan pedang yang tangkas, cepat dan cukup bertenaga itu, Siangkoan Tek mengeluarkan suara mengejek dan dia sudah mengelak dengan mudah. 

Ketika tusukan pedangnya dielakkan dengan mudah, Siong Ek menjadi semakin marah dan pedangnya sudah berkelebat ke bawah, menyerampang ke arah kedua kaki lawan. 

Akan tetapi dengan gerakan ringan seperti seekor burung, Siangkoan Tek kembali mengelak dengan lompatan ke atas dan dari atas tangannya menyambar untuk mencengkeram pundak Siong Ek . 

Pemuda ini terkejut sekali karena tahu-tahu tangan itu sudah sangat dekat dengan pundaknya sehingga terpaksa untuk menghindarkan pundaknya dari cengkeraman tangan lawan, dia melempar diri ke belakang, terjengkang dan berjungkir balik agar tidak terbanting jatuh. 

Melihat ini, Hwe Li meloncat ke depan dan pedangnya bergerak bagaikan kilat menyambar ke arah leher Siangkoan Tek. 

Akan tetapi kembali pemuda dari pulau Naga itu mengelak dengan gerakan indah, lalu melangkah maju untuk menangkap lengan tangan Hwe Li yang memegang pedang. 
Namun Hwe Li sudah melompat mundur untuk menghindarkan diri. 

Dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu mengeroyok Siangkoan Tek dengan ilmu pedang mereka.

Sambil berloncatan mengelak ke sana sini Siangkoan Tek memperhatikan ilmu pedang mereka. Dia mengenal ilmu pedang Kun-lun-pai yang indah gerakannya, dan segera dapat mengira bahwa ilmu kepandaian gadis cantik itu lebih lihai dibanding suhengnya. 


Dia menjadi semakin kagum kepada gadis itu. seorang gadis yang cukup pantas untuk menjadi kekasihnya, bukan menjadi isterinya karena yang pantas menjadi istertnya hanyalah gadis-gadis seperti Lee Cin dan Cin Lan. 

Dalam perantauannya dia sudah mencari keterangan tentang dua orang gadis itu dan mendengar bahwa Tang Cin Lan, puteri pangeran itu, telah menikah dengan Song Thian Lee, pemuda yang amat dibencinya. 

Maka tinggal Lee Cin seorang yang dia harapkan untuk menjadi isterinya. Akan tetapi gadis yang mengeroyoknya ini pun cukup lumayan ilmu silatnya, dan wajahnya juga cukup manis.

Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang sudah sesat sejak masih muda remaja. Dia hidup dekat dengan selir-selir ayahnya yang banyak jumlahnya, dan karena dia seorang pemuda yang tampan, maka selir-selir itu banyak yang memanjakannya, bahkan mengajarinya untuk bermesraan dengan mereka. 


Dengan lingkungan dan pendidikan seperti itu, Siangkoan Tek menjadi dewasa sebagai seorang pemuda yang mata keranjang. Lebih-lebih ayahnya tidak pernah menegur atau melarangnya dalam sepak terjangnya yang gila perempuan ini. 

Hanya ibunya yang suka menegurnya dengan keras. Akan tetapi karena ibunya berada di rumah saja, maka apa yang dilakukan oleh puteranya di luar rumah tidak diketahui oleh ibunya, hanya diketahui oleh ayahnya yang membiarkan saja
Menghadapi pengeroyokan Hwe Li dan Siong Ek. Siangkoan Tek tidak menjadi terdesak karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi. Akan tetapi dia pun tidak berani main-main karena ilmu pedang Kun-lun-pai adalah ilmu pedang yang cukup hebat. 

Kalau saja yang memainkan itu seorang gadis. setingkat dengan Lee Cin kepandaiannya, tentu dia akan terancam bahaya. Namun, menghadapi dua orang itu, Siangkoan Tek menang dalam hal kecepatan maupun tenaga sin-kan.

Bahkan dia tidak membalas dengan serangan maut. Kalau dia menghendaki kematian dua orang pengeroyok itu, tidak sampai lima puluh jurus lamanya tentu kedua orang lawan itu sudah dapat dia robohkan.

Akan tetapi dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Hatinya tertarik kepada Hwe Li dan dia tidak ingin membuat gadis itu membencinya kalau dia melukai atau bahkan membunuh mereka. setelah cukup lama mempermainkan mereka, Siangkoan Tek menggunakan ilmu silat Hui-liong-kun.

 Tubuhnya bergerak cepat dan serangannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Ketika dia mendapat kesempatan, dia dapat menendang pergelangan tangan kanan Siong Ek sehingga pemuda ini terkejut dan terpaksa pedangnya terlepas dari tangan, dan sebelum dia sempat menghindar, sebuah pukulan tangan koSong mengenai pundaknya dan dia pun terpental roboh. 

Tulang pundaknya tidak patah, akan tetapi pukulan telapak tangan terbuka itu mendatangkan rasa panas dan pundaknya terasa nyeri.

Melihat suhengnya sudah kalah dan agaknya menderita kesakitan sehingga tidak dapat segera maju lagi, Hwe Li menjadi marah. Ia memutar pedangnya dan mendesak lawannya, namun siang-koan Tek sudah mendahuluinya, menangkap pergelangan tangan kanannya, memutar sehingga terpaksa Hwe Li juga melepaskan pedangnya dan di lain saat dia telah menotok pundak Hwe Li, membuat gadis itu terkulai lemas dan berada dalam rangkulannya.

Melihat sumoinya dipeluk Siangkoan Tek. Siong Ek menjadi marah dan nekat. Diambilnya pedangnya yang tadi tertepas dan dia membentak. 

"Lepaskan sumoi" Dia siap untuk menerjang dengan pedangnya.
Akan tetapi Siangkoan Tek menodongkan kedua jarinya ke ubun-ubun kepala Hwe Li. "Majulah selangkah dan sumoimu ini akan tewas seketika".


Melihat ini, wajah Siong Ek menjadi pucat dan dia tidak berani bergerak. Dia hanya memandang ke arah sumoinya dengan bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan.


 sementara itu, ketika Hwe Li merasa betapa ia tidak lagi mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ia hanya dapat memandang wajah Siangkoan Tek dengan ketakutan. 

Tahulah ia bahwa ia berada dalam bahaya. Siangkoan Tek yang melihat betapa gadis dalam rangkulannya itu ketakutan, tersenyum manis kepada Hwe Li.

"Adik manis, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Engkau sementara ini akan menjadi tamuku yang terhormat. Lihat, bahkan suhengmu tidak kusakiti dan tidak kubunuh. 


Kalau engkau menurut dan tidak memberontak. aku akan bersikap baik sekali kepadamu. sebaliknya kalau engkau melawan, suhengmu ini akan mati di depan matamu, kemudian engkau juga akan mati di tanganku."

Mendengar ancaman yang diucapkan sambil tersenyum dan dengan kata- kata lembut itu Hwe Li menjadi semakin ketakutan, dan ketika pada saat itu Siangkoan Tek membebaskan totokannya, ia tidak berani meronta dan hanya tinggal diam saja.


"Sobat, bebaskan sumoiku agar kami dapat pergi dari sini." Siong Ek mencoba untuk membujuknya .


"Tidak perlu banyak cakap lagi. Sumoimu menjadi tamu agungku, dan engkau cepat pergilah dari sini sebelum pikiranku berubah dan engkau kubunuh. 

Pergilah"Siong Ek maklum bahwa dia tidak berdaya menolong sumoinya. Dia memandang kepada sumoinya dan berkata, "sumoi, tenanglah. Aku akan mencari bala bantuan untuk membebaskanmu. "

Saking takutnya, Hwe Li tidak mampu bicara lagi dan ia hanya mengangguk kepada suhengnya. Siong Ek segera melompat ke atas kudanya dan membalapkan kudanya untuk kembali ke Pao-ting dan mencari bala bantuan.


Setelah Siong Ek pergi, Siangkoan Tek berkata kepada Hwe Li, "Adik Souw Hwe Li, mari silakan menunggang kudamu, kita pulang ke tempat tinggalku."


Hwe Li melihat ada kesempatan.Ia melompat ke atas kudanya dan hendak melarikan diri, akan tetapi Siangkoan Tek sudah menyambar kendali kudanya dan menuntun kuda itu memasuki hutan lebih dalam lagi.





Tidak jauh dari situ terdapat sebuah kuil kuno yang sudah tidak dipergunakan dan inilah yang dijadikan tempat tinggal atau sarang oleh Siangkoan Tek dan para berandal yang menjadi anak buahnya. Hwe Li yang sudah tidak dapat berdaya itu menurut saja ketika disuruh turun dari kuda dan diajak masuk ke dalam kuil kuno. 

Di dalamnya lebar dan sederhana, akan tetapi sebuah ruangan yang cukup luas dilengkapi perabot seperti meja kursi, lemari dan tempat tidur besar yang cukup indah buatannya dan ruangan ini dijadikan sebagai tempat atau kamar tidur oleh Siangkoan Tek.

"Nah, engkau tinggal untuk sementara di sini, Nona. Engkau menjadi tamuku juga sahabat baikku. Dan untuk menyambut kedatanganmu, kita adakan sebuah pesta kecil di antara kita berdua saja." Siangkoan Tek berkata dengan lembut dan tidak ketinggalan senyumnya yang menarik. Melihat dirinya diperlakukan dengan baik, rasa takut menipis di hati Hwe Li.


"Memang sebaiknya kalau engkau melakukan aku dengan sepantasnya, karena kalau engkau berani menggangguku, ayahku tentu tidak akan terima begitu saja," katanya dengan ancaman, akan tetapi tidak terdengar galak lagi.


Mereka kini duduk berhadapan terhalang meja besar dalam kamar itu. Siang-koan Tek bersikap lembut dan ramah sehingga Hwe Li mulai merasa lega dan tenang.


"Nah, setelah kini kita berkenalan sebagai sahabat, aku akan menyebutmu moi-moi dan engkau menyebutku koko, tentu engkau tidak menolak bukan?"


Hwe Li sedikit tersenyum. Memang sebaiknya kalau bersahabat dengan pemuda yang amat lihai ini. Bayangkan saja, ia dan suhengnya dengan berpedang mengeroyoknya yang bertangan koSong, akan tetapi mereka kalah. Pemuda ini sungguh lihai bukan main- Kalau ia bersikap baik dan bersahabat kepadanya, besar kemungkinan ia akan dibebaskan dan tidak diganggu. 


Sebaliknya kalau ia bersikap bermusuhan, apa dayanya karena ia telah terjatuh ke tangannya. Maka ia lalu mengangguk menyatakan setuju.
"Nah, dengan begitu hatiku merasa senang, Li-moi. Sekarang, ceritakanlah keadaan keluargamu kepadaku. Aku ingin mengenalmu lebih baik."

"Kami tinggal di Pao-ting dan Ayah menjadi pangcu (ketua) dari Kim-liong-pang yang mendirikan perusahaan pengawalan barang kiriman- Pembantu Ayah kini tidak kurang dari dua puluh lima orang. 


Ayah adalah seorang tokoh Kun-lun-pai dan namanya banyak dikenal di dunia kang-ouw. Karena itu, ha rap engkau tidak memusuhinya, Tek-ko." Ucapan Hwe Li ini membujuk dan juga sengaja membanggakan ayahnya untuk mengecilkan hati Siangkoan Tek.

Pemuda itu tersenyum. "Aku memang sudah menduga bahwa engkau murid seorang tokoh Kun-lun-pai, melihat ilmu pedangmu. Dan bagaimana dengan suhengmu itu" Aku melihat dia itu amat sayang kepadamu. Li-moi."


Wajah Hwe Li berubah sedikit merah. Ia sendiri sudah lama mengetahui bahwa Siong Ek mencintanya, akan tetapi ia belum dapat menerima perasaannya itu dan menganggap Siong Ek sebagai suheng biasa.


"Ah, dia hanya suhengku bernama Lai Siong Ek. Karena dia murid tunggal dari Ayah, maka kami bersahabat, biasa saja."


"Tidak saling mencinta?" Hwe Li menggeleng kepalanya dan mereka bertemu pandang. Melihat sinar mata gadis itu dengan berani menentang pandang matanya, Siangkoan Tek maklum bahwa gadis itu tidak berbohong.


"Hem, setidaknya dia yang mencinta mu, Li-moi. Akan tetapi aku tidak menyalahkan dia. Hati pria mana yang tidak akan terpikat kalau bertemu denganmu" Apalagi engkau bergaul lama dengannya."


Ucapan ini membuat Hwe Li tersipu, akan tetapi pada saat itu, hidangan telah ditaruh di atas meja besar itu dan Siangkoan Tek lalu mengajak Hwe Li makan minum sambil bercakap-cakap. berdua saja. 


Dan Hwe Li tidak menolak ketika ia disuguhi arak oleh pemuda itu sehingga ia minum sampai kedua pipinya kemerahan dan sikapnya lebih berani lagi.

"Sudah kukatakan tadi bahwa semua pria akan terpikat kalau bertemu denganmu, Li-moi. Engkau bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga berilmu silat tinggi dan sikapmu menyenangkan, tidak seperti kebanyakan gadis yang malu-malu. Engkau bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum, menarik datangnya banyak kupu-kupu."


Hwe Li tersipu pula mendengar pujian yang terang-terangan itu. "Aih, Tek-ko, cukuplah segala pujian itu sekarang aku minta engkau suka menceritakan tentang dirimu sendiri. Aku heran sekali melihat keadaanmu."


Siangkoan Tek memandang wajah gadis itu. sinar matanya penuh selidik. "Kenapa engkau merasa heran, Li-moi" Apakah ada yang aneh tentang diriku?"


"Engkau adalah seorang yang aneh sekali, Tek-ko Bayangkan saja. Engkau seorang pemuda yang melihat penampilanmu tentu engkau sepatutnya menjadi seorang siucai atau kongcu. Kata-katamu halus dan sopan teratur, sikapmu lemah-lembut, pakaianmu juga menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda kaya. Akan tetapi engkau muncul sebagai seorang perampok. 


Tidak cocok sama sekali ini. engkau seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa merendahkan diri menjadi perampok" Engkau berbeda sekali dengan anak buahmu yang kasar-kasar. 

Mereka memang patut menjadi perampok akan tetapi engkau sama sekali tidak pantas. Maka aku ingin sekali mendengar riwayatmu, Tek-ko"
Siangkoan Tek memandang gadis itu sambil tersenyum. Dia merasa semakin suka kepada gadis ini. 


Lumayan untuk menjadi kekasih sementara, sebelum dia melanjutkan perjalanannya. Walaupun tidak untuk menjadi isteri, setidaknya untuk menjadi kekasih.

"Ha, ha, ha, kini engkau yang memuji-mujiku, Li-moi. Terima kasih atas pujianmu. Memang aku bukan perampok biasa, Li-moi. Baru beberapa hari ini aku menjadi perampok, atau memimpin gerombolan perampok. 


Justeru aku yang kebetulan lewat di sini yang dirampok oleh mereka. Aku kalahkan dan tundukkan mereka, lalu mereka menyerah dan aku menjadi pemimpin mereka. Karena aku tidak ingin melihat anak buahku berpakaian sekotor dan sekasar itu, maka ketika dua buah kereta itu lewat, aku bermaksud minta sebuah untuk dijadikan pakaian anak buahku. 

Akan tetapi para piauwsu itu menolak sehingga terjadilah perkelahian, dan aku merampas dua buah kereta itu. 

Akan tetapi kereta- kereta itu beserta isinya dan sembilan ekor kuda tunggangan dan kuda penarik kereta masih berada di belakang kuil ini."

"Kalau begitu, Tek-ko setelah kita bersahabat, bolehkah aku minta dua buah kereta dan kuda- kudanya itu untuk kubawa kembali" Kalau engkau membutuhkan pakaian untuk anak buahmu, tentu akan kuberi secukupnya."


"Hemm, hal itu boleh kita bicarakan nanti, Li-moi. sekarang kita makan minum sambil bercakap-cakap tentang diri kita."


Melihat pemuda itu tampak agak tidak senang, Hwe Li cepat mengubah arah percakapan-"Engkau belum menceritakan dari mana asalmu, siapa orang tuamu dan mengapa engkau berada di sini memimpin gerombolan perampok itu."


"Ayahku adalah orang nomor satu di dunia kang-ouw bagian timur. Ayahku bernama Siangkoan Bhok berjuluk Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur) yang terkenal sebagai datuk besar timur, tinggal di Pulau Naga. Aku sedang melakukan perantauan untuk memperluas pengalamanku dan seperti kuceritakan tadi, baru beberapa hari aku berada di sini dan mengalahkan para perampok sehingga aku mereka angkat menjadi pemimpin mereka."


Hwe Li tidak pernah mendengar nama besar Siangkoan Bhok. akan tetapi ia dapat menduga bahwa ayah pemuda ini tentu seorang yang sakti dan disegani di dunia kang-ouw.


"Ah, kalau begitu engkau adalah putera seorang yang terkenal di dunia kang-ouw, mengapa merendahkan dirimu menjadi pemimpin perampok, Tek-ko" Bagaimana kalau engkau kuhadapkan kepada ayahku yang tentu akan menerimamu dengan baik dan kalau orang yang memiliki kepandaian seperti engkau ini memimpin piauw-kiok (perusahaan pengawal barang) tentu kita akan memperoleh kemajuan besar."


"Aku tidak ingin bekerja, dan aku menjadi pemimpin gerombolan ini pun hanya sementara saja, sekedar untuk mempunyai anak buah untuk kuperintah melayani segala keperluanku. Jangan khawatir, Li-moi, engkau di sini menjadi tamu dan juga sahabat baikku, tidak ada yang akan berani mengganggumu. Li-moi, apakah engkau sudah bertunangan atau mempunyai pilihan hati" Barang kali suhengmu itu?"


Wajah gadis itu menjadi merah sekali. sungguh pertanyaan yang amat terbuka mengenai perasaan hati pribadinya., Ia menggeleng kepala tanpa menjawab.


"Engkau mau artikan bahwa engkau masih bebas, belum bertunangan, belum ada yang menjadi pilihan hatimu?"


Hwe Li yang masih berdebar jantungnya karena tegang itu mengangguk dan menundukkan mukanya. Tiba-tiba ia merasa betapa tangannya yang berada di atas meja dipegang oleh pemuda itu. Ia terkejut dan jantungnya berdebar semakin kencang.


"Li-moi, kalau begitu kebetulan sekali. Aku sendirtpun masih bebas dan sejak pertama kali melihatmu, aku sudah jatuh Cinta kepadamu. Maukah engkau menjadi kekasih ku, Li-moi?"
Tangan yang memegang tangan Hwe Li itu meremas-remas lembut dan mesra. 


Hwe Li menjadi malu sekali, mukanya merah sampai ke lehernya dan ketika ia mengangkat muka, ia memandang wajah Siangkoan Tek dengan malu-malu dan tersenyum salah tingkah.

"Bagaimana, Li-moi" Aku berterus terang saja dan jawablah dengan terus terang. Maukah engkau menjadi kekasih ku?"


"Tek-ko, ini. ini. begini mendadak.... Bagaimana aku harus menjawabnya" Berilah aku waktu untuk memikirkan hal ini...."


"Baik, aku memberi waktu sampai besok pagi. Kuharap besok di waktu kita makan pagi, engkau sudah dapat menjawab pertanyaanku itu, dan mudah-mudahan jawabannya akan membahagiakan hatiku. 


Nah, sekarang engkau boleh mengaso, Li-moi. Engkau tidurlah di kamar ini, aku akan tidur di kamar lain-" 

Siangkoan Tek bertepuk tangan tiga kali dan beberapa orang anak buahnya masuk kamar. Pemuda itu memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan meja. setelah itu, dia lalu keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya dari luar. 

Sebelum pintu tertutup, dia menatap wajah Hwe Li. Kebetulan gadis itu pun memandangnya dan pandang mata mereka bertemu, Hwe Li menundukkan mukanya dan Siangkoan Tek meninggalkan kamar.

Hwe Li cepat mengunci pintu dari dalam dan ia berjalan hilir mudik di kamar itu. Pertanyaan pemuda itu masih terngiang di telinganya. 


Maukah ia menjadi kekasih Siangkoan Tek" Pertanyaan yang sukar sekali dijawabnya seketika. Harus diakuinya bahwa ia kagum sekali kepada pemuda tampan dan gagah itu. 

Akan tetapi mereka baru saja berkenalan dan Siangkoan Tek menjadi pemimpin perampok ia menjadi bimbang. Ketika ia merebahkan diri di atas pembaringan, ia gelisah tidak dapat pulas. Ia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan itu besok pagi. Menolak" ini bertawanan dengan bisikan hatinya. siapa yang tidak ingin menjadi kekasih seorang pemuda seperti Siangkoan Tek" 

Pemuda yang tampan dan gagah, memiliki ilmu silat tinggi dan putera seorang datuk besar pula. Akan tetapi, dapatkah ia menerima begitu saja menjadi kekasih seorang pemuda yang baru saja dikenalnya, yang belum diketahui benar bagaimana keadaan hatinya" sampai jauh malam barulah Hwe Li dapat pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi buruk.

Pada keesokan harinya pagi-pagi Hwe Li sudah terbangun dari tidurnya. semalam ada ingatan untuk melarikan diri, akan tetapi ketika ia membuka sedikit daun pintu, ternyata di depan kamarnya terdapat beberapa orang anak buah perampok menjaga. 

Dan ketika ia mengintai dari jendela, sama saja. Di sana juga ada beberapa orang menjaga. Ia tidak akan dapat melarikan diri tanpa diketahui dan kalau hal ini ia lakukan kemudian ia tertangkap lagi, belum tentu sikap Siangkoan Tek akan sebaik ini. 

Maka ia pun membuang pikirannya untuk melarikan diri Ketika pagi itu ia membuka daun pintu, beberapa orang anak buah perampok menghampiri dan seorang di antara mereka bertanya, "Adakah sesuatu yang dapat kami bantu, Nona?"

"Aku. aku ingin mandi." "Biar aku yang melayani" terdengar suara orang dan Siangkoan Tek muncul di situ. Hwe Li merasa sungkan dan malu karena ia kelihatan oleh pemuda itu sehabis bangun tidur, belum mandi dan rambutnya pun tentu kusut.


"Engkau hendak mandi, Li-moi" Mari, di belakang kuil ini terdapat pancuran air yang jernih sekali."
Terpaksa Hwe Li mengikuti pemuda itu ke belakang dan benar saja, di belakang kuil terdapat pancuran air yang jernih dan tempat itu sudah tertutup pagar kayu sehingga ia dapat mandi di dalam ruangan itu dengan aman dan tidak tampak dari luar.

Setelah mandi dan merasa dirinya bersih dan segar, Hwe Li keluar dari tempat mandi itu. Siangkoan Tek sudah menyodorkan sisir dan cermin bundar.


"Bawalah ini ke kamarmu, Li-moi. Dan setelah selesai menyisir rambut, kita makan pagi."


Biarpun pemuda itu tidak mengatakan bahwa dia menagih janji jawaban Hwe Li, namun Hwe Li sudah merasakannya dan hal ini membuat ia menjadi semakin gelisah. 


Sampai saat itu ia masih belum dapat mengambil keputusan jawaban bagaimana yang harus ia katakan kepada pemuda itu. Ia tidak menjawab, melainkan kembali ke kamar besar dan menyisir rambutnya yang panjang, lalu menyanggulnya. 

Karena di situ tidak terdapat bedak. maka ia hanya menggosok gosok kulit mukanya sehingga menjadi kemerahan.

Setelah selesai, ia tinggal saja di dalam kamarnya, tidak berani keluar dari kamar itu karena ia masih belum dapat mengambil keputusan. 


Akhirnya, sebuah ketukan dipintu membuat ia terkejut dan menengok ke arah pintu tanpa bergerak.

"Li-moi, keluarlah kalau engkau sudah selesai. Kita makan pagi" terdengar suara Siangkoan Tek lembut. Terpaksa Hwe Li bangkit berdiri, masih bingung bagaimana nanti harus menjawab pertanyaan pemuda itu. 

Ia melangkah keluar dan melihat betapa Siangkoan Tek sudah berganti pakaian baru dan nampak tampan sekali pagi itu. Ketika bertemu pandang, Hwe Li menundukkan mukanya dan ia membiarkan saja ketika tangannya dipegang dan digandeng oleh Siangkoan Tek.

"Kita makan di ruangan belakang," kata pemuda itu dan Hwe Li hanya menurut saja digandeng menuju ke ruangan belakang.


Hidangan untuk makan pagi ternyata telah disiapkan. Siangkoan Tek lalu membimbingnya duduk menghadapi meja dan mereka lalu makan pagi. 


Kalau Siangkoan Tek makan pagi dengan penuh semangat dan tampak gembira sekali, sebaliknya Hwe Li makan dengan lambat. 

Sampai saat itu ia masih merasa bingung sekali. sebagian dari perasaannya mendorongnya untuk menyambut uluran hati pemuda itu, akan tetapi sebagian lagi masih sangsi.

Baru saja mereka selesai makan, terdengar ribut-ribut dan derap kaki banyak kuda di luar kuil. Dua orang anak buah bergegas masuk dan melaporkan dengan suara gemetar, 

"Kongcu, tempat kita diserbu banyak sekali perajurit. Kita telah dikepung dari semua penjuru"

Tentu saja Siangkoan Tek merasa terkejut. "Siapkan semua anak buah. Lawan mati-matian" perintahnya. Dua orang itu cepat pergi dan Siangkoan Tek lalu bertanya kepada Hwe Li,
"Hwe Li, bagaimana Kim-liong-pang dapat mendatangkan pasukan pemerintah?"


"Ini tentu perbuatan suheng Lai Siong Ek. Dia adalah putera jaksa di Pao-ting dan tentu ayahnya yang mengerahkan pasukan dengan maksud untuk menolong aku, Tek-ko. Karena itu, sebaiknya engkau menyerah. 


Akulah yang akan menanggung agar engkau tidak dihukum. Akan kuceritakan bahwa engkau memperlakukan aku dengan baik sekali."

Akan tetapi Siangkoan Tek cepat memegang tangan Hwe Li dan dia pun berkata, suaranya tegas, "Mari kita melihat keluar"


Setelah mereka tiba di luar kuil, Siangkoan Tek melihat anak buahnya telah terlibat dalam pertempuran yang tidak seimbang melawan puluhan orang perajurit, bahkan mungkin ada seratus orang perajurit yang sudah mengepung kuil itu. 


Sekali pandang saja maklumlah Siangkoan Tek bahwa tidak mungkin anak buahnya menang, dan kalau terlambat akan sukar pulalah dia untuk dapat melarikan diri dari kepungan sekian banyak prajurit. 

Maka, secepat kilat dia menotok pundak Hwe Li yang menjadi lemas dan dia lalu memanggul tubuh gadis itu ke atas pundak kirinya dan setelah mencari bagian yang agak lemah penjagaannya atau kepungan para perajurit itu, yaitu di sebelah kiri, dia lalu melompat ke situ dan dengan pedangnya dia merobohkan setiap perajurit yang berani menghadangnya.

"Lepaskan Sumoi" terdengar bentakan dan ternyata Lai Siong Ek sudah berada di situ dan menyerang Siangkoan Tek dengan pedangnya.


"Trang-tranggg......" Dua kali pedang siong Ek bertemu dengan pedang Siangkoan Tek dan pedang di tangan Siong Ek terpental. 

Dua orang perwira pasukan datang membantunya. Akan tetapi mereka tidak berani menyerang dengan serampangan karena Siangkoan Tek memanggul tubuh Hwe Li, khawatir kalau serangannya mengenai tubuh gadis itu. 

Kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Tek untuk melompat jauh dan dia melarikan diri dengan cepat. Siong Ek dan dua orang perwira, diikuti oleh belasan orang perajurit mengejar, akan tetapi mereka ini kalah jauh dalam hal lari cepat oleh Siangkoan Tek sehingga sebentar saja pemuda itu sudah lenyap ke dalam hutan lebat.

Siangkoan Tek masuk ke dalam semak belukar dan agar dia tidak terganggu oleh berat badan Hwe Li, dia membebaskan totokannya pada gadis itu.


"Sstt, jangan mengeluarkan suara, Li-moi. Kalau kita ketahuan, terpaksa aku akan membunuh suhengmu itu"
Hwe Li menjadi serba salah, kalau ia menjerit, tentu mereka akan dikepung dan la tidak ingin melihat Siangkoan Tek dikeroyok sampai tewas. 


Akan tetapi kalau ia diam saja, ia akan dibawa pergi oleh pemuda itu Ia merasa serba salah dan ia pun diam saja, akan tetapi kedua matanya menjadi basah, apalagi ketika ia mendengar teriakan ayahnya,
"Kejar dan cari sampai berhasil ditemukan" 


Demikian terdengar suara souw Can yang juga ikut datang bersama semua anak buah Kim-liong-pang.
Setelah para pencari itu lewat, Siangkoan Tek lalu menarik tangan Hwe Li dan diajaknya gadis itu lari ke lain jurusan. 

Akhirnya mereka meninggalkan bukit itu. Siangkoan Tek tidak mempedulikan lagi keadaan anak buahnya yang terbasmi oleh pasukan yang menyerbu kuil itu. Mereka sudah jauh meninggalkan para pengejarnya dan tiba di sebuah padang rumput.

"Kenapa engkau berhenti Li-moi" Kita lanjutkan perjalanan menjauhi bukit agar tidak dapat dikejar lagi."


Tempat itu sunyi, jauh dari pedusunan dan Hwe Li memandang ke sekelilingnya. "Tek-ko, aku akan kembali ke rumah orang tuaku."


"Kenapa, Li-moi" Bukankah engkau sudah ikut denganku melarikan diri?"
"Akan tetapi ke mana engkau hendak membawaku pergi, Tek-ko" Aku takut, orang tuaku tentu akan mencariku. 


Aku harus pulang" Hwe Li membalikkan tubuhnya dan hendak berlari kembali ke bukit itu agar dapat pulang ke Pao-ting.

Akan tetapi Siangkoan Tek dengan sekali lompatan sudah menghadang di depannya. 


"Li-moi, dalam keadaan seperti ini engkau hendak meninggalkan aku" Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik" Dan engkau belum menjawab pertanyaanku kemarin. 

Maukah engkau mempererat lagi hubungan persahabatan klta dan menjadi kekasihku?"

Wajah Hwe Li berubah merah dan ia menjadi serba salah. Jelas bahwa pemuda ini bukan perampok. dan buktinya juga tidak membela para perampok ketika diserbu pasukan. 


Akan tetapi, ia masih tetap sangsi walaupun ia tertarik sekali kepadanya. Akan mudah sekali untuk jatuh cinta kepada pemuda seperti Siangkoan Tek. akan tetapi hatinya masih diliputi keraguan. 

" Apakah ayahnya akan dapat menerima pemuda ini sebagai calon suaminya kalau mengetahui bahwa pemuda ini yangpernah memimpin gerombolan perampok merampas dua buah kereta" Tentu Lai siong Ek akan mengenalnya.

"Aku.. aku tidak tahu, Tek-ko...." jawabnya lirih.


"Li-moi, aku cinta padamu.." Siangkoan Tek merangkul lalu mencium wajah yang cantik itu. semula Hwe Li mandah saja dan tenggelam ke dalam kemesraan, akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia bukan tunangan pemuda itu, maka ia meronta. 


Apalagi ketika tangan Siangkoan Tek meraba-raba dengan berani. ia meronta sehingga terlepas dari rangkulan pemuda itu.

"Jangan, Tek-ko....jangan......"


"Li-moi, aku tahu bahwa engkau juga mencintaiku" kata Siangkoan Tek yang meraih kembali dan merangkul gadis itu. Hwe Li meronta dan pada saat itu terdengar bentakan halus dan nyaring, "Lepaskan gadis itu"


Mendengar bentakan suara wanita ini, Siangkoan Tek melepaskan rangkulannya dari tubuh Hwe Li dan cepat membalikkan tubuhnya. Dia melihat bahwa yang membentak tadi adalah seorang gadis yang cantik jelita dan yang berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong marah. 


Pakaian gadis itu berkembang cerah dan wajahnya cantik sekali. Wajah itu berbentuk bulat telur, mulutnya kecil dengan bibir mungil merah membasah. 

Hidungnya mancung dengan ujungnya agak menjungat ke atas, nampak lucu menantang. Di kedua ujung mulutnya tampak lesung pipit yang manis. 

Sebatang pedang tergantung dipunggung dan di pinggangnya terselip sebatang suling membuat ia selain nampak cantik jelita juga gagah perkasa. 

Terutama sekali matanya yang mencorong itu, sungguh berwibawa. Dan seketika Siangkoan Tek teringat akan gadis ini dan wajahnya berseri. Dia segera mengenal wajah ini.

"Kau. kau. Nona Lee Cin murid Ang-tok Mo-li.... Ah, sudah lama aku mencarimu, adik manis"


"Hemm, Siangkoan Tek. engkau manusia jahanam. Di mana-mana engkau mengejar gadis-gadis cantik. 


Aku tidak mempunyai urusan denganmu, kecuali untuk menghajarmu. Ada urusan apa engkau mencariku?"

"Sejak pertemuan kita dahulu, aku selalu teringat kepadamu, Cin-moi. siang malam aku teringat kepadamu. 


Marilah ikut aku pulang ke Pulau Naga. Ayahku juga setuju kalau engkau menjadi.."

"Tutup mulutmu yang kotor" Bentak Lee Cin dan secepat kilat ia sudah menyerang pemuda itu. Tangan kanannya meluncur seperti seekor ular yang mematuk ke arah leher pemuda itu.


Siangkoan Tek maklum benar betapa lihainya gadis ini, maka dia pun tidak berani main-main dan sudah mencelat ke belakang untuk menghindarkan serangan itu. 


Akan tetapi Lee Cin tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk banyak cakap karena gadis itu sudah menyerang lagi, lebih hebat kini karena ia mainkan jurus ampuh dari Ang-coa-kun (silat Ular Merah) yang ia warisi dari gurunya atau juga ibunya. serangan ini ampuh sekali. 

Bukan saja kuat dan cepat, akan tetapi ilmu pukulan ini juga mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Menghadapi serangan yang datangnya bertubi ini, Siangkoan Tek segera terdesak. 

Dia maklum akan bahaya yang mengancamnya, maka dia meraba punggungnya dan di lain saat dia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. 

Dengan pedang ini dia membalas serangan Lee Cin sampai tiga kali berturut-turut. Lee Cin juga sudah tahu bahwa lawannya adalah putera Datuk Besar dari timur, maka ia cepat mengelak tiga kali sambil berlompatan mundur. Ketika ia maju kembali, ia sudah memegang Ang-coa-kiam.

"Trang-cring-trang....." berkali-kali kedua pedang itu bertemu di udara dan bunga api berpijar ketika dua pedang yang sama kuatnya ini berbenturan.


Keduanya segera terlibat dalam perkelahian pedang yang amat seru. sementara itu, sejak tadi Hwe Li memandang dengan mata terbelalak. 


Bermacam perasaan teraduk dalam hatinya. Jantungnya masih berdebar kalau ia teringat akan ciuman-ciuman yang diterimanya dari Siangkoan Tek tadi. Masih terasa hangatnya ciuman itu. 

Dan hatinya terasa panas sekali ketika mendengar betapa pemuda itu seolah-olah tergila-gila kepada gadis cantik yang kini bertanding dengan Siangkoan Tek. la merasa cemburu. 

Akan tetapi kenyataan bahwa gadis itu datang untuk menolongnya, membuatnya menjadi ragu. kemudian ia melihat betapa gadis itu lihai sekali dan seolah mendesak Siangkoan Tek dengan pedangnya yang menjadi gulungan sinar merah. 

Timbul rasa khawatir dalam hati Hwe Li, Jangan-jangan Siangkoan Tek akan kalah dan terluka, atau terbunuh. 

Mendadak ada dorongan dari dalam hatinya, dan ia lalu mencabut pedangnya dan melompat maju menyerang Lee Cin, membantu Siangkoan Tek.

"Eh.....?"" Lee Cin terkejut dan merasa heran sekali ketika melihat betapa gadis yang ditolongnya itu tiba-tiba membantu Siangkoan Tek mengeroyoknya. 


Biarpun ilmu pedang gadis itu tidak sehebat ilmu pedang Siangkoan Tek. akan tetapi kepandaian gadis itu sudah cukup tinggi sehingga Lee cin segera terdesak ketika dikeroyok dua. juga ia ragu-ragu untuk melukai gadis yang tidak dikenalnya itu.
Maka ia lalu memutar pedangnya dengan cepat untuk melindungi dirinya. Ingin ia membunuh Siangkoan Tek yang ia tahu merupakan seorang pemuda mata keranjang, cabul dan jahat. 

Akan tetapi dengan majunya Hwe Li, Lee Cin tidak melihat kesempatan untuk merobohkan Siangkoan Tek, bahkan sebaliknya ia menjadi terdesak sekali. Ia merasa jengah sendiri kalau mengingat betapa ia tadi hendak menolong gadis itu, padahal kenyataannya gadis itu sama sekali tidak membutuhkan pertolongan. 

Gadis itu tidak dipaksa atau terancam oleh Siangkoan Tek. sebaliknya malah, gadis itu kini membantu pemuda itu yang menunjukkan bahwa gadis itu bersahabat erat dengan Siangkoan Tek. 

Dan kini malah ia yang terancam bahaya. Kalau tidak disudahi perkelahian itu, akhirnya ia tentu akan terkena senjata lawan. 

Berpikir demikian, Lee Cin lalu menyerang dengan hebat ke arah Hwe Li yang membuat gadis ini terpaksa meloncat mundur ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lee cin untuk melompat jauh dan melarikan diri secepatnya. 

Ia pikir bahwa yang akan mampu mengejarnya hanya Siangkoan Tek dan belum tentu gadis itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang dapat menandinginya sehingga dapat mengejarnya. Kalau hanya Siangkoan Tek yang mengejar sendiri, setelah jauh ia akan menghadapi pemuda jahat itu.

Akan tetapi Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tidak terpancing dan tidak melakukan pengejaran. Untuk apa mengejar Lee Cin kalau hal itu bahkan akan membahayakan" 


Dia mendapat kenyataan betapa Lee Cin bahkan lebih lihai daripada dahulu. Biarlah, sekali ini dia terpaksa membiarkan Lee Cin kabur, akan tetapi lain kali dia harus berusaha untuk dapat menangkap Lie Cin. Hanya gadis itu yang dia anggap pantas untuk menjadi isterinya.
"Tek-ko." 
Siangkoan Tek memutar tubuhnya, memandang Hwe Li sambil tersenyum dan menyimpan pedangnya. Gadis itu sudah menyimpan pedangnya dan kini memandang kepadanya dengan marah.


"Li-moi, terima kasih. Engkau telah membantuku"


"Tek-ko, siapakah gadis itu?" tanya Hwe Li sambil cemberut karena hatinya dicekam cemburu.


"Ah, ia" la bernama Lee Cin, dan ia murid seorang tokoh besar dunia persilatan yang berjuluk Ang-tok Mo-li. Ilmu kepandaiannya hebat, akan tetapi dengan bantuanmu, kita dapat mendesaknya dan kalau ia tidak melarikan diri, kita tentu akan dapat merobohkannya. "


"Hemm, kalau dapat merobohkannya selanjutnya akan kau apakan?"
"Ia" Ah.. akan kubunuh tentu saja"


"Benarkah itu" Aku tadi mendengar betapa engkau selalu teringat kepadanya Tek-ko, engkau.. engkau cinta kepadanya"


"Hushh...., engkau ngawur, Li-moi. Kalau aku mencintanya, mengapa kami bertanding mati-matian" Aku memang selalu teringat kepadanya karena diantara kami pernah terjadi permusuhan"


"Akan tetapi engkau bilang tadi bahwa kalau ia mau ikut denganmu ke Pulau Naga, ayahmu akan....."


"Akan memaafkan kesalahannya dan menyudahi permusuhan antara kami. Ia lihai sekali, tidak enak bermusuhan dengan lawan selihai itu, maka aku membujuknya untuk menghabisi permusuhan. 


Jangan menyangka yang tidak-tidak, Li-moi. Aku hanya mencinta engkau seorang"

Setelah berkata demikian, Siangkoan Tek lalu merangkul dan menciumi gadis itu Hwe Li seperti mabok dan membiarkan dirinya dibelai dan ia hanya memejamkan matanya dan tenggelam ke dalam rangkulan Siangkoan Tek.


Kita tinggalkan dahulu Hwe Li yang tenggelam ke dalam lautan nafsu berahi, terbakar oleh berahi Siangkoan Tek dan gadis yang kurang pengalaman hidup dan yang memiliki pandangan sempit itu terbuai dan pasrah saja ke tangan pemuda yang menarik hatinya dan yang dianggapnya sebagai manusia terbaik di dunia ini.


Lee Cin melarikan diri dan ia mengerutkan alisnya, hatinya merasa penasaran sekali melihat sikap gadis yang ditolongnya itu. 


Kalau tidak ada gadis itu yang membantunya, ia hampir yakin akan dapat membunuh pemuda jahat itu Ia teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, ia bertemu dengan Siangkoan Tek dan ayahnya, Siangkoan Bhok. 

Ia bertanding dengan mereka Can akhirnya tertotok roboh oleh dayung Siangkoan Bhok yang lihai. Ketika itu, Siangkoan Tek membawanya ke balik semak-semak dan hendak memperkosanya, dibiarkan saja oleh ayah pemuda itu. 

Untung baginya, pada saat yang amat gawat itu Ia tertolong oleh Thio Huisan murid In Kong Thaisu. (baca Kisah Gelang Kemala).

Karena amat membenci Siangkoan Tek. setelah peristiwa itu, ia mengambil keputusan untuk membunuh pemuda itu apabila bertemu kembali. Ketika melihat Hwe Li meronta- ronta dalam pelukan Siangkoan Tek. 


Lee Cin mengira bahwa pemuda itu hendak memperkosanya maka ia lalu membentak dan turun tangan menyerang Siangkoan Tek. Akan tetapi siapa kira, setelah ia mulai mendesak Siangkoan Tek. gadis itu terjun dalam perkelahian dan malah membantu Siangkoan Tek mengeroyoknya. 

Padahal ia beranggapan bahwa ia telah menyelamatkan gadis itu dari tangan Siangkoan Tek yang hendak memperkosanya. Benar-benar membuat ia penasaran sekali.
Kalau dulu, di waktu ia masih berada di bawah bimbingan gurunya atau ibu kandungnya, Ang-tok Mo-li, ia tidak akan lari menghadapi perkelahian. 

Biarpun ia terdesak oleh keroyokan dua orang, dahulu seperti gurunya ia tidak pernah mengenal takut, tidak pernah mau mundur apalagi melarikan diri. 

Ia tentu akan kembali lagi dan menggunakan segala daya, kalau perlu memanggil ular-ularnya, untuk membalas dan berhasil membunuh Siangkoan Tek. 

Akan tetapi semenjak ia tinggal bersama ayah kandungnya dan menerima bimbingan ayahnya, ia mendapat banyak nasihat dan di antaranya, agar ia tidak sembarangan membunuh orang dan tidak menjadi nekat walaupun keadaannya kalah kuat. 

Tidak suka melarikan diri walaupun sudah terhimpit dan kewalahan, bukan sikap seorang yang gagah perkasa, melainkan perbuatan orang bodoh yang sama seperti ingin mati konyol atau membunuh diri sewaktu ada kesempatan, orang harus menyelamatkan diri lebih dulu, membebaskan diri dari ancaman maut agar dapat bertindak lebih jauh.
Bagaimana Lee Cin tiba-tiba dapat muncul di situ bertemu dengan Siangkoan Tek dan Hwe Li" Gadis ini melakukan perjalanan bersama Thio Hui san, menuju ke Kwi-su di mana terdapat kuil siauw-lim-si. Kebetulan sekali ketika mereka tiba di kuil itu, Hui sian Hwesio sedang berada di situ sehingga Lee cin dapat menghadap wakil ketua siauw-lim-pai ini dan menyampaikan pesan ayahnya kepada Huisan Hwesio.

Ketika itu, Hui sian Hwesio sedang duduk dengan in Kong Thaisu, ketua siauw-lim-pai. Mendengar pesan Souw Tek Bun yang disampaikan Lee Cin bahwa bengcu ini mengundurkan diri, kedua orang hwesio itu mengerutkan alisnya.


"omitohud....." kata Hui sian Hwesio. "Akan tetapi mengapa ayahmu Souw Tek Bun hendak mengundurkan diri sebagai bengcu" Padahal menurut pinceng (saya), pada waktu ini tidak ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi bengcu. Kenapa ada keputusan yang tiba-tiba ini?"


"Ayah mengambil keputusan ini setelah dia terluka oleh pukulan seseorang yang menggunakan pukulan telapak tangan hitam dan pukulan merontokkan jalan darah."

"Omitohud.. siapa yang melakukan pukulan keji itu?" In Kong Thaisu berkata sambil merangkap sepuluh jari tangannya ke depan dada.

"Teecu (murid) tidak tahu, juga Ayah tidak tahu karena penyerang itu berkedok hitam. Teecu berhasil menyelamatkannya dengan totokan-totokan it-yang-ci dan Ayah sudah minum obat pembersih darah. 


Akan tetapi Ayah masih harus menggunakan waktu sedikitnya sebulan untuk memulihkan tenaganya."

Hui sian Hwesio mengerutkan alisnya. "Apakah hanya karena serangan itu souw Bengcu hendak mengundurkan diri" setiap orang pendekar selalu tentu menghadapi bahaya serangan musuh-musuh dari golongan sesat, bukan hanya kalau menjadi bengcu saja. 


Alasan souw Bengcu hendak mengundurkan diri sungguh tidak kuat dan tidak masuk akal."

"Susiok, Ayah sama sekali bukan hendak mengundurkan diri karena takut menghadapi musuh. Akan tetapi ada suatu hal yang meresahkan hati Ayah, yaitu kalau dia dianggap sebagai bengcu antek Kerajaan Mancu. 


Karena dia diangkat bengcu dengan restu dari Kerajaan Mancu, maka para patriot dan pendekar yang anti penjajah tentu akan memusuhinya dan Ayah tidak senang kalau dia harus bermusuhan dengan para patriot karena dalam sudut hati Ayah sendiri, dia tidak suka kepada penjajah Mancu."

"Omitohud..., kiranya itukah sebabnya?" kata Hui sian Hwesio. "Kalau itu alasannya, sungguh masuk akal. Akan tetapi karena souw- bengcu menjadi bengcu setelah dipilih semua pihak. maka tidak bisa dia meletakkan kedudukan begitu saja. 


Dia harus mengundurkan diri di depan semua pihak dan mengingat bahwa pada bulan lima semua orang gagah kami undang ke Hong-san untuk mengadakan rapat membicarakan gerakan orang-orang gagah dipantai timur yang terbujuk orang-orang Jepang untuk mengadakan pemberontakan, maka sekalian ayahmu mengajukan pernyataan berhenti menjadi bengcu dalam rapat besar itu."

"Kalau begitu halnya, sebaiknya kalau susiok mengutus suheng Thio Hui san memberi kabar kepada Ayah, karena saya hendak melanjutkan perjalanan saya untuk mencari si Kedok Hitam yang telah melukai ayah. 


Mohon petunjuk kepada suhu dan susiok, siapakah kira-kira si Kedok Hitam yang masih muda dan yang menggunakan pukulan penghancur jalan darah yang bertapak tangan hitam itu?"

Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian in Kong Thaisu menoleh kepada Thio Hui san. "Hui san, engkau yang banyak berkelana di dunia kang-ouw, apakah engkau tidak dapat menduga siapa orang yang memiliki ilmu tapak tangan hitam penghancur jalan darah seperti itu?" tanyanya sambil menatap wajah muridnya.


"Teecu teringat bahwa memang ada sebuah keluarga yang namanya terkenal di dunia kang-ouw dengan ilmu silat tangan kosong mereka. 


Keluarga itu adalah keluarga Cia yang tinggal di Hui-cu, di kaki Bukit Lo-sian (Dewa Tua). Keluarga itu terkenal sekali dengan ilmu tapak tangan hitam mereka. 

Akan tetapi tokoh-tokohnya telah meninggal dunia dan yang tinggal hanya seorang nenek. Kabarnya Nenek Cia ini yang mewarisi semua ilmu keluarga cia. selanjutnya teecu tidak tahu, suhu."

"Hemm, keluarga Cia di Hui-cu kaki Bukit Lo-sian?" Lee Cin menyambung sambil mengerutkan alisnya. 


"Biarpun petunjuk itu samar dan mungkin keluarga Cia sama sekali tidak ada hubungannya dengan si Kedok Hitam, akan tetapi baik juga kalau aku menyelidiki ke sana, suheng."

"Memang sebaiknya begitu, Lee Cin. Akan tetapi ingat, engkau hanya menyelidiki saja, jangan sampai terjadi kesalah-pahaman sehingga engkau menjadi bermusuhan dengan keluarga itu. 


Jangan sekali- kali mudah menuduh orang sebelum engkau melihat buktinya. Eh, Hui san- keluarga Cia itu termasuk golongan apakah" Mudah-mudahan mereka bukan golongan sesat," kata In Kong Thaisu.

"Sama sekali bukan, suhu. Menurut yang teecu dengar, keluarga itu malah terkenal sebagai keluarga yang menentang kejahatan, keluarga yang gagah perkasa akan tetapi tidak suka menonjolkan diri di dunia kang-ouw sehingga tentang mereka, tidak banyak orang mengetahuinya," jawab pemuda itu.


Setelah menerima banyak nasihat dari in Kong Thaisu, Lee Cin lalu meninggalkan kuil siauw-lim-si untuk melanjutkan perjalanannya. Kini tugasnya ada dua. 


Pertama, menyelidiki keluarga Cia dan kedua, mencari ibunya dan membujuk ibunya agar suka berbaik kembali dengan ayahnya.
Sementara itu, Hui san juga meninggalkan kuil siauw-lim-si untuk memberi kabar kepada souw- bengcu tentang rapat pertemuan yang akan diadakan di Hong-san, tempat tinggal souw- bengcu. dalam hatinya, pemuda ini merasa kecewa bahwa dia harus melakukan perjalanan seorang diri. 

Alangkah beda rasanya melakukan perjalanan seorang diri dengan berjalan bersama Lee Cin. Dia tahu bahwa dia sudah jatuh cinta untuk kedua kalinya kepada Lee cin.
Demikianlah, ketika melakukan perjalanan menuju ke kota Hui-cu di kaki Bukit Lo-sian, di tengah perjalanan Lee Cin bertemu dengan Siangkoan Tek dan souw Hwe Li. sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa antara ia dan Hwe Li terdapat tali persaudaraan yang tidak begitu jauh. 

Mereka berdua sama-sama bermarga souw dan souw Tek Bun masih terhitung saudara sepupu dari souw can, sungguhpun keduanya sejak muda sekali tidak pernah lagi saling berhubungan. 

Kalau saja ia mengetahui, tentu tidak begitu mudah ia membiarkan Hwe Li berdua saja dengan pemuda yang ia ketahui amat keji itu.

Kota Bi-ciu merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena kota itu menjadi pusat perdagangan. 


Daerah itu merupakan gudang rempah-rempah dan juga penduduknya hidup makmur sehingga banyak barang dagangan dibawa para pedagang memasuki kota itu. Karena banyaknya tamu yang setiap hari mendatangi kota Bi-ciu, di situ tumbuh rumah makan dan rumah penginapan seperti jamur di musim hujan. 

Banyak restoran dan hotel, dari yang kecil sederhana sampai yang besar mewah.

Pada suatu siang, disebuah restoran yang cukup besar penuh dengan tamu yang hendak makan siang. Karena restoran besar ini juga merangkap sebagai hotel yang memiliki puluhan kamar, maka restoran itu selalu penuh tamu dari luar ataupun tamu yang bermalam di situ. 


Siang itu hawanya panas sekali. Apalagi dalam restoran yang penuh orang itu, hawanya lebih panas lagi.
Ketika para pelayan sedang sibuk melayani para tamu, masuklah seorang pemuda yang menarik perhatian orang. 


Pemuda ini berwajah tampan dan pakaiannya serba putih dari sutera halus, potongannya seperti yang biasa dipakai para siucai (pelajar). Akan tetapi walaupun pakaiannya seperti sastrawan, namun dipunggungnya tergantung sepasang pedang dan dipinggangnya terselip pisau pisau belati kecil sehingga tahulah orang bahwa pemuda itu tidak selembut tampaknya, melainkan seorang pemuda yang biasa berkelana di dunia kang-ouw. 

Memang sebenarnya demikianlah, karena pemuda itu bukan lain adalah ouw Kwan Lok, murid Thian-te Mo-ong dan mendiang Pak-thian-ong itu.
Pengalamannya yang pertama amat pahit. Ketika dia sudah berhasil melarikan Liu Ceng atau Ceng Ceng dan hendak memaksa gadis cantik itu menjadi kekasihnya, muncul Thian-tok Gu Kiat Seng dan terpaksa dia lari meninggalkan Ceng Ceng karena Thian-tok merupakan lawan yang amat tangguh, apalagi dibantu Ceng Ceng. 

Pengalaman ini membuat Kwan Lok berhati-hati dan membuka matanya bahwa betapapun banyak ilmu yang telah diperolehnya dari kedua orang gurunya, di dunia kang-ouw banyak terdapat tokoh yang dapat menandinginya .

Siang itu tibalah dia di kota Bi-ciu dan karena sejak pagi dia belum makan, dia memasuki rumah makan yang ramai dan disambut seorang pelayan dengan hormat.


"Kongcu hendak makan" Kebetulan sekali masih ada meja yang kosong, hanya tinggal satu meja itulah. Mari silakan, Kongcu."


Kwan Lok mengikuti pelayan itu dan duduk menghadapi meja kosong yang letaknya di sudut. Meja itu barusaja ditinggalkan tamu yang makan. 


Pelayan segera menggunakan kain lapnya untuk membersihkan meja itu sambil bertanya, "Kongcu hendak memesan masakan apa?"

Kongcu itu menatap ke sebelah kirinya. Terpisah tiga meja dari mejanya agak ke tengah, dia melihat seorang gadis makan seorang diri dan dilihat dari situ, gadis itu cantik sekali dan makan dengan gerakan halus dan sopan, namun kelihatan nikmat sekali.


"Aku hend
ak memesan nasi dan masakan seperti yang dimakan nona di sana itu." Dia menunjuk ke arah gadis itu dan si pelayan mengangguk-angguk mengerti.

"Dan minumnya?" "Arak seguci kecil dan air teh."

Pelayan pergi untuk mempersiapkan pesanan Kwan Lok dan pemuda ini sengaja duduk menghadap ke arah gadis itu sehingga dia dapat melihat gadis itu dari samping. Dia kagum dan tertarik,. 


Di atas meja depan gadis itu terdapat sebatang pedang Hal ini menunjukkan bahwa gadis itupun bukan orang lemah. Kalau seorang gadis sudah berani metakukan perjalanan seorang diri membawa-bawa pedang, setidaknya ia tentu pernah belajar silat pedang dan melihat sikapnya yang demikian lembut namun tidak malu-malu dan penuh kepercayaan pada diri sendiri, Kwan Lok dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang berarti.
Gadis itu dilihat dari samping amat cantik menarik. Ketika gadis itu kebetulan menoleh ke arahnya, Kwan Lok dapat melihat wajah itu dari depan dan dia terpesona. 

Bukan main cantik jelitanya gadis itu. Aku harus dapat mendekatinya dan berkenalan dengannya, pikirnya. 

Akan tetapi gadis itu berada di tempat umum dan menegur gadis itu begitu saja merupakan perbuatan yang kasar dan tidak sopan. Kwan Lok tidak mau mendatangkan kesan buruk di hati gadis itu.

Kwan Lok sama sekali tidak pernah menduga bahwa gadis itu justru merupakan seorang di antara tiga orang musuh besar gurunya, yang harus dibunuhnya. 


Thian-te Mo-ong, gurunya, berpesan kepadanya agar dia mencari tiga orang di dunia kang-ouw, yaitu pertama song Thian Lee, ke dua, seorang gadis bernama Tang cin Lan puteri Pangeran Tang Gi su dan ke tiga seorang gadis pula bernama Lee Cin murid Ang-tok Mo-li. Dia tidak pernah menduga bahwa gadis itu adalah souw Lee cin.

Lee Cin melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Hui-cu untuk menyelidiki keluarga Cia yang kabarnya memiliki ilmu pukulan tapak tangan hitam dan pada hari itu ia tiba di kota Bi-ciu. 


Melihat kota yang ramai itu, Lee Cin ingin tinggal beberapa hari lamanya untuk bertanya-tanya barang kali ibunya berada di kota itu. Biarpun ibunya tinggal di Bukit Ular di lembah sungai Huang- ho, akan tetapi ibunya suka merantau dan sebelum mencari ibunya diBukit Ular, ia harus mendengar-dengar dan mencari keterangan disetiap tempat yang ramai kalau- kalau ibunya berada di situ. 

Maka Lee Cin lalu mencari rumah penginapan yang juga membuka rumah makan besar di depan rumah penginapan- siang hari itu ia makan di rumah makan, tidak tahu bahwa ada orang yang sejak tadi memperhatikannya.

Setelah pesanan makannya dihidangkan, Kwan Lok segera makan sambil kadang-kadang melirik ke arah gadis itu yang makan dengan perlahan. 


Tiba-tiba tiga orang pria memasuki rumah makan itu. Melihat pakaian mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah tiga orang pria yang kaya dan melihat lagak mereka dapat diduga pula bahwa mereka tentulah orang-orang yang merasa berkuasa. 

Dua orang pelayan segera menyambut mereka dan dua orang pelayan itu membungkuk-bungkuk penuh hormat. Tiga orang yang usianya sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun itu bertolak pinggang dan memandang kesana-sini, melihat meja meja yang penuh tamu.

"Mohon maaf sebesarnya, sam-wi Kongcu (Tiga orang Tuan muda), akan tetapi rumah makan kami penuh tamu dan tidak ada sebuah pun meja yang kosong. silakan menunggu sebentar sampai ada tamu yang selesai makan dan meninggalkan mejanya."


Tiga orang itu memandang ke sekeliling dan tiba-tiba seorang di antara mereka menunjuk ke arah meja yang dihadapi Lee cin, lalu berkata kepada pelayan itu, "Kami lihat di sana itu, satu meja hanya dipakai makan seorang saja. Kami dapat mengajak nona itu makan bersama" 


Dua orang temannya juga memandang dan mereka mengangguk sambil tersenyum simpul. kemudian bergegas mereka menghampiri meja Lee cin, diikuti oleh seorang pelayan yang kelihatan gelisah.

Setelah tiba di situ, mereka lalu menarik tiga buah bangku yang masih kosong lalu duduk menghadapi meja Lee Cin yang masih makan. 


Tentu saja gadis itu merasa heran dan memandang dengan alis berkerut kepada tiga orang itu.

"Nona, bangku- bangku ini masih kosong bukan?" tanya seorang.


"semua tempat penuh, kami dapat duduk disini, bukan?" kata orang kedua.


"Daripada Nona makan seorang diri tiada teman, biarlah kami bertiga menemani Nona makan minum. 


Hei, pelayan, cepat sediakan arak terbaik dan keluarkan masakan yang termahal dan paling lezat untuk kami. 

Nona ini makan bersama kami dan semua kami yang akan bayar" kata orang he tiga dengan gembira.
Lee cin minum air tehnya lalu berkata lembut, "Harap kalian bertiga mencari meja lain dan jangan mengganggu aku. Aku tidak ingin ditemani."

"Aih, kenapa, Nona" Kami tidak akan mengganggu, bahkan hendak menjamu dengan hidangan termahal."


"Kami akan menjadi teman makan yang menyenangkan, Nona."
"Kami adalah tiga orang muda paling terkenal di kota ini, undangan kami merupakan kehormatan besar bagi Nona."


Lee Cin menjadi jengkel. Lenyap selera makannya oleh gangguan itu Kalau ia menjadi marah dan menghajar tiga orang laki-laki tidak sopan ini, tentu ia akan menggemparkan rumah makan yang penuh tamu itu, juga tentu akan ada prabot yang rusak dan para tamu tentu akan meninggalkan tempat itu. 


Ia tidak menghendaki terjadi keributan. Akan tetapi kalau didiamkan saja, tiga orang laki-laki ini tentu menjadi semakin kurang ajar. Ia mengukur dengan pandang matanya jarak di antara mereka dan ia. 

Jari tangannya tidak akan sampai ke tubuh mereka, akan tetapi kalau disambung sumpit, tentu sampai.
"Sekali lagi, kuminta kalian bertiga cepat meninggalkan aku seorang diri, atau aku akan menghajar kalian" katanya perlahan akan tetapi penuh wibawa.

Tiga orang laki-laki itu tersenyum lebar. "Akan enak sekali kalau dihajar oleh Nona yang cantik ini," kata seorang di antara mereka dan yang dua orang menyeringai kurang ajar.

Dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti dengan mata, tangan kanan Lee Cin yang masih memeggng sumpit itu bergerak tiga kali dan tiga orang pria itu seolah berubah menjadi patung, duduk tidak bergerak dan tidak dapat bersuara lagi, hanya matanya saja yang memandang dengan kaget dan ketakutan.

Lee Cin sudah tidak berselera lagi. Ia menaruh sumpitnya dan menggapai seorang pelayan. Pelayan itu bergegas menghampiri dan Lee Cin membayar harga makanan. 


Tadinya pelayan itu tidak tahu bahwa tiga orang muda yang tidak sopan itu berubah menjadi patung. Akan tetapi setelah Lee Cin bangkit dan pergi membawa pedangnya, tiga orang itu masih duduk seperti patung, dan pelayan itu memandang keheranan. 

Akan tetapi dia pun tidak berani mengganggu dan meninggalkan tiga orang itu yang telah memesan arak terbaik dan makanan paling mahal. semua pelayan mengenal siapa tiga orang pria itu. 

Mereka adalah putera seorang bangsawan dan dua orang hartawan, dan terkenal amat royal, akan tetapi juga selalu menghendaki agar perintah mereka ditaati.

Tentu saja Kwan Lok yang sejak tadi memperhatikan Lee Cin, dapat melihat apa yang dilakukan gadis itu kepada tiga orang pria kurang ajar itu. 


Diam- diam dia terkejut sekali. Cara Lee Cin menotok ketiga orang pengganggunya menunjukkan bahwa gadis itu seorang ahli totok yang lihai sekali. 

Maka cepat dia pun membayar harga makanan dan mengikuti gadis itu keluar rumah makan. Kwan Lok membayangi dari kejauhan sehingga Lee Cin tidak menaruh curiga.
Setelah pelayan datang membawa arak dan hidangan ke meja tiga orang pria tadi, barulah pelayan merasa heran dan curiga. Tiga orang itu tetap duduk diam saja.

"Sam-wi Kongcu, makanan telah saya hidangkan," katanya. Tidak ada yang menjawab.


"Silakan sam-wi makan," katanya lagi sambil memandang wajah mereka. Dan melihat mata mereka yang bergerak-gerak ketakutan itu barulah pelayan itu menjadi sadar bahwa tiga orang laki-laki itu tidak mampu bergerak. 


Yang bergerak hanya biji mata mereka. Tentu saja dia menjadi panik dan segera memberi tahu para pelayan lain. Keadaan menjadi ribut ketika para tamu mengetahui bahwa ada hal yang tidak beres dengan tiga orang itu.

Pemilik rumah makan yang juga mengenal baik para pemuda itu, menjadi khawatir. Pemuda-pemuda yang menjadi kaku itu diurut-urut, digosoki minyak. namun tetap saja tidak bergerak.


Akhirnya seorang yang terkenal sebagai tukang pukul datang mendekati. Dia adalah seorang yang pandai ilmu silat dan melihat keadaan tiga kongcu itu, dia pun menotok dan menekan sana sini, mencari jalan-jalan darah terpenting dan akhirnya dia berhasil secara kebetulan memunahkan totokan dan tiga orang itu pulih dan dapat bergerak kembali. setelah dapat bergerak kembali, tiga orang itu mencak-mencak.


"Keparat!! Di mana adanya gadis siluman tadi?" mereka membentak-bentak. akan tetapi tidak ada pelayan yang mengetahui. Tukang pukul itu pun mengenal Lu- kongcu, seorang di antara tiga pemuda itu, karena dia adalah putera Kepala Daerah kota Bi-ciu. 


Melihat kesempatan baik ini untuk menonjolkan jasanya, dia lalu bertanya kepada Lu- kongcu,
"Gadis siluman mana yang telah mengganggu Kongcu" saya yang akan menangkap dan menyeretnya ke depan kaki Kongcu"


Mendengar ini, Lu- kongcu lalu mengajak dua orang kawannya dan tukang pukul itu untuk berlari keluar dari rumah makan. 


Setibanya di luar, dia berkata kepada tukang pukul yang bernama Coa Gu itu, "Cepat kumpulkan kawan-kawanmu dan sebar mereka untuk mencari seorang gadis berpakaian cerah berkembang, ada lesung pipit di kedua pipinya dan ia membawa sebatang pedang. Kalau bertemu cepat memberitahu padaku, akan kukerahkan perajurit menangkapnya"

"Baik, Lu- kongcu" si Tukang Pukul lalu cepat pergi untuk melaksanakan perintah itu dan tiga orang pemuda itu lalu pulang ke rumah Lu- kongcu. setibanya di rumah, pemuda putera Kepala Daerah itu lalu minta kepada kepala jaga agar mempersiapkan dua losin perajurit untuk menangkap "penjahat".


Tak lama kemudian, tukang pukul itu sudah berlari menghadap dan mengatakan bahwa anak buahnya telah menemukan gadis itu yang sedang berjalan-jalan di taman umum di tengah kota Bi-ciu. 


Mendengar ini, Lu-kongcu dan dua orang kawannya, diiringkan dua losin perajurit, mengikuti tukang pukul Coa Gu dan berlari-lari menuju ke taman bunga umum yang dimaksudkan itu.
Lee Cin memang memasuki taman bunga yang cukup indah dari kota Bi-ciu. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam ikan yang cukup luas dan terdapat banyak ikan emas berenang di antara bunga teratai yang sedang berkembang. 

Banyak orang yang menonton keasyikan ikan-ikan itu berkejaran. Lee Cin tidak tahu bahwa di antara mereka terdapat Kwan Lok yang terus membayanginya sejak dari rumah makan tadi juga ia tidak tahu bahwa ia dicari banyak orang yang kemudian seorang dari mereka menemukan ia di taman itu.

Disekeliling kolam ikan itu terdapat bangku-bangku panjang, memang disediakan kepada mereka yang suka menonton ikan. 


Lee Cin duduk di atas sebuah bangku, pedangnya sudah ia ikatkan dipunggung. ia membeli roti kering yang dijual tak jauh dari situ dan memberi makan ikan dengan roti kering. 

sungguh asyik dan menggembirakan melihat betapa ikan-ikan itu berduyun-duyun berenang dan memperebutkan makan itu.

Lee cin tidak merasa bahwa waktu cepat berlalu dan sudah cukup lama ia duduk di bangku itu Roti kering sudah habis diberikan kepada ikan-ikan, akan tetapi ia masih duduk termenung. Melihat ikan yang berkelompok dan hilir mudik berenang berbareng.....




DEWI ULAR JILID 04



an itu, ia merasa bahwa ia bagaikan seekor ikan tunggal yang tiada kawan. satu-satunya kawan dalam hidup ini baginya hanyalah ayah kandungnya. 

Ia merasa rindu kepada ibunya, dan rindu kepada kawan- kawan yang dahulu sempat dikenalnya. Ia rindu kepada Tang cin Lan, rindu kepada song Thian Lee. 

Alisnya berkerut dan ia merasa bersedih. Pernah ia jatuh cinta mati-matian kepada Thian Lee, akan tetapi ia melihat kenyataan yang menyedihkan bahwa pemuda pujaannya itu tidak membalas cintanya, bahwa Thian Lee telah mencinta gadis lain, yaitu Cin Lan. 

Mereka kini telah menikah dan tinggal di kota raja. Thian Lee menjadi seorang panglima besar dan hidup berbahagia dengan cin Lan. Diam-diam ia merasa iri kepada Cin Lan dan makin iba kepada diri sendiri la tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan sehingga lupa bahwa ia telah lama sekali duduk termenung di tempat itu, kini tidak lagi memandang kepada ikan-ikan. 

Pandang matanya kosong dan 
menerawang jauh. Tiba-tiba ia 
mendengar bentakan- bentakan di 
sekelilingnya.

"Itu dia orangnya" "Tangkap siluman betina itu"


"Kepung, jangan sampai lolos"
Lee Cin tadinya tidak menyadari apa artinya seruan-seruan itu, akan tetapi ketika ia melihat banyak orang berpakaian perajurit mengepungnya, baru ia menyadari bahwa ia yang akan ditangkap. 


Tentu saja ia merasa heran dan bangkit memandangi para perajurit itu dengan alis berkerut, akan tetapi ketika ia melihat tiga orang muda yang berteriak-teriak mengomando para perajurit itu, tahulah ia mengapa ia akan ditangkap. 

Kiranya tiga orang pemuda yang mengganggu di rumah makan dan yang ditinggalkannya dalam keadaan tertotok yang memimpin pasukan itu untuk menangkapnya sekitar dua puluh orang lebih perajurit mengepungnya dengan golok di tangan dan sebagian besar dari mereka bersikap ragu-ragu.

Tentu saja para perajurit itu merasa ragu. Haruskah mereka yang berjumlah dua losin perajurit itu mengeroyok seorang gadis muda yang cantik jelita"


Api kemarahan menyala di hati Lee Cin. Akan tetapi segera terngiang di telinganya akan nasihat-nasihat ayah kandungnya bahwa ia tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan ia teringat pula kepada Thian Lee, pendekar yang juga pantang membunuh orang begitu saja. 


Para perajurit ini tidak bersalah. Memang pekerjaan mereka untuk mematuhi perintah atasan. Yang bersalah adalah tiga orang muda itu. sudah bersikap kurang ajar kepadanya masih tidak menyadari kesalahan bahkan mengerahkan perajurit untuk menangkapnya. Tiga orang itulah yang patut dihajar.

Ketika para perajurit mengepung semakin dekat, ia tidak mencabut pedangnya, melainkan mencabut sulingnya. suling itu pun merupakan sebuah senjata yang ampuh, akan tetapi hanya untuk menotok lawan, bukan untuk melukai atau membunuh walaupun ada beberapa macam totokan yang merupakan totokan maut.


"Kalian mau apa?" teriaknya di antara gemuruh suara para pengepung.

Tiga orang pemuda itu kini menjadi berani karena mereka mengandalkan dua losin perajurit. Mereka melangkah maju menghadapi Lee Cin dan putera Kepala Daerah itu menudingkan telunjuknya kepada Lee cin.

"Gadis sombong.. Engkau telah berani menghinaku, menghina kami bertiga. Kami akan menyeretmu untuk diberi hukuman" setelah berkata demikian, pemuda itu memberi isyarat dengan tangannya kepada para perajurit untuk menyerbu.


Akan tetapi Lee cin sudah bergerak cepat sekali. Tubuhnya berkelebat ke depan dan hampir tidak dapat dilihat gerakannya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan beruntun tiga kali, disusul suara air tertimpa benda berat dan tiga orang pemuda itu sudah gelagapan di dalam kolam ikan sialnya mereka tidak dapat berenang sehingga megap-megap dan berteriak minta tolong. para perajurit segera menolong mereka dan sebagian lagi sudah mengeroyok Lee cin.


Gadis itu menggerakkan sulingnya menangkis golok-golok yang menyambarnya dari segala penjuru. Ia harus memutar sulingnya menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti dirinya sehingga tidak dapat dilukai golok. tangan kirinya menampar-nampar dan kakinya menendang-nendang merobohkan para pengeroyok.


Pada saat itu terdengar suara lembut, "Jangan khawatir, Nona. Aku membantumu menghajar orang-orang tidak tahu malu ini"


Dan muncullah Kwan Lok yang segera terjun ke dalam pertempuran. Melihat bayangan putih berkelebat dan seorang pemuda berpakaian serba putih yang tampan mengamuk membantunya, Lee cin mengerutkan alisnya. 


Apalagi melihat betapa pemuda itu walaupun tidak menggunakan pedang yang berada dipunggungnya, namun melakukan pukulan keras yang membuat beberapa orang perajurit roboh pingsan, ia khawatir kalau pemuda itu membunuh orang.
"Aku tidak butuh bantuanmu" katanya dan Lie cin segera melompat jauh dan melarikan diri dari pengeroyokan para perajurit.

Melihat gadis itu melarikan diri, Kwan Lok khawatir kehilangan gadis itu, maka dia pun menendang roboh dua orang perajurit, lalu dia meloncat melakukan pengejaran. 


Para perajurit berteriak-teriak melakukan pengejaran, akan tetapi gadis dan pemuda baju putih itu sudah menghilang di antara keramaian banyak orang. Mereka terpaksa kembali ke taman dan mengawal tiga orang yang basah kuyup dan terengah-engah itu kembali ke rumah kediaman Kepala Daerah. 

Akan tetapi putera Kepala Daerah tentu saja menjadi semakin sakit hati dan dia memerintahkan para perajurit untuk mencari gadis dan pemuda berpakaian putih itu. Bahkan dia juga menggerakkan para tukang pukul dan para berandalan yang berada di kota Bi-ciu untuk bantu mencari.

Sementara itu, Lee cin berhasil menyelinap di antara banyak orang dan setelah melihat bahwa tidak ada yang mengejarnya, ia langsung pergi ke rumah penginapan. Ia tidak tahu bahwa dari jauh ia dibayangi Kwan Lok.


Karena peristiwa pengeroyokan di taman itu membuat tubuhnya berkeringat, Lee Cin lalu minta disediakan air lalu mandi. Baru saja ia berganti pakaian, daun pintu kamarnya diketuk orang. ia terkejut dan mengira bahwa yang mengetuk pintu itu adalah perajurit-perajurit yang mengejar dan mencarinya.


"Siapa?" tanyanya dengan suara tegas.
"saya Nona. saya pelayan."


Lee Cin membuka daun pintu dan benar saja. seorang pelayan berdiri di luar pintu dan membungkuk dengan hormatnya.


"Ada apa?" "Nona, di luar terdapat seorang yang minta bertemu dan bicara dengan Nona."


"Suruh tunggu di luar, akan kutemui dia," kata Lee Cin sambil menduga-duga siapa gerangan orang yang hendak bertemu dan bicara dengannya itu. 


setelah membereskan rambutnya, Lee Cin keluar dan di ruangan tengah yang dipergunakan sebagai ruang tamu, duduk seorang pemuda yang dikenalnya sebagai pemuda berpakaian serba putih yang tadi membantunya menghadapi pengeroyokan para perajurit. Ia mengerutkan alisnya akan tetapi terus melangkah menghampiri.

Pemuda itu adalah Kwan Lok. Melihat Lee cin, dia cepat berdiri dan memberi hormat. "selamat siang, Nona. Maafkan kalau aku mengganggumu."


Pemuda yang bicara lembut dan bersikap hormat, pikir Lee Cin dan ia pun membalas penghormatan orang.

"Siapakah engkau dan ada keperluan apa ingin bertemu dan bicara denganku." suara Lee Cin datar saja dan pemuda itu lalu menoleh ke kanan kiri. 

Kebetulan pada siang hari itu di ruangan itu tidak terdapat orang lain, juga pintu-pintu kamar yang berderet itu semua tertutup,

"Aku ingin menyampaikan berita penting sekali, Nona. Namaku ouw Kwan Lok dan aku tidak berniat buruk terhadap Nona. sebaliknya aku malah hendak menyampaikan suatu bahaya yang besar bagi 

keselamatanmu."

Lee Cin tidak mengenal nama itu dan sepanjang ingatannya, belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang bernama ouw Kwan Lok itu, kecuali tadi dalam taman umum.


"Bahaya apakah itu?" Lee Cin bertanya, suaranya tenang saja sehingga diam-diam Kwan Lok menjadi semakin kagum. sungguh seorang gadis yang amat cantik jelita dan juga amat gagah perkasa, pikirnya.


"Aku melihat dijalan raya banyak terdapat perajurit, Nona, juga gerombolan orang berandalan yang sengaja mencarimu. Tentu ada hubungannya dengan perkelahian di taman umum tadi. Agaknya mereka masih penasaran- Ketahuilah bahwa seorang di antara tiga orang pemuda, itu adalah putera Kepala Daerah."


"Hemm, kalau mereka mencari karena urusan perkelahian tadi, mereka tentu juga akan mencarimu karena engkau mencampurinya pula dan merobohkan beberapa orang perajurit."


"Kalau aku sudah siap untuk itu, Nona."


"Hemm, apa kau kira yang siap itu hanya engkau" Aku pun sudah siap menghadapi mereka dan aku tidak takut. Pula, aku tidak minta bantuanmu, karena itu, sobat tinggalkan aku sendiri"


Pemuda itu tersenyum. Keangkuhan yang menunjukkan kegagahan, pikirnya. "Aku mengerti bahwa engkau mampu melindungi diri sendiri, Nona. Akan tetapi maksudku, aku siap bukan untuk melawan mereka. Kita tidak mungkin melawan pasukan pemerintah Nona. Yang kumaksudkan dengan siap adalah ini."


Kwan Lok mengambil sesuatu dari sakunya dan begitu tangannya menempel di mukanya, ketika tangannya turun Lee Cin melihat pemuda itu sudah berubah wajahnya. 


Kini dia memakai kumis yang tebal dan janggot yang panjang. Tentu saja wajahnya menjadi berubah sama sekali. Ia sendiri tentu tidak akan mengenalnya kalau bertemu dijalan. Hampir saja Lee cin tertawa melihat wajah yang berubah itu. Lucu nampaknya.

"Apa kau maksudkan bahwa aku harus pula menyamar?"


"Begitulah, Nona. Demi menjaga keselamatan dan menjauhkan pertempuran melawan pasukan, sebaiknya kalau Nona menyamar sebagai pria. Dengan begitu kita akan mudah saja keluar dari kota ini tanpa dicurigai dan diketahui."


Sebuah gagasan yang bagus, pikir Lee Cin. "Akan tetapi.."


"Nona maksudkan pakaian"jangan khawatir aku sudah mempersiapkan untukmu." Kwan Lok menyerahkan sebuah bungkusan- "sekarang berdandanlah dan aku menanti Nona di luar restoran di depan itu."


Lee Cin menerima bungkusan itu karena pada saat itu ia tidak melihat jalan yang lebih baik daripada apa yang diusulkan pemuda bernama ouw Kwan Lok itu. Ia membawa bungkusan masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian dia sudah berdandan sebagai seorang pemuda yang tampan sekali. 


Lee Cin tersenyum sendiri melihat bayangannya di cermin dan setelah membawa buntalan pakaiannya, memasang pedang Ang-coa-kiam sebagai sabuknya, menyelipkan suling dipinggang, dia lalu melangkah keluar dengan langkah gaya seorang pemuda
Di luar sudah menunggu Kwan Lok yang memakai kumis dan jenggot. Tanpa bicara Kwan Lok lalu berjalan berdampingan dengan Lee Cin. sikap kedua orang ini biasa dan wajar saja sehingga tidak menarik perhatian orang. siapa yang akan memperhatikan seorang setengah tua dan seorang pemuda berpakaian aneka warna kalau yang dicari itu seorang gadis dan seorang pemuda berpakaian serba putih" 

Lee Cin melihat betapa jalan-jalan raya penuh dengan perajurit kerajaan dan diam-diam ia bersukur dan memuji akal Kwan Lok untuk dapat keluar dari kota itu tanpa gangguan. 

Kalau ia harus melawan pasukan sebanyak itu, sungguh repot sekali.
Mereka berlenggang keluar dari kota Bi-ciu dan setelah mereka meninggalkan kota itu sejauh belasan mil, barulah hati mereka merasa lega. Kwan Lok menanggalkan jenggot dan kumis palsunya, akan tetapi Lee Cin tetap memakai pakaian pria itu. 


Untuk berganti pakaian ia harus mencari tempat yang sunyi dan tidak tampak oleh siapapun juga .

"Nah, sekarang kita telah selamat dari pencarian pasukan- Karena itu kita berpisah di sini, saudara Kwan Lok, dan kita mengambil jalan masing-masing. Terima kasih atas bantuanmu sehingga aku dapat menghindari perkelahian dengan pasukan."


Kwan Lok memandang dengan mata terkejut. sama sekali tidak disangkanya bahwa dia harus berpisah sedemikian cepatnya dari gadis yang dikaguminya ini.


"Kenapa.. kita harus berpisah?" tanyanya gagap.
Lee Cin memandang tajam. "Kenapa tidak" Kita mempunyai urusan masing-masing dan harus berpisah:"


"Eh, maksudku, mengapa kita berpisah begitu saja, tanpa aku mengetahui namamu, Nona" Bukankah dengan pengalaman ini kita telah menjadi sahabat dan aku sudah memperkenalkan namaku?"


Lee Cin tersenyum. Memang keterlaluan kalau ia tidak memperkenalkan diri Bagaimanapun juga , pemuda ini sudah membantunya ketika dikeroyok pasukan dan memberi isyarat yang baik sekali sehingga ia dapat keluar dari Bi-ciu tanpa perkelahian.


"Baiklah kalau engkau ingin mengetahui. Namaku adalah souw Lee Cin dan aku datang dari Hong-san
."

Mendengar nama ini, Kwan Lok menelan kembali rasa kagetnya sehingga di wajahnya tidak nampak sesuatu. Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar nama itu, karena nama itulah yang disebut suhunya sebagai seorang di antara musuh-musuh gurunya yang harus dibunuhnya semua musuh gurunya ada tiga orang yang harus dicari dan dibunuhnya, yaitu souw Lee Cin- song Thian Lee dan Tang cin Lan- sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis cantik yang menarik hatinya ini adalah seorang di antara mereka bertiga. 


Akan tetapi, dengan cepat dia dapat menekan perasaannya yang tegang dan dengan suara biasa dia bertanya.
"Dari Hong-san dan she souw" Aku jadi teringat akan souw Tek Bun, bengcu yang tinggal di Hong-san. Apakah ada hubungan antara engkau dengan bengcu itu?"

"Dia adalah ayahku," kata Lee Cin-
"Ah, pantas saja engkau memiliki ilmu silat yang tinggi, Adik Lee Cin, kiranya engkau adalah puteri Bengcu souw Tek Bun yang terkenal dengan julukan sin-kiam Hok-mo (Pedang sakti Penaluk lblis) Aku telah bersikap kurang hormat." 


Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Lee Cin yang dibalas dengan sepantasnya. "Kalau aku boleh bertanya, Cin-moi, engkau hendak ke manakah dan ada urusan apakah" siapa tahu, aku dapat membantumu."
Kwan Lok bersikap akrab sekali sehingga Lee Cin merasa tidak enak kalau sikapnya terlalu dingin terhadap pemuda itu. juga ia teringat bahwa pemuda ini agaknya mempunyai banyak pengalaman. 

Siapa tahu dia dapat memberi keterangan tentang si Kedok Hitam yang dicarinya.

"Aku sedang merantau untuk memperluas pengalaman, ouw-twako Akan tetapi aku ingin sekali tahu tentang keluarga Cia di Hui-cu di kaki Bukit Lo-sian. Apakah engkau tahu tentang mereka dan adakah tokoh mudanya yang menonjol di antara mereka" juga aku ingin tahu tentang ilmu silat mereka yang kabarnya amat tinggi."


"Keluarga cia di Hui-cu" Aku hanya mendengar bahwa keluarga itu amat terkenal di daerahnya dan mereka memiliki ilmu silat yang tangguh. 


Kalau tidak salah, mereka menguasai ilmu pukulan semacam Hek-tok ciang (tangan Racun Hitam), akan tetapi aku sendiri tidak pernah bertemu dengan mereka. Ada urusan apakah engkau menyelidiki keadaan mereka, cin-moi?"

"Ah, tidak ada apa-apa, hanya ingin tahu karena mendengar nama besar mereka," kata Lee cin- "Nah, sekarang kita harus berpisah, ouw-twako, aku hendak melanjutkan perjalananku merantau."


"Akan tetapi, bagaimana kalau kita merantau bersama, Cin-moi" Aku juga sedang merantau."


Lee Cin mengerutkan alisnya dan menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Tidak bisa, Twako. Tidak pantas bagi seorang gadis melakukan perjalanan bersama seorang pemuda. selamat berpisah"


Ia memberi hormat lalu membalikkan tubuh dan melompat jauh dan melarikan diri secepatnya.


Kwan Lok mengikuti bayangan gadis itu dan dia pun cepat berlari mengejar.


Lee Cin berjalan biasa setelah ia berlari cepat beberapa mil jauhnya. Ia lari hanya untuk cepat meninggalkan Kwan Lok. Biarpun ia melihat bahwa Kwan Lok serang pemuda yang baik dan sopan, akan tetapi hal itu masih belum membuat ia percaya untuk melakukan perjalanan berdua saja dengan pemuda itu. Ia telah berganti pakaian biasa, pakaian wanita dan meninggalkan pakaian pria pemberian Kwan Lok itu di dalam hutan.


Sore hari itu hawanya panas sekali. Ketika tiba di sebuah tikungan di luar hutan yang ditinggalkannya, Lee Cin melihat sebuah warung minuman yang didirikan di tepi jalan. 

Ada tulisan "Teh Harum" yang besar di depan kedai minuman itu. Ia tertarik dan melihat bahwa kedai itu sepi tidak ada pengunjungnya. Dua orang yang menjaga kedai itu menganggur. Karena merasa haus, Lee Cin lalu menghampiri kedai itu. seorang di ahtara penunggu kedai itu lalu bangkit menyambutnya.

"Nona hendak menghilangkan haus" silakan, Nona, teh kami amat harum dan lezat, tentu akan dapat menghilangkan haus di sore yang panas ini."


Lee Cin memandang kepada mereka dan diam- diam hatinya menaruh kecurigaan. Kedai itu hanya terdiri dari tenda yang dipasang di situ dan agaknya belum lama dipasang. Dan dua orang itu kelihatan kokoh kuat berusia kurang lebih empat puluh tahun, tidak pantas menjadi penjual minuman, pantasnya menjadi pekerja kasar yang menggunakan tenaga. 


Apa lagi orang ke dua yang berkumis itu memiliki pandang mata yang mencurigakan, seperti pandang mata seorang yang bermaksud jahat. 

Akan tetapi Lee Cin tidak peduli. Ia memang sedang haus dan ia tidak membawa bekal minuman.

"Sediakan sepoci air teh yang harum dan hangat," kata Lee Cin. Kalau sedang kepanasan seperti itu, minum air teh hangat akan dapat menghilangkan haus. Biarpun ada kecurigaan dalam hatinya, namun Lee Cin tidak memperlihatkannya dan duduk di atas bangku menghadapi meja dengan tenang. ia tidak dapat melihat kedua orang itu, akan tetapi pendengarannya yang tajam dapat menangkap keduanya berbisik-bisik. 


Tahulah ia bahwa ia harus waspada. Kalau dua orang bicara berbisik-bisik seperti itu tentu mengandung niat yang kurang baik.

"Ini tehnya, Nona. silakan minum."
Lee Cin mengangkat muka dan melihat pelayan yang tadi datang membawa sepoci teh yang masih mengepul panas berikut sebuah cawan kecil yang biasa dipakai untuk minum teh.


Dengan sikap biasa Lee Cin menuangkan air teh dari poci ke dalam cawan- Air teh hijau kekuningan itu tampak jernih dan tercium bau harum sekali. Harus diakui bahwa teh itu memang bermutu baik. setelah meniup-niup air teh dalam cawan sehingga menjadi berkurang panasnya, mulailah Lee Cin minum air teh itu sedikit-sedikit. 


Rasanya memang lezat sekali dan kehangatan air teh membuat dada dan perutnya terasa hangat pula. Ia mengangguk-angguk. memuji dalam hatinya. seperti lenyap rasa lelahnya, juga baru habis secawan saja, lehernya tidak merasa haus lagi. Ia menuangkan lagi secawan, diminumnya habis, menuangkan lagi. 

Setelah habis tiga cawan, Lee Cin tampak memejamkan kedua matanya, memijit-mijit kening dan pelipisnya, kemudian tiba-tiba lehernya terkulai dan ia merebahkan kepalanya di atas meja di depannya, seperti orang tertidur atau pingsan.

Melihat ini, dua orang pelayan itu berloncatan menghampiri
"Ia sudah terbius, sudah pingsan- Ha-ha-ha, tidak kusangka semudah itu" kata pelayan yang menghidangkan air teh tadi.


"Ini membuktikan bahwa obat bius pemberian Kongcu itu benar-benar manjur. Aduh cantiknya"


Dengan gerakan, kurang ajar pelayan yang berkumis itu menyentuh dagu Lee Cin dengan telunjuk jarinya.


"Hush, apa engkau sudah bosan hidup?" tegur orang pertama. "Kita harus membawa Nona ini kepada Kongcu, tanpa cacat dan jangan engkau berani menyentuhnya. 


Cepat, kau gulung tenda dan singkirkan meja dan bangku, aku akan membawa Nona ini sekarang juga kepada Kongcu" setelah berkata demikian orang pertama ini lalu memanggul tubuh Lee cin di pundaknya sambil membawa buntalan pakaian Lee Cin yang tadi diletakkan di atas meja oleh pemiliknya. 

Dan ternyata orang itu kuat sekali. Dia memanggul tubuh Lee Cin lalu berlari cepat menuju ke bukit kecil yang berada takjauh dari situ.

Di atas bukit itu terdapat sebuah pondok kecil dan orang itu mengetuk daun pintu yang tertutup, "Kongcu, saya sudah berhasil membawa Nona ini ke sini seperti yang Kongcu perintahkan."


"Bawa masuk saja dan rebahkan di kamar," terdengar jawaban suara laki-laki yang lembut.


Orang yang tadi berpura-pura menjadi pelayan itu lalu mendorong daun pintu terbuka, dan membawa Lee Cin memasuki pondok. Pondok kecil itu hanya mempunyai sebuah kamar. 


Dibukanya pintu kamar dan dia lalu merebahkan tubuh Lee Cin di etas sebuah dipan bambu, kemudian meletakkan buntalan pakaian di atas meja kecil lalu dia keluar lagi.
Lee Cin masih dalam keadaan tidur atau pingsan, menggeletak telentang di atas dipan. suara yang lembut tadi berkata lagi, "Sekarang keluarlah dan kalian berdua berjaga di luar pondok. Cepat beritahu kalau ada orang datang mendaki bukit dan menuju ke sini."


"Baik, Kongcu," jawab orang tadi.
Daun pintu kamar itu terbuka dan masuklah seorang pemuda berpakaian serba putih ke dalam kamar itu. Melihat tubuh Lee cin menggeletak telentang di atas dipan, dia tertawa.


"Ha- ha- ha, sayang sekali engkau yang cantik ini bernama souw Lee Cin yang harus kubunuh demi membalas kan sakit hati suhu Thian-te Mo-ong dan mendiang suhu Pak-thian-ong. Akan tetapi sebelum engkau kubunuh, aku ingin lebih dulu bersenang-senang denganmu. Amat sayang kalau dibunuh begitu saja Ha-ha-ha"


Pemuda itu adalah ouw Kwan Lok. setelah tertawa-tawa dia minum arak dari guci kecil yang dibawanya memasuki kamar itu, lalu duduk dengan wajah gembira sekali. Dia memandang lagi kepada Lee Cin yang masih rebah telentang di atas pembaringan kayu itu.


"suhu Thian-te Mo-ong, sayang sekali suhu berada begitu jauh dari sini. Kalau tidak, tentu souw Lee Cin ini akan kuserahkan kepada suhu agar suhu dapat puas memberi hukuman sendiri. 


Biarlah sekarang aku mewakili suhu untuk bersenang-senang kemudian membunuhnya." setelah berkata demikian Kwan Lok menaruh guci di atas meja dan membuka baju luarnya. kemudian ia menghampiri Lee Cin sambil tertawa-tawa senang.
"Wuuutt.." Tiba-tiba kaki Lee Cin mencuat dalam sebuah tendangan yang amat kuat menyambar ke arah dada Kwan Liok. Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main, akan tetapi dia masih dapat melompat ke belakang menghindarkan diri dari serangan mendadak itu. 

Lee Cin lalu melompat turun dari pembaringan, berdiri tegak sambil memandang pemuda itu dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh kemarahan- Biarpun Kwan Lok merasa terkejut dan heran sekali, namun dia masih tersenyum-senyum penuh kepercayaan diri, hatinya bertanya-tanya bagaimana Lee Cin dapat sadar sedemikian cepatnya.
Tentu saja Lee Cin dapat sadar dengan cepat karena ia tidak pernah pingsan atau tertidur Lee Cin adalah murid tersayang dan juga puteri Ang-tok Mo-li, seorang datuk wanita ahli racun, maka tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Apalagi kalau hanya racun pembius, biarpun minum berapa banyakpun ia tidak akan terpengaruh.

Kalau ia tadi tampak pingsan tak berdaya dipanggul oleh penjaga kedai minuman, hal itu adalah karena ia sengaja berpura-pura pingsan karena ia ingin tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu atas dirinya, dan ingin pula tahu siapa yang berdiri di balik siasat untuk memancingnya itu. 


Dapat dibayangkan betapa heran dan juga marahnya ketika ia melihat bahwa yang mengatur semua itu adalah Ouw Kwan Lok! Akan tetapi keheranannya lenyap setelah Kwan Lok bicara sendiri mengaku bahwa dia membalaskan sakit hati Thian-te Mo-ong dan Pak-thian-ong. 

Kedua orang datuk sesat itu memang pernah bermusuhan dengannya bahkan ia yang menggagalkan pemberontakan mereka sehingga Pak-thian-ong membunuh diri dan Thian-te Mo-ong ditangkap pasukan kerajaan. 
Kiranya sekarang ada murid mereka yang hendak membalaskan dendam itu.

"Ouw Kwan Lok jahanam busuk!" Lee Cin mendamprat sambil menudingkan telunjuk kirinya ke muka orang. "Engkau boleh saja membalas dendam, akan tetapi caramu licik dan curang sekali. Engkau ternyata hanyalah seorang pengecut kecil!"

Lee Cin cepat melompat ke atas, gerakannya seringan burung walet ketika ia melompat tinggi ke atas itu dan selagi tubuhnya masih di atas Lee Cin sudah mengeluarkan pedangnya yang tadinya dipakai sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping. Ketika tubuhnya melayang turun, Kwan Lok sudah menyambutnya dengan serangan sepasang pedangnya. Lee Cin memutar Ang-coa-kiam yang bersinar merah.


"Trang"..! Trangg.....!" Sepasang pedang di tangan Kwan Lok terpental ketika bertemu dengan Ang-coa-kiam yang digerakkan dengan kandungan tenaga yang amat kuat itu.


Kini mereka berhadapan. Kwan Lok dengan sepasang pedang di kedua tangannya sedangkan Lee Cin memegang Ang-coa-kiam di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Karena kamar itu sempit, Kwan Lok melompat keluar kamar.


"Hendak lari ke mana engkau, jahanam!" Lee Cin mengejar keluar dan ternyata Kwan Lok sudah lari keluar dari pondok itu.


"Jangan lari!" Lee Cin membentak dan mengejar keluar pondok. Ternyata Kwan Lok tidak lari, melainkan menanti di depan pondok sambil tersenyum mengejek. Dua orang yang tadi menyamar sebagai penjaga kedai sudah berada di sebelahnya, masing-masing memegang sebatang golok besar. Mereka itu sebenarnya adalah dua orang perampok yang merampok Kwan Lok akan tetapi dapat ditundukkan oleh pemuda itu dan dijadikan anak buahnya untuk memancing dan menangkap Lee Cin.

"Ha-ha-ha, Souw Lee Cin, sekaranglah tiba saatnya engkau menebus dosamu terhadap kedua orang guruku!" Kwan Lok berkata sambil memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk bergerak. 

Dua orang pembantunya itu adalah perampok-perampok jahat dan kejam yang sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Mereka belum mengenal Lee Cin maka memandang rendah gadis ini, apalagi karena mereka masih beranggapan bahwa gadis itu pernah pingsan oleh obat bius, sama sekali tidak mengetahui bahwa Lee Cin hanya berpura-pura pingsan. 

Kini dengan golok mereka, kedua orang itu menyerbu Lee Gin dengan galak dan ganas. Sebetulnya mereka hanya mengandalkan tenaga dan keberanian saja. 

Dalam ilmu silat, mereka sama sekali bukan tandingan Lee Cin. Maka begitu mereka menyerbu, Lee Cin menggerakkan pedangnya beberapa kali untuk menangkis dan balas menyerang dan di lain saat, hanya dua gebrakan saja, mereka berteriak kesakitan, golok mereka terlepas dari tangan mereka dan mereka terpelanting dengan menderita luka tusukan pedang di pundak mereka! 

Luka yang cukup parah, membuat mereka tidak berani dan tidak dapat melanjutkan perkelahian dan memandang Lee Cin dengan mata terbelalak, lalu mereka mengambil langkah seribu melarikan diri.

Melihat ini, Kwan Lok marah sekali. Dua kali tangan kirinya bergerak, dua batang pisau gagang hitam meluncur dan dua orang perampok itu mengaduh lalu roboh dan tewas karena pisau itu menancap di punggung menembus jantung mereka!


Lee Cin menjadi semakin marah menyaksikan kekejaman ini, ia lalu menerjang dengan pedangnya, menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Kwan Lok memang tidak berani memandang ringan kepada gadis ini. Kalau kedua orang gurunya pernah kalah menghadapi gadis ini, maka tentu gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. 


Akan tetapi dia merasa yakin akan dapat membunuh Lee Cin, karena dalam hal kepandaian, tingkatnya kini sudah melampaui tingkat kepandaian Pak-thian-ong atau Thian-te Mo-ong, atau setidaknya seimbang. 

Dengan cepat dia pun menyambut serangan Lee Cin dan membalas serangan itu dengan gerakan sepasang pedangnya yang cepat.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara Lee Cin dan Ouw Kwan Lok. Kedua orang muda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang setingkat.
Namun, setelah pertandingan berlangsung selama lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lee Cin mengubah gerakan silatnya. Kalau tangan kanan yang memegang pedang masih memainkan Ang-coa-kiamsut, maka tangan kirinya yang memegang suling kini membantu dengan serangan totokan yang dilakukan dengan ilmu totok It-yang-ci yang amat lihai dari Siauw-lim-pai!

Kwan Lok menjadi terkejut sekali. Hampir saja pundaknya terkena totokan yang amat lihai itu! Terpaksa ia menjatuhkan diri ke belakang lalu berjungkir balik tiga kali untuk menghindarkan diri dari pengejaran Lee Cin.


Gadis itu menjadi semakin ganas. Setelah melihat betapa lawannya jerih menghadapi totokan nya, ia malah semakin gencar menyerang dengan totokan suling di tangan kirinya. 


Sebetulnya tingkat kepandaian Kwan Lok telah setingkat dengan ilmu kepandaian Lee Cin, akan tetapi ketika dia harus menghadapi ilmu totok It-yang-ci, dia menjadi terdesak. Lee Cin lalu menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya dan kini melanjutkan It-yang-ci menggunakan jari tangannya. Tentu saja serangannya menjadi semakin berbahaya karena ilmu totok itu memang harus menggunakan jari tangan. 

Dari jari tangannya meluncur hawa totokan yang amat kuat dan Kwan Lok terpaksa mengelak ke sana sini. 

Akhirnya dia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya kalau dia melanjutkan perlawanannya terhadap gadis yang lihai itu. Maka ketika mendapat kesempatan setelah dia menyambitkan sisa pisau-pisau terbangnya ke arah Lee Cin dan gadis ini terpaksa berloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, dia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri.

"Jahanam pengecut!" teriak Lee Cin akan tetapi ia tidak mau mengejar. Ia tahu bahwa lawannya itu seorang yang selain tinggi ilmunya, juga amat curang dan licik. 


Ia menyimpan kembali pedangnya dan segera meninggalkan tempat itu, mengingat-ingat bahwa kini ia mempunyai seorang musuh yang berbahaya, yang bernama Ouw Kwan Lok dan murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong. Ia lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Bukit Ular di lembah Huang-ho, tempat tinggal ibunya karena tempat itulah yang terdekat dari situ. 

Niatnya untuk menyelidiki keluarga Cia di Hui-cu ditundanya karena tempat itu masih terlampau jauh dari situ. Setelah bertemu dengan ibunya dan berusaha membujuk ibunya agar suka memaafkan ayahnya dan mau hidup bersama mereka di Hong-san, baru ia akan melakukan penyelidikan terhadap keluarga Cia di Hui-cu dan mencari Si Kedok Hitam yang telah menyerang dan melukai ayahnya.
Di sepanjang lembah Huang-ho bagian barat terdapat banyak sekali perbukitan bagaikan naga yang panjang berbelak-belok. Di antara ratusan buah bukit itu terdapat sebuah bukit yang dikenal dengan sebutan Bukit Ular Merah. 

Agaknya pernah ada orang melihat seekor ular merah di bukit ini, maka selanjutnya bukit itu diberi nama demikian. Entah benar atau tidak ada ular merah di tempat itu, akan tetapi yang jelas di bukit itu memang terdapat hutan-hutan yang dihuni banyak macam ular dari yang kecil beracun sampai yang sebesar paha orang yang panjangnya sampai sepuluh meter. 

Karena adanya banyak ular di situ, tidak ada orang berani mendaki bukit dan memasuki hutan di bukit itu. Bahkan pemburu yang paling tabah pun segan memasuki hutan di bukit itu, karena yang paling berbahaya adalah ular-ular yang berbisa dan berbahaya sekali.

Di tempat yang berbahaya ini, jauh di puncak tertutup pohon-pohon besar, berdiri sebuah pondok kayu yang mungil dan pondok itu adalah tempat tinggal seorang datuk wanita yang terkenal sekali dengan julukan Ang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Merah). 


Datuk wanita ini terkenal dan ditakuti orang karena selain memiliki ilmu silat tinggi, ia pun seorang ahli dalam hal racun. Bahkan ia selalu membawa seekor ular kecil bersisik merah yang disebut Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah). 

Ia juga ahli dalam menjinakkan ular, seorang pawang ular yang lihai. Ia dapat memanggil semua ular dan ular-ular itu dapat diperintahnya melakukan hal-hal yang membuat ia ditakuti lawan. Ia dapat mengerahkan ular-ular untuk mengeroyok lawannya, maka ia merupakan lawan yang amat berbahaya.

Sebetulnya, ketika masih mudanya ia merupakan seorang gadis yang cantik sekali. Bahkan sekarang pun, setelah berusia empat puluh tujuh tahun ia masih cantik dan bertubuh ramping. 


Dan ia suka sekali memakai pakaian serba merah sehingga sesuai dengan julukannya. Ketika ia masih seorang gadis muda, banyak pria yang tergila-gila kepadanya dan banyak lamaran diajukan orang.

Akan tetapi semuanya ditolak oleh gadis yang bernama Bu Siang ini karena tidak ada yang cocok dengan hati dan seleranya. Ia merantau dan malang melintang di dunia persilatan karena ilmunya yang tinggi. Sebelum ia dikenal dengan julukan Ang-tok Mo-li ia sudah merupakan seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya.

Ketika ia berusia dua puluh tujuh tahun, bertemulah ia dengan seorang pendekar yang bukan lain adalah Souw Tek Bun yang pada waktu itu berusia sepantar dengan Bu Siang. Mereka bertemu dan saling jatuh cinta. 


Demikian akrab dan intimnya hubungan di antara mereka sehingga Bu Siang sudah menyerahkan diri dan kehormatannya karena percaya bahwa Souw Tek Bun pasti tidak akan menyia-nyiakannya dan akan menjadi suaminya.

Pada waktu itu, dalam usia dua puluh tujuh tahun, Bu Siang mulai terkenal karena keganasan dan kelihaiannya, maka orang sudah mulai menjuluki ia Ang-tok Mo-li. 


Dan ketika Souw Tek Bun mendengar akan julukan dan sepak terjang kekasihnya, hatinya merasa terpukul sekali. Souw Tek Bun sendiri dikenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, membela kebenaran dan keadilan. 

Ketika mendengar bahwa kekasihnya itu termasuk seorang tokoh sesat, dia lalu menjauhkan diri. Betapapun besarnya rasa cintanya terhadap Bu Siang, akan tetapi hatinya tidak mengijinkan dia melanjutkan hubungan mesranya dengan seorang tokoh sesat.

Bu Siang merasa betapa kekasihnya itu menjauhkan diri, maka ia mendesak agar Souw Tek Bun segera mengawininya. Akan tetapi Souw Tek Bun dengan terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak mungkin mempunyai seorang isteri tokoh sesat. 


Mendengar ini, Bu Siang menjadi marah sekali. Segala bujuk rayu dan ancaman tidak mengubah pendirian Souw Tek Bun. Bu Siang lalu menyerangnya dan terjadilah perkelahian antara mereka yang berakhir dengan kekalahan Bu Siang karena ilmu silat dan ilmu pedang keluarga Souw amat tangguh. Bu Siang pergi meninggalkan Souw Tek Bun dengan hati sakit dan ia mendendam. 

Demikian marah dan bencinya kepada Souw Tek Bun sehingga ia merahasiakan kepada pendekar itu bahwa sesungguhnya ia telah mengandung dua bulan! 

Ia mempunyai rencana sendiri mengenai anak yang akan dilahirkannya. la ingin menggembleng anak itu sehingga mewarisi semua ilmunya, kemudian ia akan menyuruh anak itu membalas dendam dan membunuh Souw Tek Bun! 

Ia akan mengadu antara ayah kandung dan anaknya sendiri sehingga salah satu dari mereka akan mati. Si Ayah akan mati di tangan anak kandungnya sendiri, atau Si Anak yang akan mati di tangan ayah kandungnya sendiri. Demikian sakit hatinya sehingga ia akan membuat Souw Tek Bun sengsara karena dibunuh atau membunuh anak kandungnya sendiri!

Rasa sakit hatinya bertambah ketika sutenya mencoba membantunya membujuk Souw Tek Bun, namun pendekar ini tetap menolak sehingga mereka bertanding dan sutenya terluka oleh Souw Tek Bun. Dendam ini berkelanjutan sampai puteri yang dilahirkannya menjadi dewasa. 


Puterinya itu adalah Lee Cin yang ia beri nama marga Bu dan setelah puterinya menjadi dewasa dan lihai, ia pun menyuruh Lee Cin pergi membunuh Souw Tek Bun yang dikatakannya musuh besarnya. Lee Cin berangkat dan bertemu dengan Souw Tek Bun, akan tetapi Souw Tek Bun menyadarkannya karena dia dapat menduga bahwa Lee Cin adalah anak kandungnya. Selagi ia meragu, muncul Ang-tok Mo-li yang mendesak anaknya untuk membunuh Souw Tek Bun. 

Akan tetapi Lee Cin tidak mau bahkan membela ayahnya. Ang-tok Mo-ii terpaksa pergi dengan hati hancur. Anak yang sejak kecil digembleng untuk membunuh Souw Tek Bun ternyata malah memihak ayahnya!
Demikianlah peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu (baca Kisah Gelang Kemala) dan kini Lee Cin hendak mencari ibunya untuk dibujuk agar ibunya suka memaafkan ayahnya dan mereka bertiga dapat bersatu kembali menjadi sebuah keluarga yang bahagia.

Ang-tok Mo-li tinggal di puncak Bukit Ular itu bersama lima orang wanita pembantunya. Lima orang wanita ini pun telah dilatih ilmu silat sehingga nnereka menjadi orang-orang lihai dan selain menjadi pelayan, mereka pun dapat diandalkan untuk menjaga pondok di puncak itu. Usia mereka antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.


Datuk wanita ini sama sekali tidak tahu bahwa puterinya sedang mencarinya. Ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang terjadi di puncak sehari yang lalu, selagi ia tidak berada di rumah.


Apakah yang terjadi kemarin" Ketika itu, Ang-tok Mo-li sedang turun dari puncak untuk pergi ke kota yang paling dekat dan membeli segala keperluan sehari-hari seperti bumbu masak, kain untuk pakaian, dan lain-lain. Baru saja ia pergi belum ada dua jam, seorang kakek mendaki puncak itu dari jurusan lain.


Setibanya di depan pondok, lima orang anak buah Ang-tok Mo-li segera menyambut kakek yang asing bagi mereka itu. Seorang kakek yang sudah tua sekali, tidak kurang dari tujuh puluh tahun usianya, tubuhnya sudah bongkok dan rambut, kumis serta jenggotnya sudah putih. Kakek itu membawa sebatang tongkat dari bambu kuning. 


Biarpun sudah tua, namun dengan cepat dia dapat mendaki puncak Bukit Ular, menunjukkan bahwa dia bukan seorang kakek biasa, melainkan seorang yang berilmu tinggi.
Lima orang anak buah Ang-tok Mo-li itu menyambut kakek itu dan seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin bertanya, "Siapakah Paman dan ada urusan apakah datang ke tempat kami ini?"

Kakek itu menyeringai, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. "Heh-heh-heh, kalian tidak mengenal aku" Sungguh aneh kalau ada orang tidak mengenalku, menunjukkan bahwa mereka itu bodoh dan tolol. 


Aku adalah Jeng-ciang-kwi (Setan Seribu Tongan) dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis Kwi-san!" Dia berhenti untuk melihat reaksi wajah mereka. 

Akan tetapi lima orang wanita yang memang jarang bahkan hampir tidak pernah turun dari puncak kecuali untuk rnembeli keperluan mereka di dusun-dusun berdekatan, tidak mengenal nama itu.

"Apa keperluanrnu mendatangi tempat ini?" Pemimpin mereka bertanya, sikapnya menjadi tidak sabar.


"Ho-ho-ho, di mana Ang-tok Mo-li" Suruh ia keluar menemui aku!"


Lima orang itu mengerutkan alisnya, merasa tidak senang. "Mau apa engkau mencari Toanio (Nyonya Besar)?" tanya mereka.


"Mau apa" Mau apa aku mencari iblis betina Ang-tok Mo-li itu" Tentu saja membunuhnya! Aku mau membunuhnya!"


"Keparat! Serbu!" bentak pemimpin kelompok lima orang itu. Mereka marah sekali mendengar betapa kedatangan kakek ini untuk membunuh majikan mereka. Mereka berlima mencabut pedang masing-masing dan segera mengepung dan menyerang Jeng-ciang-kwi.


Jeng-ciang-kwi adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya tinggi dan wataknya aneh, kadang lembut dan kadang juga kasar dan kejam sekali. Kurang lebih delapan tahun yang lalu dia bentrok dengan seorang tokoh sesat lain berjuluk Hek-kak-liong (Naga Tanduk Hitam) karena mereka saling memperebutkan daerah kekuasaan. 


Dalam pertandingan ini, Hek-kak-liong tewas di tangan Jeng-ciang-kwi. Hek-kak-liong adalah sute dari Ang-tok Mo-li. Maka, pada tujuh tahun yang lalu, Ang-tok Mo-li mendatangi Jeng-ciang-kwi dan hendak membalaskan kematian sutenya (baca Kisah Gelang Kemala). 

Dalam perkelahian yang hebat dan mati-matian ini Jeng-ciang-kwi berhasil menotok pundak Ang-tok Mo-li sehingga muntah darah dan terluka dalam. Akan tetapi sebaliknya, Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah) telah menggigit lengannya sehingga Jeng-ciang-kwi keracunan hebat. Hampir saja kakek ini tewas akibat gigitan ular kembang merah itu. Karena peristiwa itulah maka hari ini dia datang mencari Ang-tok Mo-li untuk membalas dendam.

Pengeroyokan lima orang pembantu Ang-tok Mo-li yang menggunakan pedang itu tidak ada artinya bagi kakek yang lihai ini. Tubuhnya seolah terlindung sinar kuning dari tongkat bambunya dan lima batang pedang lawan semua terpental begitu bertemu dengan sinar kuning itu. Kemudian, dengan gerakan cepat sekali, lima orang itu terkena totokan dengan bambu kuning dan mereka berpelantingan roboh dan pingsan!


Setelah merobohkan lima orang itu, Jeng-ciang-kwi lalu menggeledah, memasuki rumah karena ia tidak dapat menemukan Ang-tok Mo-li. Setelah mengamuk di rumah kosong itu, dia lalu keluar dan pergi dengan hati mendongkol karena tidak dapat membalas dendam kepada Ang-tok Mo-li.


Pada siang harinya, barulah Ang-tok Mo-li pulang dari kota. Ia merasa heran melihat keadaan di sekitar pondok sunyi sekali, tidak tampak seorang pun di antara lima orang pembantunya. Ia menurunkan semua barang belanjaannya dari kota dan berlari memasuki pondok. Begitu melangkah ambang pintu, ia terbelalak. 


Keadaan dalam rumah porak-poranda dan lima orang pembantunya rebah di dalam pondok itu dan merintih-rintih karena terluka dalam oleh totokan tongkat bambu kuning Jeng-ciang-kwi!

"Apa".. apa yang terjadi?" tanya Ang-tok Mo-li setelah ia membebaskan totokan dan menotok beberapa bagian tubuh lima orang pembantunya untuk melancarkan jalan darah mereka.


"Jeng-ciang-kwi".. dia datang dan mencari Toanio".." kata pemimpin lima orang itu. Mereka berlima tadi dengan susah payah merangkak masuk ke dalam pondok dan rebah di lantai sambil menanti pulangnya majikan mereka.


"Jeng-ciang-kwi" Keparat!" Ang-tok Mo-li berseru marah sekali. Melihat keadaan lima orang pennbantunya yang gawat, ia lalu membantu mereka untuk rebah di kamar masing-masing. Ia memeriksa dengan teliti. Mereka itu tidak keracunan, akan tetapi cara totokan itu amat aneh, mengacaukan jalan darah dan memecahkan otot di pundak. Ia sudah mencoba untuk rnengobati dengan urutan dan totokan, namun tidak berhasil.


Ingin ia segera dapat pergi mencari Jeng-ciang-kwi untuk membuat perhitungan. Akan tetapi melihat keadaan lima orang pembantunya ia terpaksa menahan gelora hatinya yang marah. Lima orang pembantunya masih berada dalam keadaan gawat. 


Kalau ia meninggalkan mereka untuk mencari Jeng-ciang-kwi, besar bahayanya mereka akan tewas karena luka dalam mereka.

Sore hari itu, setelah membereskan perabot rumahnya yang porak-poranda Ang-tok Mo-li memeriksa keadaan lima orang pembantunya. Ia sudah memberi minum mereka obat pelancar jalan darah, akan tetapi keadaan mereka masih mengkhawatirkan.


Tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki di depan pondok. Mata Ang-tok Mo-li memancarkan api kemarahan. Ia mengira bahwa orang yang datang tentu Jeng-ciang-kwi! 


Dengan membawa ular kembang merah di tangan kiri dan sebuah kebutan di tangan kanan, ia melompat dan berlari keluar.

Akan tetapi begitu tiba di luar pintu, sambil berteriak "Jeng-ciang-kwi jahanam?"!" ia berhenti dan berdiri heran dan terkejut karena yang berdiri di depannya sama sekali bukan Jeng-ciang-kwi, melainkan seorang gadis cantik jelita yang bukan lain adalah Lee Cin!


"Kau.....?" Ia tergagap. "Mau apa engkau datang ke sini?"


"Ibu".." kata Lee Cin dengan terharu. "Aku adalah anakmu dan sebagai seorang anak, aku datang berkunjung"..."


"Katakan dulu, apa maumu datang ke sini?" potong Ang-tok Mo-li dengan suara masih ketus dan matanya memandang marah.


"Maksud kunjunganku ini pertama, karena aku merasa rindu kepadamu, Ibu. Sejak kecil, walaupun sebagai muridmu, aku tinggal di sini bersamamu. 


Setelah berpisah selama dua tahun lebih, aku merasa rindu sekali. Dan ke dua, mengingat bahwa engkau adalah ibu kandungku, aku ingin berbakti kepadamu, merasakan hangatnya cinta kasihmu sebagai seorang ibu, Ibu, sejak kecil aku sudah haus akan kasih sayang ibu dan engkau telah memberi kasih sayang itu walaupun sebagai seorang guru. 

Sekarang, setelah engkau menjadi ibu kandungku, tidakkah kasih sayangmu kepadaku sennakin mendalam" Aku ingin menengok ibuku, ingin melihat keadaannya. Ibu, selama dua tahun ini, engkau baik-baik sajakah?"

Mendengar suara anaknya yang penuh haru, tergerak juga hati Ang-tok Mo-li. Tentu saja amat mencinta muridnya yang juga anaknya ini, akan tetapi untuk memperlihatkannya ia merasa malu karena anak iitu dahulu memilih ikut ayahnya daripacla ikut ibunya.


"Hem, begitulah"..." jawabnya sambil lalu. Kini pikirannya kembali dipenuhi persoalannya dengan Jeng-ciang-kwi.


"Ibu, aku tahu pasti terjadi sesuatu yang membuat Ibu marah. Ada apakah, Ibu" Barangkali aku dapat membantu?"


"Jeng-ciang-kwi datang selagi aku keluar dan dia melukai kelima orang pembantuku," akhirnya ia berkata.


"Kelima Bibi terluka" Ah, biarkan aku menengok mereka!" kata Lee Cin dan ia segera memasuki pondok diikuti oleh Ang-tok Mo-li.


Setibanya di dalam, Lee Cin memasuki kamar-kamar para pembantu yang terluka dan memeriksa mereka satu demi satu. 


Lalu ia berkata kepada ibunya yang mengikutinya dan mengamati apa yang dilakukan Lee Cin. "Keadaan mereka memang gawat, Ibu. Totokan Jeng-ciang-kwi memang ampuh dan ini yang dinamakan ilmu totokan penghancur jalan darah. 

Akan tetapi untung bahwa aku telah menguasai It-yang-ci, jangan khawatir, Ibu, aku dapat menyernbuhkan mereka."

Biarpun mukanya tidak memperlihatkan sesuatu, namun dalam hatinya Ang-tok Mo-li merasa girang dan juga bangga. Puterinya telah menguasai ilmu totok yang amat terkenal dan jarang ada yang menguasai, ilmu totok dari Siauw-lim-pai itu. 


Bahkan para murid Siauw-lim-pai jarang ada yang berkesempatan mempelajari ilmu langka itu!

Tanpa banyak cakap lagi Lee Cin lalu menyuruh lima orang itu satu demi satu duduk bersila dan membuka baju mereka. Dara itu sendiri bersila di belakangnya dan mulailah ia melakukan totokan It-yang-ci di bagian tubuh belakang orang yang terluka itu. 


Kemudian juga bagian tubuh depan mereka. Dan ternyata setelah Lee Cin menotok mereka, lima orang itu sembuh!

Peristiwa ini sedikit banyak mendinginkan hati Ang-tok Mo-li yang tadinya panas. Ia mengajak puterinya duduk di dalam kamarnya. "Nah, sekarang katakan apa maksudmu yang sebenarnya datang kepadaku. Apakah engkau diutus ayahmu?"


"Tidak, Ibu. Kalau Ibu sudi mendengarkan, aku ingin memberitahukan bahwa Ayah baru-baru ini kedatangan seorang yang berkedok hitam dan penjahat itu melukai Ayah dengan pukulan tapak tangan hitam. 


Biarpun aku sudah mengobatinya, namun dia memerlukan waktu untuk memulihkan tenaganya."

"Hem, salahnya sendiri mengapa dia kalah melawan musuhnya," kata Ang-tok Mo-li tidak pedulikan.


"Semenjak engkau pergi dari Hong-san dan aku hidup bersama Ayah, setiap hari kami berdua bersedih. Aku tahu bahwa Ayah merindukan engkau, Ibu."


"Hemm?"!" "Aku tidak berbohong, Ibu. Bahkan Ayah sering bicara dalam tidurnya memanggil-manggil Bu Siang. Aku menjadi sedih sekali melihat keadaan Ayah, Ibu. 


Dia sudah benar-benar menyesal akan apa yang dia lakukan terhadapmu, Ibu. Dan aku yakin bahwa dia tetap mencinta Ibu dan mengharapkan suatu waktu akan dapat hidup bersama Ibu. Karena itu, Ibu. 

Aku mohon kepadamu, sudilah kiranya Ibu memaafkan semua kesalahan Ayah dan kita bertiga hidup bersama di Hong-san sebagai sebuah keluarga yang bahagia. Aku mohon, Ibu." Dan sambil terisak Lee Cin menjatuhkan dirinya berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya.

Wajah Ang-tok Mo-li yang biasanya pucat itu kini menjadi sedikit merah. Kedua matanya basah dan kedua tangannya bergerak hendak merangkul puterinya, akan tetapi gerakan itu ditahannya.


"Baik, akan kupertimbangkan permintaanmu itu. Akan tetapi engkau yang selama belasan tahun belajar dariku, kuminta engkau lebih dulu membantu aku menghadapi Jeng-ciang-kwi. Aku harus membalas apa yang dilakukannya hari ini!"


"Tentu saja aku bersedia, Ibu. Aku bersedia mempertaruhkan nyawa untuk membelamu!" Gadis itu bangkit dan hendak memeluk ibunya. Akan tetapi Ang-tok Mo-li mengelak dan berkata.


"Nanti dulu! Kalau engkau sudah berhasil membantuku membunuh Jeng-ciang-kwi, baru engkau boleh mengaku menjadi anak kandungku dan akan kupertimbangkan pemberian maaf kepada ayahmu."


Hati Lee Cin terasa perih. Ingin ia merangkul ibunya ini sebagai ibu kandung, melampiaskan rasa rindunya kepada ibunya. Akan tetapi ia cukup mengenal watak ibunya yang aneh dan juga amat keras hati.





"Baiklah, Ibu. Akan kutaati semua kehendakmu. Kapan kita berangkat mencari Jeng-ciang-kwi?"

"Sekarang juga! Akan tetapi, mereka itu?"?" Ia menoleh, memandang ke arah kamar-kamar para pembantunya.


"Jangan khawatir, Ibu. Mereka sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaga saja. Asal diberi obat penguat darah, sudah cukuplah."


"Kalau begitu, sekarang juga kita pergi," kata Ang-tok Mo-li.


"Ke mana, Ibu" Apakah Ibu sudah mengetahui di mana adanya Jeng-ciang-kwi?"


"Tentu saja. Dia tinggal di pegunungan Kwi-san, di Guha Tengkorak Lembah Iblis."


"Kalau begitu, mari kita berangkat Ibu!" kata Lee Cin penuh sennangat. Ia masih teringat akan kakek berjuluk Jeng-ciang-kwi itu, ketika tujuh delapan tahun yang lalu ia bersama Ang-tok Mo-li yang ketika itu masih ia anggap sebagai gurunya, mendatangi Jeng-ciang-kwi sehingga keduanya menderita luka. Ia yakin akan mampu mengalahkan musuh besar ibunya itu.


Jeng-ciang-kwi sebetulnya bernama Ciu Sam Ti, akan tetapi setelah ia menjadi datuk sesat, orang kang-ouw hanya mengenal nama julukannya saja. Dia tinggal di Guha Tengkorak di Lembah Iblis yang terletak di lereng Bukit Kwisan. 


Selama beberapa tahun ini dia telah membentuk perkumpulan tanpa nama terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang. Dia sendiri tinggal di sebuah guha besar yang bentuknya dilihat dari jauh seperti tengkorak, namun guha itu telah diubah di bagian dalamnya menjadi rumah kediaman yang mewah. Di kanan kiri guha itulah didirikan pondok-pondok kayu yang menjadi tempat tinggal anak buahnya. Anak buahnya itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh karena mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Jeng-ciang-kwi sendiri.

Di waktu mudanya, Jeng-ciang-kwi merupakan seorang maling dan tukang copet yang amat lihai, dan karena itulah maka dia dijuluki Setan Tangan Seribu. Dan dia pun sudah berhasil mengumpulkan harta yang cukup banyak. 


Setelah menjadi majikan Guha Tengkorak, kekayaannya semakin bertambah. Anak buahnya bertugas mendatangi para perampok dan pencuri di daerah yang amat luas dan minta "pajak" dari mereka. Tadinya memang banyak yang menolak dan menentang, akan tetapi para penjahat itu satu demi satu ditalukkan oleh Jeng-ciangkwi dan selanjutnya mereka menganggap Jeng-ciang-kwi sebagai pelindung dan dengan senang hati memberikan sebagian dari hasil kejahatan mereka kepada Jeng-ciang-kwi. 

Dia sendiri melarang anak buahnya untuk melakukan kejahatan merampok atau mencuri dan hidup mereka cukup ditunjang oleh pemungutan pajak itu. Maka, Jeng-ciang-kwi lalu terkenal sebagai datuk sesat di daerah itu.

Pada suatu hari, keadaan di Guha Tengkorak meriah sekali. Di situ sedang diadakan perayaan ulang tahun Jeng-ciang-kwi yang ke tujuh puluh dua tahun. Sepuluh orang kepala perampok dan kepala pencuri dari daerah itu berdatangan untuk memberi selamat kepada Sang Datuk sambil memberi hadiah yang berharga. 


Mereka semua duduk menghadapi meja besar dan di kepala meja duduk Jeng-ciang-kwi yang menjamu mereka. 

Tiga puluh orang anak buah juga ikut berpesta-pora sambil melayani para tamu di meja besar itu.

Mereka bergantian memberi selamat kepada Jeng-ciang-kwi dengan secawan arak dan suasana ramai dan gemuruh sekali, maklum bahwa yang berpesta adalah orang-orang kasar dari dunia hitam.


Selagi ramai-ramainya mereka merayakan pesta itu, tiba-tiba terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring, "Bagus sekali! Sekali ini engkau merayakan ulang tahunmu yang terakhir, Jeng-ciang-kwi!"


Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata di situ telah berdiri dua orang wanita yang cantik. Yang pertama adalah seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun akan tetapi kelihatan seperti wanita berusia tiga puluh tahun saja, dan yang ke dua lebih jelita lagi, seorang gadis berusia sembilan belas tahun. 


Mereka itu bukan lain adalah Ang-tok Mo-li dan Lee Cin. Para tamu itu adalah kepala-kepala gerombolan penjahat setempat, bukan tokoh-tokoh kang-ouw maka mereka tidak ada yang mengenal Ang-tok Mo-li, apalagi Lee Cin. 

Mereka memandang dengan mata kagum akan kecantikan mereka bahkan ada yang mengeluarkan seruan kagum secara kurang ajar sekali. 

Akan tetapi Jeng-ciang-kwi terkejut juga menyaksikan kunjungan orang yang tidak disangka-sangkanya itu. Ang-tok Mo-li adalah musuh lamanya. Baru-baru ini malah dia mendatangi Bukit Ular akan tetapi tidak dapat bertemu dengan Ang-tok Mo-li dan sekarang iblis betina itu berani datang ke tempat tinggalnya. Dia bangkit berdiri dan menuding dengan tongkat bambu kuningnya.

"Aha, Ang-tok Mo-li. Kebetulan sekali engkau datang mengantarkan nyawa sehingga aku tidak lagi bersusah payah mencarimu!"


Lee Cin berkata cepat. "Ibu, kakek ini sedang merayakan ulang tahunnya, sebaiknya kita juga memberi hadiah kepadanya!" Tanpa menanti jawaban ibunya, Lee Cin sudah meniup sulingnya. 


Suara suling nyaring melengking terdengar dan semua orang memandang heran, ada yang menutupi telinga karena suara melengking-lengking itu seperti menusuk ke dalam telinga mereka.
Tak lama kemudian terdengar para anak buah Guha Tengkorak berteriak-teriak, "Ular......! Ular......! Banyak sekali ular!"

Kini tampaklah beratus-ratus ular merayap masuk ke dalam tempat pesta itu!


"Kalau ada yang berani membunuh mati seekor ular, dia akan mati dikeroyok ular berbisa!" kata Ang-tok Mo-li dan Lee Cin terus meniup sulingnya. 

Ular-ular itu seperti dikomando lalu membuat lingkaran lebar mengepung tempat itu! Setelah Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya, ular-ular itu pun diam di tempat seperti telah mati atau tertidur pulas. Segera tercium bau amis yang memuakkan di tempat itu sehingga banyak orang menggigil karena merasa ngeri. 

Seorang di antara para kepala gerombolan penjahat itu mengenal Lee Cin dan dia pun berseru keras.

"Dewi Ular......!" Dan semua orang memandang takjub dan penuh perasaan jerih kepada Lee Cin.


"Jeng-ciang-kwi, aku menantangmu untuk bertanding satu lawan satu sampai salah satu di antara kita kalah atau tewas!" Ang-tok Mo-li berteriak menantang Jeng-ciang-kwi.


Datuk ini tentu saja tidak takut terhadap ratusan ular itu. Dia bangkit berdiri dan mengetukkan tongkat bambunya ke atas lantai.


"Bagus, memang aku ingin membunuhmu, Ang-tok Mo-li. Engkau boleh menggunakan lagi Ang-hwa-coa itu, aku tidak gentar sedikit pun!" 


Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan tubuhnya dia telah melompat masuk ke dalam lingkaran yang dikepung ular itu, memalangkan tongkat bambunya di depan dada.

"Ibu, biar aku yang menghadapi tua bangka ini!" kata Lee Cin. "Ibu menjaga kalau-kalau mereka itu melakukan pengeroyokan!"


Ang-tok Mo-li maklum bahwa setelah rnenguasai It-yang-ci yang amat ampuh, dan tentu juga menerima gemblengan dari ayahnya, tentu kini tingkat kepandaian anaknya itu sudah melampauinya, maka ia pun berkata.


"Lawanlah tua bangka busuk itu, Lee Cin. Dan jangan kasih ampun padanya!"

Mendengar Ang-tok Mo-li mengaku gadis itu sebagai anaknya, Jeng-ciang-kwi berkata nyaring, nadanya menghina, "Hei, Ang-tok kapan engkau menikah" Bagaimana tahu-tahu sudah mempunyai anak" 

Siapakah ayahnya, atau anakmu itu anak haram?"

Mendengar penghinaan ini, wajah Lee Cin menjadi merah dan ia membentak marah, "Jeng-ciang-kwi tua bangka busuk, ayahku adalah bengcu Souw Tek Bun, pendekar besar yang terhormat. 


Mulutmu busuk, engkau layak mampus!" Setelah berkata demikian, Lee Cin melempar sulingnya kepada ibunya dan melepaskan pedang Ang-coa-kiam dari libatan di pinggangnya. 

Ia sengaja membiarkan tangan kirinya kosong untuk dapat memainkan ilmu totok Im-yang-ci dengan leluasa. 

Begitu Pedang Ular Merah berada di tangannya, Lee Cin langsung saja menyerang kakek itu dengan dahsyat. Pedangnya mengeluarkan bunyi bercuitan ketika ia menusuk ke arah dada kakek itu dengan cepat dan kuat sekali.

Jeng-ciang-kwi terkejut juga melihat gerakan pedang yang dahsyat itu. Dia menggerakkan tongkat bambu kuningnya menangkis.


"Tranggg......!" Keduanya melompat ke belakang karena pertemuan tongkat dan pedang itu membuat tangan mereka tergetar hebat. Jeng-ciang-kwi menjadi semakin kaget. Ternyata gadis cantik itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi tenaganya! 


Dia cepat membalas, tongkatnya berubah menjadi sinar kuning menyerampang ke arah kaki Lee Cin. 

Ketika gadis itu melompat ke atas untuk menghindarkan kakinya dari sambaran tongkat, tongkat itu telah meluncur dan menusuk ke arah perut gadis itu! Cepat dan hebat gerakan Jeng-ciang-kwi ini, akan tetapi serangannya yang beruntun tidak membuat Lee Cin gugup. 

Pedang membuat gulungan sinar kemerahan dan kembali pedang dan tongkat beradu dengan kuatnya sehingga kembali mereka meloncat ke belakang.

Sementara itu, para tamu Jeng-ciang-kwi sudah mencabut senjata masing-masing dan mengepung Ang-tok Mo-li dengan sikap bengis mengancam. Akan tetapi wanita itu tersenyum mengejek.


"Hayo kalian semua boleh mengeroyok aku!" tantangnya dan begitu ada yang bergerak maju, sinar merah meluncur dari tangannya dan dua orang yang maju itu terpelanting karena lecutan kebutan berbulu merah di tangan kanan wanita sakti itu. Terdengar Ang-tok Mo-li tertawa merdu dan nyaring.


"Ibu, jangan membunuh orang!" teriak Lee Cin yang khawatir ibunya akan membunuh semua orang itu. Ang-tok Moli juga teringat bahwa ketika menyerbu ke Bukit Ular, Jeng-ciang-kwi juga tidak membunuh lima orang pembantunya, maka kebutannya tadi hanya membuat dua orang itu terpelanting dan tidak menderita berat.

Delapan orang kepala perampok ketika melihat dua orang rekan mereka roboh, menjadi marah dan mereka segera mengeroyok Ang-tok Mo-li. 

Akan tetapi Ang-tok Mo-li merasa tidak gentar, bahkan ia mengamuk dan kebutan berbulu merah di tangannya berubah menjadi gulungan sinar merah yang menyambut semua serangan senjata para pengeroyok.

Sementara itu, pertandingan antara Jeng-ciang-kwi dan Lee Cin berlangsung dengan cepat, dahsyat dan seimbang. 


Pedang Ular Merah dan tongkat bambu kuning itu saling serang, akan tetapi keduanya tidak pernah dapat melukai lawan yang mengelak atau menangkis dengan kuatnya. 

Sudah lima puluh jurus mereka bertanding, namun belum ada yang kelihatan terdesak. Diam-diam Lee Cin harus mengakui bahwa lawannya merupakan datuk yang lihai sekali. 

Pantas tujuh tahun yang lalu itu ibunya sampai terluka parah ketika melawan Jeng-ciang-kwi.

Jeng-ciang-kwi juga merasa penasaran sekali. Gadis ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Sudah banyak ilmu yang dia keluarkan, namun semua dapat dihindarkan dan dipunahkan gadis itu. 


Dia sudah mulai berkeringat dan napasnya memburu. Bagaimanapun juga, faktor usia amat menentukan dalam adu kekuatan dan ilmu silat. 

Karena usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, Jeng-ciang-kwi mengalami kemunduran yang hebat tanpa disadari olehnya. Karena selama ini tidak pernah menghadapi lawan berat, maka dia selalu dapat menang dengan mudah sehingga dia mengira bahwa kekuatannya masih seperti duIu di waktu dia muda. 

Baru setelah kini berhadapan dengan lawan tangguh, terasa olehnya betapa tenaganya hampir terkuras dan napasnya terengah-engah. 

Merasa bahwa kalau dia tidak cepat dapat menjatuhkan lawannya yang muda ini, dia tentu akan kalah karena kehabisan tenaga. 

Maka dia lalu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan tiba-tiba gerakannya berubah. Tongkat bambu kuning itu bergerak seperti gelombang lautan menyerang Lee Cin. 

Gadis ini terkejut karena merasa betapa dahsyatnya gelombang serangan gulungan sinar kuning itu. Biar pun ia sudah memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ia terdesak dan terpaksa mengelak mundur. 

Tiba-tiba tongkat itu meluncur dengan kecepatan yang sedemikian hebatnya sehingga tidak keburu ditangkis pedang. Lee Cin dalam kagetnya lalu mengerahkan ginkangnya, tubuhnya mencelat ke atas seperti seekor burung walet terbang!

Melihat lawannya lenyap "terbang" ke udara, Jeng-ciang-kwi yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi girang. Inilah kesempatan terbaik baginya. Dia lalu memasang tongkatnya untuk menyambut tubuh Lee Cin kalau turun. 


Akan tetapi Lee Cin juga sudah waspada. Ketika tiba di udara Lee Cin lalu mengerahkan tenaganya dan berjungkir balik sehingga ketika tubuhnya turun, ia menukik dengan kepala di bawah. 

Dengan sendirinya jangkauan tangannya juga berada paling bawah. Ketika ia melihat kakek itu menyambutnya dengan tusukan tongkat bambu kuning. Lee Cin mengerahkah tenaganya dan pedangnya membabat tongkat itu berkali-kali.

"Crak-crak-crak-crak!" Setiap kali Pedang Ular Merah membabat tongkat bambu itu, sebagian tongkat itu terpotong! Agaknya penyaluran sinkang dari Jeng-ciang-kwi sudah tidak begitu kuat lagi sehingga dia tidak mampu mempertahankan tongkat seperti tadi. 


Kini empat kali tongkatnya terbacok putus dan tubuh gadis itu semakin dekat dengannya. Sambil membabat lagi, Lee Cin menggerakkan tangan kirinya dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Jeng-ciang-kwi. Kakek itu sedang terkejut melihat tongkatnya terpotong-potong dan mencurahkan seluruh perhatiannya ke sana, maka dia tidak dapat menghindar lagi ketika jari tangan gadis itu menotok ubun-ubun kepalanya.

"Tukk!" Jeng-ciang-kwi mengeluarkan teriakan panjang, tubuhnya terhuyung lalu ia roboh menelungkup di atas tanah, tidak bergerak lagi. Lee Cin menggunakan kakinya untuk membalikkan tubuh itu sehingga telentang dan ia melihat betapa kakek yang tangguh itu telah tewas dengan tongkat bambu yang tinggal pendek masih tergenggam di tangan kanannya!


Lee Cin menoleh ke arah ibunya. Ibunya masih mengamuk karena kini tiga puluh orang anak buah Guha Tengkorak juga maju mengeroyoknya. 


Akan tetapi sudah ada belasan orang yang rebah malang melintang tidak dapat ikut mengeroyok lagi karena ada yang tertotok tubuhnya sehingga tidak mampu bergerak dan ada pula yang patah tulang dan terluka akan tetapi tidak ada yang tewas.

Melihat ibunya mengamuk dengan kebutannya dan sulingnya yang tadi dilemparkan kepada ibunya masih dipegang tangan kiri ibunya dan digunakan untuk menangkis serangan para pengeroyok, Lee Cin berseru, "Ibu, lemparkan suling itu ke sini!"


Ang-tok Mo-li melemparkan suling yang disambar oleh Lee Cin. Kemudian Lee Cin berkata nyaring, 


"Siapa yang tidak mau berhenti mengeroyok, akan dikeroyok ular sampai mati!"

Ia lalu meniup sulingnya dan ular-ular yang tadi mengepung saja dan tidak bergerak walaupun di situ terdapat perkelahian, kini mulai bergerak maju, mempersempit lingkaran pengepungan mereka. 


Melihat ini, para anak buah Guha Tengkorak menjadi gentar, apalagi mereka melihat betapa Jeng-ciang-kwi telah tewas. 

Di antara sepuluh orang kepala perampok, yang belum roboh ada dua orang. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu dan takut dipagut ular berbisa, dua orang ini lalu membuang golok mereka dan menjatuhkan diri berlutut.

"Kami menyerah! Jangan biarkan ular-ular itu menyerang kami!" teriak dua orang kepala perampok itu. 


Perbuatannya ini segera diikuti oleh para anak buah Guha Tengkorak yang memang sudah kehiIangan semangat dan keberanian.

"Kami semua menyerah kepada Dewi Ular!" kata mereka gemuruh.
Lee Cin meniup lagi sulingnya dengan nada lain dan ular-ular itu lalu memutar tubuh dan merayap pergi dari tempat itu! 


Melihat ini, dua kepala perampok dan semua anak buah Guha Tengkorak menjadi lega dan seorang di antara dua kepala perampok itu sambil berlutut memberi hormat kepada Lee Cin sambil berkata dengan suara nyaring.

"Kami mohon kepada Dewi Ular untuk memimpin kami!"

Teriakan ini disambut oleh semua anak buah Guha Tengkorak yang sudah taluk benar-benar karena gadis itu telah membunuh pemimpin mereka dengan suara gemuruh, "Hidup Dewi Ular!"


Lee Cin mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata dengan suara tegas dan nyaring, "Dengar kalian semua! Jeng-ciang-kwi telah mengacau di tempat kami maka hari ini kami datang melakukan pembalasan, Jeng-ciang-kwi telah mati dan kalian boleh mengangkat seorang di antara kalian untuk menjadi pemimpin. 


Aku Dewi Ular tidak ingin menjadi pemimpin kalian, hanya pesan kami agar kalian tidak mengganggu penduduk dusun yang tidak berdosa. 

Kalau merampok pun harus pilih-pilih, jangan menculik wanita dan jangan sembarangan membunuh orang. Kalau kalian melanggar laranganku ini, kelak kalau aku lewat di sini aku tidak akan mengampuni kalian lagi!"

"Coa Sian-li (Dewi Ular), kami mohon sudilah Sian-li memimpin kami yang telah kehilangan pemimpin. Kami akan menaati semua perintah Sian-li" terdengar seorang berseru.


Lee Cin tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku masih mempunyai banyak sekali tugas yang harus kuselesaikan. 


Nah, selamat tinggal!" Lee Cin memberi isyarat kepada ibunya dan keduanya lalu meloncat jauh dan sebentar saja sudah lenyap dari penglihatan empat puluh orang yang masih berlutut di situ.

Setelah menuruni Bukit Kui-san dan tiba di kaki bukit, Ang-tok Mo-li dan Lee Cin berhenti berlari dan mereka berjalan seenaknya.


"Lee Cin, hatiku senang sekali engkau telah dapat membantuku membunuh Jeng-ciang-kwi. Kepandaian silatmu telah maju dengan pesat."


"Di antara kita tidak perlu berterima kasih, Ibu. Sudah menjadi kewajiban membantumu."


"Kenapa engkau tadi menolak pengangkatan mereka menjadi pemimpin mereka, Lee Cin" Senang mempunyai anak buah seperti mereka yang rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan. 


Engkau akan menjadi tokoh yang amat terkenal dan dihormati semua orang kang-ouw di daerah ini."

"Aih, Ibu. Apakah Ibu senang kalau aku menjadi kepala gerombolan penjahat, Ibu" Aku tidak sudi menjadi seorang datuk sesat. 


Sekarang kita bicara tentang dirimu, Ibu. Engkau sudah berjanji kepadaku, kalau aku dapat membantumu, menghadapi Jeng-ciang-kwi, maka Ibu akan mempertimbangkan permintaanku, yaitu agar Ibu mau memaafkan Ayah dan suka hidup bersama dengan kami di Hong-san. 

Aku sekarang menagih janji Ibu itu."
KaIau dalam keadaan biasa, Ang-tok Mo-li tentu akan marah mendengar Lee Cin menagih janji yang seolah menyudutkannya itu. 


Akan tetapi saat itu hatinya sedang senang karena ia telah melihat musuh besarnya terbunuh oleh Lee Cin. Maka ia hanya mengerutkan alisnya dan balas bertanya kepada puterinya,
"Apakah dia membutuhkan maafku?"
Lee Cin memegang tangan ibunya. 


"Ah, Ibu. Perlukah kujelaskan lagi" Ayah selama ini sungguh tersiksa memikirkan Ibu, memikirkan kesalahan yang telah dilakukannya terhadap Ibu. 

Kalau aku mengajaknya bicara tentang Ibu, Ayah menghela napas berulang-ulang dan wajahnya tampak berduka sekali. Aku yakin bahwa kalau Ibu suka memaafkan dia dan suka tinggal di sana bersama kami, Ayah akan menjadi orang paling berbahagia di dunia."

"Tapi..... ayahmu adalah seorang bengcu yang terhormat, sedangkan aku" Kau tahu sendiri siapa aku, seorang wanita iblis yang dikutuk banyak orang! 


Derajat dan kemuliaan ayahmu akan ternoda dan terseret turun kalau aku hidup bersamanya."

Lee Cin merangkul ibunya. "Jangan begitu Ibu. Aku tahu bahwa biarpun Ibu dijuluki Mo-li (Iblis Betina), namun di lubuk hati Ibu, Ibu adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan pembela keadilan. Dan tentang Ayah, dia akan mengundurkan diri dari kedudukan bengcu itu, Ibu."


"Ehhh?" Ang-tok Mo-li memandang wajah puterinya dengan kaget. "Mengapa rnengundurkan diri?"


"Belum lama ini, Ayah didatangi seseorang yang memakai kedok hitam dan orang itu memaki-maki Ayah sebagai seorang bengcu antek penjajah Mancu, karena ketika pengangkatannya direstui oleh Kaisar Mancu. 


Kemudian orang berkedok hitam itu menyerang Ayah dan dalam perkelahian itu Ayah terluka oleh pukulan tapak hitam dari orang itu. 

Sekarang pun Ayah masih beristirahat untuk memulihkan tenaganya Ibu. Beruntung bahwa aku telah mempelajari It-yangci sehingga aku dapat menyelamatkan Ayah. 

Nah, sejak itu Ayah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Dia tidak mau dianggap oleh dunia kang-ouw sebagai bengcu antek penjajah Mancu."

"Hemm, siapakah penyerang itu?"
"Ayah tidak mengetahuinya, Ibu. Dan ketika itu aku pun sedang tidak ada di rumah. Ayah hanya mengatakan bahwa orang itu masih muda, berkedok hitam dan memiliki pukulan tapak tangan hitam yang disebutnya pukulan "merontokkan jalan darah". 


Sebetulnya Ayah telah menghabiskan urusan dengan Si Kedok Hitam itu, akan tetapi aku tidak dapat menerimanya begitu saja, Ibu. Aku akan pergi mencari orang itu dan membalas kekalahan Ayah. 

Barangkali Ibu mengetahui siapa yang memiliki iImu pukulan seperti itu?"

Ang-tok Mo-li mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. "Aku pernah mendengar tentang ilmu tapak tangan hitam dari keluarga Cia, akan tetapi entah mereka atau bukan yang melukai ayahmu. 


Seingatku ilmu tapak tangan hitam keluarga Cia disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)."

"Aku juga sudah mendengar akan mereka di Hui-cu, di kaki bukit Lo-sian, bukan?"


Ibunya mengangguk. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan pergi ke sana untuk menyelidikinya!"


"Akan tetapi mereka itu terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa, bukan golongan penjahat."


"Siapa pun mereka, akan kuselidiki. Kalau betul ada di antara mereka yang dulu memakai kedok dan melukai Ayah, tentu akan kutantang dan kubalas dia!"


Ang-tok Mo-li menghela napas panjang dan mengamati wajah puterinya. Ada keharuan di hatinya. Kekerasan hati puterinya itu jelas ia yang menurunkannya. 


Andaikata ia yang menjadi Lee Cin, ia pun tentu akan mencari orang itu sampai dapat ditemukan.

"Kalau begitu, sesukamulah, Lee Cin. Engkau sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk bertindak sendiri. Akan tetapi, bagaimana dengan keadaan ayahmu?"


"Dia masih menderita oleh akibat pukulan itu, Ibu. Biarpun dia sudah tidak terancam bahaya lagi, namun dia masih lemah dan perlu beristirahat. Aku sudah mencari seorang paman dari dusun untuk merawat dan melayaninya selama aku pergi."


"Aku..... aku maafkan dia..... Sudah lama, selama engkau pergi, aku sudah maafkan dia," katanya lirih.


Mendengar ini, Lee Cin merangkul dan mencium ibunya dengan kedua mata basah. Ketika ia memandang wajah ibunya, ia melihat betapa kedua mata ibunya juga basah. 


Di dalam hatinya Lee Cin bersorak. Ibunya menangis! Ini merupakan hal yang langka sekali dan ini mungkin sekali berarti bahwa hati ibunya yang tadinya membeku dan keras sudah mencair dan lunak kembali!

"Ibu," ia berbisik dekat telinga ibunya, "Ayah amat mencinta Ibu, sungguh amat mencintaimu."


Ang-tok Mo-li melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alisnya. "Kenapa tidak dari dulu?"


"Ayah sudah menyesali hidupnya, Ayah merana dalam hatinya dan selalu merindukan Ibu. Setelah Ibu memaafkan dia, tidakkah Ibu kasihan melihat dia terluka" 


Alangkah akan bahagia hatinya kalau Ibu sudi menengok Ayah yang sedang lemah dan beristirahat."

"Bagaimana nanti sajalah. Kapan engkau akan pergi ke Lo-sian?"


"Sekarang juga, Ibu." "Kalau begitu berangkatlah, akan tetapi hati-hatilah. Sedapat mungkin jangan sampai engkau bermusuhan dengan keluarga Cia, hal itu berbahaya sekali."


Baik, Ibu. Akan kuingat pesan Ibu."
Kedua orang wanita, ibu dan anak itu Ialu berpisah. Lee Cin menuju ke barat dan ibunya menuju ke selatan.

Lima orang laki-laki berdiri sambil bercakap-cakap di dalam sebuah hutan di pegunungan Hong-san. Mereka ini bukan orang-orang lemah karena mereka membawa golok di pinggang mereka. 

Kuncir mereka melilit leher dan sikap mereka congkak seperti kebanyakan orang yang merasa dirinya kuat dan berkuasa. Memang, lima orang ini bukan orang sembarangan, melainkan segerombolan perampok yang mengepalai banyak anak buah di sebelah timur Pegunungan Hong-san. Yang mereka bicarakan adalah bengcu Souw Tek Bun.

"Tidak salahkah keterangan yang kau peroleh bahwa Souw-bengcu itu kini sedang sakit dan lemah?" tanya seorang kepada kawannya yang bermuka hitam.


"Tidak salah. Petani yang kini merawatnya menceritakan hal ini kepada beberapa orang dusun dan berita itu menyebar sehingga aku mendengarnya. 


Kiranya, sekaranglah saatnya yang terbaik untuk bergerak," kata Si Muka Hitam.

"Akan tetapi ada puterinya yang kabarnya tidak kalah tangguhnya dibandingkan dengan Souw-bengcu," kata orang ke tiga.


"Bahkan puterinya itu akhir-akhir ini dikenal sebagai Dewi Ular. Kabarnya ia dapat memanggil semua ular di daerah ini untuk membantunya menghadapi musuh. Ih, mengerikan!" kata orang ke empat.


"Kalau berbahaya sekali, lebih baik ditangguhkan, tunggu sampai kita memperoleh bantuan yang tangguh, baru kita serbu," kata orang ke lima.


"Kenapa kalian begitu ketakutan" Sudah kukatakan bahwa anak perempuannya itu pergi jauh. Karena itu maka orang dusun itu disuruh menjaga dan merawat Souw-bengcu. 


Jangan kalian takut, begitu pengecutkah kalian?" kata Si Muka Hitam yang agaknya menjadi pemimpin mereka. 

Orang ini memang kelihatan menyeramkan. Mukanya hitam sekali, rambutnya sangat subur, dikuncir tebal dan kuncir itu melilit lehernya. 

Di punggungnya terdapat sebatang ruyung dan di pinggangnya tergantung sebuah golok. Lima orang ini menamakan diri mereka sendiri Hong-san Ngo-houw (Lima Harimau Bukit Hong-san). 

Mereka bercakap-cakap di hutan yang sunyi itu, membicarakan niat mereka untuk menyerbu rumah Souw-bengcu.

"Apakah benar pedang itu amat berharga maka engkau hendak merampasnya?" tanya orang pertama kepada Si Muka Hitam.


"Hem, tentu saja! Amat berharga sekali. Orang di dunia kang-ouw tentu akan berani membayar mahal untuk pedang Ceng-liong-kiam! Kalian tahu pedang itu adalah pedang pemberian Kaisar kepada Souw-bengcu. 


Dengan pedang itu di tangan, orang dapat memasuki istana dan semua penjaga akan memberi hormat. Orang itu akan dapat langsung menghadap Kaisar! Bukankah benda itu amat berharga" Selain itu, juga pedang itu merupakan pedang pusaka yang ampuh sekali."

Mendengar keterangan ini, empat orang rekannya menyeringai dan mengangguk-angguk.


"Kalau begitu kapan kita akan menyerbu ke sana?"


"Sekarang juga, selagi masih pagi."
Berangkatlah lima orang itu mendaki puncak Hong-san menuju ke tempat kediaman Souw Tek Bun. Mereka mendaki setengah berlari dan nampak wajah mereka penuh gairah, penuh semangat.


Akhirnya sampai juga mereka di depan pondok tempat tinggaI Souw Tek Bun yang kelihatan sunyi sekali. 


Selagi lima orang itu menjenguk ke sana-sini, muncullah seorang laki-laki setengah tua dari dalam pintu pondok. Melihat lima orang itu, dia terkejut dan cepat menghampiri sambil bertanya.

"Siapa kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?" tanyanya.
Akan tetapi sebagai jawabannya, sebatang golok berkelebat dan pelayan itu berteriak mengaduh satu kali lalu terkulai roboh dengan dada terkoyak.


Mendengar teriakan ini, Souw Tek Bun yang sedang berada di dalam menjadi terkejut dan dia pun muncul dari pintu. 


Karena tidak menyangka buruk, bengcu ini tidak membawa senjata apa pun. Melihat lima orang yang tampak garang dan bengis itu, Souw Tek Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika dia melihat pelayannya sudah menggeletak mandi darah, dia terkejut dan marah sekali.

"Siapakah kalian dan apa yang kalian lakukan ini?"


Si Muka Hitam memutar tubuh memandang kepada Souw Tek Bun. Dan empat orang rekannya juga memandang bengcu itu dengan sinar mata penuh perhatian dan juga ada tersisa perasaan gentar karena mereka sudah mendengar kabar tentang kegagahan bengcu ini dengan ilmu silatnya yang tinggi. 


Akan tetapi Si Muka Hitam sudah yakin akan kebenaran berita yang diterimanya lalu tertawa.

"Ha-ha-ha, kiranya yang namanya Souw-bengcu hanya seorang tua yang lernah dan berpenyakitan!"


Souw Tek Bun yang tidak tahu bahwa ucapan itu untuk memancing dan mengetahui keadaannya, menghela napas dan berkata sejujurnya, "Memang aku sedang tidak sehat, akan tetapi mengapa kalian membunuh pelayanku yang sama sekali tidak berdosa ini?"


Si Muka Hitam mencabut golok dan ruyungnya diikuti empat rekannya yang juga sudah mencabut golok mereka. 


"Souw Tek Bun! Kami datang bukan untuk mengobrol denganmu! Cepat kau serahkan Ceng-liong-kiam kepada kami atau engkau akan mati seperti pelayanmu ini!"

Biarpun keadaannya lemah dan tenaganya belum puIih, Souw Tek Bun adalah seorang gagah perkasa yang tidak mungkin mau tunduk atas perintah gerombolan penjahat begitu saja.


"Ceng-liong-kiam adalah pedangku, tidak boleh orang lain memilikinya!" katanya dengan gagah.


"Kalau begitu mampuslah" bentak Si Muka Hitam yang langsung menyerang dengan golok di tangan kanan dan ruyung di tangan kiri. Biarpun Souw Tek Bun kehilangan tenaganya, namun dia tidak kehilangan ilmu silatnya yang sudah mendarah daging, maka dengan mudah dia mengelak dari serangan golok dan ruyung itu. 


Akan tetapi empat rekan Si Muka Hitam sudah maju menyerang dari segala jurusan!

Souw Tek Bun hanya mampu mengelak, akan tetapi karena dia kehilangan tenaganya, maka gerakannya juga tidak begitu gesit lagi. Kembali ruyung Si Muka Hitam menyambar ke arah kepalanya. Souw Tek Bun mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang dan pada saat itu, dua batang golok menyambar dari kanan kiri. 


Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan dapat berjungkir-balik satu kali, hanya untuk menghadapi golok lain dari depan dan belakangnya. Dia memutar tubuh dan kembali mengelak, akan tetapi elakannya kurang cepat sehingga ketika ruyung menyambar ke arah kepala dan dielakkannya, ruyung itu masih menimpa ujung pundaknya.

"Dess......!" Tubuh Souw Tek Bun terguling. Akan tetapi begitu roboh dia menggulingkan tubuhnya lalu bangkit berdiri dengan pundak kiri terasa nyeri bukan main. Kembali hujan goIok dan ruyung mengeroyoknya. Karena dia tidak diberi kesempatan untuk membalas, maka dia hanya berloncatan ke sana sini untuk mengelak dan suatu saat kaki kanan Si Muka Hitam mencuat dan mengenai perutnya.


"Bukk.....!" Kembali tubuh Souw Tek Bun terpelanting, kini terjengkang, akan tetapi dia masih dapat bergulingan menghindarkan diri. 


Tahulah Souw Tek Bun bahwa nyawanya terancam maut. Kalau dia tidak kehabisan tenaga sebagai akibat pukulan tapak tangan hitam, biarpun dia bertangan kosong, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan mampu merobohkan lima orang itu. 

Akan tetapi tenaganya tidak ada sehingga kegesitannya pun berkurang.

"Sing-sing-sing......!" Tiga batang golok berdesing menyambut dan hampir saja mengenai tubuh pendekar itu. 

Dia melompat mundur ke belakang menghindarkan diri dari sambaran golok-golok itu. Akan tetapi ketika Si Muka Hitam mengejar dan menggerakkan ruyungnya, kembali ruyung itu mengenai pahanya dan Souw Tek Bun lalu terguling roboh, tidak mampu berdiri kembali. 

Dengan wajah menyeringai bengis, lima orang itu sudah berlompatan mengangkat senjata masing-masing untuk mengirim bacokan atau tusukan maut.

"Wuuutt..... tar-tar-tar-tar-tar.....!" Sinar merah menyambar lima kali dan lima orang perampok itu berpelantingan dan tidak dapat bangkit kembali karena kepala mereka sudah retak disambar ujung kebutan berbulu merah. 


Ang-tok Mo-li sudah berada di situ, melangkah mendekati Souw Tek Bun dan memandang dengan alis berkerut.

Souw Tek Bun yang sudah menderita luka di pundak dan pahanya itu, juga menerima tendangan di perutnya, memandang wanita itu. Pandang matanya menjadi kabur, akan tetapi dia masih mengenal wanita itu dan mulutnya berkata lirih,


"Kau.... kau..... Bu Siang......!" Dan dia pun terkulai pingsan.
Ketika dia membuka matanya kembali, Souw Tek Bun mendapatkan dirinya sudah rebah di pembaringan di dalam kamarnya dan melihat Ang-tok Mo-li sedang membalut luka di pundak dan pahanya.


"Bu Siang..... kau..... kau menyelamatkan aku..... dan merawatku.....?" pertanyaan itu keluar dengan suara penuh haru.


"Sttt, diamlah dan mengasolah. Engkau tidak terluka parah, hanya perlu beristirahat," kata Ang-tok Mo-li atau Bu Siang dengan lembut.


Souw Tek Bun memandang kepada wanita itu dan kedua matanya basah. "Bu Siang, tidak mimpikah aku" Benarkah ini engkau yang merawatku" Bu Siang, katakan bahwa ini bukan sekedar mimpi....."


Bu Siang tersenyum memandang kepada pria yang sesungguhnya amat dicintanya ini. Kalau ia pernah membencinya, hal itu karena besarnya cinta yang gagal. Akan tetapi kini ia menyadari bahwa apa yang dikatakan puterinya itu bukan bohong. 


Pria ini masih mencintanya dan mengharapkan kedatangannya.
Ia mengangguk. "Apakah engkau mengharapkan kedatanganku dan merasa rindu kepadaku?" tanyanya lirih.


Souw Tek Bun menangkap tangan wanita itu dan menciumi tangan itu dengan air mata berlinang. "Haruskah kukatakan lagi, Bu Siang. Aku mengharapkan engkau datang, agar kita dapat hidup bersama. Aku mengharapkan maafmu yang sebesar-besarnya, atau kalau tidak, aku akan rela mati kau bunuh......"


Ang-tok Mo-li menggeleng kepalanya. "Hemm, laki-laki tolol, kalau saja begini sikapmu sejak dulu....."


"Akan tetapi aku belum terlambat, bukan" Kau sudi memaafkan aku atas kebodohanku itu" Aku sungguh menyesal dan dengan setulus hati aku berjanji akan mempergunakan sisa umurku untuk membahagiakanmu, Siang-moi (Adik Siang)."


"Dengan satu syarat bahwa engkau harus tidak menjadi bengcu lagi. Aku akan selalu merasa rendah diri untuk hidup di samping seorang bengcu yang namanya dimuliakan dan dihormati seluruh orang kang-ouw."


Souw Tek Bun menarik tangan Ang-tok Mo-li dan merangkulnya. "Jangan khawatir, Siang-moi. Sebelum engkau datang pun aku sudah bermaksud untuk mengundurkan diri dari jabatan bengcu."


Tentu saja Bu Siang sudah mendengar akan hal ini dari puterinya. Ia membiarkan dirinya dirangkul dan kedua orang itu tenggelam ke dalam kemesraan dan baru sekarang wanita itu menyadari bahwa selama ini ia tidak dapat pernah melupakan Souw Tek Bun, bahwa selama ini ia masih mencinta pria itu.


Manusia dipermainkan suka dan duka sebagai akibat permainan nafsu. Manusia selalu mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan "si aku" yang dianggapnya sebagai diri sejati. 


Padahal, yang mengaku aku itu bukan lain adalah nafsu. Nafsu daya rendah selalu berebutan untuk menguasai manusia dan mengaku diri sebagai Aku-nya manusia itu. Dan menjadi sifat nafsu daya rendah untuk mementingkan diri sendiri. Dari pementingan diri sendiri inilah timbul segala macam perasaan suka duka. 

Kalau terjangkau apa yang diinginkan datanglah suka, kalau tidak terjangkau datanglah duka. Bukan berarti bahwa manusia harus menjauhi nafsu atau meniadakan nafsu. Tanpa nafsu manusia tak mungkin dapat merasakan kenikmatan hidup, bahkan tanpa nafsu manusia tidak akan dapat hidup. Segala macam penemuan manusia yang membawa kepada kemajuan lahiriah ini adalah berkat dorongan nafsu.

Akan tetapi manusia bijaksana akan selalu menjadi majikan dari nafsu-nafsunya. Setiap kali nafsu menyimpang dari fungsinya dan hendak mencengkeram akan menjadikan manusia sebagai budak, manusia bijaksana akan selalu dapat melihat bahwa apa yang dia pikirkan, katakan dan perbuat itu bukanlah dilakukan oleh dirinya yang sejati, melainkan oleh nafsu. 


Dengan kewaspadaan ini, manusia akan dapat mengembalikan kedudukannya sebagai majikan dan menarik kembali nafsu yang menguasai itu menjadi pembantu atau alat.

Manusia sendiri tidak akan mungkin atau akan teramat sukar untuk dapat menguasai nafsu-nafsunya. Yang dapat menundukkan nafsu adalah Kekuasaan Tuhan. Karena itu tiada jalan lain bagi manusia untuk meniadakan nafsu yang suka mengaku-aku dan menariknya menjadi pembantu hanyalah penyerahan diri kepada Tuhan dengan segala kepasrahan, keihlasan dan ketawakalan. 


Kalau sudah begitu, maka Tuhan dengan Kekuasaan-Nya yang tidak terbatas akan meletakkan nafsu-nafsu di tempat masing-masing sebagaimana mestinya.

Mengapa nafsu demikian kuat dan besar kekuasaannya atas diri manusia lahir dan batin" Karena nafsu selalu menarik manusia kepada kesenangan duniawi yang gemerlapan, tampak indah dan menyenangkan, mendatangkan kepuasan jasmani. 


Dengan kesenangan ini manusia terpikat, terbujuk dan akhirnya menyerah menjadi bulan-bulanan dan permainan nafsu itu sendiri. Dan kalau nafsu sudah menguasai diri, bukan hanya tindakan kita saja yang menyeleweng dari kebenaran, bahkan hati akal pikiran kitapun sudah bergelimang nafsu sehingga hati dan pikiran bahkan membenarkan perbuatan yang didorong nafsu itu. 

Maka sukarlah bagi manusia untuk menyadari kesalahan sendiri, karena hati akal pikirannya selalu membenarkan.

Contoh yang sederhana adalah manusia yang melakukan korupsi. Dia tahu benar bahwa perbuatan itu tidak benar. Akan tetapi kalau dia melakukannya lalu hati akal pikirannya membelanya dengan bisikan-bisikan lembut dan menghibur, misalnya, "tidak apa-apa, toh semua orang melakukannya" atau "engkau melakukan karena terpaksa oleh keadaan, maka itu bukan dosa" dan "yang kau lakukan hanya kecil saja, lihat orang lain melakukannya dengan jumlah yang lebih besar lagi". 


Pendeknya, hati akal pikiran selalu membela perbuatan yang tidak benar itu menjadi perbuatan yang dianggap benar!

Maka, seorang manusia bijaksana akan selalu berhati-hati dan waspada, sehingga dia akan dapat merasakan bahwa perbuatan itu bukan kehendak dirinya yang sejati melainkan dilakukan karena bujukan iblis nafsu, dan bahwa bisikan-bisikan membela itu bukan datang dari nuraninya, melainkan dari iblis nafsu yang sama.

Setelah Bu Siang kembali ke dalam pelukannya, Souw Tek Bun baru menyadari bahwa dia memang telah bersalah besar. Seharusnya, kalau benar dia mencinta Bu Siang, dia harus membimbing wanita itu ke arah jalan yang benar, bukan meninggalkannya begitu saja dan menikah dengan wanita lain! 

Kalau dulu dia tidak meninggalkannya melainkan memberi bimbingan, belum tentu Bu Siang akan menjadi seorang datuk sesat yang tidak segan melakukan perbuatan jahat. Kini dia menyesal dan berjanji kepada diri sendiri untuk melanjutkan membimbing wanita yang dicintanya itu ke jalan yang benar dan tidak lagi bersikap dan bertindak sebagai seorang tokoh sesat.

Lee Cin berhenti di bawah pohon besar di kaki Bukit Lo-sian. Tempat itu sunyi dan hari itu panasnya membakar sehingga terasa sejuk dan nyaman berada di bawah pohon besar itu melepaskan lelah.


Kalau ada orang melihatnya tentu akan merasa heran. Seorang gadis cantik duduk seorang diri di bawah pohon di tempat yang amat sepi itu. 


Memang Lee Cin amat menarik perhatian. Gadis ini memiliki kecantikan yang khas. Wajahnya yang bulat telur itu manis sekali dengan mulut yang kecil mungil dengan bibir yang selalu merah membasah. 

Hidungnya yang kecil mancung itu ujungnya agak menjungat ke atas sehingga menimbulkan kesan lucu. 

Setiap kali ia menggerakkan mulutnya, dua lesung pipit di kanan kiri mulutnya nampak jelas. Matanya bersinarsinar tajam dan amat jeli, seolah selalu menyelidik apa yang berada di depan dan dipandangnya. 

Lee Cin memang seorang gadis cantik jelita, berusia sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mekar semerbak harum. 

Pakaiannya juga cerah berkembang. Ia tidak nampak membawa senjata karena pedangnya dililitkan di pinggang sehingga tampaknya seperti sabuk saja. Suling yang hitam terselip di pinggang itu pun tidak kelihatan sebagai senjata walaupun sesungguhnya suling itu merupakan senjata yang ampuh dan juga dapat dipergunakan untuk memanggil ular.
Lee Cin menyeka keringat dari leher dan dahinya, menggunakan sehelai saputangan sutera biru. Ia menjulurkan kedua kakinya yang terasa agak pegal karena sudah dipakai berjalan menempuh jarak jauh. 

Tidak akan ada orang yang menduga bahwa gadis cantik menarik ini sebetulnya adalah seorang gadis yang amat lihai, bahkan terkenal dengan julukan Dewi Ular!

Lee Cin duduk termenung. Ia teringat kepada ibunya dan diam-diam ia mengharapkan agar ibunya benar-benar mau memaafkan ayahnya dan akhirnya suka tinggal bersama ia dan ayahnya di Hong-san. Pikirannya melayang-layang mengenangkan masa lalunya.


Ia teringat akan Song Thian Lee. Pernah ia jatuh cinta setengah mati kepada pendekar itu. Akan tetapi akhirnya ia melihat kenyataan pahit bahwa Thian Lee tidak mencintanya melainkan mencinta gadis lain dan kini sudah menikah dengan gadis itu. 


Apakah dulu ibunya juga mengalami seperti ia" Ibunya mencinta ayahnya akan tetapi ayahnya memilih wanita lain untuk menjadi isterinya.

Tidak, sama sekali tidak sama. Ibunya telah menyerahkan diri dan kehormatannya kepada ayahnya. 


Tentu saja setelah ditinggal menikah dengan gadis lain, ibunya menjadi sakit hati. Akan tetapi ia tidaklah demikian. Hubungannya dengan Thian Lee bersih.

Ia menghela napas. Masa patah hati telah lewat. Ia tidak lagi merasa berduka karena harus berpisah dari Thian Lee. Ia tahu diri. Maklum bahwa cinta tidak dapat bertepuk sebelah tangan. 


Thian Lee telah menemukan jodohnya dan ia terpaksa harus meninggalkan pemuda itu, tidak lagi terasa penyesalan atau duka. Ia bahkan merasa seperti seekor burung terbang menyendiri di angkasa raya. 

Tidak akan mudah rasanya untuk tertarik kepada pria lain. Hatinya tidak membeku terhadap cinta, akan tetapi ia merasa sangsi apakah ada pemuda yang dapat menarik hatinya seperti Thian Lee. 

Ia teringat kepada Thio Hui San dan menarik napas panjang. Pemuda itu pun seorang pendekar perkasa, seorang pemuda yang gagah dan tampan menarik. Seorang pemuda yang berhati lembut dan yang terus terang menyatakan cinta kepadanya. 

Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai perasaan cinta terhadap Thio Hui San. Dan ia merasa kasihan sekali. Ia sudah pernah merasaan betapa pahitnya untuk jatuh cinta kepada orang yang tidak membalas cintanya. 

Tentu Hui San juga merasakan kepahitan seperti yang pernah ia rasakan.

Tiba-tiba, perasaan sedih mencekam hatinya. Ia merasa kesepian. Ayah dan ibunya, dua orang yang paling dekat di hatinya, masih belum dapat hidup bersama seperti yang diharapkannya. 


Dan ia sendiri, ah, betapa hidup ini sunyi seperti yang sebuah kapal di tengah samudra luas. Tidak tampak tepi daratan, tidak tampak nusa harapan di mana kapal itu dapat berlabuh. 

Ia hanya dapat mengharapkan suatu kemujijatan terjadi atas dirinya. Haruskah ia mengalami nasib seperti ibunya yang selalu kesepian dan merana" Tidak, tidak mungkin. 

Ibunya menderita kesengsaraan karena ulah sendiri, karena hatinya dipenuhi dendam yang meracuni diri sendiri. Ia tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau ia mencari Si Kedok Hitam, hal itu bukan dikarenakan dendam, melainkan penasaran. 

Ia ingin menemukan Si Kedok Hitam untuk ditanya mengapa dia menyerang ayahnya dan melukainya. 

Kalau Si Kedok Hitam tidak dapat memberi jawaban yang menghilangkan rasa penasaran itu, ia akan menantangnya untuk bertanding agar ia dapat melukainya seperti yang dilakukan orang itu kepada ayahnya.

Semangat hidupnya bangkit kembali ketika ia teringat akan tugasnya ini. Persetan semua kelemahannya! Ia tidak boleh membiarkan dirinya terseret oleh hati dan pikiran yang melemahkan dirinya, menyeretnya ke dalam kedukaan. 


Hidupnya masih berarti! Selain mencari Si Kedok Hitam, ia pun harus mempersatukan ayah dan ibunya.
Lee Cin bangkit dari duduknya dan menggeliat. Otot-otot tubuhnya terasa kaku karena dipakai duduk sampai lama. Ia harus bergerak kembali, harus melangkah lagi mendaki Bukit Lo-sian, menuju ke kota Hiu-cu yang terletak di lereng di balik bukit itu. 

Ia sudah mencari keterangan di dusur yang dilewatinya tadi dan mendapat petunjuk bahwa Hui-cu terletak di seberang bukit.

Saat itu matahari telah naik tinggi. Siang hari yang amat terik dan panas. Lee Cin meregangkan kaki tangannya yang kaku, lalu mengambil kembali buntalan pakaiannya dan digendongnya buntalan pakaian itu dipunggungnya.


Selagi ia hendak melangkah, tiba-tiba ia mendengar gerakan orang. Lee Cin menahan langkahnya dan waspada. 


Muncullah tiga orang dari balik pohon dan mereka itu menghadang di depan Lee Cin sambil memandang gadis itu degan sinar mata penuh selidik.

"Siapakah engkau, Nona" Apakah engkau dari keluarga Cia?" bentak orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan. mukanya penuh brewok. Si Tinggi Besar ini nampak kokoh kuat dan kuncir rambutnya dibiarkan tergantung di depan dadanya. 


Kancing bajunya terbuka sebagian sehingga tampak dadanya yang berbulu dan kekar.

Mendengar pertanyaan ini, Lee Cin menjadi tertarik sekali. Tentu ada sesuatu antara tiga orang ini dengan keluarga Cia. Kalau ia menjawab bahwa ia bukan anggauta keluarga Cia, dan mereka itu pergi begitu saja, tentu ia tidak akan mendengar keterangan apa pun tentang keluarga Cia. 


Sebaiknya ia mengaku keluarga Cia dan ia ingin tahu apa yang akan terjadi, agar ia mendengar sesuatu tentang keluarga yang sedang diselidikinya itu.

"Kalau benar aku keluarga Cia, kalian mau apa?" jawabnya dengan pertanyaan yang menantang.


"Kubunuh engkau!" jawab orang ke dua yang berwajah tampan dan bertubuh sedang. Orang ini bernama Bong Cui Kiat, berusia empat puluh lima tahun.


"Kucincang kau!" bentak orang ke tiga yang bernama Bong Cui An, adik orang ke dua, bertubuh tinggi kurus dan berusia empat puluh tahun.


"Ha-ha-ha, tidak begitu! Engkau akan kuambil sebagai isteriku yang paling muda!" kata orang pertama yang bernama Lay Ki Seng dan berusia lima puluh tahun, orang yang tinggi besar dan brewok itu.


Lee Cin tersenyum. Keterangan itu masih belum ada artinya. Ia ingin tahu tentang keluarga Cia, bukan tentang mereka.


"Hemm, tidak begitu mudah untuk mengikat jodoh! Setidaknya aku harus tahu lebih dulu, kalian ini orang-orang dari mana dan mengapa pula memusuhi keluarga Cia?"


"Kalau engkau anggauta keluarga Cia tentu mengenal kami, setidaknya mengenal nama kami. Kami adalah Kim-to Sam-ong (Tiga Raja Golok Emas), tiga pimpinan Kim-to-pang (Perkumpulan Golok Emas). Lebih baik engkau menyerah dan menjadi isteri mudaku, daripada tubuhmu kami cincang dan nyawamu kami cabut!"


Dari sikap mereka ini saja Lee Cin dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berwatak jahat, dan kalau gerombolan orang jahat memusuhi keluarga Cia, mudah diduga bahwa keluarga Cia adalah keluarga yang baik.


"Nanti dulu.. Biarpun aku anggauta keluarga Cia, akan tetapi sudah lama meninggalkan perkampungan dan baru hari ini akan pulang. Aku tidak mengenal siapa kalian dan mengapa ada permusuhan antara kalian dan keluarga kami" Ceritakan dulu, baru aku akan mempertimbangkan usulmu tadi."


Lay Ki Seng menjadi girang mendengar ini, mengira bahwa gadis itu tentu akan dapat dia peristeri dengan mudah. 


"Dengarlah, Nona manis. Aku bernama Lay Ki Seng dan aku orang pertama dari tiga pimpinan Kim-to-pang. Sudah beberapa kali anggauta keluarga Cia menentang dan menghalangi kami, karena itu kini kami bertemu denganmu. 

Sebaiknya engkau menurut dan menjadi isteri mudaku untuk menebus kesalahan keluargamu kepada kami. Kalau engkau sudah menjadi isteriku, tentu hubungan antara keluarga Cia dengan kami dapat menjadi baik dan akrab. 

Nah, engkau tentu setuju, bukan" Aku lebih suka kalau engkau menyerah dengan sukarela daripada aku harus menggunakan paksaan!"

"Aku mau dan setuju menjadi isterimu, akan tetapi dengan satu syarat bahwa engkau tidak boleh memakai kepalamu itu lagi!"


Lay Ki Seng dan kedua orang rekannya terbelalak dan wajah orang tinggi besar itu berubah marah sekali karena marah. Muka yang memang sudah hitam itu berubah semakin hitam lagi dan cuping hidungnya kembang-kempis seperti seekor kuda. 


Akan tetapi agaknya dia memandang dirinya terlalu tinggi untuk menangkap seorang gadis seperti Lee Cin, maka dia membentak kepada rekannya termuda, "Cui An, tangkap gadis ini untukku!"

Bong Cui An kelihatan girang sekali dengan tugas ini. "Baik, Twako!" katanya dan di saat lain dia sudah menubruk ke arah Lee Cin, kedua lengannya dikembangkan dan kedua tangannya yang kurus itu mencengkeram ke arah Lee Cin. 


Agaknya dia sudah yakin bahwa tubrukannya pasti akan berhasil karena dia bergerak cepat sekali.

Lee Cin juga melihat bahwa Si Tinggi Kurus ini memiliki gerakan yang cukup cepat, akan tetapi tidak terlalu cepat baginya dan sekali ia berkelebat, tubrukan itu luput. Karena memandang rendah, ketika tubrukannya luput Bong Cui An tidak menjaga dirinya maka Lee Cin membalikkan tubuhnya dan sekali kaki kirinya menendang ke arah pantat orang itu, tubuh Bong Cui An tersungkur ke depan dan mukanya mencium tanah!


Tentu saja orang tinggi kurus itu menjadi marah sekali. Dia sudah melompat lagi dan membalikkan tubuh, kemudian setelah mengetahui bahwa gadis itu bukan orang lemah, dia kini menyerang dengan pukulan tangannya. 


Serangan itu hebat juga dan tahulah Lee Cin bahwa orang-orang ini bukan hanya bersikap sombong, akan tetapi memang memiliki kepandaian yang lumayan tingginya. 

Serangan itu saja demikian dahsyat, dilakukan dalam keadaan yang marah. Namun tentu saja Lee Cin dengan mudah dapat mengelak dan membalas dengan tamparan tangannya. 

Setelah lewat tiga puluh jurus, Lee Cin dapat menampar pundak Bong Cui An, membuat dia untuk kedua kalinya terpelanting.

Lay Ki Seng menjadi marah melihat betapa rekannya termuda dua kali roboh oleh Lee Cin. Dia membentak kepada Bong Kui Kiat untuk membantu adiknya dan dua orang kakak beradik itu lalu mengeroyok Lee Cin. 


Namun, dengan gerakannya yang lebih cepat Lee Cin dapat menghindarkan semua serangan dan berbalik menyerang mereka dengan tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat sekali, membuat kedua orang itu terdesak.

Kini tanpa malu lagi Lay Ki Seng terjun ke dalam perkelahian. Dan begitu dia meloncat, dia sudah mencabut goloknya. Golok itu besar dan tampaknya seperti terbuat dari emas. 


Padahal warna emas itu hanya selaputnya saja. Di dalamnya golok itu terbuat dari baja yang baik.

"Bocah setan, mampuslah!" katanya dan goloknya menyambar dahsyat. Lee Cin mengelak dan meloncat ke belakang. Kini, kedua kakak beradik Bong itu pun sudah mencabut golok masing-masing dan jelas bahwa mereka bertiga kini bukan bermaksud menangkap Lee Cin, melainkan membunuhnya!


Lee Cin mengerutkan alisnya. Kalau ia menghendaki, tadi ia tentu dapat membunuh tiga orang lawannya ketika bertanding dengan satu lawan satu. Akan tetapi ia tidak mau membunuh sembarangan. Dan sekarang ternyata mereka bertiga mengeroyoknya dengan golok dan jelas bahwa mereka bermaksud untuk membunuhnya. 


Ilmu golok mereka memang hebat dan berbahaya. Karena itu, dengan cepat ia mencabut Ang-coa-kiam dari pinggangnya lalu memutar pedang itu menjadi gulungan sinar merah.

Pertandingan itu hebat bukan main. Gulungan sinar merah bertemu dengan tiga gulungan sinar emas sehingga tampak indah sekali. Akan tetapi dalam keindahan itu terkandung bahaya maut bagi Lee Cin. 


Biarpun ia sudah menggunakan pedangnya, tetap saja gadis perkasa ini mulai terdesak mundur. Ilmu golok mereka, terutama yang dimiliki Lay Ki Seng, benar-benar tangguh dan berbahaya sekali. 

Pada saat Lee Cin terdesak oleh gulungan sinar emas dari tiga golok mereka, tiba-tiba terdengar bentakan orang.

"Tiga pangcu Kim-to-pang sungguh tidak tahu malu, mengeroyok seorang gadis muda!" Sesosok bayangan berkelebat didahului sinar putih yang terang menyambar ke arah tiga sinar golok itu.


"Trang-tranggg.....!" Dua buah golok terpental dan para pengeroyok cepat berlompatan ke belakang lalu memandang siapa orang yang datang menentang mereka itu. Juga Lee Cin melompat ke belakang dan memandang penuh perhatian.


Yang datang itu adalah seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh dua tahun. Wajahnya tampan sekali dan sepasang matanya mencorong. Tangan kanannya memegang sebatang suling yang putih seperti perak. 


Agaknya tadi dia menggunakan suling perak itu untuk menangkis dan membuat terpental dua golok emas.
Melihat pemuda itu, Lay Ki Seng menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka pemuda itu dan membentak, "Orang she Cia, kebetulan engkau datang mengantarkan nyawa. Mampuslah!" begitu membentak Lay Ki Seng sudah menyerang pemuda itu, dibantu oleh Bong Cui Kiat. 

Dua orang itu sudah mengeroyok si pemuda sambil menggerakkan golok mereka dengan dahsyat. Akan tetapi pemuda itu dengan sikap tenang sekali menggerakkan suling peraknya menangkis lalu balas menyerang.

Lee Cin yang melihat betapa Bong Cui An, orang ke tiga yang kurus tinggi itu hendak maju mengeroyok pula, sudah menghadang dengan pedangnya dan berkata, "Tidak malukah kalian, selalu melakukan pengeroyokan!"


Melihat gadis itu menghadangnya, Bong Cui An menyerang dengan goloknya. Golok itu menyambar dari atas kepala Lee Cin, akan tetapi dengan mudah Lee Cin mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya. 


Tentu saja kini Lee Cin merasa amat ringan kalau harus menghadapi seorang saja dari mereka. Begitu pedangnya bergerak cepat, Bong Cui An sudah terdesak hebat. 

Belum sarnpai tiga puluh jurus, Pedang Ular Merah di tangan Lee Gin sudah melukai lengan kanan lawan sehingga terpaksa Bong Cui An melepaskan goloknya, lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri! 

Lee Cin yang tidak mempunyai persoalan dengan mereka, tidak mengejar dan membiarkan orang itu melarikan diri. Kini Lee Cin menonton pertandingan antara pemuda bersuling perak yang dikeroyok oleh dua orang itu dan ia menjadi kagum. Suling perak yang panjangnya selengan itu dimainkan seperti sebatang pedang, akan tetapi juga dapat menotok jalan darah. 

Gerakan pemuda itu sedemikian ringan dan cepatnya sehingga kedua orang lawannya mulai terdesak mundur. Karena tahu bahwa pemuda itu tidak akan kalah dikeroyok dua, maka Lee Cin menyimpan pedangnya dan hanya menonton saja, diam-diam mempelajari gerakan suling pemuda itu. 

Pemuda itu adalah seorang she Cia, berarti dia seorang anggauta keluarga Cia yang sedang diselidikinya. Apakah pemuda ini yang dulu memakai kedok hitam melukai ayahnya" Diam-diam jantungnya berdebar tegang. Bukan tidak mungkin pemuda ini yang dicarinya, mengingat bahwa ilmu silatnya juga tinggi. 

Akan tetapi ia tidak boleh menuduh sembarangan, dan harus ia ketahui buktinya. Kalau pemuda itu menggunakan pukulan tapak hitam yang disebut Hek-tok-ciang itu, barangkali ia akan mendapatkan bukti bahwa pemuda itu yang pernah melukai ayahnya.

Akan tetapi pemuda itu tidak mempergunakan pukulan tangan kosong, melainkan mendesak kedua orang pengeroyoknya itu dengan totokan-totokan sulingnya. 


Akhirnya, sebuah tendangan kakinya membuat Lai Ki Seng terhuyung dan totokan suling pada siku kanan Bong Cui Kiat membuat orang ini melepaskan golok emasnya! 

Kedua orang itu agaknya mengerti bahwa mereka tidak akan menang, apalagi melihat bahwa Bong Cui An sudah melarikan diri, mereka berdua juga melarikan diri tunggang langgang. Pemuda itu hanya tersenyum dan tidak melakukan pengejaran pula.

Lee Cin memandang ke arah dua buah golok emas yang tadi dilepaskan oleh Bong Cui An. Agaknya pemuda itu melihat ini dan dia tertawa sambil memungut sebuah golok emas.


"Golok ini hanya disepuh emas, Nona. Dalamnya bukan emas!" Setelah berkata demikian, dia menggunakan kedua tangan nya untuk menekuk dan "trakk!" golok itu patah menjadi dua potong dan tampaklah bahwa golok itu terbuat dari baja yang disepuh emas! Hanya golok biasa saja yang tidak ada harganya.


Kini mereka saling berhadapan dan dalam waktu singkat keduanya saling mengamati dengan teliti dan keduanya saling mengagumi. Bukan hanya kagum akan kecantikan dan ketampanan mereka, akan tetapi juga kagum akan kelihaian mereka.


"Nona, engkau lihai sekali, dapat melawan tiga orang ketua Kim-to-pang itu. Akan tetapi yang membuat aku terheran, mengapa engkau sampai dapat dikeroyok mereka" Apakah Nona mempunyai permusuhan dengan mereka?"


Lee Cin menggeleng kepalanya. Ia mendapat kesempatan untuk menyelidiki langsung keadaan keluarga Cia, "Tidak, aku bahkan selamanya baru sekali ini bertemu dengan mereka."


"Akan tetapi mengapa Nona bentrok dengan mereka" Sepanjang yang kuketahui, mereka bukan perampok-perampok kecil melainkan ketua dari perkumpulan Kim-to-pang."


Lee Cin tersenyum. "Mereka mengira bahwa aku adalah anggauta keluarga Cia, maka aku dikeroyok. Entah mengapa mereka bermusuhan dengan keluarga Cia, dan siapakah keluarga Cia itu?"


Pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan memperkenalkan diri. 


"Akulah seorang di antara keluara Cia. Namaku Cia Tin Siong. Kalau boleh aku mengetahui namamu, Nona?"
Lee Cin berpikir. Ia sedang menyelidiki keluarga Cia. Kalau ia memperkenalkan nama marga ayahnya, yaitu she (marga) Souw, tentu akan membuat keluarga itu bercuriga dan menghubungkan nama keluarganya dengan nama ayahnya. 


Maka ia lalu menggunakan nama keluarga ibunya, yaitu she Bu. "Aku bernama Bu Lee Cin dan kebetulan saja aku melakukan perjalanan lewat di sini. Kalau Kim-to-pang memusuhi keluarga Cia, tentu ada sesuatu, yang pernah dilakukan keluarga itu yang tidak menyenangkan hati Kim-to-pang."

Cia Tin Siong tertawa lirih. "Hemm, tentu saja ada sebabnya. Keluarga kami adalah keluarga para pendekar dan Kim-to-pang adalah perkumpulan penjahat. Tentu saja di antara kami sering terjadi bentrokan bahkan beberapa kali aku pernah menentang anak buah mereka yang melakukan pemerasan terhadap orang-orang dusun. 


Engkau disangka anggauta keluarga kami" Ah, betapa akan bangga rasa hati kami kalau mempunyai anggauta keluarga sepertimu, Nona Bu."

Walaupun ucapan ini dikeluarkan dengan nada sopan, namun mengandung arti yang dalam. Ia adalah orang luar dan seorang gadis. 


Untuk menjadi anggauta keluarga Cia tidak ada lain jalan kecuali kalau ia menjadi mantu keluarga itu!

"Aku juga kagum terhadap keluarga Cia yang dimusuhi perkumpulan penjahat dan ingin sekali berkenalan dengan anggauta keluarga Cia, kalau mungkin."


Tin Siong membelalakkan matanya. "Benarkah, Nona Bu" Ah, kami akan menerima dengan tangan dan hati terbuka. 


Marilah, kuantarkan Nona mengunjungi tempat tinggal kami dan kuperkenalkan dengan keluarga besar kami."

"Di manakah tempatnya?" Lee Cin berpura-pura.


"Tidak jauh dari sini, sebelum sore kita sudah akan dapat tiba di sana, kami tinggal di kota Hui-cu di kaki bukit ini sebelah utara. 


Marilah, Nona, selagi siang agar kita tidak kemalaman tiba di sana dan sebelumnya aku menghaturkan terima kasih atas kehormatan yang Nona berikan kepada keluarga kami."
Sikap dan ucapan yang sopan dan lembut ini semakin menarik hati Lee Cin. Seorang pemuda yang tampan, lembut, sopan serta memiliki ilmu silat yang tinggi, dan dari keluarga pendekar pula!

Mereka melakukan perjalanan cepat. Agaknya Cia Tin Siong ingin menguji ginkang (ilmu meringankan tubuh) Lee Cin. Dia berlari cepat sekali dan hal ini dianggap kebetulan bagi Lee Cin yang juga mempunyai keinginan yang sama, yaitu menguji ilmu berlari cepat pemuda itu. 


Tanpa bersepakat lebih dulu dan dengan diam-diam, kedua orang itu berlari cepat seakan berlumba! Lee Cin melihat betapa pemuda itu selalu dapat mengimbangi kecepatan larinya dan ia menjadi semakin kagum. 

Demikian pula Tin Siong, melihat kecepatan......


DEWI ULAR JILID 05


berlari Lee Cin, dia menjadi kagum sekali.

Tak lama kemudian mereka telah melewati Bukit Lo-sian dan tiba di kaki bukit sebelah utara, di mana terdapat sebuah kota yang sejuk dan tidak begitu ramai, akan tetapi tampak rakyatnya hidup tenteram dan tenang. 


Di mana-mana tampak wajah orang yang penuh senyum sehingga menyenangkan hati Lee Cin. Keluarga Cia itu tinggal di sebuah gedung besar sekali yang berada di ujung kota. 

Rumah itu kelihatan kuno dan angker, akan tetapi catnya agaknya diperbarui sehingga nampak cerah. Di sekelilingnya terdapat taman bunga dengan bunga yang sedang berkembang beraneka warna dan taman ini menambah keceriaan gedung itu. 

Seorang tukang kebun setengah tua sedang menyabit rumput di halaman depan. Ketika melihat Tin Siong dan Lee Cin, tukang kebun itu bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormatnya kepada Tin Siong. 

"Selamat sore, Toa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)!"
Tin Siong hanya mengangguk saja sambil lalu dan menoleh kepada Lee Cin sambil berkata, "Kita sudah sampai ke rumah kami." Mereka menghampiri rumah itu dan setelah tiba di serambi depan di mana terdapat meja dan bangku pemuda itu berkata dengan senyum ramah,
"Silakan tunggu sebentar, Nona Bu. 


Aku akan memberitahu tentang kunjunganmu kepada keluarga kami." Lee Cin tersenyum dan mengangguk, dalam hatinya ia merasa beruntung bahwa demikian mudahnya ia dapat berdekatan dengan keluarga ini sehingga ia dapat menyelidikinya. 

Ia lalu duduk di atas bangku menghadapi taman bunga. Ia mengagumi beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan dari bunga ke bunga mencari madu. Betapa indahnya pemandangan itu, demikian serasi dan cocok dengan keadaan tempat yang tampak tenang dan tenteram itu.

Suara banyak kaki membangunkan Lee Cin dari lamunannya. Ketika melihat serombongan orang datang bersama Tin Siong, ia segera bangkit berdiri. Dengan wajah berseri Tin Siong memperkenalkan Lee Cin kepada keluarganya.


"Ini adalah Nona Bu Lee Cin seperti yang kuceritakan tadi. Nona Bu, ini adalah ayahku, ibuku, dan kedua orang pamanku!"


Lee Cin memberi hormat kepada mereka. Ia melihat betapa ayah pemuda itu seorang yang usianya sebaya dengan ayahnya dan bertubuh tegap, nampak gagah akan tetapi lembut. Ibu pemuda itu pun seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih nampak cantik dan lemah-lembut. Juga dua orang pamannya itu kelihatan sopan dan lembut. 


Agaknya keluarga Cia itu merupakan sebuah keluarga yang terpelajar, biarpun pakaian mereka sederhana dan tidak memberi kesan kaya, namun sikap mereka seperti sikap keluarga bangsawan yang terpelajar.
"Nona Bu, silakan masuk, mari kita bicara di ruang tamu saja," kata ayah Tin Siong dengan sikap ramah. Yang lain-lain, juga tersenyum ramah sehingga Lee Cin terpaksa bersikap hormat. 

Ia mengikuti mereka memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dan di situ terdapat sebuah meja besar dan banyak bangku. Lee Cin dipersilakan duduk dan lima orang pihak tuan rumah itu pun duduk mengelilingi meja.

"Nona Bu ini seorang gadis yang amat lihai, Ibu," kata Tin Siong kepada ibunya. "Bayangkan saja, seorang diri ia mampu bertahan menghadapi pengeroyokan tiga orang Ketua Kim-to-pang!"


Ayah ibu dan kedua paman Tin Siong memandang kepada Lee Cin dengan pandang mata kagum sehingga Lee Cin merasa malu dan cepat berkata, "Kalau tidak datang Cia-kongcu ini, tentu aku sudah celaka."


"Ah, aku hanya percaya bahwa mereka akhirnya akan kalah mengeroyokmu, Nona Bu. Harap jangan merendahkan diri. Ayah, Ibu dan para Paman, Nona Bu ini merasa tertarik sekali dengan nama keluarga Cia dan ia menyatakan ingin berkenalan, maka aku mengajaknya singgah di sini."


"Engkau masih muda sudah memiliki kepandaian tinggi, sungguh membuat aku kagum sekali, Nona Bu," kata Cia Kun, ayah dari Tin Siong, sambil memandang kagum.


"Ah, saya masih banyak belajar, Paman."


"Kita sudah berkenalan, engkau dapat dibilang seorang sahabat dari Tin Siong, maka kami harap engkau suka tinggal di sini selama beberapa hari, Nona Bu," kata pula ibu Tin Siong sambil tersenyum ramah.


"Terima kasih atas kebaikan hati Paman dan Bibi," kata Lee Cin, menerima tawaran itu. Memang ia hendak menyelidiki, maka penawaran itu sungguh membuat hatinya senang. "Apakah keluarga Cia hanya terdiri dari Paman bertiga, Bibi, dan Saudara Cia Tin Siong?" tanyanya sambil lalu.


Cia Kun tersenyum. "Ah, tidak. Masih ada lagi seorang putera kami yang lain bernama Cia Tin Han, adik Tin Siong, dan ibuku yang sudah tua, Nenek Cia yang selalu berada di pondok belakang di tengah taman belakang rumah kami ini."


Lee Cin mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik. Di antara mereka semua, agaknya hanya Tin Siong dan adiknya yang bernama Tin Han itu yang patut dicurigai. Bukankah ayahnya memberitahu bahwa Si Kedok Hitam itu seorang yang masih muda" Ayah dan dua orang paman Tin Siong bukan orang muda, maka mereka tidak perlu dicurigai. 


Akan tetapi pantaskah kalau ia mencurigai Tin Siong yang tampak begitu lembut dan baik hati" Ia harus berhati-hati, jangan sampai salah tuduh dan membuat permusuhan dengan keluarga yang tampaknya merupakan keluarga terhormat dan baik ini. 

Akan tetapi masih ada seorang pemuda lagi, yaitu adik Tin Siong yang bernama Tin Han. Siapa tahu kalau-kalau pemuda yang ke dua itu pantas dicurigai.

Malam itu Lee Cin dijamu makan kemudian ia diberi sebuah kamar yang letaknya di bagian belakang gedung itu. Sebuah kamar yang mungil dan bersih, dan daun jendelanya menghadap ke taman belakang yang amat luas. 


Ia memasuki kamar itu dan dari situ ia dapat melihat sebuah pondok yang bercat kuning, nampak mungil dan indah, letaknya di bagian belakang taman. Ia teringat akan cerita tuan rumah tadi. 

Agaknya di sana tinggal Nenek Cia. Ia sudah dipersilakan mengaso di kamarnya oleh keluarga tuan rumah.
Suasana pada malam itu sunyi sekali. 


Timbul keinginan hati Lee Cin untuk keluar dari kamar dan mulai dengan penyelidikannya. Ia bersukur bahwa kamarnya menghadap taman sehingga kalau ia ketahuan berkeliaran di taman, ia dapat mengatakan bahwa ia jalan-jalan dan mencari hawa sejuk di taman itu. 

Taman itu memang indah karena dipasangi lampu-lampu teng di sana sini. Agaknya memang sering kali keluarga itu berjalan-jalan di situ pada malam hari maka dipasangi begitu banyak teng (lampu gantung).
Dengan hati-hati Lee Cin membuka daun jendela kamarnya. Malam belum larut, bahkan baru saja mulai. 

Dengan perlahan ia meloncat keluar dari jendela, dan menutupkan kembali daun jendela kamarnya dari luar. Ia sudah berdiri di pinggir taman, lalu mengambil jalan kecil yang terdapat di taman itu.
Tiba-tiba ia menyelinap di balik sebatang pohon cemara karena mendengar suara orang. Ternyata yang bicara itu adalah empat orang sambil berjalan-jalan di dalam taman. 

Ketika Lee Cin memperhatikan, ia melihat bahwa dua di antara mereka adalah Cia Hok dan Cia Bhok, kedua paman Tin Siong yang sore tadi ikut menyambutnya. Ia merasa tidak enak kalau sampai ketahuan, maka ia sudah siap-siap untuk mencari alasan kalau mereka itu melihatnya. 

Akan tetapi agaknya mereka berdua tidak melihatnya karena sedang bercakap-cakap dengan serius sekali kepada dua orang yang baru dilihat Lee Cin sekarang. 

Yang seorang bertubuh tinggi besar dan bersuara besar dan orang ke dua pendek sekali akan tetapi tubuhnya kekar. Si Cebol itu kalau bicara suaranya terdengar sengau dan asing. 

Ketika mereka berjalan di bawah lampu, Lee Cin dapat melihat bahwa yang tinggi besar itu berpakaian seperti seorang panglima dan orang cebol itu berpakaian asing dengan pedang panjang agak bongkok tergantung di punggungnya.

"Pendapat Nenek Cia memang tepat," kata Si Cebol. "Panglima Un dan Pembesar Ji itu harus lebih dulu disingkirkan dari muka bumi, baru gerakan kita akan berjalan lancar. 


Hanya sukarnya, kedua orang itu selalu terjaga oleh pengawal-pengawal yang kuat."

"Benarkah itu, Tuan Yasuki?" tanya Cia Hok.
Melihat nama Yasuki, mudah diduga bahwa orang cebol itu adalah seorang Jepang. "Kalau kurang yakin, tanya saja kepada Phoa-ciangkun (Perwira Phoa)," jawab Yasuki.


Perwira tinggi besar itu mengangguk-angguk. "Keterangan Tuan Yasuki itu memang benar. Semenjak penyerangan yang gagal itu, Un-ciangkun dan Ji-taijin (Pembesar Ji) selalu dikawal oleh beberapa orang pengawal yang kuat."


Kini empat orang itu telah berjalan jauh, sudah hampir sampai ke rumah dan Lee Cin tidak dapat mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut. Ia tidak mengerti apa yang dibicarakan mereka itu, akan tetapi dapat menduga bahwa mereka itu baru saja meninggalkan pondok di belakang gedung yang menjadi tempat tinggal Nenek Cia. Timbul keinginannya untuk menyelidiki Nenek Cia.


Setelah empat orang itu memasuki rumah, barulah Lee Cin berani keluar dari tempat persembunyiannya dan melanjutkan berjalan perlahan-lahan mendekati pohon di belakang itu.


Tiba-tiba dari depan terlihat sesosok bayangan berkelebat. Cepat sekali gerakan orang itu dan tidak terduga sama sekali oleh Lee Cin sehingga ia tidak keburu bersembunyi dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pemuda.


Dalam bayangan yang agak gelap karena sinar lampu tidak tepat menyinari wajah orang itu, Lee Cin mengenalnya sebagai Cia Tin Siong. Maka ia pun segera mengucapkan salam,
"Selamat malam, Saudara Tin Siong."

"Selamat malam, Nona Bu. Engkau tentu Nona Bu Lee Cin, bukan?"
"Ehh?" Lee Cin berseru heran, akan tetapi saat itu Si Pemuda mendekati sehingga wajahnya tersinar lampu dan baru ia melihat bahwa pemuda itu, walaupun mirip Tin Siong, akan tetapi ternyata bukan pemuda itu. 

Agaknya sedikit lebih muda dan lebih tampan! Pemuda itu memiliki wajah yang jenaka, selalu tersenyum dan matanya bersinar tajam. Akan tetapi mata itu selalu tersenyum pula seperti bibirnya.

"Ah, Siong-ko (Kakak Siong) kiranya sekali ini tidak membual. Nona memang cantik jelita dan lihai, sayang salah mengenal orang. Aku adalah Cia Tin Han, adik dari Siong-ko." 


Ucapannya yang memuji itu terdengar begitu wajar dan tidak dibuat-dibuat sehingga kedua pipi Lee Cin berubah kemerahan. Untung sinar lampu itu memang sudah kemerahan sehingga merahnya ke dua pipinya tidak tampak.

"Maafkan aku yang salah lihat, saudara Cia Tin Han." Lee Cin cepat berkata. Ia adalah seorang gadis pemberani dan cerdik sehingga tidak menjadi gugup oleh kekeliruannya tadi. "Aku sedang menikmati malam indah di taman ini." Ia lebih dulu menjelaskan sebelum ditanya sehingga pertanyaan yang sudah tergantung di bibir pemuda itu tidak jadi dikeluarkan.


"Sama saja dengan aku!" Tin Han berkata, tetap bersikap gembira penuh senyum. "Aku pun kesal dalam kamar, mencari udara sejuk di sini dan kebetulan saja bertemu denganmu, Nona Bu. Akan tetapi pertemuan ini membahagiakan hatiku karena dapat berkenalan denganmu."


"Kenapa ketika tadi aku diterima keluargamu, engkau tidak berada di sana Saudara Tin Han?"


"Wah, tidak enak sekali kalau engkau menyebut aku dengan saudara segala!"


"Kalau begitu aku akan menyebut kongcu."


"Lebih celaka lagi. Aku paling tidak suka sebutan itu, membayangkan seorang pemuda yang tinggi kedudukannya sebagai bangsawan atau hartawan."


"Hemm, kalau begitu aku harus menyebutmu bagaimana?"


"Berapa usiamu sekarang?"
Lee Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan spontan dan tidak mengandung rayuan, ia pun menjawab sejujurnya. "Sembilan belas tahun."


"Nah, kalau begitu aku lebih tua setahun. Sudah sepatutnya engkau menyebut aku koko (kakak)."


"Tidak bisa!" Lee Cin menjawab cepat sambil tersenyum. "Engkau sendiri menyebutku nona, mana mungkin seorang nona menyebut hambanya dengan koko?"


Tin Han terbelalak dan dia pun tertawa. Tawanya lepas bebas dan kalau dia tertawa, wajahnya berubah seperti wajah kanak-kanak, lucu tampaknya.


"Ha-ha-ha-ha, engkau pandai dan akulah yang bodoh. Orang yang disebut koko oleh seorang gadis seharusnya menyebut gadis itu moi-moi (adik perempuan). Bukankah begitu, Cin-moi?"


"Begitu baru benar, Han-ko. Aku heran sekali......"
"Apa yang mengherankan hati seorang gadis pandai sepertimu, Cin-moi?"


"Wajahmu memang mirip wajah Saudara Tin Siong, akan tetapi engkau berbeda sekali. Engkau begini jenaka dan gembira, sedangkan kakakmu itu......"


"Dia memang halus dan lemah lembut. Bukan itu saja. Dia pandai dan juga memiliki ilmu silat yang amat lihai. Sedangkan aku......"


"Engkau tentu juga lihai," kata Lee Cin.
"Aku" Ha-ha-ha, nenekku tentu akan terpingkal-pingkal mendengar engkau mengatakan aku lihai! Seperti yang seringkali ia katakan, aku seorang pemuda yang bodoh, lemah dan pandainya hanya berkelakar dan tertawa. 


Kata Nenek, aku seorang penganggur yang hanya menghabiskan uang saja. Mana bisa aku dibandingkan dengan Kakak Cia Tin Siong" Seperti bumi dan langit, aku buminya dan dia langitnya. Eh, ngomong-ngomong, mana sih yang lebih penting dan berguna antara bumi dan langit?"
Lee Cin sendiri tertegun mendengar pertanyaan yang aneh itu. Akan tetapi ia menanggapi, dan berpikir-pikir. Mana yang lebih berguna antara bumi dan langit"

"Keduanya sama pentingnya. Tanpa bumi kita tidak dapat hidup, dan tanpa langit pun tidak dapat hidup. Bumi tempat kita berpijak dan mendapatkan makanan, dan langit mempunyai matahari dan hujan. 


Akan tetapi yang lebih dekat dengan manusia adalah bumi."

Tin Han memandang Lee Cin dengan sinar mata berseri. "Engkau memang cerdik, Cin-moi. Engkau tahu bahwa yang penting bukan hanya mereka yang berada di atas, akan tetapi yang berada di bawah tidak kalah pentingnya."


"Hemm, inilah yang membedakan engkau dengan kakakmu. Dia begitu serius dan lembut pendiam, engkau begini jenaka dan suka bercanda, seolah-olah tidak memikirkan hari depan."


"Mengapa manusia harus memikirkan hari depan" Mengharapkan hari depan" Masa depan hanya khayal. Mengapa pula mengenangkan masa lalu" Masa lalu sudah mati, sudah lewat. Bagiku yang terpenting adalah hari ini, saat ini, saat demi saat. Saat ini aku berbahagia, itu saja sudah cukup bagiku!"


"Han-ko, engkau bicara tentang bahagia. Apa sih bahagia itu" Aku tidak pernah menemukannya!" Lee Cin terbawa oleh ucapan Tin Han yang nampaknya seperti main-main namun kata-katanya mengandung makna yang dalam.


"Apakah bahagia itu?" Tin Han mengerutkan alisnya lalu tertawa, 


"Ha-ha, bagaimana bahagia itu aku tidak dapat menerangkannya. Kasihan engkau yang tidak pernah merasakan bahagia, Cin-moi, padahal bahagia itu sudah ada pada dirimu, tak pernah meninggalkanmu."

"Apa" Bahagia tidak pernah meninggalkan aku" Apa maksudmu" Mengapa aku tidak pernah merasakannya?" tanya Lee Cin terheran-heran.


"Dengarkan baik-baik, Cin-moi. Aku sendiri tidak dapat menggambarkan bahagia itu. Bahagia adalah suatu keadaan, bukan perasaan. Seperti juga kesehatan. Kalau engkau sakit, barulah engkau mendambakan kesehatan. 


Akan tetapi kalau engkau sedang sehat, engkau tidak merasakan itu, tidak dapat menikmatinya. Demikian pula dengan bahagia. Dalam keadaan sengsara karena suatu sebab, engkau mendambakan kebahagiaan. Kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan engkau tidak bahagia, maka engkau tidak lagi membutuhkan bahagia. 

Mengapa" Karena dalam keadaan itu engkau sudah berbahagia! Hanya saja, seperti juga kesehatan, engkau tidak merasakannya. Mengapa" Karena nafsu! Nafsu selalu menghendaki yang menyenangkan, yang lebih, sehingga dalam keadaan apa pun kita berada, mengejar yang lain lagi, dan demikianlah seterusnya manusia tidak dapat merasakan bahagia sejak lahir sampai mati!"
Lee Cin memandang takjub. "Wah, engkau bicara seperti seorang hwesio (pendeta Buddhis) atau tosu (pendeta Toasim) saja! Dari mana engkau mendapatkan pelajaran itu semua, Han-ko?"

"Bukan pelajaran tentang hidup. Pelajaran hanya boleh dihafalkan belaka dan tanpa penghayatan, pelajaran hanya akan merupakan slogan kosong belaka. Nenek bilang aku harus membuka mata dan waspada melihat segala di sekelilingku dan juga apa yang terjadi di dalam dan di luar diriku. Yang ada hanya pengamatan. Dari pengamatan ini timbul pengertian, lalu penyerahan terhadap kekuasaan mutlak dari. Tuhan Yang Maha Kasih."
"Wah, hebat. Kalau begitu, engkau berbahagia dalam hidupmu, Han-ko?"

"Aku tidak mengerti dan tidak tahu. Yang kutahu adalah bahwa aku bukan tidak berbahagia. Aku menerima segala sesuatu yang menimpa diriku dengan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih, karena kehendak Tuhan terhadap manusia selalu benar, baik dan sempurna. Dalam pahitnya obat terkandung khasiat yang hebat, bukan" 

Demikian pula, dalam pengalaman yang kita anggap pahit itu terkandung hikmah yang tidak atau belum kita ketahui."

"Ampun! Kalau aku tidak melihat wajahmu, tentu kukira ucapan-ucapan itu keluar dari mulut seorang kakek tua renta yang sudah masak oleh pengalaman hidup."


"Ha-ha, Nenek bilang......"
"Cukup, Han-ko. Entah apa lagi yang dibilang nenekmu, akan tetapi aku menjadi tertarik sekali untuk mengetahui, rnanusia seperti apakah nenekmu yang kau agung-agungkan itu."


"Nenek" Ia seorang manusia yang hebat! Biarpun sudah tua, semangatnya masih seperti orang muda dan kepandaiannya! Wah, semua ilmu yang menjadi pusaka keluarga Cia mengalir darinya."

"Kalau begitu, engkau tentu mempelajari banyak ilmu darinya dan ilmu silatmu tentu tinggi sekali."
"Siapa bilang" Aku paling tidak suka ilmu silat. llmu silat itu hanya menyusahkan orang lain, kegunaannya hanya merusak, tidak membangun."


"Hemm, aku tidak setuju dengan pendapatmu ini, Han-ko. Seperti juga ilmu lain, baik buruk kegunaannya tergantung dari mereka yang menggunakannya. Api itu baik dan bermanfaat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk membakar rumah orang lain, ia menjadi alat yang mengerikan dan jahat. Pisau dapur itu berguna sekali sebagai alat dapur yang baik, akan tetapi bagaimana kalau dipergunakan untuk menusuk perut orang" Demikian juga ilmu silat. 


Kalau dipergunakan untuk membela diri dan menentang orang-orang yang melakukan kejahatan maka ia merupakan ilmu yang baik. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk memaksakan kehendak sendiri dan mencelakai orang tentu saja menjadi alat yang jahat."

Tin Han bertepuk tangan memuji, "Hebat, engkau masih begini muda sudah memiliki ilmu yang tinggi dan pandangan yang luas. Nenek tentu akan girang sekali untuk mengenalmu."


"Aku pun ingin sekali berkenalan dengan nenekmu, Han-ko," kata Lee Cin yang teringat lagi akan tugasnya menyelidiki keluarga Cia.


"Mengapa tidak" Kalau begitu, mari sekarang juga kita temui nenekku!" Setelah berkata demikian, Tin Han memegang tangan Lee Cin dan ditariknya gadis itu menuju ke pondok mungil. 


Lee Cin terkejut sekali akan tetapi merasa betapa tarikan tangan itu wajar saja, seperti dilakukan seorang sahabat baik yang sudah dikenalnya bertahun-tahun, sama sekali tidak mengandung niat kotor. Padahal, baru saja, belum ada sejam ia mengenal Tin Han!

Mereka tiba di depan pintu pondok, Tin Han melepaskan tangan Lee Cin dan berteriak, "Nek..... Nenek..... yang baik. Ini aku Tin Han yang datang, hendak memperkenalkan seorang dewi kepada Nenek!" 


Lee Cin kembali terkejut. Pemuda yang riang jenaka ini agaknya amat akrab dengan neneknya maka dia berani berteriak-teriak seperti itu, seolah neneknya itu seorang sahabat saja.

Dari dalam pondok terdengar suara wanita, "Hei, berandal! Pintunya tidak terkunci. Bawa saja dewimu masuk!"
Lee Cin merasa mukanya panas karena jengah mendengar nenek itu menyebutnya sebagai dewinya Tin Han! Akan tetapi pemuda itu tertawa dan mendorong daun pintu yang ternyata hanya tertutup tidak terkunci.


Dalam pondok itu ada beberapa lampu penerangan sehingga keadaannya terang benderang. 


Pondok itu hanya mempunyai sebuah kamar dan selebihnya dalam bentuk bengkok merupakan ruangan duduk yang cukup luas. 

Seorang nenek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun duduk di sebuah kursi menghadapi meja besar dan sebatang tongkat dengan kepala berukir kepala naga bersandar di dinding, di sebelahnya. Nenek itu rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajahnya masih segar dan mukanya berseri penuh senyum seperti muka Tin Han.

Sepasang mata tua itu ma
sih tajam bersinar ketika mengamati wajah Lee Cin, kemudian terdengar ia berkata, "Berandal, inikah dewimu" Siapakah namamu, Nona muda?"

Lee Cin memberi hormat dan tidak marah karena ucapan dewimu itu diucapkan seperti bergurau. "Nama saya Bu Lee Cin, Nek." Ia pun tidak ragu-ragu menyebut nenek seperti yang dilakukan Tin Han.

"Nenek yang baik, Nona Bu Lee Cin adalah tamu keluarga kita, ia datang bersama Kakak Tin Siong." Tin Han menjelaskan.


"Hemm, engkau datang bersama Tin Siong" Kenapa anak itu tidak memberitahu kepadaku?"


"Nek, Adik Lee Cin ini selain cantik jelita juga lihai sekali ilmu silatnya. Siong-ko yang memberi tahu kepadaku," kata pula Tin Han.


"Duduklah kalian," kata nenek itu dan Tin Han juga mempersilakan Lee Cin untuk duduk berhadapan dengan Nenek Cia, terhalang meja besar. 


"Siapakah gurumu, Nona?"
"Aih, Nek. Cin--moi ini tidak suka disebut Nona. Sebut saja namanya!" Tin Han mencela neneknya.


"Begitukah" Bagus! Nah, Lee Cin, katakan kepadaku siapa nama gurumu, dari gurunya aku dapat menilai kepandaian muridnya."
Lee Cin berpikir sejenak. Kalau ia mengaku bahwa gurunya Souw Tek Bun, tentu mereka akan menjadi curiga, yaitu kalau benar seorang anggauta keluarga Cia yang melukai ayahnya. Akan tetapi mereka tidak mempunyai urusan dengan ibu kandungnya, maka ia pun menjawab dengan singkat.


"Nama julukan guruku adalah Ang-tok Mo-li."
Mendengar disebutnya nama ini, Tin Han tampak biasa saja, akan tetapi Nenek Cin mengerutkan alisnya. "Ang-tok Mo-li" Wah, engkau murid Ang-tok Moli" Kalau begitu tentu ilmu silatmu tinggi sekali, apalagi ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah)!"


Lee Cin mendapat kesempatan untuk melepas umpannya. "Ah, tidak berapa hebat, Nek. Tidak sehebat Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) milik keluarga Cia yang amat terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu!"


"Hem, engkau sudah mendengar pula tentang Hek-tok-ciang" Tentu menarik sekali kalau diadu dengan Ang-tok-ciang. Ingin sekali aku menyaksikan kepandaianmu, Lee Cin. Tin Han, kau......"


"Apakah Nenek sudah lupa lagi" Aku bukan Siong-ko, aku hanya pandai main catur, menulis sajak dan meniup suling. Ah, ya, aku melihat engkau membawa suling di ikat pinggangmu, Cin-moi. Boleh aku meminjamnya sebentar untuk dimainkan?"


"Nanti saja, Tin Han. Maksudku engkau panggilkan salah seorang pamanmu atau kalau ada Tin Siong ke sini, sekarang juga! Hayo cepat!"


Tin Han mengangguk dan dia pun keluar dari pondok itu. Setelah ditinggal sendiri berhadapan dengan nenek itu, Lee Cin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. "Nek, bagaimana pendapatmu tentang Kerajaan sekarang ini?"


"Maksudmu?" "Apakah kaisarnya baik dan setujukah Nenek melihat tanah air dijajah bangsa Mancu?"


"Kaisar Kian Liong memang seorang kaisar yang baik, akan tetapi bagaimanapun juga dia seorang Mancu, seorang asing yang telah menjajah bangsa dan tanah air kita!" kata nenek itu penuh semangat.


"Akan tetapi aku mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw, para pendekar mendukung Kaisar ini," pancing pula Lee Cin.


"Itulah yang menjemukan! Percuma saja mereka menyebut diri pendekar kalau mendukung penjajah! Seorang pendekar harus berjiwa patriot, berusaha melepaskan belenggu penjajahan dari tangan bangsa. Kalau tidak begitu, tidak pantas mereka menyebut diri mereka pendekar."

Berdebar jantung Lee Cin. Ia sudah mendekati pembukaan rahasia siapa yang melukai ayahnya. Ia memberi umpan terus. "Saya bahkan mendengar bahwa pendekar besar yang bernama Song Thian Lee itu kini bahkan menjadi panglima besar di kota raja, Nek. Bagaimana pendapat nenek tentang orang itu?"

Nenek Cia mengepal tinju. "Song Thian Lee menjadi antek penjajah! Sungguh menggemaskan. Dia agaknya belum pernah merasakan kekejaman penjajah. Tidak seperti kami! 


Suamiku dibantai orang Mancu, juga tiga orang di antara anak-anakku. Aku hidup menderita sejak muda, baru setelah anak-anakku menjadi besar hidupku agak lumayan. Akan tetapi sakit hati ini tidak pernah habis sebelum pemerintah penjajah terjungkal dan tanah air kembali kepada bangsa kita!"

Bagus, pikir Lee Cin. Ia merasa semakin mendekati kenyataan dan penemuan Si Kedok Hitam yang ia hampir yakini tentu berada di dalam keluarga ini.


"Bagaimana pendapat Nenek tentang Bengcu Souw Tek Bun" Dia adalah seorang gagah perkasa, seorang pendekar sejati yang terpilih menjadi bengcu, bukan?"


Pada saat itu terdengar suara Tin Han. "Mari, Paman Hok, Nenek yang memanggilmu. Hayo cepat, khawatir Nenek menjadi tidak sabar lagi dan aku yang akan kena damprat nanti karena lama mengundangmu."


Mendengar suara Tin Han, Nenek Cia tidak menjawab pertanyaan Lee Cin yang terakhir tadi. Ia tersenyum lebar. "Nah, itu Si Berandal datang bersama Cia Hok, puteraku yang ke dua."


Lee Cin menjadi kecewa akan tetapi ia menelan saja perasaan itu dan memandang ke arah pintu pondok. Pintu terbuka dan muncullah Tin Han bersama Cia Hok yang ikut menyambutnya ketika pertama kali ia datang.


"Ibu memanggilku?" tanya Cia Hok setelah dipersilakan duduk.
"Begini, Hok. Aku ingin engkau bermain silat sebentar untuk menguji kepandaian Lee Cin ini. Ia adalah murid Ang-tok Mo-li maka aku ingin melihat kepandaiannya, terutama pukulan Ang-tok-ciang. 


Kau boleh menggunakan Hek-tok-ciang, akan tetapi bukan untuk mencederai, melainkan hanya untuk menguji kekuatan pukulannya."
Agaknya Cia Hok sudah biasa menerima perintah dari ibunya dan sedikit pun dia tidak berani membantah. Dia memandang kepada Lee Cin dan bangkit berdiri dari kursinya.

"Mari silakan, Nona Bu." Lee Cin memandang ragu. "Aku..... aku tidak ingin melukai orang. Dalam pertandingan, betapapun hati-hati kita, tentu kemungkinan untuk terluka besar sekali. Aku sebagai tamu sungguh tidak pantas untuk melukai tuan rumah."


"Ha-ha. jangan khawatir, Cin-moi. Engkau tidak akan dapat melukainya. Paman Cia Hok ini ilmu silatnya hebat, hanya ayahku dan kakakku saja yang mampu mengalahkannya. 


Dan engkau juga jangan takut, Paman Hok tentu tidak akan mau melukaimu," kata Tin Han.
Ucapan pemuda itu membuat Lee Cin kehabisan akal untuk menolak uji ilmu itu karena pemuda itu meniadakan segala macam kekhawatirannya! 


Terpaksa ia bangkit berdiri dan menjura kepada Nenek Cia. "Harap Nenek tidak menertawakan ilmuku yang dangkal."

"Sudahlah jangan merendahkan diri lagi, Cin-moi. Aku pun ingin sekali melihat apakah engkau juga mampu mengatasi Paman Hok. Kalau menurut cerita Kakak Siong, engkau tentu akan dapat menangkan pertandingan ini."


"Tin Han, jangan cerewet engkau! Lebih baik singkirkan kursi-kursi itu untuk memberi ruangan yang lebih luas untuk Lee Cin dan pamanmu," bentak Nenek Cia sambil melotot dibuat-buat kepada cucunya.


Tin Han cepat menyingkirkan kursi-kursi sehingga ruangan yang tersisa kini cukup luas untuk dipakai mengadu ilmu silat. Melihat ia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari pi-bu (adu silat) in, Lee Cin lalu melangkah ke tengah ruangan yang kosong lalu menghadapi Cia Hok.

"Silakan, Paman," katanya lembut.
"Aku adalah pihak tuan rumah dan engkau tamu, engkaulah yang mulal menyerang dulu, Nona Bu," kata Cia Hok yang juga sudah memasang kuda-kuda yang kokoh.


"Ayo, mulai saja, Cin-moi dan jangan sungkan-sungkan!" Tin Han berteriak gembira. Lee Cin merasa dongkol juga. Pemuda itu agaknya condong untuk mengadu dia dengan keluarganya sedangkan ia enak-enak menikmati tontonan adu silat! Ia pun terpaksa melayani keinginan nenek itu demi berhasilnya penyelidikannya.


"Awas serangan!" bentaknya dan ia pun mulai dengan serangannya. Tangan kanannya menyambar ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya mengikuti dengan cengkeraman ke arah dada. Sebuah jurus serangan yang cukup hebat sehingga Tin Han mengeluarkan seruan kagum.


Cia Hok juga mengenal serangan berbahaya, maka dia melompat ke belakang untuk menghindarkan dua serangan itu dan ketika kaki depannya maju lagi, kaki kirinya mencuat mengirim tendangan ke arah lutut kanan Lee Cin. 


Namun Lee Cin yang tidak berani memandang rendah lawannya, dengan mudah sudah mengalihkan kakinya dan membalas dengan serangan yang lebih cepat dan kuat lagi. 

Ia sengaja memainkan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ang-tok Mo-li, yaitu Koai-liong-kun (Silat Naga Siluman). 

Gerakannya cepat dan amat kuat, bergelombang seperti terbangnya seekor naga. Gerakan silat Koai-liong-kun ini memang indah walaupun amat bengis, dan Lee Cin yang sudah menguasainya dengan baik, dapat bergerak cepat dan indah seperti seorang dewi menari-nari! Cia Hok terkejut melihat ilmu silat yang baginya aneh itu, maka untuk mengimbangi, ia pun memainkan ilmu silat tangan kosong keluarga Cia. Terjadilah pertandingan yang amat seru.

Tin Han berkali-kali bertepuk tangan dan berseru memuji, "Hebat sekali! Wah, awas, Paman Hok!" Dia benar-benar bergembira sekali seperti seorang kanak-kanak nonton pertandingan antara dua ayam jantan, dan dari nadanya dia menjagoi Lee Cin!


Kalau saja Lee Cin menggunakan ilmunya dengan maksud untuk merobohkan, tentu ia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi ia tidak mau melakukan ini, maka pertandingan itu berjalan seru dan seimbang.


"Lee Cin, keluarkan ilmu simpananmu Ang-tok-ciang!" terdengar Nenek Cia berseru karena ia ingin sekali melihat ilmu pukulan ampuh itu.


"Harus dilawan dengan Hek-tok-ciang!" jawab Lee Cin sambil menangkis pukulan lawan dengan pengerahan tenaga sehingga tubuh Cia Hok terpental ke belakang.


"Cia Hok, keluarkan Hek-tok-ciang!" kata Nenek Cia kepada puteranya. Cia Hok meloncat ke depan dan menyerang lagi, sekali ini dia menggunakan jari tangannya untuk menampar ke arah pundak Lee Cin dengan ilmu pukulan Hek-tok-ciang, Lee Cin melihat lengan terbuka itu menampar pundaknya dan tapak tangan itu berubah hitam, sengaja menyambut tamparan itu dengan pundaknya untuk melihat apakah pukulan itu sama dengan pukulan yang diterima ayahnya, dan pada saat yang sama jari telunjuk tangan kirinya menotok pundak lawan dengan It-yang-ci.


"Plakk..... tukkk!!" Lee Cin terhuyung ke belakang, akan tetapi Cia Hok sendiri berhenti tidak mampu bergerak dengan tubuh kaku! Melihat ini, Cia Tin Han lari menghampiri Lee Cin dan bertanya dengan khawatir,
"Cin-moi, engkau tidak apa-apa?"


Lee Cin menggeleng kepala dan memeriksa pundaknya. Memang ada tapak tangan hitam di pundaknya, akan tetapi racun itu baginya bukan apa-apa dan sama sekali tidak mempengaruhi tubuhnya yang sudah kebal racun. 


Tapak tangan hitam itu memang hebat, kalau orang lain yang terkena pukulan itu tentu akan terluka dalam. Akan tetapi sama sekali tidak seperti luka yang diderita ayahnya, walaupun tandanya serupa. Mungkin yang memukul ayahnya memiliki sinkang yang lebih kuat.

Sementara itu, dengan satu loncatan yang ringan dan cepat sekali. Nenek Cia sudah tiba dekat puteranya dan dengan beberapa kali totokan ia membebaskan Cia Hok dari keadaan kaku tak dapat bergerak tadi. Ia merasa lega melihat puteranya tidak terluka dan melihat Lee Cin sama sekali tidak terpengaruh oleh pukulan Hek-tok-ciang biarpun dilakukan setengah tenaga oleh Cia Hok, nenek itu terbelalak kagum.


"Lee -Cin, engkau murid Ang-tok Mo-li bagaimana dapat melakukan serangan dengan It-yang-ci" Tokoh mana dari Siauw-lim-pai yang menjadi gurumu?"


"In Kong Thaisu yang mengajarkan kepadaku," jawab Lee Cin.


"Ah, engkau mempunyai guru Ang-tok Mo-li dan In Kong Thaisu" Pantas saja engkau demikian lihai. Coba kulihat, bagaimana dengan pundakmu yang terpukul Cia Hok?" Nenek itu menghampiri dan melihat dari dekat, menyingkapkan baju di bagian pundak dan melihat betapa kulit pundak yang putih mulus itu ada tanda tapak jari hitam, akan tetapi gadis itu tidak merasakan apa-apa!
"Engkau tidak merasa nyeri?" tanyanya.


"Tidak," jawab Lee Cin sambil menggeleng kepala.


"Hebat, engkau sungguh hebat. Bahkan Hek-tok-ciang tidak mampu melukaimu. Dan engkau sama sekali belum mengeluarkan Ang-tok-ciang. Tentu saja Cia Hok kalah olehmu."

"Ha-ha-ha, apa yang kukukatakan, Nek. Adik Bu Lee Cin adalah seorang dewi yang cantik jelita dan gagah perkasa. Menurut penuturan Siong-ko, Cin-moi ini bahkan dapat melawan pengeroyokan ketiga pangcu dari Kim-to-pang."

Nenek Cia mengerutkan alisnya. "Hebat! Aku jadi ingin sekali menguji ilmu silatmu dengan senjata. Marilah layani aku sebentar, Lee Cin!" kata Nenek Cia sambil menyambar tongkat kepala naganya.


"Ah, Nek, aku tidak berani," kata Lee Cin yang kini menjadi ragu apakah yang melukai ayahnya itu keluarga Cia atau bukan. Tapak tangan hitam itu sama, akan tetapi ayahnya keracunan hebat dan jalan darahnya menjadi kacau, sedangkan pukulan Cia Hok tadi tidak begitu hebat. 


Apakah karena Cia Hok tidak memukul dengan sepenuh tenaga, atau ada lain anggauta yang lebih lihai darinya" Agaknya Tin Siong lebh lihai, juga Cia Hok tentu bukan penyerang ayahnya karena dia sudah setengah tua sedangkan Tin Siong masih muda sesuai dengan keterangan ayahnya tentang Si Kedok Hitam.

Akan tetapi agaknya Nenek Cia keras hati dan belum puas kalau keinginannya tidak dituruti. "Marilah, Lee Cin. Perkenalan di antara kita belum akrab benar kalau kita belum mengukur kepandaian masing-masing. Tongkatku tidak akan melukaimu, jangan khawatir."


"Cin-moi, jangan sungkan-sungkan. Watak nenek memang begitu, kalau ada sahabat baru, selalu ia ingin menguji kepandaiannya," seru Tin Han dengan gembira. "Akan tetapi, Nek. Aku tidak melihat Cin-moi bersenjata, biar kuambilkan sebuah senjata untuknya. Engkau menghendaki senjata apa, Cin-moi" Pedang, golok atau yang lain?"


"Anak bodoh dan tolol! Ia sudah mempunyai sebuah senjata yang ampuh! Lihat di pinggangnya itu, yang mengkilap merah itu adalah sebatang pedang tipis yang ampuh!" seru Nenek Cia.


Lee Cin kagum akan ketajaman pandangan nenek itu, dan karena didesak, ia pun terpaksa mencabut pedang Ang-coa-kiam dari pinggangnya. Tampak sinar merah berkelebatan ketika gadis itu mencabut pedang.


Tin Han bertepuk tangan memuji, "Wah, hebat bukan main pedangmu itu, Cin-moi! Tentu pedang itu tajam dan ampuh sekali. Hati-hati, Cin-moi, jangan sampai engkau melukai Nenek!"


Lee Cin tersenyum. "Aku tidak akan melukainya, Han-ko, harap jangan khawatir!" Lee Cin ingin menyenangkan hati Nenek Cia yang dia harapkan masih akan suka memberi tanggapan dan pendapatnya tentang diri ayahnya sehingga akan lebih membuka rahasia Si Kedok Hitam. Ia berdiri sambil melintangkan Pedang Ular Merah di depan dada, miringkan tangan kiri sebagai penghormatan dan berkata, "Silakan mulai, Nek!"


Nenek Cia tidak sungkan seperti Cia Hok, setelah melihat Lee Cin siap dan mempersilakan ia maju, ia melangkah maju lalu berkata dengan tegas, "Sambutlah seranganku ini!" 


Tongkatnya menyambar dan mengeluarkan angin bercuitan, menyerang ke arah kepala Lee Cin. Gadis itu maklum akan dahsyatnya serangan, secepat kilat mengelak dan melangkah maju, pedangnya berubah menjadi sinar keemasan menusuk ke arah dada Nenek Cia. Nenek itu menggoyangkan tongkatnya sehingga menangkis dan bertemu dengan pedang Ang-coa-kiam.

"Tranggg......!" Bunga api berpijar dan Lee Cin mendapat kenyataan betapa kuatnya nenek yang usianya sudah lanjut itu. Tangkisan tongkat kepala naga membuat tangan kanannya tergetar hebat. 


Akan tetapi hal ini tidak membuat ia gentar, pedangnya sudah diputarnya bergulung-gulung, menjadi segulung sinar keemasan yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

"Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!" seru nenek itu dan ia pun terpaksa mengikuti kecepatan gerakan lawan dan memutar tongkat melindungi dirinya sambil mencari lubang dan kesempatan untuk balas menyerang.


Terjadi pertandingan yang, lebih menarik daripada tadi. Sinar pedang emas dan sinar tongkat kehitaman bergulung saling desak. Kalau dalam hal tenaga sinkang mungkin nenek itu lebih kuat dibandingkan Lee Cin, namun dalam hal kecepatan gerakan, nenek itu kalah jauh. 

Hal ini membuat nenek itu kewalahan, karena gerakan Lee Gin semakin cepat sehingga ia menjadi terdesak terus.

Agaknya Cia Tin Han tidak dapat mengikuti gerakan senjata mereka dan yang tampak hanya segulungan sinar emas dan hitam saling desak, dan ini merupakan pemandangan yang indah sekali. 


"Bagus, bagus sekali! Cin-moi, kiam-hoatmu bagus dan indah!" Pemuda itu berseru memuji dan bertepuk tangan sementara itu Cia Hok memandang dengan alis berkerut karena dia dapat melihat betapa ibunya terdesak hebat!

Lee Cin memang berusaha untuk mendatangkar kesan di hati nenek itu tanpa menyinggungnya, maka ketika mendapat kesempatan, Pedang Ular Merah berkelebat cepat dan ujung lengan baju kiri nenek itu telah terbabat dan terpotong sedikit. Lee Cin meloncat jauh ke belakang dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.


"Nenek telah banyak mengalah, terima kasih!"


Nenek Cia memandang ujung lengan bajunya dan ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Hebat memang Ang-coa-kiamsut dari Ang-tok Mo-li! Pedang itu tentu yang disebut Ang-coa-kiam, bukan?"


"Pengetahuan Nenek luas sekali," kata Lee Cin sungguh-sungguh.


"Tentu saja. Nenek memiliki banyak sekali pengalaman di dunia kang-ouw. Engkau telah mampu menandingi tongkat Nenek, sungguh kepandaianmu hebat sekali, Cin-moi."

"Ah, kalau Nenek bertanding sungguh-sungguh, akan sukarlah bagiku untuk menandinginya," jawab Lee Cin.
"Cia Hok, engkau boleh pergi, aku masih ingin berbincang-bincang dengan Lee Cin. Engkau boleh duduk mendengarkan, Berandal!" Cia Hok memberi hormat lalu pergi dari situ meninggalkan Nenek Cia bertiga dengan Tin Han dan Lee Cin.

Setelah Cia Hok keluar dari pondok dan menutupkan kembali pintu depan, Lee Cin lalu berkata, "Tadi aku bertanya kepada Nenek yang belum terjawab, yaitu bagaimana pandangan Nenek tentang bengcu dunia kang-ouw yang bernama Souw Tek Bun. Kalau menurut Nenek, bagaimanakah wataknya, apakah dia seorang antek Mancu ataukah bukan?"


"Jelas dia antek Mancu! Ketika dia diangkat menjadi bengcu, pengangkatan itu direstui oleh Panglima Mancu, berarti disetujui oleh Kerajaan Mancu. Ini saja membuktikan bahwa dia itu antek Mancu yang ingin menguasai dunia kang-ouw agar lebih mudah diatur menurut kehendak kerajaan penjajah!"


"Souw Tek Bun memang seorang pendekar yang telah merangkai sendiri ilmu pedangnya, berdasarkan ilmu silat Kun-lun-pai karena dia memang seorang tokoh Kun-lun-pai. 


Akan tetapi, karena dia diangkat menjadi bengcu atas pilihan Kaisar Mancu, berarti dia antek Mancu," kata Nenek Cia lagi sambil menoleh kepada cucunya. "Bagaimana pendapatmu, Tin Han" Cucuku Tin Han ini biarpun tidak pandai ilmu silat karena dia tidak pernah mau mempelajarinya, namun dalam hatinya dia seorang patriot sejati."
Tin Han menghela napas dan Lee Cin memandang kepadanya dengan penuh perhatian. 


"Aku harus mengatakan bagaimana" Souw Tek Bun menjadi bengcu kang-ouw, akan tetapi juga diangkat oleh Kerajaan Mancu. Kalau dia memang seorang yang membenci penjajahan, tentu dia tidak mau diangkat menjadi bengcu setelah disetujui oleh Kerajaan Mancu. Dunia orang gagah seyogianya tidak dipengaruhi kerajaan penjajah."

Lee Cin mendengarkan penuh perhatian. Ia dapat merasakan betapa dalam ucapan pemuda yang kadang bicara secara ugal-ugalan itu terdapat api semangat yang berkobar, seperti juga nenek itu.


Nenek Cia menghela napas panjang. "Memang sekarang ini terjadi perpecahan antara kalangan persilatan, bahkan partai-partai besar bersikap tidak acuh. Ada segolongan pendekar yang seolah mendukung Pemerintah Mancu karena kaisarnya yang dianggap baik, ada pula golongan yang anti penjajah. Terus terang saja, keluarga kami termasuk golongan yang anti penjajah ini, dan kami bersedia mengorbankan segalanya dengan perjuangan bangsa yang ingin terbebas dari belenggu penjajahan."


"Sikap keluarga Cia ini berdasarkan dendam karena suami dan dua orang anak Nenek telah binasa oleh Kerajaan Mancu?" Lee Cin bertanya.
"Ah, tidak sama sekali!" jawab Nenek Cia. "Lama sebelum suami dan dua orang anakku gugur, kami sekeluarga sudah menjadi patriot-patriot sejati yang menentang penjajah!"


Lee Cin teringat akan pengalamannya dua tiga tahun yang lalu, ketika ia bersama Song Thian Lee dan para pendekar lain membantu pasukan kerajaan untuk menumpas gerakan pemberontak Pangeran Tua atau Pangeran Tang Gi Lok yang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw dan bersekongkol pula dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan para datuk sesat. 


Ia juga teringat akan pengalamannya tadi ketika ia berada di taman ia mendengar pembicaraan antara Cia Hok dan Cia Bhok dengan orang asing Jepang bernama Yasuki dan seorang panglima bernama Phoa-ciangkun. Ia menduga bahwa kedua orang itu yang mewakili keluarga Cia agaknya bersekongkol dengan orang Jepang dan dengan panglima yang hendak mengadakan pemberontakan.

"Aku pernah mendengar tentang pemberontakan kurang lebih tiga tahun yang lalu, yang dipimpin oleh Pangeran Tang Gi Lok yang bersekutu dengan para datuk sesat di dunia kang-ouw dan dengan perkumpulan seperti Pek-lian-pai, kemudian dihancurkan oleh pasukan pemerintah. Bagaimana pendapat nenek tentang pemberontakan seperti itu?"


"Itu bukan perjuangan membebaskan rakyat dari penjajahan!" Tin Han yang menjawab, "Kalau yang memberontak itu seorang pangeran, maka hal itu hanya merupakan perebutan kekuasaan belaka, dan kalau pangeran itu berhasil, dialah yang akan menggantikan menjadi kaisar dan tetap saja rakyat dijajah orang Mancu! Perjuangan rakyat harus murni, berasal dari rakyat yang tidak sudi lebih lama lagi ditindas penjajah Mancu. 


Para datuk sesat dan penjahat hanya akan merusak perjuangan karena mereka ini bukan berjuang demi rakyat melainkan berjuang untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri."

"Kalau begitu, aku yakin bahwa para patriot seperti keluarga Cia tidak sudi bersekongkol dengan bangsa lain atau dengan pihak-pihak yang hendak mencari keuntungan pribadi?"


"Tentu saja kami tidak mau!" kata pula Tin Han, akan tetapi Lee Cin melihat nenek itu mengerutkan alisnya.


"Lee Cin, agaknya engkau tertarik sekali tentang perjuangan maka menghujani kami dengan pertanyaan-pertanyaan itu! 


Sebetulnya apa sih maksudmu menanyakan semua itu?"
Pertanyaan nenek ini seperti sebuah serangan tiba-tiba yang membuat Lee Cin terkejut. Akan tetapi dengan tenang ia menjawab. 


"Nek, aku tertarik sekali akan sikap keluarga Cia yang sudah terkenal itu, maka aku menanyakan semua itu."
"Dan bagaimana pendapatmu?" Nenek Cia balas bertanya sambil matanya menatap tajam wajah Lee Cin.

"Aku setuju sekali pada dasarnya dengan semua pandangan keluarga Cia. Jadi menurut pendapat Nenek, para pendekar yang menjadi antek Mancu harus dibasmi atau dibunuh?"

"Setidaknya diberi peringatan dan pelajaran agar dia sadar dan tidak lagi menjadi antek Mancu. 

Sesungguhnya yang membuat Kerajaan Mancu sekarang ini kuat sekali dan sukar dirobohkan adalah karena banyaknya orang-orang gagah bangsa kita yang suka menjadi antek mereka," jawab Nenek Cia dengan suara pasti dan tegas. 

Timbul pula kecurigaan di hati Lee Cin, kalau menurut pendapat nenek ini, ayahnya yang dianggap antek Mancu juga perlu mendapat hajaran agar sadar dan tidak lagi mau menjadi antek Mancu" Dan agaknya ayahnya sudah mendapatkan hajaran itu. Akan tetapi siapa yang melakukannya" 

Kecurigaannya condong kepada Tin Siong yang agaknya memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di samping kepandaian Nenek Cia sendiri.
"Akan tetapi, Nek. Kalau kita menyerang para pendekar yang mendukung pemerintah Kerajaan Mancu, bukankah itu berarti kita menanam bibit permusuhan dengan para pendekar itu" Kita akan mendapat kesukaran sendiri karenanya."

"Kita memberi peringatan dan hajaran kepada mereka secara diam-diam dan jangan sampai menimbulkan permusuhan."

"Bagaimana caranya, Nek?"

"Tergantung suasana dan keadaan, kenapa engkau seperti orang menyelidiki saja, Lee Cin?"

"Maaf, Nek. Aku hanya ingin tahu dan ingin menambah pengalamanku yang dangkal."


"Kami harap engkau masih tinggal beberapa lama di sini, Cin-moi, agar engkau boleh puas berbincang-bincang dengan Nenek. Agaknya kalian cocok sekali!" kata Tin Han sambil tertawa.

"Besok aku harus melanjutkan perjalananku, Han-ko. Aku tidak mau mengganggu kalian lebih lama lagi."

"Mengganggu" Tidak sama sekali, bahkan aku senang andaikata engkau dapat terus tinggal di sini. Engkau seorang gadis yang cerdik dan lihai, engkau tentu akan dapat banyak membantuku."

"Aih, Nenek ini ada-ada saja. Tidak mungkin aku tinggal di sini terus," kata Lee Cin tersenyum.


"Kenapa tidak mungkin" Kalau engkau menjadi cucu mantuku, tentu engkau akan tinggal di sini terus!" kata nenek itu sambil menoleh kepada Tin Han. Pemuda yang biasanya jenaka dan lincah itu, kini menundukkan mukanya! Lee Cin juga merasa betapa mukanya panas. 


Sungguh mengherankan, baru bergaul dengan Tin Han selama beberapa jam saja ia sudah merasa menjadi sahabat baik pemuda itu, dan nenek ini juga baru bicara beberapa jam sudah demikian akrab dengannya. 

Padahal ia sudah bergaul dengan Tin Siong lebih lama lagi akan tetapi ia masih merasa asing dan sungkan kepada pemuda itu, pemuda yang amat halus budi dan sopan-santun.

"Sekarang aku harus mengaso karena besok pagi-pagi aku harus berangkat, Nek. Selamat malam dan selamat tidur." Lee Cin bangkit berdiri dan keluar dari pondok diikuti oleh Tin Han.


Tin Han mengantar Lee Cin sampai kamarnya. "Sudah malam dan aku sudah mengantuk, Han-ko. Selamat malam."


"Selamat malam, Cin-moi. Tidurlah yang nyenyak dan jangan lupa, kalau mimpi bawalah aku dalam mimpimu!" Lee Cin tersenyum malu-malu dan ia merasa heran sendiri, mengapa pemuda itu mengeluarkan kata-kata seberani itu dan ia tidak tersinggung. 


Mungkin karena ucapan Tin Han itu dilakukan sambil bergurau, seperti gurau antara dua kawan yang sudah lama sekali berkenalan dan akrab.
Lee Cin menutupkan daun pintu dan mendengar langkah Tin Han meninggalkan kamarnya. 

Akan tetapi ketika ia mendengar langkah lain ia cepat menghampiri daun pintu dan mengerahkan pendengarannya untuk mendengar apa yang terjadi di luar kamarnya.

"Awas, kau Han-te! Kalau engkau berani mengganggunya, awas kau!" Lee Cin mengenal suara bisikan itu. Suara Cia Tin Siong yang biasanya lembut kini terdengar marah penuh ancaman.


"Aih, aih, Siong-ko ini kenapa sih" Tiada hujan tiada angin gunturnya menyambar-nyambar!" jawab Tin Han, juga berbisik, akan tetapi masih jenaka seperti biasanya.


"Gila kau, jangan main-main. Ia milikku, tahu" Aku yang menemukannya lebih dulu!" Setelah begitu terdengar langkah kaki menjauh.


Lee Cin berdiri termenung, lalu perlahan ia menghampiri pembaringan dan merebahkan diri, masih termenung. Ia terkesan sekali dengan percakapan di luar kamarnya tadi. Ia dapat mengerti dengan mudah betapa Tin Siong merasa cemburu kepada Tin Han yang memang lebih akrab dengannnya, bahkan memanggil adik dan kakak. 


Padahal dengan Tin Siong ia masih memanggil saudara dan dipanggil Nona Bu. Tin Siong memperingatkan agar Tin Han tidak mengganggunya, berarti tentu agar jangan mendekatinya. Tin Siong menganggap ia miliknya karena dia yang mengenalnya lebih dulu, bahkan yang membawanya ke tempat tinggal keluarga mereka. 

Sikap Tin Siong seperti ini sungguh di luar dugaannya. Tin Siong yang begitu lembut, begitu sopan, ternyata mempunyai niat buruk terhadap dirinya! Hal ini membuat ia semakin tidak enak untuk tinggal lebih lama di tempat itu. Ia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi berpamit dan meninggalkan tempat itu. 

Akan tetapi kecurigaannya terhadap Tin Siong makin besar. Agaknya, kalau benar anggauta keluarga Cia yang telah melukai ayahnya, maka Tin Sionglah orangnya.

Malam itu Lee Cin sukar untuk pulas. Ia gelisah mengenangkan kembali apa yang telah dialaminya di rumah keluarga Cia. Semua begitu rahasia. Percakapan antara kedua paman dengan orang Jepang dan perwira itu. Perbedaan sikap yang mencolok sekali antara Tin Siong dan Tin Han. 


Kemudian Nenek Cia yang aneh itu. Ia bahkan menaruh curiga bahwa kekalahan nenek itu darinya memang sengaja. Serangan pedangnya yang membabat putus ujung lengan baju nenek itu terlalu mudah, padahal sebelumnya ia merasakan sendiri betapa lihainya tongkat Nenek Cia. 

Andaikata ia dapat menang melawan nenek itu pun pasti tidak akan terjadi secepat itu. Agaknya nenek itu memberi muka kepadanya dan sengaja mengalah. Akan tetapi untuk apa ia melakukan hal itu" Dengan hati mengandung penuh pertanyaan dan keraguan ini akhirnya Lee Cin dapat pulas juga.

"Kenapa engkau tergesa-gesa hendak pergi dari sini, Bu-siocia?" tanya Cia Kun ketika Lee Cin pada keesokan harinya, pagi-pagi berpamit darinya. Isterinya juga menahan.

"Tinggallah beberapa lama lagi di sini," kata Nyonya Cia Kun.
"Terima kasih atas kebaikan Paman dan Bibi, akan tetapi aku masih mempunyai banyak sekali urusan yang harus kuselesaikan, maka terpaksa aku harus pergi hari ini. 


Maafkan aku." Lee Cin berkeras.
"Nona Bu, aku sungguh 

mengharapkan agar engkau suka tinggal beberapa hari lagi di sini, kami semua mengharapkan begitu," kata pula Tin Siong yang berada di ruangan itu. 

Suaranya tetap lembut dan sikapnya sopan, akan tetapi sepasang matanya memandang Lee Cin dengan penuh harapan.

"Tidak bisa, Saudara Tin Siong. Aku harus pergi hari ini dan banyak terima kasih atas kebaikanmu dan semua keluargamu yang telah menerimaku sebagai seorang tamu dan sahabat."


"Hem, kalau Nona bersikeras dan masih banyak urusan yang harus diselesaikan, terpaksa kami tidak dapat menahanmu. Perkenankan kami memberi seekor kuda yang baik untukmu, agar engkau dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tidak melelahkan."


"Terima kasih, Paman, akan tetapi aku sudah terbiasa melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Aku tidak biasa menunggang kuda." Lee Cin memberi alasan untuk menolak.
Cia Kun menghela napas. "Baiklah, kalau begitu kami menghaturkan selamat jalan."


"Selamat jalan, Nona Bu," kata Nyonya Cia Kun.
Lee Cin mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat kepada suami isteri Cia Kun, kemudian ia menalikan buntalan pakaiannya di punggung dan berkata, "Aku hendak berpamit kepada Nenek Cia lebih dulu."


"Mari kuantarkan, Nona Bu," kata Tin Siong.
"Tidak usah, Saudara Tin Siong. Aku sudah mengenal Nenek Cia dengan baik dan tahu jalan menuju pondoknya. Selamat tinggal!" Lee Cin lalu keluar dari ruangan itu, masuk ke taman dan melangkah cepat ke arah pondok Nenek Cia.


Pondok itu tampak sunyi saja. Apakah Nenek Cia belum bangun dari tidurnya" Selagi ia berdiri depan pintu pondok dengan ragu, terdengar suara riang dari samping pondok, "Selamat pagi, Cin-moi! Wah, pagi-pagi benar engkau sudah berkunjung kepada Nenek. Apakah ada keperluan yang amat penting?"


"Tidak, Han-ko. Aku hanya ingin berpamit dari Nenek Cia. Aku harus pergi melanjutkan perjalananku pagi hari ini."


"Ah, engkau hendak pergi sekarang" Habis, aku bagaimana, Cin-moi?"
"Apanya yang engkau bagaimana, Han-ko?" tanya Lee Cin sambil menatap wajah itu penuh selidik. Kalau pemuda itu hendak merayunya, tentu ia akan mendampratnya. 


Akan tetapi Tin Han tidak merayu, melainkan berkata dengan serius,
"Kalau engkau pergi begini terburu-buru, bagaimana dengan aku" Aku telah mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan akrab, dan tiba-tiba saja engkau pergi begitu saja, hanya tinggal di sini selama sehari" Aku akan kehilangan engkau, Cin-moi."





"Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, Han-ko. Maka, aku tidak dapat tinggal lama-lama di sini. Maaf, aku hendak berpamit dari Nenek Cia."

Tin Han mengetuk pintu pondok itu. "Nek, Nenek, aku datang bersama Cin-moi!"


"Anak berandal, engkau baru saja keluar dari sini, sekarang ada apa lagi ribut-ribut" Masuk saja, pintunya tidak terkunci."

Tin Han mendorong daun pintu itu dan masuk bersama Lee Cin. Ketika melihat Lee Cin, nenek yang sudah duduk di atas kursinya itu kelihatan heran.
"Lee Cin, sepagi ini engkau sudah berkunjung" Duduklah!"

"Terima kasih, Nek. Aku datang hanya untuk berpamit. Aku terpaksa harus pergi pagi ini karena masih banyak persoalan yang harus kuselesaikan."


Nenek itu membelalakkan matanya. "Engkau hendak pergi sekarang" Kukira..... kuharap, engkau akan lebih lama tinggal di sini, sukur kalau untuk seterusnya menjadi anggauta keluarga kami. Lee Cin, berapa usiamu tahun ini?"


Ditanya begitu, Lee Cin menjadi gelagapan, akan tetapi karena yang bertanya seorang nenek, ia menjawab juga, "Sembilan belas tahun lewat, Nek!"


"Bagus! Aku baru saja mendengar bahwa Tin Siong amat menyukaimu, dan kalau engkau setuju......"
"Wah, Nek. Tidak enak membicarakan hal itu dengan Cin-moi!" kata Tin Han mencela.


Lee Cin merasa tidak enak sekali dan dengan bersukur ia memandang kepada Tin Han yang menolongnya dari pertanyaan yang membuatnya amat jengah itu.

"Terima kasih atas segala kebaikanmu, Nek. Akan tetapi aku harus pergi sekarang juga, memenuhi tugas yang harus kulaksanakan. Selamat tinggal, Nek dan sekali lagi terima kasih atas segalanya." Ia mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat.

Nenek itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya di atas lantai dan menghela napas panjang. "Sungguh sayang sekali. Kalau saja aku bisa mendapatkan seorang seperti engkau yang membantuku, akan senanglah rasa hatiku. 


Akan tetapi karena engkau harus melaksanakan tugas, apa boleh buat, hati-hati dalam perjalananmu, Lee Cin, dan kalau engkau kebetulan lewat di daerah ini, jangan lupa singgah ke sini."
"Baik, Nek. Selamat berpisah dan selamat tinggal."


"Selamat jalan." Lee Cin keluar dari pondok itu dan ternyata Tin Han mengikutinya. Baru ia teringat bahwa ia belum pamit dari pemuda ini. "Tidak usah engkau mengantarkan aku, Han-ko."


"Aku tidak mengantarkan, Cin-moi. Hanya aku teringat bahwa aku kemarin hendak meminjam sulingmu sebentar dan belum juga kau berikan. Aku ingin memainkan sebuah lagu dengan sulingmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini. Mari kita duduk di bangku sana dan pinjamkan sulingmu sebentar padaku. Boleh, kan?"


Mana bisa Lee Cin menolak permintaan yang sederhana itu, maka ia pun mengikuti pemuda itu duduk di bangku taman dan menyerahkan suling yang terselip di pinggangnya. 


Tin Han menerima suling itu dan mencobanya. Setelah dia merasa cocok dan dapat memainkannya, dia lalu mulai meniup suling itu sambil berdiri. Lee Cin mengamatinya sambil duduk dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi suling yang mengalun naik turun dengan merdunya. 

Ternyata pemuda itu memang pandai bermain suling. Lagu yang dimainkannya asing bagi Lee Cin, akan tetapi ia dapat merasakan keindahan lagu itu dan terseret hanyut oleh suara suling yang mendayu-dayu. 

Suara suling itu seolah 
menghanyutkan ke dalam lautan yang berombak-ombak dan 
menyenangkan, akan tetapi ada pula perasaan yang menyentuh hatinya dan menimbulkan keharuan karena ia seperti dapat menangkap suara rintihan atau tangis dalam tiupan suling itu. 

Setelah Tin Han menghentikan tiupannya, segera suasananya menjadi sunyi sekali dan gema suara itu masih terngiang di telinga.

"Wah, tiupan sulingku jelek, engkau yang ke mana-mana membawa suling tentu dapat bermain suling lebih bagus. Maukah engkau memainkan satu dua buah lagu untukku sebelum engkau pergi" Hitung-hitung untuk kenangan dan peninggalan darimu."


Dapatkah ia menolak permintaan seperti itu" Lee Cin tersenyum mendengar ucapan itu dan menerima suling dari tangan pemuda itu. Sebelum menyerahkan suling itu, Tin Han lebih dulu menggosok-gosok bagian tiupan suling itu dengan ujung bajunya, baru dia menyerahkannya kepada Lee Cin.


Pada saat itu Lee Cin hendak memamerkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa kalau ia hanya menyanyikan lagu dengan sulingnya, ia tidak akan mampu menandingi kepandaian Tin Han bermain suling. Ia harus memperlihatkan yang lebih dari sekedar meniup suling untuk memainkan sebuah lagu.


Lee Cin membawa suling ke mulutnya dan mulailah meniup suling itu. Suara melengking-lengking terdengar naik turun, nadanya meliuk-liuk, akan tetapi tak dapat dikatakan sebagai permainan suling yang merdu. 


Bahkan menyakitkan telinga. Tin Han mengerutkan alisnya dan berusaha mengikuti irama suling, akan tetapi dia tidak dapat. Dia sama sekali tidak mengerti dan tiupan suling itu menyakitkan telinganya, seperti ditiup oleh seorang yang sama sekali tidak pandai bermain suling. 

Tiba-tiba hidungnya mencium bau yang keras dan amis. Ketika ia memandang ke kanan kiri mencari-cari, matanya terbelalak karena dia melihat banyak sekali ular besar kecil bergerak menghampiri tempat itu dan tak lama kemudian tempat itu sudah dikepung oleh puluhan ekor ular yang mengangkat kepala mereka dan mengayun-ayun kepala seperti menari! 

Ular besar kecil beraneka macam dan banyak di antara mereka yang berbisa!

Biarpun ular-ular itu tidak menyerang, namun Tin Han menjadi ketakutan dan dia menghampiri Lee Cin lalu berdiri di belakang gadis itu sambil berseru, "Cin-moi, tiupan sulingmu mengundang datangnya banyak ular!"


"Tiupan sulingku jelek, hanya dapat menyenangkan ular-ular. Nah, selamat tinggal, Han-ko. Aku akan membawa pergi semua ular ini agar jangan mengganggumu."


Lee Cin melangkah maju sambil memainkan sulingnya. Ular-ular itu membuka kepungan dan mengikuti Lee Cin, menggeleser mengikuti jejak kaki Lee Cin menjadi deretan panjang.


Setelah gadis itu tidak tampak lagi, Tin Han menjatuhkan diri duduk di atas bangku, wajahnya masih pucat. "Dewi Ular..... dara itu Dewi Ular....." bisiknya lirih.


Setelah tiba di luar taman, Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya dan mengusir semua ular itu sehingga mereka merayap ke sana sini, kembali ke asal masing-masing. Tiupan suling itu tadi memanggil dan mendorong semua ular yang berada di daerah itu untuk keluar dari liangnya dan berdatangan ke taman itu.


Ia tidak segera keluar dari kota Hui-cu, melainkan berpura-pura mencari keterangan tentang tempat tinggal Ji-taijin dan Un-ciangkun. Bukan mencari tahu tempat tinggal mereka saja, juga ia menyelidiki dengan bertanya kepada penduduk di kota itu, orang-orang macam apakah adanya dua pejabat itu. 


Apakah mereka sewenang-wenang dan menindas rakyat" Apakah mereka merupakan dua orang pejabat yang korup dan menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendak mereka"

Hasil penyelidikannya membuat Lee Cin mengerutkan alisnya. Kedua orang pejabat itu adalah orang-orang yang disukai rakyat. Ji-taijin adalah seorang kepala daerah yang bijaksana, tidak pernah memeras penduduk, mengumpulkan pajak sebagaimana mestinya. 


Yang berpenghasilan besar dikenakan pajak besar, yang kecil dikenakan pajak kecil bahkan yang tidak mampu sama sekali tidak diharuskan membayar pajak. Juga dia telah mengadakan pembangunan-pembangunan yang bermanfaat bagi rakyat. 

Hasil pemungutan pajak dipergunakan untuk kebaikan-kebaikan jalan, jembatan dan lain-lain. Juga tangannya terbuka untuk menolong mereka yang hidupnya miskin. 

Di waktu musim paceklik di mana sawah ladang kurang menghasilkan, dia pun membagi-bagi bahan makanan kepada rakyat diancam kelaparan. Pendeknya, Ji-taijin adalah seorang pembesar yang amat baik.

Ketika ia menyelidiki tentang Un-ciangkun, hasil penyelidikannya pun sama saja. Un-ciangkun adalah seorang panglima yang adil. Dia melarang keras anak buahnya mengganggu rakyat. 


Sedikit saja anak buahnya melanggar, tentu akan dihukum berat. Juga, berkat sikap tangan besi yang dilakukan Un-ciangkun terhadap para penjahat, di daerah itu menjadi bersih dari kejahatan atau jarang terjadi kejahatan. 

Para gerombolan perampok tidak berani memperlihatkan gerakan mereka di sekitar daerah itu dan orang-orang merasa takut untuk melakukan kejahatan karena sikap yang bengis dari Un-ciangkun ini. 

Bahkan semua rakyat tahu belaka betapa Un-ciangkun menggunakan pasukannya untuk membersihkan pantai timur dari gangguan para bajak laut dan perampok dan yang terdiri dari orang-orang Jepang.

Lee Cin tertegun setelah 

mendapatkan keterangan tentang kedua orang pejabat itu. Orang-orang yang demikian baiknya terhadap rakyat malah hendak dibunuh atau disingkirkan oleh Cia Hok dan Cia Bhok yang bersekutu dengan orang Jepang bernama Yasuki dan panglima bernama Phoa Ciangkun itu. 

Dan menurut percakapan mereka yang sempat ia dengar, yang mengusulkan untuk membunuh kedua orang pejabat yang baik itu adalah Nenek Cia! 

Agaknya, semua orang yang menjadi pejabat Kerajaan Mancu adalah musuh yang harus dibunuh, apalagi kalau mereka itu menentang usaha pemberontakan terhadap pemerintah. 

Agaknya keluarga Cia itu adalah segolongan orang yang menganggap bahwa semua orang yang bekerja di bawah pemerintahan Mancu adalah pengkhianat yang harus dibunuh. 

Dan untuk itu, keluarga Cia tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan orang Jepang dan dengan panglima yang agaknya hendak berkhianat dan memberontak. 

Kalau begitu, apa bedanya gerakan mereka dengan gerakan mendiang Pangeran Tang Gi Lok yang memberontak dibantu oleh golongan sesat dan bersekongkol dengan perkumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek-lian-pai dan yang lain-lain"

Lee Cin teringat akan percakapan antara Cia Hok dan Cia Bhok dengan orang Jepang Yasuki dan Phoa-ciangkun. Jelas bahwa mereka itu bermaksud hendak membunuh Un-ciangkun dan Ji-taijin, akan tetapi menurut percakapan mereka itu, kedua orang pejabat ini dilindungi oleh pengawalan yang ketat. Apa artinya pengawal yang ketat kalau bertemu dengan keluarga Cia yang demikian lihai"


Ia menjadi tidak enak dan juga muncul harapan di benaknya. Siapa tahu keluarga Cia akan munculkan Si Kedok Hitam untuk membunuh kedua orang pejabat itu" Mungkin Si Pembunuh menggunakan kedok hitam agar tidak dikenal siapa dia. 


Satu di antara kedua orang pejabat yang benar-benar terancam adalah Ji-taijin. Bagaimanapun juga, Un-ciangkun yang juga tinggal di Hui-cu adalah seorang panglima dan tentu pengawal yang melindunginya jauh lebih kuat. 

Setelah berpikir demikian, Lee Cin mengambil keputusan untuk melakukan pencegatan dan diam-diam melindungi Ji-taijin dengan harapan untuk dapat bertemu dengan Si Kedok Hitam yang mungkin malam itu akan berusaha untuk membunuh Ji-taijin.

Malam itu hawanya dingin sekali. Bulan tampak muncul sepotong dan angin berhembus dari Bukit Hong-san, mendatangkan hawa yang dingin sehingga jarang ada orang mau keluar pada malam hari itu. 


Setelah malam larut, sesosok bayangan berkelebat di dalam pekarangan rumah Ji-taijin dan bayangan itu bersem bunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di pekarangan itu. Bayangan itu adalah Lee Cin. 

Dari tempat sembunyinya itu ia dapat mengamati seluruh gedung sehingga kalau ada gerakan yang mencurigakan datang dari luar, tentu ia akan melihatnya. 

Dengan mudah tadi ia dapat melewati para penjaga yang berada di gardu penjagaan. Ada belasan orang penjaga di situ dan dengan bergantian mereka mengadakan perondaan mengelilingi gedung. 

Lee Cin merasa yakin bahwa di sebelah dalam gedung tentu terdapat pengawal lagi. Akan tetapi, ia tahu bahwa kalau yang menyelinap masuk orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hal itu tidak akan sukar dilakukan, Buktinya, ia sendiri dapat menyelinap memasuki pekarangan tanpa diketahui para penjaga di luar.

Lee Cin melihat betapa janggal ia berada di situ, seolah ia hendak melindungi Ji-taijin yang tidak dikenalnya bahkan tidak pernah dilihatnya. Tidak, pikirnya. Ia berada di situ sama sekali bukan untuk melindungi Ji-taijin dari marabahaya, melainkan untuk menangkap Si Kedok Hitam kalau benar seperti dugaan dan harapannya dia akan muncul malam ini di tempat itu. 


Juga ia harus menentang kalau ada orang hendak membunuh Ji-taijin yang sudah diselidiki keadaannya itu. Seorang pejabat bijaksana seperti Ji-taijin berhak mendapatkan 
perlindungan dari orang-orang gagah, dan orang yang hendak 
membunuhnya, apa pun alasannya adalah seorang yang picik dan tidak mementingkan rakyat jelata.

Malam telah larut dan lewat tengah malam ketika tiba-tiba Lee Cin melihat bayangan hitam berkelebat tak jauh di depannya. Jantungnya berdebar tegang. 


Inilah agaknya orang yang ditunggu-tunggunya. 
Inilah Si Calon Pembunuh itu dan mungkin sekali inilah Si Kedok Hitam. 

Dalam kegelapan malam yang hanya remang-remang diterangi bulan sepotong, dia tidak dapat melihat apakah orang itu berkedok atau tidak. Hanya tampak olehnya sesosok tubuh yang sedang perawakannya. 

Lee Cin cepat bergerak membayangi orang itu. Ketika tiba di dekat gedung di mana tergantung sebuah lampu yang cukup terang, baru dilihatnya bahwa bayangan itu memang berkedok hitam! Jantung dalam dada Lee Cin berdegup keras. 

Ternyata dugaannya benar. Yang hendak membunuh Ji-taijin adalah Si Kedok Hitam, orang yang pernah menyerang dan melukai ayahnya. Orang yang dicari-carinya!

Bayangan itu melompat ke atas genteng dengan gerakan ringan dan gesit sekali. Lee Cin tidak 

membiarkan orang itu pergi dan ia pun melompat dengan cepat, bahkan langsung turun di depen Si Kedok Hitam itu.

Si Kedok Hitam terkejut melihat Lee Cin tahu-tahu berada di depannya! Dia menggerakkan tangan memukul dan hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Cin. 


Dara perkasa ini dengan mudah mengelak dan sebelum ia dapat membalas, orang itu sudah melompat turun lagi dari atas genteng dan melarikan diri.

"Hendak lari ke mana kau?" Lee Cin berseru dan melompat turun pula, terus melaklikan pengejaran. Para penjaga ini melihat ada dua bayangan yang berkejaran. 


Mereka berteriak-teriak dan beramai melakukan pengejaran pula, akan tetapi sebentar saja dua orang bayangan hitam itu telah lenyap dan mereka tidak tahu harus mengejar ke mana.

Sementara itu, Lee Cin mengerahkan ilmunya berlari cepat dan ia dapat membayangi Si Kedok Hitam yang lari keluar kota. 


Di luar pintu gerbang kota, di padang rumput yang luar, Lee Cin hampir dapat menyusul orang yang dikejarnya. Tiba-tiba orang berkedok. itu yang merasa tidak akan dapat lari dari Lee Cin, menghentikan larinya dan membalikkan tubuhnya 
menghadapi Lee Cin. 

Mereka kini berdiri saling berhadapan dan di bawah sinar bulan sepotong, Lee Cin dapat rnelihat bahwa melihat perawakannya, orang itu masih muda dan ia memakai sebuah kedok hitam Yang menutupi wajahnya.

"Sobat, apa maksudmu mengejar aku" Aku tidak mempunyai urusan sama sekali denganmu!"


"Akan tetapi aku mempunyai urusan yang amat besar denganmu!" kata Lee Cin sambil tersenyum mengejek.
Orang berkedok itu kelihatan gelisah. "Apa kau hendak mengatakan bahwa engkau melindungi orang seperti Ji-taijin itu?"


"Melindungi seorang pejabat baik seperti Ji-taijin juga menjadi kewajiban sebagai seorang pendekar, akan tetapi ada lain urusan yang harus diselesaikan di antara kita!"


"Hem, apa urusan itu?" "Engkau tentu tidak lupa bahwa engkau pernah menyerang Bengcu Souw Tek Bun di Hong-san dan melukainya dengan pukulan merontokkan jalan darah yang bertapak tangan hitam?"


"Benar, aku pernah menyadarkannya bahwa dia telah menjadi bengcu yang dipilih oleh Kerajaan Mancu, dia menjadi antek penjajah! Apa urusannya dengan engkau?"


"Jahanam! Ayahku adalah seorang gagah, seorang jantan sejati yang tidak akan sudi menjadi antek penjajah! Yang mengangkatnya bukan pemerintah kerajaan, melainkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw. 


Kalau pemerintah menyetujui pengangkatan itu, bukan berarti bahwa dia lalu menjadi antek penjajah. Sekarang, engkau telah melukai Ayah, maka aku sengaja datang mencarimu untuk membuat perhitungan. 

Lihat seranganku!" Lee Cin tidak memberi kesempatan lagi kepada Si Kedok Hitam untuk menjawab dan ia sudah menyerang dengan pukulan Ang-tok-ciang! Si Kedok Hitam agaknya terkejut mendengar bahwa Lee Cin adalah puteri Souw Tek Bun. 

Dia mengelak dengan cepat sekali dan membalas serangan gadis itu dengan tidak kalah dahsyatnya. Segera terjadi pertandingan di malam sunyi itu tanpa disaksikan oleh siapa pun. Mereka saling serang dengan cepat dan dahsyatnya.

"Wuuuuttt......!" Si Kedok Hitam menyerang dengan pukulan telapak tangan yang sudah berubah menghitam, dan Lee Cin sengaja memapaki pukulan itu dengan telapak tangan merah karena ia sudah menggunakan Ang-tok-ciang!

"Desss......!" Hebat sekali pertemuan dua telapak tangan itu dan keduanya terdorong ke belakang beberapa langkah. Ternyata tenaga mereka seimbang dan mereka sudah saling serang lagi. Lee Cin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang ini tidak kalah dibandingkan Nenek Cia! 

Dan ia yakin orang ini bukan Nenek Cia, jauh lebih gesit dibanding Nenek Cia yang sudah agak lambat gerakannya. Orang ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh dan Lee Cin tidak merasa heran bahwa ayahnya terkena pukulannya, walaupun ayahnya juga mampu melukai lengan kanannya. 

Juga ia maklum bahwa Pukulan Telapak Tangan Hitam dari orang ini jauh lebih hebat dibandingkan pukulan yang serupa dari Cia Hok. Pukulan Cia Hok tidak dapat melukainya, akan tetapi pukulan orang berkedok ini demikian hebat sehingga mampu menandingi pukulan Ang-tok-ciang darinya.

Sudah seratus jurus lewat dan mereka masih setanding, tidak ada yang mendesak atau terdesak. Masih sama-sama saling serang dengan dahsyatnya. 


Hati Lee Cin menjadi penasaran dan mulailah ia mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu It-yang-ci. Diserang dengan ilmu ini, Si Kedok Hitam nampak terkejut sekali. Nyaris tubuhnya terkena totokan yang dahsyat itu. 

Dia terpaksa melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dan agaknya dia jerih menghadapi It-yang-ci, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari mendaki bukit.

"Orang she Cia, engkau hendak lari ke mana?" teriak Lee Cin sambil melompat dan lari mengejar. Akan tetapi tak lama kemudian orang berkedok itu melompat memasuki hutan di lereng bukit itu dan Lee Cin kehilangan jejaknya. 


Di dalam hutan itu amat gelapnya, sinar bulan yang hanya remang-remang itu terhalang daun pohon sehingga di bawahnya gelap sekali. 

Maklum bahwa mengejar lawan dalam kegelapan itu merupakan perbuatan yang berbahaya sekali, Lee Cin keluar lagi dari hutan dan tidak melakukan pengejarannya.

"Awas engkau, besok akan kubuka kedokmu!" katanya sambil menuruni lereng bukit itu. Pikirannya sudah bulat. Orang itu pasti seorang di antara keluarga Cia, benar sekali kemungkinannya bahwa dia adalah Cia Tin Siong. 


Orang berkedok itu lebih lihai dari Cia Hok, juga lebih gesit dari Nenek Cia, siapa lagi kalau bukan Cia Tin Siong" Tin Han" Ah, tidak mungkin sama sekali. Si Berandal itu hanya lincah dan jenaka dalam sikap dan ucapannya, akan tetapi sama sekali tidak mengerti ilmu silat. 

Tidak ada orang lain kecuali Cia Tin Siong. Kecuali kalau ada orang lain dari anggauta keluarga Cia yang belum pernah diternuinya. Ia mengambil keputusan untuk besok pagi mendatangi keluarga Cia dan menuntut agar Si Kedok Hitam keluar menemuinya.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dari berganti pakaian, Lee Cin meninggalkan kamarnya di hotel dan segera berangkat menuju rumah kediaman keluarga Cia. Sikapnya dingin dan ia mengambil keputusan untuk memperlihatkan sikap yang dingin dan sungguh-sungguh, tidak seperti kemarin ketika ia menjadi tamu di keluarga itu.


Ketika ia tiba di pekarangan depan rumah itu, ia disambut oleh seorang pelayan pria yang sedang menyapu di beranda. Pelayan itu cepat 

menyambutnya dengan hormat dan ramah.

"Ah, Siocia telah kembali! Silakan duduk, Nona. Saya akan 

memberitahukan kedatangan Nona."

"Tidak perlu. Aku hanya perlu bertemu dengan saudara Cia Tin Siong. Suruh dia keluar menemuiku!" kata Lee Cin dengan ketus. Setelah yakin bahwa Si Kedok Hitam adalah anggauta keluarga Cia, sikapnya menjadi ketus karena ia menganggap keluarga itu sebagai musuhnya.

Dengan heran dan terkejut pelayan itu mengangguk-angguk lalu 

memasuki rumah gedung itu. Tak lama kemudian muncul seorang pemuda dari daun pintu dan Lee Cin menjadi serba salah karena yang muncul bukan Tin Siong, melainkan Tin Han!

"Haii, selamat pagi, Cin-moi! Silakan duduk, mengapa berdiri saja" Apakah engkau sudah mengambil keputusan untuk tinggal di sini beberapa lamanya" Sukurlah kalau begitu, karena sejak engkau pergi, aku merasa kesepian dan kehilangan sekali!" Sambut pemuda itu dengan wajah riang dan suara gembira.


Akan tetapi Lee Cin memandang kepadanya dengan sinar mata dingin dan tak acuh akan sambutan yang ringan itu. Tidak perlu lagi ia beramah-tamah dengan adik dari musuhnya.


"Saudara Cia Tin Han, aku tidak mempunyai urusan dengan engkau! Sebaiknya engkau panggilkan Cia Tin Siong ke sini, karena dengan dialah aku mempunyai urusan penting!"


"Lho.....! Ada apakah ini" Mengapa engkau marah-marah dan sikapmu bermusuhan, Cin-moi" Apakah kesalahanku" Kalau memang aku telah membuat kesalahan kepadarnu, ampunkanlah kesalahanku itu, Cin-moi!" 


Pemuda itu tidak berkelakar, melainkan mengatakan ucapan itu dengan sikap bersungguh-sungguh.

"Sudah aku tidak mau begurau denganmu! Panggilkan kakakmu Cia Tin Siong itu atau aku akan mencarinya sendiri ke dalam!"


Pada saat itu, dari dalam pintu muncul Cia Tin Siong. Seperti biasa, pakaian pemuda tampan dan gagah ini rapi, dan sikapnya lemah-lembut ketika dia tiba di situ dan berhadapan dengan Lee Cin.


"Ah, Nona Bu, selamat pagi, Apakah ada sesuatu yang dapat kami lakukan untukmu?"


"Cia Tin Siong, tidak perlu bermain sandiwara lagi! Engkau adalah Si Kedok Hitam, bukan" Si Kedok Hitam yang semalam berusaha membunuh Ji-taijin, lalu bertanding dengan aku dan melarikan diri?"


Cia Tin Siong membelalakkan 

matanya lalu mengerutkan alisnya. "Apa yang kau maksudkan, Nona Bu" Aku tidak mengerti. Siapakah yang kau maksudkan dengan Si Kedok Hitam itu?"

"Hemm, tidak perlu berpura-pura bodoh. Kedokmu sudah terbuka sekarang. Aku tahu bahwa engkaulah orangnya yang menyamar sebagai Kedok Hitam dan yang dulu menyerang dan melukai ayahku Souw Tek Bun di Hong-san dan yang semalam hendak menyerang Ji-taijin! Hayo, sekarang kutantang engkau untuk membuat perhitungan atas perbuatanmu menyerang ayahku di Hong-san dulu!"


Cia Tin Siong menghela napas panjang dan menatap wajah Lee Cin penuh perhatian. "Engkau salah duga, Nona. Aku sama sekali tidak pernah menyamar sebagai Kedok Hitam, dan tidak pernah bertemu dengan Bengcu Souw Tek Bun. 


Kemarin malam aku pun tidak keluar dari rumah dan tidak bertemu denganmu, apalagi sampai bertanding. Engkau salah sangka, bahkan aku terkejut mendengar bahwa engkau puteri Bengcu Souw Tek Bun. Bukankah engkau she Bu?"

Pada saat itu, keluarlah Cia Kun, Nyonya Cia Kun, Cia Hok, Cia Bhok dan juga Nenek Cia. Mereka mendengar suara ribut-ribut di luar gedung dan segera keluar.


"Eh, Lee Cin! Engkau kembali dan apa tadi ribut-ribut tentang Bengcu Souw Tek Bun?"


"Nek, Nona Bu ini ternyata adalah puteri Bengcu Souw Tek Bun!" kata Tin Han. "Pantas ilmu kepandaiannya tinggi sekali, ya Nek?" Dalam keadaan setegang itu Tin Han masih memuji-muji Lee Cin.


"Hemm, bukankah engkau she Bu, Lee Cin?" tanya Nenek Cia.


"Jangan-jangan ia malah bukan bernama Lee Cin!" sambung Tin Han ragu.


"Namaku adalah Souw Lee Cin. Aku mengaku bernama marga Bu karena aku hendak menyelidiki Si Kedok Hitam yang telah menyerang dan melukai ayahku. Si Kedok Hitam itu menggunakan Telapak Tangan Hitam yang disebutnya pukulan merontokkan jalan darah. 


Karena mendengar bahwa keluarga Cia memiliki ilmu Tapak Tangan Hitam yang disebut Hek-tok-ciang, maka aku melakukan penyelidikan ke sini dan menggunakan she Bu agar jangan dicurigai. 

Dan semalam aku melihat Si Kedok Hitam hendak membunuh Ji-taijin dan telah bertanding dengan aku. Akan tetapi dia melarikan diri. 

Si Kedok Hitam semalam juga sudah mengaku bahwa dialah yang melukai ayahku. Siapa lagi orangnya kalau bukan Cia Tin Siong" Maka, hayo, aku tantang Cia Tin Siong untuk membuat perhitungan atas apa yang dia lakukan terhadap ayahku!"

"Aku bukan Si Kedok Hitam! Aku tidak pernah menyamar sebagai Si Kedok Hitam dan tidak pernah menyerang Bengcu Souw Tek Bun!" kata Cia Tin Siong penasaran.
"Lee Cin, percayalah, di sini tidak ada Si Kedok Hitam," kata Nenek Cia.


"Nona Souw Lee Cin, Tin Siong tidak berbohong. Dia tidak pernah menyamar sebagai Si Kedok Hitam dan kami semua tidak pernah mengenal Si Kedok Hitam, harap Nona jangan menuduh seperti itu."


"Hemm, coba jawab. Apakah keluarga Cia tidak mempunyai niat untuk menentang Ji-taijin" Bukankah keluarga Cia membenci Ji-taijin?" Sambil bertanya begitu, Lee Cin mengerling ke arah Cia Hok dan Cia Bhok.


"Hal itu tidak aneh, Lee Cin," kata Nenek Cia. "Kami membenci semua orang Han yang telah menghambakan diri kepada kaisar penjajah. Maka tentu saja kami membenci Ji-taijin?"
"Dan berniat hendak 

membunuhnya?" kembali Lee Cin bertanya, sekali ini menatap wajah nenek itu.

Nenek Cia menghela napas panjang. "Sesungguhnyalah, hatiku akan senang kalau melihat antek-antek penjajah Mancu itu mati terbunuh!"

"Nah, sudah jelas sekarang dan aku bukan menuduh tanpa dasar! Semalam aku melihat sendiri Si Kedok Hitam hendak membunuh Ji-taijin dan dia mengaku telah menyerang Ayah. 

Juga kalian semua tidak senang kepada ayahku yang kalian tuduh sebagai antek Mancu, bukan" Sudah cocok semua, dan aku tetap menantang Cia Tin Siong Si Kedok Hitam untuk membuat perhitungan!"

Wajah Tin Siong menjadi merah. "Aku sungguh menyesal sekali akan sikaprnu ini, Nona. Sungguh sayang, sebetulnya aku amat suka kepadamu dan kini engkau menantangku. Kalau engkau menantangku sebagai Si Kedok Hitam, aku tidak akan melayani karena aku bukan Si Kedok Hitam. 

Akan tetapi kalau engkau menantangku sebagai Cia Tin Siong, demi nama dan kehormatan keluarga Cia, terpaksa aku melayanimu!"

Lee Cin sudah yakin sekali bahwa Si Kedok Hitam adalah Cia Tin Siong, maka ia pun berkata dengan tegas, "Baik, aku menantang Cia Tin Siong untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam sebuah pertandingan satu lawan satu. Ini bukan karena aku takut dikeroyok, biarpun dikeroyok, untuk membalaskan sakit hati ayahku, akan kuhadapi juga!" 


Setelah berkata demikian, Lee Cin sudah mencabut Ang-coa-kiam dan melompat ke tempat yang luas di halaman itu.

Sebetulnya Tin Siong amat tertarik dan sudah jatuh hati kepada gadis ini. Akan tetapi sekali ini, kehormatan keluarga Cia menjadi taruhan. Kalau dia menolak tantangan, berarti dia takut dan keluarga Cia akan menjadi rendah karenanya. 

Kalau dia melawan, sebetulnya dia tidak ingin bermusuhan dengan gadis yang mempesonakan hatinya itu. Dia lalu memandang kepada ayah dan neneknya. Ayahnya menghela napas dan menganggukkkan kepalanya. Nenek Cia memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.

"Tin Siong, ingat, ini hanya pibu biasa, bukan karena kebencian kedua pihak. Lee Cin, harap engkau ingat bahwa seorang pendekar tidak mau melukai atau membunuh orang yang belum diketahui benar kesalahannya."


"Nek, bagaimana kalau aku saja yang maju menandingi Cin-moi" Kalau bertanding denganku, aku percaya dia tidak akan mau melukai aku, karena aku tidak berdosa apa-apa. Aku khawatir Siong-ko akan terluka parah olehnya!"


Cia Kun membentak, "Diam kau, Tin Han!"
"Berandal, aku tahu hatimu penuh keberanian, akan tetapi sayang engkau selalu membenci ilmu silat sehingga melawan seorang biasa saja engkau tidak akan menang. Bagaimana harus melawan Lee Cin?" cela Nenek Cia.


"Biar kulawan Cin-moi! Makin cepat aku kalah semakin baik, agar hatinya puas," kata pula Tin Han.


"Sekali lagi, Cia Tin Siong. Aku yakin bahwa engkaulah Si Kedok Hitam yang telah melukai ayahku dan aku tantang engkau untuk bertanding melawan aku! Apakah engkau hanya seorang pengecut yang hendak menyembunyikan diri di balik kedok, kemudian tidak berani menghadapi tantanganku secara terbuka?"


Wajah Tin Siong menjadi semakin merah, "Nona Bu......"
"Namaku Souw Lee Cin, bukan Nona Bu!"


"Baiklah, Nona Souw. Kalau engkau memaksa menantangku, tentu saja aku tidak dapat menolak." Dia lalu melangkah ke depan menghadapi Lee Cin sarnbil mencabut suling peraknya. 


"Nah, aku sudah siap mulailah!" katanya sambil mernasang kuda-kuda.
Lee Cin yang sudah merasa yakin bahwa pemuda itu adalah Si Kedok Hitam, lalu menggerakkan pedangnya dan berseru nyaring, "Lihat pedangku!" 


Tubuhnya menerjang ke depan, pedangnya menjadi sinar keemasan yang mencuat menjadi tusukan ke arah dada Tin Siong dengan cepat dan kuat sekali.

Tin Siong sudah maklum akan kelihaian gadis ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan cepat dia memutar sulingnya untuk melindungi tubuhnya. Suling itu berubah menjadi sinar perak bergulung-gulung di depan dadanya, menjadi perisai yang melindunginya.

"Trangg......!" Pedang itu tertangkis dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Lee Cin merasakan tangannya tergetar oleh tangkisan itu dan maklumlah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang kuat, lebih kuat dari yang diduganya semula. 

Maka ia pun mengerahkan sinkangnya dan menyerang lagi lebih dahsyat. Dia hendak mengandalkan kecepatan gerakannya untuk 
mengatasi lawan. Akan tetapi, 
ternyata Tin Siong juga mampu 
bergerak cepat sekali sehingga 
terjadilah pertandingan yang amat seru. Tubuh mereka berubah menjadi bayang-bayang yang diselimuti 
gulungan sinar perak dan sinar 
merah.

Tin Han yang ugal-ugalan itu agaknya tidak tahu bahwa kakaknya sedang bertanding mati-matian melawan Lee Cin. Dia tertarik oleh pemandangan indah itu, maka berkali-kali dia berseru dan bertepuk tangan. "Wah, bagus, bagus, indah sekali!"


Akan tetapi anggauta keluarga Cia yang lain menonton dengan hati tegang sekali. Mereka mengerti bahwa kedua orang muda itu telah bertanding mati-matian dan sekali saja lengah, seorang di antara mereka dapat roboh dan terluka berat atau bahkan tewas! Lebih-lebih Nenek Cia, beberapa kali ia mengeluarkan seruan khawatir dan mengetuk-ngetukkan tongkatnya di atas tanah.


"Mereka bertanding, mereka serasi sekali untuk berjodoh. Ah, kalau sampai mereka saling melukai.......!"
Lee Cin merasa penasaran sekali. 


Ilmu pedang yang dimainkan dengan suling oleh Tin Siong benar-benar kokoh kuat sehingga pedangnya tidak mampu menembus pertahanan itu. 

Sebaliknya, serangan balik dari pemuda itu juga berbahaya sekali. Mereka sudah saling serang sampai seratus jurus dan belum juga ada yang tampak terdesak. Lee Cin semakin yakin. 

Inilah orangnya yang telah melukai ayahnya! Pantas saja ayahnya kalah karena pemuda ini benar-benar lihai sekali. Dengan marah dan penasaran Lee Cin memutar pedangnya menangkis suling yang menotok ke arah pundaknya dan ia majukan kaki kiri ke depan sambil mengerahkan tenaga memukul dengan telapak tangan kiri terbuka. Telapak tangannya berubah meran dan itulah Ang-tok-ciang!

Tin Siong agaknya maklum dengan baik akan kedahsyatan pukulan ini, maka dia pun miringkan tubuh dan mendorongkan telapak tangan ke depan untuk menyambut pukulan itu dengan Hek-tok-ciang! 

Pertemuan antara Ang-tok-ciang dan Hek-tok-ciang ini tidak dapat dihindarkan lagi karena keduanya ingin memperoleh kemenangan. Lee Cin mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk membalaskan ayahnya sedangkan Tin Siong untuk mempertahankan nama besar keluarga Cia!

"Wuuuuutttt..... desss......!" Dua telapak tangan bertemu dengan kuatnya dan tubuh mereka terpental sampai lima langkah, terhuyung ke belakang dan merasa betapa dari ujung jari tangan kiri sampai ke pangkal lengan terguncang hebat. 

Juga dalam adu tenaga ini keduanya berimbang. Hal ini membuat Lee Cin semakin penasaran dan ia pun melupakan rasa nyeri pada lengan kirinya, lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Tim Siong juga terkejut, akan tetapi ia pun cepat menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.

"Trangg......!" Kembali bunga api berpijar dan cepat sekali Lee Cin mengirim pukulan Ang-tok-ciang pula. Tin Siong terkejut, maklum bahwa gadis itu mengajaknya bertanding habis-habisan, maka terpaksa dia pun mendorongkan tangan kiri untuk menyambut pukulan orang. 


Akan tetapi, tiba-tiba Lee Cin mengubah kedudukan jari-jari tangan kirinya yang kini menggenggam dan hanya jari telunjuknya yang dipergunakan untuk menotok ke arah telapak tangan hitam itu!

"Tuk......!" Totokan It-yang-ci itu tepat mengenai tangan telapak tangan kiri Tin Siong. Pemuda itu mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Lee Cin mengejar dan mengerahkan pedangnya untuk menyerang dada pemuda itu. 


Akan tetapi tiba-tiba tubuh Tin Siong terhalang oleh Tin Han yang sudah menolong kakaknya dan memasangkan dadanya menghadapi Lee Cin. 

Tentu saja Lee Cin terkejut sekali dan menarik kembali pedangnya, kalau tidak tentu dada Tin Han yang akan tertembus pedangnya.

"Cukup, Cin-moi! Kakak Tin Siong sudah kalah, mengapa engkau mendesaknya" Kalau hendak menusuknya, tusuklah aku terlebih dulu!"


Lee Cin memandang kepada wajah Tin Han. Pemuda berandalan itu sungguh berani, memasangkan tubuhnya untuk melindungi kakaknya dan dalam keadaan seperti itu wajah pemuda itu masih tersenyum simpul!


Lee Cin menyimpan kembali pedangnya dengan membelitkan pada pinggangnya dan berkata, "Hemm, ayayahku terluka oleh Hek-tok-ciang lebih parah darinya. 


Pembalasan ini belum impas!" Lee Cin memandang kepada Tin Siong yang wajahnya pucat dan mulutnya mengeluarkan darah. Jelas bahwa dia telah terluka dalam oleh It-yang-ci, walaupun tidak seberat yang diderita ayahnya.

"Cin-moi, mengapa engkau terlalu mendesak kami" Siong-ko sudah menyatakan bahwa dia bukanlah Si Kedok Hitam seperti yang kau tuduhkan. Aku sendiri berani menanggung bahwa Siong-ko tidak berbohong. 


Kalau engkau masih penasaran dan hendak membunuhnya, nah, bunuhlah aku. Aku tidak takut mati dalam tanganmu!" Tin Han sengaja memasang dadanya di depan Lee Cin dan gadis ini tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan atau katakan.

Nenek Cia melangkah ke depan. "Lee Cin, kami seluruh keluarga Cia berani menanggung bahwa Tin Siong bukan Si Kedok Hitam seperti yamg kau duga. Engkau sudah dapat mengalahkan Tin Siong, berarti engkau sudah dapat mengalahkan keluarga kami karena di antara kami, Tin Siong yang memiliki ilmu silat paling tangguh. Kami mengaku kalah dan kami mengulurkan tangan persahabatan denganmu karena sesungguhnya Tin Siong tidak pernah menyerang dan melukai ayahmu."

Lee Cin menjadi semakin bingung. Ia melihat betapa semua anggauta keluarga memandang kepadanya dengan penuh perhatian. "Akan tetapi, Ayah....."


"Lee Cin, lupakah engkau bahwa engkau mengatakan kalau ayahmu terluka oleh pukulan telapak tangan hitam yang disebut pukulan merontokkan jalan darah" 


Nah, pukulan Hek-tok-ciang kami sama sekali tidak mempunyai daya untuk merontokkan jalan darah, hanya merupakan pukulan yamg mengandung hawa beracun, tidak lebih lihai daripada ilmu pukulan Ang-tok-ciang yang kau miliki."

Lee Cin menghela napas panjang dan memandang kepada Tin Siong yang kini duduk bersila untuk menghimpun hawa murni untuk mengobati luka dalam akibat totokan It-yang-ci. Ia mulai meragu dan menyesal. Kalau benar bahwa Tin Siong bukan Si Kedok Hitam, sungguh ia telah bertindak salah besar.


"Kalau memang benar bahwa saudara Cia Tim Siong tidak melakukan penyerangan dan melukai Ayah, aku telah salah duga dan aku mohon maaf sebanyaknya kepada keluarga Cia. 


Akan tetapi kalau benar dugaanku bahwa dia adalah Si Kedok Hitam, maka biarlah pukulanku tadi merupakan pembalasan dari Ayah, agar dia tidak berpikir bahwa dialah orang yang palimg lihai di dunia. Selamat tinggal!"

Ia membalikkan tubuhnya dan keluar dari pekarangan itu. Baru saja tiba di jalan, suara kaki orang berlari membuatnya menengok dan ternyata Tin Han yang mengejarnya.


"Mau apa engkau mengejarku?" tanya Lee Cin sambil mengerutkan alisnya.
"Aih, Cin-moi. Haruskah persahabatan di antara kami diputuskan dengan cara ini?"


"Apakah ada alasan untuk menyambung persahabatan" Kalau aku menduga salah dan bahwa bukan kakakmu yang menyerang Ayah, maka aku telah melakukan kesalahan besar terhadap keluarga Cia, dan tentu keluargamu akan membenciku."

"Ah, tidak sama sekali, Cin-moi. Setidaknya aku tidak akan membencimu karena aku tahu benar bahwa engkau menyerang Kakak Tin Siong bukan karena engkau jahat, melainkan karena engkau hendak membalas dendam walaupun balas dendam itu ditujukan kepada orang yang salah."

Sikap dan ucapan pemuda itu membuat Lee Cin makin merasa bersalah dan ia mulai ragu akan kebenaran tindakannya. "Sudahlah, aku pergi saja. Selamat tinggal, Han-ko."


"Engkau tidak membenciku karena aku tadi menghalangi engkau membunuh Kakak Tin Siong?"


Lee Cin menggeleng kepalanya. "Tidak, bahkan aku merasa girang bahwa engkau menghalangiku sehingga aku tidak jadi membunuhnya. 


Betapa akan besar penyesalanku kalau kelak ternyata orang yang kubunuh itu sama sekali tidak bersalah."

"Kalau begitu, perkenankanlah aku mengantarmu sampai ke luar kota. Aku masih ingin bercakap-cakap denganmu sebelum engkau pergi," kata Tin Han sambil ikut berjalan di samping Lee Cin ketika gadis itu melanjutkan langkahnya. 


Terpaksa Lee Cin membiarkan pemuda itu berjalan bersamanya, karena ia pun masih ingin mendengar apa yang hendak dikatakan pemuda ini. Setidaknya sikapnya ini untuk menunjukkan rasa penyesalannya atas peristiwa tadi.

"Cin-moi, kalau kupikir-pikir, letak kesalah-pahaman antara engkau dan kami adalah karena perbedaan pendapat. Keluarga kami adalah keluarga patriot yang membenci pemerintahan penjajah Mancu dan ingin sekali menggulingkan dan mengusir penjajah dari tanah air kita. 


Sedangkan engkau agaknya mempunyai pendapat lain. Bagaimana pendapatmu tentang penjajah Mancu, Cin-moi?"

Lee Cin mempertimbangkan 

pertanyaan ini, kemudian ia 
menjawab dengan jujur, "Aku pun tidak senang dengan adanya penjajah di tanah air kita. Akan tetapi itu bukan berarti aku membenci pemerintah Kerajaan Mancu. 

Kaisarnya amat baik terhadap rakyat kita dan dia dapat menghargai orang-orang pandai. Yang kubenci adalah pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat jelata, yang menindas rakyat. Tidak peduli apakah pembesar itu orang Han atau orang Mancu. 

Kalau dia seorang pembesar yang baik dan bijaksana, tentu aku tidak membencinya bahkan akan melindunginya dari orang jahat yang hendak membunuhnya. 

Sebaliknya, kalau ada pembesar yang korup, sewenang-wenang dan menindas rakyat jelata, tentu aku akan turun tangan memberi hajaran kepada pembesar itu, tidak peduli dia bangsa Han atau bangsa lain."

"Itu adalah pendirian seorang pendekar, bukan seorang patriot, Cin-moi. Seorang pendekar menilai baik buruknya orang dari perbuatan pribadinya, akan tetapi seorang patriot yang tidak rela melihat bangsa dan tanah air dijajah, menilai seseorang dari kedudukannya, siapa yang dibantunya. 


Kalau dia membantu penjajah, bekerja untuk penjajah, tentu kami anggap sebagai musuh karena berarti dia ikut mengembangkan dan mendukung penjajahan! Dan itulah pendirian keluarga Cia kami. Kami tidak mengenal dendam pribadi, akan tetapi dendam bangsa dan tanah air, dan kami bertindak demi bangsa dan tanah air."

Lee Cin mengangguk-angguk. Ia adalah seorang gadis yang sudah berpengalaman, maka tentu saja hal seperti itu sudah dimengertinya. 


"Kalau begitu, kalian segolongan patriot hendak melakukan 
pemberontakan terhadap 
pemerintahan penjajah?"

"Mungkin pihak penjajah akan menganggap sebagai pemberontakan, akan tetapi kami menganggap sebagai perjuangan, perjuangan

membebaskan bangsa dan tanah air dari cengkeraman penjajah."

"Dan kalian akan bergabung dengan siapa saja yang menentang 

pemerintah Mancu" Tidak peduli bahwa mereka terdiri dari golongan sesat, tetap akan kalian ajak bekerja sama dan bersekutu?"

Ditanya demikian, Tin Han tertegun, lalu menjawab dengan ragu, "Kuki..... tidak semua berpendapat seperti itu. Aku sendiri misalnya, aku tidak akan sudi untuk bekerja sama dengan para penjahat dalam perjuangan 

membebaskan rakyat dari 
cengkeraman penjajah. 

Bersekutu dengan golongan sesat bahkan akan mengotorkan dan menodai perjuangan yang suci."

"Akan tetapi bagaimana dengan keluarga Cia" Apakah mereka tidak mengadakan persekutuan dengan golongan sesat?"

"Aku..... aku tidak tahu, Cin-moi. Akan tetapi percayalah, kalaupun ada, aku akan menentangnya habis-habisan!"

Lee Cin tersenyum. Mereka sudah tiba di luar kota, di jalan yang sunyi dan Lee Cin berhenti melangkah, lalu memandang kepada pemuda itu. 

"Han-ko, ucapanmu itu bagaimana dapat kubuktikan" Kemampuan apakah yang engkau miliki untuk membuktikan ucapanmu itu?"

Wajah Tin Han berubah merah. "Boleh jadi aku tidak pandai silat seperti anggauta keluarga yang lain, Cin-moi. Akan tetapi aku mempunyai pendirian. Aku akan berusaha mengumpulkan semua pendekar di dunia ini, menyadarkan mereka bahwa selama ini mereka seperti harimau tertidur, mengajak mereka untuk bangkit dan menentang penjajah! 


Kalau semua pendekar bangkit dan bergerak, berjuang. Aku yakin rakyat akan mengikuti mereka dan kita dapat menyusun kekuatan yang besar. 

Di mana-mana rakyat akan berjuang, dipimpin oleh para pendekar yang sudah berjiwa patriot, dan dengan cara itu, kekuasaan Kerajaan Mancu pasti akan dapat dihancurkan dan penjajah dapat dihalau keluar dari tanah air kita."

Lee Cin memandang dengan heran dan kagum. Pemuda yang ugal-ugalan ini, yang oleh keluarganya disebut Si Berandal, yang tidak dapat bersilat, yang lemah, ternyata memiliki jiwa yang gagah perkasa. Dia bicara dengan semangat berapi-api. Sepasang matanya mencorong, kedua tangannya dikepal!


"Ucapanmu mengagumkan hatiku, Han-ko. Percayalah, kalau kelak engkau berhasil membuat para pendekar menjadi patriot sehingga mereka semua bergerak seperti yang kau bayangkan itu, aku pun akan membantumu dengan sekuat tenagaku. 


Selama ini aku melihat ada golongan yang hendak memberontak dan bersekutu dengan kaum sesat, maka aku tidak percaya akan sikap mereka yang menentang pemerintah. 

Kuanggap bahwa mereka itu bukan memperjuangkan nasib rakyat, melainkan mengejar ambisi dan keuntungan pribadi saja. Alangkah indahnya kalau perjuangan itu murni seperti yang kau gambarkan."

"Terima kasih, Cin-moi. Sekarang legalah hatiku setelah mengatakan semua yang berada di hatiku mengenai perjuangan. Biarpun Si Kedok Hitam itu aku yakin bukan Kakak Tin Siong, akan tetapi aku percaya bahwa engkau sekarang mungkin akan dapat 

mempertimbangkan perbuatannya terhadap ayahmu, yaitu kalau benar dia seorang patriot seperti yang aku maksudkan. Mungkin dia hanya ingin menyadarkan orang-orang gagah sedunia, termasuk ayahmu. 

Nah, kalau engkau memang berniat untuk pergi, aku mengucapkan selamat jalan dan selamat berpisah, Cin-moi dan kuharap engkau tidak akan mengenang kami keluarga Cia sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat.!

"Aku akan mengenangmu sebagai seorang sahabat baik, Han-ko."
"Dan aku tidak pernah akan dapat. melupakanmu, Cin-moi."


Mereka saling memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu Lee Cin melanjutkan perjalanan dan Tin Han kembali ke dalam kota Hui-cu.


Setelah pemuda itu pergi, Lee Cin kembali berhenti melangkah dan termenung. Suara pemuda itu masih berkumandang di telinganya dan ia semakin penasaran karena ia kini hampir percaya bahwa Si Kedok Hitam bukan Tin Siong. 


Kalau begitu siapa" Si Kedok Hitam jelas ada, semalam ia sudah bertemu dan bahkan berkelahi dengannya. Mengingat ini, Lee Cin mengerutkan alisnya. Siapa tahu, usaha Si Kedok Hitam untuk membunuh Ji-taijin yang digagalkannya itu akan diulangnya malam ini. 

Ia merasa penasaran dan ingin menangkap Si Kedok Hitam. Ia harus dapat yakin benar bahwa keluarga Cia tidak ada hubungannya dengan Si Kedok Hitam dan satu-satunya jalan adalah menangkap Si Kedok Hitam. 

Sebaiknya malam ini ia menanti lagi kalau-kalau Si Kedok Hitam akan kembali menyerang Ji-taijin! Sekali ini ia tidak akan menyerangnya. Si Kedok Hitam itu lihai dan sukar 
merobohkannya, tentu dia keburu melarikan diri. Ia akan 
membayanginya saja agar diketahui di mana dia tinggal. Ia ingin mengetahui siapa sebenarnya orang di balik kedok itu.

Bayangan hitam itu dengan gesitnya meloncat ke atas atap gedung tempat tinggal Ji-taijin, dan setibanya di atas atap, dia melihat ke kiri kanan. Di bawah sinar bulan sepotong yang bersinar cukup terang karena langit bersih dari awan, Lee Cin melihat bayangan ini dan dari tempat ia bersembunyi terlihat jelas bahwa bayangan itu berkedok hitam. 


Si Kedok Hitam! Seperti 
diperhitungkannya, malam itu 
kembali Si Kedok Hitam beraksi mendatangi rumah Ji-taijin.

Akan tetapi ketika bayangan Si Kedok Hitam itu melayang turun, tiba-tiba terdengar bentakan banyak orang dan nampak banyak pengawal berdatangan mengepung tempat itu sambil membawa obor. 

Kiranya tempat itu telah siap siaga dan banyak penjaga kini mengepung Si Kedok Hitam yang menjadi kaget sekali. Tak disangkanya bahwa kedatangannya telah dinanti banyak pengawal. 

Para pengawal segera 
mengeroyoknya, akan tetapi dengan gesit Si Kedok Hitam berkelebatan mengelak sambil merobohkan banyak pengawal dengan tamparan tangannya atau tendangan kakinya. 

Betapapun juga, dia kewalahan menghadapi puluhan orang pengawal yang mengepungnya dengan senjata pedang atau golok itu.

Lee Cin yang sudah mengintai sejak tadi tersenyum. Ialah yang telah memberi tahu para penjaga sore tadi bahwa malam ini rumah Ji-taijin akan kedatangan seorang pembunuh berkedok hitam. Karena itulah maka para pengawal mengadakan persiapan, tanpa mengetahui siapa yang memberi keterangan itu karena Lee Cin menyambitkan kertas yang ditulisi pesan itu kepada mereka tanpa memperlihatkan diri.


Si Kedok Hitam ternyata lihai sekali. Biarpun dia tidak memegang senjata, namun semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis dan dia sudah merobohkan belasan orang pengawal tanpa membunuh mereka. 

Akhirnya dia merasa kewalahan juga dan melompat jauh lalu melarikan diri, tidak tahu bahwa lain bayangan yang tidak kalah gesitnya membayanginya. Bayangan ke dua ini adalah Lee Cin. 

Akan tetapi Si Kedok Hitam kembali menghilang di dalam hutan yang gelap. Dengan kecewa sekali Lee Cin terpaksa menghentikan pengejaran. 

Akan tetapi karena penasaran, ia menanti di luar hutan dan mengambil keputusan untuk menanti sampai besok pagi. Besok, setelah terang 
tanah, ia akan melanjutkan 
pencariannya. Mungkin Si Kedok Hitam masih berada di dalam hutan itu.

Lee Cin duduk bersila di bawah 

sebatang pohon di atas tanah 
bertilamkan daun-daun kering. 
Biarpun keadaannya seperti dalam tidur dan ia memulihkan 
kekuatannya beristirahat, akan tetapi jangan mencoba untuk 
mengganggunya. 

Sedikit saja sudah cukup untuk 
membuat ia terbangun dengan 
seluruh tubuh dalam keadaan siap 
siaga!

Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari pagi dapat menerobos masuk ke dalam hutan melalui celah-celah daun pohon, Lee Cin bangkit berdiri lalu dengan hati-hati dan waspada ia memasuki hutan kecil itu. Ia menyusup-nyusup di antara batang-batang pohon dan semak belukar dan ketika tiba di tengah hutan ia berhenti dan memandang ke kanan kiri. 


Pagi itu di dalam hutan suasananya bising dengan kicau burung-burung yang beterbangan dari pohon ke pohon, sehingga Lee Cin mulai menyangsikan apakah orang yang dicarinya masih terdapat di tempat itu. Mungkin dia sudah melarikan diri ke jurusan lain.

Selagi ia hendak meninggalkan tempat itu dengan hati kecewa karena kembali Si Kedok Hitam dapat lolos dari tangannya, tiba-tiba hidungnya mencium bau yang amat sedap. Bau bumbu daging dibakar! 


Pengharapannya muncul kembali dan berindap-indap ia menuju ke arah tempat dari mana bau itu datang. Akhirnya ia melihat seorang laki-laki tampak dari belakang masih muda, dengan pakaian serba putih sedang memanggang paha kelinci di atas api unggun. 

Pemuda itu berada di tengah semak belukar dan untuk mendekatinya hanya melalui jalan setapak yang berada di belakang pemuda itu. Dengan hati berdebar tegang Lee Cin melangkah satu-satu 
menghampirinya dari belakang. 

Orang itu pasti Si Kedok Hitam, pikirnya. Ia ingin sekali melihat siapa orang itu!

Ketika ia sudah tiba dekat, lalu melangkah maju lagi, tiba-tiba tanah berumput yang dipijaknya itu runtuh ke bawah dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang perangkap! Ia sudah terjatuh ke dalam lubang dan tubuhnya sudah diselimuti semacam jala. 


Ia meronta dan hendak melepaskan diri, akan tetapi jala itu kuat sekali dan ia sudah terlibat sedemikian rupa sehingga ia tidak sempat mencabut pedangnya untuk membabat jala itu. 

Pemuda yang sedang memanggang daging itu mengeluarkan suara tawa, lalu cepat sekali dia sudah meloncat ke dekat lubang dan dari atas dia menyerang dengan totokan. Biarpun Lee Cin berhasil menangkis dua tiga kali dari dalam jala, namun akhirnya ada totokan yang mengenai tubuhnya sehingga ia terkulai lemas di dalam libatan jala.

"Ha-ha-ha, jalaku menangkap seekor ikan emas yang indah sekali!" pemuda itu tertawa sambil mengangkat tubuh Lee Cin yang masih diselimuti jala. Sambil tersenyum-senyum gembira pemuda itu melepaskan jala yang menyelimuti tubuh Lee Cin. 


Lee Cin yang tidak mampu bergerak itu melihat bahwa yang menjebak dan menangkapnya, pemuda baju putih itu bukan laim adalah Ouw Kwan Lok, pemuda yang dulu pernah 
dianggapnya sebagai seorang sahabat akan tetapi yang kemudian bahkan hendak menangkap dan 
memperkosanya, dan bahwa Ouw Kwan Lok ternyata adalah murid Thian-te Mo-ong dan mendiang Pak-thian-ong yang hendak membalas dendam kepadanya! 

Ia dapat lolos dari tangan Ouw Kwan Lok karena ia tidak mempan ketika diracuni. Akan tetapi sekali ini benar-benar tidak berdaya karena ditotok lemas. Ia masih dapat bicara dan berkata dengan suara gemas,
"Ouw Kwan Lok, jahanam keji, kiranya engkaulah Si Kedok Hitam!"

Ouw Kwan Lok tersenyum dan mengerutkan alis, meruncingkan mulutnya mengejek. "Aku" Si Kedok Hitam. Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan. Engkau datang sendiri menyerahkan diri, itu bagus sekali. Aku akan membunuh engkau setelah puas mempermainkanmu. 

Sekarang tuanmu hendak makan minum lebih dulu dan engkau boleh melihat saja!" Ia lalu mengikat kaki dan kedua tangan Lee Cin dengan tali jala yang panjang dan sekali melontarkan ujung tali, tali itu telah melibat sebatang cabang pohon. 

Dia lalu menarik naik dan tubuh Lee Cin tergantung di udara, menelungkup dengan kaki dan tangan terikat. Apalagi kaki tangannya terikat, biarpun tidak diikat juga ia tidak akan mampu bergerak.

"Ouw Kwan Lok, pengecut tak tahu malu! Turunkan aku dan mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!" teriak Lee Cin.


Akan tetapi Kwan Lok tertawa dan mulai makan, menggerogoti paha kelenci dan minum arak dari guci arak yamg dibawanya. "Enak saja. 


Engkau akan kuajak bersenang-senang dulu, baru engkau akan kubunuh. Sayang kalau engkau dibunuh begitu saja. Bersiaplah engkau untuk bersenang-senang denganku kemudian mampus. Berdoalah dan minta ampun kepada guruku Pak-thian-ong!"

Lee Cin maklum bahwa tidak ada gunanya bicara dengan pemuda yang seperti ini. Ia diam-diam merasa heran mengapa seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, halus tutur sapanya dan lembut gayanya, dapat memiliki watak yang demikian rendah dan jahat. Ia tidak berdaya. 


Ada sedikit harapan. Kalau pemuda itu hendak mempermainkannya, mudah-mudahan dia akan membebaskannya dari totokan. Tidak ada artinya baginya kaki tangan yang terikat itu. Kalau ia sudah terbebas dari totokan ia akan dapat meronta dan mematahkan ikatan kaki tangannya! 

Sedikit harapan ini membuat Lee Cin diam saja, tidak lagi memaki, bahkan ia memejamkan kedua matanya, dan diam-diam ia mengatur pernapasannya dan berusaha untuk memulihkan aliran darahnya yang terganggu oleh totokan itu. 

Kalau harapannya itu tidak terjadi, habislah ia! Kalau sampai ia dapat diperkosa pemuda ini, ia tidak akan mau hidup lebih lama lagi. Setelah ia berhasil membunuh pemuda ini, ia pun akan membunuh diri. 

Akan tetapi agaknya ia tidak akan dapat melakukan apa-apa. Ia teringat akan ayah ibunya dan tak terasa dua titik air mata membasahi matanya.

Ouw Kwan Lok yang sedang makan minum itu melihat air mata itu. "Souw Lee Cin, engkau menangis" Ha-ha-ha, aku sebetulnya sayang padamu, sejak pertemuan kita dahulu itu, aku telah jatuh cinta padamu. 

Kalau engkau mau berjanji menjadi isteriku, aku tidak akan membunuhmu. Aku akan melupakan sakit hati kedua orang guruku. Nah, maukah engkau menjadi isteriku" 

Berjanjilah dan aku akan membebaskanmu, karena aku percaya janji seorang gagah seperti engkau."

Lee Cin diam saja. Ia tidak percaya kalau ia mengatakan mau lalu pemuda itu mau membebaskannya. Pemuda itu terlalu cerdik, terlalu licik, terlalu jahat. Maka ia diam saja.

"Bagaimana, adikku yang manis" Engkau lapar, bukan" Dan haus" Aku akan memberimu daging dan juga arak ini, baru kita bersenang-senang. Nah, maukah engkau menjadi isteriku?"

"Iblis gila, aku telah terperangkap. Bunuhlah kalau mau bunuh dan jangan banyak cerewet lagi!"


Ouw Kwan Lok minum araknya lagi dari guci dan mukanya menjadi merah oleh pengaruh arak. Dalam keadaan setengah mabuk ia tertawa-tawa seperti seorang gila. "Aku habiskan dulu arak ini kemudian kita bersenang-senang!"


Dia menempelkan bibir guci pada bibirnya dan menggelegak arak itu.
Tiba-tiba ada benda hitam menyambar gucinya. "Pyaaaar......!" guci itu pecah berantakan dan sisa arak yang masih ada di guci menyiram muka Ouw Kwan Lok.

Pada saat Kwan Lok gelagapan karena tersiram arak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang yang berpakaian serba hitam, mengenakan kedok hitam pula dan dengan sebatang pedang dia memutuskan tali yang menggantung Lee Cin, membantu menotok tubuh Lee Cin sehingga gadis itu terbebas dari totokan. 

Setelah Lee Cin terbebas dari totokan, ia menggulingkan tubuhnya menjauhi dan sekali ia mengerahkan tenaganya, tali pengikat kaki tangannya sudah terputus! Ia meloncat bangkit sambil melolos pedangnya dari ikat pinggangnya. 

Akan tetapi ketika la menengok, ia melihat betapa Ouw Kwan Lok sudah bertanding melawan Si Kedok Hitam! Kwan Lok menggunakan sepasang pedangnya sedangkan Si Kedok Hitam menggunakan sebatang pedang.

Pertandingan itu seru sekali, tiga batang pedang lenyap bentuknya dan menjadi tiga gulung sinar yang menyilaukan mata. Lee Cin merasa tidak enak dan bingung. Si Kedok Hitam te


DEWI ULAR JILID 06


telah menyelamatkannya dari aib dan malapetaka dan kini Si Kedok Hitam bertanding melawan Kwan Lok. Ia merasa tidak enak sekali. 

Ia mencari-cari Si Kedok Hitam untuk membalas kekalahan ayahnya dan kini Si Kedok Hitam muncul sebagai penyelamatnya! Bahkan Si Kedok Hitam membelanya dan kini bertanding mati-matian melawan Kwan Lok. 

Pertandingan itu memang hebat sekali. Mereka saling desak dan ternyata Si Kedok Hitam itu mampu mengimbangi permainan sepasang pedang dari Ouw Kwan Lok dengan seimbang.

Merasa tidak enak kalau berdiam saja membiarkan Si Kedok Hitam mewakilinya, juga merasa malu untuk maju mengeroyok Kwan Lok, Lee Cin lalu berkata dengan suara nyaring, "Kedok Hitam, mundurlah dan akulah yang akan membunuh jahanam keparat ini!" 


Lee Cin meloncat ke depan dan menyerang Kwan Lok dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Kwan Lok terkejut bukan main karena serangan itu benar-benar merupakan serangan maut. Dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan segera melarikan diri secepatnya. 

Baru melawan Si Kedok Hitam saja dia tidak mampu menang, apalagi kalau Lee Cin datang mengeroyoknya. Amat berbahaya kalau dia harus menghadapi dua lawan tangguh itu, maka dia mengambil jalan yang paling menguntungkan, yaitu melarikan diri.

Lee Cin mengejar, mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari cepat sambil berseru, "Jahanam Ouw Kwan Lok, hendak lari ke mana engkau?" 


Akan tetapi Kwan Lok sudah melompat jauh dan berlari menyusup di antara semak belukar. Lee Cin yang masih asing dengan hutan itu mengejar dengan hati-hati karena khawatir kalau-kalau ia akan terperangkap seperti tadi. 

Karena berhati-hati, maka larinya tersendat-sendat dan akhirnya ia kehilangan bayangan dan jejak Ouw Kwan Lok. Ia merasa menyesal sekali, dan sambil membanting-banting kakinya ia lalu kembali ke tempat tadi. 

Akan tetapi alangkah kecewanya karena Si Kedok Hitam sudah tidak berada di situ lagi. Ia merasa menyesal mengapa tadi mengejar Kwan Lok dan meninggalkan Si Kedok Hitam. Kalau orang itu masih ada, tentu ia dapat mengajaknya bercakap-cakap. 

Setelah Si Kedok Hitam menyelamatkannya dari bencana hebat diperkosa Kwan Lok, ia tidak mungkin lagi dapat memusuhinya. Si Kedok Hitam melukai ayahnya dalam sebuah pertandingan yang adil, bahkan hanya melukai tidak membunuh, dan kini Si Kedok Hitam telah menolongnya, telah menyelamatkan nyawanya, maka pertolongan itu sudah dapat menebus kesalahannya melukai ayahnya. 

Tak mungkin lagi ia membalas dendam itu. Si Kedok Hitam hanya berhutang melukai ayahnya, akan tetapi telah membayar dengan menyelamatkan nyawanya.
Ia merasa penasaran sekali. "Siapakah engkau?" pertanyaan ini kini menindih hatinya. 


Kalau ia tahu siapa Si Kedok Hitam, tentu ia akan dapat menemukannya dan mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi Si Kedok Hitam sudah pergi dan agaknya akan sukar sekali baginya untuk dapat menemukannya. 

Besar kemungkinannya keluarga Cia mengetahui siapa Si Kedok Hitam itu, bahkan dugaannya masih condong kepada Cia Tin Siong. Mengingat ini, ia lalu berlari kembali ke arah kota Hui-cu untuk menemui keluarga Cia!

Ketika tiba di pekarangan rumah keluarga Cia, Lee Cin disambut lagi oleh pelayan yang membersihkan halaman. 

"Ah, Nona Souw, engkau kembali ke sini?" kata pelayan itu dengan wajah gembira.

"Cepat laporkan kepada Cia-kongcu yang pertama atau yang ke dua bahwa aku datang untuk membicarakan urusan penting," kata Lee Cin yang ingin bertemu dengan Tin Siong.


"Baik, Nona. Silakan duduk menunggu sebentar karena saya melihat mereka semua sedang mengadakan pertemuan menyambut tamu."


Lee Cin bertanya-tanya dalam hatinya siapa gerangan tamu yang disambut oleh mereka sekeluarga itu, akan tetapi merasa tidak enak untuk bertanya-tanya, maka ia mengangguk lalu duduk di atas kursi dalam ruangan depan untuk menanti. 


Pelayan itu lalu berjalan masuk ke dalam gedung.
Yang keluar menyambutnya adalah Cia Tin Han! Agaknya begitu pelayan melaporkan bahwa di luar ada Lee Cin, Tin Han sudah mendahului semua orang dan cepat keluar. 


Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dengan senyumannya yang khas sehingga mau tidak mau Lee Cin terbawa dalam kegembiraan. Akan tetapi, untuk urusan saat itu, Tin Han merupakan orang terakhir yang diharapkannya muncul. Ia akan minta disampaikan maafnya kepada Si Kedok Hitam, maka kalau dapat, ia mengharapkan Tin Siong sendiri yang muncul. 

Kalau tidak pemuda itu, ia dapat menitip pesan itu kepada Nenek Cia atau Cia Kun, atau setidaknya kedua orang paman pemuda itu. Akan tetapi bukan Tin Han!

"Cin-moi......!" Ah, usiamu akan panjang sekali karena selagi aku sedang terkenang kepadamu, mendadak engkau muncul! Akan tetapi tidak ada kegembiraan yang lebih dari pada ini, Cin moi!"


"Han-ko, aku mempunyai suatu urusan yang penting sekali untuk kubicarakan dengan ayahmu atau Nenek Cia," kata Lee Cin yang tidak mau menyebut nama Tin Siong karena hal itu tentu akan menjadi bahan bagi Tin Han untuk menggodanya!


"Ah, itu mudah sekali. Mereka sedang berkumpul di dalam, Cin-moi. Mari masuk saja, engkau dapat langsung menemui mereka, bahkan engkau akan kuperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali di dalam. 


Marilah!" tanpa ragu-ragu lagi Tin Han yang sedang bergembira itu memegang tangan Lee Cin dan menariknya masuk dalam rumah besar itu. Kembali Lee Cin merasa heran kepada dirinya sendiri. 

Diperlakukan demikiam akrab oleh Tin Han, ia tidak menjadi marah dan membiarkan tangannya dipegang dan ditarik ke dalam! Kalau pemuda lain yang berani melakukan hal itu, tentu sudah ia damprat habis-habisan.

Ternyata pemuda itu membawanya ke dalam ruangan makan yang luas. Dan benar saja, mereka semua berada di situ. Cia Tin Siong, ayah ibunya, kedua orang pamannya, bahkan Nenek Cia, semua duduk menghadapi meja yang penuh hidangan dan seorang laki-laki pendek tegap duduk berhadapan dengan mereka. 

Begitu melihat pria cebol yang usianya kurang lebih empat puluh tahun ini Lee Cin segera mengenalnya. 

Itulah Yasuki, orang Jepang yang ia lihat bercakap-cakap dengan kedua orang paman Tin Han pada malam hari itu! Dan Tin Han mengatakan bahwa ia hendak diperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali. Karena di situ tidak ada orang asing lain kecuali Jepang itu, maka tentu orang itulah yang dimaksudkan sebagai seorang badut besar oleh Tin Han.

Semua orang, kecuali Jepang itu, bangkit berdiri ketika Lee Cin masuk bersama Tin Han.


"Nona Souw......!" Semua orang berseru girang.
Agaknya Yasuki tidak mau ketinggalan. Dia memang berulah seperti seorang yang pandai, seperti seorang jagoan nomor satu. 


Dia mengamati dengan penuh perhatian kepada gadis yang baru masuk dan segera terdengar seruannya,
"Po-kiam (Pedang Pusaka) yang baik sekali! Nona manis, lebih baik pedang itu dijual saja kepadaku. Tidak baik bagi seorang gadis cantik untuk membawa pedang, bisa melukai diri sendiri! Berapakah engkau mau menjualnya?"


Semua orang menengok kepada Yasuki dan orang Jepang ini sudah bangkit berdiri dan menuding ke arah pinggang Lee Cin di mana Ang-coa-kiam membelit pinggangnya. Tentu saja ucapan itu lancang sekali, akan tetapi Yasuki agaknya bangga dengan kepandaiannya bicara dalam bahasa Han yang kaku dan lucu kedengarannya.


Tentu saja Lee Cin menjadi marah mendengar ucapan itu. Ucapan yang sungguh memandang rendah kepadanya. Maka dengan alis berkerut ia memandang kepada orang Jepang itu dan menjawab dengan suara ketus,


"Aku tidak menjual pedangku!"
Akan tetapi Yasuki agaknya tidak tahu bahwa gadis itu marah sekali. Dia masih juga membujuknya. "Ah, jual saja kepadaku, Nona. Aku berani membayar dengan harga tinggi. 


Seorang gadis secantik Nona sebaiknya mempunyai benda lain untuk menjadi permainan. Bukan karena aku suka sekali kepada Po-kiam itu. Dibandingkan dengan samuraiku, tentu saja pedang itu tidak ada artinya, baik ketajamannya maupun kekuatannya. Aku hanya ingin membeli karena pedangmu itu cantik sekali, Nona."

Sebelum Lee Cin menjawab, Tin Han sudah mendahuluinya, "Yasuki - san (Tuan Yasuki), kau bilang pedang pusaka nona ini tidak ada artinya dibandingkan pedang samuraimu itu" Hayo, kita bertaruh! 


Kalau engkau dapat mengalahkan Nona Souw dengan pedangnya, menggunakan pedang samuraimu itu, aku berani bertaruh seratus tail emas! 
Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus minta maaf kepada Nona Souw atas kelancanganmu bicara. Bagaimana?"

"Tin Han......!" Nenek Cia menegur cucunya.
"Aih, Nek. Ini hanya main-main saja. Tentu mereka tidak bertanding sungguh-sungguh, hanya untuk membuktikan keampuhan pedang dan kepandaian bermain pedang masing-masing. Biar Tuan Yasuki yang ahli pedang samurai itu tidak memandang rendah kepada gadis-gadis pendekar kita." Kemudian dia memandang kepada Yasuki. 


"Bagaimana, Tuan Yasuki, beranikah engkau bertanding pedang dengan Nona Souw?"

Tentu saja Yasuki tidak merasa takut. Dia tidak tertarik oleh hadiah seratus tail emas, akan tetapi dia merasa malu kalau dikatakan tidak berani melawan seorang gadis! 


Dia lalu bangkit dan sambil menepuk-nepuk pedang samurainya dia menjawab, "Tentu saja aku berani! Akan tetapi aku sangsi apakah nona ini berani melawan aku?"

"Siapa takut melawanmu" Biar ada sepuluh orang seperti engkau maju bersama, aku tidak akan takut!" jawab Lee Cin yang sudah marah.
Tin Han bertepuk tangan gembira. 


"Bagus, kedua pihak telah setuju! Ruangan ini pun cukup luas untuk kalian bertanding pedang dan bersiaplah engkau untuk minta maaf kepada Nona Souw, Yasuki-san."
"Engkau yang harus bersiap menyediakan seratus tail emas!" jawab Yasuki sambil tertawa memperlihatkan deretan gigi yang rusak. 

Dia bangkit berdiri, meninggalkan kursinya sambil mengangkat dada, lalu melangkah ke tengah ruangan yang luas itu. Lee Cin juga melangkah menghadapinya, dengan sepasang mata bersinar tajam.

Nenek Cia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas lantai. "Terlalu engkau Tin Han! Eh, Tuan Yasuki dan Lee Cin, ingat bahwa ini hanya merupakan adu kepandaian saja, bukan perkelahian, maka jangan saling melukai!"


"Ha-ha-ha, Nyonya Tua Cia, jangan khawatir! Aku tidak akan melukai nona manis ini, hanya akan mengalahkannya dalam waktu singkat!" kata Yasuki menyombong. Tin Han memandang sambil tersenyum gembira.


"Nona manis, engkau boleh mulai menggerakkan pedang mainanmu itu!" kata Yasuki.


"Lihat serangan!" Lee Cin sudah menyerang dengan amat cepatnya. Yang nampak hanya sinar merah mencuat dari tangannya, menusuk ke arah dada Yasuki. Orang Jepang ini terkejut sekali. 


Tak disangkanya nona itu dapat menyerang sedemikian cepatnya. Akan tetapi dia sudah dapat mengelak dengan loncatan ke belakang, kemudian dengan kedua tangannya dia mengayun pedang samurainya yang panjang agak melengkung itu.
"Singggg......!" Pedangnya berdesing saking kuatnya dia mengayun. Akan tetapi dengan mudah saja Lee Cin mengelak dari sambaran pedang itu. 

Gadis ini selanjutnya hanya mengelak saja. Ia hendak mempelajari dulu ilmu pedang yang aneh dari lawannya. Yasuki menggerakkan samurainya dengan kedua tangan, mengandalkan tenaga dan kecepatan. 

Namun, dengan gerakan seperti itu, perubahan menjadi lambat karena dia harus mengikuti ayunan pedangnya kalau tidak mengenai sasaran. 

Setelah mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan bermain pedang, Lee Cin mulai membalas. Setiap kali serangan Yasuki tidak mengenai dirinya, ia langsung membalas selagi orang Jepang itu masih melanjutkan ayunan pedangnya yang kuat. 

Dengan cara ini, setelah berlangsung dua puluh lima jurus, ia mampu mendesak lawannya yang menjadi sibuk sekali setelah gadis itu membalas dengan serangan bertubi-tubi. 
Yasuki terpaksa memutar samurainya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan.

Pada suatu saat, ketika melihat kesempatan, Lee Cin berseru nyaring dan membentak, "Lepaskan pedang!" dan seperti orang yang mentaati perintah ini, Yasuki benar-benar melepaskan samurainya yang jatuh berkerontangan di atas lantai. 

Ternyata kedua punggung tangannya tergores pedang sehingga mengeluarkan sedikit darah dan terasa perih. Yasuki berdiri terbelalak dan ternganga, ketika Lee Cin sudah melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. 

Sama sekali Yasuki tidak mengerti bagaimana kedua punggung tangannya terluka sehingga dia terpaksa melepaskan pedangnya.

"Heii, Yasuki-san! Engkau sudah melepaskan samuraimu, berarti engkau sudah kalah dan yang harus kau lakukan sekarang adalah membayar kekalahanmu dan minta maaf kepada Nona Souw!" teriak Tin Han dengan gembira sekali. 

Semua anggauta keluarga Cia yang lain hanya memandang dengan alis berkerut, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata. Yasuki menjadi merah sekali mukanya. 

Dia mengambil samurainya yang tergeletak di lantai, memasang kembali ke punggungnya, dan dia lalu menjura sangat dalam terhadap Lee Cin sambil berkata dengan suara yang lirih,

"Saya Yasuki minta maaf sebesar-besarnya kepada Nona Souw!" Dia membungkuk sampai dalam.


"Sudahlah, lupakan semua itu!" kata Lee Cin yang tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga di rumah itu. 


Kedatangannya untuk minta maaf, malah dia yang dimintai maaf!
"Saya berpamit dari keluarga Cia, biar lain kali saja kita bertemu dan bicara!" 


Setelah berkata demikian, kembali dia membungkuk lalu pergi dari situ dengan cepat.

Setelah orang Jepang itu pergi, Tin Han tertawa gembira, "Hemm, baru tahu rasa dia, meremehkan Cin-moi!"

"Tin Han, engkau tukang mencari urusan Si Berandal yang hanya membikin ribut!" Nenek Cia berseru. 

"Hayo minggir kau, dan biarkan kami bicara dengan Nona Souw!"
Tin Han tersenyum dan melangkah mundur, mengambilkan sebuah kursi untuk Lee Cin, lalu mundur kembali dan duduk di atas kursinya yang tadi.


"Silakan duduk, Nona Souw!"
"Terima kasih, kedatanganku ini hanya untuk bicara sedikit kepada keluarga Cia, terutama kepada Saudara Cia Tin Siong."


"Mau bicara apakah. Silakan, kami semua adalah anggauta keluarga Cia, tidak ada orang lain."


"Saya ingin minta maaf kepada semua keluarga Cia, terutama kepada saudara Cia Tin Siong, bahwa saya pernah menuduh dia sebagai Si Kedok Hitam yang tadinya saya cari. 


Saya hanya ingin agar keluarga Cia dapat menyampaikan kepada Si Kedok Hitam, siapa pun dia, bahwa mulai saat ini saya tidak lagi mencari dan memusuhinya, dan saya telah memaafkan perbuatannya melukai ayah saya. 

Nah, saya telah cukup bicara. Permisi, saya harus segera melanjutkan perjalanan saya."

"Eh-eh, nanti dulu, Cin-moi. Setelah permusuhan dengan Si Kedok Hitam tidak ada lagi berarti kecurigaanmu terhadap keluarga kami juga sudah tidak ada, mari silakan duduk dan kita rayakan ini dengan makan bersama. 


Nenek, Ayah Ibu dan para paman sudah tentu setuju."
Semua anggauta keluarga itu mengangguk setuju. Mereka tidak dapat berbuat lain! 


Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau duduk dan ia memandang kepada Cia Tin Siong dengan perasaan bersalah. 

"Maafkan, biarlah undangan ini kuterima untuk lain kali saja. Aku harus pergi, selamat tinggal!" Lee Cin cepat pergi dari ruangan makan itu, terus keluar rumah dan hendak meninggalkan kota Hui-cu.

Akan tetapi, baru saja ia tiba di pintu gerbang kota itu, terdengar seruan orang dari belakangnya, "Cin-moi..... tunggu......!!"

Siapa lagi kalau bukan Tin Han yang mengejarnya. Dengan napas terengah-engah Tin Han lari menghampirinya. "Cin-moi, sebelum engkau benar-benar pergi jauh, aku ingin bicara sedikit denganmu. Mari kuantar engkau keluar kota sambil bicara."


Sikap pemuda itu demikian sungguh-sungguh sehingga tidak ada alasan lagi bagi Lee Cin untuk menampik. Mereka berjalan keluar dari pintu gerbang, dan setelah tiba di tempat yang sunyi, Lee Cin bertanya, "Apa yang hendak kau bicarakan, Han-ko?"


"Aku hanya ingin menyatakan kepuasan hatiku karena engkau telah menghajar kepada Jepang sombong itu! Benar-benar hatiku girang sekali karena aku amat tidak suka kepadanya."

Lee Cin berhenti melangkah dan memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian dan keheranan. "Mengapa begitu" 


Bukankah keluargamu, amat menghormati dia bahkan menerimanya sebagai tamu terhormat dan menjamu makanan" Kenapa engkau tidak suka kepadanya?"

"Bukan hanya tidak suka, bahkan aku benci kepadanya."
"Hemm, benarkah itu, Han-ko" Terus terang saja, tanpa kusengaja aku sudah mendengar bahwa keluarga Cia bersekutu dengan Yasuki, juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun. Bukankah begitu?"


Kini Tin Han. yang terbelalak mengamati wajah gadis itu. "Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Cin-moi?"

"Tanpa kusengaja, aku mendengar percakapan antara kedua orang pamanmu di taman dan Yasuki serta Phoa-ciangkun, bahkan mereka merencanakan untuk menyingkirkan atau membunuh Ji-taijin dan Un-ciangkun. Benarkah itu?"

Pemuda itu masih memandang kepada Lee Cin dengan mata terbelalak, kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Kuakui bahwa keluargaku memang bersahabat dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun, akan tetapi tentang rencana itu, baru sekarang aku mendengar darimu. 


Itulah yang membuat aku merasa tidak senang kepada Yasuki dan Phoa-ciangkun."

"Kenapa tidak senang" Bukankah keluarga Cia sudah bersekutu dengan mereka, berarti engkau pun sudah bersahabat baik dengan mereka?"


"Justeru karena persekutuan itu maka aku membenci mereka! Aku setuju dengan semangat perjuangan nenekku, akan tetapi aku benci kalau mereka mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang itu dan dengan panglima kerajaan yang hendak memberontak. 


Aku menghendaki perjuangan yang murni, hanya mengerahkan tenaga rakyat jelata yang terjajah, bukan bersekutu dengan segala perkumpulan orang jahat dan dengan pengkhianat. 

Karena itulah, maka aku sengaja mengadu antara Yasuki dan engkau karena aku yakin bahwa engkau tentu akan dapat mengalahkan dia."
"Hemm, permintaanmu berbahaya sekali, Han-ko. Bagaimana seandainya aku yang kalah?"

"Aku tidak akan mengadu engkau dengan dia kalau aku tidak yakin bahwa engkau pasti menang."


"Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu" Engkau tidak mengenal tingkat ilmu silat."


Pemuda itu tersenyum lebar. "Apa kau kira aku sebodoh itu, Cin-moi" Aku yakin engkau dapat menang karena sebelumnya aku bertanya kepada Nenek tentang tingkat kepandaian Yasuki di bandingkan dengan tingkatmu dan tingkat Kakak Tin Siong. Kata Nenek, melawan Siong-ko saja belum tentu Yasuki akan dapat menang, apalagi melawan engkau."


"Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Han-ko, dan kuharap engkau suka berterus terang kepadaku!"

"Tanyalah dan akan kujawab sedapat mungkin."
"Dapatkah engkau memberitahu, siapa sebetulnya Si Kedok Hitam itu" Aku yakin bahwa dia adalah seorang di antara anggauta keluarga Cia."


"Eh" Bukankah engkau katakan bahwa engkau sudah tidak hendak menyelidiki atau mencari dia lagi, bahkan engkau sudah memaafkannya ketika dia melukai ayahmu dan sudah tidak ada permusuhan lagi?"


"Benar, kata-kataku itu masih berlaku. Akan tetapi aku sungguh ingin tahu sekali siapa sebenarnya dia yang begitu lihai. Dia pasti anggauta keluarga Cia, bukan?"


"Kenapa engkau dapat menduga begitu, Cin-moi?"
"Keluarga Cia merencanakan untuk menyingkirkan Ji-taijin dan Un-ciangkun, dan dua kali aku melihat Si Bayangan Hitam hendak memasuki gedung tempat Ji-taijin pada malam hari. Bukankah hal itu sudah cocok sekali" Tentu dia akan melaksanakan rencana itu!"


Tin Han mengerutkan alisnya dan menggosok-gosok dahinya. "Cin-moi, di antara keluarga Cia, orang yang paling tinggi kepandaiannya adalah Nenek Cia dan Kakak Tin Siong. Engkau sudah pernah bertanding dengan keduanya dan engkau pernah pula bertanding dengan Si Kedok Hitam. 


Nah, siapa di antara kakak dan nenekku itu yang kepandaiannya setingkat dan mirip dengan kepandaian Si Kedok Hitam?"

"Tidak satu pun di antara keduanya. Aku percaya bahwa Si Kedok Hitam bukan nenekmu dan bukan pula kakakmu. Akan tetapi lalu siapakah?"


"Ha-ha-ha, jangan-jangan engkau menyangka aku orangnya! Tidak lucu kalau begitu, Cin-moi, kalau engkau sudah menghilangkan permusuhanmu dengan Si Kedok Hitam, kenapa engkau masih saja bertanya-tanya siapa dia" Jelas dia tidak ingin kau kenal, kenapa engkau masih penasaran?"

Wajah Lee Cin berubah merah. "Aku hanya ingin tahu, Han-ko. Aku ingin sekali mengenal orang yang telah menolongku. Akan tetapi sudahlah kalau engkau tidak tahu. Benar pula katamu. 


Dia tidak ingin kukenal, mengapa aku mendesaknya?" Gadis itu menghela napas panjang, lalu berkata kepada Tin Han, suaranya menjadi riang kembali, "Nah, sekarang selamat tinggal, Han-ko. Terima kasih atas segala kebaikanmu padaku."

"Selamat jalan, Cin-moi. Baik-baiklah engkau menjaga dirimu dan kalau engkau kebetulan lewat di daerah ini, jangan lupa untuk singgah di rumah kami."


"Tentu saja, Han-ko. Selamat berpisah." Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan pemuda itu cepat-cepat. Agaknya kalau ia dekat dengan pemuda itu, tidak akan habis-habisnya percakapan di antara mereka. 


Pemuda itu amat ramah dan merupakan seorang kawan bercakap yang menyenangkan sekali. Ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa ia lebih tertarik kepada Tin Han daripada kepada Tin Siong. 

Berdekatan dengan Tin Han mendatangkan rasa gembira dan tenteram, sebaliknya kalau ia teringat akan ancaman Tin Siong kepada Tin Han agar tidak mendekatinya, membuat ia merasa tidak suka kepada Tin Siong yang tampan, lembut dan lihai itu. 

Akan tetapi ia pun sadar bahwa ia tidak akan dapat serasi dengan Tin Han. Ia seorang pesilat yang kasar, sedangkan Tin Han seorang terpelajar yang demikian lembut, sopan dan gembira walaupun kadang nampak ugal-ugalan. 

Bahkan kalau Tin Han bersikap akrab dan agak mesra, ia tidak akan tersinggung karena pemuda itu melakukannya dengan sewajarnya, tidak dibuat-buat untuk menarik hatinya, juga ia melihat keberanian yang luar biasa pada diri Tin Han yang tak pandai silat itu.

Souw Hwe Li memandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar-sinar menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi, Siangkoan Tek, pemuda itu, hanya tersenyum saja.

"Sekali lagi kumohon dengan sangat, marilah kita pergi ke Poa-ting dan kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku, Tek-ko," kata Hwe Li dengan suara memohon.


"Dan sekali lagi kukatakan kepadamu bahwa sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk berkenalan dengan ayahmu. Bersabarlah dulu, Li-moi. Kelak kalau saatnya sudah tiba tentu aku akan datang menghadap ayah ibumu."


"Sampai kapan lagi, Tek-ko?" tanya Hwe Li penasaran. "Selama hampir setahun aku ikut denganmu, menuruti segala keinginanmu. Sudah semestinya kalau sekarang engkau ikut aku menghadap orang tuaku dan mengajukan pinangan secara resmi."


"Tunggu, kataku! Sekarang aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!"

"Akan tetapi kita telah berjodoh, Tek-ko! Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun belum resmi" Aku telah menyerahkan segalanya kepadamu, dan sampai sekarang, hampir setahun aku melayani semua kehendakmu, dan belum pernah engkau memperkenalkan aku kepada orang tuamu dan engkau selalu menolak kalau kuajak menghadap orang tuaku. 


Sebetulnya, apa sih kehendakmu atas diriku, Tek-ko?"
Siangkoan Tek mengerutkan alisnya. Memang tidak ada sedikitpun juga keinginannya untuk memperisteri Hwe Li. Ia hanya ingin mendapatkan Hwe Li, bersenang-senang dengannya tanpa harus menikahinya. 


Kalau dia hendak menikah tentu dia akan memilih seorang wanita yang benar-benar pantas untuk menjadi isterinya, yang selain cantik tentu juga yang memiliki ilmu silat tinggi dan seorang wanita yang tidak begitu mudah menyerahkan kehormatannya seperti yang dilakukan Hwe Li. Dia tidak mau mempunyai seorang isteri gadis murahan.

"Apa kehendakku, Li-moi" Engkau sudah tahu akan kehendakku dan kehendakmu. Kita saling mencinta, bukan" Aku tidak pernah memaksamu untuk ikut dengan aku. 


Engkau menyerahkan diri dengan sukarela. Mengapa sekarang banyak menuntut" Kalau engkau sudah bosan denganku dan hendak pulang ke Pao-ting, pulanglah, aku tidak akan menahanmu."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan muka yang cantik itu menjadi pucat. "Apa..... apa maksudmu.....?"


"Maksudku sudah jelas. Selama ini, kita saling mencinta dan saling memberi kenikmatan, engkau mau apa lagi" Hubungan antara kita adalah hubungan yang sukarela, tidak ada yang dipaksa atau memaksa. 


Karena itu, kalau seorang di antara kita menghendaki perpisahan, ia boleh melakukan sesuka hatinya. Kalau engkau sudah tidak suka lagi padaku, pergilah tinggalkan aku."

"Siangkoan Tek, omongan apa yang kau keluarkan ini" Selama setahun aku menyerahkan diri dengan segala kerelaan kepadamu, dan sekarang, setelah engkau puas mempermainkan aku, engkau hendak mengusir aku" 

Jadi engkau tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau mengawini aku?"

"Aku tidak pernah bicara tentang perkawinan, tidak pernah menjanjikan apa-apa padamu. Ingat ini! Dan sekarang diamlah, jangan ribut. Engkau tinggal pilih satu antara dua. Kita tetap berkumpul seperti ini, atau kita menghambil jalan masing-masing.

Kalau engkau masih ribut, aku bisa kehilangan kesabaran dan engkau akan kupukul!"

Bukan main terkejut dan marahnya hati Hwe Li. Ia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Selama hampir setahun ini ia telah melayani segala keinginan Siangkoan Tek, sebagai seorang kekasih, bahkan sebagai seorang isteri, dengan penuh cinta kasih. 


Sekarang, setelah hampir setahun ia dipermainkan, bagaikan setangkai bunga yang dihisap madunya oleh seekor lebah, tiba-tiba akan ditinggalkan begitu saja melayu oleh lebah yang sudah kekenyangan madu! Ia meninggalkan ayah ibunya, keluarganya untuk mengikuti pria ini dan sekarang ia hendak dicampakkan begitu saja.

"Siangkoan Tek, keparat kau!!" teriaknya dan ia pun melompat ke depan sambil menusukkan pedangnya yang ia cabut dari pinggangnya. 


Akan tetapi, sekali tangkis pedang itu terlepas dari pegangan Hwe Li dan di lain saat Hwe Li sudah terjatuh ke dalam pelukannya tanpa dapat meronta lagi!

Setelah dibelai dan dicumbu Siangkoan Tek, Hwe Li tidak berkutik lagi! Telah beberapa kali ia membujuk kekasihnya untuk pergi menghadap orang tuanya, akan tetapi selalu berakhir dengan kekalahannya, berakhir di dalam dekapan pemuda itu dan telah menjadi lemah lunglai semua syaraf dan semangatnya.


Akan tetapi mulai mengertilah ia betapa dirinya telah terjatuh ke dalam cengkeraman pemuda yang berhati iblis. Ia sama sekali tidak berdaya dan ia maklum bahwa pemuda itu tidak pernah mau berjodoh dengannya. Hal ini mulai ia rasakan dan hatinya menjadi panik dan gelisah. 

Bagaimana kalau tiba-tiba Siangkoan Tek meninggalkannya begitu saja" Ke mana ia harus mencarinya, dan andaikata ia dapat mencarinya, apa yang dapat ia lakukan" Ia telah menyerahkan diri dan ia sama sekali tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menikahinya. 

Ia hanya dijadikan benda permainan dan pemuas nafsu belaka. Teringat akan semua ini, barulah Hwe Li sadar akan semua kesalahannya. Barulah ia menyesal, akan tetapi penyesalannya tidak akan menolongnya. 

Sedikit demi sedikit rasa sakit hati memenuhi hatinya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" 

Kepandaiannya kalah jauh sehingga ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk memaksa pemuda itu menikahinya. Beberapa kali timbul niat di hatinya untuk membunuh Siangkoan Tek. 

Akan tetapi, niat itu selalu gagal. Pertama, ia memang telah tergila-gila kepada pemuda itu dan ke dua, apa keuntungannya kalau ia membunuhnya" Ia telah ternoda dan jalan satu-satunya baginya hanyalah bahwa ia harus menikah dengan Siangkoan Tek. 

Akan tetapi Siangkoan Tek selalu mengingkarinya dan ia juga selalu tunduk kepada pemuda itu. Sikap dan tindakan pemuda itu membuatnya selalu merasa lemah, walaupun kalau diingat amat menyakitkan hatinya.

Hati Hwe Li sakit dan menyesal sekali. Agaknya sudah tidak ada pilihan lain baginya kecuali menuruti semua kehendak Siangkoan Tek. Kalau ia meninggalkan pemuda itu, ke mana ia hendak pergi" Pulang ke rumah orang tuanya seorang diri dengan membawa noda. 


Ia merasa malu sekali. Terpaksa ia harus menuruti segala kehendak pemuda itu kepada siapa ia kini menumpangkan dirinya. Ia hanya dapat menangis. Akan tetapi ia tahan sedu-sedannya dan hanya air matanya yang mengalir turun di sepanjang kedua pipinya. 

Ia bangkit duduk dan memandang wajah Siangkoan Tek yang tertidur pulas di sampingnya. Wajah yang tampan dan gagah, namun wataknya tidak setampan wajahnya.

Kalau ia mengamati wajah itu, hatinya luluh dan harus ia akui bahwa ia amat mencinta Siangkoan Tek. 


Akan tetapi kalau mengingat betapa ia dipermainkan, dijadikan pemuas nafsu tanpa pemuda itu mau bertanggung jawab, hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang beracun. Ingin sekali ia tusuk dada Siangkoan Tek untuk membalas sakit hatinya. 

Tangannya sudah dijulurkan ke atas meja dekat pembaringan di mana pedangnya berada. 

Pada saat itu, ingin ia membunuh Siangkoan Tek lalu nekat pulang ke Pao-ting. Kota itu tidak begitu jauh dari rumah tinggal sementara mereka. 

Siangkoan Tek membeli pondok itu dan sudah selama dua bulan mereka tinggal di pondok sunyi di lereng bukit itu. Ia tahu bahwa kota Pao-ting tidak jauh lagi, hanya perjalanan sehari saja dari situ.

Tangannya sudah dijulurkan, akan tetapi jari-jari tangannya gemetar, menggigil karena perasaannya yang tegang dan serba salah. 


Rasa cinta dan benci membuatnya bingung, ditambah rasa takut karena pemuda itu lihai bukan main. Ia tidak dapat menentukan apakah pemuda itu pulas ataukah masih sadar.
Suara angin di luar rumah berdesir seolah berbisik-bisik agar ia cepat melaksanakan kehendaknya. Rumah itu sunyi sekali, jauh dari tetangga, bahkan di siang hari itu suasana amat sunyi. 

Hwe Li masih menjulurkan tangannya tanpa menyentuh gagang pedangnya. Tidak, ia menarik kembali tangannya. Ia tidak tega membunuh pria yang sesungguhnya telah membuat tergila-gila ini, akan tetapi yang sekaligus membuat hatinya tersiksa. Saking jengkelnya terhadap diri sendiri, ia lalu memukuli kepala Siangkoan Tek dengan kedua tangannya!

Siangkoan Tek terkejut dan terbangun dari tidurnya. Melihat Hwe Li sambil menangis memukuli kepalanya, dia melompat dan cepat menangkap kedua pergelangan tangan Hwe Li sambil membentak, "Apa engkau sudah gila?"


"Engkau laki-laki jahanam, berhati palsu Hwe Li meronta-ronta dan memaki-maki seperti gila. Siangkoan Tek lalu melepaskan tangan kanannya, menyambar rambut Hwe Li dan menyeret gadis itu keluar dari pondok. 


Dengan menjambak rambut yang panjang itu, dia setengah mengangkat setengah menyeret tubuh gadis itu sampai agak jauh dari pintu pondok, lalu dihempaskan tubuh itu ke atas tanah.

"Huh, engkau seperti seekor kelenci dan aku seekor garuda! Apa yang dapat kau lakukan padaku" Akan tetapi, garuda ini sudah kekenyangan, maka engkau boleh pergi ke mana pun engkau suka. 


Pergi, tinggalkan aku! Aku sudah muak padamu!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Tek dengan marah membalikkan tubuhnya hendak kembali ke pondok.
Hwe Li bangkit merangkak lalu mengejar, terhuyung-huyung. "Tek-ko, jangan tinggalkan aku......! Aku tidak dapat hidup tanpa engkau......!" 

Ia dapat menyusul Siangkoan Tek lalu memegang tangan pemuda itu. Siangkoan Tek membalik lalu mendorong tubuh Hwe Li sehingga terjengkang dan roboh kembali.
"Tek-ko......!" Hwe Li kembali merangkak dan mengejar.
Siangkoan Tek menggerakkan kakinya menendang. 


"Desss......!" Bagaikan sebuah bola tubuh Hwe Li kembali terguling-guling.

"Tek-ko, bunuhlah aku...... akan tetapi jangan usir aku......" Hwe Li bangkit, menghapus darah dari tepi bibirnya dan menangis.


Sepasang mata yang tajam berapi seperti mata seekor rajawali melihat semua peristiwa di luar pondok itu. Ketika memperhatikan wajah Hwe Li, mata itu terbelalak dan mengeluarkan sinar kilat.


"Hwe Li?"!" bisiknya.
Pemilik mata yang tajam berapi itu adalah seorang gadis cantik yang berpakaian sederhana. Dan ia bukan lain adalah Lui Ceng atau Ceng Ceng! 


Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng pernah tertawan oleh Ouw Kwan Lok yang tertarik kepadanya dan hendak memaksa gadis itu menjadi kekasihnya. 

Dalam keadaan yang gawat terancam itu, muncul Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk besar dari barat itu yang menolongnya dan berhasil mengusir Ouw Kwan Lok. 

Dan semenjak saat itu, Ceng Ceng menjadi murid Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk yang berusia lima puluh dua tahun itu, 

Biarpun baru digembleng selama setahun, akan tetapi karena Ceng Ceng sudah memiliki dasar gemblengan pamannya, Souw Can, dan karena gadis itu berbakat baik dan bersemangat besar tekun berlatih, maka dalam waktu sependek itu ia telah memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama mengenai sin-kang yang amat kuat dan gin-kang yang membuat ia mampu bergerak cepat. 

Ia masih merantau bersama gurunya ketika pada hari itu secara kebetulan ia tiba di bukit itu dalam perjalanannya menuju ke Pao-ting untuk menjenguk keadaan pamannya. 

Ketika mendengar suara ribut-ribut di dalam pondok, ia tertarik dan cepat mendekati lalu bersembunyi di balik semak-semak. 

Ketika Siangkoan Tek menjambak rambut Hwe Li dan menyeretnya keluar, ia melihatnya dan pandang matanya tak pernah melepaskan kedua orang itu sehingga ia melihat apa yang dilakukan Siangkoati Tek kepada gadis itu. 

Akan tetapi baru setelah ia mengamati wajah gadis itu dan mengenalnya sebagai Hwe Li, ia terkejut sekali dan cepat ia meloncat dari tempat sembunyi-nya dan membentak nyaring,

"Keparat busuk, berani engkau menghina saudaraku Hwe Li?" sambil membentak Ceng Ceng menggerakkan kebutannya, senjata yang dipelajarinya dari Thian Tok. 


Kebutan berbulu merah ini menyambar dengan dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah kepala Siangkoan Tek.

"Suiiit?"!" Siangkoan Tek terkejut juga melihat serangan yang dahsyat itu. 

Dia cepat melompat ke belakang untuk melihat dengan jelas siapa orangnya yang menyerangnya. 

Dia melihat seorang gadis yang berwajah manis sekali, memegang sebatang kebutan dan memandang dengan mata yang tajam bersinar. Dia tersenyum dan segera berkata dengan suara lembut,

"Wahai nona manis, mengapa engkau menyerangku tanpa sebab" Rasanya aku belum pernah mendapatkan kebahagiaan untuk berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona manis, dan mengapa engkau menyerangku?"


Hwe Li yang terkejut melihat munculnya Ceng Ceng merasa khawatir akan keselamatan saudara misannya itu, maka cepat berseru, "Ceng Ceng, jangan hiraukan dia Cepat engkau pergi dari sini!"


Ceng Ceng tidak merasa heran mendengar ucapan itu. Ia sudah terbiasa diperintah dan dibentak-bentak saudara misannya. 


Akan tetapi sekali ini ia melihat sendiri betapa Hwe Li dijambak, dihina, dipukul dan ditendang. Bagaimana mungkin ia dapat tinggal diam saja"

"Aha, namamu Ceng Ceng, Nona" Nama yang indah, seindah orangnya!" kata Siangkoan Tek merayu.


"Hwe Li, jangan khawatir, aku akan membantumu bebas dari manusia keparat ini!" Ceng Ceng sudah membentak dan kembali ia menyerang dengan kebutannya.


Siangkoan Tek terpaksa cepat mengelak dan harus ia akui bahwa gadis bernama Ceng Ceng ini memiliki gerakan yang sangat cepat dan dari suara angin sambaran kebutan itu dia pun dapat menilai bahwa gadis itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat.


Ceng Ceng menyerang terus bertubi-tubi akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan oleh Siangkoan Tek. Pemuda ini maklum bahwa gadis ini harus dapat ditundukkan, karena ilmunya lebih tinggi daripada tingkat Hwe Li. 


Akan tetapi dia pun mengalami kesulitan untuk dapat menundukkan Ceng Ceng dengan cepat. Kebutan itu lihai bukan main.

Dengan gerakan cepat sekali, tangan kanan Siangkoan Tek berhasil menangkap ujung kebutan. Selagi dia hendak menariknya untuk merampas kebutan itu, tiba-tiba Ceng Ceng menotokkan gagang kebutan ke arah pergelangan tangannya.


"Hyaaat......!" Kebutan yang ujung bulunya sudah ditangkap tangan kanan Siangkoan Tek itu, tiba-tiba meluncur dengan cepat menotok pergelangan tangan pemuda itu. Tentu saja Siangkoan Tek menjadi terkejut sekali.


"Ehhh?"!!" Terpaksa dia melepaskan pegangannya dan memutar lengannya untuk menangkis totokan gagang kebutan itu.


"Dukk......!" Pertemuan lengan dengan gagang kebutan membuat Siangkoan Tek terhuyung dan tangannya tergetar, sebaliknya Ceng Ceng juga terdorong ke belakang. Maklumlah keduanya bahwa lawan memiliki tenaga sin-kang yang kuat.


Ilmu kepandaian Ceng Ceng memang sudah maju pesat sekali selama satu tahun ini, namun dibandingkan dengan Siangkoan Tek, ia masih kalah. Apalagi ketika Siangkoan Tek yang mengetahui akan kelihaian kebutan itu kini mencabut pedangnya. 


Terjadilah pertandingan yang hebat sekali namun setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah Ceng Ceng terdesak hebat. Pedang Siangkoan Tek berubah menjadi sinar yang menyilaukan mata, bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. 

Ceng Ceng mencoba untuk mengimbanginya dengan gerakan kebutannya yang menjadi gulungan sinar merah. Akan tetapi perlahan-lahan sinar nnerah itu menjadi semakin kecil dan gerakannya hanya untuk melindungi diri saja.

"Nona manis, menyerahlah sebelum pedangku melukaimu! Sayang kalau kulitmu yang halus itu sampai tergores pedangku!" Siangkoan Tek mengejek sambil merayu.


"Ceng Ceng, larilah!" kata lagi Hwe Li dan dengan nekat ia menubruk ke arah Siangkoan Tek. Pemuda itu menyambutnya dengan sebuah tendangan yang membuat Hwe Li terjengkang dan terbanting ke atas tanah. 


Maklum bahwa ia tidak akan menang, Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Ia harus mencari bala-bantuan kalau ingin berhasil menolong Hwe Li.

Gurunya berada di puncak bukit itu menunggunya. Ia berpamit dari gurunya untuk berkunjung ke Pao-ting sebentar dan gurunya akan menunggu sampai tiga hari di sana. 


Tempat gurunya itu tidak berapa jauh dari lereng itu, akan tetapi watak gurunya amat aneh. Belum tentu gurunya mau membantu untuk menolong gadis yang sama sekali tidak dikenalnya. 

Kalau gurunya menolak, siapa pun tidak dapat memaksanya. Maka sebaiknya kalau ia minta bantuan ke Pao-ting saja. Dengan pikiran ini, Ceng Ceng lalu berlari cepat menuju ke kota Pao-ting. 

Demikian cepat ia berlari sehingga menjelang sore ia sudah tiba di pekarangan rumah pamannya, yaitu Souw Can Ketua Kim-liong-pang.

Beberapa orang anggauta Kim-liong-pang yang berada di pekarangan itu menyambut kedatangan Ceng Ceng dengan gembira. Mereka semua sudah mendengar bahwa Nona Liu Ceng telah menjadi murid seorang datuk besar, maka kini kedatangan Ceng Ceng setelah setahun mereka meninggalkan rumah pamannya, disambut dengan gembira.


"Nona Liu datang!" teriak mereka dan segera berita ini sampai ke dalam rumah induk.


Dari dalam muncul Souw Can dan isterinya, juga Lai Siong Ek. Mereka bertiga muncul dan dapat dilihat betapa wajah ketiganya murung. Tentu ini ada hubungannya dengan keadaan Hwe Li.


"Paman dan Bibi!" Ceng Ceng berseru lirih sambil memandang wajah mereka.


"Ceng Ceng engkau baru kembali?" tanya pula Lai Siong Ek sarnbil memandang gadis itu dengan sinar mata kagum. Dalam pandangannya, sikap gadis itu berubah, tidak lagi merendahkan diri seperti dulu, melainkan ada sikap tegak dan anggun seperti penuh kepercayaan kepada diri sendiri.


"Ceng Ceng, tahukah engkau bahwa Hwe Li !" kata Nyonya Souw sambil menangis.


Ceng Ceng merangkul tubuh bibinya dan berkata menghibur, "Aku sudah tahu, mari kita bicara di dalam, Paman." Ia menuntun bibinya memasuki rumah itu, diikuti oleh Souw Can dan Lai Siong Ek.


Setelah mereka tiba di ruangan dalam, Souw Can bertanya, "Ceng Ceng, engkau sudah tahu akan keadaan Hwe Li" Di manakah ia sekarang?"


"Aku justeru datang untuk bicara tentang Hwe Li. Aku hendak minta bantuan Paman untuk merampas kembali Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu."


"Merampas Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu" Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li" Cepat ceritakan!" teriak Lai Siong Ek dengan gelisah.


"Ceritakan, Ceng Ceng. Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li dan di mana ia sekarang?"


"Tidak begitu jauh dari sini, Paman. Harap persiapkan bala bantuan karena Hwe Li berada di tangan seorang pemuda yang sangat lihai. 


Aku telah mencoba untuk membebaskan Hwe Li, akan tetapi aku tidak dapat menandingi pemuda itu?"

"Pemuda yang menculiknya itu" Di mana dia dan Hwe Li" Biar aku menyiapkan pasukan!" kata Lai Siong Ek.


"Tenanglah, Siong Ek. Engkau pergilah cepat untuk mempersiapkan pasukan, lalu bawa ke sini agar kita dapat mengikuti Ceng Ceng yang akan menunjukkan tempatnya," kata Souw Can dengan tenang walaupun hatinya juga gelisah dan tegang. 


Sudah hampir setahun Hwe Li lenyap diculik orang dan tidak pernah ada kabar berita darinya. Sekarang, tiba-tiba muncul Ceng Ceng yang tahu di mana puterinya itu berada, tentu saja dia menjadi tegang dan gelisah.

Siong Ek cepat keluar, melapor kepada ayahnya dan minta disediakan pasukan seratus orang. 


Dulu ketika membawa pasukan dan mengejar pemuda yang menculik Hwe Li, pemuda itu dapat membebaskan diri dari kepungan sambil melarikan gadis itu dan sejak itu, tidak ada lagi beritanya tentang Hwe Li walaupun ayahnya sudah mengirim banyak anak buah pasukan untuk mencari.

Selagi Siong Ek keluar dan mereka menanti datangnya pasukan, Souw Can minta kepada Ceng Ceng untuk menceritakan tentang Hwe Li. Ceng Ceng tidak tega untuk menceritakan seluruhnya, betapa Hwe Li disiksa oleh pemuda liha itu. 


Ia hanya menceritakan bahwa ia melihat Hwe Li dikeram dalam sebuah pondokan di lereng bukit oleh seorang pemuda yang amat lihai.
"Karena aku tidak mampu menandinginya, maka terpaksa aku melarikan diri ke sini untuk minta bala bantuan," demikian Ceng Ceng menutup ceritanya.

Tak lama kemudian, Lai Siong Ek muncul kembali membawa seratus orang perajurit berkuda, dipimpin oleh seorang perwira tinggi. Setelah membuat persiapan, berangkatlah seratus orang perajurit itu dipimpin oleh Sang Perwira, Souw Can, Lai Siong Ek, dan Ceng Ceng sendiri. 


Mereka semua menunggang kuda dan sore hari itu juga mereka melakukan perjalanan menuju ke bukit di mana Hwe Li dikeram oleh Siangkoan Tek.
Menjelang pagi, rombongan tiba di kaki bukit itu dan Ceng Ceng memberi keterangan agar pasukan dibagi empat dan mereka menghampiri pondok di lereng itu dari empat jurusan. 

Setelah tiba dekat pondok, para perajurit itu ber-sembunyi dan menanti perintah selanjut-nya. Kuda mereka ditinggalkan di kaki bukit dan dijaga selosin orang perajurit.
Ceng Ceng yang tidak ingin pemuda yang menawan Hwe Li itu dapat meloloskan diri, menanti sampai terang tanah, barulah ia memberi isyarat kepada Souw Can untuk mengikutinya. 

Lai Siong Ek juga mengikuti untuk membantu dan per-wira memimpin pasukan yang sudah siap.

Setelah cuaca terang benar dan tidak ada suara atau gerakan apa pun di dalam pondok itu, Ceng Ceng berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suara-nya terdengar melengking tinggi dan terdengar sampai jauh.


"Penculik keparat! Menyerahlah, pondokmu telah dikepung ketat dan engkau tidak dapat meloloskan diri!"

Terdengar gerakan di dalam pondok dan ini dapat didengar karena semua pengepung berdiam diri dan memperhatikan suara dari pondok yang mereka kepung. 

Terdengar jerit lirih dan tak lama kemudian pintu pondok terbuka lebar dan muncullah Hwe Li yang sebelah tangannya dipegang oleh Siangkoan Tek dan dengan tangan yang lain pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu. 

Dia sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum dan berkata lantang,

"Kalian buka jalan untuk aku keluar dari kepungan, atau Nona Souw Hwe Li ini akan kubunuh di depan kalian sebelum aku mengamuk dan membunuh kalian semua!"


Melihat wajah puterinya yang pucat dan rambut serta pakaiannya yang awut-awutan hati Souw Can seperti diremas. Dia lalu berteriak lantang, 


"Orang muda, siapakah engkat. Di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau menculik anak kami?"

Siangkoan Tek hanya menyeringai dan mengulangi permintaannya,
"Hayo, buka kepungan kalau tidak ingin melihat gadis ini kusembelih di depan kalian!"


Mendengar ini dan melihat sikap pemuda yang tersenyum mengerikan itu, Souw Can minta kepada perwira komandan pasukan untuk membuka kepungan.


"Kami membuka kepungan, akan tetapi engkau harus melepaskan Hwe Li!"


Siangkoan Tek mendorong Hwe Li sampai tiba di tempat di mana kepungan itu terbuka, dan dia lalu berkata, "Hwe Li, engkau boleh pergi sekarang, aku sudah bosan denganmu!" Dan dia mendorong Hwe Li sehingga gadis itu terpelanting. Siangkoan Tek lalu melompat jauh dan melarikan diri.


"Kejar! Kejar jahanam itu!" teriak Ceng Ceng dan ia sendiri ikut mengejar bersama para perajurit. Akan tetapi Siangkoan Tek telah menghilang ke dalam hutan di lereng bukit.


Souw Can lari menghampiri puterinya. Dia membantu puterinya bangkit sambil memeluknya.


"Hwe Li......!" "Ayah". Ayah......!" Hwe Li merangkul ayahnya dan menangis tersedu-sedu. Demikian sedih hatinya, demikian hancur perasaannya sehingga ia menangis mengguguk kemudian pingsan dalam rangkulan ayahnya.


Souw Can memondong tubuh puterinya dan membawa masuk ke dalam pondok yang sudah ditinggalkan pemiliknya itu. 


Dia merebahkan tubuh puterinya di atas pembaringan dan dia sendiri duduk di tepi pembaringan, menunggu puterinya siuman dari pingsannya. 

Dia tahu bahwa Hwe Li pingsan karena kedukaan, maka dia mendiamkannya saja karena tangis dan pingsan merupakan pencurahan dan kesedihan yang mendalam.
Akhirnya, setelah lama Souw Can menunggui puterinya yang kelihatan kurus dan agak pucat itu, Hwe Li siuman dari pingsannya. Bagaikan baru bangun tidur ia mengeluh, "Jangan tinggalkan aku......!" 

Ayahnya lalu memegang kedua pundaknya dan mengguncangnya perlahan.

"Hwe Li, ingat, ini ayahmu."
Hwe Li membuka matanya dan ketika ia melihat ayahnya, ia lalu bangkit duduk. "Ayah".. Ayah"..!" Ia menangis lagi, mengguguk.


"Hwe Li, tenanglah, diamlah jangan menangis. Semua itu telah lewat dan engkau telah kembali kepadaku."


Akan tetapi Hwe Li teringat betapa dirinya sudah ternoda, selama setahun ia telah menjadi benda permainan dan pemuas nafsu Siangkoan Tek. Hal itu dianggapnya bukan siksaan kalau saja Siangkoan Tek mau mengawininya karena ia pun tergila-gila kepada pemuda itu. 


Akan tetapi kenyataannya, Siangkoan Tek membuangnya sebagai barang bekas yang tidak dibutuhkannya lagi! Teringat demikian, ia merasa tidak berharga lagi untuk kembali menjadi puteri ayahnya. 

Melihat pedangnya menggeletak di atas meja, ia cepat meloncat dan menyambar pedangnya.

"Hwe Li, jangan?"!" Souw Can berteriak nyaring sarnbil berusaha merebut pedang itu dari tangan puterinya. 


Pada saat itu, Lai Siang Ek dan Ceng Ceng memasuki pondok dan melihat Hwe Li sudah mengayun pedang untuk menyerang lehernya sendiri, Ceng Ceng meloncat bagaikan burung terbang dan sekali sambar ia telah berhasil merampas pedang dari tangan Hwe Li.

Melihat ulah Hwe Li yang hendak membunuh diri, Lai Siong Ek lupa keadaan saking haru dan sedihnya. Dia langsung merangkul Hwe Li dan berkata, "Sumoi, jangan engkau membunuh diri".. aku".. aku cinta padamu, Sumoi."


Hwe Li dengan mata sayu memandang wajah suhengnya. Sejak dahulu ia tahu bahwa suhengnya ini amat mencintanya, akan tetapi selama itu tidak ditanggapi. 


"Suheng, aku bukan sumoimu yang dulu lagi".. aku".. aku telah ternoda".. aku tidak berharga untukmu dan tidak berharga menjadi puteri Ayah......" 

Gadis itu menangis lagi.
"Tidak peduli, Sumoi. Engkau tetap Sumoi Souw Hwe Li untukku dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Betapa selama setahun ini hatiku tersiksa dan sekarang setelah kami dapat menemukan engkau, jangan..... jangan putus asa seperti itu, Sumoi."


Hwe Li merasa betapa tulus cinta kasih dari suhengnya itu. Biarpun sudah mendengar pengakuan bahwa ia telah ternoda, tetap saja suhengnya ingin memperisterinya!


"Suheng......!" Ia menangis dalam rangkulan Lai Siong Ek yang merasa bahagia bagaikan menemukan kembali sebuah mustika yang hilang.

Setelah tangis puterinya reda dan agaknya Hwe Li sudah tenang kembali, Souw Can bertanya kepada puterinya, "Sebetulnya siapakah jahanam itu?"

"Dia bernama Siangkoan Tek, dia adalah putera dari datuk besar Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga yang berjuluk Tung-hai-ong, datuk besar timur," kata Hwe Li lirih.


"Ah, pantas dia lihai sekali!" kata Ceng Ceng. "Akan tetapi aku akan tekun memperdalam ilmu silatku dan kelak kalau bertemu dengannya aku pasti akan membalas sakit hatimu, Hwe Li."

"Terima kasih, engkau telah berbuat banyak untukku, Ceng Ceng," kata Hwe Li dan baru ia menyadari betapa dulu, ia dan Siong Ek telah terlalu memandang rendah kepada gadis itu. 

Ternyata sekarang, yang menyelamatkannya adalah Ceng Ceng. Kalau tidak ada gadis itu, tentu sekarang ia masih menjadi tawanan Siangkoan Tek dan diperlakukan sebagai budak belian!

Setelah Hwe Li tenang kembali, mereka lalu pergi dikawal pasukan kembali ke Pao-ting, di mana Hwe Li disambut dengan rangkulan dan tangisan ibunya. Juga Ceng Ceng diterima dengan baik, apalagi kalau keluarga itu mengingat akan jasanya yang amat besar.


Akan tetapi Ceng Ceng hanya tinggal semalam di rumah pamannya.
"Suhu menanti di puncak bukit, aku harus cepat ke sana seperti yang kujanjikan," kata Ceng Ceng ketika keluarga itu hendak menahannya.

"Ah, mengapa engkau tidak mengajak suhumu datang ke sini, Ceng Ceng" Kami ingin sekali bertemu dan memberi hormat kepadanya," kata Souw Can.

"Suhu berwatak aneh, Paman. Dia tidak ingin bertemu dan berkenalan dengan siapa pun. Nah, Paman dan Bibi, aku mohon diri sekarang, Hwe Li dan Lai-suheng, selamat tinggal."

Hwe Li merangkul Ceng Ceng dan berbisik, "Maafkanlah sikapku yang dahulu amat buruk kepadamu, Ceng Ceng."

Ceng Ceng balas merangkul dan mencium pipi saudara misannya. "Aku sudah melupakan segala masa laluku, Hwe Li. Kuharap engkau juga sudah melupakan semua masa lalumu dan hidup baru dengan penuh kebahagiaan."


Kemudian Ceng Ceng meninggalkan pamannya, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke bukit di mana Thian-tok Gu Kiat Seng menunggunya selama tiga hari. 


Setelah bertemu gurunya, ia menceritakan semua pengalaman yang telah dialaminya dan betapa ia masih kalah dalam menandingi Siangkoan Tek, putera datuk besar Siangkoan Bhok yang berjuluk Tung-hai-ong.

Thian-tok tersenyum. "Tingkat kepandaian Siangkoang Bhok seimbang dengan tingkatku, maka aku disebut Datuk Barat dan dia disebut Datuk Timur. Karena engkau baru setahun menjadi muridku, tentu saja tingkatmu masih kalah dibandingkan tingkat puteranya. 


Akan tetapi kalau engkau tekun berlatih, aku akan menurunkan ilmu-ilmu simpananku kepadamu dan kalau engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya tidak akan mudah putera Siangkoan Bhok itu mengalahkanmu."

Ceng Ceng menjadi gembira dan ia lalu melanjutkan perantauannya bersama gurunya sampai mereka menemukan sebuah bukit yang cocok untuk mereka jadikan sebagai tempat tinggal sementara.


Panglima Song Thian Lee segera menghadap Kaisar Kian Liong ketika Kaisar mengundangnya untuk menghadap ke istana. 

Setelah tiba di ruangan sidang di istana itu, dia melihat bahwa dua orang panglima lain, yaitu Panglima Tua Bouw Kin Sek dan wakilnya yang bernama Coa Kun telah hadir pula menghadap Kaisar. 

Kiranya bukan hanya dia seorang yang diundang, akan tetapi dua orang panglima besar lainnya sehingga mudah diduga bahwa Kaisar tentu akan membicarakan soal keamanan. 

Panglima Tua Bouw Kin Sek adalah seorang Mancu, akan tetapi seperti juga Kaisar Kian Liong, dia telah menyesuaikan diri dengan kehidupan rakyat dijajahnya sehingga sampai ke dalam keluarganya di rumah mereka hidup seperti keluarga bangsawan bangsa Han saja. 

Panglima Tua Bouw Kin Sek selain pandai mengatur pasukan dan cerdik dalam siasat perang, juga dia lihai dalam ilmu silat bercampur ilmu gulat bangsa Mancu. 

Tenaganya besar sekali dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun, namun sukar dicari orang yang mampu menandinginya. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya penuh brewok membuat penampilannya penuh wibawa dan membuat lawan-lawannya menjadi gentar. 

Wakilnya, Panglima Coa Kun adalah seorang peranakan Han Mancu yang berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya agak kepucatan. Biarpun penampilannya tidak mengesankan, namun sesungguhnya Panglima Coa Kun ini seorang yang amat cerdik. 

Siasatnya dalam perang banyak yang berhasil sehingga Kaisar Kian Liong menghargainya dan mengangkatnya menjadi wakil dari Panglima Bouw Kin Sek. 

Juga Panglima Coa Kun ini lihai ilmu silatnya, biarpun tidak selihai tingkat Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi dia terkenal sebagai seorang yang memiliki lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat sekali.
Setelah memberi hormat kepada Kaisar Kian Liong dan dipersilakan duduk, Panglima Song Thian Lee yang masih amat muda, baru berusia dua puluh tiga tahun, mengambil tempat duduk di sebelah kiri Panglima Bouw Kin Sek. 

Dia adalah panglima muda yang kedudukannya sebagai panglima besar, walaupun jauh lebih muda dari Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi kedudukannya lebih tinggi.

"Bagus, engkau sudah datang, Song-ciangkun." kata Kaisar Kian Liong sambil memandang kepada panglimanya ini dengan sinar mata gembira.


"Hamba siap siaga untuk melaksanakan segala perintah Paduka," kata Song Thian Lee dengan sikap hormat.






"Kami mengundangmu untuk mengajak bicara tentang pergolakan yang terdapat di daerah pantai timur. Kami mendapat keterangan dari Bouw-ciangkun bahwa keadaan di sana sudah gawat dan sewaktu-waktu dapat timbul pemberontakan besar. 

Biarlah Bouw-ciangkun sendiri yang menceritakan kepadamu tentang berita yang didapatkannya itu."
Thian Lee menoleh dan memandang kepada Bouw Kin Sek dengan pandang mata bertanya. Dalam kedudukan mereka, kekuasaan mereka terbagi. 

Bouw-ciangkun menguasai pasukan yang melakukan penjagaan di timur sampai ke laut, sedangkan Thian Lee mengepalai sisa pasukan yang terpencar di utara, barat dan selatan yang tentu saja dipimpin oleh masing-masing panglimanya sebagai pembantu-pembantu Thian Lee. 

Karena bagian timur bukan bagian kekuasaannya, maka dia tidak mendengar akan pergolakan yang dimaksudkan Kaisar itu.
"Begini, Souw-ciangkun." Panglima Bouw mulai memberi keterangan. "Kami menerima berita dari Un-ciangkun yang bertugas di timur dan bertempat tinggal di kota Hui-cu bahwa ada gerak-gerik rahasia yang menjurus ke arah pemberontakan. 

Beberapa kali ada usaha gelap untuk membunuhnya setelah dia tidak pernah menghiraukan surat-surat gelap yang diterimanya dan mengajaknya untuk memberontak. 

Un-ciangkun adalah seorang perwira yang setia maka tentu saja dia tidak menanggapi ajakan itu. Akan tetapi dia melihat banyak mata-mata berbangsa Jepang berkeliaran di sepanjang pantai timur. 

Orang-orang Jepang itu rata-rata berkepandaian tinggi sehingga tidak pernah ada yang dapat tertangkap. Kami khawatir sekali bahwa di antara para perwira pembantu kami ada yang melakukan hubungan dengan orang-orang Jepang itu, dan ini berbahaya sekali. 

Melihat gerak-gerik mereka, menurut Un-ciangkun, terdapat banyak orang pandai di antara mereka dan dia merasa seolah selalu dibayangi orang sehingga ia harus melindungi dirinya dengan pasukan pengawal yang menjaga ketat keselamatannya. 

Karena itulah, dia memberi kabar kepada kami dan kami melapor kepada Sri Baginda Kaisar."
Song Thian Lee mengerutkan alisnya. 


Dia teringat akan pemberontakan yang pernah dilakukan Pangeran Tua Tang Gi Lok yang dibantu oleh tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan jahat. 

Ketika pemberontakan itu terjadi tiga tahun yang lalu, dia membantu pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan itu sehingga dia berjasa besar dan diberi kedudukan panglima besar oleh Kaisar. 

Kini dia dihadapkan dengan gejala-gejala pemberontakan yang lain lagi. Setiap pemberontakan hanya merugikan rakyat dan mengacaukan keadaan. 

Pemberontakan-pemberontak itu bermaksud mengambilalih kekuasaan untuk mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, tidak seperti gerakan perjuangan rakyat yang memang membenci pemerintah penjajah.

"Nah, demikianlah keadaannya. Karena gejala pemberontakan itu memperlihatkan gerakan banyak orang-orang lihai, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelidiki keadaan mereka yang sesungguhnya. 


Dan untuk melakukan penyelidikan, harus dilakukan orang yang berkepandaian tinggi. Maka kami ingat padamu, Song-ciangkun. 

Agaknya hanya engkaulah orangnya yang tepat untuk melaksanakan penyelidikan itu, kemudian mengambil tindakan kalau terdapat bukti bahwa mereka hendak memberontak. Engkau boleh mengerahkan pasukan berapa pun yang kau butuhkan."

Song Thian Lee berpikir. Dia harus menyelidiki lebih dulu siapakah yang berada balik gejala-gejala pemberontakan itu, melihat apakah itu hanya pemberontakan biasa ataukah perjuangan para patriot. 


Kalau hanya perjuangan kecil-kecil saja dia akan berusaha untuk memperingatkan para patriot bahwa usaha mereka akan sia-sia dan hanya mengorbankan nyawa anak buah saja dan mengacaukan kehidupan rakyat jelata. 

Kalau itu merupakan gerakan bawah tanah dari mereka yang hendak memberontak, dia harus menumpasnya.

"Hamba siap melakukan tugas itu, Yang Mulia."
"Engkau boleh membawa pasukan untuk menyertaimu."


"Hamba kira hal itu tidak perlu, Yang Mulia. Untuk melakukan penyelidikan, harus hamba lakukan sendiri dan menyamar sehingga mereka tidak tahu bahwa ada penyelidikan dari kota raja. 


Kalau hamba membutuhkan bantuan pasukan, tentu hamba dapat menghubungi Un-ciangkun di Hui-cu."
Kaisar mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Bouw-ciangkun. "Bagaimana pendapatmu, Bouw-ciangkun?"

"Hamba kira pendapat Song-ciangkun itu benar sekali. Dan hamba juga akan mengirim penyelidik, yaitu Coa-ciangkun, hamba akan memberi sebuah surat untuk Un-ciangkun sehingga sewaktu-waktu dia membutuhkan bantuan, akan mendapatkan bantuan itu dengan mudah."


Kaisar mengangguk-angguk setuju. "Baiklah, sekarang juga engkau harus bersiap dan berangkat ke timur, Song-ciangkun."


"Hamba siap, Yang Mulia."
Persidangan itu dibubarkan dan Panglima Bouw Kin Sek segera menulis sesampul surat untuk Panglima Un di Huicu dan memberikan surat itu kepada Thian Lee. 


Setelah memesan agar Thian Lee berhati-hati dan panglima muda itu pergi meninggalkannya, Panglima Bouw Kian Sek lalu memanggil wakilnya, yaitu Coa-ciangkun.

"Coa-ciangkun. Sri Baginda Kaisar telah mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan di timur. Akan tetapi hatiku masih kurang puas. Aku menghendaki agar engkau pun diam-diam melakukan penyelidikan ke sana, siapa tahu engkau dapat berhasil lebih baik daripada Song-ciangkun."


Perwira yang menjadi wakilnya itu bernama Coa Kun dan dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang cerdik sekali. Biarpun atasannya hanya berkata demikian, namun Coa Kun sudah dapat menduga apa isi hati atasannya itu. 


Dia tahu bahwa atasannya itu, sebagai Panglima tua, tentu merasa iri kepada Song-ciangkun yang disebut Panglima Muda akan tetapi yang kedudukannya lebih tinggi darinya. 

Daerah timur sampai ke pantai adalah daerah kekuasaannya, di mana dia yang bertanggung jawab. Akan tetapi kini Kaisar mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan, seolah tidak percaya kepadanya! Maka, Coa Kun tersenyum dan mengangguk.

"Baiklah, Ciangkun. Akan saya usahakan agar saya dapat mendahului Song-ciangkun dalam membongkar pemberontakan ini dan memadamkannya."


"Bagus. Song-ciangkun akan mendapat bantuan anak buah dari Un-ciangkun secara terbatas, akan tetapi engkau sebagai atasan Un-ciangkun dapat menggunakan pasukannya, berapa saja yang kau kehendaki. Juga kalau perlu engkau dapat menggerakkan pasukan pesisir yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun. 


Kedua perwira itu adalah bawahanmu langsung, maka engkau tentu akan lebih mereka taati daripada Song-ciangkun."

Setelah menerima banyak pesan dan nasihat, Coa Kun lalu berangkat seorang diri menuju ke timur. Dia menanggalkan pakaiannya sebagai seorang perwira tinggi dan menyamar sebagai penduduk biasa. Dengan menggunakan seekor kuda yang baik, Coa-ciangkun ini mendahului Song Thian Lee menuju ke timur.


Sementara itu, Song Thian Lee segera pulang ke gedungnya. Setibanya di rumah, dia langsung membuka pakaian dinasnya dan mengenakan pakaian biasa. Baru saja dia selesai berganti pakaian, isterinya memasuki ruangan itu.


Dengan senyum cerah dan sikap lembut penuh kasih sayang Tang Cin Lan, isterinya, berkata, "Lee-ko, kenapa engkau nampak tergesa-gesa berganti pakaianmu?" Wanita cantik jelita itu mengamati wajah suaminya dengan penuh perhatian. "Ada berita apakah dari Sri Baginda Kaisar?" 


Biarpun Kaisar Kian Liong masih saudara misan ayahnya, Cin Lan selalu menyebutnya dengan Sri Baginda Kaisar seperti orang lain untuk menghormati Kaisar itu.
Thian Lee balas memandang, lalu memegang pundak isterinya dengan penuh kasih sayang. "Aku mendapatkan tugas yang teramat penting. Di mana Hong San?" Dia menanyakan putera mereka yang kini sudah berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya.

"Dia baru saja tidur siang di kamarnya, dijaga oleh pengasuh," jawab Cin Lan yang disambung pertanyaan, "Tugas apakah yang begitu penting, Lee-ko?"


"Agaknya kita harus berpisah, aku harus meninggalkan rumah beberapa waktu lamanya, entah berapa lama dan mudah-mudahan saja segera tugas itu dapat kuselesaikan sehingga aku dapat segera pulang."


Mereka duduk di ruangan dalam, berhadapan. Cin Lan menatap wajah suaminya dan alisnya yang hitam melengkung indah itu berkerut. "Pergi ke manakah dan apakah tugas itu?"


"Sri Baginda Kaisar mendengar berita bahwa di pantai timur dan daerahnya terdapat gejala-gejala pemberontakan, bahkan mungkin para pemberontak itu bersekutu dengan orang-orang Jepang yang biasanya menjadi bajak laut dan merampok di sepanjang pantai. 


Karena kabarnya orang-orang Jepang itu banyak yang pandai, bahkan sudah ada usaha pembunuhan terhadap Panglima Un di sana, maka Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk melakukan penyelidikan ke sana dan memadamkan pemberontakan."

"Kau membawa pasukan?" "Tidak. Bagaimana aku akan dapat melakukan penyelidikan kalau aku berangkat membawa pasukan" Kita belum tahu siapa yang hendak memberontak, siapa yang terlibat dan siapa yang memimpin. 


Nanti, kalau aku sudah berhasil dengan penyelidikanku dan bahwa di sana benar-benar terjadi usaha pemberontakan, baru aku akan minta bantuan Un-ciangkun untuk memberi pasukannya guna membasmi pemberontak itu."

"Jadi engkau hendak melakukan penyelidikan seorang diri saja, Lee-ko?" Cin Lan memandang dengan khawatir.


Thian Lee tersenyum dan memegang tangan isterinya di atas meja. "Kenapa, Lan-moi" Bukankah sudah biasa bagiku untuk melakukan tugas seorang diri saja" Menempuh bahaya dalam tugas adalah biasa, tidak perlu dirisaukan."


"Bukan begitu, Lee-ko. Dahulu engkau adalah seorang biasa, seorang pendekar yang merantau dan malang-melintang di dunia kang-ouw. 


Akan tetapi sekarang engkau adalah seorang penglima besar yang mengepalai banyak sekali pasukan, kenapa pergi seorang diri" Bukankah banyak anak buahmu yang cakap untuk melaksanakan tugas itu" 

Engkau dapat menyebar ratusan orang mata-mata untuk menyelidiki keadaan di pantai timur saja."

"Tidak mungkin hal itu kulakukan, isteriku. Itu berarti bahwa aku kurang bertanggung jawab terhadap tugas ini. 


Sri Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk menyelidiki karena di sana terdapat banyak orang pandai, bagaimana aku dapat tinggal diam di rumah dan menyuruh para pembantuku melakukan tugas yang panting ini?"

"Akan tetapi engkau adalah seorang panglima besar, Lee-ko. Aku khawatir bahwa banyak orang diam-diam memusuhimu karena iri. Kalau engkau nekat untuk pergi seorang diri, biarlah aku akan menemanimu!"

Thian Lee bangkit dari tempat duduknya, menghampiri isterinya dan merangkulnya. "Cin Lan, mengapa engkau begini" Aku adalah suamimu yang akan melaksanakan tugas, bagaimana engkau dapat ikut denganku" 

Engkau seharusnya berada di rumah, menjaga dan merawat Hong San, anak kita yang baru dua tahun usianya. Kalau dia mencari ayah ibunya yang keduanya tidak ada, apakah hal itu tidak akan membuat dia bersedih dan rewel?"

"Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Lee-ko!"
"Sejak kapan isteriku yang tercinta meragukan kemampuanku" Aku tidak akan mudah tertimpa malapetaka, Lan-moi. 


Engkau tahu benar bahwa aku dapat menjaga dan membela diri dari marabahaya. Apa akan kata orang kalau mereka mengetahui bahwa isteri seorang panglima besar mengkhawatirkan keselamatan suaminya dan mengawal suaminya yang sedang bertugas" Tentu kita akan menjadi bahan olok-olok. 

Jangan khawatir. Aku pasti akan kembali membawa kemenangan. Kau tahu, di Hui-cu sana terdapat pasukan kerajaan sehingga aku dapat memperoleh bantuan mereka."

Akhirnya Cin Lan menyadari kesalahan dan ia tidak mampu membantah lagi. Bagaimanapun juga, perintah Kaisar tidak boleh dianggap ringan begitu saja. Ia telah bersikap sebagai seorang isteri yang cengeng dan penakut!

"Baiklah, Lee-ko. Engkau boleh pergi seorang diri, akan tetapi dengan janji bahwa setelah seratus hari engkau sudah harus pulang atau setidaknya memberi kabar. Kalau lewat seratus hari engkau belum pulang, aku pasti akan menyusul dan membantumu."

Terpaksa Thian Lee berjanji kepada isterinya. "Mudah-mudahan saja sebelum lewat seratus hari akan selesailah tugasku itu. Jangan khawatir, Lan-moi."

"Dan kapan engkau akan berangkat?"
"Besok, pagi-pagi sekali karena aku akan pergi dengan menyamar, agar jangan ada orang mengenalku."


Demikianlah, semalam itu Cin Lan tidak pernah mau melepaskan rangkulannya, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari menerangi bumi, Thian Lee sudah berangkat, memakai pakaian seperti seorang pemuda pelajar biasa dan membawa buntalan pakaian, tidak lupa membawa Jit-goat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan) yang disembunyikan dalam buntalan pakaiannya. 


Dia membiarkan kuncir rambutnya tergantung lepas di punggungnya dan kepalanya memakai sebuah topi lebar. Tak seorang pun tahu bahwa pemuda sederhana ini adalah Panglima Besar Kerajaan.

Un-ciangkun atau Un Kiong, panglima yang tinggal di kota Hui-cu sudah beberapa kali didatangi penjahat yang hendak membunuhnya. 

Dia tahu bahwa ada persekutuan rahasia di daerahnya. Dia mendengar bahwa sering kali kelihatan orang Jepang berkeliaran di kota Hui-cu dan sekitarnya. Karena itu, dia pun menaruh curiga dan menyebar mata-mata untuk mengamati gerak-gerik orang-orang Jepang itu. 

Bahkan dia mengutus beberapa orang perwira memimpin seregu perajurit mengadakan perondaan di sekeliling kota Hui-cu dan menangkap kalau ada orang Jepang yang mencurigakan, bahkan memeriksa orang-orang asing yang lewat di daerah itu.

Pada saat pagi, serombongan perajurit yang dipimpin perwiranya mengadakan perjalanan di bukit di sebelah timur Hui-cu. Mereka berjumlah dua losin orang perajurit dan seorang perwira ini adalah satu di antara regu-regu pasukan yang dikirim, oleh Un-ciangkun untuk melakukan perondaan di sekitar wilayah Hui-cu. 

Para perajurit yang menjadi anggauta regu ini, seperti juga regu-regu yang lain, merupakan perajurit pilihan yang pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.

Bukit di mana regu ini meronda nampak sunyi sekali. Pagi itu udara cerah dan para perajurit berjalan sambil bicara. dengan gembira. Kecerahan udara pagi itu membuat hati mereka cerah gembira pula. 


Mereka semua berjalan kaki, meninggalkan kuda mereka di kaki bukit karena di bukit itu sempit dan berjalan kaki lebih leluasa daripada naik kuda.

Tiba-tiba dari arah depan datang seorang pemuda yang menarik perhatian mereka. Pemuda itu bertubuh tegap dan mengenakan pakaian serba putih, wajahnya tampan dan mulutnya terhias senyum dingin.


Perwira yang memimpin pasukan itu memandang dengan curiga. Memang aneh dan mencurigakan melihat seorang pemuda berpakaian sebagai seorang tuan muda berkeliaran di tempat sunyi seperti itu. Apalagi melihat gagang sepasang pedang berada di punggungnya.


"Sobat, berhenti dulu!" perwira itu menegur ketika mereka berhadapan. Pemuda itu adalah Ouw Kwan Lok. Hatinya sedang tidak senang karena dia mengenang dua peristiwa yang amat membuatnya penasaran dan kecewa. 


Pertama ketika dia menawan Ceng Ceng untuk dijadikan kekasihnya akan tetapi terpaksa dia melepaskan korbannya ketika datang Thian-tok yang datang menolong gadis itu. 

Peristiwa itu terjadi setahun yang lalu, akan tetapi kalau dia teringat masih saja hatinya merasa penasaran dan kecewa. 

Kedua kalinya ketika dia bertemu dengan Souw Lee Cin. Dengan bantuan dua orang perampok dia berhasil menjebak Lee Cin sehingga gadis itu terbius dan pingsan, lalu oleh dua orang pembantunya gadis yang pingsan itu dibawa kepadanya. 

Bagaikan daging sudah berada di bibir, tiba-tiba daging itu terlepas ketika Lee Cin ternyata hanya pura-pura pingsan dan bahkan hampir mengalahkan dalam perkelahian. 

Kalau teringat akan kedua peristiwa itu, hati Kwan Lok menjadi tidak senang, penasaran dan kecewa. Di pagi hari itu, dia sedang teringat akan kegagalan-kegagalan itu dan biarpun mulutnya tersenyum, sebenarnya hatinya sedang mengkal.

Itulah sebabnya ketika perwira kepala regu itu menegur dan menyuruhnya berhenti, hati yang sedang mengkal itu menjadi semakin marah. Biarpun suaranya masih lembut dan mulutnya masih tersenyum, namun di dalam ucapannya terkandung kemarahan.


"Aku tidak ada urusan dengan kalian, mengapa kalian menyuruhku berhenti?"


Komandan regu itu menjadi marah karena dia menganggap pemuda itu congkak, walaupun ucapannya lembut. "Hayo katakan siapa engkau dan apa keperluanmu berkeliaran di sini, di mana tempat tinggalmu dan mau apa engkau membawa-bawa pedang!" bentaknya.


Kwan Lok tersenyum lebar dengan pandang mata mengejek. "Namaku Ouw Kwan Lok, tempat tinggalku tidak tetap maka aku merantau dan sampai di tempat ini. Pedang ini kubawa untuk mengusir anjing-anjing yang hendak mengganggu aku dalam perjalananku!"


Komandan regu itu menjadi semakin marah karena dia menganggap bahwa dia bersama anak buahnya yang dimaki anjing-anjing! "Tidak tahukah engkau akan aturan kami bahwa orang biasa tidak diperbolehkan membawa senjata" 


Hayo berikan sepasang pedang itu kepadaku dan engkau boleh melanjutkan perjalanan."

"Ini adalah sepasang pedangku sendiri, mengapa engkau minta?"
"Kami harus merampas senjata tajam siapa pun, siapa tahu senjata tajam itu akan kau pergunakan untuk merampok!"


"Perwira bermata buta! Apakah engkau tidak dapat membedakan antara perampok dan orang baik-baik" Aku bukan perampok dan sepasang pedang ini tidak akan kuberikan kepada siapa pun."


"Engkau akan melawan pasukan pemerintah?"


"Kau kira aku takut menghadapi serombongan anjing yang hanya pandai menyalak?" jawab Kwan Lok dengan pertanyaan yang menghina.

Perwira itu menjadi marah dan dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerang pemuda berpakaian serba putih yang berani dan kurang ajar itu.

Para perajurit yang juga sudah marah melihat sikap Kwan Lok yang menantang dan menghina, sudah mencabut golok masing-masing dan mengeroyok pemuda itu. Serangan mereka bagaikan gelombang datangnya, bertubi-tubi banyak golok menyambar ke arah tubuh Kwan Lok. 


Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan berloncatan ke sana sini. Karena pengeroyoknya berjumlah dua puluh lima orang dan rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lumayan, maka Kwan Lok terpaksa mencabut sepasang pedangnya dan mengamuk.

Akan tetapi, perwira itu pun memiliki ilmu pedang yang lumayan dan dibantu pengeroyokan dua losin perajurit, mereka mendesak Kwan Lok. Pemuda ini menjadi marah. 


Tangan kirinya berkali-kali bergerak dan ada sinar menyambar dari tangan kirinya, merobohkan empat orang perajurit yang terkena sambitan pisau terbangnya. 

Kemudian dia memutar sepasang pedangnya dan mengamuk. Pedangnya bergerak demikian hebatnya sehingga kembali empat operajurit roboh oleh sambaran sepasang pedangnya.

Tiba-tiba datang pula dua losin perajurit. Mereka adalah regu lain yang mengadakan perondaan di bawah bukit dan mereka melihat betapa rekan-rekan mereka sedang bertempur di lereng bukit itu. 


Maka, komandan regu mereka cepat memimpin mereka mengejar ke lereng bukit dan melihat betapa regu pertama mengeroyok seorang pemuda .berpakaian putih yang amat lihai, regu dua tanpa diminta segera menyerbu dan ikut pula mengeroyok!

Betapa lihainya Kwan Lok, dikeroyok oleh empat puluh orang lebih itu dia menjadi terdesak. Dua orang perwira itu memberi perintah kepada anak buah mereka sehingga mereka mengepung ketat dan menyerang dari semua jurusan. 

Kwan Lok terpaksa memutar kedua pedangnya untuk menyelimuti tubuhnya agar terlindung dari hujan bacokan golok. Untuk melarikan diri, sukar baginya karena perajurit yang banyak jumlahnya itu telah mengepungnya secara berlapis-lapis.

Pada saat itu, muncul seorang pemuda lain yang juga tampan dan gagah, berpakaian mewah. Dia muncul bersama seorang yang bertubuh pendek kokoh berusia sekitar empat puluh tahun dan ada sebatang pedang bengkok tergantung di punggungnya. 

Pemuda tampan berpakaian mewah itu bukan lain Siangkoan Tek, sedangkan orang katai itu adalah Yasuki, orang Jepang yang ahli bermain pedang samurai itu. 

Ketika Yasuki bertemu dengan Siangkoan Tek di jalan, Yasuki segera mengenal pemuda itu. 

Memang Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga itu amat dikenal oleh semua bajak laut, terutama lagi oleh para bajak laut Jepang yang harus mengakui kehebatan orang-orang Pulau Naga, maka para bajak laut Jepang itu dengan cerdik bersikap sebagai sahabat dengan Pulau Naga, bahkan mereka selalu mengirim barang berharga sebagai tanda persahabatan dan sebagai bagi hasil bajakan mereka. 

Demikianlah, begitu bertemu Siangkoan Tek, Yasuki mengenalnya dan menghormatinya. Mereka becakap-cakap dan Yasuki mulai membujuk Siangkoan Tek untuk membantu persekutuan mereka untuk menentang pemerintah Mancu.

Siangkoan Tek segera menyatakan persetujuan. Ayahnya sendiri pun tidak suka kepada Pemerintah Mancu, dan mereka sudah sering bentrok dengan pasukan Mancu. Bahkan ketika dia menawan Hwe Li, dia diserbu pasukan kerajaan dan dia sendiri menganggap kerajaan Mancu sebagai pihak pihak yang harus ditentang dan dimusuhi.

Yasuki lalu mengajak Siangkoan Tek untuk pergi ke Hui-cu dan dalam perjalanan itu mereka melihat Ouw Kwan Lok dikeroyok empat puluh lebih perajurit kerajaan. Mereka berdua kagum melihat sepak terjang Ouw Kwan Lok yang menghadapi pengeroyokan itu.


"Pemuda itu lihai sekali," kata Yasuki, "dan dia dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Kalau dia dapat ditarik menjadi sekutu, tentu akan baik sekali dan memperkuat keadaan kita. Mari kita bantu dia, Siangkoan-kongcu."


Siangkoan Tek setuju karena dia pun tertarik kepada pemuda berpakaian putih yang tampan dan juga lihai itu. Mereka berdua lalu menerjang dari luar kepungan. Dengan terjunnya dua orang ini dalam pertempuran, pihak pasukan menjadi kocar-kacir. 


Kekuatan mereka terpecah-pecah untuk mengeroyok tiga orang lihai itu.
Akan tetapi ketika pihak pasukan sedang terdesak, muncul Lee Cin! 


Gadis perkasa ini segera mengenal tiga orang yang dikeroyok para perajurit itu. Ouw Kwan Lok pernah menawannya sampai dua kali dengan cara curang sekali. 

Pemuda berpakaian putih itu tentu saja menjadi musuh besarnya, Siangkoan Tek juga bukan pemuda baik-baik, ia mengenal putera datuk besar majikan Pulau Naga itu. 

Adapun orang ke tiga adalah Yasuki yang pernah bertanding dengannya di rumah keluarga Cia. Maka, melihat mereka bertiga dikeroyok pasukan, mudah saja ia mengambil keputusan untuk membantu pihak mana.

"Tiga orang itu penjahat-penjahat besar, jangan sampai lobos!" teriaknya dan dia sudah mencabut Ang-coa-kiam dan menerjang ke dalam pertempuran, langsung saja ia menyerang Ouw Kwan Lok yang paling dibencinya di antara tiga orang itu.


Ouw Kwan Lok terkejut sekali melihat sinar merah menyambarnya, apalagi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Souw Lee Cin yang kelihaiannya sudah dia rasakan. 


Dia cepat menangkis dengan pedang kanannya, sedangkan pedang kiri menahan senjata para pasukan yang mengeroyoknya.

"Keroyok yang lain, biar yang satu ini aku yang menghajarnya!" teriak Lee Cin kepada para perajurit. Maklum bahwa mereka mendapat bantuan seorang gadis cantik yang amat lihai, para perajurit yang tadinya mengeroyok Kwan Lok segera berbalik dan membantu teman-teman yang mengeroyok Siangkoan Tek den Yasuki. 


Bantuan Lee Cin membuat keadaan berimbang kembali, bahkan ia sendiri sudah mendesak Ouw Kwan Lok yang sudah jerih terhadapnya.

Karena Lee Cin maklum bahwa dua orang yang lain itu juga lihai dan belum tentu pengeroyokan para perajurit dapat mengalahkan mereka, dikerahkan tenaganya dapat segera mengalahkan Kwan Lok. Ia bukan saja memainkan Ang-coa-kiamsut yang dahsyat, akan tetapi juga menggunakan tangan kirinya untuk menyelingi serangan serangan dengan totokan It-yang-ci yang amat hebat itu.


Yasuki terkejut juga melihat munculnya Lee Cin karena ia pun pernah dirobohkan oleh pendekar wanita yang cantik itu. Niatnya bukan untuk mengalahkan pasukan itu, melainkan lebih untuk menarik hati Kwan Lok agar mau dibujuk untuk bersekutu dengan pihaknya. Maka karena khawatir kalau Kwan Lok akan celaka di tangan Lee Cin, dia pun berteriak dengan keras,
"Kita lari! Tiada gunanya dilanjutkan!"


Agaknya Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok juga mengerti bahwa pihak mereka akan menderita kerugian kalau pertempuran itu dilanjutkan, terutama sekali Kwan Lok. Maka mendengar seruan ini, dia lalu membalik dan menyerang para pengeroyok untuk membuka jaian. 


Demikian pula Siangkoan Tek. Akhirnya, dalam keadaan para pengeroyok menjadi kacau sehingga Lee Cin juga terhalang oleh gerakan mereka, tiga orang itu meloncat dan melarikan diri.

Lee Cin merasa penasaran sekali. Ia sudah hampir dapat merobohkan dan membunuh Ouw Kwan Lok yang jahat, akan tetapi pemuda itu dapat membebaskan diri melalui kekacauan para pengeroyok. Karena merasa bahwa ia mampu mengengejar, ia lalu meloncat dan melakukan pengejaran dengan cepat sambil berseru, "Penjahat cabul, engkau hendak lari ke mana?"


Tiga orang itu berlari cepat, akan tetapi gerakan Lee Cin lebih cepat lagi. Para perajurit lalu melakukan pengejaran, akan tetapi mereka tertinggal jauh. Hanya Lee Cin sendiri yang masih terus mengejar ketika tiga orang itu menyusup ke dalam hutan kecil.


Ketika Lee Cin meloncat pula ke hutan dan melakukan pengejaran sampai ke tengah hutan, tiba-tiba tiga orang yang dikejarnya itu berhenti dan membalikkan tubuh, langsung menyambut Lee Cin dengan serangan mereka! Lee Cin menggerakkan pedangnya dan ia lalu dikeroyok tiga. 


Barulah dara perkasa ini terkejut setelah menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Ia telah masuk perangkap! Akan tetapi sama sekali ia tidak menjadi jerih dan dengan cepat menggerakkan pedangnya melawan mereka.

Dibandingkan dengan Ouw Kwan Lok atau Siangkoan Tek, ilmu kepandaian Lee Cin lebih menang sedikit. 


Melawan seorang di antara mereka saja, biarpun mampu menang akan tetapi akan makan waktu cukup banyak. Kini ia harus menghadapi pengeroyokan mereka, masih ditambah lagi dengan Yasuki yang menggunakan pedang samurainya! 

Tentu saja Lee Cin segera terdesak. Akan tetapi ia tidak menyesal dan tak takut sedikit pun juga. Ia akan melawan sampai mati!

"Tangkap ia, jangan bunuh!" teriak Ouw Kwan Lok kepada dua orang yang membantunya.


"Ya, jangan bunuh!" kata pula Siangkoan Tek yang sejak lama telah tergila-gila kepada Lee Cin. Bahkan di dalam hatinya dia sudah mengambil keputusan untuk memperisteri Lee Cin. Hanya gadis inilah yang dipilih, yang dirasa cocok untuk menjadi isterinya.


Mendengar teriakan mereka, Yasuki ingin menyenangkan hati kedua orang pemuda yang diharapkan membantu gerakannya itu. Dia lalu mengambil sebuah benda bulat sebesar telur ayam dari saku bajunya dan membantingnya di depan Lee Cin. 


Terdengar ledakan keras dan asap tebal bergulung-gulung di depan Lee Cin dan membuat gadis itu tidak dapat melihat dengan jelas. 

Kesempatan itu dipergunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menerjang dan mengirim serangan dengan tangan kosong agar tidak melukainya.

"Dukkkk!!" Lee Cin mencoba untuk mengelak, akan tetapi sebuah totokan dari tangan Siangkoan Tek mengenai pundaknya dan ia pun roboh terpelanting dan pedangnya terlepas dari tangannya.


Siangkoan Tek menyambar tubuh gadis itu dan segera dipondongnya, sedangkan Ouw Kwan Lok mengambil pedang ular merah yang terlepas dari tangan gadis itu.


"Yasuki, kelak saja kita bicara, sekarang aku hendak pergi dulu!" kata Siangkoan Tek sambil melangkah hendak membawa pergi Lee Cin yang sudah tak berdaya dan dipondongnya. 


Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ouw Kwan Lok sudah berada di depannya dengan alis berkerut.

"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" bentak Ouw Kwan Lok.
"Ia calon isteriku!" jawab Siangkoan Tek.


"Enak saja kau bicara. Gadis itu adalah musuh besarku. Tidak boleh engkau membawanya pergi. Serahkan kepadaku!"


"Serahkan kepadamu" Apakah engkau gila, sobat?" kata Siangkoan Tek sambil mengerutkan alisnya.
"Gadis itu adalah Souw Lee Cin, ia milikku!" kata pula Ouw Kwan Lok sambil menatap tajam wajah Siangkoan Tek.


"Siapa bilang ia milikmu" Ia calon isteriku!"
Melihat kedua orang pemuda itu sudah saling melotot dengan marah, Yasuki segera melompat ke depan. 


"Aih, kenapa kalian saling berebutan" Melihat gadis ini menyerang kita, jelas ia bukan sahabat siapa pun di antara kita. Karena itu, daripada kalian berebutan, sebaiknya diambil jalan yang ditempuh orang-orang gagah. 

Biar kalian bertanding dengan taruhan gadis ini. Siapa yang menang boleh memilikinya, dan yang kalah tidak boleh menuntut. Beranikah kalian bertanding dan saling mengalahkan untuk mendapatkan gadis ini?"

"Tentu saja aku berani!" kata Ouw Kwan Lok.
"Siapa yang takut?" kata pula Siangkoan Tek.


"Bagus, biar aku yang menjaga agar gadis itu tidak kabur." Setelah berkata demikian, Yasuki mengambil tubuh Lee Cin dari pondongan Siangkoan Tek dan merebahkan tubuh yang lemas tak berdaya itu ke atas tanah. 


"Akan tetapi sebelum bertanding, sebaiknya kalau engkau memperkenalkan dirimu terlebih dulu, sobat!" kata lagi Yasuki sambil memandang kepada Ouw Kwan Lok. 

"Kita sudah bekerja sama melawan pasukan tadi, berarti kita sudah sepatutnya menjadi sahabat. Namaku sendiri adalah Yasuki, dan Kongcu ini adalah Kongcu Siangkoan Tek, putera dari majikan Pulau Naga." Dia memperkenalkan dirinya dan juga Siangkoan Tek.

Mendengar nama majikan Pulau Naga, Kwan Lok diam-diam terkejut dan memandang Siangkoan Tek penuh perhatian. Pemuda itu lebih muda dua tahun darinya, pakaiannya mewah, gerak-geriknya lembut, wajahnya amat tampan dan sinar matanya menunjukkan kecerdikan. 


Dia terkejut akan tetapi tidak takut, dan dia pun memperkenalkan dirinya, mengaku siapa guru-gurunya karena dia tahu bahwa di depannya adalah seorang putera datuk sesat.

"Namaku Ouw Kwan Lok. Guruku yang pertama adalah mendiang Pak-thian-ong dan guruku ke dua adalah Mo-ong." Sengaja dia menyebut nama kedua orang gurunya yang keduanya juga datuk-datuk besar untuk mengimbangi kebesaran nama datuk Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga!

Benar saja dugaannya. Mendengar nama-nama kedua orang guru itu, Siangkoan Tek tampak kaget. Dia bertemu dengan orang segolongan! Akan tetapi bagaimana mungkin dia mau mengalah kalau itu mengenai diri Lee Cin, gadis yang membuatnya tergila-gila sejak lama" 

Dia benar-benar hendak memperisteri Lee Cin, bukan sekedar mempermainkannya seperti para wanita lain yang pernah didapatkannya. Dia merasa bahwa ada dua orang wanita yang cocok dan pantas menjadi isterinya, yaitu Tang Cin Lan telah menjadi isteri Song Thian Lee, maka tinggal Souw Lee Cin inilah yang harus menjadi isterinya! 

Maka, siapa pun yang akan menghalanginya, akan dianggap musuhnya. Akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda seperti Ouw Kwan Lok ini amat menguntungkan kalau dijadikan sekutu, persekutuan untuk menggulingkan Kerajaan Ceng. 

Siapa tahu usaha itu berhasil dan kelak dia akan mendapat kesempatan untuk menjadi raja baru! Atau setidaknya menjadi bangsawan tinggi. 

Hal ini tidak kalah pentingnya Souw Lee Cin yang akan dia peristeri.
"Ah, kiranya engkau adalah murid kedua datuk itu! Pantas engkau lihai dan pemberani. 


Akan tetapi sekali lagi kuberitahukan kepadamu, sobat bahwa Souw Lee Cin ini adalah wanita yang sudah lama kuidam-idamkan menjadi isteriku."
"Saudara Siangkoan Tek, aku pun mengenal nama besar ayahmu. 


Maafkanlah kalau terpaksa aku tidak mau mengalah karena aku pun tergila-gila kepada Souw Lee Cin, di samping ia adalah musuh besar guru-guruku yang harus kubalaskan dendamnya kepadanya."

"Kalau begitu kita bertanding untuk memperebutkan gadis ini?" tanya Siangkoan Tek.
Ouw Kwan Lok menghela napas panjang. "Aku menyesal sekali. Akan tetapi agaknya tidak ada lain jalan bagi kita kecuali mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih berhak memilikinya."


"Karena kalian bertanding bukan karena permusuhan, aku mengusulkan agar diadakan pertandingan dengan tangan kosong saja," kata Yasuki.


Dua orang pemuda itu saling pandang lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Siangkoan Tek memasang kuda-kuda yang gagah sebagai pembukaan ilmu silatnya. 


Dia hendak memainkan ilmu silat Kui-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang diajarkan ayahnya, lalu berkata, "Silakan, saudara Ouw, aku sudah siap!"

Ouw Kwan Lok juga segera memasang kuda-kuda ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam) yang merupakan ilmu silat utara yang bercampur dengan ilmu gulat. Ilmu ini dia pelajari dari mendiang Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar dari utara itu.

"Lihat serangan!" bentak Ouw Kwan Lok dan kedua tangannya bergantian mencengkeram dan memukul ke depan dengan dahsyat, bertenaga besar dan cepat sekali. 

Akan tetapi Siangkoan Tek sudah siap dengan ilmu silat Kui-liong-kun. Dia membuat gerakan melebar ke kiri menghindarkan dua serangan kedua tangan itu dan membalas dengan sodokan tangan ke arah lambung lawan. 

Akan tetapi Kwan Lok juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian kembali dia menyerang, sekali ini kaki kanannya menendang dan ketika tubuh lawan condong ke kanan untuk mengelak, tangan kirinya menyambar untuk menangkap pundak lawan. 

Kalau tangan kiri itu dapat menangkap pundak, tentu akan dilanjutkan dengan tarikan dan bantingan. Akan tetapi, kembali Siangkoan Tek merendahkan pundaknya untuk mengelak dan tangan kanannya sudah menghantam ke arah kepala lawan. 

Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Kwan Lok yang tidak keburu mengelak itu memutar lengan kirinya dan menangkis pukulan itu.

"Dessss......!!" Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka seimbang. Karena maklum bahwa tenaga lawannya tidak kalah kuatnya, Siangkoan Tek mengubah caranya bersilat. 


Kini dia bersilat dengan lembut gemulai seperti seorang wanita menari dan inilah Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat hebat dari Siangkoan Bhok!

Ketika merasakan betapa kedua tangan lawannya menyambar-nyambar dan mendatangkan hawa panas, maklumlah Ouw Kwan Liok bahwa lawannya menggunakan pukulan beracun. 


Dia pun mengubah silatnya, kini dia bersilat dengan ilmu silat Pek-swat-tok-ciang (Tangan Beracun Salju Putih). Kedua tangannya berubah pucat seperti tangan mayat dan dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali. 

Perkelahian itu semakin seru dan Yasuki yang menonton dari samping itu merasa bulu tengkuknya meremang menyaksikan betapa kedua orang muda itu menggunakan pukulan yang demikian dahsyatnya. Yang satu mengeluarkan hawa panas dan yang lain mengeluarkan hawa dingin.

Sampai seratus jurus mereka saling serang namun belum tampak siapa yang lebih unggul. 


Sementara itu, Lee Cin yang melihat kedua orang muda itu bertanding merasa mendapat kesempatan. Diam-diam ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya agar totokannya terbuka 

Namun, ia belum berhasil sehingga dahinya penuh keringat, hanya kedua kakinya saja yang dapat bergerak-gerak sedikit. Sebelum ia berhasil membuat seluruh tubuhnya bergerak, Yasuki menoleh kepadanya. 

Orang Jepang ini melihat gadis itu menggerak-gerakkan kakinya. Dia segera meloncat mendekati, melolos sabuknya yang berwarna merah dan segera mengikat kedua kaki tangan Lee Cin agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. 

Yasuki tidak pandai ilmu totok, akan tetapi dia mengerti bahwa kalau totokan itu sudah punah, gadis lihai itu tentu dapat bergerak kembali. 

Maka sebelum totokan itu punah, dia mengikat kaki tangannya sehingga gadis itu benar-benar tak berdaya!
Lee Cin benar-benar merasa tidak berdaya sekarang. 


Totokannya saja belum berhasil ia buka, kini kaki tangannya malah diikat dengan tali sutera yang amat kuat. Akan tetapi biarpun ia tidak berdaya bukan berarti bahwa ia putus asa. 

Gadis perkasa ini tidak akan putus asa selagi ia masih bernapas! Pedangnya dirampas Ouw Kwan Lok. Yang ada hanya sulingnya yang terselip di pinggang. Akan tetapi ia pun tidak dapat mengambil sulingnya karena kedua tangannya diikat ke belakang tubuhnya. 

Andaikata dapat juga, untuk apa" Memanggil ular" Kedatangan banyak ular tidak akan mampu membebaskannya, apalagi tiga orang itu amat lihai, tentu tidak takut akan ular. 

Bahkan andaikata ia dapat memegang sulingnya, benda itu tidak dapat ia pergunakan untuk melepaskan tali yang mengikat kaki tangannya. Ia maklum bahwa siapapun juga yang menang dalam pertandingan itu, tetap saja ia akan celaka. 

Hanya agaknya malapetaka yang akan menimpa dirinya apabila terjatuh ke tangan Ouw Kwan Lok akan lebih mengerikan. Ia tahu akan niat pemuda itu. Pemuda itu hendak membalaskan sakit hati guru-gurunya, tentu akan menyiksa dan membunuhnya setelah mempermainkannya sebagai pemuas nafsunya. 

Mengerikan! Kalau terjatuh ke dalam tangan Siangkoan Tek mungkin masih ada harapan untuk lolos, karena pemuda itu menghendaki ia menjadi isterinya, dan tentu akan senang kalau ia menyerahkan diri dengan sukarela daripada dengan paksaan. Ia melirik ke arah mereka.

Lebih dari seratus jurus mereka bertanding akan tetapi belum ada yang menang dan kalah. Siangkoan Tek melompat ke belakang sambil berseru, "Tahan dulu!"


Ouw Kwan Lok menghentikan gerakannya. Keduanya sudah berkeringat. Pertandingan yang seimbang itu menguras tenaga. 


"Mengapa berhenti?" tanya Kwan Lok.
"Kita sudah bertanding lebih dari seratus jurus dan tidak ada yang mendesak atau terdesak. Kita seimbang dalam ilmu silat tangan kosong. Untuk menentukan kemenangan, bagaimana kalau kita menggunakan senjata?"


"Bagus, aku pun pikir lebih baik begitu!" kata Ouw Kwan Lok. Dia lalu mencabut pedang Ang-coa-kiam yang terselip di ikat pinggang, lalu menyerahkan pedang itu kepada Yasuki. "Biarlah pedang ini menjadi tambahan taruhan pertandingan ini!" 


Setelah Yasuki menerima Ang-coa-kiam dan meletakkannya di dekat Lee Cin seolah-olah gadis dan pedang itu yang menjadi taruhan di antara kedua orang pemuda itu, Ouw Kwan Lok lalu mencabut sepasang pedangnya dan memasang kuda-kuda di depan Siangkoan Tek.

Pemuda itu juga mencabut pedang tunggalnya dan kembali mereka berhadapan sambil memasang kuda-kuda dan saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah dua ekor ayam jantan yang siap berlagak dan bertanding. 


Diam-diam Yasuki yang mengerutkan alis dan merasa khawatir, maka kembali dia memperingatkan karena dia tidak ingin kehilangan seorang di antara dua pemuda itu.

"Harap kalian ingat bahwa ini hanya pertandingan adu silat, bukan permusuhan. Kita berada di antara orang-orang sendiri!"


Siangkoan Tek tersenyum. Ouw Kwan Lok juga tersenyum. Keduanya mengerti dan tidak merasa khawatir karena mereka yang telah menguasai ilmu pedang dengan baik, tentu saja dapat menguasai gerakan pedang mereka dan dapat menahan kalau pedang akan melukai atau membunuh lawan.


"Silakan, Saudara Ouw!" Tantang Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok juga tidak ragu-ragu lagi, menggerakkan sepasang pedangnya di atas kepala dan di depan dada.


"Lihat serangan pedangku!" dia berteriak dan cepat sekali sepasang pedangnya bergerak dan menyerang. Namun Siangkoan Te k juga sudah siap, dengan mudah dia mengelak dan pedangnya membalas dengan sambaran ke arah leher lawan.


"Tranggg....!" Dua batang pedang bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya mundur untuk memeriksa pedang masing-masing. Ternyata pedang mereka tidak rusak, maka mereka menerjang maju lagi dan terjadilah pertandingan yang lebih hebat daripada tadi karena kini yang menyambar-nyambar dahsyat adalah tiga batang pedang yang membentuk lingkaran-lingkaran sinar yang menyilaukan mata.


Lee Cin masih berusaha untuk memunahkan totokan yang membuat ia tidak mampu bergerak. Kalau tadi ia mengharapkan bahwa kedua orang itu akan saling serang dan saling bunuh, harapannya itu menghilang ketika dara ini melihat cara mereka bertanding. 


Baik tadi maupun sekarang menggunakan pedang, ia tahu bahwa mereka tidak akan saling melukai atau membunuh. 

Dengan demikian, harapan untuk dapat lolos dari bahaya makin jauh lagi darinya. Betapapun juga, kalau saja ia dapat membebaskan diri dari totokan dan ikatan sabuk sutera itu, tentu ia dapat berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman bahaya.

Yasuki yang amat tertarik oleh pertandingan pedang antara kedua orang pemuda itu yang kini terlibat dalam pertandingan yang amat seru. Jago dari Jepang ini kagum sekali dan dia tahu benar bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi seorang di antara kedua orang pemuda itu. 


Saking tertarik dan asyiknya dia menonton pertandingan, sampai dia tidak menyadari bahwa ada bayangan orang mengintai tak jauh di belakangnya, di balik sebatang pohon. 

Akan tetapi Lee Cin yang menghadap ke arah itu, dapat melihat ini dan jantungnya berdebar penuh harapan. Ia tidak tahu siapa bayangan itu dan apa maunya, akan tetapi ia seperti dapat firasat bahwa orang itu tentu akan menolongnya.

Debar jantungnya makin menguat dan harapannya semakin menebal ketika akhirnya ia melihat bahwa bayangan itu adalah seorang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam yang hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong tajam. Si Kedok Hitam! Kembali orang aneh itu akan menolongnya!


Si Kedok Hitam menyelinap dari pohon ke pohon dan akhirnya tiba dekat sekali dengan tempat itu. Tiba-tiba dia meloncat ke dekat Lee Cin, tangan kirinya menotok jalan darah membebaskan Lee Cin dari totokan yang membikin ia tak mampu bergerak dan sekali pedangnya berkelebat, ikatan kaki tangan pada tubuh Lee Cin juga putus. 


Gadis itu cepat menggulingkan tubuhnya ke arah pedangnya dan menyambar pedang itu lalu melompat berdiri.

Setelah Lee Cin bebas, agaknya baru Yasuki mendengar gerakannya. Dia menoleh dan kaget bukan main melihat Lee Cin sudah berdiri dengan Ang-coa-kiam di tangan dan di sebelahnya terdapat seorang berkedok hitam yang matanya mencorong bersinar-sinar!


"Celaka! Ada musuh datang!" teriaknya kepada dua orang pemuda yang sedang bertanding sambil cepat mencabut samurainya dan menyerang ke arah Si Kedok Hitam karena untuk menyerang Lee Cin, dia merasa jetih. 


Akan tetapi, Si Kedok Hitam dengan amat mudahnya mengelak dari sambaran samurai dan biarpun samurai itu terus mengejarnya, dia tetap mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. 

Kemudian, ketika dia mendapat kesempatan, kakinya menendang dengan cepat seperti kilat menyambar dan tubuh Yasuki terlempar ke belakang bagaikan daun kering ditiup angin. 

Yasuki terkejut sekali dan dadanya terasa nyeri ketika dia terbanting kemudian mencoba untuk cepat berdiri lagi, akan tetapi dia menyeringai karena dadanya terasa sesak.

Pada saat itu, Ouw Kwan Lok dan Siangkoan Tek berlompatan ke belakang dan memutar tubuh. Mereka kaget bukan main melihat Yasuki terlempar dan terbanting, sedangkan Lee Cin sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan di samping seorang berkedok hitam. 


Yang lebih terkejut adalah Kwan Lok karena dia pernah bertemu dengan Si Kedok Hitam dan mengenal kelihaiannya.

Lee Cin tidak membuang waktu lagi. Cepat ia melompat ke depan dan menyerang Kwan Lok dengan Ang-coa-kiam yang bersinar merah. 


Di antara kedua orang pemuda itu, Kwan Lok yang paling dibencinya, maka langsung ia menyerang pemuda itu dengan pedangnya. 
Terpaksa Kwan Lok menangkis dan segera keduanya bertanding dengan seru.

Siangkoan Tek juga kaget melihat Lee Cin sudah bebas. Melihat Si Kedok Hitam, maklumlah dia bahwa orang ini yang telah menolong Lee Cin. Maka dia pun cepat menyerang Si Kedok Hitam dengan pedangnya dan segera kedua orang ini pun terlibat dalam perkelahian yang seru. 


Ketika Si Kedok Hitam menangkis pedangnya, barulah Siangkoan Tek terkejut karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. Dia mempercepat serangannya dan kini mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Kui-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Iblis). 

Namun, Si Kedok Hitam dapat mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang cepat dan mengandung tenaga.
Yasuki menjadi gelisah sekali. Dia tahu bahwa Si Kedok Hitam juga memiliki kepandaian tinggi sehingga belum tentu Siangkoan Tek dapat menang. 


Terutama sekali dia melihat betapa Lee Cin mengamuk dan mendesak terus kepada Kwan Lok sehingga biarpun pemuda itu menggunakan sepasang pedang, dia terpaksa banyak main mundur.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Yasuki mengambil dua buah benda seperti bola dari saku bajunya dan berseru kepada dua orang pemuda itu. "Mari, cepat kita pergi!" Dan dia lalu membanting kedua buah bola itu. 


Terdengar dua kali suara ledakan dan tampak asap putih mengepul tebal. Melihat ini, Lee Cin teringat betapa tadi dia dapat tertawan juga karena Si Jepang itu mempergunakan alat peledak. Maka ia cepat berseru kepada Si Kedok Hitam.

"Cepat menghindar ke belakang!" Ia sendiri melompat dengan cepat menjauhi asap tebal yang mengaburkan pandangan mata itu. 


Ternyata Si Kedok Hitam juga sudah melompat ke belakang. Ketika kemudian mereka mencari-cari tiga orang itu sudah tidak berada di situ lagi, telah melarikan diri dengan bantuan asap tebal sehingga tidak tampak oleh Lee Cin dan Si Kedok Hitam.

Lee Cin membanting-banting kaki dengan hati kesal. "Mereka dapat melarikan diri lagi!"


"Mereka sudah pergi, tidak dapat dikejar lagi. Dua orang itu memang lihai sekali."


"Sobat, kembali engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka yang hebat. Dua kali engkau menolongku. Akan tetapi bagaimana mungkin aku akan dapat membalas budi kebaikanmu itu kalau aku tidak tahu engkau ini siapa" Karena itu, kumohon kepadamu, perkenalkanlah wajah dan namamu kepadaku."


Si Kedok Hitam menghela napas panjang. "Aku mempunyai alasan yang kuat untuk menyembunyikan wajahku di balik kedok ini, Nona. Karena itu maafkan kalau aku belum dapat memperkenalkan diri kepadamu. 


Dan tentang pertolongan itu, tidak perlu dipikir apalagi dibalas. Semua itu kulakukan sebagai kewajibanku dan aku yakin engkaupun juga akan menolong siapa saja tanpa pamrih sedikit pun untuk diingat atau dibalas."

Khawatir kalau Si Kedok Hitam segera meninggalkannya, cepat Lee Cin berkata, "Baiklah, kalau engkau tidak mau memperkenalkan diri, aku pun tidak dapat memaksamu. Akan tetapi perlu kuperingatkan kepadamu bahwa keluarga Cia berada dalam bahaya besar."


Si Kedok Hitam memandang dan sinar matanya yang tajam itu penuh selidik. "Apa maksudmu, Nona?"


"Aku tahu bahwa keluarga Cia mengadakan hubungan persekutuan dengan orang Jepang bernama Yasuki itu. Kini Yasuki berada bersama dua orang pemuda itu, maka hal itu berarti bahwa ke luarga Cia juga mengadakan hubungan dengan mereka. 


Inilah sebabnya kukatakan bahwa keluarga Cia berada dalam bahaya besar."
"Siapakah kedua orang muda yang lihai itu, Nona?"


"Engkau tidak mengenal mereka" Yang bertanding denganmu tadi adalah Siangkoan Tek, putera dari majikan Pulau Naga Siangkoan Bhok yang juga berjuluk Tung-hai-ong, datuk besar dari timur. 


Adapun orang ke dua yang bertanding denganku tadi bernama Ouw Kang Lok dan dia adalah murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong, datuk dari utara dan selatan."

"Ah, pantas saja ilmu silat mereka demikian lihail" kata Si Kedok Hitam.
"Itulah sebabnya mengapa kukatakan bahwa keluarga Cia terancam bahaya besar kalau mereka mengadakan hubungan dengan dua orang dari golongan sesat itu. 


Tentu keluarga Cia akan dimusuhi oleh pemerintah dan juga oleh para pendekar."

"Akan tetapi mengapa engkau ceritakan hal itu kepadaku?"
"Karena aku harap engkau akan dapat memperingatkan keluarga Cia. 


Karena aku yakin bahwa engkau tentulah seorang anggauta keluarga itu. Akan tetapi mengapa engkau memusuhi Yasuki, padahal orang Jepang itu adalah sekutu keluarga Cia. 

Sobat, engkau membingungkan aku. Setidaknya katakanlah apakah dugaanku benar, bahwa engkau anggauta keluarga Cia?"

"Tidak dapat kukatakan, Nona, dan selamat tinggal!" Si Kedok Hitam berkelebat cepat sekali dan lenyap dari situ. Lee Cin hendak mengejar, akan tetapi ia merasa tidak ada gunanya membujuk Si Kedok Hitam itu untuk membuka rahasia siapa dirinya. 


Terpaksa ia pun meninggalkan hutan di bukit itu dan di sepanjang perjalanan, kenangan akan Si Kedok Hitam tak pernah dapat ia lupakan. 

Ada dua hal yang berlawanan mengenai diri orang aneh itu. Ia mengira bahwa Si Kedok Hitarn tentulah anggauta keluarga Cia, mungkin Cia Tin Siong yang juga berilmu tinggi, tampan dan lemah lembut namun gagah perkasa. 

Mungkin dia tidak menggunakan suling peraknya karena hal itu tentu akan membuka rahasia penyamarannya dan dia mempergunakan sebatang pedang. 

Akan tetapi andaikata benar, dia itu Cia Tin Siong, kenapa memusuhi Yasuki yang ia tahu sendiri bersekutu dengan keluarga Cia"

Lee Cin menjadi bingung. Hatinya tertarik dan terkesan sekali dengan kepribadian Si Kedok Hitam yang telah dua kali membebaskannya dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Ingin rasanya selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengan Si Kedok Hitam. 


Akan tetapi ia tidak dapat membayangkan bagaimana wajahnya. Mungkin Cia Tin Siong, atau mungkin orang lain sama sekali yang tidak ada hubungannya dengan keluarga Cia. Yang jelas, dia memiliki bentuk tubuh yang sedang dan lembut namun kokoh seperti tubuh Tin Siong. Lee Cin menjadi bimbang dan penasaran.

Karena merasa penasaran dan ingin sekali mengetahui siapa adanya Si Kedok Hitam, Lee Cin lalu mengambil lain jalan. Si Kedok Hitam pernah berkunjung ke rumah Ji-taijin, agaknya mempunyai niat untuk membunuh pembesar yang setia kepada kerajaan itu. 


Sudah jelas bahwa pembesar itu dimusuhi oleh keluarga Cia dan Yasuki serta panglima yang disebut Phoa-ciangkun seperti yang pernah ia dengar dari percakapan mereka di taman keluarga Cia. Kalau Ji-taijin dimusuhi, besar kemungkinan Ji-taijin mengetahui siapa Si Kedok Hitam yang memusuhi itu. Pikiran ini membuat Lee Cin kembali lagi ke kota Hui-cu.


Hari masih pagi ketika Lee Cin mengunjungi gedung besar tempat tinggal Ji-taijin, kepala daerah Hui. Para perajurit yang berjaga di gardu depan, memandang kepadanya dengan heran. Jarang atau bahkan hampir tak pernah terjadi ada seorang gadis cantik berkunjung dan minta bertemu dengan Ji-taijin. 


Melihat pakaian gadis cantik itu yang serba ringkas dan suling yang terselip di pinggang, para penjaga itu dapat menduga bahwa Lee Cin tentu seorang gadis kang-ouw, maka timbul kecurigaan mereka.

"Siapakah namamu, Nona dan dari mana engkau datang?" tanya kepala jaga.


"Namaku Souw Lee Cin dan aku datang dari pegunungan Hong-san. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Ji-taijin untuk sesuatu urusan yang penting sekali."


Para perajurit itu semakin curiga. "Nona harus memberitahukan lebih dulu urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan Tai-taijin," kata pula kepala jaga yang mukanya brewok dan tubuhnya tinggi besar.
Lee Cin menjadi hilang kesabarannya. 


Akan tetapi ia teringat betapa pembesar itu sudah siap siaga untuk menghadapi kunjungan Si Kedok Hitam, maka tentu peraturan ini untuk menjumpainya diperketat karena para penjaga harus berhati-hati menjaga keselamatannya.

"Apakah itu merupakan suatu keharusan dan kenapa?" Lee Gin berbalik tanya kepada kepala jaga itu.

"Tentu saja, Nona. Kalau kami melapor ke dalam tentu kami akan ditanya dengan sejelasnya. Tanpa dapat memberi keterangan yang jelas tentang orang yang ingin bertemu, kami tentu akan dipersalahkan."

Lee Cin berpikir bahwa alasan itu benar juga. Yang hendak dikunjungi adalah seorang pembesar, orang terpenting di Hui-cu karena Ji-taijin adalah kepala daerah, maka tentu saja sebelum menemuinya, pembesar itu tentu ingin tahu lebih dulu apa yang menjadi maksud kunjungannya.

"Katakan bahwa aku datang untuk bicara dengannya tentang Si Kedok Hitam yang pernah mengganggunya."
Benar saja. Ketika mendengar ini, semua penjaga yang jumlahnya kurang lebih lima belas orang itu terbelalak dan segera mengepung Lee Cin!


"Nona Souw, apa yang kau ketahui tentang Si Kedok Hitam" Tahukah engkau di mana dia sekarang bersembunyi" Kami harus menangkapnya!"


"Aku tidak tahu di mana dia bersembunyi. Akan tetapi ketika malam itu dia berkunjung ke gedung ini, di atas atapnya aku pernah bertemu dengannya dan kami sampai bertanding. Akan tetapi dia dapat meloloskan diri dan lari. 


Karena itulah hari ini aku ingin bicara dengan Ji-taijin tentang dia. Nah, sudah jelaskah" Jangan mengira bahwa aku bermaksud buruk terhadap Ji-taijin. Aku tahu bahwa beliau adalah seorang pembesar yang bijaksana, aku bahkan hendak melindunginya!"

"Kalau begitu, duduklah dulu, Nona Souw. Akan kami kabarkan ke dalam dan kalau Ji-taijin sudah menyatakan bersedia bertemu denganmu, tentu engkau akan kami hadapkan beliau."

Lee Cin mengangguk lalu duduk di atas bangku dalam gardu itu. Para penjaga memandangnya dari luar gardu dengan sinar mata kagum mendengar bahwa gadis itu pernah bertanding dengan Si Kedok Hitam! 

Kepala jaga itu lalu pergi ke gedung untuk melaporkan maksud kunjungan Lee Cin kepada para pengawal di dalam gedung untuk disampaikan kepada Ji-taijin.

Pembesar kepala daerah Hui-cu itu bernama Ji Kian, berusia empat puluh lima tahun dan dia seorang pejabat pemerintah yang bijaksana dan mencinta rakyatnya. Karena itu semua rakyat di Hui-cu, terutama kaum miskinnya, amat menghormatinya dan menyukainya. Dia seorang dermawan ....


DEWI ULAR JILID 07



an yang dengan gigih berjuang di waktu daerahnya sedang dilanda musim kering berkepanjangan. 

Dia mengatur penggalian sungai-sungai kecil sehingga saluran air di Hui-cu berjalan lancar, tidak lagi terdapat bajir di kala hujan lebat. 

Gudang berasnya selalu terbuka bagi mereka yang kekurangan makan. Di waktu hari-hari besar, terutama di hari tahun baru Imlek, dia membagi-bagikan hadiah kepada fakir miskin. 

Karena Ji-taijin seorang pejabat yang baik dan tidak korup, juga bersikap tegas kepada bawahannya, maka rata-rata para petugas pernerintah di Hui-cu juga bekerja dengan jujur dan baik. 

Tidak ada bawahan berani melakukan korupsi jika atasannya jujur dan anti korupsi. 

Sebaliknya, apabila pemimpin tertinggi melakukan korupsi, dengan sendirinya bawahannya tentu akan mencontoh atau setidaknya tidak takut untuk melakukan korupsi karena atasan mereka juga berbuat hal yang sama.

Ketika Ji-taijin mendengar bahwa ada seorang gadis cantik yang diduga seorang gadis kang-ouw ingin bertemu dan bicara dengannya mengenai urusan Si Kedok Hitam, dia terkejut dan terheran. 


Akan tetapi dia yakin bahwa gadis ini tidak mempunyai niat buruk. Orang yang berniat buruk tidak akan terang-terangan menghadapnya seperti itu, melainkan berusaha masuk seperti maling. 

Maka, dia pun siap menerima Lee Cin di dalam ruangan tamu yang besar dan tentu saja dia mempersiapkan pengawal-pengawalnya yang berjaga mengepung ruangan itu dan ada pula enam orang yang berjaga di dalam ruangan.

Lee Cin mengetahui bahwa ruangan itu terjaga keras, maka ia tersenyum ketika diantar penjaga memasuki ruangan tamu itu, di mana sudah duduk Ji-taijin yang menantinya. 


Begitu melihat seorang setengah tua duduk di ruangan itu dengan sikap santai dan dengan senyum di bibir, Lee Cin segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada.

"Harap Taijin suka maafkan kalau saya mengganggu waktu Taijin yang berharga," katanya.
Ji-taijin tersenyum lebar dan menggerakkan tangannya ke arah sebuah kursi di depannya, terhalang meja besar.


"Silakan duduk, Nona Souw, dan jangan sungkan-sungkan."
"Terima kasih," kata Lee Cin lalu duduk di atas kursi itu. Ia melirik ke arah enam orang pengawal yang berdiri di belakang pembesar itu dan tersenyum.


"Jangan salah sangka, Nona. Semenjak rumah ini diganggu penjahat, terpaksa kami bersikap hati-hati dan pengawal selalu menemaniku. 


Akan tetapi mereka adalah pengawal-pengawal pribadi yang dapat dipercaya, maka kalau Nona hendak menceritakan sesuatu kepada kami, silakan dan jangan ragu-ragu. Nah, ceritakan siapa diri Nona dan apa yang mendorong Nona datang menemui kami."

"Taijin, saya bermana Souw Lee Cin dan saya datang jauh dari Pegunungan Hong-san. Saya melakukan perantauan dan kebetulan saja saya lewat di sini. 


Beberapa hari yang lalu, pada suatu malam saya melihat bayangan orang berkelebat di atas gedung ini. Karena saya mendengar bahwa Ji-taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, aku menyangka buruk dan segera mengejar bayangan itu. 

Ternyata dia seorang yang berkedok hitam dan saya menyerangnya. Terjadi perkelahian di antara kami dan dia melarikan diri. 

Nah, kedatangan saya ini untuk menyelidiki siapa adanya Si Kedok Hitam itu, Taijin, karena saya tertarik hendak menangkapnya. 

Taijin yang menjadi sasaran penyerangannya tentu mengerti mengapa hal itu terjadi dan mungkin Taijin dapat menduga siapa adanya Si Kedok Hitam itu."

Pembesar itu mengangguk-angguk setelah mendengarkan Lee Cin sambil menatap tajam wajah gadis itu penuh selidik. "Kami tertarik sekali mendengar laporan penjaga luar tadi, maka kami bergegas hendak menemuimu, Nona Souw. 


Kami sendiri sudah menyebar banyak penyelidik untuk mencari orang itu, akan tetapi semua usaha kami tidak berhasil. 

Setelah kami melakukan penjagaan ketat, penjahat berkedok hitam itu tidak pernah tampak lagi. Dan kemarin, pengawal mendapatkan sepucuk surat tertancap di dinding dengan pisau belati. 

Karena Nona bermaksud membantu kami menangkap Si Kedok Hitam, maka bolehlah Nona ikut membaca isi surat itu." Ji-taijin mengambil sehelai kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Lee Cin. 

Dengan sikap tenang dan hormat Lee Cin menerima surat itu dan membacanya,
Ji-taijin yang terhormat, Karena engkau dikenal sebagai seorang pejabat yang bijaksana, maka aku tidak akan membunuh atau menyakitimu. 


Akan tetapi ingatlah bahwa engkau adalah seorang Han, maka jangan membiarkan dirimu menjadi antek penjajah Mancu yang memeras rakyat jelata.

Si Kedok Hitam. Membuat surat yang ditulis dengan huruf-huruf indah dan rapi itu, Lee Cin termangu dan kagum. 


Dilihat dari tulisannya, jelas dapat diketahui bahwa Si Kedok Hitam adalah seorang terpelajar baik. Kata-katanya hormat dan halus, tulisannya gagah dan lembut. Ia mengembalikan surat itu kepada Ji-taijin yang menyimpannya kembali.

"Kalau menurut bunyi suratnya, dia tidak bermaksud buruk terhadap diri Taijin. Akan tetapi dapatkah Taijin menduga siapa kira-kira orang yang menggunakan nama Si Kedok Hitam itu?"'


"Sudah kami katakan bahwa kami belum mengetahuinya, Nona. Akan tetapi melihat isi suratnya, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang di antara golongan yang menamakan diri mereka patriot pejuang rakyat. 


Akhir-akhir ini memang kami telah mengetahui bahwa ada gerakan para patriot itu di daerah ini. Akan tetapi karena tidak tampak bukti mereka melakukan hal-hal yang mengacaukan atau merugikan, kami pun tidak melihat bukti dan tidak dapat berbuat sesuatu kecuali berjaga-jaga."

"Hemm, saya mendengar berita di dunia persilatan bahwa keluarga Cia yang tinggal di kota ini adalah keluarga patriot. Benarkah itu, Taijin?"


Pembesar itu memandang kagum dan mengangguk-angguk. "Agaknya pengetahuan Nona cukup luas. Kami juga mendengar demikian. 


Akan tetapi keluarga itu tidak pernah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan para pejabat, bahkan mereka terkenal sebagai keluarga pendekar yang menentang para penjahat, maka kami pun tidak dapat berbuat apa-apa. 

Patriot atau bukan, selama mereka itu bersikap baik, menentang kejahatan dan menjaga ketenteraman kehidupan rakyat, pasti tidak akan kami tentang."

"Bagaimana dengan berita bahwa ada orang-orang asing dari Jepang yang berkeliaran di daerah ini, Taijin" Saya mendengar bahwa orang-orang Jepang itu bersikap mencurigakan, bukan sebangsa pedagang biasa. 

Siapa tahu mereka itu mata-mata yang dikirim orang-orang Jepang untuk menyelidiki keadaan di 
Hui-cu."

Pejabat itu menggeleng kepalanya. "Nona, kami adalah pegawai yang mengurus pemerintahan sipil. Mengenai hal itu, ada pejabat lain yang mengurusinya."

"Misalnya Panglima Un?" Lee Cin bertanya.

"Agaknya pengetahuan Nona memang luas. Dugaanmu benar. Mengenai keamanan pemerintahan, yang bertugas di daerah ini adalah Un-ciangkun. Mungkin dia lebih mengetahui tentang orang-orang Jepang yang kau tanyakan itu."

Lee Cin menganggguk-angguk. Mungkin Un-ciangkun juga lebih tahu tentang Si Kedok Hitam daripada kepala daerah ini. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata, "Banyak terima kasih atas kesediaan Taijin menerima saya dan atas semua keterangan yang saya dapatkan. 

Saya mohon diri, Taijin, dan mudah-mudahan Si Kedok Hitam tidak akan mengganggu Taijin lagi. Selamat tinggal."

Ji-taijin membalas penghormatan itu karena dia dapat menduga bahwa gadis itu bukan orang sembarangan dan berkata ramah, "Selamat jalan, Nona."


Biarpun ia tidak mendapat keterangan siapa adanya Si Kedok Hitam, setidaknya ia tahu banyak tentang orang aneh itu, bahkan melihat tulisannya yang indah. 


Sekarang ia dapat sedikit menyelami watak Si Kedok Hitam. Agaknya orang itu bukan termasuk segolongan orang seperti Cia Hok dan Cia Bhok yang menentang pemerintah dan suka bersekutu dengan orang Jepang dan panglima yang memberontak. 

Membaca tulisan suratnya, Lee Cin dapat mengambil kesimpulan bahwa Si Kedok Hitam berwatak patriot dan pendekar yang biarpun menentang pemerintah penjajah, namun tidak berniat jahat terhadap pejabat pemerintah yang bijaksana. 

Sikap ini mengingatkannya kepada Cia Tin Han. Pemuda lemah lembut itu juga bercita-cita mengumpulkan orang-orang yang berjiwa patriot murni, bukan sekedar pemberontak yang menganggap semua pejabat pemerintah adalah antek penjajah. 

Teringat ini Lee Cin terkejut sendiri dan alisnya berkerut. Si Kedok Hitam itu Cia Tin Han" Ah, sama sekali tidak mungkin. Tin Han adalah seorang terpelajar yang lemah dan tidak suka belajar ilmu silat. 

Pula, pendirian Si kedok Hitam seperti yang tersirat dalam suratnya kepada Ji-taijin sama sekali berbeda dengan pendirian keluarga Cia. Mana mungkin Tin Han menentang pendirian keluarganya sendiri"
Pagi itu Lee Cin langsung mengunjungi rumah besar Un-ciangkun di sudut kota karena ia mengharapkan akan mendapatkan keterangan yang lebih banyak dari panglima ini tentang Si Kedok Hitam dan tentang orang-orang Jepang. Ia tertarik untuk menyelidiki orang Jepang setelah melihat betapa Yasuki bergabung dengan pemuda-pemuda golongan sesat seperti Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok.

Un-ciangkun yang bernama Un Kiong adalah seorang pembesar militer yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa. 


Pakaian panglimanya selalu rapi dan sikapnya terus terang dan terbuka mencerminkan watak yang jujur dan tidak suka berbelit-belit. 

Di Hui-cu dia amat terkenal sebagai seorang panglima yang bersikap menyayang dan lembut terhadap anak buahnya, akan tetapi kalau ada anak buah yang berbuat kesalahan, dia dapat bersikap keras dan penuh disiplin. 

Setelah dia memimpin pasukan di Hui-cu, daerah itu menjadi aman dari perampok dan penindas rakyat. Kalau ada orang mempergunakan kekuatan dan kekuasaan bersikap sewenang-wenang dan rakyat yang ditindas itu melapor kepadanya, langsung akan dia tangani dan dia hukum mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan kekuasaan itu. 

Karena itu, dia amat dibenci oleh bangsa perampok dan pencuri, akan tetapi disayang oleh rakyat. Rakyat di daerah Hui-cu merasa bahagia mempunyai seorang pembesar seperti Ji-taijin dan seorang panglima seperti Un-ciangkun. 

Mereka dapat tidur nyenyak dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada orang jahat berani mengganggu mereka. Mereka si rakyat kecil merasa terlindung, karenanya rakyat akrab dan menyayang perajurit. 

Di bawah bimbingan Un-ciangkun, para perajurit bersikap seperti sanak kadang rakyat jelata, dan ke manapun mereka pergi, selalu disambut dengan wajah cerah gembira oleh rakyat di dusun-dusun, seperti orang-orang dikunjungi para penolong dan penyelamat mereka. 

Un-ciangkun tahu bahwa negara baru kuat kalau pasukannya dan rakyatnya bersatu padu. Rakyat yang merasa dilindungi akan membalasnya dengan rasa setia-kawan dan tentu dengan senang hati akan membantu petugas pasukan untuk menentang kejahatan dan menjaga keamanan. 

Sebaliknya kalau tentaranya menimbulkan perasaan takut dan benci di hati rakyatnya, maka negara tidak akan menjadi kuat, tidak akan mendapat dukungan rakyat.

Panglima Un Kiong tinggal bersama isterinya, berdua saja karena biarpun usianya sudah empat puluh lima tahun, dia belum mempunyai seorang pun anak. 


Rumahnya di Hui-cu adalah sebuah bangunan kuno, dan markas pasukannya berada di luar kota, tidak jauh dari pintu gerbang sebelah selatan kota Hui-cu. 

Dia memimpin sepuluh ribu orang pasukan di daerah ini, dan rumahnya yang kuno, dan besar selalu dijaga oleh seregu pasukan secara bergilir siang malam.

Pada pagi hari itu, dua losin perajurit yang berjaga di gardu depan rumah gedung itu dibikin terkejut dan heran dengan munculnya Lee Cin di depan mereka. 


Tidak seperti kebiasaan para perajurit yang suka menggoda apabila melihat seorang gadis cantik, para perajurit itu hanya menyimpan kekagumannya dalam hati dan hanya memperlihatkan kekaguman itu dalam pandang matanya saja. 

Satu di antara pantangan besar bagi panglima Un adalah kalau anak buahnya menggoda dan menghina wanita. 

Dilarang keras mengganggu wanita, akan tetapi para perajurit itu diijinkan kalau mau menikah secara baik-baik. Untuk keluarga perajurit disediakan tangsi sebagai tempat tinggal mereka.

Dua losin orang perajurit itu memandang kepada Lee Cin dan kepala regu segera maju menghadapi gadis yang berhenti di depan gardu mereka itu.


"Nona mencari siapakah" Dapatkah kami membantumu, Nona?"
Kepala regu itu tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sikapnya yang sopan dan ramah menyenangkan hati Lee Cin. 


Gadis itu tersenyum dan wajahnya lebih cerah lagi melihat betapa para perajurit lainnya hanya memandang kepadanya, tidak ada yang membuat gerakan atau mengeluarkan kata-kata tidak sopan. 

Dari sikap para perajurit ini saja Lee Cin dapat menduga bahwa panglimanya tentu seorang yang bijaksana dan berdisiplin.

"Terima kasih. Aku ingin bertemu dengan Un-ciangkun. Dapatkah Saudara melaporkan kedatanganku kepadanya?"


Kepala regu itu mengamati Lee Cin dengan penuh perhatian. Dia melihat suling yang terselip di pinggang itu dan matanya yang tajam juga melihat lingkaran berwarna keemasan di pinggang itu. 


Sebagai seorang yang berpengalaman tahulah dia bahwa benda yang melibat pinggang ramping gadis itu adalah sebatang pedang yang lentur dan baik. Dia mengerutkan alisnya.
"Nona, beritahukan dulu namamu dan apa keperluanmu."
"Namaku Souw Lee Cin dan aku ingin bicara dengan Un-ciangkun mengenai Si Kedok Hitam dan orang-orang Jepang."


Kepala regu itu membelakakan matanya dan pandang matanya menjadi waspada. "Nona, menurut penuturan di sini, siapa yang hendak menghadap Un-ciangkun tidak diperbolehkan membawa senjata. Karena itu, lepaskan pedangmu itu dan tinggal di sini."


Lee Cin tersenyum dan meraba pinggangnya. "Aku tidak dapat dipisahkan dari pedangku ini. Akan tetapi aku hendak menghadap Un-ciangkun dengan niat baik, tidak mempunyai niat untuk menyerangnya. Katakanlah kepada Un-ciangkun bahwa aku membawa berita yang penting baginya."


Kepala regu itu merasa ragu, akhirnya dia berkata, "Nona tunggulah di sini sebentar, biar aku melaporkan ke dalam untuk bertanya apakah Un-ciangkun bersedia menerimamu ataukah tidak."


Lee Cin mengangguk lalu duduk di atas sebuah bangku di dalam gardu. Sikapnya tenang sekali membuat para perajurit memandang semakin kagum. Mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw, karena kalau gadis biasa, tidak mungkin dapat bersikap setenang itu berada di gardu di tengah-tengah dua losin orang perajurit.


Kepala regu melapor ke dalam dan menceritakan keadaan Lee Cin dengan jelas kepada Un-ciangkun. 


Panglima yang tinggi besar ini adalah seorang yang berani dan banyak pengalaman. Mengapa mesti khawatir menerima kunjungan seorang gadis kang-ouw" Bagaimanapun juga, dia dapat menjaga diri dan pula di tempat itu terdapa banyak pengawalnya. 

Maka dia menyuruh kepala regu membawa gadis itu kepadanya.
Lee Cin melangkah dengan tegap ketika kepala regu itu membawanya menghadap Un-ciangkun. 


Setelah gadis itu memasuki sebuah pintu, kepala regu lalu meninggalkannya. Lee Cin melangkah masuk ke dalam ruangan itu dan melihat seorang panglima tinggi besar berdiri di dekat jendela. 

Biarpun dia hanya seorang diri saja, namun Lee Cin merasa bahwa tempat itu telah dikepung banyak orang dan panglima itu sedikit pun tidak merasa khawatir. 

Mendengar langkah kaki Lee Cin, Un-ciangkun membalikkan tubuhnya dan Lee Cin melihat wajah yang gagah dengan sepasang mata yang tajam bersinar. Lee Cin segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada panglima itu.

Un-ciangkun melangkah maju. "Nona yang bernama Souw Lee Cin?"
"Benar, Ciangkun. Terima kasih atas kesediaan Ciangkun menerima saya menghadap."


"Hemm, duduklah, Nona. Tentu ada keperluan penting maka Nona demikian berani untuk menghadap kami seorang diri. Duduklah!"


Lee Cin duduk menghadapi meja besar dan panglima itu duduk di seberang meja. Seorang panglima yang gagah, pikir Lee Cin setelah mengamatinya. 


Pakaiannya rapi dan bersih, pedang panjang tergantung di pinggang kirinya dan panglima ini tampak kokoh kuat.

"Kedatangan saya ini memang membawa berita penting sekali kepada Ciangkun. Akan tetapi sebelum saya menceritakan berita itu, lebih dulu saya minta imbalan."


Sepasang mata itu terbelalak, lalu sepadang alis yang tebal itu berkerut. "Imbalan" Kami tidak mengutus Nona memberikan berita apa pun, mengapa Nona minta imbalan" Kalau tidak ingin menceritakan, sudahlah, Nona boleh pergi. Kami tidak bersedia memberi imbalan!"


Sikap yang tegas dan jujur, pikir Lee Cin. Sikap yang menunjukkan bahwa panglima tinggi besar ini seorang jujur dan jantan, tidak suka akan hal yang berliku-liku.


"Imbalannya juga sebuah keterangan atau penjelasan darimu, Ciangkun. Saya ingin bertanya kepada Ciangkun tentang seorang yang selalu memakai kedok hitam. Tahukah Ciangkun siapa sebenarnya Si Kedok Hitam itu?"


Mendengar disebutnya Si Kedok Hitam, panglima itu menatap wajah Lee Cin dengan tajam penuh selidik, kemudian berbalik bertanya, "Apa hubungan Nona dengan Si Kedok Hitam" Mengapa Nona menanyakannya?"


Lee Cin maklum dari ucapan panglima itu bahwa dia tentu sedikit banyak mengetahui tentang Si Kedok Hitam, maka ia pun berterus terang, "Ciangkun, pada beberapa malam yang lalu saya melihat bayangan bekelebat di atas gedung tempat tinggal Ji-taijin. 


Saya mengejar bayangan itu dan kami sempat bertanding akan tetapi bayangan itu melarikan diri. Bayangan itu memakai kedok hitam maka selanjutnya saya menamakan dia Si Kedok Hitam. 

Ilmu silatnya lihai sekali dan saya ingin sekali menyelidiki siapa sebenarnya dia. Saya telah mengunjungi Ji-taijin, akan tetapi dia pun tidak tahu siapa Si Kedok Hitam itu. 

Karena itu saya datang menghadap Ciangkun dengan harapan Ciangkun mengetahui tentang Si Kedok Hitam itu."

Ketika Lee Cin bicara, sepasang mata panglima itu mengamatinya dengan penuh perhatian. Setelah Lee Cin berhenti bicara, dia bertanya, "Nona hendak mengatakan bahwa Nona telah bertanding melawan Si Kedok Hitam dan berhasil mengusir dan mengalahkannya?"


"Bukan begitu, Ciangkun. Kami memang bertanding, akan tetapi sebelum ada yang kalah atau menang, dia sudah melarikan diri menghilang dalam kegelapan malam."
"Nona mencari dia, apakah maksudmu?"


"Kalau saya dapat mengetahui siapa dia, saya akan menemuinya dan menantangnya untuk bertanding kembali menentukan siapa yang lebih unggul, juga saya akan menegurnya karena dia berani mengancam dan membikin ribut dalam tempat tinggal Ji-taijin, seorang pembesar yang bijaksana dan baik."


"Hemm, agaknya Nona ini seorang pendekar?" kini panglima itu bertanya sambil tersenyum.


"Saya adalah seorang yang menentang kejahatan, Ciangkun. Dan saya akan membela kalau ada seorang baik-baik diganggu seperti halnya Ji-taijin. 


Nah, sekarang saya harap Ciangkun suka menceritakan tentang Si Kedok Hitam dan nanti saya akan menyampaikan berita yang amat penting kepada Ciangkun tentang orang Jepang."

Panglima itu mendadak bangkit berdiri dan tertarik sekali. "Orang Jepang?"


"Harap Ciangkun tenang dan bersabar dulu. Saya masih menanti keterangan Ciangkun tentang Si Kedok Hitam."


Panglima itu menghela napas panjang. "Nona tunggulah sebentar, aku akan mengambil sesuatu," setelah berkata demikian, dia meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam. Tak lama lagi dia muncul kembali dan duduk di kursinya yang tadi.


"Terus terang saja, kami juga tidak tahu siapa Si Kedok Hitam walaupun pada suatu malam bayangan orang berkedok hitam sempat membikin gempar markas ini. 


Beberapa orang penjaga melihat berkelebatnya bayangan orang dan melihat seorang berkedok hitam di atas rumah kami, akan tetapi ketika bayangan itu dikejar, dia lenyap dan hanya meninggalkan surat ini yang ditusuk pisau yang menancap di daun pintu. 

Inilah suratnya, Nona."
Lee Cin menerima surat itu dan ia tidak ragu lagi bahwa penulis surat itu juga penulis surat yang diterima Ji-ciangkun. Bahkan isinya pun hampir sama.


Un-clangkun, Engkau adalah seorang yang pandai dan gagah bijaksana, akan tetapi mengapa merendahkan diri menjadi perwira pasukan kerajaan penjajah" Sepatutnya orang seperti engkau ini menggunakan kepandaian untuk menentang penjajah Mancu. 


Akan tetapi karena engkau bertindak baik terhadap rakyat jelata, kami masih mengampunimu. Akan tetapi awas kalau engkau sampai menjadi antek penjajah yang menindas rakyat jelata, kami pasti akan membikin perhitungan denganmu.

Si Kedok Hitam. Setelah membaca dan mengembalikan surat itu kepada Un-ciangkun, Lee Cin berkata, "Tulisan dan nadanya sama dengan surat yang diterima Ji-taijin."


Un-ciangkun mengangguk. "Kami telah menerima pelaporan Ji-taijin dan kami sudah saling memperlihatkan surat itu."


"Menurut pendapat Ciangkun, siapakah kiranya Si Kedok Hitam ini?"
"Kami juga sudah menyebar penyelidik mencarinya, namun sejauh ini belum berhasil. Kami sungguh tidak dapat menduga siapa adanya Si Kedok Hitam itu."


"Menurut Ciangkun, dia itu orang macam apakah dan dari golongan mana?"


"Melihat isi suratnya, tak dapat disangsikan lagi dia tentu seorang yang berjiwa patriot, yang membenci pemerintah Kerajaan Mancu yang berkuasa di tanah air. Nah, sekarang kita telah bicara panjang lebar mengenai Si Kedok Hitam, bahkan kami telah memberi tahu kepada Nona segala yang kami ketahui mengenai dia. Lalu apakah berita penting yang hendak Nona sampaikan kepada kami?"


"Apa yang hendak saya sampaikan kepada Ciangkun adalah berita amat penting bagi Ciangkun. Belum lama ini saya melihat seorang Jepang bernama Yasuki, bahkan sudah bertanding melawannya. Dan orang Jepang bernama Yasuki itu telah bersekongkol dengan Phoa-ciangkun yang agaknya hendak melakukan pemberontakan. 


Saya mendengar sendiri percakapan mereka dan mereka bahkan merencanakan pembunuhan atas diri Ciangkun dan Ji-ciangkun. Hanya itulah berita yang dapat saya sampaikan kepada Ciangkun."
Un-ciangkun mengangguk-angguk. 


"Berita itu amat penting dan terima kasih atas pemberitahuan Nona. Memang kami telah menaruh curiga kepada Phoa-ciangkun karena selama ini agaknya dia bersikap longgar terhadap para bajak laut dan perampok Jepang, akan tetapi tidak pernah menduga bahwa dia bersekongkol dengan orang Jepang. 

Akan kami awasi dia dengan ketat."
"Apakah kalau menurut Ciangkun, Si Kedok Hitam tidak ada hubungannya dengan komplotan itu?"


Un-ciangkun menggeleng kepala. "Kami rasa tidak, Nona. Kalau Si Kedok Hitam mempunyai hubungan dengan mereka, tentu dia akan melakukan penyerangan terhadap kami atau Ji-taijin, bukan memberi surat peringatan seperti itu. Tidak, kami yakin bahwa Si Kedok Hitam itu seorang patriot yang gagah perkasa, tidak mungkin melakukan persekutuan dengan orang Jepang. 


Patriot sejati tidak akan sembarangan memberontak, melainkan lebih condong untuk membela rakyat dari gangguan penjahat dan dari penindasan para pembesar. 

Kalau ada pembesar yang menindas rakyat, atau penjahat yang mengganggu ketenteraman hidup rakyat, mungkin akan mereka tentang dan mereka bunuh."

"Aku teringat akan keluarga Cia. Apakah Ciangkun maksudkan para patriot itu seperti keluarga Cia?"
Un-ciangkun mengamati wajah Lee Cin dengan sinar mata tajam dan kagum. "Nona juga tahu tentang hal itu" Memang, Nona. Kami juga mengenal keluarga Cia yang patriotik, akan tetapi kami tidak melihat gejala bahwa mereka itu berkomplot dengan para pemberontak. 


Keluarga Cia ini sejak dulu terkenal sebagai keluarga pendekar yang setia kepada Pemerintah Beng, tidak heran kalau mereka membenci pemerintah yang sekarang. 

Mereka selalu menentang para penjahat dan mungkin sekali mereka akan bertindak keras terhadap pembesar yang menindas rakyat jelata."

Lee Cin menahan diri untuk membuka rahasia keluarga Cia. Kalau saja Un-ciangkun tahu bahwa Cia Hok dan Cia Bhok juga bersekutu dengan orang Jepang dan Phoa-ciangkun, tentu akibatnya hebat. 


Un-ciangkun tentu akan mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga itu. Lee Cin tidak tega membuka rahasia keluarga Cia karena ia teringat akan kebaikan Tin Siong dan Tin Han, terutama Tin Han.

Lee Cin lalu berpamit dan diantar oleh Un-ciangkun sampai di luar. Perwira tinggi itu berterima kasih sekali kepada Lee Cin yang membawa berita penting tentang persekutuan orang Jepang dan Phoa-ciangkun.


"Terima kasih atas semua keteranganmu, Nona Souw," katanya sebagai ucapan selamat jalan.
"Saya juga berterima kasih atas keterangan Ciangkun mengenai Si Kedok Hitam," kata Lee Cin dan setelah memberi hormat, ia pun segera meninggalkan markas itu.


Malam itu hujan turun dengan derasnya membasahi kota Hui-cu. Suasana di jalan-jalan sepi sekali. Orang lebih suka berlindung di dalam rumah daripada keluar di malam hujan yang amat dingin itu. 

Para penjaga di depan markas dan terutama di depan gedung tempat tinggal Un-ciangkun bermalas-malasan. 

Malam terlalu dingin untuk berjaga di luar. Pula, penjahat mana yang berani mengganggu tempat tinggal Un-ciangkun yang dijaga para pengawal" Juga dalam malam hujan seperti itu, orang-orang jahat tentu malas untuk keluar.

Karena penjagaan kurang kuat, maka beberapa bayangan hitam dengan cepat sekali dapat memasuki pekarangan gedung itu tanpa ketahuan oleh para penjaga. 

Mereka berjumlah belasan orang dan melihat gerakan mereka yang ringan dan gesit, mudah diduga bahwa mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. 

Setelah belasan orang itu bersembunyi di seputar gedung itu, tiba-tiba di luar terjadi keributan. 

Puluhan orang telah menyerang gardu penjagaan dan segera terdengar teriakan-teriakan orang bertempur. 

Mendengar keributan ini, para pengawal dan penjaga yang berada di dalam gedung lari berserabutan keluar untuk membantu para penjaga dan beberapa orang penjaga lari ke markas untuk minta bantuan setelah dilihat bahwa pihak penyerang ada puluhan orang banyaknya.

Hiruk-pikuk perkelahian di luar itu menarik pula perhatian Un-ciangkun. 


Dia segera terbangun dari tidurnya dan mendengar laporan seorang pengawal bahwa rumah itu diserbu puluhan orang, Un-ciangkun segera mengenakan pakaian komandan dan keluar sambil membawa pedangnya. 

Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan depan, belasan orang berpakaian hitam sudah menyerangnya. 

Un-ciangkun melawan dengan pedangnya dan enam orang pengawal yang selalu melindunginya juga melakukan perlawanan. Akan tetapi belasan orang penyerang itu ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh. 

Enam orang pengawal yang melawan mati-matian roboh satu demi satu sehingga tinggal Un-ciangkun seorang yang masih membela diri dengan marah. Perwira tinggi besar ini memang tangguh sekali dan dia sudah merobohkan dua orang pengeroyok.

Akan tetapi keroyokan belasan orang itu terlampau kuat baginya sehingga lewat puluhan jurus, dia mulai terkena senjata para pengeroyok. Un-ciangkun masih terus mengamuk, namun akhirnya dia roboh juga dan menjadi korban amukan belasan buah senjata tajam para pengeroyok. 


Setelah Un-ciangkun roboh dan tewas, beberapa orang di antara mereka lalu membunyikan sempritan yang nyaring. Ternyata ini merupakan tanda bagi puluhan orang yang berkelahi di luar untuk mengundurkan diri. 

Mereka melarikan diri cerai berai dan menghilang di dalam kegelapan malam, membawa teman-teman yang terluka.

Gegerlah pasukan pengawal. Bala bantuan dari markas datang dengan lima ratus orang, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, para penyerbu telah melarikan diri. 


Pasukan lalu mengejar, namun puluhan orang pengacau itu telah lenyap dan tidak diketahui ke mana larinya. 

Pasukan melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah, namun tidak menemukan apa-apa sehingga diperkirakan bahwa puluhan orang pengacau itu telah melarikan diri keluar kota Hui-cu.

Tewasnya Un-ciangkun menggemparkan pasukan. Yang repot adalah Lai-ciangkun (Perwira Lai) yang menjadi wakil dari Un-ciangkun. 


Lai-ciangkun ini bernama Lai Kin, merupakan wakil Un-ciangkun yang bertubuh jangkung kurus. Melihat tewasnya Un-ciangkun, Lai-ciangkun segera mengambil alih kedudukan komandan pasukan dan dia segera mengirim laporan kepada Kaisar di kota raja dan menjabat komandan pasukan untuk sementara sambil menanti keputusan Kaisar.

 Sehubungan dengan tewasnya Un-ciangkun di tangan para pengacau dan pemberontak. Segera panglima ini memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan dia pun menyebar banyak penyelidik untuk mencari dan menyelidiki para penyerbu itu. 

Dia sendiri lalu tinggal di rumah induk yang tadinya menjadi tempat tinggal Un-ciangkun. Sementara itu, keluarga Un-ciangkun segera pulang ke kota raja.

Kurang lebih seminggu sejak peristiwa pembunuhan Un-ciangkun itu, pada suatu pagi muncul seorang pemuda di depan markas pasukan di Hui-cu itu. 


Pemuda itu bertubuh sedang dan nampak kuat, wajahnya tampan dan gagah, pakaiannya sederhana. Mukanya bulat dengan kulit putih. Alisnya tebal dengan sepasang mata yang mencorong. 

Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum ramah. Telinganya lebar dan bahunya bidang dan kokoh.

Kedua pemuda itu berdiri di depan gardu penjagaan sambil matanya memandang ke arah gedung dengan penuh selidik, para penjaga menjadi curiga melihatnya. 


Kepala jaga segera melangkah keluar diikuti beberapa orang anak buahnya, menghampiri pemuda itu dan bertanya dengan suara membentak,
"Hei, orang muda! Siapakah engkau dan apa maumu berdiri di sini sambil memperhatikan ke gedung itu?"

Pemuda itu memandang kepada kepala jaga dengan sikap acuh tak acuh. Lalu terdengar jawabannya yang menantang, "Aku berdiri di sini, apa salahnya, bukankah ini jalan umum" Dan aku memandang dengan mataku sendiri, kemana pun aku memandang, apa urusannya denganmu?"


Mendengar jawaban yang berani itu, Si Kepala Jaga menjadi merah mukanya. Dia dan kawan-kawannya selama ini memang diharuskan bersikap lembut dan sopan kepada rakyat jelata dan siapa yang melanggar akan dijatuhi hukuman berat. 


Akan tetapi pemuda itu demikian menantang, tentu saja membuat Si Kepala Jaga menjadi marah yang ditahan-tahannya. Dia pun memaksa diri bersikap ramah kepada pemuda itu.

"Sobat, engkau tahu bahwa gedung ini tempat tinggal komandan kami dan orang luar tidak boleh berada di sini terlalu lama. Kalau sudah cukup engkau memandang, tinggalkanlah tempat ini. Kami tidak ingin bersikap keras dan kasar kepadamu."


"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku dapat bertemu dengan Un-ciangkun, komandan pasukan di sini. Aku perlu bertemu dan bicara dengan Un-ciangkun. Karena itu, cepat laporkan kepada Un-ciangkun bahwa aku ingin bertemu dengannya."


Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Seminggu yang lalu Un-ciangkun tewas dikeroyok pengacau dan pemuda ini sekarang minta bertemu dengan perwira yang telah tewas itu. Tentu saja hal ini amat mencurigakan.


"Hemm, apakah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi di sini seminggu yang lalu?"


"Aku baru masuk kota ini pagi tadi, aku tidak mendengar apa-apa. Ada apakah?"


"Sudahlah, pendeknya pada saat ini Un-ciangkun tidak dapat bertemu denganmu. Pergilah atau kami akan menangkapmu dengan tuduhan engkau mempunyai niat buruk terhadap komandan kami."


"Eh, eh! Kalian hendak menangkap aku" Coba saja kalau bisa!" pemuda itu menantang.


Tentu saja kepala jaga menjadi semakin marah. Dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya dan berkata nyaring, "Tangkap pengacau ini!"


Empat orang perajurit menubruk ke depan untuk menangkap pemuda yang berani menentang itu, akan tetapi tubrukan mereka luput dan pemuda itu dengan sigapnya telah dapat mengelak. 


Para penjaga menjadi penasaran sekali dan belasan orang serentak maju mengepung pemuda itu dan mereka menyerang dari segala jurusan untuk menangkapnya. 

Namun, pemuda itu ternyata gesit sekali dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang penjaga terpelanting terkena tamparan dan ditendangnya. 

Para perajurit menjadi makin penasaran dan mereka mengeroyok, kini mereka menyerang bukan saja untuk menangkap, bahkan untuk memukulnya. 

Akan tetapi kembali empat orang terpelanting. Kepala jaga terkejut dan menduga bahwa pemuda itu memang datang untuk membikin kacau, maka dia pun mencabut goloknya dan memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk menggunakan senjata.

Tampak sinar mengkilap ketika semua penjaga mencabut golok masing-masing dan kini mereka menyerang lagi mempergunakan senjata tajam mereka.

Akan tetapi pemuda itu benar-benar tangguh sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok dan setiap tangannya atau kakinya menyambar pasti ada seorang pengeroyok yang roboh, golok mereka terlempar dan mereka terpelanting. 


Melihat keadaan ini, seorang di antara para perajurit itu segera berlari ke dalam untuk membuat laporan.

Para pengeroyok berpelantingan, namun anehnya, tidak seorang pun di antara mereka yang terluka parah, hanya benjol-benjol dan babak belur saja, tidak ada yang terluka berat.


"Hentikan semua serangan!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lai-ciangkun telah berada di situ dengan pedang di tangan. Perwira ini mengamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian, lalu dia melangkah maju menghadapi pemuda itu.


"Orang muda, engkau siapakah dan mengapa engkau membikin ribut di sini?" tanya Lai-ciangkun sambil melintangkan pedangnya di depan dada.


Pemuda itu tertawa, "Ha-ha-ha, kalau penjagaan hanya dilakukan oleh orang-orang lemah, bagaimana dapat melindungi Sang Komandan" Para perajurit yang berjaga di sini lemah sekali, buktinya aku dapat membuat mereka jatuh bangun. 


Seharusnya penjagaan di sini diperkuat dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan jangan lupa, harus disediakan sedikitnya selosin perajurit ahli panah sehingga akan dapat menguasai dan menundukkan orang yang hendak membikin kacau!"

Lai-ciangkun menjadi marah mendengar ini. "Orang muda, engkau sombong sekali! Katakan, siapa engkau dan apa kehendakmu datang ke sini membikin ribut?"


"Apakah engkau Un-ciangkun?" tanya pemuda itu sambil mengamati wajah orang. Lai-ciangkun mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
"Aku bukan Un-ciangkun," jawabnya singkat.


"Ah, kalau begitu, tolong panggilkan Un-ciangkun. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Un-ciangkun."
"Un-ciangkun tidak ada, yang ada aku, wakilnya, aku bernama Lai Kin. Siapakan engkau, orang muda?"


"Aku bernama Song Thian Lee dan aku tidak ingin bicara dengan orang lain kecuali Un-ciangkun karena yang akan kubicarakan adalah urusan yang harus ditangani oleh Un-ciangkun sendiri." 


Pemuda itu memang Song Thian Lee. Seperti kita ketahui, Panglima Song ini diutus oleh Kaisar sendiri untuk melakukan penyelidikan ke wilayah timur dan untuk itu, Thian Lee sengaja menanggalkan pakaian panglima dan mengenakan pakaian rakyat biasa.

Mendengar nama itu, Lai-ciangkun terkejut bukan main. Tentu saja dia mengenal nama panglima besar ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia sendiri belum pernah bertemu muka dengan Song-ciangkun.


"Bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau bernama Song Thian Lee?" tanyanya ragu.


Thian Lee lalu mengambil surat kuasa dari Kaisar dan memperlihatkannya kepada Lai-ciangkun. Melihat ini, Lai-ciangkun lalu berlutut dengan kaki kanan dan memberi hormat seperti penghormatan kepada Kaisar sendiri. 


Thian Lee menyimpan kembali surat kuasanya dan dia berkata dengan lembut, "Nah, sekarang harap panggilkan Un-ciangkun untuk menghadapku."

Lai-ciangkun segera bangkit dan berkata lirih, "Un-ciangkun telah terbunuh, mari silakan masuk ke dalam, Song-ciangkun dan kita bicara di dalam."


Thian Lee terkejut sekali mendengar ini dan dia pun segera mengikuti perwira itu masuk ke dalam. Lai-ciangkun mempersilakan Thian Lee duduk dan setelah memberi hormat dia pun duduk berhadapan dengan pemuda itu.


"Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi sehingga Un-ciangkun terbunuh, Lai-ciangkun," kata Thian Lee dengan suara memerintah dan berwibawa.


Lai-ciangkun lalu menceritakan tentang peristiwa malam itu. "Semua terjadi begitu tiba-tiba, Ciangkun," dia mengakhiri ceritanya. "Sebelum penyerbuan itu terjadi, tidak terlihat tanda-tanda bahwa akan terjadi penyerangan. 


Malam gelap dan hujan, maka para penjaga menjadi terkejut ketika tiba-tiba diserbu oleh puluhan orang banyaknya. 

Para penyerbu itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan Un-ciangkun dikeroyok belasan orang yang lihai. Biarpun dia dibantu oleh beberapa orang pengawalnya, namun akhirnya dia roboh juga dan terbunuh bersama semua pengawalnya."

Thian Lee mengerutkan alisnya yang tebal. "Akan tetapi, bagaimana sampai ada belasan orang penjahat yang dapat masuk, padahal penyerangan puluhan orang itu telah dilawan oleh pasukan yang bertugas jaga, bukan?"

"Memang demikianlah. Tidak ada yang melihat ada yang dapat menyerbu masuk. Tahu-tahu telah ada belasan orang itu yang menyerbu ke dalam, tentu mereka itu sudah dapat memasuki gedung sebelum penyerangan dilakukan. 
Mereka tentu telah menyelundup masuk tanpa diketahui penjaga."

"Hemm, memang aku melihat sendiri betapa penjagaan di sini kurang ketat dan sebaiknya para penjaga itu diganti oleh orang-orang yang lebih tangguh. 


Apakah sebelum peristiwa pembunuhan atas diri Un-ciangkun itu terjadi, tidak ada tanda-tanda bahwa di daerah ini terdapat gejala-gejala pemberontakan?"

Lai-Ciangkun  menggeleng kepalanya. "Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada Ciangkun. Suasana tenteram saja."


"Aku mendengar bahwa kadang terjadi perampokan di pesisir, dilakukan oleh bajak-bajak laut Jepang," kata Thian Lee sambil menatap tajam wajah kurus Lai-ciangkun yang memiliki mata yang tampak cerdik itu.


"Hal itu tidak dapat dibantah, Ciangkun. Memang ada terjadi perampokan kecil-kecilan oleh bajak laut, akan tetapi itu jarang atau kadang-kadang saja. 


Para perampok itu lalu melarikan diri dengan perahu mereka. Mereka berani mengganggu rakyat di tempat-tempat yang kebetulan tidak ada penjaganya."

"Apakah tidak ada orang-orang Jepang yang berkeliaran di kota ini dan sekitarnya?"


"Tidak ada, Ciangkun." "Baru seminggu Un-ciangkun tewas. Bagaimana kini engkau dapat menjadi komandan di sini, Ciangkun?" tanya Thian Lee sambil memandang wajah Lai Kin dengan tajam penuh selidik.


Wajah perwira itu menjadi merah. "Ah, saya sama sekali tidak menjadi komandan di sini, Ciangkun, hanya sementara saja menggantikan Un-ciangkun sambil menanti keputusan Sri Baginda Kaisar atas laporan saya bahwa Un-ciangkun telah tewas terbunuh."


Thian Lee mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain. Pasukan di situ harus memiliki eorang komandan dan selain Lai Kin tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk menjadi komandan sementara. 



Dia mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri di daerah yang menurut berita yang diperoleh Kaisar merupakan daerah rawan itu.

"Bagaimana keadaan Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur?" tiba-tiba dia bertanya.


"Ah, dia" Saya kira"... menurut pengetahuan saya, dia baik-baik saja, Ciang-kun," jawab Lai Kin agak tersendat. Akan tetapi Thian Lee berpura-pura tidak tahu akan sikap itu, hanya mencatat dalam hati bahwa perwira she Lai ini terkejut ketika ditanya tentang Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai.


Malam itu Thian Lee bermalam di markas, memperoleh sebuah kamar yang besar sebagai seorang tamu kehormatan. 


Setelah dijamu makan malam, Thian Lee lalu beristirahat, memasuki kamarnya di mana dia duduk bersila di atas pembaringan untuk mengumpulkan hawa murni, mengusir kelelahan tubuhnya dan merenungkan hasil percakapan tadi.
Thian Lee termenung. Di timur ini yang menjadi komandan dua pasukan adalah Un-ciangkun dan Phoa-ciangkun. Kalau ada perwira yang hendak berkhianat, tentu seorang di antara keduanya itu. Akan tetapi, Un-ciangkun terbunuh oleh orang-orang yang tidak diketahui siapa. 

Apakah Phoa-ciangkun yang membunuhnya setelah Un-ciangkun mengetahui bahwa dia hendak berkhianat dan bersekutu dengan orang Jepang" Atau barangkali Un-ciangkun sendiri yang berkhianat" 

Juga Lai-ciangkun itu patut dicurigai. Siapa tahu dia dalang pembunuhan karena kalau Un-ciangkun tewas, besar kemungkinan dia yang akan diangkat menjadi komandan. 

Atau semua dugaannya itu keliru dan ada orang-orang tersembunyi yang mendalangi itu semua" Dia harus melakukan penyelidikan kepada Phoa Ciangkun dan meninjau daerah pantai. 

Dengan pikiran ini Thian Lee tertidur. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang sakti, dalam keadaan itu Thian Lee akan dapat terbangun oleh sedikit saja suara atau gerakan yang mencurigakan.

Dua orang berpakaian serba hitam itu bergerak cepat sekali. Hanya bayangan mereka yang berkelebatan di atas atap genteng dan sebentar kemudian bayangan mereka sudah melayang turun. 

Mereka adalah dua orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan muka mereka pun tertutup kain hitam, hanya memperlihatkan kedua mata mereka saja yang tajam bersinar seperti mata kucing.

Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun mereka kini telah mendekam di luar jendela kamar di mana Thian Lee bermalam. 


Seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah tabung kecil seperti suling, memasukkan bubuk putih ke dalam tabung dan setelah orang kedua membuat lubang di jendela dengan jarinya, pemegang tabung lalu meniup melalui tabung itu sambil memasukkan ujung tabung ke dalam kamar melalui lubang. 

Sampai lima kali dia melakukan ini dan dia meniup dengan tenaga khi-kang, mengerahkan bubuk yang ditiupkannya ke arah pembaringan. 

Terdengar suara orang terbatuk-batuk. Di dalam kamar itu, lalu suara batuk itu sendiri terhenti dan suasana menjadi sunyi kembali.

Dua orang bertopeng hitam itu saling pandang, lalu mengangguk dan seorang di antara mereka menggunakan pedangnya untuk mencokel daun jendela. 


Setelah daun jendela terbuka, bagaikan dua ekor kucing mereka berlompatan masuk ke kamar itu tanpa mengeluarkan suara. 

Kamar itu remang-remang, hanya mendapat penerangan dari luar kamar, akan tetapi dua orang itu dapat melihat bentuk tubuh manusia tertidur di atas pembaringan. Mereka mengelebatkan pedang dan dengan gerakan cepat pedang mereka dibacokkan ke arah tubuh manusia itu.

"Crok! Crokk!" Mereka terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka bacok itu hanya guling yang diselimuti kain. Maklum bahwa usaha mereka gagal, cepat berloncatan keluar lagi dari jendela yang terbuka itu.


Akan teiapi, di depan mereka berdiri seorang yang bertolak pinggang memandang mereka, tubuhnya tinggi tegap dan orang ini bukan lain adalah Song Thian Lee! 


Biarpun tadinya dia tidur pulas, namun sedikit gerakan kaki di atas atap cukup untuk membangunkannya. 

Dia segera maklum bahwa ada dua orang mempergunakan gin-kang yang cukup tinggi sedang menuju ke kamarnya, maka dia cepat membuka pintu, keluar lalu menutupkan lagi pintu kamarnya, mengintai dari balik pot bunga besar yang berada di luar kamar. 

Dia dapat melihat apa yang dilakukan dua orang itu dan tersenyum sendiri. 

Setelah dua orang meloncat ke dalam kamar, dia pun menghampiri daun jendela sehingga ketika dua orang itu keluar lagi, mereka sudah berhadapan dengan dia.

Dua orang itu terkejut dan juga penasaran. Dengan gerakan cepat dan kuat sekali, mereka menggerakkan pedang menyerang Thian Lee. 


Akan tetapi mereka merasa seperti menyerang bayangan saja karena Thian Lee bergerak jauh lebih cepat daripada mereka, mengelak ke sana-sini dan berloncatan di antara dua gulungan sinar pedang. 

Dia menggunakan Hui-tiauw-kun (Silat Rajawali Terbang), dengan mudah menghindarkan diri dari semua sambaran pedang, kemudian membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan angin berciutan.

Kedua orang itu tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri, maka dengan nekat mereka menyerang terus. 


Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mereka terdesak hebat oleh kedua tangan Thian Lee yang menyambar-nyam bar. 

Dua orang yang merasa bahwa mereka adalah jagoan-jagoan lihai sekali itu benar-benar terkejut, penasaran dan menjadi nekat. 

Mereka terus menyerang karena memang tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri lagi. Kalau mereka membalikkan tubuh, mereka khawatir akan terkena pukulan ampuh yang mengeluarkan angin amat dahsyat itu.

Biarpun kedua orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan memiliki ilmu pedang yang ampuh, namun menghadapi Panglima Besar Song, Thian Lee, semua serangan mereka sia-sia belaka. 


Akhirnya, dengan sebuah tendangan kaki kiri dan tamparan tangan kanan, Thian Lee dapat merobohkan kedua orang pengeroyoknya. 

Mereka terlempar ke kanan kiri dan selagi Thian Lee yang sengaja merobohkan mereka tanpa membunuh hendak menghampiri, dia melihat dua sinar berkelebat ke arah kedua orang itu. 

Dengan terkejut Thian Lee menghampiri, akan tetapi mereka berdua sudah berkelojotan dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, masing-masing tertusuk sebatang pisau belati pada ulu hati mereka. 

Thian Lee menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak nampak bayangan manusia dan dia pun dapat menduga bahwa Si Pelempar Belati adalah seorang yang amat lihai.

Suara ribut-ribut itu menarik perhatian beberapa orang penjaga dan mereka berlarian ke situ. Tak lama kemudian, Lai-ciangkun juga tiba di situ.


"Ada apakah, Ciangkun?" tanya Lai-ciangkun dengan kaget.
"Dua orang ini berusaha untuk membunuhku," jawab Thian Lee singkat dan pandang matanya mencari-cari di antara para pengawal itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat para pengawal menundukkan muka karena pandang mata itu tajam sekali menusuk sampai ke hati. 


Sementara itu, Lai-ciangkun berjongkok dan memeriksa kedua orang itu, merenggut lepas kain hitam yang menutupi muka mereka.

"Bagaimana, Lai-ciangkun" Apakah engkau mengenal mereka?" tanya Thian Lee akan tetapi dia sudah menduga bahwa perwira itu tentu tidak mengenal mereka. Lai-ciangkun menggeleng kepalanya dan memanggil belasan orang pengawal itu untuk melihat kalau-kalau di antara mereka yang mengenal kedua orang itu.


Seorang di antara pengawal berseru, "Hei, bukankah mereka ini adalah Siang-hui-houw (Sepasang Harimau Terbang), kakak beradik she Kam yang tinggal di Hui-lam" Ah, benar mereka, saya pernah bertemu dengan mereka, Ciangkun."


" Apa" Bukankah Siang-hui-houw itu sepasang pendekar dari Hui-lam?" tanya pula Lai ciangkun.
"Benar, Ciangkun. Mereka ini kakak beradik yang terkenal sebagai pendekar di Hui-lam."


"Akan tetapi, mengapa mereka berusaha membunuhmu, Song-ciangkun" Sepanjang yang kudengar, mereka adalah sepasang pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan mereka tewas oleh pisau di ulu hati mereka. 


Maaf, apakah engkau mempergunakan pisau terbang, Ciangkun?" Lai-ciangkun bangkit berdiri dan menghadapi Thian Lee.
Thian Lee menggeleng kepalanya. 


"Bukan aku yang membunuh mereka. Mereka membongkar jendela kamarku, hendak membunuhku, akan tetapi aku sudah keluar dan aku hanya merobohkan mereka. 

Sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada yang menyambitkan pisau-pisau itu dan menewaskan mereka. Tentu hal itu dilakukan orang agar mereka tidak mernbocorkan rahasia komplotan ini."

Dua mayat itu lalu digotong pergi dan Thian Lee kembali ke kamarnya, setelah bantal guling yang berantakan dihajar pedang itu diganti dengan bantal guling baru oleh pelayan. Dia duduk bersila di atas pembaringannya dan memutar pikirannya untuk memecahkan teka-teki itu. 


Dua orang pendekar hendak membunuhnya dan mereka terbunuh oleh orang lain. Tentu orang lain itu komplotan mereka, merupakan orang yang lebih penting atau bahkan mungkin pemimpin mereka. Akan tetapi, dua orang itu dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah, lalu apa maksudnya hendak membunuhnya"
Thian Lee mengerutkan alisnya. Siapakah yang berkepentingan untuk membunuhnya" Tentu orang yang memusuhinya, dan karena dia seorang panglima besar, maka musuhnya itu tentulah golongan pemberontak! 

Jadi, dua orang pendekar itu telah menjadi komplotan pemberontak, dan hal ini mungkin terjadi. Banyak pendekar yang tertarik untuk membantu pemberontak yang mereka anggap sebagai perjuangan melawan penjajah.

Setelah membolak-balik pikirannya, Thian Lee lalu mendapat kesimpulan bahwa pertama: kedua orang pembunuh itu pasti dibantu orang dalam sehingga mereka mampu bergerak dengan. Leluasa mendekati kamarnya dan orang dalam itu tentu saja satu atau lebih di antara anak buah Lai-ciangkun. 


Ada pengkhianat dalam pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun. Dan ke dua: kalau dua pendekar itu berkomplot dengan pemberontak, tentu ada pendekar-pendekar lainnya di daerah ini yang juga sudah dapat ditarik menjadi komplotan para pemberontak. 

Atau setidaknya, para pendekar lain tentu mengetahui tentang gerak-gerik pemberontak di daerah itu. Maka yang harus dikerjakan adalah mencari pengkhianat dalam pasukan Lai-ciangkun, dan ke dua menyelidiki para pendekar yang berada di Hui-cu dan sekitarnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah menemui Lai-ciangkun dan menyatakan pendapatnya, "Lai-ciangkun, semalam aku sudah berpikir bahwa dua orang pembunuh itu tentu dibantu orang dalam sehingga mereka dapat masuk ke sini dengan mudah dan tidak diketahui oleh para penjaga. 


Karena itu, aku minta kepada Lai-ciangkun untuk bersikap waspada dan diam-diam melakukan penyelidikan dan pemeriksaan ke dalam untuk menangkap pengkhianat itu. Agaknya di antara orang-orang bawahanmu ada yang bersekongkol dengan orang luar, mungkin dengan para pemberontak."

Mendengar ucapan itu, Lai Kin tampak terkejut sekali. "Ada pengkhianat di dalam" Akan tetapi...."

"Tidak perlu ragu lagi, Ciangkun. Selain dua orang itu tidak mungkin masuk tanpa diketahui kalau tidak mendapat bantuan dari dalam, juga ingat akan orang yang membunuh kedua orang bertopeng hitam itu. 

Bagaimana dia dapat melakukan pembunuhan lalu menghilang begitu saja" Mungkin pembunuh itu adalah orangmu sendiri. Maka berhati-hatilah dan lakukan penyelidikan dengan teliti."

"Baik, baik, Thai-ciangkun," kata Lai-ciangkun dengan sikap taat dan hormat.


"Nah, kuserahkan penyelidikan itu kepadamu. Aku hendak melakukan penyelidikan keluar dan mungkin dalam beberapa hari ini aku tidak akan kembali ke sini."


"Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan" Saya dapat menyediakan seregu perajurit pilihan untuk membantuku."


Thian Lee menggeleng kepalanya. "Tidak usah, Lai-ciangkun. Melakukan penyelidikan beramai-ramai sukar mendapatkan hasil yang kuinginkan."

Song Thian Lee lalu berkemas, mengenakan pakaian biasa dan membawa buntalan pakaian di mana terdapat pedangnya, digendongnya buntalan itu di punggung. Kemudian dia keluar dari markas itu melalui pintu belakang yang menembus kebun sehingga tidak akan tampak oleh orang lain.

Siang hari itu Thian Lee melakukan penyelidikan dengan mendengar keterangan dari penduduk di Hui-cu. 


Dia bertanya kepada beberapa orang tentang para pendekar yang terdapat di Hui-cu. Seorang laki-laki setengah tua yang berjualan tahu ketika ditanya memandang kepada Thian Lee dengan mata disipitkan.

"Untuk apa engkau menanyakan itu, orang muda?"
"Saya seorang perantau, Paman, dan saya senang sekali berkenalan dengan para pendekar. 


Tahukah Paman, siapakah pendekar-pendekar yang paling terkemuka di sini, paling dikenal rakyat sebagai pendekar yang budiman dan gagah perkasa?" Thian Lee bertanya seperti sambil lalu dan membeli beberapa potong tahu yang sudah matang dan memaksanya untuk sarapan pagi.

"Di Hui-cu dan sekitarnya terdapat banyak orang gagah. Agaknya setelah Un-ciangkun menjadi komandan di sini, tidak ada orang yang melakukan kejahatan. 


Mereka yang kuat tidak ada yang berani bertindak sewenang-wenang, bahkan condong untuk menentang kejahatan. Akan tetapi di antara mereka semua itu, yang paling dikenal dan dihormati rakyat adalah keluarga Cia yang tinggal di ujung kota, di kaki bukit itu. 

Keluarga itu terdiri dari orang-orang gagah yang sudah sering kali menghajar orang-orang jahat sehingga tidak ada lagl orang jahat berani mengacau di sini. Ya, keluarga Cia itulah keluarga pendekar besar yang paling dikenal di sini."

Diam-diam Thian Lee membenarkan ucapan itu. Nama keluarga Cia memang terkenal, bukan hanya di daerah itu, di dunia kang-ouw juga membicarakan. 


Sebuah keluarga tua yang sudah lama terkenal, memiliki pendekar-pendekar turun-temurun dan kabarnya ilrnu silat mereka amat lihai. 

Dia sudah lama tahu bahwa di Hui-cu tinggal keluarga Cia. Kalau dia mela.kukan penyelidikan untuk mengetahui pendekar-pendekar lainnya, hal itu adalah untuk memperlengkap penyelidikannya. 

Dia tidak percaya kalau keluarga Cia yang demikian ternama mau bersekutu dengan pemberontak, apalagi dengan para peratnpok bangsa Jepang. 

Akan tetapi, dia harus menyelidiki. Siapa tahu mereka itu termasuk patriot yang membenci Kerajaan Mancu. 

Banyak patriot yang seperti itu mudah dibujuk oleh kaum pemberontak untuk "berjuang" menentang pemerintah penjajah sehingga mereka tidak segan-segan bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat yang memberontak seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan beberapa perkumpulan sesat lainnya. 

Saking besar semangatnya memusuhi pemerintah pemberontak mereka sampai lupa bahwa mereka itu dipergunakan oleh perkumpulan sesat yang "berjuang" demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.





Thian Lee melakukan penyelidikan sampai sehari penuh. Menjelang senja, selagi dia berjaian perlahan-lahan untuk menyusun tindakan apa yang akan dilakukan malam nanti, tiba-tiba dia melihat dua orang berjalan dari arah depan dan begitu melihat mereka, Thian Lee segera menundukkan mukanya dan melihat dari bawah ke arah muka mereka. 

Dia mengenal dua orang ini, walaupun baru satu kali dia bertemu dengan mereka, akan tetapi mereka tidak mengenalnya. 

Yang seorang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Bahkan mukanya amat menarik perhatian saking hitamnya. 

Di pinggang kirinya tergantung sebatang ruyung besar yang berduri. Laki-laki ini berusia kurang lebih lima puluh tahun dan Thian Lee mengenalnya sebagai orang yang berjuluk Hek-bin Moko (Setan Berwajah Hitam). 

Orang ke dua berusia sebaya dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya kuning seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan dia memegang sebatang tongkat hitam. 

Dia pun terkenal dengan julukannya Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti). Kedua orang itu adalah dua orang tokoh sesat yang lihai.
Thian Lee membiarkan kedua orang itu lewat. Setelah mereka jauh, barulah dia menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, lalu membayangi kedua orang itu dari jauh. 

Dia merasa heran mengapa dua orang tokoh kang-ouw itu berkeliaran di kota Hui-cu. Tidak mungkin kalau hal ini kebetulan saja. Dan dia tahu betul betapa lihai dua orang ini. 

Agaknya kalau seorang di antara mereka yang melakukan pembunuhan secara gelap kepada dua orang bertopeng malam tadi, hal itu tidaklah aneh. 

Andaikata bukan mereka yang melakukannya, namun mereka berdua datang ke tempat itu pasti mengandung makna yang amat penting. Mereka jelas bukan sebangsa pendekar, melainkan tokoh sesat yang tidak segan melakukan perbuatan jahat.

Dua orang itu berjalan dengan santai menuju ke sebelah utara, kemudian keluar dari pintu gerbang kota Hui-cu sebelah utara. Bagian utara kota itu merupakan daerah perbukitan yang sunyi, tidak ada dusun di situ karena daerah itu masih liar dan bukit-bukitnya penuh dengan hutan belukar.


Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai memang dua orang yang amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kehebatan ilmu kepandaian mereka. 


Di mana pun mereka berada mereka pasti akan menguasai dunia hitam daerah itu dan menjadi pemimpinnya. 

Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) itu tentu segera merampas kedudukan sebagai ketua partai pengemis yang berkuasa di daerah itu dan selanjutnya menjadi raja kecil yang menerima penghormatan dan pelayanan para pengemis. 

Sedangkan Hek-bin Mo-ko tentu akan menguasai semua penjahat seperti para maling dan copet, juga merampas kedudukan para kepala gerombolan yang menguasai rumah-rumah judi dan rumah pelacuran.
Akan tetapi agaknya dua orang tokoh sesat itu baru saja tiba di kota Hui-cu dan mereka belum sampai merampas kedudukan-kedudukan itu, karena kalau mereka berdua sudah berkuasa di situ, tentu Thian Lee akan mendengar nama mereka ketika dia melakukan penyelidikan tadi.

Dengan hati tegang Thian Lee terus membayangi mereka keluar dari kota dan mendaki bukit pertama di luar kota itu. Malam sudah hampir tiba dan cuaca sudah remang-remang. 


Dia melihat mereka memasuki sebuah hutan di bukit itu. Tanpa ragu Thian Lee juga membayangi mereka memasuki hutan itu dari jarak lebih dekat karena dia tidak mau kehilangan mereka. 

Dia merasa yakin bahwa kedua prang itu tentu berkunjung ke tempat persembunyian mereka atau mungkin juga masuk ke hutan itu untuk menemui orang yang ada hubungannya dengan pernberontakan. 

Hati Thian Lee menjadi tegang penuh harapan.
Akan tetapi ketika dia membayangi sampai ke tengah hutan yang mulai gelap, tiba-tiba dia mendengar gerakan banyak orang dan tahu-tahu dari empat penjuru berloncatan banyak orang dan dirinya sudah dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang! 


Mereka semua memegang golok dan senjata tajam lainnya. Dia berhenti dan bersikap waspada. Kemudian muncullah dua orang yang dibayanginya tadi di antara orang banyak dan mereka berdua tertawa bergetak menghadapi Thian Lee,
"Ha-ha-ha, sekarang engkau akan dapat berbuat apa, Panglima Besar Song Thian Lee?" Hek-bin Mo-ko tertawa sambil mencabut ruyung berduri dari pinggangnya.

"Heh-heh-heh, seorang panglima besar antek Mancu berkeliaran di sini seperti seekor ular mencari penggebuk. 


Hari ini engkau akan mampus, Song Thian Lee!" kata Sin-ciang Mo-kai dan dia pun sudah mengangkat tongkat hitamnya. 

Tongkat hitam itu berbahaya sekali karena ujungnya direndam racun dan sekali saja tergores atau tertusuk tongkat itu cukup untuk membunuh orang.

Thian Lee maklum bahwa dirinya terancam bahaya, namun dia tetap tersenyum tenang. Dua orang itu telah mengenalnya! 


Hal ini sungguh tidak mungkin karena biarpun dia pernah melihat mereka, namun mereka itu tentu tidak mengenalnya. 

Kini tahu-tahu mereka, telah mengenalnya, bukan hanya mengenal namanya, bahkan tahu bahwa dia adalah panglima besar! Ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau mereka berdua memang sudah ada yang memberi tahu! 

Dan siapakah yang mengetahui bahwa Panglima Besar Song berada di Hui-cu" Lai-ciang-kun" Ah, masa Lai-ciangkun mempunyai hubungan dengan dua orang tokoh sesat itu" 

Tentu seorang di antara anak buah Lai-ciangkun, mungkin tokoh yang telah membunuh dua orang bertopeng itu.

Thian Lee merasa tidak perlu untuk berpura-pura lagi. "Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai! Apa maksud kalian mengepungku dan mengancamku" Sepanjang ingatanku, belum pernah aku bermusuhan dengan kalian berdua!"


"Kalau belum pernah bermusuhan, mengapa engkau membayangi kami berdua?" Tanya Hek-bin Mo-ko.
"Engkau membayangi kami berdua tentu bukan dengan maksud mengajak kami beramah-tamah, bukan?" ejek Sinciang Mo-kai.


"Karena aku merasa heran dan ingin tahu mengapa dua orang seperti kalian berkeliaran di kota Hui-cu!" jawab Thian Lee.


"Sudahlah, Mo-ko, mengapa mengajak calon mayat ini bercakap-cakap" Cepat habisi nyawanya!" kata pula Sin-ciang Mo-kai dengan marah dan ia pun sudah melompat ke depan dan tongkatnya menyambar ke arah leher Thian Lee. 


Pendekar ini cepat miringkan tubuhnya mengelak dan dari samping dia sudah menampar ke arah pundak Si Pengemis Iblis. Hawa pukulan yang amat dahsyat membuat Sin-ciang Mo-kai terdorong mundur biarpun dia sudah mengelak sehingga dia terkejut sekali. 

Akan tetapi pada saat itu, ruyung berduri di tangan Hek-bin Mo-ko sudah menyambar dengan hantaman yang amat kuat ke arah dada Thian Lee.

"Mampuslah!" bentak Mo-ko, akan tetapi dengan mudah saja Thian Lee menghindarkan diri dari sambaran ruyung itu. 


Ketika Sin-ciang Mo-kai dan anak buahnya menyerbu, dia sudah mengambil pedangnya dari dalam buntalan pakaiannya dan dari situ pedang Jit-goat-sin-kiam telah berada di tangannya. 

Ketika dia memutar, pedangnya menangkis hujan senjata tajam itu, terdengarlah suara nyaring berdenting-denting. 

Para pengeroyok hanya melihat sinar terang bergulung-gulung menyilaukan mata dan banyak di antara mereka yang menjadi kaget karena senjata mereka telah patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan sinar terang itu! 

Thian Lee menggerakkan kakinya dan nnenendangi mereka yang masih terkejut itu sehingga empat orang pengeroyok terpental sampai tiga meter dan jatuh berpelantingan seperti daun-daun kering tertiup angin! 

Tentu saja para pengeroyok menjadi terkejut bukan main, akan tetapi mereka mengandalkan banyak teman dan semakin ketat, bersikap hati-hati agar senjata mereka tidak bertemu dengan pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu.

Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terkejut. Mereka hanya pernah mendengar bahwa Panglima Besar Song Thian Lee adalah seorang yang sakti, akan tetapi mereka belum pernah membuktikannya sendiri. 


Kini, mengandalkan pengeroyokan banyak kawan, mereka berdua maju dan menerjang dengan berani dan dahsyat, dibantu oleh seorang yang bertubuh katai dan yang memainkan sebatang pedang samurai yang panjang dan melengkung. 

Orang ini juga lihai sekali permainan pedangnya. Melihat gerakan pedang samurai itu, Song Thian Lee da-pat menduga .bahwa dia tentu seorang bangsa Jepang yang sering didengarnya. 

Jagoan-jagoan Jepang memang mahir menggunakan pedang panjang melengkung yang dimainkan dengan nnemegangi tangkai pedang dengan kedua tangannya.

Thian Lee menjadi sernakin besar kecurigaannya. Agaknya dapat dipastikan bahwa dua orang tokoh sesat ini telah bersekongkol dengan orang Jepang. Dan anak buah mereka itu tentulah anak buah pemberontak. 


Dia pun mengamuk dengan Jit-goat-sin-kiamnya sehingga robohlah beberapa orang lagi terkena sambaran sinar pedangnya.

Melihat betapa tangguhnya Thian Lee, kedua orang tokoh sesat itu menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. 


Juga orang Jepang yang memainkan samurai itu. Ketika suatu saat samurai itu berkelebat ke arah pinggang. 

Thian Lee, pendekar ini menangkis dengan pedangnya dari atas ke bawah dan membarengi melepas dengan sebuah tendangan yang dengan tepat rnengenai dada Si Jepang itu sehingga terlempar dan jatuh terguling-guling. 

Akan tetapi agaknya dia cukup tangguh dan cepat dia sudah bangkit berdiri lagi dan agaknya dia mengerti bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya tentu akan menderita kerugian besar. 

Apalagi cuaca sudah mulai gelap, maka dia pun berseru, "Lari......!"

Agaknya seruan Si Jepang ini berpengaruh karena para pengeroyok segera melarikan ke dalam gelap sambil menarik teman-teman mereka yang terluka. 

Thian Lee meloncat hendak mengejar karena dia ingin menangkap seorang di antara mereka untuk ditanyai, akan tetapi tiba-tiba terdengar ledakan nyaring dan tampak asap tebal sehingga terpaksa Thian Lee menghentikan pengejarannya karena dia khawatir kalau-kalau asap itu mengandung racun. Terpaksa dia kembali lagi keluar dari hutan yang mulai gelap itu.

Pengalaman di dalam hutan itu membuat Thian Lee semakin bersemangat untuk melakukan penyelidikan. 


Sudah jelas sekarang bahwa memang ada komplotan yang menentang pemerintah dan yang berusaha untuk membunuh orang orang berpangkat. 

Buktinya Un-ciangkun tewas terbunuh dan dia dua kali terancam bahaya maut. Bagaimana dengan pembesar yang lain" Dia sudah menyelidiki dan mendengar bahwa Ji-taijin yang menjadi kepala daerah itu adalah seorang yang bijaksana dan mencintai rakyatnya. 

Pembesar seperti itu tentu dimusuhi juga oleh komplotan pemberontak. Dia lalu langsung saja menunjukkan langkah kakinya ke rumah tempat tinggal Ji-taijin.

Ketika dia tiba di depan gardu di mana para perajurit berjaga didepan rumah gedung tempat tinggal Ji-taijin dia dihentikan oleh belasan orang penjaga.


"Orang muda, engkau siapakah dan apa maksudmu datang ke sini?" tanya kepala jaga sambil memandang penuh kecurigaan. Bahkan semua penjaga sudah mengepungnya dan bersiap-siaga dengan senjata mereka. 


Melihat ini, Thian Lee menduga bahwa pernah ada ancaman atas diri pembesa itu sehingga penjagaan diperketat.

"Aku bukan musuh dan datang dengan maksud baik. Harap kalian laporkan kepada Ji-taijin bahwa aku adalah Song Thian Lee, datang dari kota raja membawa berita penting bagi Ji-taijin."


Melihat sikap ramah dan lunak dari Thian Lee, kepala jaga juga bersikap lembut dan dia menyuruh Thian Lee menunggu setentar sedangkan dia pergi melapor ke dalam.


Tak lama kemudian dia keluar lagi berkata kepada Thian Lee. "Engkau dipersilakan masuk, Saudara Song. 


Akan tetapi karena kami belum mengenalmu dan tidak tahu apa keperluanmu dengan kunjungan ini, demi keselamatan Ji-taijin, terpaksa engkau harus meninggalkan buntalan itu di sini dan masuk ke dalam gedung dengan pengawalan."

Thian Lee mengangguk. Cukup teliti para penjaga ini, pikirnya. Dia lalu menyerahkan buntalan pakaiannya yang juga terisi pedangnya, kemudian dia melangkah memasuki gedung dikawal oleh enam orang penjaga yang bertubuh kokoh dan yang telah mencabut pedang mereka. 


Dia membawa masuk ke ruangan tamu, disuruh duduk dengan enam orang itu berjaga di kanan kirinya.

Pintu dari dalam terbuka dan seorang laki-laki setengah tua muncul dalam ruangan itu. Dia adalah Ji Kian atau Ji-taijin yang bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata tajam namun sikapnya lembut dan sinar rnatanya ramah. 

Sejenak Ji-taijin mengamati wajah Thian Lee yang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat, kemudian pembesar yang diikuti oleh enam orang pengawal yang berdiri di belakangnya itu memberi isyarat kepada enam orang pengawalnya dan enam orang penjaga yang mengawal Thian Lee agar mereka meninggalkan mereka berdua. 


Sekali pandang saja tahulah Ji-taijin bahwa Thian Lee seorang baik-baik yang tidak mengandung niat jahat terhadap dirinya dan dia pun tahu bahwa para pengawal itu tidak pergi begitu saja melainkan berjaga di luar kamar tamu, siap untuk setiap saat menyerbu ke dalam kamar.

Setelah semua pengawal pergi, Ji-taijin lalu mempersilakan Thian Lee duduk. "Engkau bernama Song Thian Lee dan datang dari kota raja" 

Harap perkenalkan siapa dirimu dan apa maksud kedatanganmu berkunjung kepadaku?"

Thian Lee mengeluarkan surat kuasa dari saku dalam bajunya, lalu memperlihatkan kepada Ji-taijin. 


Ketika membaca surat kuasa dan mengetahui bahwa Song Thian Lee yang kini menghadapnya bukan lain adalah Song-thai-ciangkun yang amat terkenal, Ji-taijin terkejut sekali. Dia mengembalikan surat kuasa dan segera memberi hormat dengan membungkuk dalam.

"Tidak tahu bahwa Song-ciangkun yang datang berkunjung, harap maafkan bahwa kami menyambut kurang hormat," katanya dengan hormat.


Thian Lee cepat membalas penghormatan itu., "Jangan terlalu sungkan, taijin, mari kita duduk dan bicara secara terbuka. 


Kedatanganku di Hui-cu ini untuk melaksanakan tugas yang diberikan Sri Baginda kepadaku, yaitu untuk menyelidiki gejala-gejala pemberontakan yang tampak di daerah ini. 

Apa yang dapat Taijin beri tahu kepadaku mengenai gejala ini?"

Setelah berpikir sejenak, Ji-taijin lalu menjawab, "Kami di sini tidak melihat adanya gejala pemberontakan. Yang kami ketahui adalah adanya gejala permusuhan terhadap para pejabat pemerintah. 


Kami sendiri sudah dua kali kedatangan seorang berkedok hitam. Entah apa yang dikehendakinya, akan tetapi yang terakhir kali muncul adalah untuk meninggalkan surat ini."

Ji-taijin menyerahkan surat peringatan yang diterimanya dari Si Kedok Hitam, seperti dia perlihatkan kepada Souw Lee Cin dahulu. 


Thian Lee menerima surat itu dan membacanya dengan teliti. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada Ji-taijin.

"Bagaimana pendapat Ji-taijin mengenai surat ini" Siapa kira-kira yang mengirim surat peringatan ini?"

"Kami tidak tahu, Ciangkun. Karena para petugas pun hanya melihat sekelebatan saja orang berkedok hitam itu. 

Yang jelas, ilmu kepandaiannya amat tinggi. Dan agaknya Un-ciangkun juga terbunuh oleh orang yang sama. 

Semenjak itu kami selalu mengadakan penjagaan ketat, kalau-kalau dia juga menghendaki nyawa kami, Ciangkun."

"Apakah Ji-taijin kira ini ada hubungannya dengan gerakan pemberontakan?"


"Kami kira tidak begitu, Ciangkun. Kami lebih condong mengira bahwa orang berkedok itu adalah sebangsa pendekar patriot yang membenci semua orang Han yang menjadi pejabat pemerintah."


"Ji-taijin, engkau sebagai kepala daerah Hui-cu tentu lebih mengetahui, siapa pendekar-pendekar patriot yang tinggal di daerah Hui-cu."


"Yang paling terkenal adalah keluarga Cia, namun kami menyangsikan apakah mereka yang mengirim Si Kedok Hitam itu. 


Selama ini mereka tidak pernah melakukan hal-hal yang jahat, bahkan sebaliknya, keluarga Cia selalu menentang kejahatan."

"Hemm, akan tetapi mereka membenci pejabat yang berbangsa Han, berarti mereka membenci engkau, Ji-taijin."


"Tidak tahulah, akan tetapi melihat kenyataan bahwa mereka tidak menyerangku, hanya memperingatkan, memang ada kecenderungan menuduh mereka. 


Akan tetapi, tanpa bukti, bagaimana kita dapat menuduh mereka, Ciangkun?"

"Apakah Taijin pernah mendengar dari para penyelidik Taijin bahwa akhir-akhir ini terdapat orang Jepang yang berkeliaran di Hui-cu?" tanya Thian Lee sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah pembesar itu. 


Akan tetapi dia melihat bahwa wajah pembesar itu tidak mernperlihatkan sesuatu yang mencurigakan dan wajar-wajar saja.

"Memang pernah kami mendengarnya, Ciangkun. Akan tetapi karena orang Jepang itu tidak melakukan gangguan, maka dia pun tidak terlalu diperhatikan."


"Menurut Taijin, bagaimana dengan sikap mendiang Un-ciangkun" Apakah dia itu dapat dipercaya dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia berhubungan dengan pemberontak?"


"Ah, kami berani menanggung bahwa mendiang Un-ciangkun bersih dari sangkaan seperti itu. Dia seorang panglima yang tegas dan adil, berwibawa dan bijaksana. 


Tidak mungkin dia hendak memberontak! Kami berhubungan dekat sekali sehingga kalau dia akan melakukan penyelewengan, kami tentu akan mengetahui, Ciangkun."
Thian Lee mengangguk-angguk. 


"Bagaimana pendapat Ciangkun mengenai diri Lai-ciangkun" Apakah dia pun sama seperti Un-ciangkun?"

"Wakil komandan itu" Kami tidak mengetahui dengan jelas, Ciangkun. Hubungan antara kami dan Un-ciangkun adalah lebih hubungan pribadi antara sahabat, maka kami tidak begitu dekat dengan Lai-ciangkun."

Thian Lee mengangguk-angguk. Kecurigaannya terhadap keluarga Cia mengendur dengan keterangan yang bersungguh-sungguh dari Ji-taijin ini dan agaknya Ji-taijin seorang yang dapat dipercaya dan meyakinkan.

"Baiklah, terima kasih atas semua keteranganmu, Ji-taijin. Aku mohon pamit untuk meneruskan penyelidikanku."

"Apakah Ciangkun tidak akan beristirahat" Harap bermalam di sini saja!"


"Terima kasih, Taijin. Aku belum mau beristirahat dan harus melanjutkan penyelidikanku," kata Thian Lee sambil bangkit dari tempat duduknya.

"Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan" Kami mempunyai beberapa orang yang lumayan ilmu silatnya. Kalau engkau membutuhkan"..."

"Tidak, terima kasih. Aku lebih leluasa bekerja sendiri." Thian Lee lalu berpamit dan keluar dari gedung itu. Tak lama kemudian dia pun menghilang ke dalam bayangan pohon-pohon yang gelap.

             **********

Lee Cin masih beada di kota Hui-cu dan ia mendengar tentang pembunuhan atas diri Un-ciangkun. Hatinya merasa penasaran sekali. 

Besar dugaannya bahwa keluarga Cia tentu ada hubungannya dengan pembunuhan itu. 

Bukankah dua orang saudara itu, Cia Hok dan Cia Bhok, pernah mengadakan pertemuan dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun" Dan mereka merencanakan untuk membunuh Un-ciangkun dan Ji-taijin! 

Jelas ada hubungan antara keluarga Cia dan para pemberontak termasuk orang Jepang. Bukankah ia melihat sendiri betapa Yasuki dijamu oleh Nenek Cia"

Ia harus menyelidiki keluarga Cia! Timbul pula dugaan yang meyakinkan di hatinya bahwa Kedok Hitam tentu anggauta keluarga Cia, mungkin sekali Tin Siong karena kepandaian pemuda itu juga hebat. 


Atau setidaknya, andaikata Si Kedok Hitam bukan anggauta keluarga mereka, keluarga Cia tersangkut pula dalam pembunuhan terhadap diri Un-ciangkun. 

Akan tetapi ia teringat kepada Tin Han. Mungkinkah pemuda itu tersangkut dalam persekutuan itu" Rasanya tidak mungkin!

Tiba-tiba timbul kecurigaannya. Mungkin yang tersangkut itu hanya beberapa orang saja dari mereka. 


Jelas Cia Hok dan Cia Bhok tersangkut, akan tetapi belum tentu Nenek Cia, Tin Siong dan Tin Han ada hubungannya dengan mereka. 

Bahkan keadaan mereka ini berbahaya kalau hendak menghalangi sepak terjang para pennberontak itu. Jangan-jangan mereka malah dimusuhi sendiri oleh komplotan itu. 

Pikirannya menjadi bingung dan malam itu, setengah iseng setengah mengharapkan akan memperoleh petunjuk, ia pun meninggalkan rurnah penginapan dan pergi menuju ke gedung tempat tinggal keluarga Cia secara bersembunyi.

Malam itu gelap. Sesosok bayangan yang amat ringan dan gesit gerakannya rnelompati pagar tembok rumah kediaman keluarga Cia, menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman dan terus menghampiri gedung itu. 


Akan tetapi setelah dia tiba di pekarangan rumah yang berada di samping di mana tergantung sebuah lampu yang cukup besar dan terang, tiba-tiba dua orang laki-laki melompat menghadangnya. 

Dua orang ini adalah Cia Hok dan Cia Bhok yang tadi melihat gerak-gerik bayangan itu. Bayangan itu adalah Song Thian Lee. Pemuda itu terkejut juga melihat munculnya dua orang itu dan tahulah bahwa rumah keluarga itu terjaga dan dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang lumayan tingginya.

Tanpa banyak cakap lagi Cia Hok dan Cia Bhok sudah mencabut pedang mereka dan langsung menyerang Thian Lee dengan dahsyat. 


Namun Thian Lee dapat mengelak dengan mudah dan dia pun membalas serangan mereka dengan tamparan tangannya. 

Dia melawan dengan tangan kosong saja karena dia tidak berniat melukai dua orang itu. Maksudnya hanya untuk mengukur sampai di mana kelihaian keluarga Cia sebelum dia mengajak mereka bicara. 

Melihat lawan tidak mencabut pedang yang berada di punggungnya, Cia Hok dan Cia Bhok menjadi penasaran sekali. 

Mereka berdua yang berpedang hanya dilawan tangan kosong belaka oleh laki-laki yang tidak dikenal ini. 

Maka mereka lalu menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Namun semua serangan mereka sia-sia belaka. 

Dengan kelincahan tubuh yang luar biasa cepat gerakannya, orang itu selalu dapat mengelak. Bahkan adakalanya dia menangkis pedang itu dengan telapak tangannya dari samping! 

Tahulah mereka bahwa mereka bukan menghadapi seorang maling biasa, melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Setelah puas menyelidiki ilmu pedang mereka, ketika pedang Cia Hok membacok dari atas ke arah kepalanya, Thian Lee miringkan tubuhnya dan ketika pedang itu meluncur dari atas ke bawah di samping tubuhnya, cepat dia memukul dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan Cia Hok yang memegang pedang.


"Dukk!" Tanpa dapat dihindarkan lagi pedang itu terpental lepas dari tangan Cia Hok yang terasa lumpuh seketika dan sebelum Cia Hok dapat menghindar sebuah tendangan mengenai pahanya dan dia pun terpelanting jatuh. 


Walaupun tidak terluka parah, Cia Hok terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dia begitu mudah dikalahkan. 

Cia Bhok marah dan cepat menusukkan pedangnya ke arah ulu hati Thian Lee. Pemuda itu menerima pedang itu dengan kedua tangannya. Kedua telapak tangan menjepit ujung pedang dan Cia Bhok tidak dapat menggerakkan pedangnya lagi! 

Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong pedangnya agar mengenai ulu hati lawan, namun pedangnya seperti telah melekat dengan kedua telapak tangan lawan, sama sekali tidak dapat didorong atau dicabut. 

Dengan penasaran dia lalu mengerahkan Hek-tok-ciang di tangan kirinya, lalu memukul dengan tiba-tiba ke arah pundak Thian Lee. 

Thian Lee maklum akan datangnya pukulan ampuh, akan tetapi dia nnengerahkan sin-kangnya ke pundak dan menerima hantaman telapak tangan kiri itu.

"Plak.... trakkk!" Pundak terpukul, akan tetapi sedikit pun tidak tergoyangkan, sedangkan ketika dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, pedang itu patah menjadi dua potong! 


Cia Bhok yang tadi memukul dengan tangan kiri, merasa seolah menghantam papan baja yang amat kuat, tenaganya membalik dan karena pada saat itu pedangnya patah maka dia pun terhuyung ke belakang!

Selagi Thian Lee hendak membuka mulut dan minta maaf, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar suara melengking. 

Sebatang suling perak telah menotok ke arah lehernya dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali!

Thian Lee menarik tubuh atasnya ke belakang dan kakinya menyapu ke arah kedua kaki orang yang baru saja melayang turun sehingga orang itu melompat lagi ke atas untuk menghindarkan sapuan kaki Thian Lee. 


Kemudian dia menyerang lagi dengan suling peraknya. Suling itu berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata, mengepung dan mendesak Thian Lee dengan serangan bertubi-tubi.

Thian Lee merasa kagum. Tingkat kepandaian pemuda tampan yang memegang suling perak ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat kedua orang setengah tua itu. 


Bangkit kegembiraannya untuk menguji kepandaian pemuda tampan yang lihai ini dan dia pun mencabut Jit-goat-kiam yang tergantung di punggungnya. 

Thian Lee mengambil sikap bertahan. Dia membiarkan dirinya dihujani serangan dengan suling perak oleh lawannya tanpa membalas. 

Dia menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang luar biasa sehingga penyerangnya yang bukan lain adalah Cia Tin Siong itu menjadi pening. Dia merasa seolah menyerang sebuah bayangan saja. 

Ke mana pun sulingnya menyambar, selalu bertemu pedang atau hanya mengenai udara kosong belaka. Hal ini membuat Tin Siong menjadi penasaran sekali. 

Rasanya selama dia menguasai ilmu-ilmu silat dari ayah dan neneknya, belum pernah dia bertemu dengan seorang lawan yang begini pandai. 

Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya melalui suling peraknya, namun suling itu selalu gagal mengenai tubuh lawan.

Setelah membiarkan lawannya menyerang terus selama tiga puluh jurus lebih, dan menghabiskan semua jurusnya, barulah puas rasa hati Thian Lee. 


Dia melihat bahwa suling perak itu dimainkan dengan ilmu pedang bercampur dengan ilmu menotok jalan darah, maka ilmu yang dimainkan dengan suling perak itu menjadi berbahaya bukan main. Dia merasa kagum dan maklum bahwa keluarga Cia memiliki anggauta keluarga yang pandai dan berjumlah banyak. 

Dia ingin tahu apakah masih ada anggauta keluarga yang lebih lihai daripada pemuda bersuling ini.

Setelah mulai membalas, Tin Siang menjadi terkejut melihat serangan balasan yang amat dahsyat dari lawannya. 

Dia sudah berusaha memutar sulingnya melindungi seluruh tubuhnya, akan tetapi ketika suling peraknya menangkis, tiba-tiba sulingnya itu tidak dapat ditarik lepas dari pedang lawan, seolah telah menempel dengan pedang. 

Dia mengerahkan tenaga membetot suling, lalu mendorong dan sekaligus tangan kirinya memukul dengan pengerahan ilmu pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). 

Thian Lee melihat telapak tangan menghitam memukul ke arah dadanya. Dia pun mendorongkan tangan kirinya menyambut serangan itu.

"Plakk......!" Tubuh Tin Siong terpental sampai empat meter sedangkan Thian Lee yang merasakan pukulan panas hanya bergoyang sedikit, tanda bahwa tenaga sin-kangnya masih menang jauh.


Tiga orang anggauta keluarga Cia itu terkejut bukan main, juga merasa khawatir karena lawan ini ternyata bukan main lihainya. 


Pada saat itu, sesosok bayangan menyambar dan sebatang pedang bersinar merah menyambar dengan tusukan dahsyat ke arah dada Thian Lee. Thian Lee cepat menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg......!!" Thian Lee terdorong ke belakang akan tetapi penyerang itu juga hampir terpelanting, akan tetapi dapat membuat gerakan jungkir balik sehingga tubuhnya turun ke atas tanah dengan pedang bersinar merah itu melintang di depan dada. Dua pasang mata yang mencorong saling pandang.


"Engkau....?"" Lee Cin yang tadi menyerang itu berseru kaget dan heran.


"Eh, engkau ini..... Cin-moi....?"" Thian Lee juga berseru heran melihat gadis perkasa yang sudah dikenalnya dengan amat akrabnya itu berada di situ. 


Mereka kembali saling pandang dan otomatis tangan mereka menyimpan lagi pedang yang tadi terpegang.

"Lee-ko, kenapa engkau berada di sini" Dan mengapa berkelahi dengan keluarga Cia?"


Thian Lee tersenyum. "Hanya untuk rnenguji kepandaian mereka karena aku telah lama mendengar akan kelihaian keluarga Cia."


Lee Cin lalu memutar tubuhnya menghadapi Tin Siong, Cia Hok dan Cia Bhok. Ia membungkuk dan berkata, "Harap maafkan dia. 


Dia adalah sahabat baikku bernama Song Thian Lee, bukan orang jahat."
Thian Lee tersenyum dan mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada tiga orang itu lalu berkata, "Maafkan saya. 


Mari, Cin-moi, kita pergi dari sini. Banyak yang harus kita saling bicarakan."

"Baik, Lee-ko." Lee Cin kembali memberi hormat kepada tiga orang itu dan bersama Thian Lee ia berlebat lenyap dari depan tiga orang itu.

"Bukan main! Hebat sekali kepandaiannyal" kata Cia Bhok sambil menghela napas panjang.

"Siapa orang itu?" tanya Cia Tin Siong dengan alis berkerut. Tidak senang hatinya melihat keakraban di antara Lee Cin dan pemuda itu.


"Namanya Song Thian Lee?" kata Cia Hok. "Ah, aku teringat sekarang! Song Thian Lee adalah pemuda perkasa yang dahulu ikut menghancurkan persekutuan pejuang yang dipimpin oleh Pangeran Tang Gi Lok! Dialah pendekar muda yang kemudian diangkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Mancu!"


"Ah, sayang sekali dia menghambakan diri kepada Kaisar Mancu!" kata Cia Bhok sambil menarik napas panjang.
Cia Tin Siong mengepal tinjunya. 


"Kalau begitu dia harus disingkirkan. Orang itu berbahaya sekali!" Mereka bertiga lalu kembali memasuki rumah untuk melaporkan peristima itu kepada Nenek Cia.


          **********

"Lee-ko, bagaimana keadaanmu, Le-ko" Bagaimana pula kabarnya dengan Enci Cin Lan" Sudahkah kalian mempunyai keturunan?" Lee Cin menghujani Thian Lee dengan pertanyaan yang bertubi. 


Ia merasa gembira bukan main dapat bertemu dengan Song Thian Lee, pria yang pernah merebut hatinya, yang pernah dicintanya sepenuh hatinya. 

Memang selama ini ia sudah dapat melupakan Thian Lee, dapat menerima kenyataan bahwa cinta sepihak tidak dapat dilanjutkan dalam pernikahan. Ia sudah rela bahwa Thian Lee menikah dengan Tang Cin Lan yang dicinta pemuda itu. 

Akan tetapi tetap saja pertemuan ini mendatangkan perasaan girang dalam hatinya, segar sejuk rasanya seperti setangkai bunga yang terkena siraman embun pagi. 

Udara mendadak cerah, awan tersapu angin sehingga tampaklah bulan sepotong yang tadi tertutup awan. 

Cuaca menjadi remang-remang dan mereka duduk di jalan yang sunyi, di atas batu-batu besar yang terdapat di tempat itu. Thian Lee tersenyum menerima pertanyaan bertubi itu. 

Dia sendiri pun merasa sangat gembira dengan pertemuan yang tidak terduga-duga ini.

"Keadaanku baik-baik saja, Cin-moi. Juga isteriku berada dalam keadaan sehat dan selamat. Kami telah mempunyai seorang anak laki-laki bernama Song Hong San yang kini telah berusia dua tahun. 


Dan bagaimana dengan keadaanmu selama ini, Lee-moi" Apakah engkau masih tinggal bersama ayahmu, Paman Souw Tek Bun di Hong-son?"

"Aku pun baik-baik saja, Lee-ko. Benar, aku tinggal di Hong-san bersama ayahku. Akan tetapi, apa yang membawamu datang ke tempat ini, dan mengapa pula engkau bertanding dengan keluarga Cia" Aku tidak percaya bahwa engkau hanya menguji kepandaian mereka. 

Dan lagi, engkau seorang panglima besar mengapa melakukan perjalanan dengan pakaian rakyat biasa" Apa yang telah terjadi?"

"Aku pun terkejut dan heran sekali melihat engkau membantu mereka. Akan tetapi biarlah aku bercerita lebih dulu. 


Aku diutus oleh Kaisar untuk melakukan penyelidikan di daerah timur ini, karena terdengar berita bahwa di daerah ini ada gejala-gejala pemberontakan. 

Engkau pun tentu sudah mendengar betapa Un-ciang-kun terbunuh orang-orang yang menyerang rumahnya. 

Nah, aku melakukan penyelidikan dan mengambil kesimpulan bahwa Un-ciangkun tentu terbunuh oleh orang-orang yang mempunyai niat untuk memberontak. 

Aku pun sudah mengunjungi Ji-taijin yang juga pernah didatangi orang dengan niat tidak baik pula. Menurut perhitunganku, di sini bergerak pendekar-pendekar patriot yang membenci orang-orang Han. yang menjadi pembesar. 

Karena aku mendengar bahwa keluarga Cia juga merupakan pendekar-pendekar patriot, maka aku datang untuk menyelidiki mereka. 

Aku ketahuan dan terjadilah perkelahian itu. Akan tetapi aku hanya ingin mengukur kepandaian mereka, tidak bermaksud mencelakai mereka. 

Nah, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita mengapa engkau berada di sini dan agaknya engkau mengenal pula keluarga Cia."

Mendengar pertanyaan ini Lee Cin tertawa. Thian Lee tersenyum melihat dan mendengar gadis ini tertawa. Tawa Lee Cin masih seperti dulu, riang jenaka dan bebas.


"Hemm, kenapa engkau tertawa, Cin-moi" Ada yang lucu dalam ceritaku tadi?"


"Lucu sekali! Ternyata keberadaanmu di sini sama benar dengan kedatanganku di Hui-cu. 


Pengalaman kita juga hampir sama! Aku pun telah menyelidiki keluarga Cia dan aku sudah mendengar semua akan kematian Un-ciangkun dan akan Ji-taijin yang memperoleh surat ancaman. 

Semua yang kau ketahui, sudah kuketahui dan mungkin aku banyak tahu tentang semua itu. Hanya bedanya, kalau engkau datang menjadi penyelidik utusan Kaisar, aku datang ke sini untuk mencari orang yang melukai ayahku."

"Ayahmu dilukai orang" Mengapa dan siapa yang melakukannya?"


"Orang itu berkedok dan ketika aku sedang tidak berada di rumah, dia mendatangi Ayah, menegur Ayah dan mengatakan Ayah sebagai antek Mancu, kemudian menyerang Ayah. 


Terjadi perkelahian dan Ayah terluka oleh pukulan yang mendatangkan bekas telapak tangan hitam. Ayah telah dapat disembuhkan dan karena panasaran aku lalu mencari Si Kedok Hitam itu. 

Ketika aku mendengar bahwa keluarga Cia memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang, aku lalu menyelidiki ke sini. 

Dan kebetulan sekali aku bertemu sendiri dengan Si Kedok Hitam yang ketika itu mendatangi rumah Ji-taijin. Kami sempat bertanding. Dia memang lihai akan tetapi sebelum seorang di antara kami kalah atau menang, dia sudah melarikan diri, Aku sudah menyelidiki di keluarga Cia, akan tetapi tidak menemukan Si Kedok Hitam. 

Kurasa dia bukan anggauta keluarga Cia yang sudah kucoba pula ilmu kepandaian mereka. Dalam penyelidikanku terhadap Si Kedok Hitam itulah aku sempat menemui Ji-taijin dan juga mendiang Un-ciangkun. 

Mereka berdua hanya tahu bahwa mereka didatangi Si Kedok Hitam, akan tetapi tidak dapat menduga siapa orangnya. 

Malam ini, karena masih penasaran aku datang lagi kepada keluarga Cia untuk mengintai dan menyelidiki. 

Melihat ada orang bertanding dengan mereka dan mereka terdesak, aku segera membantu karena aku telah berkenalan cukup baik dengan mereka. Nah, demikian ceritaku, Lee-ko. Bukankah pengalaman kita mirip sekali?"

Thian Lee mengangguk-angguk. "Sungguh suatu kebetulan yang mengherankan, akan tetapi menguntungkan aku, Cin-moi. Dengan semua keteranganmu itu, aku dapat memperoleh tambahan pengetahuan dan tentu saja setelah kita bertemu di sini, aku boleh mengharapkan bantuanmu dalam penyelidikan ini."

"Masih ada lagi keteranganku yang tentu amat penting bagimu, Lee-ko. Ketahuilah bahwa dua orang di antara keluarga Cia, yaitu dua orang setengah tua yang tadi berada di sana, bernama Cia Hok dan Cia Bhok, mereka mengadakan persekutuan dengan orang Jepang bernama Yasuki dan juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun."

Thian Lee terkejut sekali dan juga girang mendengar berita ini. "Benarkah itu, Cin-moi" Beritamu ini sungguh teramat penting bagiku. Bagaimana engkau dapat mengetahui akan hal itu?"


"Aku mengetahuinya secara kebetulan saja, Lee-ko. Ketika itu aku menjadi tamu keluarga Cia dan pada suatu malam, secara kebetulan sekali ketika aku berada di dalam taman, aku melihat mereka berdua bercakap-cakap dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun. 


Dalam pembicaraan singkat yang kudengar ketika mereka berjalan di taman itu, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Ji-taijin dan Un-ciangkun."

"Bagus! Kini jelaslah sudah bahwa keluarga Cia terlibat dalam usaha pemberontakan dan bergabung dengan orang jepang. Adapun panglima yang hendak berkhianat adalah Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur. 


Kesaksianmu ini sudah cukup untuk menangkap keluarga Cia dan Panglima Phoa, Cin-moi."

"Masih ada berita yang tentu akan mengejutkanmu, Lee-ko. Engkau tentu masih ingat akan orang yang bernanna Siangkoan Tek, bukan?"


"Siangkoan Tek, putera dari Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga, datuk dari timur itu?"


"Benar, dia juga bersekutu dengan orang Jepang. Pernah mereka mengeroyok dan menawan aku, dan aku nyaris celaka kalau tidak ditolong oleh Si Kedok Hitam."


"Si Kedok Hitam yang mengirim surat peringatan kepada Ji-taijin?"
"Ya, dialah orangnya yang sudah dua kali menolongku. 


Dan selain Siangkoan Tek, masih ada seorang pemuda lain, bernama Ouw K wan Lok yang juga bersekongkol dengan orang Jepang. Pemuda ini adalah murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong."

"Thian-te Mo-ong" Ah, datuk sesat itu dapat meloloskan diri ketika dikirim ke tempat pembuangan. Kiranya dia mempunyai murid yang bersekongkol dengan pemberontak dan Jepang."


"Ouw Kwan Lok itu lihai juga, Lee-ko. Kita harus waspada menghadapi Ouw Kwan Lok dan Siangkoan Tek."


"Hemm, kalau putera dan murid para datuk sesat itu ditarik pula oleh pemberontak untuk bergabung, maka keadaannya menjadi semakin gawat. 


Apalagi aku juga menaruh curiga terhadap Lai-ciangkun, pengganti Un-ciangkun. Ketika bermalam di rumahnya, aku diserang orang bertopeng. Aku merobohkan mereka, akan tetapi sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada orang menyambitkan pisau dan keduanya tewas. 

Ini tentu perbuatan orang dalam markas itu, maka aku menaruh curiga kepada Lai-ciangkun."

"Sekarang, apa yang akan kaulakukan, Lee-ko?"
"Aku akan menangkapi mereka semua yang mencurigakan. Keluarga Cia akan kutangkap dulu."


"Nanti dulu, Lee-ko. Aku percaya bahwa tidak semua anggauta keluarga Cia bersekongkol dengan pemberontak. 


Aku melihat dua orang putera mereka bukanlah orang jahat. Yang bernama Cia Tin Siong itu seorang berjiwa patriot yang gagah perkasa dan aku sudah mengenalnya dengan baik, dan terutama sekali adiknya yang bernama Cia Tin Han, biarpun dia seorang pemuda yang lemah dan tidak mengerti ilmu silat, namun jiwanya patriotis, bahkan dia bercita-cita menjadi seorang patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan perkumpulan jahat apalagi orang Jepang. 

Aku khawatir kalau mereka akan tersangkut karena mereka adalah dua orang anggauta keluarga Cia."

"Engkau mengenal keluarga Cia lebih baik, Cin-moi. Kalau menurut pendapatmu, siapa saja yang bersekutu dengan orang Jepang dan pemberontak?"


"Yang sudah jelas kudengarkan sendiri ketika berembuk adalah Cia Hok dan Cia Bhok. Yang kucurigai adalah Nenek Cia yang menjamu orang Jepang itu. Entah kalau ayah ibu kedua orang pemuda itu, aku belum dapat menilainya."


"Kalau begitu, aku akan menangkap Cia Hok dan Cia Bhok lebih dulu. Kalau nanti dalam pemeriksaan ada lagi anggauta keluarga mereka yang terlibat, mudah dilakukan penangkapan kembali."


"Akan tetapi biarpun engkau seorang panglima besar, engkau tidak membawa pasukan, bagaimana hendak menangkap orang, Lee-ko?"



          **********


Thian Lee tersenyum. "Biarpun aku tidak membawa pasukan, akan tetapi aku membawa surat perintah dari Sri Baginda Kaisar. Dengan surat itu, mudah bagiku untuk memerintahkan Panglima Lai menyediakan pasukan untukku."


"Akan tetapi, bukankah engkau mencurigai Lai-ciangkun" Bagaimana kalau kecurigaanmu itu benar dan dia bersekongkol dengan orang Jepang dan Phoa-ciangkun" Tentu dia akan mengkhianatimu dan tidak akan memberi bantuan pasukan."


Thian Lee mengangguk-angguk. "Engkau hebat, Cin-moi. Kulihat selama beberapa tahun ini semakin cerdik dan kekhawatiranmu itu memang beralasan. Karena itu, aku akan lebih dulu menguasai pasukan, mengambil alih kekuasaan dari tangan Lai-ciangkun sebelum aku bergerak."


"Kalau begitu......" "Sssssttt?"!" Tiba-tiba Thian Lee memotong dan menempelkan telunjuknya pada bibirnya memberi isyarat agar Lee Cin tidak bersuara. 


Telinganya yang memiliki pendengaran tajam dan peka sekali itu mendengar sesuatu yang tidak wajar, seperti langkah-langkah kaki orang.

Lee Cin segera dapat menangkap isyarat itu dan ia pun mengerahkan pendengarannya untuk menangkap suara yang tidak wajar. 


Ia mengangguk-angguk, karena ia pun dapat menangkap suara langkah-langkah kaki yang mendatangi dari jauh!

Tiba-tiba nampak obor yang banyak jumlahnya bernyala dan mereka telah dikepung oleh orang-orang yang memegang obor. Keadaan menjadi terang benderang dan dua orang muda itu melihat puluhan orang telah mengepung mereka! 


Mereka tidak menjadi gugup, akan tetapi segera berlompatan dari batu yang mereka duduki dan berdiri tegak dan siap siaga.

Ketika Lee Cin memandang, ternyata orang-orang itu dipimpin oleh lima orang yang sudah dikenalnya. 


Mereka adalah dua orang bersaudara Cia, yaitu Cia Hok dan Cia Bhok, lalu orang Jepang Yasuki, dan yang dua orang lagi adalah Siang-koan Tek dan Ouw Kwan Lok. 

Masih ada lagi dua orang berusia lima puluh tahun yang berdiri di belakang lima orang ini, yang tidak ia kenal.

Akan tetapi Thian Lee mengenal mereka berdua yang bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai dan Sin-ciang Mo-kai. 


Kiranya dua orang tokoh sesat itu telah bergabung dengan persekutuan pemberontak. 

Dan sekarang dia melihat bukti bahwa dua orang bersaudara Cia itu benar-benar bersekutu dengan pemberontak dan tokoh-tokoh jahat. 

Hanya keterlibatan Panglima Phoa yang belum tampak buktinya, akan tetapi dia mengira bahwa tentu puluhan orang anak buah itu merupakan anak buah Phoa-ciangkun, dan melihat golok besar di pinggang para anak buah itu, dugaannya semakin keras karena dia mengenal pasukan golok besar yang merupakan pasukan inti yang ditempatkan di perbatasan-perbatasan. 

Pasukan golok besar adalah pasukan yang terkenal kuat karena para anggautanya memiliki ilmu golok yang sudah lumayan tangguhnya.

Sebagai seorang yang berpengalaman, melihat sepintas lalu saja tahulah Thian Lee bahwa mereka berdua berada dalam bahaya besar. 

Dia tahu bahwa lima orang di depan itu, ditambah dua orang tokoh sesat merupakan lawan yang tangguh. 

Tentu saja dia mampu mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi kalau mereka maju bertujuh, ditambah lagi dengan barisan golok besar yang jumlahnya paling sedikit tiga puluh orang itu, mereka merupakan pengeroyok yang amat kuat. 

Dia mengkhawatirkan keselamatan Lee Cin maka sambil mengeluarkan pedang Jit-goat-kiam dia berseru, "Cin-moi, larilah cepat!"

Akan tetapi bagaimana gadis perkasa itu mau melarikan diri meninggalkan sahabatnya yang terancam bahaya maut" Ia pun mengeluarkan Ang-coa-kiam yang tadinya melibat pinggangnya dan berkata, "Lee-ko, kita hajar semua anjing srigala ini!"


"Tidak, larilah dari sini, Cin-moi. Biar aku yang menahan para pemberontak ini!" Thian Lee berseru lagi.


Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau beranjak dari situ. "Kita lawan bersama, Lee-ko. Aku tidak dapat meninggalkanmu!" katanya gagah.

Siangkoan Tek tertawa bergelak, merasa menang karena dua orang itu sudah terkepung erat. 

"Ha-ha-ha, Song Thian Lee. Dalam keadaan terjepit engkau masih berlagak! Nona Souw Lee Cin, lebih baik engkau menyerah. Aku yang menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu karena aku masih mengharapkan engkau menjadi isteriku."

"Siangkoan Tek jahanam busuk! Daripada menjadi isterimu aku lebih baik mati!" jawab Lee Cin sambil menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu, kemudian gadis ini pun menyerang dan menerjang ke depan, pedangnya berkelebat menusuk ke arah dada Siangkoan Tek. 


Pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan serunya. 

Pedang Lee Cin berkelebatan dan menyambar-nyambar bagaikan kilat, namun Siangkoan Tek yang merupakan lawan yang tangguh sudah menghadang ke arah mana pedang gadis bergerak sehingga semua serangan Lee Cin dapat ditangkisnya.

Sementara itu, Ouw K wan Lok yang mendengar bahwa pemuda itu adalah Thian Lee, musuh utama kedua gurunya, cepat menerjang maju dengan sepasang pedangnya. 


Gerakannya diikuti oleh kedua saudara Cia yang sudah tahu betapa lihainya Song Thian Lee yang juga mereka ketahui sebagai Panglima Besar Song itu. 

Melihat ini, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terjun ke dalam pertempuran membantu mereka mengeroyok sehingga Thian Lee kini dikeroyok oleh lima orang yang lihai! 

Namun Thian Lee tidak menjadi gentar. Yang membuatnya khawatir hanyalah Lee Cin yang sudah terlibat perkelahian seru dengan Siangkoan Tek. 

Dia memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari penyerangan lima orang pengeroyoknya.

Sementara itu, Yasuki yang melihat Thian Lee sudah clikeroyok lima, segera menggerakkan samurainya untuk membantu Siangkoan Tek mengeroyok Lee Cin.


"Tranggg".. cringgg?"!!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang Ang-coa-kiam menangkis samurai dan pedang di tangan Siangkoan Tek. 


Lee Cin mengamuk. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar merah yang menyambar-nyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya.

Puluhan orang anak buah yang mengepung tempat itu sejenak memandang jalannya pertempuran dengan mata kagum. 

Mereka kagum melihat sepak terjang Thian Lee yang biarpun dikeroyok lima masih dapat bergerak dengan gesit, berloncatan ke sana sini dan membalas serangan lima orang pengeroyoknya. 

Juga mereka kagum melihat gadis cantik itu yang biarpun dikeroyok dua masih juga memainkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung. 

Pemimpin mereka lalu bersuit panjang memberi aba-aba dan majulah puluhan orang itu terbagi menjadi dua. 

Sebagian mengepung Lee Cin dan sebagian lagi mengepung Thian Lee.
Lee Cin yang dikeroyok dua oleh Siangkoan Tek dan Yasuki, mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar ganas sehingga kedua orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendesaknya, bahkan beberapa kali mereka harus cepat mengelak karena sambaran pedang gadis itu amat berbahaya. 


Dalam keadaan itu, tiba-tiba sedikitnya lima belas orang telah maju membantu. Mereka memegang golok besar dan ada yang tangan kirinya menggunakan obor untuk menyerang Lee Cin! 

Gadis ini dikepung ketat dan hujan bacokan dan tusukan menyambar ke arah dirinya. 

Terpaksa ia harus memutar pedangnya melindungi dirinya dan kalau melihat kesempatan, kakinya atau tangan kirinya bergerak cepat merobohkan seorang pengeroyok. 

Tiba-tiba terdengar suitan pendek dua kali dan para pengepung yang lima belas orang banyaknya itu berlari berputaran mengubah kedudukan dan ketika mereka menyerang lagi, ternyata empat orang tetap memegang obor yang diangkat tinggi-tinggi sedangkan belasan orang yang lain kini memegang sehelai jala! 

Siangkoan Tek dan Yasuki masih mencoba untuk mendesak Lee Cin. 

Ketika gadis ini menyingkir dengan lompatan ke pinggir, tiba-tiba dua helai jala melayang dan menerkamnya! 

Ia terkejut sekali, menggunakan pedangnya untuk dibacokkan ke arah kedua helai jala itu, akan tetapi pedangnya hanya dapat membuat jala itu gagal menerkamnya, tidak mampu merusak benang jala yang ternyata amat ulet dan kuat itu. 

Serangan Siangkoan Tek dan Yasuki sudah datang lagi dan Lee Cin terpaksa memutar pedangnya sambil melangkah mundur! Ia mulai terdesak. 

Tibatiba kembali ada jala menerkamnya dari belakang. Ia meloncat ke kanan, akan tetapi dari kanan juga menerkam sehalai jala. Ia melompat ke kiri, kini bahkan ada dua jala menyambutnya dengan terkaman. 

Ketika ia menangkis dengan pedangnya, dari segala penjuru ada jala menerkam sehingga ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. 

Tubuhnya sudah diselimuti beberapa helai jala dan ia hanya dapat meronta seperti seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat. 

Pedangnya digerakkan ke kanan kiri, akan tetapi tidak dapat merobek jala itu. Siangkoan Tek melompat ke depan dan dari belakang dia menotok pundak Lee Cin, membuat gadis itu terkulai.

Siangkoan Tek lalu mengangkat gadis itu bangkit berdiri, merampas pedangnya, dan melihat betapa Thian Lee masih mengamuk merobohkan banyak anak buah, dia berteriak lantang,


"Song Thian Lee, lihat, aku telah menangkap Souw Lee Cin! 


Kalau engkau tidak menyerah, aku akan membunuh gadis ini lebih dulu!"

Mendengar seruan itu, Thian Lee terkejut, melompat ke belakang dan memandang. 

Dia melihat Lee Cin masih terselimuti jala, berdiri dan dipegangi oleh Siangkoan Tek yang menodongkan pedang milik gadis itu di leher Lee Cin! 

Terjadi pergumulan dalam hati Thian Lee. Kalau dia menyerah, berarti dia akan tewas! Akan tetapi bagaimana dia tega untuk membiarkan mereka membunuh Lee Cin"

"Lee-ko, jangan mau menyerah, mereka tentu akan membunuhmu. Biarkan aku mati, aku tidak takut!" 

Lee Cin masih sempat berseru sebelum Siangkoan Tek menotok lehernya dan membuat ia terdiam, tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Song Thian Lee, kalau engkau menyerah, kami berjanji tidak akan membunuhmu sekarang, tergantung pimpinan kami!" kata pula Siangkoan Tek.


Akhirnya Thian Lee mengambil keputusan. Lebih baik mati bersama Lee Cin daripada membiarkan Lee Cin mati di depan matanya. Dia lalu berkata, "Baik, aku menyerah, jangan bunuh ia!"


Mendengar ini, Ouw Kwan Lok lalu menghampiri Thian Lee dan mengambil pedang Jit-goat-kiam dari tangan panglima itu. "Belenggu kedua tangannya!" perintah Siangkoan Tek.

"Biar kubunuh dia!" teriak Hek-bin Mo-ko dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Lee.
"Takk..... desss......!!" Pukulan ruyung itu tertangkis sepasang pedang Siangkoan Tek dan sebuah tendangan membuat Hek-bin Mo-ko terlempar dan terbanting ke atas tanah.


"Hek-bin Mo-ko, apakah engkau ingin mampus" Aku sudah berjanji tidak akan membunuhnya, tak seorang pun boleh melanggar janjiku!" bentak Siangkoan Tek sambil melotot kepada Hek-bin Mo-ko yang bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.


"Maafkan aku !" katanya menerima salah.


Malam itu juga kedua orang tawanan itu digiring naik ke sebuah bukit. Para pemegang obor menerangi jalan di depan dan belakang dan akhirnya, menjelang pagi, sampailah mereka di puncak bukit di mana mereka terdapat sebuah bangunan besar. 


Bangunan itu terjaga oleh puluhan orang anak buah dan Thian Lee bersama Lee Cin digiring masuk ke dalam bangunan besar itu.

Mereka didorong masuk ke dalam sebuah ruangan yang luas. Ruangan itu kosong. Lee Cin dan Thian Lee dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, didorong duduk di atas bangku. 


Kedua orang muda ini saling pandang sejenak dan keduanya siap siaga menanti segala yang akan menimpa diri mereka. Mereka tidak putus asa. 

Selama mereka masih hidup, mereka tidak akan pernah putus asa dan selalu akan menggunakan segala kesempatan untuk menyelamatkan diri. Pandang mata Lee Cin terhadap Thian Lee mengandung keharuan dan juga teguran. 

Gadis ini menyesal mengapa Thian Lee mengorbankan diri untuknya, padahal dengan kepandaiannya, kalau dia mau, pemuda itu masih dapat meloloskan diri ketika dikepung. 

Akan tetapi ia pun merasa terharu sekali. Pemuda yang pernah dicintanya itu ternyata masih mau mengorbankan diri untuk keselamatannya! Thian Lee melihat apa yang terkandung dalam sinar mata Lee Cin, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu.

Mereka semua juga duduk di atas kursi-kursi yang semua menghadap ke arah dinding di mana terdapat pula beberapa buah kursi merapat dinding. 


Ruangan itu kosong pada dinding tidak ada hiasan apa pun. Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok duduk di depan, mengapit Thian Lee dan Lee Cin. Yasuki duduk di sebelah kiri Soangkoan Tek. 

Di belakang mereka duduk Cia Hok, Cia Bhok dan dua orang tokoh sesat itu, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai. 

Adapun semua anak buah tidak ikut masuk, mungkin menjaga di luar ruangan, siap untuk menyerbu kalau ada perintah dari dalam.

Ruangan itu diterangi oleh empat buah lampu gantung sehingga keadaannya terang sekali dan semua orang kini memandang ke arah pintu besar di sebelah dalam yang daun pintunya masih tertutup. Agaknya dari situlah para pimpinan akan muncul.


Thian Lee dan Lee Cin juga memandang ke arah pintu dengan jantung berdebar tegang. Siapakah pemimpin komplotan ini" Thian Lee sama sekali tidak takut bahwa dirinya menjadi tawanan. 


Dia hanya menyesal mengapa Lee Cin tidak menuruti nasihatnya untuk melarikan diri. Dia adalah seorang panglima yang melaksanakan tugasnya. Kalau dia harus mati dalam melaksanakan tugas, dia tidak merasa penasaran. 

Akan tetapi Lee Cin hanya terbawa-bawa olehnya. Gadis itu tidak terlibat sama sekali. Akan tetapi Thian Lee tidak pernah putus asa. 

Kedatangannya di Hui-cu sudah diketahui oleh Ji-taijin juga oleh Lai-ciangkun. Kiranya mereka berdua tidak akan berani membiarkan dia, seorang panglima besar, mendapat celaka di daerah mereka. 

Bukan tidak mungkin sebentar lagi ada pasukan dari Lai-ciangkun yang menyerbu tempat itu dan membebaskannya. Andaikata tidak, dia pun akan dapat membela diri sampai titik darah terakhir.

Akhirnya daun pintu terbuka dan Lee Cin terbelalak memandang kepada Nenek Cia yang memasuki ruangan itu, diikuti oleh Cia Kun. 


Nyonya Cia Kun dan Cia Tin Siong! Semua orang yang berada di situ bangkit untuk menghormati nenek itu. 

Nenek Cia memasuki ruangan dengan langkah tegap dan sikapnya angkuh. Ia memegang tongkat naga dan matanya tajam bersinar-sinar ketika ia memandang kepada Thian Lee dan Lee Cin. 

Di antara mereka, Thian Lee hanya mengenal Cia Tin Siong yang pernah dijumpai dan pernah bertanding dengannya. Yang lain belum pernah dilihatnya.

Lee Cin benar-benar terkejut dan heran sekali. Tak disangkanya bahwa keluarga Cia benar-benar berkomplot dengan para pemberontak dan orang Jepang bahkan agaknya Nenek Cia menjadi pemimpin mereka.


Akan tetapi ketika Tin Siong melihat Lee Cin duduk terbelenggu, dia terkejut sekali dan cepat menghampiri Lee Cin untuk melepaskan belenggunya. Akan tetapi. Nenek Cia menghardiknya.


"Tin Siong, mundur kau!" "Akan tetapi, Nek. Nona Lee Cin tidak bersalah apa-apa. Bahkan ia pernah menjadi tamu kehormatan dan sahabat baik. Mengapa ia ditangkap" Aku tidak setuju, sama seka.....



DEWI ULAR JILID 08



li tidak setuju kalau Nona Lee Cin diperlakukan seperti ini, Nek! Ia bukan mata-mata Mancu, ia bukan musuh kita!" 

Tin Siong membantah sambil menghadapi neneknya dengan berani. "Lupakah Nenek bahwa Nenek pernah mengusulkan agar aku menikah dengannya" Aku masih belum lupa, Nek!"

"Tin Siong, engkau hendak membantah aku" Aku tidak akan mengganggunya kalau ternyata ia tidak bersalah. Sekarang duduk dan diamlah, dengarkan saja!" kembali nenek itu menghardik dan Tin Siong duduk sambil mengerutkan alisnya, memandang kepada Lee Cin dan dalam pandang matanya dia seperti hendak meyakinkan hati Lee Cin bahwa dia akan membela dan melindunginya.


Nenek Cia lalu duduk di kursi tengah yang mepet dinding, Cia Kun duduk di sebelah kanannya bersama Nyonya Cia Kun, dan Tin Siong dengan sikap masih menentang duduk di sebelah kiri nenek itu. 


Nenek itu memandang kepada Thian Lee dengan matanya yang bersinar tajam dan berapi-api, lalu bertanya, suaranya lantang dan meninggi,
"Apakah engkau yang bernama Song Thian Lee?"


"Benar," jawab Thian Lee singkat. "Dan engkau menjadi Panglima Besar Kerajaan Mancu?"


"Benar pula." "Hem, tidak malukah engkau, orang muda" Kami mendengar bahwa engkau seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa engkau tidak menggunakan kepandaianmu untuk menentang penjajah yang menguasai tanah air kita, sebaliknya malah menjadi anteknya" Tidak malukah engkau, Song Thian Lee?"


"Nenek, aku menjadi panglima besar bukan untuk menjadi antek penjajah, melainkan untuk mencegah terjadinya keributan yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata. 


Dengan kedudukanku aku dapat mencegah para pembesar bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. 

Memperjuangkan kemerdekaan saat ini tidaklah tepat, semua usaha itu akan gagal karena tidak didukung sepenuhnya oleh rakyat. 
Apalagi kalau perjuangan itu dikotori oleh komplotan orang sesat dan orang asing."

"Itu hanyalah alasan seorang pengkhianat bangsa. Melihat bangsa dan tanah air dijajah orang Mancu, bukannya menentang penjajah malah sebaliknya mengabdi dan menjadi anteknya. 


Di mana kegagahanmu, orang she Song" Kalau engkau suka insaf akan kegagahanmu, suka menyadari dan mau bergabung dengan kami, kami mungkin akan dapat memaafkanmu."
"Bergabung dengan pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh jahat dan dengan orang-orang Jepang, mendatangkan kerusuhan dan mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat jelata" 

Tidak, Nek, hal itu tidak akan kulakukan. Dalam keadaan tanah air terjajah seperti sekarang ini, seorang pendekar harus memperhatikan keadaan rakyat jelata. 

Kalau ada pembesar atau orang berkuasa menindas dan memeras rakyat, tidak peduli dia itu orang Han atau orang Mancu, akan ditentang oleh pendekar dan patriot sejati. 

Perjuangan seorang patriot sejati adalah murni dan bersih, tidak akan melibatkan diri bersekutu dengan golongan sesat, apalagi dengan penjahat-penjahat asing. 

Seorang pendekar patriot pada lahirnya menjadi pejabat pemerintah penjajah, namun sesungguhnya dia mengabdi demi kepentingan rakyat, mencegah terjadinya kejahatan yang meresahkan kehidupan rakyat. 

Pembesar seperti mendiang Un-ciangkun itulah patriot dan pendekar sejati yang bersih, akan tetapi kalian malah membunuhnya. 

Engkau telah bertindak sesat, Nek, bergabung dengan golongan sesat dan orang Jepang. Harap engkau dapat menginsafi kekeliruanmu itu."

"Jahanam keparat sombong! Engkau yang sudah tertawan hidup matimu di tanganku, masih berani membuka mulut besar! Kalau engkau tidak mau menyadari dan bergabung dengan kami, sekarang juga nyawamu akan kucabut!" 


Nenek Cia sudah mengangkat tongkatnya ke atas dan tongkat kepala naga itu tergetar dalam tangannya.
Akan tetapi pada saat itu, seorang pemuda muncul dari pintu dan menghampiri Nenek Cia. "Nanti dulu, Nek! Jangan bunuh dia!"

Lee Cin melihat bahwa yang muncul itu adalah Cia Tin Han! Pemuda lemah ini kelihatan gagah dan penuh keberanian menentang neneknya.


"Tin Han, pergi kau!" Tin Siong membentak marah.
"Aku tidak akan pergi sebelum kalian semua mendengar omonganku. 


Dengar baik-baik, Nek. Apa yang diucapkan orang she Song ini benar sekali! Seorang pendekar patriot berjuang dengan bersih dan murni, satu-satunya pamrih hanya untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan, membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah! 

Kalau pendekar patriot bergabung dengan golongan sesat dan dengan bajak laut Jepang, maka perjuangannya menjadi kotor. 

Golongan sesat dan bajak. Jepang itu tentu hanya mau bergerak demi keuntungan diri mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat. Bahkan mereka adalah orang-orang yang selalu meresahkan kehidupan rakyat jelata!"

"Anak bodoh! Dalam perjuangan, kita tidak memilih teman. Siapa saja yang mau bergabung untuk menghantam penjajah, dia menjadi sahabat kita! 


Semua kekuatan harus dipersatukan untuk mengusir penjajah dari tanah air!" kata Nenek Cia penuh semangat.
"Engkau akan gagal, Nek. Benar ucapan orang ini! Engkau akan gagal kalau tidak mendapat dukungan rakyat dalam perjuanganmu. 

Engkau hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat dengan gerakanmu ini, akan tetapi tidak akan berhasil. 

Tahukah engkau betapa besarnya kekuatan pasukan pemerintah" Engkau hanya akan mengorbankan banyak orang. Sekarang belum waktunya untuk berjuang mengenyahkan kaum penjajah Nek."
"Tin Han, engkau jangan banyak mulut. Menyingkirlah, aku harus membunuh panglima besar ini!" Nenek itu menggerakkan tongkatnya. 

Akan tetapi Tin Han menghadang di depan Thian Lee dan Lee Cin.
"Nenek tidak boleh membunuhnya, juga tidak boleh menawan Cin-moi! 


Kalau Nenek memaksa, membunuh panglima ini dan mengganggu Cin-moi, aku yang akan melapor ke kota raja bahwa Nenek telah bersekutu dengan pemberontak dan keluarga kita akan terbasmi semua. Lebih baik begitu daripada keluarga kita membikin sengsara rakyat."

"Tin Han!" Kini Cia Kun bangkit berdiri dengan marah. "Berani engkau bersikap seperti ini?"
"Ayah, aku pun bukan seorang yang takut mati. Bagiku, lebih baik mati dalam membela kebenaran daripada hidup bergelimang kejahatan. 


Pendeknya aku menentang kalau kalian hendak membunuh mereka berdua ini, dan kalian boleh membunuhku lebih dulu!" Pemuda itu berdiri dengan gagahnya, menentang keluarganya.

Tin Han adalah cucu kesayangan Nenek Cia, maka tentu saja nenek itu tidak tega untuk membunuhnya. Bahkan pada saat itu, ketika Tin Siong melompat ke depan untuk memukul adiknya, Nenek Cia membentak,
"Tin Siong, mundur kau!" Nenek Cia sejenak memandang kepada cucunya yang menentangnya. 


Pandang matanya bersinar kagum melihat cucunya yang lemah itu berdiri dengan gagahnya melindungi kedua orang itu. Sungguh sikap seorang keluarga Cia yang tulen, penuh keberanian, penuh kegagahan menentang maut.

"Baiklah, Tin Han. Aku belum mau membunuh mereka." Katanya dan ia memberi isyarat kepada kedua puteranya Cia Hok dan Cia Bhok. 


"Masukkan mereka ke tempat tahanan dan jaga dengan ketat jangan sampai mereka lobos!"

Cia Hok dan Cia Bhok bangkit berdiri lalu mereka berdua menggiring Thian Lee dan Lee Cin yang masih terbelenggu kedua tangan mereka ke bagian belakang bangunan itu di mana terdapat kamarkamar kosong dan kamar ini agaknya memang sengaja dibuat untuk menawan orang, karena selain kosong juga dibuat kuat sekali, dengan pintu dari besi yang kokoh kuat. 


Bagian atas pintu itu beruji besi yang sebesar lengan tangan orang, amat kuatnya sehingga jangan harap untuk dapat lolos dari kamar itu dengan menjebol pintu besi itu.

Pintu kamar tahanan ditutup dan dikunci dari luar. Cia Hok dan Cia Bhok lalu mengumpulkan sedikitnya tiga puluh orang anak buah dan mereka ditugaskan untuk menjaga agar kedua tawanan itu tidak sampai dapat meloloskan diri.


Setelah dua orang saudara Cia itu pergi meninggalkan mereka berdua saja, Lee Cin menyatakan penyesalannya kepada Thian Lee. "Lee-ko, kenapa engkau menyerah" 


Tidak semestinya engkau menyerah sehingga kini kita berdua ditawan. Kalau ada seorang di antara kita masih bebas, tentu akan dapat berbuat sesuatu untuk menolong yang lain."

"Sudahlah, Cin-moi. Aku menyerah dengan tiga alasan, Pertama, untuk mencegah mereka membunuhmu, ke dua dengan jalan menyerahkan diri aku akan dapat melihat komplotan itu yang ternyata kini dipimpin oleh Nenek Cia. 


Dan ke tiga, aku yakin mereka tidak begitu bodoh untuk membunuh seorang panglima besar karena kalau hal itu mereka lakukan, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar untuk membasmi mereka."

"Aku juga sama sekali tidak mengira bahwa keluarga Cia ternyata memegang peran penting dalam komplotan ini. 


Mereka begitu baik terhadap diriku selama aku menjadi tamu mereka. Sungguh menyesal sekali aku dapat mereka kelabui. Kiranya mereka semua terlibat, kecuali agaknya, Han-ko yang tidak."

"Kau maksudkan pemuda yang menentang neneknya sendiri itu?"
"Benar, Lee-ko. Akan tetapi sayang bahwa dia seorang kutu buku yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia seorang yang lemah walaupun jiwanya pendekar dan patriot tulen."


"Aku melihat pemuda itu bukan seorang pemuda biasa, Cin-moi. Dia memiliki keberanian besar dan aku juga melihat sesuatu hal yang akan menjamin keselamatanmu, Cin-moi."

"Maksudmu tanya Lee Cin sambil menatap tajam wajah Thian Lee.
Thian Lee tersenyum. "Dua orang pemuda kakak beradik itu mencintamu, Cin-moi. Kakaknya yang bersenjata suling perak itu terang-terangan menyatakan cintanya kepadamu dan mengharapkan engkau menjadi jodohnya, sedangkan adiknya diam-diam mencintamu. 


Aku dapat melihat sinar matanya ketika dia membelamu dan memandangmu."

Lee Cin juga tersenyum dan mengangguk. "Aku juga sudah tahu akan hal itu. Lee-ko. Cia Tin Siong itu amat baik kepadaku dan aku berkenalan dengan keluarga Cia pertama kali karena mengenalnya. 


Akan tetapi aku melihat sesuatu yang keras dan mengerikan dalam pandang matanya yang membuat aku tidak suka kepadanya. 

Adapun Cia Tin Han itu..... ah, dia hanya seorang pemuda sastrawan yang lembut, jauh berbeda dari kakaknya walaupun kuakui bahwa dia pemberani. 

Akan tetapi, mengapa kita membicarakan mereka, Lee-ko" Kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini. Apakah engkau tidak mampu melepaskan dirimu dari belenggu itu, Lee-ko?"

"Agaknya aku dapat mematahkan belenggu ini, akan tetapi apa gunanya" Kita tidak akan dapat membobol pintu yang sekuat itu. 

Pula, kalau mereka melihat kita mematahkan belenggu, tentu mereka akan datang semua ke sini dan dalam kamar tahanan ini, bagaimana kita dapat membela diri?"

"Tepat dengan apa yang kupikirkan, Lee-ko. Aku pun kiranya akan sanggup mematahkan belenggu ini, akan tetapi kukira hal itu tidak mendatangkan keuntungan bagi kita. 


Kita lihat saja kalau ada kesempatan, begitu pintu dibuka dari luar, kita terjang mereka dan membuka jalan dengan nekat."

Akan tetapi apa yang mereka harapkan itu agaknya masih merupakan hal yang meragukan. Mereka hanya boleh berharap. Pihak lawan adalah orang-orang yang lihai dan pandai, tidak mungkin mereka bertindak secara sembrono."


Mereka berdua lalu duduk bersila dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga mereka agar mereka dapat bersiap setiap saat. 


Sambil bersila mereka berdua dapat pula tidur, karena hal ini penting sekali untuk menjaga kesehatan dan kesegaran tubuh mereka.

Dua orang muda gagah perkasa ini sedikitpun juga tidak merasa khawatir biarpun mereka sudah menjadi tawanan. Mati bagi mereka bukan hal yang mengkhawatirkan. 


Sejak kecil mereka sudah digembleng untuk menjadi orang gagah yang siap untuk mati apabila membela kebenaran. 

Mereka sama sekali tidak memikirkan waktu yang akan datang, hanya menghadang kenyataan penuh kewaspadaan. 

Sikap seperti inilah yang membuat orang bebas dari rasa takut, bebas dari rasa duka. Duka selalu timbul karena kita memikirkan dan membayangkan masa lalu yang telah lewat. 

Peristiwa-peristiwa yang telah lalu, yang merugikan kita, mendatangkan rasa suka karena mengenangkan semua peristiwa itu membuat kita menjadi iba diri dan merasa bahwa diri kita paling sengsara di dunia ini. Rasa iba diri ini menumpuk dan mendatangkan duka nestapa. 

Sebaliknya, membayangkan hal-hal yang belum datang, membayangkan hari esok, hanya mendatangkan rasa takut. Membayangkan hari esok bagi orang-orang dalam keadaan seperti Thian Lee can Lee Cin tentu akan mendatangkan bayangan-bayangan yang menakutkan.

Kedua orang muda gagah itu sudah digembleng oleh pelajaran dan pengalaman. Mereka hanya mengenal saat ini. Mengenal apa yang mereka hadapi dan alami. 


Dengan kewaspadaan mereka menghadapi apa yang terjadi dan karenanya. menjadi awas dan selalu siap siaga, tidak was-was dan akan dapat bereaksi dengan cepat. 

Maka, mereka pun tetap tenang-tenang saja dan dalam kesempatan itu mereka dapat tidur sambil bersila, walaupun semua syaraf mereka siap siaga menghadapi segala kemungkinan.


          **********

Malam telah berganti pagi. Sinar matahari pagi lembut menerobos masuk melalui jeruji besi di atas pintu. Akan tetapi di luar pintu kamar tahanan itu sepi sekali. 


Ketika Thian Lee dan Lee Cin terbangun dari tidur mereka, mereka tidak mendengar suara di luar pintu kamar tahanan, padahal semalam para penjaga ramai saling bercakap-cakap. Apakah mereka tertidur semua" Atau meka telah pergi"
Keheningan itu mencurigakan hati mereka. Tidak mungkin sedikitnya tiga puluh orang itu tidak ada yang bicara, atau mereka sedang hendak melakukan sesuatu"

Kemudian terdengar suara gedebukan di luar kamar tahanan. Tak lama kemudian, Lee Cin dan Thian Lee melihat sebuah kepala yang memakai kedok hitam di luar jeruji besi. 


Melihat ini, Thian Lee terkejut akan tetapi Lee Cin tersenyum gembira. Seperti mendapat perintah saja, keduanya lalu mengerahkan sin-kang mereka dan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka itu patah-patah. 

Terdengar bunyi klak-klik dan daun pintu terbuka. Si Kedok Hitam masuk ke dalam dan melihat betapa dua orang tawanan itu telah dapat membebaskan dari belenggu, dia terbelalak kagum.

"Mari cepat, ikut aku!" bisiknya dia sudah mendahului keluar dari tempat tahanan itu. Lee Cin dan Thian Lee cepat mengikutinya, keluar dari pintu kamar tahanan. 


Setelah tiba di luar pintu, baru mereka melihat betapa tiga puluh orang yang tadinya berjaga di tempat itu, sudah roboh malang-melintang tidak bergerak lagi, agaknya terkena totokan yang lihai dari Si Kedok Hitam.

"Kembali engkau menolongku, sobat!" kata Lee Cin yang kini berada di belakang Si Kedok Hitam.


"Jangan bicarakan hal itu! Ikut aku!" bisik Si Kedok Hitam. Dia melompati pagar yang mengelilingi bangunan itu menjadi tempat persembunyian para pemberontak.


"Hayo lari cepat! Ikut aku!" katanya pula dan dia pun berlari cepat sekali, akan tetapi Lee Cin dan Thian Lee dapat mengimbanginya. Mendadak terdengar suara ribut-ribut di belakang mereka, suara orang-orang mengejar.


Si Kedok Hitam berhenti. "Mereka sudah tahu dan kalian dikejar. Ini, terimalah senjata kalian." Si Kedok Hitam mengeluarkan Jit-goat-sin-kiam milik Thian Lee dan menyerahkan Ang-coa-kiam milik Lee Cin. 


Kedua orang ini menerima dengan girang sekali. Akan tetapi para pengejar kini sudah dekat dan mereka tentulah orang-orang lihai yang juga memiliki ilmu berlari cepat.
Thian Lee dan Lee Cin sudah bersiap dengan pedang mereka, akan tetapi Si Kedok Hitam berkata, "Jangan lawan mereka. 

Mereka terlalu banyak. Masuklah ke balik semak belukar ini, aku akan memancing mereka agar mengejarku dan kalau mereka sudah lewat, harap kalian suka melanjutkan lari ke bawah bukit," katanya sambil menuding ke arah bawah bukit. 

Dua orang muda itu tidak ragu-ragu lagi mengikuti petunjuknya, mereka menyusup ke balik semak belukar. 

Si Kedok Hitam menanti sebentar sampai para pengejar itu kelihatan bayangannya. Dia lalu berteriak-teriak, "Lari, cepat lari!" dan dia pun lari ke depan dengan cepat. 

Teriakan dan gerakannya ini terlihat oleh para pengejar. Tentu saja mereka mempercepat lari mereka untuk mengejar karena mereka yakin bahwa kedua orang tawanan itu tentu diajak lari oleh Si Kedok Hitam. 

Tadi ketika Nenek Cia dan anak buahnya melihat para penjaga menggeletak malang-melintang dalam keadaan tertotok, ia cepat membebaskan totokan mereka dan mendapat keterangan mereka bahwa mereka ditotok oleh seorang yang berkedok hitam. 

Kini, dalam pengejaran itu tentu saja Nenek Cia yang lain-lain mengira bahwa Si Kedok Hitam itu yang mengajak dua orang tawanan melarikan diri. Mereka menjadi marah dan mengejar dengan secepatnya.

Sementara itu, ketika melihat para pengejar itu mengejar bayangan Si Kedok Hitam, Thian Lee dan Lee Cin cepat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke jurusan lain menuruni bukit.

Thian Lee yang menjadi petunjuk jalan dan akhirnya mereka tiba di kaki bukit. Melihat Lee Cin sejak tadi diam saja, Thian Lee bertanya, "Cin-moi kenapa engkau diam saja seperti termenung?"

"Aku sedang memikirkan Si Kedok Hitam, Lee-ko. Sudah tiga kali dia menolongku terlepas dari bahaya besar dan sekali ini aku yakin bahwa dia bukan anggauta keluarga Cia. Siapakah dia sebenarnya?"


"Aku pun tidak dapat menduganya, Cin-moi. Akan tetapi yang jelas, dia seorang laki-laki yang masih muda, matanya seperti mata naga, dan ilmu kepandaiannya tentu tinggi sekali. Akan tetapi mengapa dia memakai kedok, itu yang mengherankan hatiku."


Akan tetapi di dalam hatinya, Lee Cin terjadi suatu kebimbangan yang tidak ia ucapkan kepada Thian Lee. 

Si Kedok Hitam itu memiliki tubuh yang sedang, seperti tubuh Tin Han. 

Dan dia pun memiliki sikap yang sama dengan Tin Han, yaitu menentang Nenek Cia dan membelanya! 

Apakah Si Kedok Hitam itu Cia Tin Han" Akan tetapi mana mungkin Tin Han memiliki kepandaian yang tinggi" Tentu keluarganya akan mengetahuinya.

"Sekarang, apa yang akan kita lakukan, Lee-ko?" tanyanya sambil membuang pikiran yang penuh kebimbangan itu. Ia tidak akan pernah melupakan Si Kedok Hitam, yang diduganya penyerang ayahnya akan tetapi juga penolong besarnya.
"Aku harus bertindak secepatnya menguasai pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun untuk membasmi komplotan pemberontak itu sebelum mereka melakukan sesuatu yang amat merugikan."

"Aku akan membantumu, Lee-ko."
"Baik, sekarang juga kita pergi ke markas Lai-ciangkun. Akan tetapi harus berhati-hati, siapa tahu Lai-ciangkun juga terlibat dan dia sudah memasang perangkap untuk kita."


Mereka lalu berlari cepat melanjutkan perjalanan ke kota Hui-cu. Ketika akan memasuki kota Hui-cu, Lee Cin berbisik, "Sssttt, Lee-ko, lihat siapa itu di depan sana."


Thian Lee memandang ke arah yang ditunjuk Lee Cin dan dia melihat seorang laki-laki bertubuh pendek sedang berjalan tergesa-gesa memasuki pintu gerbang kota. Thian Lee segera teringat. Orang itu seperti Yasuki!


"Cepat kita bayangi dia," bisiknya kembali.
Mereka membayangi Yasuki dari jarak jauh sehingga yang dibayangi tidak mengetahuinya. 


Dan yang membuat Thian Lee tercengang adalah ketika melihat orang Jepang itu memasuki markas pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun dengan memperlihatkan sepucuk surat kepada para penjaga. 

Dia diperkenankan masuk begitu saja setelah para penjaga melihat surat itu.
"Ini mencurigakan," kata Thian Lee. "Kita masuk dari belakang untuk melihat apa yang dilakukan orang Jepang itu."


Mereka mengambil jalan memutar dan akhirnya berhasil menemukan bagian tembok dinding pagar di belakang yang menembus taman dan tempat ini tidak terjaga. 


Bagaikan dua ekor burung mereka melayang naik ke pagar tembok dan masuk ke dalam. Berindap-indap. mereka menyeberangi taman dan akhirnya mereka dapat melompat ke atas atap dan mengintai ke bawah di mana terdapat sebuah ruangan tamu, ketika mereka mendengar suara bercakap-cakap di bawah. 

Dan benar saja, di ruangan itu, Yasuki sedang bicara dengan Lai-ciangkun. Mereka mengintai dengan hati-hati.

"Apa kau bilang" Mereka tertawan dan dapat lolos kembali" Kalau begitu, Song-ciangkun sudah tahu akan persekutuan kita" Celaka, kita harus cepat bertindak!" kata Lai-ciangkun dengan muka pucat.


Pada saat itulah Thian Lee melompat ke dalam, diikuti oleh Lee Cin. Melihat ini, Yasuki mencabut samurainya, akan tetapi dengan kecepatan kilat Lee Cin sudah menggerakkan pedangnya dan menodongkan pedang itu di leher orang Jepang itu sehingga dia terkejut sekali dan tidak jadi mencabut samurainya. Lee Cin menggerakkan tangan kiri, menotok dan Yasuki terkulai lemas.


Sementara itu, Thian Lee menghadapi Lai-ciangkun yang menjadi sangat pucat wajahnja.
"Ah, Song-ciangkun, kami".. kami....." Dia tergagap.


"Cukuplah, Lai-ciangkun, kedokmu telah terbuka. Engkau bersekutu dengan orang Jepang, engkau pengkhianat rendah!" 


Thian Lee juga menodongkan pedangnya dan panglima itu tidak berani berkutik.

Thian Lee sambil menodong Lai-ciangkun membuka daun pintu kamar itu. Para pengawal yang berjaga di luar terkejut dan heran sekali melihat panglima mereka ditodong.


"Lai-ciangkun telah berkhianat, bersekutu dengan orang Jepang dan hendak memberontak. Kalau kalian mendukungnya, kalian akan kubasmi! Hayo cepat undang semua perwira untuk berkumpul di sini!" bentak Thian Lee.


Para pengawal itu menjadi jerih dan mereka lalu keluar dan memanggil para perwira. Tak lama kemudian belasan orang perwira berdatangan dan mereka juga heran sekali melihat Lai-ciangkun ditangkap.


Thian Lee mengeluarkan surat perintah dari Kaisar dan memperlihatkannya kepada para perwira. "Aku adalah Panglima Besar Song Thian Lee. 


Mendiang Un-ciangkun adalah panglima yang setia dan baik, akan tetapi Lai-ciangkun ini seorang pengkhianat. Dia bersekutu dengan orang Jepang untuk mengadakan pemberontakan. Orang Jepang yang kami tangkap di sini adalah bukti dan saksinya. 

Mulai saat ini, pasukan di Hui-cu kuambilalih untuk sementara. Mengertikah kalian semua?"

Para perwira sudah tunduk begitu melihat surat kuasa dari Kaisar. Di antara mereka memang ada yang terbujuk oleh Lai-ciangkun, akan tetapi mereka belum terlibat. 


Kini mereka semua mendukung Thian Lee dan Lai-ciangkun bersama Yasuki lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan untuk menanti pemeriksaan lebih lanjut.

Melihat tindakan Thian Lee yang demikian cepat dan bijaksana, Lee Cin menjadi kagum. Panglima muda itu sungguh berwibawa.


"Sekarang engkau tinggal mengerahkan pasukan untuk menangkapi mereka semua, Lee-ko. Menangkapi keluarga Cia dan juga menyerbu pasukan yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun yang berkhianat. 


Akan tetapi kalau menangkapi keluarga Cia, kuharap engkau menaruh kasihan kepada Cia Tin Siong dan Cia Tin Han. Mereka itu sungguh merupakan kawan baikku dan mereka kukira tidaklah sejahat neneknya."

Thian Lee menghela napas panjang. "Keluarga Cia itu tidak ada yang jahat, Cin-moi. Bahkan Nenek Cia adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan gigih. Banyak pendekar patriot seperti itu. 


Mereka demikian fanatik sehingga tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan keadaan. Karena nafsu mereka untuk cepat meruntuhkan kerajaan penjajah Mancu, mereka tidak segan-segan bersekongkol dengan orang Jepang dan orang-orang sesat, dengan tujuan hanya satu, yaitu menggulingkan pemerintahan Mancu."

"Ya, mereka membenci semua orang yang bekerja untuk pemerintah. Mereka menganggap bahwa siapa saja yang bekerja untuk pemerintah berarti menjadi antek penjajah yang menindas rakyat dan karena itu harus dibunuh. 


Mereka tidak menyadari bahwa perbuatan mereka itu merugikan rakyat jelata, apalagi kalau sampai terjadi perang pemberontakan, rakyat pula yang menjadi korban."

"Benar, Cin-moi. Mereka lupa bahwa dengan bersekongkol bersama orang Jepang perampok dan para tokoh sesat itu, mereka telah tersesat pula. 


Gerakannya mereka tidak didukung rakyat dan tidak akan berhasil, sebaliknya malah mengacaukan. Aku kasihan kepada mereka. 

Sebetulnya mereka itu merupakan pendekar patriot yang gagah perkasa, sayang tidak memakai perhitungan dan terburu nafsu."
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Lee-ko?"


"Terpaksa harus kuserbu keluarga Cia malam ini juga. Yang melawan terpaksa akan kutundukkan dengan kekerasan, yang sudah menaluk akan kutahan untuk sementara. 


Kalau mereka kelak menyatakan penyesalan mereka dan menyadari akan kesalahan mereka, aku pasti tidak akan membawa mereka ke kota raja dan akan kubebaskan pula mereka."
"Ah, engkau sungguh bijaksana, Lee-ko!"


"Tidak, Cin-moi. Kurasa itu lebih mendidik dan lebih baik. Menyadarkan para patriot lebih baik dan berdaya guna daripada menindas mereka dengan kekerasan."


"Hemm, kalau begitu dipihak manakah engkau berdiri, Lee-ko" Sebagai seorang panglima, aku percaya bahwa engkau berpihak kepada pemerintah, akan tetapi mengapa sikapmu begitu longgar terhadap patriot yang hendak menentang pemerintah?"


Thian Lee menghela napas. "Engkau sudah lama mengenalku, Cin-moi. Aku jelas bukan seorang antek penjajah yang menindas rakyat dan aku sama sekali bukan menjadi panglima untuk memperkaya diri dan mencari kekuasaan. 


Hanya karena aku melihat betapa Kaisar Kian Liong seorang yang bijaksana maka aku suka menjadi panglima. Dengan kedudukanku ini aku dapat mencegah terjadinya penindasan terhadap rakyat. 

Akan tetapi aku sama sekali tidak menentang para patriot. Bahkan kalau para patriot itu berjuang dengan dukungan rakyat jelata, berusaha untuk memerdekakan tanah air dan bangsa, aku setuju sekali dan kalau saat itu tiba, aku akan mengundurkan diri dari kedudukanku sebagai panglima dan sangat boleh jadi aku akan membantu gerakan perjuangan seperti itu. 

Akan tetapi kalau seperti sekarang ini, bersekongkol dengan orang Jepang dan dengan golongan sesat, sungguh aku tidak setuju."

Lee Cin mengangguk-angguk. "Aku mengerti perasaanmu, Lee-ko. Kita dahulu membantu pemerintah menghancurkan pemberontak, karena pemberontakan itu bukan perjuangan para patriot yang didukung rakyat, melainkan usaha pemberontakan dari seorang pangeran untuk merebut tahta kerajaan. Bukan berarti kita memihak kepada pemerintah penjajah."


"Nah, sukur kalau engkau mengerti, Cin-moi. Aku masih membutuhkan bantuanmu kalau engkau mau, yaitu menghadapi keluarga Cia, membujuk mereka agar menyerahkan diri daripada terbasmi oleh pasukan."


"Baik, Lee-ko. Akan kubantu engkau."
Demikianlah, Thian Lee mengadakan perundingan dengan para perwira pembantu, mengatur siasat untuk mengepung dan menundukkan keluarga Cia dan para anak buahnya. 


Dalam rapat perundingan itu, Lee Cin tidak ketinggalan, ikut pula. Kini semua perwira sudah percaya sepenuhnya kepada Thian Lee, apalagi setelah Thian Lee mengenakan pakaian panglima yang membuatnya nampak gagah dan berwibawa.

"Siapkan tiga ratus orang perajurit yang siap untuk melakukan penyerbuan sewaktu-waktu. Lebih dulu aku membutuhkan lima puluh orang perajurit untuk melakukan penggerebekan kepada keluarga Cia. 


Hati-hati, jangan melakukan penyerbuan sebelum ada perintah dariku." Para perwira bekerja cepat dan malam itu terkumpullah lima puluh orang perajurit pilihan yang siap mengikuti Thian Lee. 

Dengan bantuan dua orang perwira dan Lee Cin, Thian Lee lalu memimpin mereka dan pergi ke rumah keluarga Cia.

Akan tetapi, dia kecelik ketika memasuki pekarangan gedung keluarga Cia. Ternyata di situ sudah tidak ada orang, kecuali hanya beberapa orang pelayan yang mengatakan bahwa para majikan mereka telah pergi sore tadi dan tak seorang pun di antara mereka tahu ke mana majikan mereka pergi.


Thian Lee maklum bahwa keluarga itu memang lihai. Agaknya mereka telah dapat menduga bahwa rumah mereka akan diserbu pasukan, maka sebelum itu mereka telah pergi lebih dulu. 


Karena, menduga bahwa mereka tentu pergi mengungsi ke tempat pertemuan rahasia di bukit itu, Thian Lee lalu memimpin dua ratus orang pasukan itu, mengejar ke bukit dan mengadakan pengepungan di puncak bukit itu.

Dugaannya tidak keliru. Rumah besar di puncak bukit itu penuh orang dan agaknya mereka telah bersiap-siap. Thian Lee bersama Lee Cin sudah melompat ke depan, tepat di depan pekarangan bangunan itu dan Thian Lee berseru dengan suara lantang,


"Keluarga Cia! Tempat ini sudah terkepung! Harap kalian menyerah saja agar kami tidak perlu melakukan kekerasan!"


Lee Cin juga ikut membujuk mereka dan ucapannya ditujukan kepada Tin Siong dan Tin Han, "Saudara Cia Tin Siong dan Han-ko! Mintalah kepada keluarga kalian agar menyerah saja. 


Yasuki dan Lai-ciangkun telah tertangkap. Tidak ada gunanya lagi kalian melakukan perlawanan!"

Akan tetapi, sebagai jawaban, puluhan anak panah meluncur dari dalam bangunan itu. Thian Lee memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menggunakan perisai dan menyerbu ke arah bangunan. 


Kurang lebih lima puluh orang anak buah pemberontak berserabutan ke luar dengan golok di tangan menyerbu ke arah para pengepung. 

Terjadilah pertempuran yang hebat.
Thian Lee dan Lee Cin berlompatan ke pekarangan bangunan dan mereka segera disambut oleh Nenek Cia, Cia Kun, Nyonya Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok. 


Tidak terlihat Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok. Nenek Cia tanpa banyak cakap sudah memutar tongkat kepala naga dan menyerang Thian Lee. Thian Lee mengelak dan melompat ke belakang.

"Sekali lagi kami harap kalian suka menyerah dan kami akan mempertimbangkan keadaan kalian!"
"Nenek Cia, Song-ciangkun berkata benar. Kalian menyerahlah dan hentikan perlawanan dan aku tanggung dia akan membebaskan kalian kelak!" teriak pula Lee Cin.


"Kami tidak akan menyerah!" bentak nenek itu dan ia melanjutkan serangan kepada Thian Lee. Terpaksa Thian Lee mencabut pedangnya dan melawan karena dia melihat betapa lihainya nenek tua ini. 


Tongkatnya menyambar demikian dahsyatnya, penuh dengan tenaga lweekang yang membuat tongkatnya mengeluarkan bunyi bercuitan dan tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam yang lebar. 

Tanpa banyak cakap lagi Cia Hok dan Cia Bhok meloncat dan membantu ibu mereka mengeroyok Thian Lee.

"Bocah tidak mengenal budi! Engkau pernah menjadi sahabat dan tamu karni tetapi ternyata sekarang memusuhi kami!" teriak Nyonya Cia Kun dan ia pun sudah menerjang maju dengan pedang di tangan. 


Suaminya, Cia Kun, juga menerjang maju sehingga Lee Cin dikeroyok oleh suami isteri ini. Dua orang perwira yang melihat pengeroyokan musuh, lalu maju membantu Thian Lee yang dikeroyok tiga.

Lee Cin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Cia Kun masih lebih tinggi daripada kepandaian Cia Hok dan Cia Bhok, juga isterinya memiliki gerakan yang lumayan. 


Maka ia pun terpaksa harus memutar pedangnya untuk membuat perlawanan yang kuat. Ia merasa heran ke mana perginya Tin Siong, karena kalau Tin Siong maju mengeroyoknya pula, ia tentu tidak akan mampu bertahan. Ilmu silat pemuda yang bersenjata suling perak itu tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya.

Tiga puluh orang anak buah pemberontak itu, biarpun rata-rata lihai dengan golok mereka, namun terdesak hebat oleh dua ratus orang perajurit. Banyak di antara mereka yang roboh dan sisanya membela diri dengan mati-matian.


Tiba-tiba muncul Tin Siong dan pemuda ini berseru nyaring, "Nenek, Ayah dan Ibu, lari! Cepat!" Pemuda itu lalu melemparkan beberapa bahan peledak yang meledak dan mengeluarkan asap tebal, kemudian Tin Siong menangkap tangan ibunya dan ditarik sambil diajak lari. 


Melihat ini, Nenek Cia, dan ketiga puteranya, Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok, lalu berlompatan melarikan diri.

Thian Lee memang bersikap lunak terhadap mereka. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan seorang di antara mereka yang melarikan diri. 


Akan tetapi dia tidak melakukan hal ini, lalu melompat ke atas atap bangunan dan berteriak,
"Semua anak buah pemberontak, menyerahlah dan kalian tidak akan dibunuh. Pimpinan kalian sudah melarikan diri!"


Lima puluh orang itu memang sudah payah keadaannya. Belasan orang di antara mereka telah roboh dan melihat pimpinan mereka sudah melarikan diri semua, mereka akhirnya membuang golok dan berlutut menyerah.


Thian Lee dan Lee Cin kembali ke markas Hui-cu bersama pasukan yang menawan para perajurit pemberontak dan setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata benar seperti dugaannya, lima puluh orang itu adalah perajurit-perajurit barisan golok dari pasukan yang dipimpin Phoa-ciangkun.


Thian Lee lalu mengadakan perundingan lagi dengan belasan orang perwira pembantu. Akan tetapi sekali ini Lee Cin tidak lagi ikut berunding. 


Setelah penyerbuan ke bukit di mana keluarga Cia melarikan diri, Lee Cin merasa tidak perlu lagi melibatkan diri dalam pembasmian para pemberontak itu. 

Kalau tadinya ia membantu Thian Lee adalah karena ada hubungannya dengan keluarga Cia. Kini Thian Lee hendak menyerbu ke timur, ke pasukan perbatasan yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun, maka ia tidak merasa perlu untuk membantu. Itu sepenuhnya adalah urusan ketentaraan.

"Maaf, Lee-ko, aku sekarang terpaksa minta diri dan tidak dapat menyertaimu dalam penyerbuan ke timur," demikian ia berkata kepada Thian Lee setelah mereka kembali ke markas sambil menawan puluhan orang perajurit pemberontak itu.


Thian Lee maklum dia mengangguk. "Baiklah, Cin-moi. Engkau sudah membantu banyak kepadaku dan aku amat berterima kasih kepadamu. 


Mudah-mudahan saja keluarga Cia tidak mendendam kepadamu, dan berhati-hatilah engkau terhadap orang-orang seperti Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok. 

Mereka adalah orang-orang lihai dan juga jahat sekali, terutama Ouw Kwan Lok yang agaknya hendak membalaskan dendam guru-gurunya kepadamu."

"Aku mengerti, Lee-ko. Semoga engkau akan berhasil dengan tugasmu dan dapat segera pulang ke keluargamu dengan selamat."


"Terima kasih, Cin-moi, dan engkau jangan lupa, kalau kebetulan lewat kota raja, harap mampir ke rumah kami. Cin Lan tentu akan girang sekali kalau engkau singgah ke rumah kami. Ia sering membicarakanmu dengan penuh kerinduan."


Lee Cin tersenyum. "Baiklah, Lee-ko. Kalau aku kebetulan lewat di kota raja pasti aku akan berkunjung ke rumah kalian."


Setelah berpamit, Lee Cin lalu meninggalkan markas itu. Ketika tiba di jalan besar, ia teringat akan ke rumah keluarga Cia. 


Keluarga itu telah melarikan diri semua dan rumahnya tentu kini telah kosong. Rasa iba menyelubungi hatinya dan tanpa disadarinya, kakinya lalu melangkah menuju ke rumah besar bekas tempat tinggal keluarga Cia itu. 

Ia teringat akan Tin Han. Bagaimana nasib pemuda yang ramah dan jenaka itu" Tentu ikut pula pergi mengungsi menyelamatkan diri. 

Karena bagaimanapun juga, sebagai cucu Nenek Cia, tentu dia pun ikut dicurigai sebagai orang yang langsung terlibat dengan pemberontakan. 

Lee Cin tidak dapat membayangkan pemuda yang jenaka dan gembira itu kini berada dalam pengasingan, menjadi buruan pemerintah. 

Ia menghela napas. Mengapa hanya kepada Tin Han ia merasa kasihan" Bukankah mereka semua, seluruh keluarga Cia mengalami nasib yang sama" Pikiran ini dibantahnya sendiri. 

Hanya Tin Han yang agaknya tidak terlibat dalam pemberontakan. Dan tiba-tiba timbul keinginan hatinya yang amat besar untuk dapat menolong Tin Han, untuk dapat bertemu dengan pemuda yang selalu bersikap jenaka dan membuatnya gembira itu. 

Akan tetapi ke mana ia akan mencari Tin Han" Dia tentu ikut dengan Nenek Cia.


          **********


Dengan pikiran penuh kenangan akan keluarga Cia, Lee Cin melangkah terus sampai ia tiba di rumah keluarga itu. 


Rumah itu telah ditutup pintunya dan terdapat beberapa orang perajurit menjaga rumah itu. Jelas bahwa rumah itu kosong, telah ditinggalkan semua penghuninya dan para pelayan yang ditinggalkan di situ tentu telah ditangkapi.

Ketika Lee Cin mengambil jalan memutar ke bagian belakang dari bangunan besar itu, ia melihat sesosok bayangan berkelebat, melompati pagar tembok dan melarikan diri. 


Orang itu baru saja meninggalkan bangunan itu! Tentu saja ia menjadi tertarik sekali. 

Seorang di antara keluarga Cia" Ataukah seorang pencuri yang memasuki bangunan yang kosong itu" Ia segera membayangi dan berlari cepat. 

Orang itu adalah seorang pemuda, akan tetapi dara ini belum melihat jelas muka orang itu. Tin Siongkah orang itu" Akan tetapi agaknya orang ini lebih tinggi daripada Tin Siong. Seorang pencurikah" 

Larinya cepat, akan tetapi Lee Cin dapat mengejarnya dan terus membayangi, hendak diketahuinya siapa orang itu dan mengapa dia mendatangi rumah keluarga Cia.
Orang itu meninggalkan kota Hui-cu melalui pintu gerbang sebelah selatan. 

Lee Cin terus membayanginya dan setelah tiba di jalan yang sepi, ia mulai mempercepat larinya untuk mengejar dan menyusul orang itu. 

Ia hanya ingin melihat siapa orang itu dan bertanya apa maksudnya datang ke rumah keluarga Cia yang kosong itu.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika orang itu berlari lebih cepat dari pada tadi. Ia mengejar lebih cepat lagi dan mendapat kenyataan bahwa ilmu berlari cepat orang itu tidak banyak selisihnya dengan kecepatan larinya.


Mereka berkejar-kejaran dan Lee Gin maklum bahwa orang yang dikejarnya itu sudah tahu akan pengejarannya. 


Melihat orang itu berlari cepat, ia menjadi semakin penasaran dan curiga. 

Akhirnya, setelah tiba di dekat sebuah hutan di lereng bukit yang mereka daki dalam kejar-kejaran tadi, orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapi Lee Cin. 

Setelah gadis itu tiba di depannya, ia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, baru sekali ini calon mempelai wanita mengejar-ngejar calon mempelai prianya!"

Lee Cin terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu. Orang itu ternyata adalah Siangkoan Tek, musuh besarnya!


"Jahanam busuk, kiranya engkau yang menjadi pencuri di rumah keluarga Cia!" bentak Lee Ci
n sambil mencabut pedangnya.

"Ha-ha, siapa menjadi pencuri" Aku hanya mengambil barang-barangku yang tertinggal di sana. 

Setelah engkau mengejarku sampai di sini, tentu engkau bersedia menjadi isteriku, bukan, Adik Lee Cin yang manis?"

Sebagai jawaban Lee Gin menerjang maju sambil menyerang dengan pedangnya sambil membentak, "Mampuslah engkau!"


Siangkoan Tek cepat mengelak dan dia pun sudah mencabut pedangnya untuk melindungi dirinya. 


Akan tetapi dia tidak banyak membalas karena dia pun tidak ingin melukai gadis yang telah menarik hatinya itu. 

Dia benar-benar mencinta Lee Cin dan mengharapkan gadis itu menjadi isterinya. Dia menganggap bahwa hanya Lee Cin yang pantas untuk menjadi isterinya. 

Tingkat ilmu kepandaian mereka. memang seimbang, mungkin Lee Cin menang sedikit karena dia diperkuat dengan ilmu totok It-yang-ci. 

Maka, kalau hanya mengalah terus tentu saja Siangkoan Tek menjadi terdesak hebat. Namun Lee Cin berhati-hati sekali. 

Ia tahu akan kelicikan pemuda itu dan ia tidak mau kalau ia sampai terjebak. Ia menyerang dan berhati-hati melindungi dirinya dari serangan gelap.

"Ayah, bantulah!" tiba-tiba Siangkoan Tek berseru setelah dia terdesak mundur mendekati hutan. Lee Cin terkejut karena kalau benar ayah pemuda itu, Siangkoan Bhok muncul, akan celakalah ia. 


Melawan Siangkoan Tek saja hanya berimbang, kalau ayah pemuda itu muncul, tentu ia akan kalah! Akan tetapi Siangkoan Bhok tidak muncul dan ia tahu bahwa pemuda itu hanya menggertak. 

Dengan gemas Lee Cin memperhebat serangannya sehingga Siangkoan Tek terus mundur kemudian pemuda itu lari memasuki hutan.

"Hendak lari ke mana engkau, keparat!" Lee Cin mengejar dan kembali mereka bertanding.
Lee Cin hendak mempercepat pertandingan karena ia sudah marah sekali kepada pemuda ini yang beberapa kali hampir dapat memperkosanya. 


Ia harus cepat merobohkan dan membunuh pemuda jahat ini sebelum ayahnya atau kawan-kawan lain pemuda itu muncul. 

Maka la lalu memainkan Ang-coa-kiam-sut dengan mengeluarkan jurus-jurus mautnya, dibarengi dengan tangan kiri yang melakukan totokan-totokan It-yang-ci yang lihai. 

Siangkoan Tek yang tidak ingin melukai gadis yang dicintanya itu tentu saja menjadi terdesak hebat.

"Ayah......!" Kembali dia berteriak,
"Ayahmu sudah mampus, tidak akan datang membantumu!" ejek Lee Cin yang mengira bahwa pemuda itu tentu hanya menggertak saja.


"Siapa bilang aku mampus?" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang dayung baja menyambar ke arah kepala Lee Cin dengan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya. 


Lee Cin terkejut dan cepat ia menundukkan kepalanya untuk mengelak, lalu membalik untuk menghadapi orang itu. 

Seorang kakek yang tinggi besar gagah bermuka merah telah berdiri di situ sambil memegang dayung bajanya. 

Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga! Ternyata pemuda itu bukan hanya menggertak saja. Siangkoan Bhok memang berada di hutan itu. 

Mengertilah dia bahwa Siangkoan Tek sengaja memancingnya ke hutan itu, berdekatan dengan ayahnya sehingga ayahnya dapat membantunya!


          **********

Engkaulah yang mampus!" Siangkoan Bhok kembali membentak dan dayung bajanya menyambar lagi, kini semakin dahsyat. 

Lee Cin mengelak dan ia menjadi nekat. Ia tidak mungkin dapat melarikan diri dari dua orang itu, maka jalan satu-satunya baginya hanya melawan dengan nekat dan mati-matian. Ia lalu membalas serangan kakek itu dan mereka terlibat dalam pertandingan yang seru.

"Ayah, jangan bunuh ia, Ayah!" Siangkoan Tek berseru sambil berjaga kalau-kalau gadis itu akan melarikan diri.


Namun dayung baja itu menyambar-nyambar dengan ganasnya sehingga Lee Cin menjadi terdesak.


"Ayah, jangan sampai lukai ia, Ayah! Ia calon isteriku!" kembali Siangkoan Tek berseru dan kini dia pun ikut rnenyerang dengan totokan-totokan untuk mernbuat Lee Cin tidak berdaya.


Lee Chi rnengamuk dan membalas serangan kedua orang itu dengan mati-matian. Karena dilarang puteranya agar jangan melukai atau membunuh Lee Cin, maka agak sukarlah bagi Siangkoan Bhok untuk merobohkan gadis itu tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya! 


Akan tetapi dia amat sayang kepada puteranya dan dia pun memutar dayung bajanya dengan cepat sekali sehingga dayung itu berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyelimuti tubuh Lee Cin, menutup semua jalan keluar bagi gadis itu.. 

Lee Cin masih melawan dengan sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terpukul ujung dayung sehingga pedangnya terlepas dari pegangan dan di saat itu, Siangkoan Tek telah berhasil menotoknya sehingga ia pun roboh terkulai dengan lemas.

"Ha-ha, terima kasih atas bantuanmu, Ayah. Ayah, ia adalah calon isteriku. Kawinkan aku dengannya, Ayah!" 


Siangkoan Tek berkata dengan girang sekali. Dia tadi cepat menangkap tubuh Lee Cin sehingga gadis itu tidak sampai terpelanting dan kini dia masih memeluk tubuh Lee Cin.

"Hemm, bilang kepada ibumu. Aku tidak tahu urusan kawin!" Kakek itu mendengus dan sama sekali tidak mempedulikan keadaan Lee Cin.


Pada saat itu terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, ayahnya busuk, mana mungkin puteranya menjadi baik" Siangkoan Bhok, di mana-mana engkau selalu mengumbar nafsu burukmu!" 


Dan muncullah seorang kakek bersama seorang gadis cantik.
Siangkoan Bhok menoleh dan dia terkejut melihat kakek itu. 


Kakek yang pendek gendut serba bulat, dengan jubah pertapa, mulutnya terbuka lebar dalam senyumnya yang aneh. Kakek itu memegang sebuah kebutan berbulu putih. 

Dia bukan adalah Thian-tok (Racun Langit) Gu Kiat Seng, datuk dari barat. Adapun gadis itu bukan lain adalah Liu Ceng atau yang biasa dipanggil Ceng Ceng. 

Seperti telah kita ketahui di bagian depan, Ceng Ceng telah digembleng lagi oleh kakek sakti ini, mempelajari ilmu-ilmu pukulan yang ampuh. 

Kalau dulu Ceng Ceng hanya bersenjata sebatang pedang, kini ia mempergunakan sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang kebutan berbulu merah di tangan kiri. Ceng Ceng telah menjadi seorang gadis yang lihai sekali!

Melihat Lee Cin dalam rangkulan Siangkoan Tek, Ceng Ceng sudah menjadi marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang dan kebutannya dan membentak,
 "Lepaskan gadis itu!"

 Ia sudah menerjang maju dan menyerang Siangkoan Tek dengan kebutan yang menotok ke arah leher pemuda itu disusul pedangnya yang membacok ke arah pinggang!

"Haiiiitttt......!" Siangkoan Tek berseru dan cepat menghindar. Terpaksa dia melepaskan tubuh Lee Cin yang terpelanting ke atas tanah dan tidak mampu bergerak karena masih tertotok. 

Segera Siangkoan Tek balas menyerang dengan pedangnya sehingga dia sudah bertanding melawan Ceng Ceng dengan serunya.
"Thian Tok!" Seru Siangkoan Bhok rnarah, "Urusan ini tak ada sangkut-pautnya denganmu, mengapa engkau mencampuri?"

"Ha-ha-ha, aku paling gatal kalau melihat orang mengganggu seorang wanita. Engkau membiarkan puteramu mengganggu wanita, apakah engkau tidak malu?"


Siangkoan Bhok menjadi marah. "Thian Tok, engkau selamanya memang seorang usil. 


Hari ini aku akan memecahkan kepalamu yang besar!" sambil berkata demikian Siangkoan Bhok menggerakkan dayung bajanya yang menyambar ke arah kepala bulat dari kakek itu. 

Thian-tok Gu Kiat Seng tertawa dan begitu menundukkan kepalanya, dayung baja itu bersuitan lewat di atas kepala. Dia lalu menggerakkan kebutannya yang menyambar ke arah dada Siangkoan Bhok. 

Biarpun yang menyerangnya hanya menggunakan sebuah kebutan yang ekornya lemas, akan tetapi Siangkoan Bhok maklum betapa lihainya kebutan itu, maka dia pun melompat ke belakang untuk mengelak.

Dengan marah akan tetapi juga waspada karena maklum akan kelihaian lawannya, Siangkoan Bhok menyerang lagi dengan amat dahsyatnya. 



Akan tetapi biarpun tubuhnya pendek gendut, gerakan Thian-tok ternyata amat gesitnya dan tubuh itu mengelak ke sana sini dengan lucu. Juga kebutannya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dengan totokan-totokan maut.

Saking bernafsunya untuk merobohkan lawan, Siangkoan Bhok menyerang lagi dengan ganas, dayung bajanya menyambar ke arah dada lawan. Thian-tok menyambut dayung itu dengan kebutannya. 


Ekor kebutan yang berwarna putih itu melibat dayung dan kakek gendut itu bergerak maju. 

Pada saat itu, Siangkoan Bhok melepaskan tangan kanannya dari dayungnya dan mengirim pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) ke arah dada Thian-tok!

Sebagai seorang ahli racun yang dijuluki Racun Langit, tentu saja Thian-tok mengenal pukulan yang amat berbahaya itu. 


Dia tidak mengelak, kebutannya masih membelit dayung dan dia menggunakan tangan kirinya untuk memapaki pukulan tangan kosong itu sambil tubuhnya merendah setengah mendekam dan dari perutnya keluar suara kuk-kuk-kuk ketika tangan kirinya didorongkan dengan jari tangan terbuka ke arah tangan Siangkoan Bhok yang memukul.

"Wuuuuttt.... desss!" Kedua tangan yang mengandung hawa beracun yang amat ampuh itu bertemu di udara dan akhirnya, tubuh kedua orang datuk itu terjengkang.


Akan tetapi keduanya dapat berdiri lagi dan sudah saling terjang lagi dengan ganas. Ternyata dalam tenaga beracun keduanya juga seimbang sehingga mereka kini bertanding lebih hati-hati lagi.


Sementara itu, pertandingan antara Siangkoan Tek dan Ceng Ceng juga berlangsung seru. Siangkoan Tek juga tidak berani main-main karena kebutan di tangan gadis itu dapat menyerangnya dengan totokan-totokan yang amat berbahaya. 


Dia memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedang kui-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Iblis). Setelah bertanding selama puluhan jurus mulailah Ceng Ceng terdesak. 

Biarpun dalam ilmu silat ia tidak kalah lihai, namun dibandingkan Siangkoan Tek ia masih kalah dalarn pengalaman bertanding dan perlahan-lahan ia mulai terdesak mundur.

Pada saat itu tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat ke arah tubuh Lee Cin yang masih menggeletak di situ, bayangan itu menyambar pedang Ang-coa-kiam milik Lee Cin yang tadi terpukul jatuh, kemudian dia memondong tubuh Lee Cin dan dibawa pergi dengan cepat sekali.


"Heiii......!" Siangkoan Tek yang melihat ini cepat mengejar, akan tetapi kebutan di tangan Ceng Ceng menyambar ke arah dadanya dan hampir saja dia tertotok. 


Terpaksa dia lalu rnenghadapi Ceng Ceng lagi, juga orang berkedok hitam yang membawa pergi Lee Cin sudah lenyap di antara pohon-pohon.

Kembali dia mengamuk dan Ceng Ceng terdesak mundur. Tiba-tiba nampak bayangan biru berkelebat dan terdengar bentakan, "Tahan!" 


Seorang pemuda berpakaian serba biru sudah muncul dan dengan pedangnya dia menahan pedang Siangkoan Tek yang mendesak Ceng Ceng.

"Tranggg......!" Kedua pedang bertemu dan Siangkoan Tek merasa tangannya tergetar, tanda bahwa pemuda baju biru itu memiliki tenaga sinkang yang kuat.


"Kenapa engkau menyerang nona ini?" tanya pemuda itu yang bukan lain adalah Thio Hui San, murid In-kong Taisu dari Siauw-lim-pai.


Siangkoan Tek sudah menjadi marah sekali. Pemuda ini mengandalkan ayahnya, maka dia tidak takut kepada pemuda itu. "Jahanam, perlu apa engkau mencampuri urusanku?" bentaknya.


Thio Hui San yang dimaki tersenyum. "Dari makian ini saja aku dapat mengerti bahwa tentu engkau yang berada di pihak bersalah."


"Mampuslah kau!" Siangkoan Tek membentak dan pedangnya menyambar. Akan tetapi Hui San menangkis dan kedua orang pemuda itu sudah saling serang dengan seru. Melihat pemuda baju biru itu datang menolongnya, Ceng Ceng juga lalu membantunya mengeroyok Siangkoan Tek! Siangkoan Tek menjadi bingung. Baru menghadapi pemuda baju biru saja dia sudah harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, kini dikeroyok oleh Ceng Ceng yang tidak boleh dipandang rendah. Dia segera terdesak ke belakang dan mulailah pemuda ini berteiak-teriak, "Ayah, Ayah".. bantu aku......!!"


Diam-diam Siangkoan Bhok kesal sekali melihat ulah puteranya yang sama sekali tidak menunjukkan kegagahan. Dia sendiri juga masih amat sukar untuk mengalahkan Thian-tok, bagaimana harus membantu puteranya yang jelas terdesak oleh dua orang lawannya" Jalan satu-satunya agar tidak kehilangan muka hanya melarikan diri.


"Thian-tok, cukup sekian dulu, lain kali kita lanjutkan. Siangkoan Tek mari kita pergi!" katanya. Mendengar ini, maklumlah Siangkoan Tek bahwa ayahnya tidak dapat membantunya dan menganjurkan agar melarikan diri. Maka dia pun rnenyerang dengan ganas sehingga dua orang pengeroyoknya melompat ke belakang dan rnenggunakan kesempatan ini, dia pun meloncat jauh mengejar ayahnya.


"Sudah, jangan kejar mereka, berbahaya," kata Thian-tok sambil tertawa rnelihat muridnya dan pemuda berpakaian biru itu hendak melakukan pengejaran. "Orang muda, siapakah engkau yang telah membantu muridku Ceng Ceng?"


Thio Hui San cepat mernberi hormat kepada kakek gendut pendek itu. Tadi dia rnelihat kakek ini menandingi Siangkoan Bhok. Sebagai seorang pemuda yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal Siangkoan Bhok akan tetapi tidak mengenal kakek ini. Dia mengingat-ingat siapa kiranya tokoh dunia kang-ouw yang bertubuh seperti ini. Akhirnya dia teringat. Kakek cebol gendut yang bersenjatakan kebutan bulu putih.


"Saya Thio Hui San memberi hormat kepada Locianpwe Thian-tok."
Thian-tok tertawa bergelak sambil memegangi perutnya yang terguncang.


"Ah, ternyata selain lihai engkau pun berpemandangan tajam. Aku memang Thian-tok Gu Kiat Seng. Kami bersukur bahwa engkau telah membantu muridku yang telah terdesak oleh Siangkoan Tek yang jahat. Akan tetapi, siapakah orang berkedok hitam yang tadi melarikan gadis itu" Apakah dia temanmu?"


"Orang berkedok hitam" Siapakah, Locianpwe" Saya tidak melihatnya," kata Hui San heran.


"Ah, celaka kalau begitu. Gadis itu telah dibawa lari orang yang tidak kita ketahui siapa. Akan tetapi kalau orang itu melarikannya, tidak membunuhnya, barang kali gadis itu masih dapat menyelamatkan diri. Ia seorang gadis pemberani yang lihai. Thio Hui San, aku melihat ilmu pedangmu tadi, bukankah engkau seorang murid Siauw-lim-pai?"


"Pandangan Locianpwe amat tajam, membuat saya kagum sekali. Memang sesungguhnyalah, Locianpwe, saya adalah seorang murid Siauw-lim-pai."
"Hemm, bagus. Siapakah gurumu, atau, tidak bolehkah aku mengetahuinya?"


"Tidak ada rahasia dalam perguruan. kami, Locianpwe. Guru saya adalah In Kong Taisu."


"Siancai.....! Jadi engkau murid In Kong Taisu" Pantas ilmu pedangmu hebat. Akan tetapi, bagaimana engkau yang tidak kami kenal langsung saja membantu kami" Engkau tidak tahu siapa yang bersalah di antara kami tadi."


"Locianpwe, saya sudah mengenal Siangkoan Bhok dan orang macam apa adanya dia. Maka, saya langsung membantu Nona yang saya lihat sudah terdesak dan terancam." Hui San memandang kepada Ceng Ceng dan kebetulan gadis itu juga sedang memandang kepadanya. Dua mata bertemu pandang, dua buah hati berdetak lebih keras dari biasanya dan Ceng Ceng segera menundukkan mukanya dengan malu-malu.
Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak, "Ha-ha-hay, Thio Hui San, perkenalkan, ini adalah muridku bernama Lui Ceng atau biasa dipanggil Ceng Ceng. Ceng Ceng, haturkan terima kasih kepada Thio Hui San. Kalau dia tidak segera datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan kita."


Ceng Ceng mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat, yang segera dibalas oleh Hui San. Sambil tersenyum malu Ceng Ceng berkata, "Taihiap, banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi."
"Ah, Nona. Harap jangan menyebut aku taihiap (pendekar besar), membuat aku merasa malu saja."







Kembali Thian-tok tertawa, "Ha-ha-ha, kalian dua orang muda bicaralah aku harus memulihkan tenagaku. 

Siangkoan Bhok setan tua itu sungguh lihai dan menguras tenagaku." Setelah berkata demikian, Thian-tok lalu pergi ke sebuah batu besar tak jauh dari situ dan naik ke atas batu, lalu duduk bersila menghimpun hawa murni.

"Nona Liu, sekali lagi, jangan menyebut aku dengan sebutan taihiap. Sebutan itu terlalu tinggi
bagiku, padahal ilmu kepandaianku tidaklah ada artinya dibandingkan dengan kesaktian gurumu."

"Habis, aku harus menyebutmu apa, Thio-taihiap, sedangkan engkau juga menyebutku nona," jawab Ceng Ceng dengan kedua pipi kemerahan. Hui San terpesona. Pemuda ini tidak mudah tertarik oleh wanita. Selama hidupnya baru satu kali dia tertarik, bahkan jatuh cinta kepada wanita, yaitu kepada Lee Cin. Akan tetapi setelah tahu bahwa Lee Cin tidak menanggapi cintanya, dia pun mundur dan tidak begitu mengharapkan lagi. Kini, untuk kedua kalinya dia terpesona oleh budi halus dan kecantikan wanita. Dalam pandangannya, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapi yang memiliki sikap lemah lembut keibuan.


Mendengar jawaban Ceng Ceng, Hui San memandang tajam lalu tersenyum dan menjawab, "Kita telah bertemu dan berkenalan dan engkau bersama gurumu bersikap demikian baik dan bersahabat, apa salahnya kalau kita menjadi sahabat baik" Agar tidak canggung, bagaimana kalau selanjutnya aku menyebutmu moi-moi saja dan engkau menyebutku koko" Bagaimana juga, aku jauh lebih tua darimu. Bagaimana pendapatmu, Ceng-moi (Adik Ceng)?"


Ceng Ceng tersenyum. Pemuda yang dihadapinya itu demikian sopan clan halus, ucapannya demikian lembut dan sama sekali tidak ada kesan kurang ajar, melainkan bersahabat. Ia merasa senang sekali berkenalan dengan pemuda murid Siauw-lim-pai yang tangguh ini.


"Aku senang sekali, San-ko (Kakak San)," katanya dengan senyum malu-malu. Ceng Ceng adalah seorang gadis pingitan. 


Ketika ia masih ikut dengan pamannya, Souw Can, ia jarang keluar rumah dan tidak pernah bergaul, apalagi dengan pria, maka ia merasa malu-malu. 

Satu-satunya pria yang pernah dikenalnya dengan baik adalah Lai Siong Ek, suhengnya. Akan tetapi Siong Ek sering kali bersikap tidak wajar kepadanya, bahkan kalau mereka sedang berdua, Siong Ek suka menggodanya dengan kata-kata nakal." 

Maka, bertemu dengan Hui San yang sopan dan lembut, ia merasa tertarik sekali. Apalagi baru saja ia mendapat pertolongan pemuda itu. 

Kalau pemuda itu tidak datang menolong, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Siangkoan Tek itu terlalu lihai baginya dan suhunya juga tidak dapat menolongnya karena suhunya sedang bertanding dengan seru melawan kakek bersenjata dayung baja itu.

"Ceng-moi, sebetulnya apakah yang terjadi. Kenapa engkau dapat bertanding dengan Siangkoan Tek itu, dan kenapa pula gurumu bertanding dengan Siangkoan Bhok?"


"Kebetulan saja Suhu dan aku lewat di sini ketika kami melihat mereka berdua menawan seorang gadis cantik. Begitu melihat pemuda itu, aku segera mengenalnya karena aku pernah bentrok dengan Siangkoan Tek itu. 


Maka aku segera berusaha menolong gadis itu dan menyerang Siangkoan Tek, sedangkan Suhu menyerang kakek berdayung baja yang ternyata adalah ayah dari Siangkoan Tek. Kami bertanding mati-matian dan sebelum engkau muncul, aku sudah terdesak hebat oleh Siangkoan Tek yang lihai dan jahat."

"Hemm, dan di mana gadis yang ditawan mereka itu" Apakah benar dia dibawa lari seorang yang berkedok hitam?"


"Begitulah, aku terdesak hebat oleh Siangkoan Tek sehingga tidak begitu memperhatikan. Aku hanya melihat seorang yang berpakaian dan berkedok hitam, berkelebat cepat dan membawa pergi nona tawanan itu."


"Apakah engkau tahu siapa gadis itu, Ceng-moi Mengapa ia ditangkap Siangkoan Tek dan ayahnya" Dan siapa pula Si Kedok Hitam itu?"


"Aku tidak tahu, San-ko. Juga Suhu tidak tahu. Akan tetapi Suhu dan aku sempat melihat betapa gadis itu dikeroyok ayah dan anak yang jahat itu, kemudian tertawan oleh mereka. 


Gadis itu memiliki kepandaian hebat, akan tetapi karena dikeroyok dua, akhirnya ia tertawan."

Mereka berhenti bicara dan ketika keduanya saling pandang, kembali jantung mereka berdebar kencang dan Ceng Ceng segera menundukkan pandang matanya. 


Hui San juga menjadi salah tingkah dan untuk meredakan debar jantungnya, dia bertanya, '"Ceng moi, kalau boleh aku bertanya, siapakah kedua orang tuamu dan di manakah engkau tinggal?"

Pertanyaan itu seperti mencairkan kebekuan yang timbul karena rasa malu dan canggung. Akan tetapi jawaban Ceng Ceng terdengar mengandung kedukaan, "Aku".. aku tidak mempunyai ayah dan ibu lagi, San-ko. 


Aku adalah seorang yatim piatu yang ditinggal mati kedua orang tuaku sejak aku masih kecil."
"Hemm, kalau begitu sejak kecil engkau ikut gurumu?"



"Tidak, San-ko. Baru dua tahun aku mengikuti guruku belajar ilmu, tadinya aku ikut menumpang di rumah pamanku yang tinggal di Pao-ting. Baru setelah bertemu dengan Suhu, aku memperdalam ilmu silat dan ikut Suhu merantau."


"Ah, kasihan sekali engkau, Ceng-moi. Riwayatmu penuh duka."


Ceng Ceng tersenyum. "Akan tetapi aku tidak merasa berduka lagi, San-ko. Aku merasa bahagia dapat belajar ilmu dari Suhu. 


Akan tetapi kenapa sejak tadi hanya bicara tentang diriku saja. Bagaimana dengan engkau, San-ko" Dari mana engkau berasal dan siapa orang tuamu?" 

Ceng Ceng bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda yang jangkung, gagah dan tampan itu.

Hui San menarik napas panjang, akan tetapi dia masih tersenyum sambil menatap wajah yang cantik jelita itu. 


"Riwayatku tidak jauh bedanya dengan riwayatmu, Ceng-moi. Aku pun yatim piatu sejak kecil dan sejak aku masih kecil aku sudah tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si dan akhirnya menjadi murid Suhu. 

Aku mempelajari ilmu silat dan juga sastra dari para suhu di Siauw-lim-pai dan aku sering melaksanakan tugas yang diberikan oleh Suhu."

"Ah, kasihan juga engkau, San-ko. Kenapa hidup ini hanya membawa duka saja. Di mana-mana aku bertemu dengan orang-orang yang tidak bahagia hidupnya. 


Jadi engkau bertempat tinggal di kuil Siauw-lim-si" Di manakah kuil Siauw-lim-si yang tersohor itu, San-ko?"

"Pusat kuil Siauw-lim-si berada di kaki Gunung Sung-san, di Propinsi Ho-nan. Akan tetapi aku tinggal di kuil yang berada di Kwi-cu, sebuah kuil yang merupakan cabang dari Siauw-lim-si dan guruku, In Kong Taisu, menjadi ketua di sana. 


Aku tinggal di sana, akan tetapi aku lebih banyak berada di luar kuil karena banyak melaksanakan tugas yang diberikan Suhu. 

Sekarang pun aku sedang melaksanakan tugas untuk menyebar undangan kepada para tokoh kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan persilatan yang ternama."

"Apakah Siauw-lim-pai hendak mengadakan pesta maka menyebar undangan, San-ko?"


"Bukan Siauw-lim-pai yang mengadakan pesta, akan tetapi Siauw-lim-pai merupakan satu di antara pimpinan bengcu kami. 


Kami mengundang para ahli silat di dunia kang-ouw untuk hadir nanti pada tanggal satu bulan lima agar mereka berkunjung ke Hong-san di mana akan diadakan pertemuan besar dan penting untuk membicarakan urusan di dunia kang-ouw dan juga mengadakan pemilihan bengcu yang baru."

"Aih, menarik sekali!" kata Ceng Ceng. "Apakah Suhu juga diundang" Aku akan merasa girang sekali kalau dapat ikut Suhu pergi ke sana!" 


Ceng Ceng menoleh ke arah suhunya dan ia terbelalak. "Eh, di mana Suhu?"

Hui San juga menoleh dan melihat ke arah batu di mana tadi kakek itu duduk bersila. Akan tetapi kini kakek itu tidak tampak bayangannya lagi dan sudah pergi dari situ! 


Kedua orang muda itu menjadi heran dan terkejut. Mereka cepat melompat dan berlari ke arah batu itu dan di atas batu besar di mana Thian-tok tadi duduk terdapat coretan pada permukaan batu yang merupakan huruf-huruf yang cukup jelas.

Ceng Ceng, Engkau sudah cukup belajar, kita berpisah sekarang. Jaga darimu baik-baik dan kalau engkau pergi ke Hong-san, mungkin kita dapat saling jumpa di sana."


Thian-tok. "Ah, Suhu meninggalkan aku!" kata Ceng Ceng dengan sedih. Ia tahu bahwa sekali waktu ia pasti akan harus berpisah dari gurunya, akan tetapi tidak seperti itu. 


Suhunya meninggalkannya tanpa pamit! Akan tetapi hatinya terhibur membaca kalimat terakhir. Bulan lima tidak lama lagi dan kalau ia pergi ke Hong-san, menghadiri rapat itu, mungkin ia akan dapat berjumpa dengan gurunya.

"Suhumu seorang manusia yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau dia memakai cara yang aneh untuk berpisah darimu, Ceng-moi."


"Aku..... aku merasa kehilangan sekali, San-ko. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi dan selama ini aku menganggap Suhu sebagai pengganti orang tuaku. Kini dia pergi dan aku sebatang kara....."


"Bukankah suhumu mengatakan bahwa engkau akan dapat berjumpa dengannya di Hong-san" Kalau engkau pergi ke sana"..."


"Akan tetapi aku bukan seorang yang diundang menghadiri rapat yang penting itu, San-ko."


"Mengapa tidak" Aku yang mengundangmu, mewakili guruku. Memang Suhu berpesan agar aku mengundang siapa saja yang pantas disebut sebagai pendekar atau tokoh kang-ouw. 


Dan engkau sudah pantas menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, Ceng-moi."

"Akan tetapi aku belum pernah melakukan perjalanan jauh seorang diri. Sebelum ikut Suhu, aku selalu tinggal di rumah dan selama ini aku hanya ikut Suhu. Aku tidak tahu di mana Hong-san itu."


Hui San adalah seorang pemuda yang berpengalaman. Tadinya dia pun merasa heran melihat cara Thian-tok meninggalkan muridnya begitu saja. 


Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa girang. Thian-tok meninggalkan murid perempuan itu setelah bertemu dengan dia. 

Bukankah ini berarti bahwa datuk itu mengharapkan agar dia dapat menemani Ceng Ceng" Kalau benar dugaannya, dia merasa bahagia sekali.

"Aku juga sedang pergi menuju ke Hong-san. Bagaimana kalau kita pergi bersama, Ceng-moi" Maafkan aku, tentu saja kalau engkau tidak merasa keberatan. 


Aku hanya mampir-mampir di sepanjang perjalanan ke Hong-san untuk memberikan undangan kepada para tokoh kang-ouw."

Ceng Ceng memandang dengan sinar mata menunjukkan kegembiraannya. Biarpun baru saja berjumpa dan berkenalan, akan tetapi ia merasa seolah sudah lama mengenal pemuda ini dan sudah mengetahui wataknya yang sopan dan baik.


"Terima kasih, San-ko. Aku senang sekali kalau dapat melakukan perjalanan bersamamu, dapat menimba banyak pengalaman di dunia kang-ouw."


"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang, Ceng-moi. Matahari mulai condong ke barat dan kita harus tiba di suatu dusun atau kota sebelum malam tiba."


"Baik, San-ko. Mari kita berangkat."
Kedua orang muda itu lalu pergi menuju ke utara. Entah siapa yang lebih bahagia di antara mereka. Belum pernah kedua orang muda itu merasakan kebahagiaan seperti ini. Bahkan Ceng Ceng sudah tidak lagi merasakan kepergian suhunya. Padahal andaikata ia berjalan seorang diri, tentu ia akan merasa kehilangan dan kesepian sekali.


Memang besar sekali kekuasaan yang mencekam hati setiap orang manusia kalau dia sudah mulai tertarik kepada lawan jenisnya. Segala sesuatu nampak indah. 


Cuaca menjadi semakin cerah, pemandangan alam semakin indah, pohon-pohon tampak agung mengagumkan, terutama bunga-bunga tampak semakin jelita, kicau-kicau burung dan semua suara terdengar merdu. 

Hidup menjadi begitu berarti, penuh dengan segala yang menyenangkan hati, dan inikah yang disebut kebahagiaan" Kebahagiaan orang yang sedang jatuh cinta, tentunya.


          **********

Kita tinggalkan dua orang yang sedang berbunga-bunga hatinya itu dan kita ikuti perjalanan dua orang muda yang lain, yaitu Lee Cin dan Si Kedok Hitam yang memanggulnya dan membawanya pergi dari dalam hutan itu. 

Lee Cin yang belum dapat bergerak tahu bahwa ia dibawa pergi oleh Si Kedok Hitam. Berbagai perasaan memenuhi hatinya. 

Ia merasa girang sekali bahwa ia ditolong lagi oleh Si Kedok Hitam, akan tetapi ia pun merasa penasaran mengapa Si Kedok Hitam tidak membebaskan totokan dari tubuhnya saja. 

Ia perlu membantu gadis dan kakek pendek gendut yang menolongnya dan yang bertanding melawan Siangkoan Tek dan Siangkoan Bhok. 

Tadinya ia diam saja, akan tetapi kemudian hatinya memberontak.
"Lepaskan aku......! Lepaskan......!" Ia berseru.


Si Kedok Hitam sudah lari jauh dari tempat pertempuran tadi. Mereka tiba di sebuah padang rumput dan mendengar teriakan itu, dia lalu menurunkan tubuh Lee Cin ke atas rumput, kemudian beberapa kali menotok jalan darah Lee Cin sehingga gadis itu mampu bergerak lagi. 


Tanpa berkata-kata Si Kedok Hitam menjulurkan tangannya yang memegang pedang Ang-coa-kiam dan mengembalikannya kepada Lee Cin. Gadis itu menyambar pedangnya dan segera meloncat berdiri hendak berlari.

"Hendak ke mana, Nona?" Si Kedok Hitam bertanya.


"Tentu saja ke tempat tadi, ke mama lagi" Aku harus membantu mereka yang bertanding nnelawan Siangkoan Tek dan ayahnya!" 


Setelah berkata demikian Lee Cin berlari cepat, diikuti oleh Si Kedok Hitam. Akan tetapi Lee Cin tidak tahu jalan dan ia berputar-putar di daerah itu dan akhirnya ia berhenti berlari, menanti Si Kedok Hitam yang masih mengikutinya.

"Di mana jalannya tunjukkanlah kepadaku!" Ia berkata.


"Nona, Thian-tok itu lihai sekali, dan tidak akan kalah menandingi Siangkoan Bhok, dan gadis itu pun lihai. Mereka tidak akan kalah dan tidak memerlukan bantuan." Suara Si Kedok Hitam itu dingin dan acuh tak acuh.


"Mereka telah menolongku, sekarang aku harus membantu mereka!" kata Lee Cin. "Mengapa engkau membawa aku pergi" Seharusnya engkau membebaskan totokanku agar aku dapat membantu mereka membunuh Siangkoan Tek si jahanam busuk itu dengan ayahnya!"


"Nona hendak kembali ke sana" Ikuti aku," kata Si Kedok Hitam tanpa banyak cakap lagi dan dia lalu berlari cepat menyusuri lapangan rumput itu. Lee Cin meloncat dan berlari mengikuti di belakangnya.


Tak lama kemudian sampailah mereka ke tempat tadi dan tempat itu ternyata telah sunyi. Tak tampak seorang pun di situ, Siangkoan Tek dan ayahnya tidak tampak batang hidungnya, juga kakek dan gadis yang menolongnya tidak ada lagi di situ. 


Lee Cin memandang ke kanan kiri, mencari-cari, kemudian duduk di atas batu dengan wajah murung.

"Aih, bagaimana kalau mereka mengalami celaka gara-gara menolongku?" katanya dengan khawatir.


Si Kedok Hitam lalu meneliti bekas tempat pertempuran, memandang ke atas tanah dan akhirnya menghampiri Lee Cin. 


"Harap Nona tidak khawatir. Kalau dayung baja itu menjatuhkan korban, tentu ada bekas darah di sini. Akan tetapi tempat ini bersih, tidak ada bekas tumpahan darah. 

Tidak mungkin seorang datuk seperti Thian-tok dikalahkan lawan tanpa ada darah yang menetes. Aku yakin mereka semua telah pergi dari sini dengan selamat."

Lee Cin turun dari atas batu dan meniru perbuatan Si Kedok Hitam tadi, memeriksa keadaan di tempat itu. Benar saja, tidak ada sedikit pun tanda darah. 


Baru hatinya lega dan baru ia teringat bahwa sudah ke empat kalinya ini Si Kedok Hitam menyelamatkannya. 

Dan baru ia teringat bahwa ia ingin sekali mengetahui siapa Si Kedok Hitam ini, dan apakah benar dia yang dahulu melukai ayahnya.

Seperti pada pertemuan terdahulu, Si Kedok Hitam sudah siap untuk pergi meninggalkan Lee Cin. "Sekarang aku harus cepat pergi, Nona. Selamat berpisah......!"


"Nanti dulu, sobat!" kata Lee Cin dan dalam suaranya terdengar tuntutan sehingga orang berkedok hitam itu menahan langkahnya dan memandang kepadanya. 


Lee Cin juga menatap penuh perhatian, sinar matanya seolah hendak menembus kedok itu dan menjenguk wajah orang aneh itu.

"Aku mempunyai beberapa pertanyaan yang harus kau jawab sejujurnya, sobat. Pertama, berulang kali engkau menyelamatkan aku dari bahaya, mengapa engkau melakukan hal ini kepadaku?"


"Mengapa" Ah, mudah sekali dijawab, Nona. Kalau melihat orang melakukan perbuatan jahat, sudah menjadi kewajibanku untuk turun tangan menentang kejahatan dan menolong siapa saja yang menjadi korban kejahatan. 


Kebetulan saja Nona yang menjadi korban kejahatan ketika aku datang turun tangan."

"Jawabanmu ini menunjukkan bahwa engkau seorang pendekar. Akan tetapi mengapa seorang pendekar menyembunyikan dirinya di balik kedok hitam seolah takut diketahui siapa dirinya yang sebenarnya" 


Aku yang berulang kali menerima pertolonganmu, tentu saja ingin sekali mengenal siapa sebenarnya engkau. 

Nah, maukah engkau memperkenalkan diri kepadaku, tanpa kedok itu?"

"Maafkan aku, Nona. Aku tidak dapat melakukan hal itu. Aku tidak dapat memperkenalkan diriku yang sebenarnya kepada siapapun juga dan aku mempunyai alasanku sendiri yang pribadi. 


Aku pun tidak dapat memperkenalkan diriku kepadamu. Cukup kalau engkau mengenalku sebagai Si Kedok Hitam. Nah, sekarang......"

"Nanti dulu! Masih ada beberapa bertanyaan yang harap kau jawab sejujurnya. Aku dapat menerima alasanmu itu dan tidak akan memaksa engkau memperkenalkan dirimu yang sebenarnya kepadaku. 


Akan tetapi aku mempunyai suatu penasaran besar. Dulu aku menganggap seorang yang berkedok hitam sebagai musuh besarku. Dia adalah orang yang telah menyerang dan melukai ayahku di Hong-san. 

Ayahku adalah Bengcu Souw Tek Bun. Apakah engkau yang telah melakukan penyerangan itu dan melukainya?" Berkata demikian, Lee Cin menatap tajam sepasang mata yang mencorong itu sehingga mereka saling pandang. 

Pandang mata yang mencorong itu membalas pandang mata Lee Cin tanpa berkedip, walaupun tampak betapa sepasang mata itu sedikit melebar.

"Engkau puteri Bengcu Souw Tek Bun" Ah, aku menyesal sekali, Nona. Aku tidak dapat menyangkal. Akulah yang telah bertanding dengan ayahmu, melukainya dengan pukulan akan tetapi dia pun melukai lenganku. 


Tentu engkau hendak bertanya mengapa aku menyerangnya" Apakah dia tidak menceritakan kepadamu" Aku menantangnya dan hendak memberi peringatan kepadanya karena dia menjadi bengcu atas dukungan kerajaan, berarti dia menjadi seorang bengcu yang condong memihak penjajah. 

Nah, itulah yang menjadi sebabnya. Aku tidak bermaksud mencelakainya dan aku melukainya karena dia pun melukai lenganku dengan ilmu pedangnya yang hebat. 

Apakah engkau mendendam, Nona. Nah, kalau engkau hendak membalas dendam, silakan, aku bersedia menanggung akibat perbuatanku itu."
Lee Cin merasa lega. Orang ini bukan pengecut, telah mengakui perbuatannya dan dia pun sudah mengerti akan sebab penyerangannya. 

Ayahnya telah menceritakan dan sebab itulah yang mendesak ayahnya untuk menyatakan bahwa dia mundur dari kedudukannya sebagai bengcu. 

Dia tidak mau dituduh sebagai bengcu pilihan penjajah! Orang ini telah mengaku dan buktinya dia tidak membunuh ayahnya, hanya saling melukai dan ini dilakukan untuk memperingatkan ayahnya. 

Dan orang ini sekarang mengaku. Apa yang akan dilakukannya" Membalas dendam" Akan tetapi orang ini telah berulang kali menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! 

Hutang dendamnya terlalu kecil kalau dibandingkan dengan budi pertolongan yang dilepaskannya. 

Empat kali nyawanya tertolong, maka sudah sepatutnya kalau ia menghilangkan dendam karena ayahnya saling melukai dengan pemuda berkedok hitam ini.

"Sebuah pertanyaan lagi!" katanya, ketika melihat Si Kedok Hitam kembali menggerakkan kaki hendak pergi. "Apakah engkau anggauta keluarga Cia?"


"Maafkan, Nona Souw Lee Cin, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Tentang pribadiku merupakan rahasia yang tidak boleh kubuka kepada siapapun juga. 


Selamat tinggal!" Si Kedok Hitam lalu melompat jauh dan menghilang di balik pohon-pohon, meninggalkan Lee Cin termenung seorang diri.

Tiba-tiba saja ia merasa kehilangan dan kesepian. Ah, alangkah bodohnya! Ia telah jatuh cinta kepada Si Kedok Hitam! 


Tiba-tiba ia merasa terkejut sendiri oleh penemuan ini. Ia jatuh cinta kepada seorang yang tidak diketahuinya siapa, bagaimana wajahnya. Mungkin karena berulang kali ditolong, ia merasa terharu dan tertarik. 

Akan tetapi ada sesuatu dalam sinar mata Si Kedok Hitam yang membuatnya tidak mampu melupakan sepasang mata yang mencorong itu. 

Pandang mata itu! Seolah mengelus perasaannya, mengandung seribu belaian dan rayuan, walaupun disembunyikan dalam sikap dan suara yang dingin. Ia mencinta Si Kedok Hitam.

"Bodoh kau?"!" Ia ingin menampar kepalanya sendiri, menarik napas panjang lalu melanjutkan perjalanannya. 


Akan tetapi pertemuannya dengan Si Kedok Hitam tidak pernah meninggalkan kenangannya. Ia kini dapat memastikan bahwa Si Kedok Hitam itu seorang pendekar patriot. 

Buktinya dia menentang perbuatan jahat, itu sikap seorang pendekar. Dan dia memperingatkan orang-orang yang dekat dengan pemerintah penjajah, seperti yang dilakukan kepada ayahnya, kepada Un-ciangkun dan kepada Ji-taijin. 

Itu sikap seorang patriot! Dan apakah dia tersangkut dalam komplotan pemberontak yang bersekutu dengan orang Jepang dan dengan panglima pengkhianat" Tidak mungkin. 

Bukankah Si Kedok Hitam pernah meloloskan ia dan Thian Lee" Kalau dia bersekutu dengan para pemberontak, tidak mungkin dia menolong Thian Lee. 

Pendirian Si Kedok Hitam ini mirip dengan pendirian Cia Tin Han! Tin Han juga berpendirian sebagai seorang pendekar dan patriot sejati, walaupun pemuda itu tidak pandai silat. 

Kalau Tin Han pandai ilmu silat seperti kakaknya, Lee Cin berani memastikan bahwa Si Kedok Hitam tentulah Si Pemuda itu. 

Akan tetapi mengingat bahwa pemuda itu tidak pandai silat, maka tidak mungkin kalau dia yang menyamar sebagai Si Kedok Hitam.
Teringat akan Tin Han, jantung Lee Cin berdebar aneh. Harus diakuinya bahwa ia amat tertarik kepada pemuda itu, gayanya, sikapnya, keberaniannya, ketampanannya. 

Kalau saja Tin Han pandai ilmu silat, sangat boleh jadi ia akan jatuh cinta kepadanya. 

Hal itu tidak dapat diingkarinya lagi. Mungkin juga ia tidak akan tertarik kepada Si Kedok Hitam. Ia mencinta Tin Han, akan tetapi kekagumannya dan hutang budinya membuat ia menoleh kepada Si Kedok Hitam!

Dengan pikiran kacau-balau seperti itu, terombang-ambing di antara Si Kedok Hitam dan Cia Tin Han, Lee Cin melanjutkan perjalanannya. 


Kemudian ia teringat kepada Siangkoan Tek dan wajahnya menjadi merah. Sialan, ia dicinta oleh pemuda macam itu! 

Ia amat membenci Siangkoan Tek yang berkeras hendak memperisterinya, kalau ia sempat bertemu lagi dengan Siangkoan Tek, sendirian saja tanpa ayahnya, tentu ia akan berusaha keras untuk membunuh pemuda jahat itu.

Selagi ia berjalan dan tiba di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya, "Adik Souw Lee Cin......!"


Lee Cin segera mengenal suara itu dan cepat ia menahan langkahnya dan memutar tubuhnya. 


Seorang pemuda berlari-lari mendatangi ketika sudah berhadapan dengannya, ia melihat Tin Han yang napasnya terengah-engah karena tadi berlari-lari itu.

"Han-ko....! Engkau dari manakah?"
"Ah, Cin-moi, hampir putus napasku mengejarmu." Pemuda menggunakan sehelai saputangan untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya.


"Han-ko, engkau dari manakah?" Ia teringat betapa ia dan Thian Lee menyerbu keluarga Cia dan pada waktu itu ia tidak melihat Tin Han. 


Rasa tidak enak menyelimuti hatinya. "Engkau tidak bersama keluargamu?" Ia memancing untuk mengetahui apakah pemuda ini telah tahu akan penyerbuan ke rumah keluarga Cia itu.

"Ah, keluargaku telah pergi semua. Ketika itu aku sedang tidak berada di rumah. Kabarnya keluargaku diserbu pasukan, para pelayan ditangkapi. Mereka semua melarikan diri dan aku tidak berani pulang."


"Aku sudah tahu, Han-ko," kata Lee Cin terus terang. "Bahkan aku ikut pula menyerbu ke rumah keluargamu membantu Song-ciangkun."


"Akan tetapi, kenapa, Cin-moi" Kenapa?" Pemuda itu nampak bingung.


Lee Cin merasa iba. Ia tahu bahwa pemuda ini sama sekali tidak bersalah dan tidak terlibat dalam pemberontakan.


"Keluargamu bersekutu dengan pemberontak, Han-ko. Bersekutu dengan Panglima Phoa yang berkhianat, bersekongkol pula dengan orang Jepang. 


Mereka merencanakan pembunuhan terhadap para pembesar, mereka hendak memberontak, karena itulah rumah keluargamu diserbu pasukan."
"Dan engkau ikut pula menyerbu, Cin-moi" Kenapa?" Sepasang mata pemuda itu menatap wajah Lee Cin dengan sinar mata penuh pertanyaan dan penuh selidik. 

Hampir tidak kuat rasanya Lee Cin menantang pandang mata itu dan ia pun menghela napas.

"Ketahuilah, Han-ko. Song-ciangkun adalah seorang sahabat lamaku, dan aku melihat bahwa dia benar. 


Pemberontakan seperti yang dilakukan keluargamu itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi rakyat jelata. 

Gerakannya itu bukan perjuangan yang didukung rakyat seperti yang dimaksudkan, melainkan pemberontakan yang melibatkan orang asing, kaum sesat dan juga pasukan pengkhianat."

Tin Han menghela napas dan menundukkan mukanya. "Aku tahu..... ah, betapa seringnya aku mengingatkan mereka, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan aku dimaki-maki. 


Akan tetapi aku menyesal mengapa engkau ikut pula menyerbu keluargaku, Cin-moi, padahal mereka menganggapmu sebagai seorang keluargaku, Cin-moi, padahal mereka menganggapmu sebagai seorang sahabat. 

Terutama sekali Siong-ko......"
"Kenapa dengan Saudara Cia Tin Siong?" tanya Lee Cin tertarik.

"Tidak tahukah engkau bahwa kakakku itu tergila-gila kepadamu" Ia amat mencintamu, Cin-moi, dan tentu hatinya hancur melihat engkau ikut pula memusuhi keluarga kami."

"Akan tetapi, aku tidak mencintanya, Han-ko," kata Lee Cin terus terang. Entah mengapa, ia tidak pernah tertarik kepada Tin Siong, walaupun pemuda itu pernah menolongnya dan pemuda itu tampan pandai dan lemah-lembut pula sikapnya. 


Dia lemah-lembut seperti Tin Han, akan tetapi entah apanya, Lee Cin melihat perbedaan yang besar sekali antara kedua saudara itu.

Kembali Tin Han menghela napas panjang. "Aku tahu bahwa engkau tidak mencintanya, akan tetapi dia mencintamu setengah mati. 


Aku tahu bahwa kami tidak berharga bagimu, hanya keluarga pemberontak yang nekat. 

Ahh, aku tahu bahwa perasaanku kepadamu juga sia-sia belaka, Cin-moi. Aku juga seorang yang tak tahu diri, seperti kakakku."

Lee Cin terbelalak memandang pemuda itu. "Eh, apa maksudmu, Han-ko"


"Maksudku sudah jelas. Aku memang seorang yang bodoh. Sedangkan kakakku saja yang pintar dan gagah perkasa tidak menarik hatimu, apalagi aku yang bodoh dan lemah. 


Biarlah aku berterus terang, Cin-moi. Aku yang bodoh dan tidak tahu diri ini telah berani jatuh hati kepadamu. 

Nah, sekarang sudah lega hatiku. Sudah kunyatakan perasaan cintaku kepadamu. Walaupun aku tahu bahwa engkau menolak, setidaknya perasaan itu tidak menyiksaku lagi, kutahan-tahan. Ha-ha-ha!" 

Pemuda itu tertawa dan kegembiraannya seperti muncul kembali. "Aku seperti Si Pungguk merindukan bulan. Kau tahu pungguk Cin-moi" Pungguk itu semacam burung hantu, buruk sekali rupanya, dan hidupnya di waktu malam. 

Dia terpesona dan tergila-gila kepada bulan, ingin terbang tinggi mencapai bulan, namun tak pernah berhasil, bahkan sayapnya patah-patah karena terbang terlalu lama dan terlalu tinggi. 

Tempatnya adalah di bawah, bersama burung hantu lain. Ha-ha, sekarang aku melihat betapa aku telah melamunkan hal yang terlalu jauh untuk kucapai. 

Aku, si pandir ini, anggauta keluarga pemberontak sesat yang tidak mampu berbuat apa-apa berani jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita perkasa dan cantik jelita sepertimu."

"Cukup, cukup, Han-ko!" Lee Cin cepat memotong. "Sudah terlalu tinggi engkau memuji dan menyanjungku, terlalu rendah engkau menganggap dirimu sendiri. Aku tidak ingin mendengar lagi."


"Maafkan aku, Cin-moi." Tin Han lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah. 


Melihat itu, Lee Cin juga duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan pemuda itu. Jantungnya berdebar keras. 

Pemuda ini terang-terangan menyatakan cinta kepadanya! "Benar kata Kakakku Tin Siong, bahwa engkau seorang gadis yang luar biasa. 

Berilmu tinggi akan tetapi tidak sombong. Kakak Tin Siong bilang bahwa engkaulah satu-satunya gadis yang ia inginkan menjadi isterinya, yang cocok dengannya. 

Nenek juga menyetujui kalau engkau menjadi isteri Siong-ko. Akan tetapi engkau tidak membalas cintanya. Apalagi orang seperti aku....."

"Han-ko, jangan engkau terlalu merendahkan diri. Terus terang saja, aku lebih menghargai engkau daripada kakakmu itu."


Tin Han menengok dengan gerakan kaget, memandang kepada wajah gadis itu dengan mata terbelalak dan alis terangkat. 


Lucu sekali wajahnya kalau begitu. "Aih, benarkah, Cin-moi" Mengapa engkau lebih menghargai aku yang bodoh daripada Kakak Siong yang pintar?"

"Engkau tidak bodoh, Han-ko. Soal engkau tidak suka belajar silat, itu adalah hakmu untuk menentukan. Akan tetapi engkau pandai dan berpikiran luas. 


Kakakmu itu patuh kepada nenekmu dan ikut pula terlibat dalam pemberontakan. Akan tetapi engkau lain. 

Engkau seorang patriot sejati yang memikirkan keadaan rakyat jelata. Orang seperti engkau inilah yang kelak akan berhasil memimpin rakyat mengusir penjajah. Aku kagum kepadamu, Han-ko!"

"Aduh, dengar jantungku berdetak hampir pecah rasanya karena girang, Cin-moi! Kagum itu adalah sebuah di antara kuncup-kuncup cinta! Siapa tahu kelak engkau pun akan ada rasa cinta kepadaku. 


Aih, betapa bahagianya aku memperoleh sinar harapan darimu, Cin-moi!"

Wajah Lee Cin berubah kemerahan. "Engkau seorang pemuda yang amat baik dan rendah hati, Han-ko. Kalau saja engkau pandai silat seperti kakakmu, ahhh".. sudahlah, tidak ada gunanya mengharapkan yang bukan-bukan......"


"Tin Han.....!!" Pada saat itu terdengar suara panggilan yang nyaring, suara teriakan dari jauh. Tin Han terkejut.


"Ah, itu suara panggilan nenekku! Aku harus pergi menemuinya, Cin-moi. Selamat berpisah, semoga kita akan cepat bertemu kembali." 


Tin Han tergesa-gesa meninggalkan gadis itu berlari ke arah suara yang datangnya dari dalam hutan di lereng bukit itu. Pemuda itu berlari mendaki lereng bukit, diikuti pandang mata haru oleh Lee Cin.

Tiba-tiba timbul keinginan hati Lee Cin untuk mengetahui di mana keluarga itu bersembunyi. Mereka adalah orang-orang buruan pemerintah, akan tetapi ia tidak berniat untuk membiarkan mereka ditangkapi. 


Bahkan ia merasa tidak enak kepada keluarga itu. Ia ingin sekali melihat mereka dan andaikata bertemu, ia akan minta maaf kepada mereka dan sekalian menyadarkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah tidak benar. 

Maka ia lalu meloncat dan mengikuti Tin Han dari jauh, membayangi pemuda itu yang mendaki lereng bukit.

"Tin Haaaan......!" Kembali terdengar suara panggilan itu. Suaranya lengking tinggi dan bergema di lembah bawah, tanda bahwa suara itu diteriakkan dengan pengerahan tenaga khi-kang yang kuat. 


Pemuda itu kelihatan tergesa-gesa naik ke lereng itu, akan tetapi karena jalan itu sukar, mendaki dan berbatu-batu, dia tidak dapat bergerak cepat. 

Lee Cin terus membayanginya dari jarak yang cukup jauh sehingga tidak akan tampak dari atas. Ia menyelip di balik batu-batu dan pohon-pohon.
Akhirnya Tin Han tiba di sebuah lereng dan tampaklah Nenek Cia yang berdiri sambil memegangi tongkat naga. Nenek itu tampak gagah berdiri di tempat tinggi itu seorang diri, memandang kepada cucunya yang dengan susah payah mendaki tempat itu dan menghampiri Nenek Cia.
"Nek?"!" Tin Han menghampiri dan memanggil neneknya.
"Ke mana saja engkau selama ini" Tidak tahukah apa yang telah terjadi dengan kami?"


Lee Cin cepat menyelinap di balik batu besar sambil mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

"Aku telah mengetahui semuanya, Nek. Aku memang sedang pergi ketika penyerbuan itu terjadi. 

Aku mendengar dari orang-orang bahwa keluarga kita diserbu pasukan. Aku lalu bersembunyi dan tidak tahu ke mana kalian pergi. 

Kupikir engkau dan semua orang pergi ke pantai timur untuk mengungsi ke tempat Phoa-ciangkun, maka aku sedang bermaksud mengejar ke sana."

"Engkau sudah datang, itu baik sekali. Tidak semestinya engkau berkeliaran seorang diri. Mereka tentu akan menangkapmu kalau melihat engkau. Engkau tadi seorang diri ataukah ada temanmu?"


"Aku..... aku seorang diri saja, Nek."
Lee Cin sedang mengintai dan mendengarkan itu semua. Ah, mereka akan mengungsi ke tempat markas pasukan di mana Phoa-ciangkun berada, pikirnya. 


Tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya dan ketika ia membalik, ia melihat dirinya sudah dikepung orang banyak. Cia Kun, Nyonya Cia Kun, Cia Hok, Cia Bhok dan Cia Tin Siong sudah berada di belakangnya dengan senjata di tangan.

Tentu saja Lee Cin terkejut bukan main. Kiranya mereka sengaja menunggunya di situ. 


Pantas ia melihat Nenek Cia hanya seorang diri di sana. Agaknya memang mereka sudah melihatnya dari atas tadi dan sengaja memancingnya ke sini. 

Ia berpendapat bahwa bicara tidak ada gunanya lagi. Ia tidak gentar, akan tetapi mencoba juga untuk menyadarkan mereka itu dan segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada empat orang tua itu, sedangkan ia memandang kepada Tin Siong dengan sinar mata tajam.

"Para paman dan bibi, kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan kalian di sini, memberi kesempatan kepadaku untuk bicara langsung kepada kalian."


"Hemm, Nona Souw. Engkau telah mengkhianati kami, membantu pasukan penjajah menyerbu tempat tinggal kami! Mau bicara apa lagi?" bentak Cia Kun sambil melintangkan pedangnya di depan dada.


"Justeru aku ingin bicara dengan kalian mengenai usaha pemberontakan yang kalian lakukan itu, Paman Cia. 


Siong-ciangkun sendiri memaklumi bahwa kalian adalah pendekar-pendekar patriot, bukan orang jahat. 

Akan tetapi sayangnya kalian mengadakan perjuangan bersekutu dengan orang-orang Jepang dan orang-orang sesat di dunia kang-ouw. 

Karena itulah maka tempat tinggal kalian diserbu. Akan tetapi kalau kalian mengaku salah dan selanjutnya tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu, Song-ciangkun tentu akan memaafkan kalian dan tidak akan menuntut."

"Kami tidak akan menyerah kepada segala panglima antek Mancu!" tiba-tiba terdengar suara Nenek Cia dan nenek itu sudah melompat ke depan Lee Cin dengan tongkat kepala naga di tangan kanan. 


"Engkau pengkhianat, membalas kebaikan kami dengan racun. Menyerahlah atau kami akan menggunakan kekerasan!"

"Nek, aku memperingatkan kalian dengan niat baik, bukan untuk memusuhi kalian. Kalau kalian mulai saat ini memutuskan hubungan dengan pengkhianat Phoa-ciangkun dan tidak lagi berhubungan dengan orang-orang Jepang dan golongan sesat, kalian tidak akan dikejar-kejar lagi dan boleh hidup dengan aman di antara rakyat."


"Nek, ia berkata benar!" Tiba-tiba Tin Han berkata benar dengan suara lantang, "Ayah, Ibu, dan paman-paman, insaflah bahwa kalian telah tersesat jalan. 


Sudah berulang kali aku memperingatkan bahwa bersekutu dengan para penjahat dan orang Jepang tidak akan mendatangkan kebaikan bagi kita. 

Phoa-ciangkun telah bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan dibantu oleh tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw. Harap kalian suka menyudahi dan mengundurkan diri jangan sampai diperalat oleh kaum pemberontak."

"Tin Han, tutup mulutmu! Kau anak kemarin sore, tahu apa urusan perjuangan?" bentak Nenek Cia.


"Nenek, kita yang bersalah. Nona Souw Lee Cin ini hanya memperingatkan kita, ia datang dengan niat baik, maka lepaskan ia, biarkan ia pergi," kembali Tin Han berseru kepada neneknya.


"Tidak, ia harus ditangkap untuk dijadikan sandera!" bentak Nenek Cia sambil menggerakkan tongkatnya untuk menyerang Lee Cin. Akan tetapi Tin Han melompat ke depan Lee Cin menghalangi neneknya.


"Tin Han, minggir kau!" bentak Nenek Cia.
"Tidak, Nenek tidak boleh menyerangnya!" Tin Han menantang.


"Anak bodoh!" Nenek Cia menggerakkan kakinya menendang dan Tin Han terlempar dan jatuh terbanting.


Nenek Cia lalu menodongkan senjatanya kepada Lee Cin, akan tetapi Lee Cin sudah melompat ke dekat Tin Han dan membantu pemuda itu untuk bangkit kembali.


"Engkau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Akan tetapi ternyata pemuda yang berani itu tidak menderita cidera.


Nenek Cia sudah melompat ke dekat dua orang muda itu dan menodongkan tongkatnya. "Engkau hendak melawan?" bentaknya kepada Lee Cin.


Lee Cin tidak mencabut pedangnya dan berkata dengan tenang, "Aku tidak akan melawan," katanya sambil memandang kepada mereka semua. 


Ia tahu bahwa kalau melawan pun ia tidak akan mampu menandingi nenek yang dibantu oleh tiga orang puteranya, seorang mantunya dan seorang cucunya, walaupun ia sangsi apakah Tin Siong juga akan mengeroyoknya kalau terjadi perkelahian.

"Menyerahlah saja, Nona Souw, agar Nenek tidak perlu menggunakan kekerasan," kata Tin Siong sambil mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu menolong adiknya dengan sikap demikian akrab.


"Nek, apa yang akan kau lakukan denganku?" bertanya Lee Cin.
Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendekati Lee Cin dan merampas pedang yang tergantung di pinggang gadis itu. 


Lee Cin tidak berusaha mencegah karena ia maklum bahwa menggunakan kekerasan tidak akan ada gunanya baginya. Ia masih yakin bahwa keluarga Cia tidak akan mengganggunya. 

Andaikata ia melihat Siangkoan Tek atau Ouw Kwan Lok di situ, tentu ia akan melawan mati-matian karena ia tidak percaya kepada kedua orang pemuda itu. 

Akan tetapi ia percaya bahwa keluarga Cia bukan keluarga orang jahat, maka ia pun menyerah dan tidak melawan. Bahkan ia ingin melihat sampai di mana dan bagaimana Tin Han akan membelanya.

"Kami akan menawanmu sampai Panglima Song Thian Lee itu muncul untuk menolongmu," kata Nenek Cia.


"Nenek, cara yang kau gunakan untuk memancing Panglima Song ini sungguh memalukan dan tidak gagah. Cepat bebaskan Cin-moi agar kita tidak dicela seluruh orang gagah di bawah langit."


"Tutup mulutmu atau aku akan menghajarmu lebih keras lagi," kata Nenek Cia dan Tin Han hanya mengerutkan alisnya. Lee Cin lalu dipaksa naik ke puncak bukit itu di bawah todongan pedang di tangan Cia Hok dan Cia Bhok. Lee Cin melangkah dengan sikap tenang.


Ternyata di puncak bukit itu terdapat sebuah pondok yang cukup besar. Puncak itu dikelilingi jurang yang amat curam dan jalan satu-satunya menuju ke atas hanya jalan yang mereka lalui, jalan setapak yang berbahaya karena di kanan kirinya merupakan jurang menganga yang tidak terukur dalamnya. 


Mudah menjaga tempat seperti itu dari serbuan orang luar karena orang itu pasti akan melalui jalan ini juga. 

Diam-diam Lee Cin merasa khawatir juga. Tempat yang amat baik untuk bersembunyi dan mempertahankan diri dari serangan dari luar. Tidak akan ada orang dari luar dapat datang menolongnya tanpa diketahui mereka.

Setelah tiba di tempat itu, Lee Cin dimasukkan ke dalam sebuah kamar seperti gudang yang tidak ada jendela. 


Pintunya juga amat kuat dan setelah ia didorong masuk, pintu itu dikunci dari luar. Biarpun tidak dapat melihat keadaan di luar kamar, ia tahu bahwa tempat itu pasti dijaga ketat. 

Dan melihat keadaan tempat itu ketika ia tiba tadi, ia tidak melihat adanya anak buah seorang pun. Agaknya yang berada di situ hanya seluruh, keluarga Cia saja.

Di dalam kamar itu Lee Cin duduk di lantai dan berpikir bagaimana caranya untuk dapat meloloskan diri dari tangan keluarga Cia. 


Menggunakan kekerasan seorang diri agaknya tidak mungkin. Ia tidak akan mampu menandingi pengeroyokan mereka semua. Dan andaikata ia mampu keluar dari tempat ini pun, satu-satunya jalan untuk melarikan diri adalah jalan setapak tadi dan tentu mereka akan menjaga jalan itu. 

Mengharapkan bantuan orang lain" Siapa yang akan mampu menolongnya dalam keadaan ini" Thian Lee tentu sedang sibuk mengatur pasukan untuk menggempur kekuatan pasukan Phoa-ciangkun di sepanjang pantai. 

Tidak bisa mengharapkan bantuan darinya. Lalu siapa" Tin Han" Pemuda itu akan senang sekali menolong dan membebaskannya dari situ, akan tetapi apa daya pemuda lemah itu" 

Tidak, ia tidak akan bisa mendapatkan pertolongan dari Tin Han. Lalu ia teringat akan seseorang dan jantungnya berdebar. Si Kedok Hitam! 

Biasanya orang ini muncul dalam keadaan tidak tersangka-sangka dan menolongnya. Apakah sekali ini Si Kedok Hitam akan muncul menolongnya" 

Ah, rasanya tidak mungkin. Kalau Si Kedok Hitam datang menolongnya, tentu dia akan datang melalui jalan setapak itu dan sebelum tiba di rumah itu sudah akan ketahuan dan dikeroyok. 

Rasanya, biar Si Kedok Hitam juga tidak akan mampu menandingi pengeroyokan mereka. Agaknya, tidak dapat diharapkan bantuan dari luar. 

Akan tetapi Lee Cin tidak merasa gentar. Ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri dan ia tidak takut karena yakin bahwa keluarga Cia bukan penjahat yang akan membunuhnya begitu saja. 

Ia hanya dipergunakan sebagai sandera, tentu untuk menyelamatkan mereka sendiri. Mereka agaknya takut kepada Song Thian Lee, dan dengan menyanderanya mereka menganggap diri kuat dan dapat mempergunakan ia sebagai perisai penyelamatan diri.

Malam itu pintu dibuka dan benar saja seperti dugaannya, seluruh keluarga itu kecuali Tin Han berada di luar pintu! 


Sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk meloloskan diri. Mereka memasukkan makanan dan minuman untuknya, lalu daun pintu ditutup lagi dari luar dan dikunci.
Lee Cin menerima makanan dan minuman itu, lalu makan minum tanpa curiga. Ia sudah tertawan, untuk apa orang meracuninya lagi" 

Pula, tubuhnya kebal terhadap racun sehingga dengan berani ia makan makanan itu sampai kenyang. Ia harus menjaga agar tubuhnya tetap sehat dan kuat, agar sewaktu-waktu kalau saatnya tiba, tubuhnya kuat menghadapi segala macam tantangan.
Malam itu Lee Cin tidur di atas lantai yang bertilamkan kasur. Ia tidur nyenyak tanpa mimpi karena hatinya tidak mengkhawatirkan sesuatu. 

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia mendengar suara kunci pintu dibuka orang dari luar. Apakah sepagi itu orang sudah mengantar makanan atau minuman untuknya" Ia mendekati daun pintu. Kalau yang membuka pintu itu hanya seorang saja, ia akan menerjangnya dan mencoba untuk melarikan diri. 

Daun pintu terbuka dan sebatang pedang menodongnya. Pedang itu bukan lain adalah Ang-coa-kiam, pedangnya! Dan ia terbelalak ketika melihat bahwa pedang itu dipegang oleh seorang yang berkedok hitam!

"Terimalah pedangmu ini dan mari cepat ikut aku!" bisik Si Kedok Hitam. Lee Cin merasa gembira sekali. Tak tersangka-sangka Si Kedok Hitam kembali menolongnya.

"Terima kasih, aku girang sekali melihat engkau muncul," kata Lee Cin lirih sambil menerima pedang itu, kemudian mengikuti Si Kedok Hitam keluar dari kamar tahanan. 


Tak jauh dari situ ia melihat Cia Hok dan Cia Bhok rebah di atas lantai, agaknya tertotok oleh Si Kedok Hitam! 

Si Kedok Hitam memberi isyarat dan Lee Cin cepat mengikutinya menuju keluar rumah melalui pintu dapur.
Setelah tiba di jalan setapak, terdengar bentakan-bentakan di belakang mereka dan beberapa batang pisau menyambar ke arah mereka. Si Kedok Hitam dan Lee Cin menggerakkan pedang dan pisau-pisau itu runtuh.

"Berhenti! Hendak lari ke mana kalian!" bentakan itu semakin dekat dan muncullah Nenek Cia, ketiga puteranya, mantunya dan juga Tin Siong. Mereka mengejar sambil membawa senjata masing-masing.


"Nona, cepat kau lari dari sini, biar aku yang menahan mereka!" kata Si Kedok Hitam.
Akan tetapi Lee Cin tidak mau. "Tidak, aku akan membantumu melawan mereka."


"Nona, jangan membantah. Pergilah! Jangan khawatirkan aku, akan tetapi kalau engkau tidak lari sekarang, akan terlambat. 


Demi Tuhan, larilah, Lee Cin. Aku perintahkan ini, larilah."
Lee Cin terkejut. Ada nada yang amat kuat dan tegas dalam suara itu. "Akan tetapi kau....."


"Jangan khawatirkan aku. Larilah cepat, aku cinta padamu!" kata pula Si Kedok Hitam dan yang terakhir itu diucapkan lirih, lalu dia membalikkan tubuh dan menerjang para pengeroyok.


Sebetulnya Lee Cin merasa tidak tega untuk meninggalkan penolongnya, akan tetapi ia teringat akan perintah itu dan jantungnya masih berdebar tegang dan aneh mendengar pengakuan Si Kedok Hitam tadi, dan ia pun menaati perintah itu lalu melarikan diri dengan cepat melalui jalan setapak itu ke bawah. 


Setelah melewati jalan setapak dan tiba di lereng yang penuh hutan, ia berhenti lalu memandang ke atas. Dilihatnya betapa Si Kedok Hitam masih berkelahi melawan pengeroyokan keluarga Cia! 

Ia lalu bersembunyi di batik semak dan mengintai ke atas. Perkelahian itu tampak jelas dari situ.

Begitu Si Kedok Hitam membalikkan tubuh dan menyerang para pengeroyok untuk menahan mereka agar tidak mengejar Lee Cin, keluarga itu lalu mengeroyok! 


Nenek Cia memutar tongkat kepala naganya, ketiga puteranya dan mantunya menggerakkan pedang, sedangkan Cia Tin Siong juga mengeroyok dengan suling peraknya! 

Si Kedok Hitam memutar pedangnya dengan cepat dan menyambut serangan mereka dengan cepat dan kuat. 

Pedangnya membikin tangan mereka yang memegang pedang tergetar ketika senjata mereka bertemu dengan senjatanya. Akan tetapi kepungan itu ketat sekali dan para pengeroyoknya rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. 

Terutama nenek itu membuat Si Kedok Hitam beberapa kali hampir terkena ujung tongkat kepala naga yang berat itu. 

Namun dia masih terus melawan dengan nekat. Pedangnya menyambar-nyambar dengan cepatnya dan membentuk segulung sinar pedang yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Nenek Cia mendapat kenyataan yang mengejutkan. Si Kedok Hitam itu memiliki dasar ilmu pedang yang sama dengan ilmu pedang keluarga Cia, dan yang lebih mengherankan lagi, Si Kedok Hitam itu tidak pernah membalas dengan serangan mematikan. 


Dia lebih banyak mengelak dan menangkis saja, jarang melakukan serangan dan kalau hal ini dilakukan pun hanya dalam rangka bertahan, untuk menghalau serangan lawan.

Kenyataan ini membuat Nenek Cia ragu untuk mengirim serangan mautnya, dan ia ingin sekali mengetahui siapa adanya Si Kedok Hitam yang sudah berulang kali menolong Lee Cin, bahkan pernah pula membebaskan Panglima Song dari tawanan mereka. 

Dengan cepat tongkat naganya menyambar ketika Si Kedok Hitam sedang terdesak oleh empat pedang dan sebuah suling perak, akan tetapi tongkat itu tidak menyerang, melainkan dengan cepat sekali menyambar ke arah muka dan mengenai kedok hitam yang menutupi muka itu.

" Brettt.....!!" Kedok itu pecah dan terbuka sehingga mereka semua dapat melihat muka Si Kedok Hitam. 


Tiba-tiba semua serangan terhenti karena keluarga itu menjadi terkejut sekali melihat siapa orangnya yang tadi memakai kedok. 

Orang itu bukan lain adalah Cia Tin Han! Bahkan Lee Cin yang menonton semua itu dari balik semak-semak, dapat mengenal Tin Han dan hampir saja gadis ini berseru saking heran dan khawatirnya. Ternyata Si Kedok Hitam adalah Cia Tin Han!

"Tin Han, kiranya engkau yang menjadi Kedok Hitam" Keparat kau, Tin Han. Engkau mengkhianati kami!" bentak Tin Siong dengan marah. 


Juga Nenek Cia marah sekali. Tin Han adalah cucu kesayangannya. Siapa kira bahwa pemuda itu kini malah menentang keluarga mereka dan menjadi pengkhianat!

"Tin Han, kenapa engkau lakukan ini?" Ibunya, Nyonya Cia Kun juga berseru dengan nada sedih.


"Coba kulihat, apakah engkau berani melawanku!" kata Nenek Cia dan ia sudah menyerang dengan hebat sekali. 


Tongkatnya menyambar dengan dahsyat menyerang kepala Tin Han, mendatangkan angin bersuitan. Tin Han mengelak dan ketika tongkat menyambar lagi, dia menangkis dengan pedangnya.

"Trangg......!!" Pedang Tin Han terpental lepas dari tangannya dan ketika Nenek Cia menendang, dia yang tidak melawan dengan sungguh-sungguh itu melompat ke belakang, lupa bahwa di belakangnya adalah jurang yang menganga lebar. 


Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda itu melayang turun ke bawah jurang yang tidak dapat diukur saking dalamnya.

"Tin Han?"!" Terdengar semua mulut keluarga Cia berseru kaget.
"Han-ko......!!" Lee Cin juga berseru, akan tetapi seruannya tertelan oleh seruan mereka. 


Gadis ini memandang ke bawah jurang dan tak terasa lagi air matanya bercucuran. Tak mungkin manusia dapat hidup lagi setelah jatuh ke dalam jurang yang demikian dalam, yang tidak tampak dasarnya tertutup kabut. 

Lee Cin menangis terisak-isak, mengguguk seperti anak kecil sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Han-ko...... hu-hu-huuuh, Han-ko......!" Ia merintih dan menangis. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, apalagi kalau ia teringat akan ucapan Si Kedok Hitam yang terakhir tadi. 


"Larilah cepat, aku cinta padamu!" demikian ucapan Si Kedok Hitam dan sekarang ia melihat pemuda itu terjatuh ke dalam jurang tanpa ia dapat berdaya untuk menolongnya sama sekali! 

Si Kedok Hitam telah tewas! Cia Tin Han telah mati. Padahal, baik Cia Tin Han, maupun Si Kedok Hitam, telah menyatakan cintanya kepadanya, dan baru sekarang Lee Cin tahu bahwa ia pun mencinta mereka berdua! 

Ia mencinta Tin Han dan kagum kepada Si Kedok Hitam, berarti ia juga mencinta Si Kedok Hitam yang bukan lain juga Tin Han. Dan sekarang keduanya telah tiada.

"Han-ko"..." Ia melanjutkan larinya, terhuyung-huyung menuruni lereng sambil menangis. 


Ia masih dapat mendengar teriakan-teriakan di atas, mereka tidak lagi mengejarnya melainkan berseru-seru memanggil nama Tin Han dan ia mendengar ibu pemuda itu menangis. Mendengar pula suara Nenek Cia yang tegas.

"Dia sudah mengkhianati kita. Agaknya begitu lebih baik., Sudah, tidak perlu ditangisi lagi. Kita harus cepat melarikan diri dari tempat ini sebelum diserbu musuh!"


Lee Cin terus melarikan diri memasuki kota Hui-cu. Ia yakin bahwa keluarga Cia tidak akan berani kembali ke Hui-cu. ia menyewa sebuah kamar di rumah penginapan dan sehari itu ia berdiam di kamarnya saja sambil menangisi Tin Han sepuasnya. Ia lupa makan dan lupa segalanya. 

Yang teringat hanya bayangan Si Kedok Hitam clan bayangan Tin Han muncul silih berganti.

Untuk kedua kalinya dalam hidupnya ia kehilangan orang yang ia cinta. Pertama, ia kehilangan Song Thian Lee yang ternyata tidak membalas cintanya karena pemuda itu sudah mencinta Tan Cin Lan. 


Biarpun rasanya berat, namun ia masih terhibur membayangkan betapa Thian Lee yang dicintanya hidup berbahagia dengan isterinya. 

Akan tetapi yang kedua kali ini jauh lebih berat. Orang yang dikasihinya, tewas dalam menolong dan membelanya. Tewas dalam keadaan begitu menyedihkan, terjatuh ke dalam jurang yang tidak tampak dasarnya.

"Han-ko".. aku cinta padamu, Hanko Ia mengeluh dan makin dikenang, makin banyak air matanya membanjir membasahi bantalnya. 


Ia merasa begitu kehilangan, merasa ditinggalkan, merasa begitu kesepian, seolah hidup ini tidak ada artinya lagi baginya. Ia merasa sebagai seorang yang paling sengsara, betapa pahit getirnya hidup ini baginya, betapa menyakitkan.

Duka pasti timbul kalau pikiran kita mengenang hal-hal yang telah lalu, hal yang merugikan dirinya maupun batin. 


Pikiran suka mengunyah hal-hal itu sehingga mengaduk hati dan mendatangkan perasaan iba hati terhadap diri sendiri. 

Perasaan iba diri inilah yang menimbulkan duka dan tangis, hati meratap-ratap merasa diri sebagai orang yang patut dikasihani, sebag seorang yang paling sengsara hidup di dunia ini. 

Dan duka ini kadang membuat orang tidak mau menerima kenyataan, bahkan mencela akan kekuasaan Yang Mengatur mati dan hidup manusia. 

Kalau orang tidak dapat menerima apa adanya, menghadapi apa saja yang datang dan menimpa dirinya sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diubah lagi, maka orang itu tentu akan berulang-ulang mengalami duka yang mendalam dan menganggap bahwa hidup adalah duka!

Akan tetapi seorang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mengerti sepenuhnya bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaanNya, bahwa tidak ada hal dapat terjadi di luar kehendak-Nya, orang yang menyerah terhadap kekuasaanNya, maka orang demikian itu tidak akan hanyut oleh duka. 


Duka hanya akan menyentuhnya sedikit dan sejenak seperti awan yang lalu kemudian hilang lagi. 

Ia akan menyerah dengan penuh keikhlasan akan kekuasaan Tuhan, tunduk kepada apa yang dihendaki Tuhan betapa berat pun hal itu akan menyentuh perasaannya, dehgan penuh keyakinan bahwa segala yang ditentukan oleh Tuhan adalah baik dan benar. 

Dan kalaupun dia tenggelam ke dalam duka, hatinya akan meraih dan memegang Tangan Tuhan yang selalu diulurkan untuk menghibur dan membebaskannya dari duka Tuhan Maha Kasih dan segala kehendak-Nya pun terjadilah!

Demikian pula dengan Lee Cin. Gadis ini merasa hatinya hancur lebur dan perih seperti ditusuk-tusuk pedang berkarat, membuat ia tenggelam ke dalam duka dan cucuran air mata, membuatnya meratap menangis menyesali nasibnya, membuat ia sehari semalam tidak makan dan tidak tidur. 


Akan tetapi ia lalu teringat akan semua nasihat ayahnya kepadanya akan sikap seorang gagah terha dap malapetaka yang menimpanya. 

Ia tidak harus kehilangan kepribadiannya dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Akhirnya, pada keesokan paginya, ia dapat melepaskan semua beban yang berat menekan hatinya itu, menyerah kepada Tuhan dan ia pun dapat tertidur pula. 

Dan begitu ia tertidur, begitu pikiran dan ingatannya tidak bekerja, tidak dapat mengingat-ingat hal yang terjadi, namun kedukaan lenyap bagaikan awan ditiup angin.

Lahir mati adalah peristiwa yang ditentukan oleh Tuhan, tak seorang pun manusia dapat mengubahnya. Kehilangan pun pasti akan menyusul kemilikan. 

Yang memiliki akan kehilangan, akan berpisah dari yang dimiliki.

Kalau sudah yakin akan hal ini, maka manusia hanya dapat menyerah kepada Tuhan apa yang berada di luar jangkauan kekuasaan-Nya. 

Sampai di sini kisah Si Dewi Ular ini selesai. Pembaca yang ingin bertemu kembali dengan Lee Cin dan tokoh-tokoh lain dalam kisah ini, dipersilakan membaca serial "RAJAWALI HITAM" yang merupakan sambungan dari kisah Si Dewi Ular. Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca.



           TAMAT



Terima kasih telah membaca Serial ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GELANG KEMALA

RAJAWALI HITAM